TINJAUAN PUSTAKA
4
biji alpukat ditemukan lebih besar dari 70%. Adapun komposisi senyawa bioaktif
dalam biji alpukat sebagai berikut.
Tabel 2.2 Komposisi Proksimat Biji Alpukat (g/100g sampel kering) [13]
Parameter Biji Alpukat
Moisture 9,920,01
Lemak 16,542,10
Protein 17,941,40
Serat 3,100,18
Abu 2,400,19
Karbohidrat 48,114,13
Marlinda [14] melakukan uji toksisitas pada ekstrak etanol biji alpukat
dengan sampel basah dan sampel kering yang diujikan pada udang laut (Artemia
salina), nilai LC50 terendah terdapat pada sampel kering sebesar 34,302 mg/L
yang menunjukkan biji alpukat bersifat toksik. Median Lethal Concentration
(LC50) adalah uji terhadap konsentrasi bahan material ataupun toksikan pada
udara, air, tanah ataupun sedimen yang diujikan pada hewan coba tertentu yang
dapat membunuh 50% hewan tersebut [15]. Suatu zat dikatakan memiliki potensi
toksisitas akut dan potensial sebagai sitotoksik apabila suatu zat memiliki nilai
LC50 kurang dari 1000 ppm [16]. Toksik dalam biji alpukat diduga disebabkan
oleh senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terkandung. Dalam biji alpukat
terkandung senyawa alkaloid, triterpenoid, tanin, flavonoid dan saponin [14].
Sedangkan pada ekstrak heksana biji alpukat, berdasarkan penelitian Leite [17]
5
menunjukkan toksisitas tertinggi pada Artemia salina dengan LC50 sebesar 2,37
mg/L.
Menurut Eduardo [18] yang melakukan uji genotoksik ekstrak etanol biji
alpukat pada mikronukleus eritrosit, menunjukkan bahwa ekstrak etanol biji
alpukat tidak memiliki efek genotoksik. Namun, laporan dari genotoksisitas telah
mengungkapkan bahwa banyak tanaman yang digunakan sebagai makanan atau
obat tradisional memiliki sifat sitotoksik, mutagenik, dan genotoksik [19]. Hal ini
menunjukkan dibutuhkan untuk melengkapi profil toksikologi dari ekstrak biji
alpukat, perlu juga untuk menguji area lain seperti yang terkait dengan sistem
kekebalan tubuh dan fungsi endokrin [18].
6
Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal 20,712
9-tetradecenoic Acid C14:1 0,251 0,002
10-Pentadecenoic Acid C15:1 0,321 0,159
9-Hexadecenoic Acid C16:1 1,786 0,325
10-Heptadecenoic Acid C17:1 0,372 0,083
9-Octadecenoic Acid C18:1 17,410 0,058
11-Eicosenoic Acid C20:1 0,448 0,277
13-Docosenoic Acid C22:1 0,124 0,043
Minyak biji alpukat mengandung asam lemak C18:2 (38,89%) dan C18:3
(6,57%) dengan konsentrasi tertinggi. Keuntungan dari rasio asam lemak
C18:2/C18:3 dalam minyak biji alpukat adalah dapat berperan dalam mengurangi
trigliserida dan HDL (High Density Lipoprotein) dalam plasma darah [20]. Sifat
fisika dan kimia dari minyak biji alpukat dapat dilihat pada tabel berikut.
Minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh jamak (Polyunsaturated
Fatty Acid/ PUFA) diakui dapat menurunkan kolesterol darah serta meningkatkan
nilai kesehatan lainnya. Asam lemak ini menurunkan kadar kolesterol total karena
dalam jumlah banyak, cenderung menurunkan tidak hanya kadar kolesterol LDL
(kolesterol jahat) tapi juga HDL (kolesterol baik) darah. Sedangkan asam lemak
tak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) menurunkan kadar
kolesterol LDL tanpa mempengaruhi kadar kolesterol HDL darah. Peningkatan
kadar kolesterol HDL akan menurunkan risiko penyakit jantung [21]. Asam
linoleat (omega 6) dan linolenat (omega 3) merupakan asam lemak tak jenuh
jamak (PUFA) dan tergolong asam lemak esensial. Asam linoleat dan linolenat
sangat penting untuk tubuh, oleh karena itu harus diperoleh dari makanan.
Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan dermatitis, kemampuan reproduksi
menurun, gangguan pertumbuhan, degenerasi hati dan rentan terhadap infeksi
[22]. Asam linolenat sendiri berperan penting dalam perkembangan otak dan
fungsi penglihatan [23].
7
Tabel 2.4 Sifat Fisika dan Kimia Minyak Biji Alpukat [6]
Sifat Fisika Kuantitas
Specific Gravity (25oC) 0,915-0,916
Titik leleh 10,5oC
Titik nyala 245oC
Indeks refraktif 1,462
Viskositas 0,357 poise
Sifat Kimia Kuantitas
Free Fatty Acid (FFA) 0,367%-0,82%
Saponification number (mg KOH/g) 246,84
Bilangan iod (mg iodin/g) 42,664
Bilangan asam (mg KOH/g) 5,2
Esther number 241,640
Bilangan peroksida (milliequivalents
3,3
peroxide per 1000 gram minyak)
unsaponifiable matters 15,250%
8
2. Sokhlet
Sokhlet adalah proses pemisahan berulang dari sampel yang berupa
padatan. Sampel yang diekstrak biasanya padatan yang telah dihaluskan.
Padatan ini dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan dalam alat
sokhlet. Pada bagian atas alat dihubungkan dengan pendingin balik
sedangkan bagian bawah terdapat labu alas bulat sebagai tempat pelarut.
Pemanasan dengan suhu tertentu akan menguapkan pelarut. Uap akan naik
ke atas dan mengalami proses pendinginan. Ruang sokhlet akan dipenuhi
oleh pelarut yang telah mengembun hingga batas tertentu, pelarut tersebut
akan membawa solut dalam labu. Proses ini berlangsung terus menerus.
Keuntungan metode ini adalah ekstraksi berlangsung cepat, cairan
pengekstraksi yang dibutuhkan sedikit dan cairan pengekstraksi tidak
pernah mengalami kejenuhan [24]. Gambar 2.1 menunjukkan rangkaian
peralatan dari sokhlet ekstraktor.
9
2.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan karena beberapa faktor seperti jika distilasi tidak dapat
dilakukan (distilasi dapat dilakukan jika relative volatility (kemampuan mudah
berubahnya cairan ke bentuk gas) campuran lebih besar dari 1,2) atau terlalu
mahal, jika diinginkan mengisolasi bahan untuk karakterisasi, atau memurnikan
senyawa untuk proses selanjutnya. Secara garis besar, proses pemisahan secara
ekstraksi terdiri dari tiga langkah dasar, yaitu [26]:
1. Penambahan sejumlah massa solvent untuk dikontakkan dengan sampel,
biasanya melalui proses difusi.
2. Solute akan terpisah dari sampel dan larut oleh solvent membentuk fase
ekstrak.
3. Pemisahan fase ekstrak dengan sampel.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ekstraksi, diantaranya:
1. Suhu
Kelarutan bahan yang diekstraksi dan difusitas biasanya akan meningkat
dengan meningkatnya suhu, sehingga diperoleh laju ekstraksi yang tinggi.
Pada beberapa kasus, batas atas untuk suhu operasi ditentukan oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah perlunya menghindari reaksi samping
yang tidak diinginkan [27]. Suhu yang lebih tinggi dengan viskositas pelarut
lebih rendah dan kelarutan solute yang lebih besar, pada umumnya
menguntungkan untuk proses ekstraksi. Tetapi, suhu ekstraksi tidak boleh
melebihi titik didih pelarut karena akan menyebabkan pelarut menguap.
Biasanya suhu ekstraksi yang paling baik adalah sedikit di bawah titik didih
pelarut [28]. Menggunakan pelarut dengan titik didih tinggi lebih
menguntungkan karena difusi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi dan
membran sel lebih mudah pecah dan mengeluarkan minyak [29]. Pemilihan
suhu juga disesuaikan dengan zat yang akan diekstraksi, ada beberapa zat
yang sensitif terhadap suhu tinggi karena akan terdegradasi seperti pada
klorofil dan antosianin [28].
10
2. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas bidang kontak antara
padatan dan solvent, serta semakin pendek jalur difusinya, yang menjadikan
laju transfer massa semakin tinggi [30].
3. Faktor solvent
Jika zat yang akan diekstraksi merupakan senyawa nonpolar (misalnya
minyak) maka juga digunakan pelarut yang nonpolar (seperti heksana,
heptana dan pelarut nonpolar lainnya). Solvent harus memenuhi kriteria
sebagai berikut [30]:
Daya larut terhadap solute cukup besar
Dapat diregenerasi
Memiliki koefisien distribusi solute yang tinggi
Dapat memuat solute dalam jumlah yang besar
Sama sekali tidak melarutkan diluen atau hanya sedikit melarutkan diluen
Memiliki kecocokan dengan solute yang akan diekstraksi
Viskositas rendah
Antara solven dengan diluen harus mempunyai perbedaan densitas yang
cukup besar
Memiliki tegangan antarmuka yang cukup
Dapat mengurangi potensi terbentuknya fase ketiga
Tidak korosif
Tidak mudah terbakar
Tidak beracun
Tidak berbahaya bagi lingkungan
Murah dan mudah didapat
Semakin banyak jumlah pelarut yang digunakan, maka semakin banyak
pula hasil yang didapatkan, sebab [31]:
Distribusi partikel dalam pelarut semakin menyebar, sehingga
memperluas permukaan kontak.
Perbedaan konsentrasi solute dalam pelarut dan padatan semakin besar
sehingga fraksi molar bertambah.
11
Pelarut heptana merupakan pelarut yang termasuk dalam kriteria diatas,
diantaranya adalah senyawa nonpolar (sesuai dengan minyak yang juga senyawa
nonpolar), tidak berbahaya bagi lingkungan dan tidak beracun.
12
peralatan [7]. Ayers dan Dooley [33] mengekstraksi biji kapas pada skala
laboratorium dengan berbagi macam pelarut termasuk pelarut heksana dan
heptana. Jumlah minyak yang di ekstraksi oleh kedua pelarut tersebut sama, tetapi
kehilangan akibat refining dan warna minyak bervariasi. Mereka juga mencatat
bahwa perbedaan warna minyak tergantung pada kandungan asam lemak bebas
(FFA) dari bji. Secara umum minyak yang diekstraksi dengan heksana memiliki
warna yang lebih tajam dibanding dengan heptana dan juga fosfolipid yang
diekstraksi dengan heptana lebih tinggi dibanding dengan heksana [7].
Heksana sangat beracun bagi sistem saraf perifer sedangakan heptana hanya
sedikit beracun. Ini merupakan keuntungan besar bagi hepatana. Selain itu
heptana juga memiliki titik didih 98 oC pada 1 atm yang 30oC lebih besar dari titik
didih heksana. Menggunakan pelarut dengan titik didih tinggi lebih
menguntungkan karena proses difusi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi dan
membran sel lebih mudah pecah dan mengeluarkan minyak. Karena heptana
kurang volatil dibandingkan heksana, maka akan sedikit residu yang tertinggal
pada peralatan [29]. Heksana sangat volatil dan didalam tubuh manusia
dimetabolisasi menjadi 2,5-heksana dion yang merupakan senyawa neurotoksik.
Telah dikemukakan bahwa paparan heksana atau 2,5-heksana dion yang terus
menerus mengakibatkan hilanya fungsi sensorik dan motorik serta perubahan
pada protein neurofilamen aksonal. Penelitian pada hewan telah jelas
menunjukkan bahwa n-heksana jauh lebih toksik ke saraf perifer tikus daripada n-
heptana. Studi paparan pada manusia juga telah dilakukan, sebagai contoh setelah
periode 6 bulan kerja, dilaporkan bahwa paparan heksana menyebabkan seorang
pekerja dengan usia 27 tahun menderita neuropati optik yang dapat menyebabkan
kebutaan [34].
13
2.3.1 Warna
Zat warna terdapat secara alamiah didalam bahan yang mengandung minyak
dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut
antara lain terdiri dari dan karoten, xanthofil, klorofil dan anthosianin. Zat
warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-
hijauan dan kemerah-merahan [35]. Warna minyak atau lemak dapat ditentukan
dengan melihat warna minyak itu sendiri.
2.3.2 Densitas
Densitas minyak dan lemak lebih rendah dari pada air, sehingga minyak
akan mengapung ke atas jika bercampur dengan air. Sifat fisika trigliserida
ditentukan oleh proporsi dari struktur kimia asam lemak yang membentuknya.
Semakin banyak mengandung asam lemak rantai pendek dan ikatan tidak jenuh,
maka konsistensi lemak akan semakin cair. Sebaliknya semakin banyak
mengandung asam lemak jenuh dan rantai panjang maka konsistensi lemak akan
semakin padat [35]. Uji densitas minyak dapat dilakukan dengan menggunakan
piknometer pada suhu 20oC berdasarkan metode tes OECD 109.
2.3.3 Viskositas
Viskositas lemak dan minyak akan bertambah dengan bertambahnya
panjang rantai karbon. Viskositas merupakan properti penting untuk komersial,
terutama untuk produsen pelumas. Viskositas sangat bervariasi dengan suhu.
Ketika didinginkan ke titik pemadatan minyak dan lemak tidak bisa lagi dikatakan
kental dan berubah menjadi plastis [36]. Uji viskositas minyak dan lemak
dilakukan dengan menggunakan viskosimeter Ostwald pada suhu 40 oC
berdasarkan metode tes ASTM D-445.
14
komersil dari minyak dan lemak. FFA lebih rentan terhadap oksidasi dan
mengubah minyak menjadi tengik. American Oil Chemists Society (AOCS),
Association of Official Analytical Chemists (AOAC) dan European Commission
(EC) telah menetapkan peraturan metode standar yang hampir sama untuk
penilaian FFA [37]. Analisis FFA berdasarkan metode tes AOCS Official Method
Ca 5a-40, minyak ditambah dengan etanol 95% kemudian dititrasi dengan NaOH
sampai berubah warna merah rosa.
15
Penggunaan GC mulai dikombinasikan dengan spektrometri massa (MS).
Spektrometer massa telah menjadi detektor standar yang memungkinkan untuk
batas deteksi yang lebih rendah dan tidak memerlukan pemisahan dari semua
komponen yang ada dalam sampel. Spektroskopi massa adalah salah satu jenis
deteksi yang menyediakan informasi yang hanya memerlukan mikrogram sampel.
Identifikasi kualitatif senyawa yang tidak diketahui serta analisis kuantitatif
sampel dapat menggunakan GC-MS. Ketika GC digabungkan ke spektrometer
massa, senyawa yang terelusi dari kolom GC terionisasi dengan menggunakan
elektron (EI, ionisasi elektron) atau pereaksi kimia (CI, ionisasi kimia). Fragmen
yang dikenakan fokus, dipercepat menjadi analyzer massa : biasanya analyzer
massa quadrupole. Fragmen dengan massa yang berbeda akan menghasilkan
sinyal yang berbeda, sehingga setiap senyawa yang menghasilkan ion dalam
rentang massa dari analyzer massa akan terdeteksi [38].
Senyawa yang mengandung gugus fungsional seperti OH, NH, CO2H dan
SH sulit untuk dianalisis dengan GC karena senyawa ini tidak cukup stabil, dapat
terlalu kuat ke fasa diam atau tidak stabil secara termal. GC adalah teknik analisis
utama untuk pemisahan senyawa volatil. Beberapa fitur seperti kecepatan analisis,
kemudahan operasi, hasil kuantitatif yang sangat baik dan biaya yang cukup
terjangkau telah membantu GC menjadi salah satu teknik yang paling populer di
seluruh dunia [38].
16
diterapkan dalam tataran eksperimen, maka error pada data-data hasil eksperimen
tidak akan dapat dihindari sehingga interpretasi secara statistik untuk RSM sangat
melekat pada penerapannya [41]. RSM tidak lain sebuah model regresi linier yang
memodelkan hubungan antara variabel explanatory dan variabel response. RSM
mempunyai dua tahapan utama dalam analisisnya. Pertama, pemodelan regresi
first order, yang biasa dinyatakan dengan persamaan linier polinomial dengan
order satu [40]. Berikut adalah contoh persamaan RSM first order dengan dua
faktor [40]:
y = o + 1 x1 + 2x2 + (1)
dimana xi adalah faktor yang diteliti dalam eksperimen atau disebut juga sebagai
variabel explanatory, dan y adalah variabel respon. Ketika suatu desain
eksperimen memuat titik respon optimal diantara level-level faktor yang
diselidiki, maka persamaan (1) akan mengandung lack-of-fit [42]. Berikutnya,
langkah kedua dapat langsung diterapkan, yakni menaikkan derajat polinomial
persamaan (1) menjadi second order atau derajat dua, dengan contoh persamaan
dua faktor sebagai berikut [33]:
y = o + 1x1 + 2x2 + 11x12 + 22x22 + 12x1x2 + (2)
Titik optimal respon secara sederhana akan didapat dengan differensial pada
persamaan (2) untuk setiap variabel explanatory. Dengan demikian, akan
didapatkan setting level faktor-faktor yang akan mengoptimalkan variabel respon.
Hal inilah yang kemudian dikatakan sebagai proses optimasi matematis.
Persamaan (2) akan diterapkan pada area yang telah mengandung titik optimal
tersebut melalui eksperimen lanjutan dengan desain khusus seperti central
composite design atau box-behnken design [40].
Central composite design (CCD) merupakan rancangan yang sangat sesuai
untuk memperoleh model orde kedua. CCD terdiri dari desain faktorial, central
point dan aksial point. Setiap variabel dalam percobaan memiliki nilai numerik
rendah dan tinggi. Untuk mewakili variabel nilai rendah dan tinggi dikodekan
dengan -1 dan +1. Titik pusat (central point) atau titik nol dapat didefinisikan
sebagai daerah untuk kondisi optimal. Sedangkan komponen aksial dikodekan
dengan - dan +. Nilai dihitung dengan persamaan = (2k)1/4, dimana k adalah
banyaknya faktor perlakuan. Nilai disebut juga dengan nilai rotatabilitas yang
17
tujuannya untuk menjaga kestabilan agar varians tidak berubah ketika desain
diputar pada pusatnya [43].
18