BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda.
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan
penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan
penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalami
toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara
bertahap.
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan
medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernafasan, sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode post operatif dengan anestesi bisa
terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan
pernafasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan
efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru
dapat mengarah ke gagal nafas akut.
Penyebab gagal nafas akut sangat banyak, mulai dari kerusakan
system kontrol pernafasan oleh susunan saraf pusat, penyakit-penyakit
neuromuskular, sumbatan jalan nafas, penyakit-penyakit paru-paru dan
system kardiovaskular dan setiap keadaan yang dapat mempengaruhi
fungsi pertukaran gas paru dapat menyebabkan gagal nafas.
II. TUJUAN
A. Mengetahui defenisi gagal nafas akut
B. Mengetahui etiologi dari gagal nafas akut
C. Mengetahui proses dari gagal nafas akut
D. Mengetahui penatalaksanaan dari gagal nafas akut
E. Mengetahui konsep asuhan keperawatan gagal nafas akut
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
B. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan
yang mengendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke
saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti
gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuro muskular
yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
2. Gejala klinis
1) Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
2) Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun)
3) Batuk dan berdahak.
4) Kesadaran menurun, agitasi
5) Peningkatan frekuensi napas, berupa: retraksi suprasternal, interkostal,
supraklavikular dan retraksi epigastrium, takipneu, pernapasan paradoks.
6) Sianosis
7) Bradipneu ( dalam keadaan lanjut )
D. PATOFISIOLOGI
Pathway
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk menentukan adanya asidosis
respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta untuk mengetahui apakah klien
mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada klien yang
sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini juga sangat penting
untuk mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan terapi atau pengobatan yang
diberikan terhadap klien.
2. Radiologi
Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta fluoroskopi akan
banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi, pneumothoraks, efusi
pleura, hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru
Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada tidaknya
gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV1 > 83% prediksi.
Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan FEV1/FVC lebih rendah dari nilai normal. Jika
FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih besar dari nilai normal, keadaan ini
menunjukkan ada restriksi.
4. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang ditandai dengan
perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta jantung yang
mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung sering dijumpai
pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan Sputum
Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai ada
garis-garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan disebabkan oleh
bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan keganasan. Sputum yang
berwarna merah jambu dan berbuih (pink frothy), kemungkinan disebabkan edema
paru. Untuk sputum yang mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih
sering merupakan tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.
F. Penatalaksanaan
1. Penanganan A, B, C, D bagi pasien dengan gagal nafas akut menjadi prioritas
utama.
2. Pemberian O2 yang adekuat dengan meningkatkan fraksi O2 akan memperbaiki
PaO2, sampai sekitar 60-80 mmHg cukup untuk oksigenasi jaringan dan
pecegahan hipertensi pulmonal akibat hipoksemia yang terjadi. Pemberian
FiO2<40% menggunakan kanul nasal atau masker. Pemberian O2 yang berlebihan
akan memperberat keadaan hiperkapnia.Menurunkan kebutuhan oksigen dengan
memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi, sepsis dll usahakan Hb sekitar
10-12g/dl.
3. Dapat digunakan tekanan positif seperti CPAP, BiPAP, dan PEEP. Perbaiki
elektrolit, balance pH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenik. Ganguan pH
dikoreksi pada hiperkapnia akut dengan asidosis, perbaiki ventilasi alveolar dengan
memberikan bantuan ventilasi mekanis, memasang dan mempertahankan jalan
nafas yang adekuat, mengatasi bronkospasme dan mengontrol gagal jantung,
demam dan sepsis.
4. Atasi atau cegah terjadinya atelektasis, overload cairan, bronkospasme, sekret
trakeobronkial yang meningkat, dan infeksi.
5. Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin. ( Hood Alsagaff, 2004:189-190).
Kortikosteroid (Metilpretmisolon bisa digunakan bersamaan dengan bronkodilator
ketika terjadi bronkospasme dan inflamasi. Ketika penggunaan IV kortikoteroid
mempunyai reaksi onset cepat. Kortikosteroid dengan inhalasi memerlukan 4-5
hari untuk efek optimal terapy dan tidak digunakan untuk gagal napas akut. Hal
yang perlu diperhatikan dalam penggunaan IV kortikosteroid, Monitor tingkat
kalium yang memperburuk hipokalemia yang disebabkan diuretik. Penggunaan
jangka panjang menyebabkan insufisiensi adrenalin.
6. Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak meningkatkan volume
paru yang ekuivalan dengan 5-12 cm H2O PEEP.
7. Drainase sekret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan pemberian mukolitik,
hidrasi cukup, humidifikasi udara yang dihirup, perkusi, vibrasi dada dan latihan
batuk yang efektif.
8. Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi.
9. Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasme.
10. Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjadi asidemia, hipoksemia dan
disfungsi sirkulasi yang prospektif. ( Hood Alsagaff, 2004:189-190)
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
A. Pengkajian umum
1. Riwayat keluarga tentang alergi dan penyakit keturunan
2. Riwayat pasien tentang gangguan petnafasan yang baru diderita, terkena
infeksi, adanya alergi/iritasi, trauma.
B. Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronchi dan wheezing
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan haluaran urine
C. Aktifitas / Istirahat
Gejala : kekurangan energi, insomnia
D. Sirkulasi
1. Gejala : riwayat adanya bedah jantung paru, fenomena embolik (darah, udara,
lemak)
2. Tanda :
a) TD : dapat normal atau meningkat pada awal (berlangjut menjadi
hipoksia) ; hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau dapat factor
pencetus seperti pada eklampsia.
Kriteria hasil :
Tidak ada sianosis dan dispneu ( mampu mnegeluarkan sputum, mampu
bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Tanda vital dalam batas normal
Menunjukan nafas yang paten ( tidak ada rasa tercekik, irama nafas, frekuensi
nafas dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Intervensi :
a. Buka jalan nafas, gunakan teknik chinlift atau jaw thrust bila perlu
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat/ jalan nafas buatan
d. pasang mayo bila perlu
e. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
f. Auskultasi suara nafas, catat adanya sura tambahan
g. Lakukan suction pada mayo
h. Berikan bronkodilator bila perlu
i. Berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab
j. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction
k. Monitor status respirasi dan status O2
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi cairan dalam interstitial /
area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan, perubahan membran
aleolar kapiler, gangguan ventilasi - perfusi
Batasan karakteristik :
pH darah arteri abormal
Pernafasan abnoral ( misal : kecepatan, irama kedalaman)
Warna kulit abnormal ( misal : kepucatan dll)
Sianosis
Diaforesis
Dispneu
Hiperkapnea
Hipoksemia
Nafas cuping hidung
Samnolen, koma
Takikardi
Gelisah
Kriteria hasil :
Tanda vital dalam rentang normal
Peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
Tidak ada tanda-tanda distres pernafasan
pH darah dan pCO2 dalam batas normal
Tidak ada dispneu, sianosis dan suara nafas tambahan
Intervensi :
a. Airway manajemen :
1) Buka jalan nafas, gunakan teknik chinlift atau jaw thrust bila perlu
2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat/ jalan nafas buatan
4) Pasang mayo bila perlu
5) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
6) Auskultasi suara nafas, catat adanya sura tambahan
7) Lakukan suction pada mayo
8) Berikan bronkodilator bila perlu
9) Berikan pelembab udara kassa basah NaCl lembab
10) Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction
11) Monitor status respirasi dan status O2
b. Respiratory Monitoring :
1) Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
2) Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot bantu
pernafasan, retraksi otot supraventikuler dan interkostal
3) Monitor suara nafas dan pola nafas, seperti : bradipneu, takipneu, cheyne
stokes, kusmaull
4) Auskultasi suara nafas, catat area penurunan/ tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
5) Tentukan kebutuhan suction
6) Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Batasan karakteristik :
Terpasang alat untuk prosedur invasif
Trauma jaringan
Perubahan sekresi pH
Penurunan kesadaran
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda dan gejala infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal
Intervensi :
1) Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat dan perawatan
2) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan kepada pasien
3) Batasi pengunjung bila perlu
4) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
5) Pertahanakan teknik steril setiap melakukan tindakan invasif
6) Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam
7) Monitor tanda vital terhadap infeksi
8) Pantau hasil pemeriksaan laboratorium untuk kultur dan sensitivitas
9) Monitor intake nutrisi dan cairan yang cukup
10) Ajarkan cara menhindarkan infeksi bagi keluarga
4. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan
peroral, pemasangan alat bantu pernafasan dan prosedur invasif.
Batasan karakteristik :
BB 20 % atau lebih dibawah berat badan ideal
Ketidak mampuan menelan makanan per oral.
Intervensi :
1) Kaji dan monitoring status gizi klien, kalori dan intake utrisi
2) Monitor adanya penurunan BB
3) Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi dengan tim gizi
4) Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral
sesuai indikasi
5) Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Hematokrit.
KESIMPULAN
1. Gagal napas adalah ganguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang terjadi
di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan udara dan masuk keluar paru.
(Hood Alsagaff, 2004:185).
2. Gagal napas merupakan keadaan ketidakmampuan tubuh untuk menjaga pertukaran
gas seimbang dengan kebutuhan tubuh sehingga mengakibatkan hipoksemia dan
atau hiperkapnia. Dikatakan gagal napas apabila PaCO2 > 45 mmHg atau PaO2<
55mmHg. (Boedi Swidarmoko, 2010: 259)
3. Gagal nafas akut merupakan fase lanjut dari gangguan pernafasan yang
menyebabkan kegagalan paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
mengeluarkan CO2. Keberhasilan dari pengobatan sangat tergantung pada penyakit
primer penyebab gagal nafas, berat ringannya penyakit, umur serta tersedianya
fasilitas alat bantu pernafasan. Penyebab utama dari gagal nafas akut pada anak
adalah penyakit paru paru terutama bronkopneumonia dan bronkiolitis. Angka
kematian gagal nafas akut pada anak masih cukup tinggi, namun dengan terapi
terbaru yang saat ini sedang dikembangkan seperti pemberian surfaktan exogen,
inhalasi nitric oxide dan pemakaian non conventional ventilator diharapkan akan
dapat menurunkan angka kematian.
4.
DAFTAR PUSTAKA