Anda di halaman 1dari 11

Makalah Gangguan Kepribadian

1. Pengertian gangguan kepribadian


Gangguan kepribadian atau dikenal dengan personality disorder adalah gangguan dalam
perilaku yang memberikan dampak atau dinilai negatif oleh masyarakat. Gangguan kepribadian
pada umumnya ditandai oleh masalah-masalah dimana individu secara tipikal mengalami
kesukaran dalam melaksanakan kehidupan dengan orang lain sebagaimana yang ia kehendaki.
Orang yang mengalami gangguan kepribadian ini melihat orang lain sebagai hal yang
membingungkan, tidak jelas dan tidak dapat diduga. Dan begitu pula sebaliknya, ia akan
melakukan tindakan sosial secara membingungkan. (Sutarjo A. Wiramiharja : 2007)
Adapaun definisi gangguan kepribadian yang ada dalam DSM IV seperti yang telah
dijelaskan oleh Sutarjo A. Wiramiharja dalam salah satu bukunya adalah sifat-sifat dalam
kepribadian yang merupakan pola-pola berkelanjutan dalam hal mempersepsi, menanggapi,
berelasi, atau berpikir mengenai lingkungan dan dirinya sendiri sehingga ditampilkan dalam
rentang yang luas mengenai konteks-konteks pribadi dan sosial yang penting.

2. Ciri-ciri gangguan kepribadian


Penderita gangguan ini memiliki ciri-ciri (Supratiknya : 1995) sebagai
berikut :
2.1 Hubungan pribadinya dengan orang lain terganggu, dalam arti sikap dan
perilakunya cenderung merugikan orang lain.
2.2 Memandang bahwa semua kesulitannya disebabkan oleh nasib buruk
atau perbuatan jahat orang lain. Dengan kata lain, penderita gangguan ini
tidak memiliki rasa bersalah.
2.3 Tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain
2.4 Bersikap manipulatif atau senang mengakali, mementingkan diri, tidak
punya rasa bersalah dan tidak mengenal rasa sesal bila mencelakakan orang
lain.
2.5 Celakanya, orang ini tidak pernah dapat melepaskan diri dari pola tingkah
lakunya yang maladaptif itu.
2.6 Selalu menghindari tanggung jawab atas masalah-masalah yang mereka
timbulkan.
Fitria Fauziyah menjelaskan dalam salah satu bukunya bahwa, individu dikatakan
mengalami gangguan kepribadian jika ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku
maladaptif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Pola tersebut muncul
dalam setiap situasi serta mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari seperti dalam relasi
sosial dan pekerjaan.
Adapun yang tercantum di dalam PPDGJ bahwa seseorang yang didiagnosa gangguan
kepribadian harus memenuhi kriteria dari bebarapa pedoman diagnostik sebagai berikut :
2.1 Disharmoni sikap dan perilaku yang cukup berat, biasanya meliputi beberapa bidang fungsi
misalnya afek, kesiagaan, pengendalian impuls, cara memandang dan berpikir, serta cara
berinteraksi dengan orang lain.
2.2 Pola perilaku abnormal berlangsung lama, dan tidak terbatas pada episode gangguan jiwa.
2.3 Pola perilaku abnormalnya pervasif (mendalam) dan maladaptif yang jelas terhadap berbagai
keadaan pribadi dan sosial yanag luas.
2.4 Manifestasi di atas selalu muncul pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut hinggga usia
dewasa.
2.5 Gangguan ini menyebabkan penderitaan pribadi (personal distress) yang cukup berarti, tetapi
baru menjadi nyata setelah perjalanan yang berlanjut.
2.6 Gangguan ini biasanya tapi tidak selalu berkaiatan secara bermakna dengan masalah-masalah
pekerjaan dan kinerja sosial.

3 Jenis-jenis gangguan kepribadian


Berdasarkan DSM IV gangguan kepribadian dibagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu
kelompok I terdiri dari paranoid-skizoid-skizotipal. Kelompok II terdiri dari
histrionic-narcisistik-antisosial. Kelompok III terdiri dari avoidan-dependent-
kompulsif-agresif pasif. (disadur dari Fitria Fauziyah, 1995). Ada juga yang
menambahkan satu gangguan kepribadian di dalam kelompok II yaitu
borderline sehingga di dalamnya terdapat empat macam gangguan.
(Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)

3.1 Paranoid
Adapaun ciri-ciri gangguan ini berdasarkan PPDGJ sebagai berikut :
3.1.1 Kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan
3.1.2 Kecendrungan menyimpan dendam (sulit memaafkan suatu penghinaan
dan luka hati atau masalah kecil)
3.1.3 Kecurigaan yang mendalam
3.1.4 Perasaan bermusuhan dan ngotot tentang hak pribadi tanpa
memperhatikan situasi yang ada
3.1.5 Kecurigaan yang berulang tanpa dasar tentang kesetiaaan seksual dari
pasangannya
3.1.6 Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan
Untuk diagnosis dibutuhkan paling sedikit 3 dari ciri-ciri di atas. (Rusdi Maslim,
2001)
Gangguan kepribadian ini dapat disebabkan oleh pengalaman masa kecil yang buruk
ditambah dengan keadaan lingkungan yang dirasa mengancam. Pola asuh dari orang tua yang
cenderung tidak menumbuhkan rasa percaya antara anak dengan orang lain juga dapat menjadi
penyebab dari berkembangnya gangguan ini.
Bagi beberapa orang yang mengalami gangguan ini, rasa permusuhan
mereka terhadap orang lain mungkin berasal dari adanya penghargaan diri
yang berlebihan, sedangkan pada yang lainnya mungkin hal itu berasal dari
konsep diri yang lemah atau kurang dan harapan bahwa orang lain akan
mengkritisi dan menyalahkan mereka atas berbagai masalah. Sikap ini dapat
tumbuh pada anak-anak yang memiliki orang tua yang kasar, suka
mengkritik, dan tidak mentoleransi berbagai kelemahan, tetapi juga pada
orang tua yang terlalu menekankan pada anak-anak mereka bahwa mereka
spesial dan berbeda dengan orag lain. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 yang
disadur dari Millon dkk, 2000)
Ahli teori kognitif melihat gangguan paranoid sebagai hasil dari
sebuah keyakinan yang mendasar bahwa orang lain sebagai orang yang
berhati dengki dan memperdaya, dikombinasikan dengan kurangnya rasa
percaya diri dalam mempertahankan diri menghadapi orang lain. (Sutardjo
A.Wiramihardja, 2007 yang disadur dari Beck & Freeman, 1990; Colby, 1981)
Adapun pengobatannya, bila diminta bantuan maka dalam bimbingan
dititik beratkan pada pengalaman subjektif dalam pribadinya dan pada
interaksi dengan dokter. (Maramis, 1980)
3.2 Skizoid
Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.2.1 Sedikit aktivitas yang memberikan kesenangan
3.2.2 Emosi dingin, afek mendatar atau tak peduli
3.2.3 Kurang mampu mengekspresikan kehangatan, kelembutan atau kemarahan terhadap orang lain
3.2.4 Tampak nyata ketidakpedulian baik terdapat pujian maupun kecaman
3.2.5 Hampir memilih aktivitas yang dilakukan sendiri
3.2.6 Sangat tidak sensitif terhadap norma dan kebiasaan sosial yag berlaku
3.2.7 Tidak mempunyai teman dekat atau hubungan pribadi yang akrab, dan tidak ada keinginan untuk
menjalin hubungan seperti itu
Untuk diagnosis dibutuhkan paling sedikit 3 dari ciri-ciri di atas. (Rusdi Maslim,
2001)
Para ahli teori psikoanalisa berpendapat bahwa gangguan skozoid
dibangun melalui hubungan ibu dan anak yang terganggu, dimana anak
tidak pernah belajar memberi dan menerima kasih sayang, anak tersebut
menunjukkan hubungan dan emosi-emosi sebagai hal yang berbahaya.
(Sutardjo A. Wiramihardja, 2007 yang disadur dari Blueler, 1942; Klein,
1952)
Sedangkan para ahli teori kognitif menggambarkan gaya berpikir dari
orag skizoid sebagai orang yang tidak memperbaiki diri dan tidak responsif
terhadap tanda-tanda yang menunjukkan emosi. (Sutardjo A.Wiramihardja,
2007 yang disadur dari Beck & Freeman, 1990)
Pengobatan gangguan skozoid bisa dengan cara psikoterapi suportif,
bimbingan dalam cara hidup, anjuran untuk mengambil bagian dalam
kegiatan sosial dan hubungan antar manusia. (Maramis, 1980)
3.3 Skizotipal
Gangguan ini memiliki ciri-ciri khas (Supratiknya, 1995) sebagi
berikut :
3.3.1 Suka menyendiri dan menghindari orang lain
3.3.2 Egosentrik
3.3.3 Dihantui oleh pikiran-pikiran autistik yaitu pikiran yang tidak dapat
dimengerti oleh orang lain
3.3.4 Amat perasa
3.3.5 Sering bertahayul
Seperti halnya orang-orang skizoid, orang skizotipal juga cenderung
terisolasi secara sosial dan menjaga jarak emosi, sehingga mereka merasa
tidak nyaman dalam membangun hubungan sosial. (Sutardjo
A.Wiramihardja, 2007)
Penderita gangguan skizotipal mempunya empat kategori dalam
keganjilan berpikir. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 yang disadur dari Beck &
Freeman, 1990). Keempatnya adalah sebagai berikut :
Pertama : Paranoia (bersifat paranoid dan selalu curiga)
Kedua : Referensi ide (meyakini bahwa kejadian-kejadian acak
yang ada di sekitarnya berkaitan dengan mereka)
Ketiga : Keyakinan aneh dan pemikiran magis
Keempat : Ilusi yang merupakan halusinasi singkat

3.4 Historik
Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.4.1 Ekspresi emosi yang dibuat-buat seperti sandiwara yang dibesar-besarkan
3.4.2 Bersifat sugestif (mudah dipengaruhi oleh orang lain dan keadaan)
3.4.3 Keadaan afktif yang labil dan dangkal
3.4.4 Terus menerus mencari kegairahan, penghargaan dari orang lain dan
aktivitas di mana pasien menjadi pusat perhatian
3.4.5 Penampilan atau perilaku merangsang yang tidak memadahi
Individu dengan gangguan ini biasanya memiliki masalah atau
disfungsi seksual, pada kaum wanita biasanya anorganismic (masalah dalam
orgasme) dan pada prianya impoten, mereka melakukan tingkah laku
seductive (menggairahkan) yang lebih karena ingin meyakini diri sendiri
bahwa mereka menarik untuk lawan jenisnya. (Fitria Fauziyah, )
Orang dengan gangguan ini lebih menyukai bercerai atau berpisah dari
pada menikah. Mereka cenderung membesar-besarkan masalah medis dan
lebih banyak melakukan medis dibandingkan dengan orang kebanyakan.
Akibatnya, langkah itu menyebabkan semakin meningkatnya jumlah
langkah-langkah bunuh diridan mengancam dalam kelompok ini. (Sutardjo
A.Wiramihardja, 2007 disadur dari Kraus &r Reynold, 2001; Nestad dkk,
1990)

3.5 Narsistik
Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Supratiknya, 1995) sebagai berikut :
3.5.1 Merasa dirinya penting dan haus akan perhatian orang lain
3.5.2 Selalu menuntut perhatian dan perlakuan istimewa dari orang lain,
sehingga mereka sangat sulit dan tidak dapat menerima kritik dari orag lain
(Fitria Fauziyah, )
3.5.3 Sangat peka pada pandangan orang lain terhadap dirinya (harga diri rapuh)
3.5.4 Bersikap eksploitatif (memikirkan kepentingan sendiri, mengabaikan hak
dan persaaan orang lain). Ada juga ciri-ciri yang lain (Fitria Fauziyah, )
seperti :
3.5.5 Tidak mampu menampilkan empati, kalaupun mereka memberikan empati
atau simpati, biasanya mereka memiliki tujuan tertentu untuk kepentingan
diri mereka sendiri
Dari sudut pandang teori belajar sosial (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007
yang disadur dari Millon, 1969) menemukan bahwa asal dari gaya narsistik
adalah evaluasi berlebihan yang tidak realistik mengenai nilai-nilai anak oleh
orang tua. Anak tidak mampu menggapai evaluasi-evaluasi orang tuanya
mengenai dirinya tetapi dia secara berkelanjutan bertindak seolah-olah dia
merupakan orang yang superior (berkuasa) dan menuntut orang lain melihat
mereka sebagai orang superior.
Individu dengan gangguan ini tidak memilki self-esteem yang mantap
dan mereka rentan untuk menjadi depresi. (Fitria Fauziyah, ) mereka
biasanya tidak dapat menerima kenyataan bahwa usia mereka sudah lanjut,
sedangkan mereka tetap menghargai kecantikan, kekuatan, dan usia muda
secara tidak wajar. Oleh karena itu, merekaa lebih sulit untuk melewati krisis
pada usia senja ketimbang individu lain pada umumnya. Masalah-masalah
yang muncul dari gangguan ini misalnya sulit membina hubungan
interpersonal, penolakan dari orang lain.

3.6 Antisosial
Gangguan ini juga disebut kapribadian sosiopatik (Supratiknya, 1995),
dan
meliputi misalnya orang-orang yang menjalankan bisnis dengan curang,
politikus dan profesi lain yang curang, para pelaku tindakan criminal,
pengedar obat bius, penjaja seks komersial.
Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Supratiknya, 1995) sebagai berikut :
3.6.1 Perkembangan moral yang terhambat, sehingga tidak mampu mencontoh
perbuatan yang diterima masyarakat. Dan tidak mampu membedakan mana
yang pantas baginya dibandingkan dengan orang-orang yang lebih muda
darinya (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)
3.6.2 Kurang dapat bergaul dan bersosialisasi sehingga tidak mampu
mengembangkan kesetiaan pada kelompok maupun nilai sosial yang
berlaku. Ada juga ciri-ciri lain (Rusdi Maslim, 2001) seperti :
3.6.3 Bersikap tidak peduli dengan perasaan orang lain
3.6.4 Tidak mampu memelihara suatu hubungan agar berlangsung lama,
meskipun tidak ada kesulitan dalam mengembangkannya
3.6.5 Tidak mampu mengalami rasa bersalah dan menarik manfaat dari
pengalaman, khususnya dari hukuman
Gejala gangguan ini sudah dimulai pada anak-anak yaitu sebelum usia
12-15 tahun (Maramis, 1980). Seorang dewasa yang didiagnosa kepribadian
anti sosial biasanya pada masa anak-anak terdapat pencurian, tidak dapat
dikoreksi (sangat tidak mematuhi, biasanya terhadap orang tua), bolos
sekolah, lari dari rumah sampai bermalam, hubungan sex yang dini dan
aktivitas homosexual, dan agresi fisik.
Karakteristik yang paling menonjol dari gangguan ini adalah tidak
adanya pengendalian impuls, orang dengan gangguan ini memiliki tolerasi
akan frustrasi yang rendah dan sering bertindak tergesa-gesa tanpa
menunjukkan perhatian akan konsekuensi perbuatannya. (Sutardjo
A.Wiramihardja, 2007)
Individu dengan gangguan ini mampu menampilkan tingkah laku yang
menawan, kemampuan verbal yang baik, bahkan menarik perhatian lawan
jenis dengan perilakunya yang pandai merayu (Fitria Fauziyah, ). Namun di
balik tampilan luar yang positif tersebut, apabila terapis menelusuri riwayat
kehidupannya, biasanya dipenuhi dengan perilaku berbohong, membolos,
mecuri, dan aktivitas ilegal lainnya.

3.7 Avoidan (menghindar)


Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.7.1 Perasaan tegang dan takut yang menetap
3.7.2 Merasa dirinya tak mampu, tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain
3.7.3 Preokupasi (kebingunan) yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan
dalam situasi sosial
3.7.4 Keengganan untuk terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan
disukai
3.7.5 Pembatasan dalam gaya hidup karena alasan dalam keamanan diri
3.7.6 Menghindari aktivitas sosial karena takut dikritik, ditolak dan tidak
didukung. Ada juga ciri-ciri yang lain (Supratiknya, 1995) diantaranya :
3.7.7 Cenderung mudah mempersepsikan olok-olok atau pelecehan yang belum
tentu benar
3.7.8 Tidak percaya diri, rendah hati (inferiority complex) sehingga takut
berbicara di depan publik (Fitria Fauziyah, )
Individu dengan gangguan ini biasanya memiliki sejarah fobia sosial
atau malahan menjadi fobia sosial dalam perjalanan gangguannya. (Fitria
Fauziyah, )
3.8 Dependent
Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.8.1 Membiarkan orang lain mengambil sebagian besar keputusan untuk dirinya
3.8.2 Meletakkan kebutuhan dirinya lebih rendah dari orang lain kepada siapa ia
bergatung, dan kepatuhan yang tidak semestinya terhadap keinginan
mereka
3.8.3 Keengganan untuk mengajukan permintaan yang layak kepada orang
dimana ia bergantung
3.8.4 Perasaaan tidak enak dan tidak berdaya jika sendirian, karena ketakutan
yang dibesar-besarkan tentang ketidakmampuan mengurus dirinya sendiri
3.8.5 Terbatasnya kemammpuan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa
mendapat nasehat yang berlebihan dan dukungan dari orang lain. Ada juga
ciri yang lain (Fitria Fauziyah, ) yaitu :
3.8.6 Cenderung bersikap submisif atau patuh, Merasa tidak nyaman apabila
sendirian walaupun dalam jangka waktu yang singkat, Pesimis, merasa takut
untuk mengekspresikan dorongan seksual dan agresi
3.8.7 Kurang percaya diri dan merasa tidak berdaya, kendati sesungguhnya tidak
demikian. (Supratiknya, 1995)
Individu dengan gangguan ini cenderung mengalami kesulitan dalam
fungsi pekerjaan apabila mereka dituntut untuk bekerja secara mandiri dan
tidak disertai adanya pengawasan atau sepervisi yang intensif. (Fitria
Fauziyah, )
Gangguan ini ditandai adanya kesukaran dalam berpisah dengan orang
lain, dan interaksi sosialnya diwarnai oleh adanya kecemasan, tetapi bukan
karena karena takut mendapat kritik dari lingkungan seperti halnya orang
dengan gangguan avoidan melainkan karena senantiasa dirindukan,
disayangi, yang pada akhirnya membuat ia harus tergantung pada orang
lain.
Teori psikoanalisa melihat gangguan ini sebagai hasil fiksasi fase oral
perkembangan psikoseksual (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007), para
pengasuhnya sangat mengikuti apa yang dibutuhkan oleh penderita di masa
kecil atau menuntut perilaku dependent dari penderita sebagai imbalan dari
pengasuhnya. Akibatnya mereka tidak dapat mengembangkan perilaku
sehat yang tidak tergantung pada pengasuhnya itu.
3.9 Obsesif-Kompulsif
Obsesif artinya pemikiran yang berulang-ulang atau terus-menerus.
Sedangkan kompulsif artinya tindakan terpaksa yang berulang atau terus
menerus yang tidak efektif karena tidak dilaksanakan berdasarkan
rancangan terlebih dahulu. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)
Adapun ciri-ciri dari gangguan ini (Maramis, 1980) sebagi berikut :
3.9.1 Perfeksionisme
3.9.2 Keteratura (ketertiban dan kerapian)
3.9.3 Kaku dan kurang hangat dalam pergaulan dan kehidupan
3.9.4 Pemalu
3.9.5 Pengawasan diri yang tinggi. Ada juga ciri yang lain (Sutardjo
A.Wiramihardja, 2007) yaitu :
3.9.6 Perhatian yang berlebihan terhadap aturan, susunan dan juga adanya
ketertarikan yang luar biasa pada detail
Individu dengan gangguan ini cenderung bersikap serius dan tidak
memiliki rasa humor. Mereka berpegang teguh pada keyakinan bahwa suatu
aturan harus diikuti secara tepat dan tidak dapat diganggu gugat dengan
alasan apapun. Hal tersebut yang membuat mereka tampak tidak fleksibel
dan tidak dapat toleran. (Fitria Fauziyah, )

3.10 Agresif-Pasif
Adapun ciri-ciri dari gangguan ini (Supratiknya, 1995) sebagi berikut :
3.10.1 Tidak suka patuh pada tuntutan orang lain
3.10.2 Benci pada figur otoritas tetapi takut menyatakan atau mengungkapkannya
3.10.3 Kurang mampu untuk menunjukkan mengutarakan perasaan atau
pendapat termasuk yang berbeda dengan orang lain tanpa harus melukai
(tidak asertif) sehingga melalui cara penuh dendam yang tidak langsung
((Sutardjo A.Wiramihardja, 2001)
Kepribadian ini ditandai oleh sifat pasif dan agresif (Maramis, 1980 ).
Agresisifitas ini dapat dinyatakan secara pasif dengan cara menghambat,
bermuka masam, malas, dan keras kepala. Perilakunya merupakan cerminan
rasa permusuhan yang tidak pernah dinyatakan secara terang-terangan atau
cerminan rasa tidak puas terhadap seseorang ataupun situasi.
DAFTAR PUSTAKA

W.F, Maramis. 1980. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya.


AirlanggaUniversity Press

Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta. Kanisius

Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.


Jakarta. Nuh jaya

Fauziyah, Fitria. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta. UI Press

Wiramiharja, Sutarjo. 2007. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung. Refika


Aditama

Anda mungkin juga menyukai