Anda di halaman 1dari 60

BAB I

FRAKTUR

1. FRAKTUR
A. DEFINISI FRAKTUR
Defenisi Fraktur merupakan sebuah istilah medis yang berarti terjadinya patah
tulang yang ditandai dengan kondisi dimana hubungan atau kesatuan jaringan tulang
terputus.
a. Penyebab Terjadinya Fraktur
1. Akibat Trauma dan benturan yang keras pada bagian tubuh tertentu
2. Akibat tekanan yang terus menerus dan berlangsung lama
3. Adanya keadaan tidak normal pada tulang atau penyakit tertentu
4. Usia juga ikut mempengaruhi.
B. Anatomi dan biomekanika pada anggota gerak atas dan bawah
1. Bidang gerak dan Axis gerak
Terdiri dari 2 macam gerakan :
Kinematika
Mempelajari gerakan baik mengenai perpindahannya,kecepatan dan
percepatan,tanpa memperhatikan penyebabnya.
Kinetika
Berhubungan dengan kerja gaya-gaya benda dan akibat kerja gaya-gaya
tersebut.
Posisi Anatomis ( Anatomical Reference Position )
Adalah posisi tegak dengan kaki sedikit lebar,kedua tangan rileks
disamping badan,telapak tangan menghadap depan.
Pusat gravitasi : letaknya bervariasi tergantung posisi tubuh,beban
tambahan dan gerak tubuh.
Bidang gerak
Pada posisi anatomi ketiga bidang gerak bertemu di satu titik disebut center of
gravity ( COG ).Ketiga bidang gerak tersebut yaitu :
Sagital Plane ( antero posterior plane )
Membagi tubuh secara vertical kanan dan kiri.
Contoh: fleksi,ekstensi,
Frontal Plane
Contoh: abduksi,adduksi
Transverse Plane
Contoh: pronation dan supination lengan bawah.
Axis gerak
Ketika segmen tubuh manusia bergerak maka segmen tersebut berputar
melalui sumbu rotasi. Axis dibagi menjadi :
Transverse axis ( frontal axis ) : tegak lurus dengan bidang sagital.
Antero posterior axi : rotasi bidang frontal yang terjadi melalui sumbu
sagital.
Longitudinal axis : sumbu tempat terjadinya rotasi pada bidang tranversal.
Bentuk gerak
Gerak linier ( translasi ) : merupakan gerak sepanjang sebuah garis.
Gerak angular ( angular motion ) : merupakan rotasi pada garis imajiner
pusat ( axis ).
Gerak kombinasi ( general motion ): kombinasi gerak translasi dan rotasi.

2. Osteokinematika dan Arthokinematika


Osteokinematika dan Arthokinematik.
Gerak sendi dilihat dari gerak tulang.
Rotasi ayun.
Rotasi putar.
Rotasi spin.
ROM : Lingkup yag dicapai pada gerak sendi dalam bidang gerak dan sumbu
gerak tertentu.
End feel normal :
1. Soft end feel : jaringan lunak,contoh : fleksi elbow.
2. Elastic end feel : peregangan jaringan lunak capsule. ligamenter,contoh
endo/eksorotasi GH joint.
3. Hard end feel : pembatsan tulang,contoh ekstensi elbow.
End feel patologis :
1. Empty end feel : gerak melebihi ROM normal seolah tanpa
penghambat,contoh : dislokasi sendi.
2. Springy end feel : pembatasan oleh ketegangan otot,contoh : fleksi hip
pada posisi ekstensi knee.
3. Firm end feel : pembatasan oleh kapsul ligament yang
memendek,contoh :eksorotasi pada frozen shoulder.
Arthokinematika : Dilihat dari gerak antar permukaan sendi
Traksi-compressi : gerak permukan sendi tegak lurus terhadap sendi
pasangannya.
Translasi : gerak permukaan sendi sejajar terhadap sendi pasangannya .
Spin : gerak putar sesuai sumbu tulang.

3. Biomekanika hip dan pelvic


Hubungan lumbale-pelvic-hip complex.
Lumbale-pelvis-hip mrpk satuan fungsi kompleks; dlm gerak tubuh,
ambulasi dan gerak anggota bawah selalu terjadi simultan.
Pada fleksi-ekstensi lumbale posisi berdiri selalu diikuti gerak sacroiliaca
dan hip secara proporsional sbg lumbopelvic rhythm.
Demikian pula gerak fleksi panggul ataupun berjalan, gerak panggul diikuti
gerak sacro iliac dan lumbale.
Hubungan Sacrum dengan spine sebagai lumbosacral, dengan pelvis sebagai
sacroiliac joint, dan dengan coccygeus sebagai sacrococcygea. Antar pelvis
kiri-kanan dihubungkan symphisis pubis dan hungan dengan anggota gerak
bawah sebagai hip joint.
C. Penyebab Fraktur, Meliputi Trauma, Spontaneous/Phatologis Fraktur
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan
mobil, olah raga atau karena jatuh.Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan
tulang lebih besar daripada kekuatan tulang.
Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh:
- Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
- Usia penderita
- Kelenturan tulang
- Jenis tulang.
Dengan tenaga yang sangat ringan, tulang yang rapuh karena osteo Porosis atau
tumor bisa mengalami patah tulang
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai
cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan
oleh beberapa hal yaitu:
1. Fraktur akibat peristiwa trauma. Sebagisan fraktur disebabkan oleh kekuatan yang
tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan
pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah
pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif
disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.

2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan. Retak dapat terjadi pada tulang
seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan
ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada
atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur petologik karena kelemahan pada tulang. Fraktur dapat terjadi oleh
tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau
tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
D. Tanda-Tanda Umum Dari Fraktur
Manifestasi klinis fraktur adalah didapatkan adanya riwayat trauma, hilangnya
fungsi, tanda-tanda inflamasi yang berupa nyeri akut dan berat, pembengkakan lokal,
merah/perubahan warna, dan panas pada daerah tulang yang patah. Selain itu ditandai
juga dengan deformitas, dapat berupa angulasi, rotasi, atau pemendekan, serta
krepitasi. Apabila fraktur terjadi pada ekstremitas atau persendian, maka akan ditemui
keterbatasan LGS (lingkup gerak sendi). Pseudoartrosis dan gerakan abnormal.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan X-foto, yang harus dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu
anterior-posterior dan lateral. Dengan pemeriksaan X-foto ini dapat dilihat ada
tidaknya patah tulang, luas, dan keadaan fragmen tulang. Pemeriksaan ini juga
berguna untuk mengikuti proses penyembuhan tulang. 3, 5
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut. Bila
berdasarkan pengamatan klinis diduga ada fraktur, maka perlakukanlah sebagai
fraktur sampai terbukti lain.
E. Jenis-jenis Fraktur atau Patah tulang
Secara garis besar fraktur dapat dibagi kedalam 3 jenis yaitu sebagai berikut:
1. Fraktur Tertutup / Close fraktur
Fraktur tertutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian
luar permukaan kulit tidak lah rusak/masih utuh, sehingga bagian tulang yang
patah tidak berhubungang dengan bagian luar.
2. Fraktur Terbuka / Open Fraktur
Fraktur terbuka adalah suatu kondisi patah tulang yang disertai dengan luka pada
daerah tulang yang patah, atau adanya kerusakan pada permukaan kulit sekitar,
sehingga bagian tulang yang patah berhubungan dengan udara luar, biasanya juga
ikut terjadinya pendarahan yang banyak, tulang yang patah juga ikut terlihat
menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka
membuat tulang terihat menonjol kelua. Pada fraktur jenis ini memerlukan
pertolongan lebih cepat karena adanya resiko terjadinya infeksi dan faktor
penyulit lainnya.
3. Fraktur Kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi dua keadaan contohnya pada bagian exstermitas terjadi
patah tulang dan pada sendinya juga terjadi dislokasi.
F. Proses Penyembuhan Fraktur
Secara ringkas tahap penyembuhan fraktur dibagi menjadi 5 tahap sebagai berikut
1. Stadium Pembentukan Hematom :
Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh
darah yang robek
Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar (periosteum & otot)
Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam
2. Stadium Proliferasi Sel / Inflamasi :
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi fraktur
Sel-sel ini menjadi precursor osteoblast
Sel-sel ini aktif tumbuh ke arah fragmen tulang
Proliferasi juga terjadi di jaringan sumsum tulang
Terjadi setelah hari ke-2 kecelakaan terjadi
3. Stadium Pembentukan Kallus :
Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus)
Kallus memberikan rigiditas pada fraktur
Jika terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah menyatu
Terjadi setelah 6-10 hari setelah kecelakaan terjadi
4. Stadium Konsolidasi :
Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi. Fraktur teraba telah menyatu
Secara bertahap menjadi tulang mature
Terjadi pada minggu ke 3-10 setelah kecelakaan
5. Stadium Remodeling :
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur
Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklast
Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, pada dewasa masih ada tanda
penebalan tulang.
Proses penyembuhan tulang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, mencakup:
usia, lokasi dan jenis fraktur, kerusakan jaringan sekitar fraktur, banyaknya gerakan
pada fragmen fraktur, pengobatan, adanya infeksi atau penyakit lain yang menyertai
(seperti diabetes mellitus), derajat trauma, gap antara ujung fragmen dan pendarahan
pada lokasi fraktur.
G. Apa Saja Yang Mnjadi Komplikasi Fraktur
a. Komplikasi segera
1. Komplikasi lokal dapat berupa kerusakan kulit, pembuluh darah (hematom,
spasme arteri, dan kontusio), kerusakan saraf, kerusakan otot, dan kerusakan
organ dalam.
2. Komplikasi sistemik syok hemoragik
b. Komplikasi awal
1. Komplikasi lokal sekuele dari komplikasi segera, berupa nekrosis kulit,
gangren, trombosis vena, komplikasi pada persendian (artritis), dan pada
tulang (infeksi/osteomielitis).
2. Komplikasi sistemik emboli lemak, emboli paru, pneumonia, tetanus,
delerium tremens.
c. Komplikasi lanjut
1. Komplikasi pada persendian dapat terjadi kontraktur dan kekakuan sendi
persisten, penyakit sendi degeneratif pasca trauma.
2. Komplikasi tulang yakni penyembuhan tulang abnormal (malunion, delayed
union dan non union).
a. Mal union adalah keadaan dimana tulang menyambung dalam posisi tidak
anatomis, bisa sembuh dengan pemendekan, sembuh dengan angulasi,
atau sembuh dengan rotasi.
b. Delayed union adalah proses penyembuhan patah tulang yang melebihi
waktu yang diharapkan, hal ini berarti bahwa proses terjadi lebih lama dari
batas waktu yaitu umumnya 3-5 bulan.6
c. Non union adalah keadaan dimana suatu proses penyembuhan patah
tulang berhenti sama sekali dan penyembuhan patah tulang tidak akan
terjadi tanpa koreksi pembedahan.
3. Komplikasi pada otot miositis pasca trauma, ruptur tendo lanjut
4. Komplikasi saraf Tardy nerve palsy
H. Prinsip Penanganan Fraktur Secara Konservatif; Mengembalikan Secara
Anatomis / Fungsional Bag Yang Mengalami Fraktur ( Reduksi, Reposisi,
Imobilisasi ).
Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi:
a. Reduksi, yaitu : restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat
diterima.
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan posisi anatomis normal.

Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi


anatomik normalnya.
Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka.4 Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip
yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus,
reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami
penyembuhan.
Metode reduksi :
1. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan Manipulasi dan Traksi manual. Sebelum reduksi dan
imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai
ketentuan dan bila diperlukan diberi anestesia. Ektremitas dipertahankan
dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang
oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ektremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
2. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
3. Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, palt, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi.
b. Imobilisasi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan.
Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi
penyembuhan.
Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat eksternal
(bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan
alat-alat internal (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll).
Tabel 1. Perkiraan Waktu Imobilisasi yang Dibutuhkan untuk Penyatuan
Tulang Fraktur
c. Rehabilitasi
Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian
yang sakit.
Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan
reduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak,
memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan
isometrik dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari, dan
melakukan aktifitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian
fungsi. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai
batasan terapeutik.
Tabel 2. Ringkasan Tindakan terhadap Fraktur

I. Prinsip Penanganan Fraktur Secara Operatif; Meliputi ORIF Dan OREF


A. Definisi.
Fraktur cruris sepertiga distal adalah terputusnya hubungan kontinuitas tulang
tibia dan fibula pada daerah sepertiga bawah tungkai bawah (Apply, 1995).
Ilizarov, Bone lengthening, Bone distraction osteogenesis atau Callotaxis adalah
suatu istilah yang sama dalam program pemanjangan tulang. Ilizarov
dikembangkan pertama kali oleh seorang dari Siberia Rusia yang bernama
Gabriel Abramovich Ilizarov. Ilizarov adalah suatu alat eksternal fiksasi yang
berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran tulang dan untuk membantu
dalam proses pemanjangan tulang (Ismail Maryanto, 2003).
a. Indikasi pemasangan Ilizarov :
1) Menyamakan panjang lengan atau tungkai yang tidak sama,
2) Menyamakan dan menumbuhkan daerah tulang yang hilang akibat patah
tulang terbuka yang hilang,
3) Membuang tulang yang infeksi dan diisi dengan cara menumbuhkan
tulang yang sehat,
4) Menambah tinggi badan,baca selengkapnya
b. Kontra indikasi pemasangan Ilizarov :
1) Open fraktur dengan soft tissue yang perlu penanganan lanjut yang lebih
baik bila dipasang single planar fiksator,
2) Fraktur intra artikuler yang perlu ORIF,
3) Simple fraktur (bisa dengan pemasangan plate and screw nail wire),
4) Fraktur pada anak (fresh).
c. Prosedur pemutaran Ilizarov :
1) Pada rod (batang berulir) diameter 8 mm pemutaran penuh satu
lingkaran (360) setara dengan pergerakan 1,2 mm,
2) Pada rod 6 mm setara dengan 1 mm,
3) Proses pemanjangan tulang dalam sehari maksimal 1 mm dan dibagi
dalam beberapa kali siklus pemutaran.
d. Kekurangan dari system Ilizarov adalah
1) Waktu operasi lama,
2) Perawatan lama perlu kerja sama yang baik dengan pasien,
3) Nyeri,
4) Potensial terjadi gangguan neurovaskuler,
5) Penderita harus kontrol secara teratur,
6) Siap secara psikologis bagi pemakainya,
7) Kaku Sendi. (Ismail Maryanto, 2003).
B. Patologi.

Pada tindakan operasi pemanjangan tulang tibia dengan menggunakan ilizarov


maka prosedur pemasangannya, terlebih dahulu akan dilakukan osteotomi atau
pemotongan tulang kemudian ditempelkan lagi dan dilakukan fiksasi dengan alat-
alat fiksator eksterna (Ismail Maryanto, 2003). Pada tindakan operasi maka akan
dilakukan incisi, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan lunak di bawah kulit
maupun pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya odema, nyeri, dan
penurunan lingkup gerak sendi. Menurut Dandy (1993) yang dikutip oleh
Hanssenkam (1999), bahwa pada dasarnya penyembuhan pada cidera jaringan
lunak ada 3 tahap yaitu injury, inflamation, dan repair.
a. Injury
Pada tahap ini ,jaringan lunak yang disayat pada proses operasi
menyebabkan luka dan perdarahan serta kematian beberapa jaringan tersebut.
Pada ruang incisi akan terjadi perdarahan yang kemudian akan diikuti
penggumpalan. Setelah itu tubuh akan mengeluarkan leukosit untuk fagositosis
jaringan yang mati.
b. Inflamation
.Pada masa ini juga terdapat tanda-tanda peradangan seperti bengkak, nyeri,
teraba panas, dan kemerah-merahan, dan kehilangan fungsi. Pada tahap ini
karena terjadi kerusakan pada jaringan lunak akan menstimulus pengeluaran
zat-zat kimiawi dari dalam tubuh yang membuat nyeri seperti histamin dan
bradykinin. Bengkak terjadi karena peimbunan exudat dibawah kulit. Teraba
panas dan kemerah-merahan terjadi karena perubahan vaskuler berupa
vasodilatasi pembuluh darah, sehingga darah banyak terkonsentrasi pada luka
tersebut, (Lachmann,1988).
c. Repair
Pada tahap ini penyembuhan terjadi dengan mengganti jaringan yang rusak
atau hilang dengan jaringan subtitusi (jaringan pengganti). Jaringan subtitusi
yang mengganti jaringan asal yang rusak atau hilang adalah jaringan kolagen
(collagen), sehingga akan timbul fibrosis yang akhirnya akan berwujud sebagai
jaringan parut (cicatrix).
Pada tindakan operasi, tulang yang mengalami perpatahan akan disambung
kembali. Menurut Apley (1995), secara fisiologis tulang yang mengalami
perpatahan mempunyai kemampuan menyambung. Proses penyambungan tulang
dibagi dalam 5 fase, yaitu :
a. Fase Hematoma
Pada saat terjadi fraktur pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma
disekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak
mendapat persediaan darah akan mati.
b. Fase Proliferasi
Setelah fraktur terdapat reaksi radang akut yang disertai proliferasi sel dibawah
periosteum dan di dalam saluran medula akan tertembus. Sel-sel ini merupakan
awal dari osteoblast, yang akan melepaskan substansi interseluler. Jaringan
seluler mengelilingi masing-masing fragmen yang akan menghubungkan tempat
fraktur. Hematoma membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang
halus berkembang kedalam daerah itu.
c. Fase pembentukan kalus.
Jaringan seluler berubah menjadi osteoblast dan osteoklast. Osteoblast
melepaskan matrik interseluler dan polisakarida yang akan menjadi garam
kalsium dan mengendap disitu sehingga terjadi jaringan kalus. Tulang yang
dirangkai (woven bone) muncul pada kalus. Tulang yang mati di bersihkan.
d. Fase Konsolidasi
Aktivitas osteoklast berlanjut, tulang yag dirangkai digantikan oleh tulang
lamelar dan fraktur dipersatukan secara kuat.
e. Fase Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang padat. Tulang yang baru
berbentuk sehingga mirip dengan struktur normal.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi.
Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan menggunakan gerak
tubuh baik secara active maupun passive untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas,
rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner,1996).
Teknologi intervensi Fisioterapi yang dapat digunakan antara lain :
1. Positioning
Dengan mengelevasikan tungkai yang sakit maka dengan posisi ini bermanfaat
untuk mengurangi oedem.
2. Rileks passive movement
Merupakan gerakan yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai
gerakan dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara
pasif, oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak rileks
passive movement ini diharapkan otot yang dilatih menjadi rilek maka menyebabkan
efek pengurangan atau penurunan nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya
keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996). Mekanisme
penurunan nyeri oleh gerakan rileks passive movement sebagai berikut : adanya
stimulasi kinestetik berupa gerakan rileks pasif movement yang murni berasal dari
luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien akan merangsang
muscle spindle dan organ tendo golgi dalam pengaturan motorik, fungsi dari muscle
spindle adalah
(1) mendeteksi perubahan panjang serabut otot,
(2) mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot,
sedangkan fungsi dari organ tedo golgi adalah mendeteksi ketegangan yang
bekerja pada tendo golgi saat otot berkontraksi (Guyton, 1991). Dengan
terstimulasinya muscle spindle dan organ tendo golgi lewat gerakan rileks passive
movement akan mempengaruhi mekanisme kontraksi dan rileksasi otot, yaitu bahwa
ion-ion calsium secara normal berada dalam ruang reticulum sarcoplasma. Potensial
aksi menyebar lewat tubulus transversum dan melepaskan Ca 2+. Filamen-filamen
actin (garis tipis) menyelip diantara filamen-filamen myosin, dan garis-garis
bergerak saling mendekati. Ca 2+ kemudian dipompakan kedalam reticulum
sarcoplasma dan otot kemudian mengendor (Chusid, 1993). Dengan kedaaan otot
yang sudah mengendor maka penurunan nyeri dapat terjadi melalui mekanisme-
mekanisme sebagai berikut:
(1) Tidak ada lagi perbedaan tekanan intramuscular yang menekan nociceptor
sehingga nociceptor tidak terangsang untuk menimbulkan nyeri,
(2) Dengan gerakan rileks passive movement yang berulang-ulang maka nociceptor
akan beradaptasi terhadap nyeri.
Suatu sifat khusus dari semua reseptor sensoris adalah bahwa mereka beradaptasi
sebagian atau sama sekali terhadap rangsang mereka setelah suatu periode waktu.
Yaitu, bila suatu rangsang sensoris kontinu bekerja untuk pertama kali, mula-mula
reseptor tersebut bereaksi dengan kecepatan impuls yang sangat tinggi, kemudian
secara progresif makin berkurang sampai akhirnya banyak diantaranya sama sekali
tidak bereaksi lagi . Hal ini dapat pula untuk menentukan dosis gerakan rileks
passive movement agar dapat menstimulasi muscle spindle.
Mekanisme umum dari adaptasi dibagi dua yaitu :
1) Sebagian adaptasi disebabkan oleh penyesuaian didalam struktur reseptor itu
sendiri,
2) Sebagian disebabkan oleh penyesuaian didalam fibril saraf terminal. (Guyton,
1991)
3) Dengan mengendornya otot melalui gerakan rileks passive movement akan
mempengaruhi spasme otot dan iskemi jaringan sebagai penyebab nyeri.
Spasme otot sering menimbulkan nyeri alasanya mungkin dua macam, yaitu :
(1) Otot yang sedang berkontraksi menekan pembuluh darah intramuscular dan
mengurangi atau menghentikan sama sekali aliran darah,
(2) Kontraksi otot meningkatkan kecepatan metabolisme otot tersebut.
Oleh karena itu , spasme otot mungkin menyebabkan iskemi otot relatif sehingga
timbul nyeri iskemik yang khas. Penyebab nyeri pada iskemik belum diketahui, salah
satu penyebab nyeri pada iskemik yang diasumsikan adalah pengumpulan sejumlah
besar asam laktat didalam jaringan, yang terbentuk sebagai akibat metabolisme
anaerobic yang terjadi selama iskemik, tetapi, mungkin pila zat kimia lain, seperti
bradikinin dan poliopeptida, terbentuk didalam jaringan karena kerusakan sel otot
dan bahwa inilah, bukannya asam laktat yang merangsang ujung saraf nyeri.
(Guyton, 1991).
3 Passive joint mobility
Gerakan tubuh manusia terjadi pada persendian. Macam gerakan dan ROM
tergantung dari struktur anatomi sendi, juga posisi otot yang mengontrol gerakan tadi.
Kapsular ligament yang seluruhnya terdapat didalam kapsul sendi akan
memberikan penguat terhadap synovial membrane, dimana synovial membrane tadi
akan mengeluarkan cairan kedalam rongga sendi yang menjamin gerakan sendi tetap
licin, juga memberikan makan terhadap cartilago.
Pada kaki banyak terdapat persendian, sehingga memungkinkan kaki dapat
berjalan, menyesuaikan bermacam-macam permukaan dan tampak lentur atau
mengeper.
4 Active exercise
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh itu sendiri.
Gerak dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari.
Gerak yang dilakukan secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai
lingkup gerak penuh dan diikuti rileksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri
(Kisner,1996). Mekanisme gerak yang disadari dalam penurunan nyeri adalah bahwa
perananan muscle spindle sangat penting dalam mekanisme ini, sama pentingnya
dalam penurunan nyeri dengan menggunakan gerakan pasif. Untuk menekankan
pentingnya system eferen gamma, eferen gamma adalah suatu serabut saraf kecil yang
bertugas merangsang ujung-ujung serabut intrafusal agar daerah sentral berkontraksi.
Orang perlu menyadari bahwa 31 persen dari semua serabut saraf motorik ke otot
merupakan serabut eferen gamma, bukannya serabut motorik besar jenis A alfa. Bila
sinyal dikirimkan dari korteks motorik atau dari daerah otak lain apapun ke
motoneuron gamma hampir selalu terangsang pada saat bersamaan. Ini menyebabkan
serabut otot ekstrafusal dan intrafusal berkontraksi pada saat yang sama.
Tujuan mengkontraksikan serabut muscle spindle pada saat bersamaan dengan
kontraksi serabut otot rangka besar mungkin ada dua macam : (1) mencegah muscle
spindle menentang kontraksi otot, (2) mempertahankan sifat responsif muscle spindle
terhadap peredaman dan beban yang tepat dengan tidak menghiraukan perubahan
panjang otot. Dengan bekerjanya muscle spindle secara sadar dan optimal maka
dengan mekanisme adaptasi dan rileksasi akan menimbulkan penurunan nyeri.
(Guyton,1991).
Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise dan resited
active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi nyeri karena merangsang rileksasi
propioseptif. Resisted active exercise dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan
ini akan meningkatkan rekruitment motor unit-motor unit sehingga akan semakin
banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat dilakukan dengan peningkatan
secara bertahap beban atau tahanan yang diberikan dengan penurunan frekuensi
pengulangan (Kisner, 1996). Mekanime peningkatan kekuatan otot melalui gerakan
resisted active execise adalah dengan adanya irradiasi atau over flow reaction akan
mempengaruhi rangsangan terhadap motor unit, motor unit merupakan suatu neuron
dan group otot yang disarafinya. Komponen-komponen serabut otot akan berkontraksi
bila motor unit tersebut diaktifir dengan memberikan rangsangan pada cell (AHC)nya.
Jadi kekuatan kontraksi otot ditentukan motor unitnya, otot akan berkontraksi secara
kuat bila otot tersebut semakin banyak menerima rangsangan motor unitnya. Karena
otot terdiri dari serabut-serabut dengan motor unit yang mensyarafinya, maka
kontraksi otot secara keseluruhan tergantung dari jumlah motor unit yang mengaktifir
otot tersebut pada saat itu. Jumlah motor unit yang besar akan menimbulkan kontraksi
otot yang kuat, sedangkan kontraksi otot yang lemah hanya membutuhkan keaktifan
motor unit relatif lebih sedikit.(Heri Priatna, 1983).
5. Latihan jalan
Aspek terpenting pada penderita fraktur tungkai bawah adalah kemampuan
berjalan ,latihan yang yang dilaksanakan adalah ambulasi non weight bearing, dengan
menggunakan alat bantu berupa 2 buah kruk, caranya kedua kruk dilangkahkan
kemudian diikuti kaki yang sehat sementara kaki yang sakit menggantung (Cash,
1966). Syarat berjalan dengan alat Bantu (1) Otot-otot lengan harus kuat, (2) Harus
mempertahankan keseimbangan dalam posisi berdiri dengan alat bantu, (3) Bisa
berdiri lama minimal 15 menit.(Tidys, 1961).
J. Jenis Jenis Alat Fiksasi Dan Bantu Jalan.
1. Alat Bantu Jalan Alat bantu jalan yaitu alat yang di gunakan untuk membantu
klien supaya dapat berjalan dan bergerak. (suratun dkk,2008) Alat bantu jalan
merupakan sebuah alat yang dipergunakan untuk memudahkan klien dalam
berjalan agar terhindar dari resiko cidera dan juga menurunkan ketergantungan
pada orang lain. Alat bantu jalan pasien adalah alat bantu jalan yang digunakan
pada penderita/pasien yang mengalami penurunan kekuatan otot dan patah tulang
pada anggota gerak bawah serta gangguan keseimbangan. (kozier barbara dkk,
2009) 2. Jeni- Jenis Alat Bantu Jalan Jenis-jenis alat bantu yang dipakai di
antaranya:
a.Walker
b. Kruk
c.Tongkat
a. Walker Walker adalah suatu alat yang sangat ringan, mudah pindahkan,
setinggi pinggang, terbuat dari pipa logam. Walker mempunyai empat
penyangga dan kaki yang kokoh. Pasien memegang pemegang tangan pada
batang di bagian atas, melangkah, memindahkan walker lebih lanjut, dan
melangkah lagi. Walker ditujukan bagi klien yang membutuhkan lebih banyak
bantuan dari yang bisa diberikan oleh tongkat. Walker mempunyai empat kaki
dengan ujung dilapisi karet dan pegangan tangan yang dilapisi plastik. Walker
standar membutuhkan kekuatan parsial pada kedua tangan dan pergelanga
tangan; ekstensor siku yang kuat, dan depresor bahu yang kuat pula. Selain itu
klien juga harus mampu menahan setengah berat badan pada kedua
tungkai.Walker dengan empat roda atau walker beroda tidak perlu diangkat
ketika hendak bergerak, namun walker jenis ini kurang stabil dibandingkan
dengan walker jenis standar. Beberapa jenis walker beroda mempunyai tempat
duduk pada bagian belakang sehingga klien dapat duduk untuk istirahat jika
diinginkan. Perawat mungkin harus menyesuaikan tinggi walker sehingga
penyangga tangan berada dibawah pinggang klien dan siku klien agak fleksi.
Walker yang terlalu rendah dapat menyebabkan klien membungkuk,
sementara yang terlalu tinggi dapat membuat klien tidak dapat meluruskan
lengannya.
1. Indikasi
a. Pasien dengan kelemahan kaki
b. Post stroke.
c. Obesitas
d. Pasien tirah baring lama
e. Pasien yang terdapat fraktur pada kaki
2. Kontra Indikasi
a. Penderita dalam keadaan bedrest.
b. Penderita dengan post op.
3. Fungsi
a.Dapat menopang dan memberikan rasa aman pada pasien.
b. Membantu mempercepat pengembalian kebugaran
c.Menjaga pasien pada saat melakukan latihan berjalan
4. Hal-Hal yang perlu diperhatikan
a.Pasien harus menggunakan sepatu rata dan tidak licin waktu akan
latihan. b. Kekuatan otot tangan dan kaki.
b. Keseimbangan berdiri.
5. Cara Penggunaan Alat Bantu Walker Tujuan
1. Membantu Mempertahankan keseimbangan
2. Menghindari resiko saat berjalan
3. Mengurangi dampak negatif imobilitas
4. Menopang berat badan pasien
Persiapan Alat
1.Walker
2.Sandal yang sesuai Prosedur
3.Beri salam
4.Jelaskan tujuan prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
5.Cuci tangan
6.Jelaskan kepada klien cara berjalan menggunakan walker
7.Bantu klien berdiri
8.Minta klien untuk memegang gagang walker
9.Minta klien untuk berjalan maju menggunakan bantuan walker,
dengan tetap mempertahankan 4 titik walker di atas lantai
10. Pastikan klien mengangkat kakinya pada saat berjalan,
bukan menarik
11. Selalu siapkan diri anda di sisi klien untuuk membantu
menjaga keseimbangan jika dibutuhkan
12. Kaji setiap kemajuan yang dicapai klien, dan lakukan
koreksi jika perlu 11. Cuci tangan
b. Tongkat Tongkat adalah alat yang ringan, mudah dipindahkan, setinggi
pinggang, terbuat dari kayu atau logam. Tongkat alat bantu untuk berjalan,
yang diciptakan untuk mengatur keseimbangan pada saat akan berjalan. Cara
untuk menggunakan tongkat ini kaki yang terlemah bergerak maju dengan
tongkat sehingga berat badan dibagi antara tongkat dan kaki yang terkuat.
Kaki yang terkuat maju setelah tongkat sehingga berat badan dibagi antara
tongkat dan kaki yang terkuat. Kaki yang terkuat maju setelah tongkat
sehingga kaki terlemah dan berat badan disokong oleh tongkat dan kaki
terlemah. Untuk berjalan, klien mengulangi tahap ini terus menerus.
1. Indikasi
a. Hemiparase
b. Pasien dengan kelemahan kaki / post stroke.
c. Obesitas
2. Kontra Indikasi
a. Penderita dalam keadaan bedrest.
b. Penderita dengan post op.
3. Tipe Tongkat
a. Tongkat standar yang berbentuk lurus, tongkat standar mempunyai
panjang 91 cm.
b. Tongkat kaki tiga
c. Tongkat kaki empat.(kozier barbara dkk, 2009)
4. Persyaratan tongkat meliputi:
a. Ujung tongkat yang mengenai lantai diberi karet setebal 3,75 cm untuk
memberi stabilitas optimal pada klien.
b. Ukuran tongkat setinggi pangkal paha
c. Siku klien dapat defleksi (pembelokan) diatas tongkat kira-kira 25-
300. (suratun dkk,2008)
5. Cara Penggunaan Alat Bantu Tongkat Tujuan
1. Membantu Mempertahankan keseimbangan
2. Menghindari resiko saat berjalan
3. Mengurangi dampak negatif imobilitas
Persiapan Alat
1. Tongkat dengan ukuran panjang yang sesuai
2. Sandal yang sesuai
Prosedur
1. Beri salam
2. Jelaskan tujuan prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
3. Cuci tangan
4. Jelaskan kepada klien cara berjalan menggunakan tongkat
5. Bantu klien berdiri
6. Minta klien untuk memegang tongkat pada sisi tubuh yang kuat
dan sehat 7. Letakkan tongkat sekitar 30 cm di depan kaki klien
7. Minta klien melangkahkan kaki yang kuat ke depan
8. Selalu siapkan diri anda di sisi klien untuuk membantu menjaga
keseimbangan jika dibutuhkan
9. Kaji setiap kemajuan yang dicapai klien, dan lakukan koreksi
jika perlu
10. Cuci tangan
c. Kruk
Kruk yaitu tongkat atau alat bantu untuk berjalan, biasanya digunakan secara
berpasangan yang di ciptakan untuk mengatur keseimbangan pada saat akan
berjalan. (suratun dkk,2008) Kruk harus diukur panjang yang sesuai, dan
pengukuran kruk meliputi tiga area: tinggiu klien, jarak antara bantalan kruk
dan aksila, dan sudut fleksi siku. Pengukuran dilakukan dengan satu dari dua
metoda berikut, dengan klien berada pada posisi supine atau berdiri. Pada
poisis telentang-ujung kruk berada 15cm disamping tumit klien. Mengukur
kruk dengan posisi pasien telentang :
a. Klien terletak pada posisi telentang dan perawat ukuran dari lipatan
anterior ketiak tiga sampai tumit kaki empat jari ( 4-5 cm) lebarnya.
Mengukur kruk dengan posisi pasien berdiri :
b. Klien berdiri tegak dan mendukung berat badan dengan cengkeraman
tangan kruk
c. siku harus difleksiakan 15 sampai 30 derajat. Fleksi siku diperiksa
dengan menggunakan goniometer. Lebar kruk harus 3-4 lebar jari (4-5
cm) dibawah aksila.
1. Indikasi
a. Pasien dengan fraktur ekstremitas bawah.
b. Pasien dengan post op amputasi ekstremitas bawah.
c. Pasien dengan kelemahan kaki / post stroke.
2. Kontra Indikasi
a. Penderita demam dengan suhu tubuh lebih dari 37o C.
b. Penderita dalam keadaan bedrest.
c. Penderita dengan post op
3. Manfaat Penggunaan Kruk
a. Memelihara dan mengembalikan fungsi otot.
b. Mencegah kelainan bentuk, seperti kaki menjadi bengkok.
c. Memelihara dan meningkatkan kekuatan otot.
d. Mencegah komplikasi, seperti otot mengecil dan kekakuan sendi.
(suratun dkk,2008)
4. Fungsi Kruk
a. Sebagai alat bantu berjalan.
b. Mengatur atau memberi keseimbangan waktu berjalan.
c. Membantu menyokong sebagian berat badan klien
5. Cara Penggunaan Alat Bantu Kruk
Tujuan
1. Membantu Mempertahankan keseimbangan
2. Menghindari resiko saat berjalan
3. Mengurangi dampak negatif imobilitas
Persiapan Alat
1. Sepasang kruk
2. Sandal yang sesuai Prosedur
3. Beri salam
4. Jelaskan tujuan prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
5. Cuci tangan
6. Jelaskan kepada klien cara berjalan menggunakan kruk :
Gaya berjalan 4 titik - Bantu klien berdiri dengan ditopang
dua buah kruk - Letakkan kedua tungkai klien dalam posisi
sejajar dengan kedua titik tumpu kruk berada di depan kedua
kaki klien - Minta klien untuk berjalan dengan menggerakkan
kruk kanan kedepan, dan dilanjutkan dengan menggerakkan
tungkai kiri kedepan, - Selanjutnya, gerakkan kruk kiri ke
depan, kemudian tungakai kanan juga kedepan - Ulangi
langkah tersebut setiap klai jalan
Gaya berjalan 3 titik - Gerakkan tungkai kiri dan kedua kruk
ke depan, kemudia gerakkan tungkai kanan ke depan - Ulangi
langkah tersebut setiap kali berjalan
Gaya berjalan 2 titik - Gerakkan tungkai kiri dan kruk kanan
ke depan secara bersamaan, kemudian gerakkan tungkai
kanan dan kruk kiri ke depan juga bersamaan - Ulangi
langkah tersebut setiap klai berjalan
7. Selalu siapkan diri anda di sisi klien untuuk membantu menjaga
keseimbangan jika dibutuhkan
8. Kaji setiap kemajuan yang dicapai klien, dan lakukan koreksi
jika perlu
9. Cuci tangan
6. Cara naik tangga:
a. Lakukan posisi tiga titik
b. Bebankan berat badan pada kruk
c. Julurkan tungkai yang tidak sakit antara kruk dan anak tangga
d. Pindahkan beban berat badan dari kruk ketungkai yang tidak sakit
e. Luruskan kedua kruk dengan kaki yang tidak sakit diatas anak
tangga
7. Cara turun tangga:
a. Bebankan berat badan pada kaki yang tidak sakit
b. Letakkan kruk pada anak tangga dan mulai memindahkan berat
badan pada kruk, gerakkan kaki yang sakit kedepan
c. Luruskan kaki yang tidak sakit pada anak tangga dengan kruk
d. Ajarkan klien tentang cara duduk di kursi dancara beranjakdari
kursi.
8. Cara duduk:
a. Klien diposisi tengah depan kursi dengan aspek posterior kaki
menyentuh kursi
b. Klien memegang kedua kruk dengan tangan berlawanan dengan
tungkai yang sakit. Jika kedua tungkai sakit kruk ditahan dan
pegang pada tangan klien yang lebih kuat
c. Klien meraih tangan kursi dengan tangan yang lain dan
merendahkan tubuh kekursi
9. Cara bangun:
a. Lakukan tiga langkah di atas dalam urutan sebaliknya.
b. Cuci tangan
c. Catat cara berjalan dan prosedur yang diajarkan serta kemampuan
klien untuk melakukan cara berjalan dalam catatan perawat.
(suratundkk,2008).
BAB II
PASCAH BEDAH

2. TEORI PASCA BEDAH


A. Jenis-Jenis Pembedahan
Jenis-jenis pembedahan berdasarkan lokasi
berdasarkan lokasinya , pembedahan dapat dibagi menjadi bedah toraks
kardiovaskuler, bedah neurologi, bedah orthopedi, bedah kepala, bedah dan lain-
lain.
Jenis-jenis pembedahan berdasarkan tujuan
Berdasarkan tujuaannya pembedahan dibagi menjadi:
1. Pembedahan diagnosis, ditujukan untuk menentukan sebab terjadinya gejala
penyakit seperti biopsi, eksplorasi, dan laparotomi.
2. Pembedahan kuratif, dilakukan untuk mengambil bagian dari penyakit, misalnya
pembedahan apendektomi.
3. Pembedahan restoratif, dilakukan untuk memperbaikideformitas,
menyambungdaerah yang terpisah.
4. Pembedahan paliatif, dilakukan untuk mengurangi gejala tanpa menyembuhkan
penyakit.
5. Pembedahan kosmetik, dilakukan untuk memperbaiki bentuk dalam tubuh seperti
rhinoplasti.
B. Pengertian Anestesia
Anestesia adalah penghilangan kesadaran sementara sehingga menyebabkan
hilang rasa pada tubuh tersebut. Tujuannya untuk penghilang rasa sakit ketika
dilakukan tindakan pembedahan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu dosis yang
diberikan sesuai dengan jenis pembedahan atau operasi kecil/besar sesuai waktu yang
dibutuhkan selama operasi dilakukan.
Jenis-jenis anestesia
1. Anestesia umum, dilakukan umtuk memblok pusat kesadaran otak dengan
menghilangkan kesadaran, menimbulkan relaksasi, dan hilangnya rasa. Pada
umumnya, metode pemberiannya adalah dengan inhalasi dan intravena.
2. Anestesia regional, dilakukan pada pasien yang masih dalam keadaan sadar
untuk meniadakan proses konduktivitas pada ujung atau serabut saraf sensoris di
bagian tubuh tertentu, sehingga dapat menyebabkan adanya hilang rasa pada
daerah tubuh tersebut. Metode umum yang digunakan adalah melakukan blok
saraf, memblok regional intravena dengan torniquet, blok daerah spinal, dan
melalui epidural.
3. Anestesia lokal, dilakukan untuk memblok transmisi impuls saraf pada daerah
yang akan dilakukan anestesia dan pasien dalam keadaan sadar. Metode yang
digunakan adalah infiltrasi atau topikal.
4. Hipoanestesia, dilakukan untuk membuat status kesadaran menjadi pasif secara
artifisial sehingga terjadi peningkatan ketaatan pada saran atau perintah serta
untuk mengurangi kesadaran sehingga perhatian menjadi terbatas. Metode yang
digunakan adalah hipnotis.
5. Akupuntur, anestesia yang dilakukan untuk memblok rangsangan nyeri dengan
merangsang keluarnya endofrin tanpa menghilangkan kesadaran. Metode yang
banyak digunakan adalah jarum atau penggunaan elektrode pada permukaan
kulit.
C. Asuhan Dan Persiapan Pasien Preoperasi (Pra Bedah)
Hal-hal yang perlu dikaji dalam tahap prabedah adalah pegetahuan tentang
persiapan pembedahan, dan kesiapan psikologis. Prioritas pada prosedur pembedahan
yang utama adalah inform consent yaitu pernyataan persetujuan klien dan keluarga
tentang tindakan yang akan dilakukan yang berguna untuk mencegah ketidaktahuan
klien tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan juga menjaga rumah sakit serta
petugas kesehatan dari klien dan keluarganya mengenai tindakan tersebut.
Rencana tindakan :
1. Pemberian pendidikan kesehatan prabedah.
Pendidikan kesehatan yang perlu diberikan mencangkup penjelasan mengenai
berbagai informasi dalam tindakan pembedahan. Informasi tersebut diantaranya
tentang jenis pemeriksaan yang dilakukan sebelum bedah, alat-alat khusus yang
di perlukan, pengiriman ke kamar bedah, ruang pemulihan, dan kemungkinan
pengobatan setelah bedah.
2. Persiapan diet
Sehari sebelum bedah, pasien boleh menerima makanan biasa. Namun, 8 jam
sebelum bedah tersebut dilakukan, pasien tidak diperbolehkan makan.
Sedangkan cairan tidak diperbolehkan 4 jam sebelum operasi, sebab makanan
dan cairan dalam lambung dapat menyebabkan aspirasi.
3. Persiapan kulit
Dilakukan dengan cara membebaskan daerah yang akan dibedah dari
mikroorganisme dengan cara menyiram kulit dengan sabun heksakloforin atau
sejenisnya yang sesuai dengan jenis pembedahan. Bila pada kulit terdapat
rambut, maka harus di cukur.
4. Latihan napas dan latihan batuk
Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan paru-
paru. Pernapasan yang dianjurkan adalah pernapasan diafragma, dengan cara
berikut :
a. Atur posisi tidur semifowler, lutut dilipat untuk mengembangkan toraks.
b. Tempatkan tangan diatas perut.
c. Tarik napas perlahan-lahan melalui hidung, biarkan dada mengembang.
d. Tahan napas 3 detik.
e. Keluarkan napas dengan mulut yang dimoncongkan.
f. Tarik napas dan keluarkan kembali, lakukan hal yang sama hingga tiga kali
setelah napas terakhir, batukkan untuk mengeluarkan lendir.
g. Istirahat.
5. Latihan kaki
Latihan ini dapat dilakukan untuk mencegah dampak tromboflebitis. Latihan
kaki yang dianjurkan antara lain latihan memompa otot, latihan quadrisep, dan
latihan mengencangkan glutea. Latihan memompa otot dapat dilakukan dengan
mengontraksi otot betis dan paha, kemudian istirahatkan otot kaki, dan ulangi
hingga sepuluh kaki. Latihan quadrisep dapat dilakukan dengan
membengkokkan lutut kaki rata pada tempat tidur, kemudian meluruskan kaki
pada tempat tidur, mengangkat tumit, melipat lutut rata pada tempat tidur, dan
ulangi hingga lima kali. Latihan mengencangkan glutea dapat dilakukan dengan
menekan otot pantat, kemudian coba gerakkan kaki ke tepi tempat tidur, lalu
istirahat, dan ulangi hingga lima kali.
6. Latihan mobilitas
Latihan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi sirkulasi, mencegah
dekubitus, merangsang peristaltik, serta mengurangi adanya nyeri. Melalui
latihan mobilitas, pasien harus mampu menggunakan alat di tempat tidur,
seperti menggunakan penghalang agar bsa memutar badan, melatih duduk di
sisi tempat tidur, atau dengan menggeser pasiem ke sisi tempat tidur. Melatih
duduk diawali dengan tidur fowler, kemudian duduk tegak dengan kaki
menggantung di sisi tempat tidur.
7. Pencegahan cedera
Untuk mengatasi risiko terjadinya cedera, tindakan yang perlu dilakukan
sebelum pelaksanaan bedah adalah:
a. Cek identitas pasien.
b. Lepaskan perhiasan pada pasien yang dapat mengganggu, misalnya cincin,
gelang, dan lain-lain.
c. Bersihkan cat kuku untuk memudahkan penilaian sirkulasi.
d. Lepaskan kontak lensa.
e. Lepaskan protesis..
f. Alat bantu pendengaran dapat dapat digunakan jika pasien tidak dapat
mendengar.
g. Anjurkan pasien untukmengosongkan kandung kemih.
h. Gunakan kaos kaki anti emboli jika pasien berisiko terjadi tromboflebitis.
D. Perawatan intaoperasi (Bedah)
Hal yang perlu di dikaji dalam intrabedah adalah pengaturan posisi pasien.
Berbagai masalah yang terjadi selama pembedahan mencakup aspek
pemantauanfisiologis perubahan tanda vital, sistem kardiovaskular, keseimbangan
cairan, dan pernafasan. Selain itu lakukan pengkajian trhadap tim, dan instrumen
pembedahan, serta anestesia yang diberikan.
Rencana tindakan:
1. Penggunaan baju seragam bedah.
Penggunaan baju seragam bedah didesain khusus dengan harapan dapat
mencegah kontaminasi dari luar. Hal itu dilakukan dengan berprinsip bahwa
semua baju dari luar harus diganti dengan baju bedah yang steril, atau baju
harus dimasukkan ke dalam celana atau harus menutupi pinggang untuk
mengurangi menyebarnya bakteri, serta gunakan tutup kepala, masker, sarung
tangan, dan celemek steril.
2. Mencuci tangan sebelum pembedahan.
3. Menerima pasien di daerah bedah.
Sebelum memasuki wilayah bedah, pasien harus melakukan pemeriksaan ulang
di ruang penerimaan untuk mengecek kembali nama, bedah apa yang akan
dilakukan, nomor status registrasi pasien, berbagai hasil laboratorium dan X-
ray, persiapan darah setelah dilakukan pemeriksaan silang dan golongan darah,
alat protesis, dan lain-lain.
4. Pengiriman dan pengaturan posisi ke kamar bedah.
Posisi yang dianjurkan pada umumnya adalah telentang, telungkup,
trendelenburg, litotomi, lateral, atau disesuaikan dengan jenis operasi yang
akan dilakukan.
5. Pembersihan dan persiapan kulit.
Pelaksanaan tindakan ini bertujuan untuk membuat daerah yang akan dibedah
bebas dari kotoran dan lemak kulit, serta mengurangi adanya mikroba. Bahan
yang digunakan dalam membersihkan kulit ini harus memiliki spektrum
khasiat, kecepatan khasiat, potensi yang baik dan tidak menurun apabila
terdapat kadar alkhohol, sabun deterjen, atau bahan organik lainnya.
6. Penutupan daerah steril.
Penutupan daerah steril dilakukan dengan menggunakan duk steril agar tetap
sterilnya di daerah seputar bedah dan mencegah berpindahnya mikroorganisme
antara daerah steril dan tidak.
7. Pelaksanaan anestesia.
Pelaksanaan anestesia dapat dilakukan dengan berbagai macam, antara lain
anestesia umum, inhalasi atau intravena, anestesia regional, dan anestesia lokal.
8. Pelaksanaan pembedahan.
Setelah dilakukan anestesia, tim bedah akan melaksanakan pembedahan sesuai
dengan ketentuan embedahan.
E. Asuhan Dan Persiapan Pasien Postroperasi (Pasca Bedah)
Setelah tindakan pembedahan (pascabedah), beberapa hal yang perlu dikaji
diantaranya adalah status kesadaran, kualitas jalan napas, sirkulasi dan perubahan
tanda vital yang lain, keseimbangan elektrolit, kardivaskular, lokasi daerah
pembedahan dan sekitarnya, serta alat-alat yang digunakan dalam pembedahan.
Selama periode ini proses asuhan diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien pada
keadaan equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan
komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali
pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman.
Upaya yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah
yang kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan
akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan
di rumah sakit atau membahayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan
postoperasi sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri.
F. Faktor yang Berpengaruh Postoperasi, yaitu:
1. Mempertahankan jalan nafas
Dengan mengatur posisi, memasang suction dan pemasangan mayo/gude
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan nafas
melalui ventilaot mekanik atau nasal kanul.
3. Mempertahakan sirkulasi darah
Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian caiaran plasma
ekspander.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien,
seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi
akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu
drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi terkait dengan kondisi
perdarahan yang dialami pasien.
5. Balance cairan
Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output caiaran klien. Cairan harus
balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan
atau justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi jantung dan juga
mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
6. Mempertahanakan kenyamanan dan mencegah resiko injury.
Pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan
beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan
pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi
keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medi terkait dengan agen pemblok
nyerinya.
Tindakan:
1. Meningkatkan proses penyembuhan luka dan mengurangi rasa nyeri dapat
dilakukan manajemen luka. Amati kondisi luka operasi dan jahitannya,
pastikan luka tidak mengalami perdarahan abnormal. Observasi discharge
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen luka meliputi
perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan. Kemudian
memperbaiki asupan makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein dan
vitamin C dapat membantu pembentukan kolagen dan mempertahankan
integritas dinding kapiler.
2. Mempertahankan respirasi yang sempurna dengan latihan napas, tarik napas
yang dalam dengan mulut terbuka, lalu tahan napas selama 3 detik dan
hembuskan. Atau, dapat pula dilakukan dengan menarik napas melalui
hidung dan menggunakan diafragma, kemudian napas dikeluarkan secara
perlahan-lahan melalui mulut yang dikuncupkan.
3. Mempertahankan sirkulasi, dengan stoking pada pasien yang berisiko
tromboflebitis atau pasien dilatih agar tidak duduk terlalu lama dan harus
meninggikan kaki pada tempat duduk guna untuk memperlancar vena.
4. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dengan memberikan
cairan sesuai kebutuhan pasien, monitor input dan output , serta
mempertahankan nutrisi yang cukup.
5. Mempertahankan eliminasi, dengan mempertahankan asupan dan output,
serta mencegah terjadinya retensi urine.
6. Mobilisasi dini, dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga batuk
efektif yang penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan
mengeluarkan sekret dan lendir. Mempertahankan aktivitas dengan latihan
yang memperkuat otot sebelum ambulatori.
7. Mengurangi kecemasan dengan melakukan komunikasi secara terapeutik.
8. Rehabilitasi, diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien
kembali. Rehabilitasi dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang
diperlukan untuk memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala.
9. Discharge Planning. Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan
informasi kepada klien dan keluarganya tentang hal-hal yang perlu dihindari
dan dilakukan sehubungan dengan kondis/penyakitnya post operasi.
Ada 2 macam discharge planning :
1) Untuk perawat/bidan : berisi point-point discahrge planing yang
diberikan kepada klien (sebagai dokumentasi)
2) Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih
detail.
2. Manajemen Luka
A. Pengertian luka
Luka merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tubuh, yang
dapat menyebabkan terganggunya fungsi tubuh sehingga megganggu aktivitas
sehari-hari.
B. Jenis luka
Berdasarkan sifat kejadiannya, luka dibagi dua jenis, yaitu luka disengaja dan
luka tidak disengaja. Luka disengaja misalnya luka terkena radiasi atau bedah,
sedangkan luka tidak disengaja misalnya luka terkena trauma. Luka yang tidak
disengaja juga dibagi menjadi luka tertutup dan luka terbuka. Luka tertutup yaitu
tidak terjadi robekan, sedangkan luka terbuka yaitu jika terjadi robekan dan
terlihat. Luka terbuka seperti luka abrasi (akibat gesekan), luka puncture (akibat
tusukan), dan luka hautration (akibat alat-alat yang digunakan dalam perawatan
luka). Di bidang kebidanan, luka yang sering terjadi adalah luka episiotomi, luka
bedah seksio caesarea, atau luka saat proses persalinan.
Berdasarkan penyebabnya, dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Luka mekanik, diantaranya:
a. Vulnus scissum, luka sayat akibat benda tajam. Pinggir lukanya terlihat
rapi.
b. vulnus contusum, luka memar karena cedera pada jaringan bawah kulit
akibat benturan benda tumpul.
c. vulnus lateratum, luka robek akibat terkena mesin atau benda lainnya
yang menyebabkan robeknya jaringan rusak dalam.
d. vulnus puncture, luka tusuk yang kecil di bagian luar, tetapi besar di
bagian dalam.
e. vulnus sclopetorum, luka tembak akibat tembakan peluru.
f. vulnus morsum, luka gigitan yang tidak jelas bentuknya pada bagian luka.
g. vulnus abrasio, luka terkikis yang terjadi pada bagian luka dan tidak
sampai ke pembuluh darah.
2. Luka nonmekanik, terdiri atas luka akibat zat kimia, termik, radiasi, atau
sengatan listrik.
C. Proses penyembuhan luka
Poses penyembuhan luka melalui empat tahap, yaitu:
1. Tahap respons inflamasi akut terhadap cedera. Tahap ini dimulai saat
terjadinya luka. Pada tahap ini, terjadi proses hemostasis yang ditandai
dengan pelepasan histamin dan mediator lain lebih dari sel-sel yang rusak,
disertai proses peradangan dan migrasi sel darah putih ke daerah yang
rusak.
2. Tahap destruktif. Pada tahap ini, terjadi pembersihan jaringan yang
mati oleh leukosit dan makrofag.
3. Tahap poliferatif. Pada tahap ini, pembuluh darah baru diperkuat oleh
jaringan ikat dan menginfiltrasi luka.
4. Tahap maturasi. Pada tahap ini, terjadi reepitelisasi, kontraksi luka, dan
organisasi jaringan ikat.
D. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
Proses penyembuhan luka di pengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:
1. Vaskularisasi, memengaruhi luka karena luka membutuhkan keadaan
peredaan darah yang baik untuk pertumbuhan atau perbaikan sel.
2. Anemia, memperlambat proses penyembuhan luka mengingat
perbaikan sel membutuhkan kadar protein yang cukup. Oleh sebab itu, orang
yang mengalami kekurangan kadar hemoglobin dalam darah akan
mengalami proses penyembuhan lama.
3. Usia, kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan
pertumbuhan atau kematangan usia seseorang. Namun selanjutnya, proses
penuaan dapat menurunkan sistem perbaikan sel sehingga dapat
memperlambat proses penyembuhan.
4. Penyakit lain, misalnya seperti diabetes melitus dan ginjal, dapat
memperlambat proses penyembuhan luka.
5. Nutrisi, merupakan unsur utama dalam membantu perbaikan sel karena
kandungan zat gizi didalam. Sebagai contoh, vitamin A berfungsi untuk
membantu proses epitelisasi atau penutupan luka dan sintesis kolagen;
vitamin B kompleks sebagai kofaktor pada sistem enzin yang mengatur
metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak; vitamin C dapat berfungsi
sebagai fibroblas, dan mencegah adanya infeksi, serta membentuk kapiler-
kapiler darah; dan vitamin K yang membantu sintesis protombin dan
berfungsi sebagai zat pembekuan darah.
6. Kegemukan, obat-obatan, merokok, dan stres, memengaruhi proses
penyembuhan luka yang lebih lama.
E. Masalah yang terjadi pada luka bedah
1. Pendarahan, masalah yang ditandai dengan adanya pendarahan yang disertai
perubahan tanda vital seperti adanya denyut nadi, kenaikan pernefasan,
penurunan tekanan darah, melemahnya kondisi tubuh, kehausan, serta
keadaan kulit yang dingin dan lembab.
2. Infeksi, terjadi bila terdapat tanda-tanda seperti kulit kemerahan, demam
atau panas rasa nyeri dan timbul bengkak, jaringan di sekitar luka mengeras,
serta adanya kenaikan leukosit.
3. Dehiscene , merupakan pecahnya luka secara sebagian atau seluruhnya
yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kegemukan,
kekurangan nutrisi, terjadinya trauma, dan lain-lain. Sering ditandai dengan
kenaikan suhu tubuh (demam), takikardia, dan rasa nyeri pada daerah luka.
A. Apa itu Penanganan Komplikasi Pasca Bedah?

Semua jenis operasi, baik yang sederhana maupun rumit, dapat menyebabkan
komplikasi pasca bedah karena berbagai alasan, terkontrol atau tidak. Walaupun
ada yang hanya bersifat sementara dan tidak berbahaya, namun komplikasi lain
dapat bersifat serius dan membahayakan nyawa. Resiko komplikasi ini perlu
dipertimbangkan sebelum pembedahan, saat pembedahan, dan setelah
pembedahan. Prosedur penanganan komplikasi pasca bedah juga sudah harus
dipersiapkan untuk keamanan pasien.

Kemungkinan terjadinya komplikasi pasca bedah ditentukan oleh beberapa


faktor, termasuk jenis operasi yang dilakukan, kondisi pasien sebelum operasi,
apakah pasien dirawat jalan atau rawat inap, dan sebagainya. Beberapa
komplikasi yang paling umum terjadi akibat pembedahan dan obat bius adalah:

Terbentuknya abses

Kebingungan akut atau delirium

Reaksi alergi

Atelektasi basal atau kolaps/malfungsi paru

Kehilangan darah

Penyumbatan pencernaan (seringkali karena adhesi sel) atau terganggunya sistem


pencernaan

Komplikasi kardiovaskular (misalnya disritmia, infarksi, dan cedera iskemik)

Trombosis vena dalam (TVD) atau emboli paru

Luka tidak sembuh dengan baik (karena komplikasi)

Hematoma atau memar

Berkurangnya produksi urin dan tubuh tidak mendapatkan pengganti cairan yang
cukup

Mual dan muntah

Pneumonia

Demam pasca operasi

Dekubitus atau luka tekan

Pendarahan primer (dapat terjadi selama atau setelah pembedahan karena


meningkatnya tekanan darah)

Cedera bedah karena kerusakan jaringan yang tak dapat dihindari, misalnya pada
saraf di sekitar area bedah
Infeksi luka atau pecahnya luka (jahitan bedah terlepas)

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bulan
setelah pembedahan adalah keloid, hernia di tempat sayatan bedah, radang sinus
yang susah hilang, dan kambuhnya penyebab bedah (misalnya pada kasus kanker
atau penyebaran kanker).

B. Siapa yang Perlu Menjalani Penanganan Komplikasi Pasca Bedah dan


Hasil yang Diharapkan

Fisioterapi pasca bedah akan diberikan pada semua pasien yang menjalani
pembedahan, baik operasi rawat jalan kecil atau operasi besar yang dilakukan di
ruang operasi. Bahkan, proses perawatan ini sudah dilakukan sebelum
pembedahan, yaitu dengan mempersiapkan pasien dan memberikan konseling.
Perawatan sebelum bedah meliputi pemeriksaan kesehatan, identifikasi faktor
resiko, dan memberikan informasi jelas tentang prosedur serta pemulihan jangka
pendek dan panjang. Perawatan sebelum dan sesudah bedah biasanya akan saling
melengkapi.

Saat ini, terdapat protokol untuk mencegah komplikasi pasca bedah. Langkah
pencegahan dasar meliputi pengaturan berat badan dan pola makan, intervensi
untuk resiko kehilangan darah, persiapan teknis yang baik (misalnya jenis sayatan,
teknik, drainase, dan sebagainya), intervensi kebocoran anastomosis, dan
pencegahan dengan antibiotik. Melalui proses ini, pasien dan ahli kesehatan dapat
saling bekerjasama untuk memastikan keberhasilan operasi serta lancarnya proses
pemulihan.

C. Cara Kerja Penanganan Komplikasi Pasca Bedah

Penanganan komplikasi pasca bedah dapat dibedakan menjadi masa


penanganan langsung dan tertunda.

Pada penanganan langsung, prosedur di bawah ini biasanya akan langsung


dilakukan setelah pembedahan:
Penanganan nyeri Dokter akan meredakan nyeri pasien dengan
memberikan obat pereda nyeri oral atau intravena, obat penenang, antibiotik,
antikoagulan, dan antiemetik.
Perawatan luka Bekas sayatan dan penutup luka akan terus diperiksa untuk
mencari tanda-tanda infeksi.
Pengawasan Tekanan darah dan denyut jantung pasien akan diawasi secara
rutin. Cairan yang masuk dan keluar tubuh pasien juga akan diperhatikan,
begitu juga jumlah sel darah dan elektrolit untuk pengganti cairan. Sistem
pernapasan dan suhu tubuh juga akan diperiksa. Perawat juga akan
memeriksa apakah terjadi gangguan pencernaan, edema kaki, bercak merah
abnormal, dan nyeri (TVD).
Mobilisasi Mobilisasi dini akan selalu dianjurkan setelah operasi. Pasien
sebaiknya sebisa mungkin bergerak, mengambil napas dalam, latihan
menguatkan otot, dan menggunakan alat bantu berjalan, jika diperlukan.
Komunikasi Pasien akan terus diberitahu mengenai perkembangan kondisi
mereka dan diyakinkan akan adanya penanganan pasca bedah.

Tergantung pada jenis komplikasi dan kapan komplikasi terdeteksi, dokter


dapat melakukan berbagai penanganan. Sebagai contoh, pneumonia diobati
dengan antibiotik dan fisioterapi, sedangkan masalah kardiovaskular akan
ditangani dengan obat-obatan atau operasi tambahan. Pendarahan akan ditangani
dengan transfusi darah, infeksi luka dengan antibiotik topikal atau oral, dan
pecahnya luka dengan analgesik atau penjahitan ulang. Pasien harus terus diawasi
agar komplikasi dapat terdeteksi sejak dini dan segera ditangani dengan baik.

Setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit, perawatan pasca bedah
dapat terus berlanjut. Pasien (atau keluarga pasien) akan diberi riwayat diagnosis,
rangkuman prosedur medis, dan instruksi, misalnya untuk obat atau terapi
tambahan. Informasi untuk konsultasi lanjutan akan dicantumkan di surat pulang
pasien.
D. Kemungkinan Komplikasi dan Resiko Penanganan Komplikasi Pasca
Bedah

Semua prosedur bedah memiliki resiko dan komplikasi tertentu, sehingga


penanganan komplikasi pasca bedah menjadi hal yang sangat penting. Penanganan
ini merupakan proses rutin yang dilakukan oleh dokter bedah, dokter, dan perawat
untuk menjaga keamanan, kesehatan, dan kondisi pasien.

Prosedur ini harus dilakukan oleh ahli kesehatan berpengalaman agar


komplikasi pasca bedah dapat dicegah dan ditangani dengan baik bila terjadi.

3. Pengertian Gastrektomi
A. Gastrektomi untuk kanker

Pengangkatan tumor, sering dengan pengangkatan kelenjar getah bening di sekitarnya,


adalah satu-satunya pengobatan kuratif untuk berbagai bentuk lambung (perut) kanker. Bagi
banyak pasien, ini memerlukan menghapus tidak hanya tumor, tetapi bagian dari lambung
juga. Sejauh mana kelenjar getah bening juga harus dihapus adalah subyek perdebatan, tetapi
beberapa studi menunjukkan manfaat kelangsungan hidup tambahan yang terkait dengan
penghapusan sejumlah besar kelenjar getah bening.
Gastrektomi, baik seluruhnya atau subtotal (juga disebut parsial), adalah pengobatan
pilihan untuk adenokarsinoma lambung, limfoma lambung primer (berasal perut), dan
Leiomyosarcomas langka (juga disebut sarkoma lambung). Adenokarsinoma yang jauh
bentuk paling umum dari kanker perut dan kurang dapat disembuhkan dari limfoma relatif
jarang, yang gastrektomi menawarkan peluang bagus untuk bertahan hidup.
Anestesi umum digunakan untuk memastikan bahwa pasien tidak mengalami rasa sakit
dan tidak sadar selama operasi. Ketika anestesi diraih, kateter kemih biasanya dimasukkan
untuk memantau produksi urine. Sebuah tabung nasogastrik tipis dimasukkan dari hidung ke
dalam perut. perut dibersihkan dengan larutan antiseptik. Dokter bedah membuat sayatan
besar dari hanya di bawah tulang dada ke pusar. Jika ujung bawah perut sakit, tempat dokter
bedah klem pada kedua ujung daerah, dan bagian yang dipotong. Bagian atas dari perut
kemudian melekat pada usus kecil. Jika ujung atas perut berpenyakit, akhir kerongkongan
dan bagian atas perut dijepit bersama-sama. Bagian yang sakit dihapus, dan bagian bawah
perut melekat kerongkongan.
Setelah gastrektomi, ahli bedah dapat merekonstruksi bagian diubah dari saluran
pencernaan sehingga dapat terus berfungsi. Beberapa teknik bedah yang berbeda digunakan,
tetapi, secara umum, ahli bedah menempel setiap bagian yang tersisa dari lambung ke usus
kecil.
Gastrektomi untuk kanker lambung hampir selalu dilakukan dengan menggunakan teknik
operasi terbuka tradisional, yang membutuhkan sayatan lebar untuk membuka perut. Namun,
beberapa ahli bedah menggunakan teknik laparoskopi yang hanya membutuhkan sayatan
kecil. laparoskop terhubung ke kamera video kecil yang memproyeksikan gambar dari isi
perut ke monitor untuk melihat dokter bedah. perut dioperasikan pada melalui sayatan ini.
Potensi manfaat operasi laparoskopi termasuk rasa sakit kurang pascaoperasi, penurunan
rawat inap, dan kembali lebih awal ke aktivitas normal. Penggunaan gastrektomi laparoskopi
terbatas, namun. Hanya pasien dengan stadium awal kanker lambung atau mereka yang
menjalani operasi ini dimaksudkan hanya untuk paliatif (rasa sakit dan mengurangi gejala-
gejala daripada menyembuhkan) dianggap untuk teknik invasif minimal ini. Hal ini hanya
dapat dilakukan oleh ahli bedah berpengalaman dalam jenis operasi.
B. Gastrektomi untuk bisul

Gastrektomi juga kadang-kadang digunakan dalam pengobatan penyakit ulkus peptikum


berat atau komplikasinya. Sementara sebagian besar tukak lambung (ulkus lambung dalam
perut atau ulkus duodenum dalam duodenum) dikelola dengan obat, gastrektomi parsial
kadang-kadang diperlukan untuk pasien ulkus peptikum yang mengalami komplikasi. Ini
termasuk pasien yang tidak menanggapi memuaskan untuk terapi medis; mereka yang
mengembangkan perdarahan atau ulkus perforasi; dan mereka yang mengembangkan
obstruksi pilorus, penyumbatan untuk keluar dari perut.

Prosedur bedah untuk penyakit maag parah juga disebut antrectomy, bentuk terbatas dari
gastrektomi dimana antrum, sebagian dari perut, dihapus. Untuk ulkus duodenum,
antrectomy dapat dikombinasikan dengan prosedur bedah lainnya yang bertujuan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, yang berhubungan dengan pembentukan ulkus. operasi
tambahan ini umumnya merupakan vagotomy, operasi pada saraf vagus yang menonaktifkan
bagian penghasil asam lambung.
C. Diagnosis / Persiapan

Sebelum menjalani gastrektomi, pasien memerlukan berbagai tes seperti sinar x,


computed tomography (CT) scan, ultrasonografi, atau biopsi endoskopi (pemeriksaan
mikroskopik jaringan) untuk memastikan diagnosa dan melokalisir tumor atau ulkus.
Laparoskopi dapat dilakukan untuk mendiagnosis keganasan atau untuk menentukan sejauh
mana tumor yang sudah didiagnosis. Ketika tumor diduga kuat, laparoskopi sering dilakukan
segera sebelum pembedahan untuk mengangkat tumor; Metode ini menghindari kebutuhan
untuk membius pasien dua kali dan kadang-kadang menghindari kebutuhan untuk operasi
sama sekali jika tumor ditemukan pada laparoskopi dianggap bisa dioperasi.
D. Rehabilitasi

Setelah operasi gastrektomi, pasien dibawa ke unit pemulihan dan tanda-tanda vital
dipantau ketat oleh
Untuk menghapus sebagian dari perut di gastrektomi, maka keuntungan ahli bedah akses ke
perut melalui sayatan di perut. Ligamen menghubungkan lambung ke limpa dan usus yang
terputus. Untuk menghapus sebagian dari perut di gastrektomi, maka keuntungan ahli bedah
akses ke perut melalui sayatan di perut. Ligamen menghubungkan lambung ke limpa dan
usus yang terputus
staf perawat sampai anestesi mereda. Pasien biasanya merasakan sakit dari sayatan, dan
obat sakit diresepkan untuk memberikan bantuan, biasanya disampaikan secara intravena.
Setelah bangun dari anestesi, pasien memiliki garis intravena, kateter urin, dan tabung
nasogastrik di tempat. Mereka tidak bisa makan atau minum segera setelah operasi. Dalam
beberapa kasus, oksigen disampaikan melalui masker yang cocok di mulut dan hidung.
Tabung nasogastrik melekat hisap intermiten untuk menjaga perut kosong. Jika seluruh perut
telah dihapus, tabung pergi langsung ke usus kecil dan tetap di tempat sampai kembali fungsi
usus, yang dapat mengambil dua sampai tiga hari dan dipantau dengan mendengarkan
dengan stetoskop untuk bising usus. Sebuah gerakan usus juga merupakan tanda
penyembuhan. Ketika bising usus kembali, pasien bisa minum cairan bening. Jika cairan
ditoleransi, tabung nasogastrik dihapus dan diet secara bertahap berubah dari cairan ke
makanan lunak, dan kemudian ke makanan yang lebih padat. pengaturan pola makan
mungkin diperlukan, seperti makanan tertentu sekarang mungkin sulit untuk dicerna. Secara
keseluruhan, operasi gastrektomi biasanya membutuhkan waktu penyembuhan dari beberapa
minggu.
E. Risiko

Bedah untuk ulkus peptikum efektif, tetapi dapat mengakibatkan berbagai komplikasi
pasca operasi. Setelah operasi gastrektomi, sebanyak 30% dari pasien memiliki gejala yang
signifikan. Operasi yang disebut vagotomy sangat selektif sekarang lebih disukai untuk
manajemen maag, dan lebih aman daripada gastrektomi.

Setelah gastrektomi, beberapa kelainan dapat berkembang bahwa produk gejala yang
berkaitan dengan asupan makanan. Mereka terjadi terutama karena perut, yang berfungsi
sebagai reservoir makanan, telah berkurang dalam kapasitasnya dengan operasi. prosedur
bedah lainnya yang sering menyertai gastrektomi untuk penyakit maag juga dapat
berkontribusi untuk gejala nanti. Prosedur ini termasuk vagotomy, yang mengurangi produksi
asam dan memperlambat pengosongan perut; dan pyloroplasty, yang memperbesar
pembukaan antara perut dan usus kecil untuk memfasilitasi pengosongan lambung.

Beberapa pasien mengalami pusing, jantung berdebar-debar atau jantung balap,


berkeringat, mual dan muntah setelah makan. Ini mungkin gejala "sindrom dumping,"
sebagai makanan cepat dibuang ke dalam usus kecil dari perut. Sindrom Dumping
diperlakukan dengan mengatur pola makan dan pola makan, misalnya, makan yang lebih
kecil, lebih sering makan dan membatasi cairan.

Pasien yang memiliki perut kembung dan nyeri setelah makan, sering diikuti mual dan
muntah, mungkin memiliki apa yang disebut "sindrom lingkaran aferen." Ini diperlakukan
oleh koreksi bedah. Pasien yang memiliki cepat kenyang (perasaan kenyang setelah makan),
ketidaknyamanan perut, dan muntah mungkin memiliki empedu refluks gastritis (juga disebut
empedu muntah), yang juga pembedahan diperbaiki. Banyak pasien juga mengalami
penurunan berat badan.

hipoglikemia reaktif adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar gula darah menjadi
terlalu tinggi setelah makan, merangsang pelepasan insulin, terjadi sekitar dua jam setelah
makan. Diet tinggi protein dan makanan kecil disarankan.

Ulkus kambuh dalam persentase kecil pasien setelah operasi untuk ulkus peptikum,
biasanya dalam beberapa tahun pertama. operasi lebih lanjut biasanya diperlukan.

Vitamin dan suplemen mineral yang diperlukan setelah gastrektomi untuk memperbaiki
kekurangan tertentu, terutama vitamin B 12, besi, dan asam folat. Vitamin D dan kalsium
juga diperlukan untuk mencegah dan mengobati masalah tulang yang sering terjadi. Ini
termasuk pelunakan dan lentur dari tulang, yang dapat menghasilkan nyeri dan osteoporosis,
hilangnya massa tulang. Menurut sebuah penelitian, risiko patah tulang belakang dapat
setinggi 50% setelah gastrektomi.
BAB III
OPERASI PADA BATU EMPEDU

1. OPERASI PADA BATU EMPEDU


A. Pengertian :
a. Batu saluran empedu : adanya batu yang terdapat pada sal. empedu (Duktus
Koledocus ).
b. Batu Empedu(kolelitiasis) : adanya batu yang terdapat pada kandung empedu.
c. Radang empedu (Kolesistitis) : adanya radang pada kandung empedu.
d. Radang saluran empedu (Kolangitis) : adanya radang pada saluran empedu.
B. Penyebab:
Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen
empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein.
Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:
1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan
penurunan produksi empedu.
Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:
Infeksi kandung empedu
Usia yang bertambah
Obesitas
Wanita
Kurang makan sayur
Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol
2. Batu pigmen empedu , ada dua macam;
Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai
hemolisis kronik/sirosis hati tanpa infeksi
Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan
disepanjang saluran empedu, disertai bendungan dan infeksi
3. Batu saluran empedu
Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum didaerah vateri. Ada
dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh makanan akan
menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini
memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.
C. Pathofisiologi :
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya.
Faktor predisposisi yang penting adalah :
Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu
Statis empedu
Infeksi kandung empedu
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada
pembentukan batu empedu. Kolesterol yang berlebihan akan mengendap dalam
kandung empedu .
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya
selama kehamilan dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan kandung
empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang
menyebabkan pembentukan batu.
D. Perjalanan Batu
Batu empedu asimtomatik dapat ditemukan secara kebetulan pada pembentukan
foto polos abdomen dengan maksud lain. Batu baru akan memberikan keluhan bila
bermigrasi ke leher kandung empedu (duktus sistikus) atau ke duktus koledokus.
Migrasi keduktus sistikus akan menyebabkan obstruksi yang dapat menimbulkan
iritasi zat kimia dan infeksi. Tergantung beratnya efek yang timbul, akan memberikan
gambaran klinis kolesistitis akut atau kronik.
Batu yang bermigrasi ke duktus koledokus dapat lewat ke doudenum atau tetap
tinggal diduktus yang dapat menimbulkan ikterus obstruktif.
E. Gejala Klinis
Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.

GEJALA AKUT GEJALA KRONIS


TANDA : TANDA:

1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan 1 Biasanya tak tampak gambaran pada
spasme abdomen
2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba 2. Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas
pada kwadran kanan atas
3. Kandung empedu membesar dan nyeri
4. Ikterus ringan

GEJALA: GEJALA:

1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang 1. Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat : abdomen
2. Menetap
bagian atas (mid epigastrium), Sifat : terpusat
3. Mual dan muntah
4. Febris (38,5C) di epigastrium menyebar ke arah skapula
kanan
2. Nausea dan muntah
3. Intoleransi dengan makanan berlemak
4. Flatulensi
5. Eruktasi (bersendawa)
BAB IV

FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA

1. FRAKTUR KOMPRESI VERTEBRA


A. Pengertian
Trauma vertebra yang mengenai medula spinalis dapat menyebabkan defisit
neorologis berupa kelumpuhan
B. Anatomi Vertebra
Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal
5, sacral 5 dan coccygeus 4). Setiap vertebra terdiri dari:
Corpus / body
Pedikel
Pro sessus artikularis superior dan inferior
Prosessus transversus
Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui discus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous),
yang berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:
Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus flbrosus.
Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.
Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).
Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).
Lig kapsulare, antara proc sup dan interior.
Lig intertransversale.
Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.
Lig supra dan interspinosus.
C. Medula Spinalis
Terletak didalam kanalis vertebralis yang diliputi dan luar oleh duramater,
subdural space, arachnoid, subarachnoid dan piamater. Medula spmalis
mengeluarkan cabang n spinalis secara segmental dan dorsal (posterior root) dan
ventral (anterior root).
Pada cervical keluar 8 cabang walaupun hanya ada 7 vertebra cervikalis.
Medula spmalis berakhir sebagai cauda equine pada Th 12 L1 dan kemudian
berobah jadi pilum terminate.
D. Pembagian Trauma Vertebra
1. BEATSON (1963) membedakan atas 4 grade:
o Grade I = Simple Compression Fraktur
o Grade II = Unilateral Fraktur Dislocation
o Grade III = Bilateral Fraktur Dislocation
o Grade IV = Rotational Fraktur Dislocation
2. BEDBROCK membagi atas: T
o Trauma pada vertebra seperti compression, extension dan flexion rotation
injury
o Trauma medula spinalis seperti : comotio, con-tusio, stretching, gangguan
vaskuler, trombus dan hematoma
3. E. SHANNON STAUPER membagi:
o Extension injury
o simple flexion injury dan
o flexion compression fraktur dislocation.
4. HOLDS WORTH membagi alas taruma:
Fleksi, rotasi fleksi, rotasi, ektensi, kompressi vertikal (direct shearing force)
5. Pembagian Umum:
a. Fraktur Stabil
Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
Burst fraktur
Extension
b. Fraktur tak stabil
Dislokasi
Fraktur dislokasi
Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu
tulang belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per
mm2 dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering
kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.
E. Fisioterapi
I. Stadium Akut
1. Breathing exercise yang adequate
2. Mencegah kontraktur
3. Melatih otot yang lemah
II. Stadium Sub Akut
1. Penderita boleh duduk pada kursi roda
III. Berdikari
IV. Follow up
V. Occupational therapy
2. PENATALAKSANAAN TRAUMA VERTEBRA CERVICAL
A. Spine Instability
Pada dasarnya tulang belakang mempunyai 3 tulang (kolona vertikal) yaitu 1
(satu) kolona anterior yang terdiri korpus dan diskus dari atas sampai kebawah.
Dua kolona posterior (kanan & kiri) yang terdiri dari rangkaian sendi (facet joint)
dan atas kebawah. Tulang belakang yang demikian dapat diumpamakan sebagai
suatu gedung bertingkat dengan 3 tiang utama (1 di depan 2 di belakang) dengan
masing-masing diberi koefisien 1. Sedangkan lantainya terdiri dan pedikel kiri dan
kanan, lamina proc. spinosus, dan proc. transversum dengan nilai koefisien antara
0,25 dan 0,5 Jadi bila koefisien instability 2 dalam arti kolona vertikal putus >2,
maka dikatakan tulang belakang tidak stabil.
B. Diagnosis dan Management
Semua yang dicurigai fraktur vertebrate cervical harus dirawat sebagai cervical
spinal injury sampai terbukti tidak ada.
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sening
karena wishplash Injury yang dengan foto AP tidak tampak kelainan
sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya
sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik
instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
Dislokasi feset >50%
Loss of paralelisine dan feset.
Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada
foto AP
Pada dasarya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih
ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan koposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
2. Penanganan Ceders Servikal dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan
supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan
umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan
setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam
pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil.
Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula
spinalis.
C. Rekonstruksi Dan Rehabilitasi Cacat Tulang Belakang
Cacat vertebra dapat disebabkan oleh penyakit dengan variasi yang sangat luas
mulai dan penyakit kongenital sampai idiopatic. Sering kelainan vertebra disertai
dengan adanya neorologi defisit. Deformitas tulang belakang ini bervariasi pula yang
mulai dan tanpa gejala sampai ada gejala yang sangat berat berupa kelumpuhan.
Hubungan sumsum tulang belakang dengan vertebra adalah:
1. Kelainan neorologis dapat menimbulkan deformitas belakang misalnya: scollosis
paralitik.
2. Deformitas tulang belakang dapat menimbulkan kelainan neorologis, misalnya:
spinal stenosis, diastematomella, kyphoscollosis yar berat.
3. Beberapa penyakit dapat menimbulkan keduanya, yaitu deformitas tulang belakang
dengan kelainan syarafmisalnya: Pott paraplegia, Metastase tumor dengan
kompresi fraktur
4. Koreksi deformitas tulang belakang dapat menimbulkan komplikasi saraf misalnya
instrumentalia harington.
a. Sifat Deformitas
Scoliosis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
Kyposis: pembengkokan keposterior dan tulang belakang.
Gibbus: kyposis yang pendek dengan sudut yang tajam.
Kelainan setempat yang bervaniasi
Pada koreksi cacat tulang belakang muncul 3 problem:
1. Penyebab deformitas (infeksi, neoplasms, metabolik, dll)
2. Deformitas sediri
3. Akibat deformitas itu sendiri pada organ sekitamya:
Defisit neorologis : paraflegia dan tetraplegia.
Ganguan fungsi paru-paru pada skollosis
Gangguan tr. Urinarius.
Karena itu terapi diarahkan pada:
1. pengobatan terhadap penyabab deformitas.
2. koreksi dan rekonstruksi deformitas (fiksasi yang kuat)
3. rehabilitasi.
Tujuan koreksi:
Meningkatkan, memperbaiki atau mengembalikan anatominya semaksimal
mungkin dalam batas toleransi jaringan lunak disekitar tulang belakang,
terutama medula spinalis. Koreksi kadang-kadang tidak perlu harus sampai
100%.
Kontra indikasi Operasi
- Keadaan umum penderita jelek
Diagnosis Banding
- Fraktur patologis
Pemeriksaan Penunjang
- Radilogis, laboratorium
Dari ketiga pengertian diatas penulis menyimpulkan fraktur lumbal adalah
kerusakan pada tulang belakang berakibat trauma, biasanya terjadi pada orang
dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku
kekerasan.
Fungsi ruas tulang belakang menurut Syaifuddin (2006, hlm. 52) yaitu:
1. Menahan kepala dari alat alat tubuh yang lain

2. Melindungi alat halus yang ada didalamnya (sumsum tulang belakang)

3. Tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul

4. Menetukan sikap tubuh

5. Bagian-bagian tulang belakang


Bagian-bagian tulang belakang menurut Syaifuddin 2006, hlm. 53 adalah
sebagai berikut:
a) Vertebra servikalis (tulang leher) 7 ruas,
b) Vertebra torakalis (tulang punggung) terdiri dari 12 ruas.
c) Vertebra lumbalis (tulang pinggang)-terdiri dari 5 ruas.
d) Vertebra sakralis (tulang kelangkang) terdiri dari 5 ruas.
e) Vertebra koksigialis (tulang ekor) terdiri dari 4 ruas. Ruas-ruasnya kecil
dan menjadi sebuah tulang yang disebut juga os koksigialis.
b. Etiologi
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari cedera medula spinalis
dalah :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak
6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
7. Kejatuhan benda keras
c. Patofisiologi
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus
vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari
vertebra sevikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat discus
intervertebralis. Discus-discus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur
antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya.
Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari lapisan
tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut
kolagen, sel sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan.
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra
yang berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam
pertukaran cairan antara discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.
Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi
berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh
darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur,
tipe, dan luas fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak,
terjadi perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran
tulang, ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan
perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel
sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan
kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.
d. Manifestasi Klinis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan pasien untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,
inkontenensia defekasi dan berkemih, nyeri otot hiperestesi tepat di atas
daerah trauma, serta mengalami deformitas pada daerah trauma.
Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri , kecelakaan lain seperti
jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma Karena tali
pengaman, dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang didapat, meliputi
hilangnya sensabilitas, paralisis ( dimulai dari paralisis layu ) disertai hilangya
sensabilitas yang total dan melemah / menghilangnya reflex alat dalam.
Keadaan ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu, ileusparalistik, retensi urin, dan
hilangnya reflex-refleks.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal
menurut Mahadewa dan Maliawan, (2009, hlm148) adalah :
1. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique
view. Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna
untuk melihat instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan
melihat kesegarisan pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus
vertebrae, garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak interspinosus.
Posisi oblique berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan
subluksasi facet.
2. CT Scan
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama
yang mengenai elemen posterior dari medulla spinalis. Fraktur dengan
garis fraktur sesuai bidang horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur
kompresif kurang baik dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi
tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan kanal oleh fragmen
tulang, dan melihat fraktur elemen posterior.
3. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan
medula spinalis dan struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek
seringkali lebih mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian
MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimana
akan memberikan artifact yang mengganggu penilaian.

Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bisa
melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan
medula spinalis). Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi
trauma, identifikasi keadaan instabilitas yang berguna untuk memilih
instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang.

1. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf


Kedua prosedur ini biasanya dikerjakan bersama-sama 1-2 minggu setelah
terjadinya trauma. Elektromiografi dapat menunjukkan adanya denervasi
pada ekstremitas bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat
membedakan lesi pada medula spinalis atau cauda equina, dengan lesi
pada pleksus lumbal atau sacral.
Sedangkan menurut Arif Mutaqim, (2005, hal. 110) pemeriksaan radiologi
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Rontgen. Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi
penderita harus dilakukan secara hati-hati. Pada fraktur C-2,
pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus dengan membuka
mulut. Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-kadang oblik
dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut.

2. Diameter anteroposterior kanal spinal.

3. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra.

4. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal.

5. Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus Ketinggian


ruangan diskus intervertebralis Pembengkakanjaringan lunak.
6. Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi dan per-
geseran fraktur dalam kanal spinal.

7. Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi.

8. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus


intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum
medulla spinalis.
D. Proses Penyembuhan Tulang
Kebanyakan patah tulang sembuh melalui osifikasi endo- kendral. Ketika tulang
mengalami cedera, fragmen tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut.
Namun tulang mengalami regenerasi sendiri (Smeltzer, 2002, hlm. 2266).
Menurut Smeltzer, (2002, hlm. 2266), proses terjadinya penyembuhan tulang
terbagi menjadi 10 yang akan dijelaskan seperti dibawah ini:
1. Inflamasi.Dengan adanya patah tulang Terjadi inflamasi, pernbengkakan dan
nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dari hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri.

2. Proliferasi Sel. Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami . organisasi


Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan
untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.

3. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, kolagen dan mengontrol)


akam menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada
patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid).

4. Pembentukan Kalus. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk


menghubungkan defek secara langsung berhabungan dengan jumlah kerusakan
dan pergeseran tulang. Perin waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang
tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen
tulang tak bisa lagi digerakkan.

5. Osifikasi. Pembentukan calus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3


minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus
menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras,
pemulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.

6. Remodeling. Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan


mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodel-
ing memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun- tahun tergantung
beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dani pada kasus
yang melibatkan tulang kompak dan kanselus stres fungsional pada tulang.
1. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqim, (2008 hlm.111) penatalaksanaan pada trauma tulang
belakang yaitu :
1) Pemeriksaan klinik secara teliti:
2) Pemeriksaan neurologis secara teliti tentang fungsi motorik, sensorik, dan
refleks.
3) Pemeriksaan nyeri lokal dan nyeri tekan serta kifosis yang menandakan
adanya fraktur dislokasi.
4) Keadaan umum penderita.
5) Penatalaksanaan fraktur tulang belakang:
6) Resusitasi klien.
7) Pertahankan pemberian cairan dan nutrisi.
8) Perawatan kandung kemih dan usus.
9) Mencegah dekubitus.
10) Mencegah kontraktur pada anggota gerak serta rangkaian rehabiIitasi
lainnya.
BAB V

CIDERA PADA JARINGAN LUNAK

1. Teori Cidera Pada Jaringan Lunak

A. Pengertian
Cedera pada bahu sering disebabkan karena lelah, tetapi sering juga terjadi pada
pemain tennis, badminton, olahraga lempar dan berenang (internal violence/sebab-
sebab yang berasal dari dalam).
Cedera ini biasa juga disebabkan oleh external violence (sebab-sebab yang berasal
dari luar), akibat body contact sports, misalnya : sepak bola, rugby dan lain-lain.
Cedera dapat berupa:
1. luksasio / subluksasio dari artikulasio humeri
2. luksasio / subluksasio dari artikulasio akromio klavikularis
3. subdeltoid bursitis
4. strain dari otot-otot atap bahu (rotator cuff)
luksasio = dislokasi
Dislokasi adalah keluarnya bongkol sendi dari mangkok sendi atau keluarnya
(bercerainya) kepala sendi dari mangkoknya. Bila hanya sebagian yang bergeser
disebut subluksasi dan bila seluruhnya disebut dislokasi.
Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi.Ini
disebabkan karena banyaknya rentang gerakan sendi bahu,mangkuk sendi glenoid
yang dangkal serta adanya longgarnya ligament.
Tanda-tanda Dislokasi sendi bahu yaitu:
Sendi bahu tidak dapat digerakakkan
Korban mengendong tangan yang sakit dengan yang lain
Korban tidak bisa memegang bahu yang berlawanan
Kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya
Lengkung bahu hilang
Tidak dapat digerak-gerakkan
Lengan atas sedikit abduksi
Lengan bawah sedikit supinasi
Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada
anak-anak.
Klasifikasi dislokasi sendi bahu:
Dislokasi anterior
Dislokasi posterior
Dislokasi inferior atau luksasi erekta
Dislokasi disertai faktur
Congenital
Traumatic
Dislokasi anterior
Dislokasi anterior lebih sering ditemukan
Kaput humerus berada dibawah glenoid, sub korakoid dan sub klavikuler
Terasa sangat nyeri serta gangguan pergerakan sendi bahu. Kontur sendi bahu
menjadi rata karena kaput humerus bergeser ke depan.
Pengobatan
Dengan pembiusan umum
Metode hipocrates
Metode kocher
Tanpa pembiusan
Teknik menggantungkan lengan
Dislokasi rekuren dengan frekuensi yang tinggi memerlukan tindakan operasi
seperti operasi menurut Putti-Platt, Bristow dan Bankart
Komplikasi
Kerusakan nervus aksilaris
Kerusakan pembuluh darah
Tidak dapat tereposisi
Sendi menjadi kaku
Dislokasi rekuren
Dislokasi posterior
Lebih jarang ditemukan
Trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna
Terasa nyeri tekan serta benjolan dibagian belakang sendi. Tanda khas berupa
light bulbkarena adanya rotasi interna humerus.
Dislokasi Congenital
Congenital dislocation berhubungan dengan congenital deformities
Dislokasi Traumatic
Traumatic dislocation, biasanya disertai benturan keras. Berdasarkan tipe
kliniknyadibagi :
Dislokasi akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan
pembengkakan di sekitar sendi.
Dislokasi Traumatic
Traumatic dislocation, biasanya disertai benturan keras. Berdasarkan tipe kliniknya
dibagi :
Dislokasi akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan
pembengkakan di sekitar sendi.
Dislokasi kronik
Dislokasi berulang, terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari
bagian depan leher glenoid.
Fraktur Disloksi
Komplikasi lanjut
Kekakuan sendi bahu: Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi
bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi
lateral ,yang secara otomatis membatasi Abduks.
B. Penyebab Dislokasi
1. Dari segi Etiologi, Dislokasi disebabkan oleh:
a. Cedera olah raga
Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki,
serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski,
senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami
dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola
dari pemain lain.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga seperti benturan keras pada
sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi
c. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
b. Patologis : terjadinya tearligament dan kapsul articuler yang merupakan
kompenen vital penghubung tulang
2. Dari segi Patofisiologi,
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan
,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-kadang bagian
posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit
kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta [dengan tangan mengarah
;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid]

C. Penanganan Dislokasi
Pertolongan pertama :
Hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter, kecuali dalam keadaan terpaksa
dimana di tempat kejadian tidak ada dokter yang terdekat, barulah kita berikan
pertolongan pertama yaitu reposisi.
Reposisi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
1. Metode Stimson
metode ini sangat baik. Caranya penderita dibaringkan tertelungkup sambil bagian
lengannya yang mengalami dislokasi, keluar dari tepi tempat tidur, menggantung ke
bawah. Kemudian diberikan beban yang diikatkan pada lengan bawah dan
pergelangan tangan, biasanya dengan dumbbell dengan berat tergantung dari
kekuatan otot si penderita. Si penderita disuruh rileks untuk beberapa jam,
kemudian bonggol sendi akan masuk dengan sendirinya.
Penderita dibaringkan terlentang di lantai. Si penolong duduk pada sisi sendi yang
lepas. Kaki si penolong menjulur lurus ke dada si penderita, lengan yang lepas
sendinya ditarik dengan kedua tangan penolong dengan tenaga yang eras dan kuat,
sehingga berbunyi klik, ini berarti bonggol sendi masuk kembali.
Reduksi dengan menarik lengan ke depan secara hati-hati dan rotasi eksternal, serta
imobilisasi selama 3-6 minggu
2. Teknik Hennipen
Secara perlahan dielevasikan sehingga bengkol sendi masuk ke dalam mangkok
sendi.pasien duduk atau tidur dengan posisi 45o, siku pasien ditahan oleh tangan
kanan penolong dan tangan kiri penolong melakukan rotasi kearahluar(eksternal)
sampai 90o dengan lembut dan perlahan, jika korban merasa nyeri, rotasi eksternal
sementara dihentikan sampai terjadi relaksasi otot, kemudian dilanjutkan. Sesudah
seraksasi eksternal mencapai 90o maka reposisi akan terjadi, jika reposisi tidak
terjadi, maka.
Program rehabilitasi
Penanganan dislokasi pada sendi bahu dapat dilakukan dengan melakukan program
rehabilitasi. Program Rehabilitasi secara umum terbagi menjadi Nonoperatif
Manajemen dan Operatif manajemen.
a. Non operatif Rehabilatation
Penanganan rehabilitasi non operatif bertujuan untuk mengoptimalkan stabilisasi
sendi bahu,sebab komplikasi dislokasi berulang banyak terjadi.Menghindari
maneuver yang bersifat provokativ dan penguatan otot secara hati-hati merupakan
komponen penting dalam program rehabilitasi.
Minggu 0-2.Hindari provokatif posisi, termasuk eksternal rotasi,Abduksi,dan
Distrak.Immobilisasi tergantung umur
kurang dari 20 tahun 3-4 minggu
20-30 tahun 2-3 minggu
Lebih dari 30- 10 hari sampai 2 minggu.
Lebih dari 40 tahun 3-5 hari
Program dilanjutkan secara bertahap untuk pemulihan fungsi sesuai prosedur
rehabilitasi yang telah ditetapkan.
b. Operatif Treatment
Tujuan utama rehabilitasi adalah
Menjaga integritas stabilitasi bedah kore
Memulihkan ROM fungsional secara full
Meningkatkan stabilitas Dynamik
Kembali aktivitas yang tak dibatasi dan olahraga
Diagnosa Fisioterapi
Gangguan fungsional Bahu akibat post Dislokasi Anterior bahu. Pemerikasaan
tambahan spesifik
Problematik Fisioterapi
a. Nyeri gerak
b. Keterbatasan ROM
c. Kelemahan otot
d. Gangguan ADL
e. Advance Aktivitas/Atlet
Tujuan Fisioterapi
Jangka pendek
a. Mengurangi Nyeri gerak
b. Meningkatkan ROM
c. Meningkatkan kekuatan otot
d. Meningkatkan fungsi ADL
e. Memperbaiki power,endurance dan persiapan aktivitas normal
Jangka panjang
Meningkatkan aktifitas fisik dan kemampuan fungsional pasien.
BAB VI
FRAKTUR PADA CLAVICULA

1. Fraktur klavikula

Fraktur klavikula adalah terputusnya kontinuitas tulang klavikula(Apley, 1995). Sepertiga


tengah adalah bagian tengah dari sebuah bidang yang terbagi menjadi tiga bagian. Bilateral
adalah dua belah pihak (kanan-kiri). Jadi, fraktur klavikula tengah bilateral adalah terputusnya
kontinuitas tulang klavikula pada bagian sepertiga tengah kanan dan kiri. Post merupakan awalan
yang berarti sesudah atau setelah.
Operasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh ahli bedah khususnya tindakan
ditujukan untuk bagian tubuh yang cacat atau rusak (Dorland, 1994). ORIF atau Open Reduction
Internal Fixation apabila diartikan menurut kata adalah : Open yang berarti membuka (Warsito
Wojo, 1982), Reduction berasal dari bahasa inggris yang berarti koreksi patah tulang (Ahmad
Ramli, 2000). Internal berasal dari bahasa inggris yang berarti dalam (Wasito Wojo, 1979).
Fixation: berasal dari bahasa inggris yang berarti keadaan ditetapkannya suatu kedudukan yang
tidak dapat berubah (Ahmad Ramli, 2000). Sehingga dapat disimpulkan ORIF adalah
koreksi patah tulang dengan jalan membuka dan memasang sesuatu yang tidak dapat berubah /
fixasi didalam pada tulang tersebut.
Kirschner Wire adalah kawat logam untuk transfiksi rangka suatu tulang yang patah, kawat
ini dimasukkan melalui bagian lunak dan tulang serta ditahan kuat pada suatu klem. Pasca
berasal dari bahasa latin yang berarti setelah dan Operasi adalah suatu tindakan pembedahan
bisa diarahkan ke otot, tendon, sendi dan tulang (JN. Aston, 1996).
2. Patologi Masalah
Tindakan operasi pada fraktur klavikula dilakukan incisi pada bagian depan tulang klavikula
yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan lunak dibawah kulit maupun pembuluh darah.
Hal tersebut akan menimbulkan suatu proses radang. Pada dasarnya penyembuhan pada jaringan
lunak di bagi menjadi 3 tingkatan yaitu Injury, Inflamation, dan Repair (Dandy, 1993). Pada
tingkat Injury otot dan jaringan lunak yang di sayat pada proses operasi akan mengalami
perdarahan dan kematian pada beberapa jaringan tersebut. Kemudian akan terjadi penggumpalan
darah yang terkumpul pada daerah incisi. Adanya proses tersebut direspon tubuh dengan
mengeluarkan leukosit yang berfungsi untuk fagositosis jaringan yang mati tersebut. Tingkat
Inflamation dimana ditandai dengan adanya reaksi radang yang terjadi pada 24 jam pertama.
Kerusakan jaringan tersebut akan menstimulus pengeluaran zat-zat kimiawi dari dalam tubuh
yang membuat nyeri. Tanda-tanda radang seperti bengkak, nyeri, panas, kemerahan dan
gangguan fungsi biasanya ditemukan pada fase ini. Fase selanjutnya adalah repair ditandai
dengan terbentuknya fibroblast pada hari 2-3 dan gumpalan darah/hematoma yang kemudian
akan diganti oleh jaringan granulasi. Pada hari ke 3-4 jaringan granulasi akan mengganti exudat
dan jaringan yang mati dengan jaringan yang baru. Antara hari 3-14 fibroblast akan
menghasilkan serabut klage yang akhirnya akan terbentuk jaringan parut atau cicatrix yang
miskin akan vaskularisasi. Pada hari ke 5 akan muncul tensile strength yaitu kekuatan untuk
mencegah terbukanya luka kembali tetapi belum maksimal.
Pada operasi biasanya terlebih dahulu dilakukan tindakan anasthesi (pembiusan), agar pasien
tidak merasakan sakit ketika dilakukan pembedahan. Salah satu bentuk pembiusan yang
dilakukan adalah pembiusan general atau umum. Efek pembiusan umum sama halnya dengan
menurunkan seluruh aktifitas sistem tubuh. Salah satu sistem tubuh yang terganggu aktifitasnya
adalah sistem kardiorespirasi. Penurunan aktifitas transportasi sekret oleh mukosa silia pada jalan
nafas dapat menyebabkan terjadinya penumpukkan sekresi pada jalan nafas, akibatnya dapat
menganggu kelancaran jalan nafas. Pada sistem jantung, gangguan yang tampak adalah
terjadinya penurunan tekanan darah sebagai akibat dari penurunan aktifitas jantung dalam
memompa darah ke seluruh tubuh. Penurunan tekanan darah yang terlalu lama dapat
menyebabkan gangguan simpatis jantung berupa jantung kurang merespon terhadap perubahan
tekanan yang di terima oleh tubuh. Tekanan tersebut berupa tekanan darah perifer yang
dipengaruhi oleh gravitasi. Hal ini akan terlihat ketika pasien di dudukkan atau berdiri. Pasien
akan merasa pusing, pandangan kabur/berkunang-kunang, jantung berdebar-debar, ingin muntah
bahkan sampai sesak nafas yang merupakan manifestasi adanya mekanisme saling kompensasi
yang gagal sistem kardiorespirasi. Naiknya kebutuhan oksigen oleh tubuh, sedikitnya kandungan
oksigen dalam darah serta kerja jantung yang kurang dapat merespon dengan cepat aktifitas
hemodinamik tubuh.

3. Teknologi Fisioterapi
1) Breathing Exercise
Adanya latihan nafas, diharapkan pertukaran oksigen dalam paru menjadi lebih lancar
sehingga kadar oksigen dalam darah tinggi. Apabila tubuh melakukan suatu kerja maka
kebutuhan suplai oksigen dipastikan akan meningkat pula. Oksigen yang dibutuhkan, dibawa
oleh peredaran darah yang dikendalikan oleh jantung. Dengan kata lain kebutuhan oksigen
tubuh dapat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kadar oksigen yang terkandung dalam aliran
darah dan kelancaran aliran darah yang membawanya. Pada pasien paska operasi yang
menggunakan biusan secara general biasanya kedua hal tersebut mengalami gangguan.
Breathing Exercise dilakukan dengan tujuan peningkatan kadar oksigen dalam darah yang
mana bila tubuh membutuhkan maka paru-paru tidak perlu meningkatkan frekuensi
pernafasannya untuk memperbanyak kadar oksigen dalam darah. Apabila hal itu gagal/masih
belum mencukupi maka, jantung harus mengkompensi kebutuhan tersebut dengan
meningkatkan frekuensi pemompaaan (terasa berdebar-debar). Apabila keaadan diatas tidak
mencukupi untuk mensuplai kebutuhan oksigen, maka yang terajadi adalah otak akan
mengalami kekurangan oksigen sehingga terasa pusing. Dengan Breathing Exercise
diharapkan semua kemungkinan timbulnya pusing (adanya Hipotensi Ortostatik) dapat
dikurangi/hilang (Kisner, 1996 ).
2) Relaxed Passive Exercise
Gerakan pasif yang dilakukan oleh kekuatan dari luar atau terapis secara lambat, terus
menerus dan hanya pada batas nyeri. Jika penderita sudah merasa nyeri pada ROM tertentu
maka gerakan harus dihentikan. Efek yang diperoleh dari relaxed passive movement adalah :
memelihara ROM, mencegah kontraktur, memlihara integritas dari jaringan lunak dan
elastisitas otot, meningkatkan sirkulasi darah vena, meningkatkan produksi cairan synovial
dan nutrisi kartilago sendi, memelihara pola gerak,fungsional, mengurangi rasa nyeri
( Gardiner, 1981).
3) Free Active Exercise
Latihan gerak aktif merupkan gerakan yang terjadi akibat dari kerja otot otot anggota tubuh
itu sendiri dengan tidak menggunakan suatu bantuan atau tahanan yang berasal dari luar,
kecuali gravitasi. Efek yang dihasilkan dari terapi ini adalah : (1) mendidik system
neuromuskuler, yaitu otototot yang sedang bekerja pada suatu gerakan dapat terangsang
sehingga dapat membuat gerakan menjadi disadari, (2) merangsang daya ingat pasien dengan
cara melihat gerakan yang dilakukan, (3) menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri
pasien untuk berani menggerakkan anggota tubuh yang sakit tersebut, (4) memelihara dan
meningkatakan LGS, (5) meningkatkan kekuatan otot ( Kisner, 1996 ).
4) Latihan Kesimbangan Duduk
Dilakukan sebagai persiapan pasien ke arah fungsionalnya, apabila pasien dapat duduk
diharapkan dapat mengurangi ketergantungannya terhadap orang lain dalam malakukan
aktifitas, terutama perawatan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Subroto, Wishnu. 2014. Terapi Latihan 1. Cilacap: KPK.


Sobota. 2003.
http://atuenryuzaki.blogspot.com/2012/10/fraktur-femur-dextra-tertutup.html
http://www.detikhealth.com/read/2010/10/02/110327/1453718/763/makan-sebelum-
operasi-dapat-mempercepat-masa-pemulihan
http://www.smallcrab.com/makanan-dan-gizi/617-jenis-makanan-untuk-diet
G-Mundy, Chrissie. 2005, Pemulihan Pascaoperasi Caesar (Hal: 32), Jakarta :
Erlangga
C. Rothrock, Jane. 1999, Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif (Hal: 543),
Jakarta: EGC
Cameron, John L. 1997, Terapi Bedah Mutakhir (Hal: 576), Jakarta: Binarupa Aksara
http://nuy2008.blogspot.com/2008/12/diet-pasca-operasi_19.html
http://cakmoki86.wordpress.com/2007/08/11/makan-bergizi-pasca-operasi/

2. Rainey J.Wound care: a handbook for community nurses. Philadelphia: Whurr


Publisher; 2002. p. 10-1.

3. Tortora GJ, Grabowski SR. Structure and function of skin. [Online]. 2010 [Cited
2010 April 20] Availabel from; URL http://www.clinimed.co.uk/wound-
care/education/wound-essentials/structure-and-function-of-the-skin.aspx

4. Wound Care Solutions Telemedicine. Wounds. [Online]. 2010 [citez 2010 april 31];
Availabel from; URL http://www.woundcaresolutions-
telemedicine.co.uk/wounddefinition.php

Herdman, Heather T. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-


2011.Jakarta : EGC. Allih bahasa: Made Sumarwati, Dwi Widiarti, Etsu Tiar.

Wilkinson, M. Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis fisioterapi edisi 7. Jakarta :EGC
KapitaSelektaKedokteran, FKUI Jakarta 2000
FisioterapiMedikalBedah , EGC
ifayana, Aditya. 2013. Laporan Pendahuluan Fraktur.
http://adityadifayana.blogspot.com
/2013/01/laporan-pendahuluan-fraktur.html. Diakses 20 Januari 2014.

Anonim. 2013. Askep Post Fraktur Klavikula.


http://keperawatansite.blogspot.com/2013/
06/askep-post-fraktur-klavikula.html. Diakses 20 Januari 2014

Anda mungkin juga menyukai