Anda di halaman 1dari 32

CA LAMBUNG

Kanker harus semakin diwaspadai mengingat jumlah penderitanya yang terus bertambah.
Jenis kanker pun semakin banyak dan hampir semua organ tubuh bisa terkena. salah satunya
adalah kanker lambung. Penyakit ini, memang jumlah penderitanya di Indonesia masih sangat
kecil, tetapi seperti jenis kanker lainnya, kanker lambung sulit untuk disembuhkan.
Tumor jinak di lambung tidak menimbulkan gejala atau masalah medis. Tetapi kadang-
kadang, beberapa mengalami perdarahan atau berkembang menjadi kanker. Sekitar 99% kanker
lambung adalah adenokarsinoma. Kanker lambung lainnya adalah leiomiosarkoma (kanker otot
polos) dan limfoma. Kanker lambung lebih sering terjadi pada usia lanjut. Kurang dari 25 %
kanker tertentu terjadi pada orang di bawah usia 50 tahun. Di Cina, Jepang, Cili dan Iceland,
kanker lambung sering sekali ditemukan. Di AS, lebih sering terjadi pada orang miskin, orang
kulit hitam dan orang yang tinggal di utara. Dan merupakan penyebab kematian no. 7, yang
terjadi pada sekitar 8 dari setiap 100.000 orang ( Rudi Prasetyo,2008).
Ca lambung merupakan neoplasma maligna yang ditemukan dilambung. Kanker lambung
sering dimulai pada sisi dimana lapisan lambung meradang. Tetapi banyak ahli yakin bahwa
peradangan adalah akibat dari kanker lambung, bukan sebagai penyebab kanker. ( Khaidir
Muhaj,2009 ).
Tumor jinak di lambung agaknya tidak menimbulkan gejala atau masalah medis. Tetapi
kadang-kadang, beberapa mengalami perdarahan atau berkembang menjadi kanker.
Sekitar 99% kanker lambung adalah adenokarsinoma. Kanker lambung lainnya adalah
leiomiosarkoma (kanker otot polos) dan limfoma. Kanker lambung lebih sering terjadi pada usia
lanjut. Kurang dari 25 % terjadi pada orang di bawah usia 50 tahun.
Di Cina, Jepang, Cili dan Iceland, kanker lambung sering sekali ditemukan. Di AS, lebih
sering terjadi pada orang miskin, orang kulit hitam dan orang yang tinggal di utara. Dan
merupakan penyebab kematian no 7, yang terjadi pada sekitar 8 dari setiap 100.000 orang
( Admin,2010 ).
Kanker lambung merupakan neoplasma maligna yang ditemukan di lambung, biasanya
adenokarsinoma, meskipun mungkin merupakan limfoma malignansi. Diketahui bahwa cancer
lambung 2 kali lebih umum terjadi pada pria daripada wanita dan lebih sering terjadi pada klien
yang mengalami anemia pernisiosa.
Meskipun tidak ada faktor etiologi khusus yang dihubungkan dengan ca lambung, banyak
faktor yang tampak berhubungan dengan perkembangan penyakit ini seperti inflamasi lambung
kronik, anemia pernisiosa, ulkus lambung, bakteri Helicobacter Pylori dan faktor keturunan (Ns
Nurhayati, S.Kep ).
Neopasma ialah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus-
menerus secara tak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna
bagi tubuh (Patologi, dr. Achmad Tjarta,2002).
Karsinoma Gaster ialah suatu neoplasma yang terdapat pada Gaster (R. Simadibrata,
2000).

B. ETIOLOGI

Beberapa ahli berpendapat, ulkus gastrikum bisa menyebabkan kanker. Tapi kebanyakan
penderita ulkus dan kanker lambung, kemungkinan sudah mengidap kanker yang tidak terdeteksi
sebelum tukaknya terbentuk. Helicobacter pylori, kuman yang memegang peranan penting dalam
ulkus duodenalis, juga bisa berperan dalam terjadinya kanker lambung. Penyebab kanker
lambung adalah bakteri Helicobacter Pylori yang ditemukan oleh dua warga Australia peraih
hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 2005, yakni J. Robin Warren dan Barry J. Marshall.
Kebanyakan penderita kanker lambung datang ke dokter sudah dalam kondisi stadium akhir.
Bahkan di Amerika Serikat, hanya 10-20 persen penderita yang diketahui datang ke dokter pada
stadium awal. Akan tetapi, penyebab keberadaan bakteri Helicobacter Pylori di dalam lambung
masih belum diketahui dengan pasti. Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Misalnya pola
makan yang tidak sehat, seperti kurang mengkonsumsi buah dan sayur. Juga gaya hidup tidak
sehat, seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, dan makan makanan yang dibakar (barbeque).
Polip lambung, suatu pertumbuhan jinak yang berbentuk bundar, yang tumbuh ke dalam rongga
lambung, diduga merupakan pertanda kanker dan oleh karena itu polip selalu diangkat.
Kanker mungkin terjadi bersamaan dengan jenis polip tertentu, yaitu polip yang lebih
besar dari 1,8 cm atau polip yang jumlahnya lebih dari 1. Faktor makanan tertentu diperkirakan
berperan dalam pertumbuhan kanker lambung. Faktor-faktor ini meliputi :
a. asupan garam yang tinggi.
b. asupan karbohidrat yang tinggi.
c. asupan bahan pengawet (nitrat) yang tinggi.
d. asupan sayuran hijau dan buah yang kurang.
e. ada kaitannya dengan : diet, genetic, komposisi tanah, lambung kronis.
Namun para penyelidik berpendapat bahwa komposisi makanan merupakan faktor
penting dalam kejadian karsinoma Gaster. Makanan tersebut seperti ;
f. Gastritis kronis.
g. Faktor infeksi (oleh kuman H. Pylory).
h. Herediter.
i. Sering Makan daging hewan dengan cara dipanggang atau dibakar atau diasapkan.
j. Sering makan makanan yang terlalu pedas.
k. Kurang makanan yang mengandung serat.
l. Makan makanan yang memproduksi bahan karsinogenik
Ada yang timbul sebagai hubungan dengan konsumsi garam yang meningkat. Ingesti
nitrat dan nitrit dlam diet tinggi protein telah memberikan perkembangan dalam teori bahwa
senyawa karsinogen seperti nitrosamine dan nitrosamide dapat dibentuk oleh gerak pencernaan.
Penurunan kanker lambung di USA pada decade lalu dipercaya sebagai hasil pendinginn
yang meningkat yang mnyebabkan terjadinya bermacam-macam makanan segar termasuk susu,
sayuran, buah, juice, daging sapid an ikan, dengan penurunan konsumsi makanan yang
diawetkan, garam, rokok, dan makanan pedas. Jadi dipercaya bawha pendinginan dan vit C (dlm
buah segar dan sayuran) dapat menghambat nitrokarsinogen.
Factor genetic mungkin memainkan peranan dalam perkembangan kanker lambung.
Frekuensi lebih besar timbul pada individu dgn gol.darah A. Riwayat keluarga meningkatkan
resiko individu tetapi minimal, hanya 4% dari organ dgn karsinoma lambung mempunyai riwayat
keluarga.

C. KLASIFIKASI

Early gastric cancer (tumor ganas lambung dini). Berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi,
gastroskopi dan pemeriksaan histopatologis dapat dibagi atas :
1. Tipe I (pritrured type)
Tumor ganas yang menginvasi hanya terbatas pada mukosa dan sub mukosa yang berbentuk
polipoid. Bentuknya ireguler permukaan tidak rata, perdarahan dengan atau tanpa ulserasi.
2. Tipe II (superficial type)
Dapat dibagi atas 3 sub tipe.
a. Tipe II.a. (Elevated type)
Tampaknya sedikit elevasi mukosa lambung. Hampir seperti tipe I, terdapat sedikit elevasi dan
lebih meluas dan melebar.
b. Tipe II.b. (Flat type)
Tidak terlihat elevasi atau depresi pada mukosa dan hanya terlihat perubahan pada warna
mukosa.
c. Tipe II.c. (Depressed type)
Didapatkan permukaan yang iregular dan pinggir tidak rata (iregular) hiperemik / perdarahan.
3. Tipe III. (Excavated type)
Menyerupai Bormann II (tumor ganas lanjut) dan sering disertai kombinasi seperti tipe II c dan
tipe III atau tipe III dan tipe II c, dan tipe II a dan tipe II c.
Advanced gastric cancer (tumor ganas lanjut). Menurut klasifikasi Bormann dapat dibagi atas :

1. Bormann I.
Bentuknya berupa polipoid karsinoma yang sering juga disebut sebagai fungating dan mukosa di
sekitar tumor atropik dan iregular.
2. Bormann II
Merupakan Non Infiltrating Carsinomatous Ulcer dengan tepi ulkus serta mukosa sekitarnya
menonjol dan disertai nodular. Dasar ulkus terlihat nekrotik dengan warna kecoklatan, keabuan
dan merah kehitaman. Mukosa sekitar ulkus tampak sangat hiperemik.
3. Bormann III.
Berupa infiltrating Carsinomatous type, tidak terlihat bats tegas pada dinding dan infiltrasi difus
pada seluruh mukosa.
4. Bormann IV
Berupa bentuk diffuse Infiltrating type, tidak terlihat batas tegas pada dinding dan infiltrasi difus
pada seluruh mukosa.
D. MANIFESTASI KLINIK

Gejala awal dari kanker lambung sering tidak nyata karena kebanyakan tumor ini
dikurvatura kecil, yang hanya sedikit menyebabkan ggn fungsi lambung. Beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa gejala awal seperti nyeri yg hilang dgn antasida dapat menyerupai
gejala pd pasien ulkus benigna. Gejala penyakit progresif dapat meliputi tidak dapat makan,
anoreksia, dyspepsia, penurunan BB, nyeri abdomen, konstipasi, anemia dan mual serta muntah (
Harnawati,2008 ).
a. Bercak darah dalam tinja merupakan salah satu tanda-tanda menderita kanker perut Adanya
darah saat membagikan feses juga disebabkan oleh kondisi lain,. Tapi untuk kanker perut itu
adalah salah satu gejala yang paling indikatif. Juga, itu adalah gejala yang dihubungkan ke
beberapa jenis kanker. Ketika ada tumor hadir di perut, mungkin menyebabkan darah mengalir
keluar melalui tinja.
b. Penderitaan dari rasa sakit konstan dalam perut merupakan gejala dari kanker lambung. Hal
ini bisa apa saja dari rasa sakit ringan sampai nyeri kram parah. Jenis rasa sakit biasanya ada di
daerah atas perut.
c. Konstan dengan mual muntah, terutama setelah Anda makan adalah tanda kanker lambung.
mual mungkin gigih dan hadir untuk jangka waktu yang panjang. Hal ini pernah berhubungan
dengan demam atau sakit kepala. Jenis mual sering menunjukkan masalah kesehatan serius.
d. Kehilangan nafsu makan tanpa alasan adalah tanda lain yang cukup sering terlihat pada orang
yang menderita dari kanker terdiagnosis dalam lambung. Beberapa orang mungkin mengalami
kembung di daerah perut bahkan jika mereka tidak makan apa-apa. Kebiasaan usus dapat
berubah drastis.
Pada stadium awal kanker lambung, gejalanya tidak jelas dan sering tidak dihiraukan. Jika
gejalanya berkembang, bisa membantu menentukan dimana lokasi kanker lambung tersebut.
Sebagai contoh, perasaan penuh atau tidak nyaman setelah makan bisa menunjukkan adanya
kanker pada bagian bawah lambung.
Penurunan berat badan atau kelelahan biasanya disebabkan oleh kesulitan makan atau
ketidakmampuan menyerap beberapa vitamin dan mineral. Anemia bisa diakibatkan oleh
perdarahan bertahap yang tidak menyebabkan gejala lainnya. Kadang penderita juga bisa
mengalami muntah darah yang banyak (hematemesis) atau mengeluarkan tinja kehitaman
(melena).
Bila kanker lambung bertambah besar, mungkin akan teraba adanya massa pada dinding perut.
Pada stadium awal, tumor lambung yang kecil bisa menyebar (metastasis) ke tempat yang jauh.
Penyebaran tumor bisa menyebabkan pembesaran hati, sakit kuning (jaundice), pengumpulan
cairan di perut (asites) dan nodul kulit yang bersifat ganas. Penyebaran kanker juga bisa
menyebabkan pengeroposan tulang, sehingga terjadi patah tulang ( Admin,2010 ).

E. PENATALAKSANAAN

1. Pencegahan
Kanker lambung dapat dicegah dengan cara-cara di bawah ini, untuk mengurangi risiko kanker
perut dengan membuat perubahan kecil kehidupan sehari-hari Anda. Sebagai contoh, cobalah
untuk:
a. Makan lebih banyak buah dan sayuran. Cobalah untuk memasukkan lebih banyak buah dan
sayuran ke dalam makanan setiap hari. Memilih berbagai jenis buah-buahan dan sayuran
berwarna.
b. Mengurangi jumlah makanan diasap dan asin yang anda makan. Lindungi perut Anda dengan
membatasi makanan ini. Coba dengan bumbu dan cara lain untuk penyedap makanan yang tidak
menambahkan natrium.
c. Berhenti merokok. Jika Anda merokok, berhenti. Jika Anda tidak merokok, jangan mulai.
Merokok meningkatkan risiko kanker perut, dan juga banyak jenis kanker lainnya. Berhenti
merokok bisa sangat sulit, sehingga mintalah bantuan dokter.
d. Tanyakan kepada dokter Anda tentang risiko kanker perut. Beberapa kondisi medis yang
meningkatkan risiko kanker perut, seperti anemia, maag dan perut polip. Jika Anda telah
didiagnosa dengan salah satu kondisi tersebut, tanyakan kepada dokter bagaimana ini
mempengaruhi risiko kanker perut. Bersama Anda dapat mempertimbangkan periodik endoskopi
untuk mencari tanda-tanda kanker perut. Tidak ada pedoman untuk menentukan siapa yang harus
menjalani skrining untuk kanker lambung di Amerika Serikat. Tetapi dalam beberapa kasus,
Anda dan dokter Anda dapat memutuskan risiko Anda cukup tinggi bahwa manfaat dari skrining
lebih besar daripada potensi resiko.
2. Pengobatan
a. Kemoterapi dan terapi radiasi
Bila karsinoma telah menyebar ke luar dari lambung, tujuan pengobatannya adalah untuk
mengurangi gejala dan memperpanjang harapan hidup. Kemoterapi dan terapi penyinaran bisa
meringankan gejala.
Hasil kemoterapi dan terapi penyinaran pada limfoma lebih baik daripada karsinoma. Mungkin
penderita akan bertahan hidup lebih lama bahkan bisa sembuh total.
b. Reseksi bedah.
Jika penyakit belum menunjukkan tanda penyebaran, pilihan terbaik adalah pembedahan.
Walaupun telah terdapat daerah sebar, pembedahab sudah dapat dilakukan sebagai tindakan
paliatif. Reaksi kuratif akan berhsil bila tidak ada tanda metastasis di tempat lain, tidak ada sisa
Ca pada irisan lambung, reseksi cairan sekitar yang terkena, dari pengambilan kelenjar limfa
secukupnya.
c. Obat multiple (fluorosil, mitomisin C dan doksorubisin)
Di antara obat yang di gunakan adalah 5 FU, trimetrexote, fluorosil, mitomisin C, doksorubisin,
hidrourea, epirubisin dan karmisetin dengan hasil 18 30 %.
d. Hiperalimentasi (nutrisi intravena).
Nutrisi intravena yag disuntikan melalui intravena yang berfunsi untuk menggantikan nutrisi
karena kanker lambung ini. Karena kanker lmbung ini proses penyerapan nutrisi yang terjadi di
lambung terganggu dan mengakibatkan kekurangan nutrisi dari kebutuhan yang diperlukan.
Maka diberikan hiperalimentasi ini.
3. Perawatan
a. Penderita dirawat dengan tujuan untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Klien harus tetap
berbaring sampai beberapa hari setelah tanda dan gejala terjadi, dan 7 hari setelah dilakukan
operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
b. Pada klien dengan kesadaran menurun, diperlukan perubahan2 posisi berbaring untuk
menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
4. Diet
a. Pada mulanya klien diberikan makanan diet cair atau bubur saring kemudian bubur kasar
untuk menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus.
Gastritis
Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti
inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis adalah proses
inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme
protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Secara hispatologi dapat
dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel. Sedangkan, menurut Lindseth dalam Prince (2005:
422), gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat
bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh
ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu
berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau
terapi radiasi (Brunner, 2000 : 187).
Dari defenisi-defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah suatu peradangan
atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi, dan
ketidakteraturan dalam pola makan, misalnya telat makan, makan terlalu banyak, cepat, makan
makanan yang terlalu banyak bumbu dan pedas. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
gastritis.
Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Peradangan dari gastritis dapat hanya
superficial atau dapat menembus secara dalam ke dalam mukosa lambung, dan pada kasus-kasus
yang berlangsung lama menyebabkan atropi mukosa lambung yang hampir lengkap. Pada
beberapa kasus, gastritis dapat menjadi sangat akut dan berat, dengan ekskoriasi ulserativa
mukosa lambung oleh sekresi peptik lambung sendiri (Guyton, 2001).
Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada
manifestasi klinis, gambaran hispatologi yang khas, distribusi anatomi, dan kemungkinan
patogenesis gastritis. Didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan
kronik. Harus diingat, bahwa walaupun dilakukan pembagian menjadi akut dan kronik, tetapi
keduanya tidak saling berhubungan. Gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan gastritis akut
(Suyono, 2001).
1.1 Gastritis Akut
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan
sembuh sempurna (Prince, 2005: 422). Gastritis akut terjadi akibat respons mukosa lambung
terhadap berbagai iritan lokal. Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus
merupakan penyakit yang ringan.
Bentuk terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat, yang
dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan parut dapat
terjadi yang mengakibatkan obstruksi pylorus (Brunner, 2000).
Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang
berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada
penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi drosi
yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi
pada mukosa lambung tersebut (Suyono, 2001: 127).
1.1.1 Gastritis Akut Erosif
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis akut erosif adalah suatu peradangan
permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi. Disebut erosi apabila
kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis. Penyakit ini dijumpai di
klinik, sebagai akibat efek samping dari pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit lain
atau karena sebab yang tidak diketahui.
Perjalanan penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat
menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian atas. Penderita gastritis
akut erosif yang tidak mengalami pendarahan sering diagnosisnya tidak tercapai (Suyono, 2001).
Untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan khusus yang sering dirasakan
tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja. Diagnosis gastritis akut erosif,
ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
biopsi mukosa lambung (Suyono, 2001).
2.1.1.2 Gastritis Akut Hemoragik
Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik; Pertama diperkirakan karena minum
alkohol atau obat lain yang menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik secara berlebihan (aspirin
atau NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi pendarahan pada
kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara spontan dan mortalitas cukup rendah. Kedua
adalah stress gastritis yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien yang
mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus menerus atau penyakit berat lainnya
(Suyono, 2001).
Erosi stress merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk pada lambung proksimal yang
timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tak berkurang. Berbeda dengan ulserasi
menahun yang lebih biasa pada traktus gastrointestinalis atas, ia jarang menembus profunda ke
dalam mukosa dan tak disertai dengan infiltrasi sel radang menahun. Tanpa profilaksis efektif,
erosi stress akan berlanjut dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk beberapa ulserasi
yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas dari keparahan yang mengancam nyawa.
Keadaan ini dikenal sebagai gastritis hemoragika akuta (Sabiston, 1995: 525).
1.2 Gastritis Kronik
Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina propria
dan daerah intra epitelial terutama terdiri atas sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan sel
plasma. Gastritis kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah limfosit dan
sel plasma pada mukosa lambung. Derajat paling ringan gastritis kronis adalah gastritis
superfisial kronis, yang mengenai bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang
lebih parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini biasanya
berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal
(Chandrasoma, 2005 : 522).
Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu tipe A yang
merupakan gastritis autoimun yang terutama mengenai tubuh dan berkaitan dengan anemia
pernisiosa; dan tipe B yang terutama meliputi antrum dan berkaitan dengan infeksi Helicobacter
pylori. Terdapat beberapa kasus gastritis kronis yang tidak tergolong dalam kedua tipe tersebut
dan penyebabnya tidak diketahui (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronik dapat dibagi dalam berbagai bentuk tergantung pada kelainan histologi,
topografi, dan etiologi yang menjadi dasar pikiran pembagian tersebut (Suyono, 2001).
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi histologi yang sering digunakan
membagi gastritis kronik menjadi :
1. Gastritis kronik superficial
Apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria mukosa
superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar
tetap utuh. Sering dikatakan gastritis kronik superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik.
2. Gastritis kronik atrofik
Sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan destruksi
sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan gastritis kronik
superfisialis.
3. Atrofi lambung
Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu struktur
kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat, sedangkan
sebukan sel-sel radang juga menurun. Mukosa menjadi sangat tipis sehingga dapat menerangkan
mengapa pembuluh darah menjadi terlihat saat pemeriksaan endoskopi.
4. Metaplasia intestinal
Suatu perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar-kelenjar
mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi
secara menyeluruh pada hampir seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan
bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), distribusi anatomis pada gastritis kronik dapat
dibagi menjadi tifa bagian, yaitu :
1. Gastritis Kronis Tipe A
Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya
autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik, dan berkaitan dengan
tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan
tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik.
Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak tersedianya faktor intrinsik
untuk mempermudah absorpsi vitamin B12 dalam ileum (Prince, 2005: 423).
Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12 karena
kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung
menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang menyekresikan faktor intrinsik dan
asam (Chandrasoma, 2005 : 522).
Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-plasmasitik pada mukosa sekitar
sel parietal, yang secara progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan tidak
didapati Helicobacter pylori. Mukosa fundus dan korpus menipis dan kelenjar-kelenjar
dikelilingi oleh sel mukus yang mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia
intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada stadium akhir, mukosa
menjadi atrofi dan sel parietal menghilang (gastritis kronis tipe A) (Chandrasoma, 2005 : 522).
2. Gastritis Kronis Tipe B
Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena umumnya mengenai
daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A.
Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita yang berusia tua. Bentuk gastritis ini
memiliki sekresi asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar gastrin
yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh
Helicobacter pylori. Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol yang
berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor Helicobacter pylori (Prince,
2005: 423).
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang merupakan tempat
predileksi Helicobacter pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan limfoplasmasitik pada
mukosa lambung superfisial. Infeksi aktif Helicobacter pylori hampir selalu berhubungan
dengan munculnya nertrofil, baik pada lamina propria ataupun pada kelenjar mukus antrum.
Pada saat lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi mukosa dalam dan korpus
lambung. Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan destruksi kelenjar mukus antrum dan
metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B) (Chandrasoma, 2005 : 523).
Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori pada pemeriksaan histologis atau
kultur biopsi. Pada banyak pasien yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan serologisnya
memperlihatkan antibodi terhadap Helicobacter pylori, yang menunjukkan sudah ada infeksi
Helicobacter pylori sebelumnya (Suyono, 2001).
Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan melengkung, seperti vibrio, yang
muncul pada lapisan mukus permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen kelenjar.
Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang sel permukaan, menyebabkan
deskuamari sel yang dipercepat dan menimbulkan respon sel radang kronis pada mukosa
lambung. Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi yang menunjukkan
gastritis kronis. Organisme ini dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan
pewarnaan perak Steiner atau Giemsa. Keberadaan Helicobacter pylori berkaitan erat dengan
peradangan aktif dengan netrofil. Organisme dapat tidak ditemukan pada pasien gastritis akut
inaktif, terutama bila terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 524).
3. Gastritis kronis tipe AB
Gastritis kronis tipe AB merupakan gastritis kronik yang distribusi anatominya menyebar
keseluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus tersebut cendrung meningkat dengan bertambahnya
usia (Suyono, 2001: 130).
2.2 Fisiologi Lambung
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung,
dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan enzim-
enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi
pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein
oleh pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan,
sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung serta sebagai pelumas
sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus
yang berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas
penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran
makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan
dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam
usus halus (Prince, 2005).
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk
mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran makanan
yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus
kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml
cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl
membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH
yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas.
Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal
mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).
Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja
yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang
bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang
menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi
meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua,
fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam
lambung yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam
lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai
mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur.
Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut
memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong,
2001).

Gambar 2.2 Phatway gastritis

Pada skema di atas, dijelaskan bahwa obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak teratur,
stress, dan lain-lain dapat merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung,
dan memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini
menimbulkan peradangan. Respons mukosa lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi
tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali
menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang
dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif
mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan
perforasi dinding lambung dengan akibat berikutnya perdarahan dan peritonitis.
Gastritis kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan keadaan
mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau kehijauan (gastritis atropik).
Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya sekresi lambung dan
timbulnya anemia pernisiosa. Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk
karsinoma lambung. Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan dengan ulkus peptikum
(Suyono, 2001).
5 Manifestasi Klinis
Sindrom dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna
berupa hematemesis dan melena, kemudian disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca
perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-
obatan atau bahan kimia tertentu (Suyono, 2001).
Ulserasi superfisial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi, ketidaknyamanan
abdomen (dengan sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta cegukan
beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat terjadi jika makanan pengiritasi tidak
dimuntahkan, tetapi jika sudah mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam
sehari meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari (Ester, 2001).
6 Komplikasi Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), komplikasi yang timbul pada gastritis, yaitu
perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan melena, berakhir dengan
syok hemoragik, terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.
Jika dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan ulkus peptikum dan
pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis dapat meningkatkan resiko kanker
lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus pada dinding lambung dan
perubahan pada sel-sel di dinding lambung (Prince, 2005).
Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinoma, yang bermula pada sel-sel kelenjar
dalam mukosa. Adenocarcinoma tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi Helicobacter pylori.
Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat Helicobacter pylori adalah MALT (mucosa
associated lyphoid tissue) lymphomas, kanker ini berkembang secara perlahan pada jaringan
sistem kekebalan pada dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan bila ditemukan
pada tahap awal (Anonim, 2010).
7 Penatalaksanaan Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), penatalaksanaan medikal untuk gastritis akut
adalah dengan menghilangkan etiologinya, diet lambung dengan posisi kecil dan sering. Obat-
obatan ditujukan untuk mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis reseptor H 2 inhibition
pompa proton, antikolinergik dan antasid juga ditujukan sebagai sifoprotektor berupa sukralfat
dan prostaglandin.
Penatalaksanaan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien dengan resiko
tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan menghentikan obat yang dapat
menjadi kuasa dan pengobatan suportif. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida
dan antagonis H2 sehingga mencapai pH lambung 4. Meskipun hasilnya masih jadi perdebatan,
tetapi pada umumnya tetap dianjurkan.
Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit dengan keadaan klinis yang
berat. Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi nonsteroid pencegahan yang terbaik adalah
dengan Misaprostol, atau Derivat Prostaglandin Mukosa.
Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek
teraupetiknya masih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila keadaan si pasien
membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada sebagian pasien biasa mengancam
jiwa. Tindakan-tindakan itu misalnya dengan endoskopi skleroterapi, embolisasi arteri gastrika
kiri atau gastrektomi. Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar abolut (Suyono, 2001).
Penatalaksanaan untuk gastritis kronis adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar disertai
sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai permukaan
yang rata, Gastritis kronis ini digolongkan menjadi dua kategori tipe A (altrofik atau fundal) dan
tipe B (antral).
Pengobatan gastritis kronis bervariasi, tergantung pada penyakit yang dicurigai. Bila
terdapat ulkus duodenum, dapat diberikan antibiotik untuk membatasi Helicobacter Pylory.
Namun demikian, lesi tidak selalu muncul dengan gastritis kronis alkohol dan obat yang
diketahui mengiritasi lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia defisiensi besi (yang
disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyakit ini harus diobati, pada anemia pernisiosa
harus diberi pengobatan vitamin B12 dan terapi yang sesuai (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet dan meningkatkan istirahat, mengurangi
dan memulai farmakoterapi. Helicobacter Pylory dapat diatasi dengan antibiotik (seperti
Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan garam bismut (Pepto bismol). Pasien dengan gastritis tipe A
biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12 (Chandrasoma, 2005 : 522).
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes,
diantaranya :
1. Tes Darah
Tes darah untuk melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori. Hasil test
yang positif menunjukkan bahwa seseorang pernah mengalami kontak dengan bakteri
Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan tersebut bukan berarti seseorang telah
terinfeksi Helicobacter pylori. Tes darah juga dapat digunakan untuk mengecek terjadinya
anemia yang mungkin saja disebabkan oleh perdarahan karena gastritis (Anonim, 2010).
2. Breath Test
Test ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk mengetahui apakah ada
infeksi Helicobacter pylori dalam tubuh seseorang.
3. Stool Test
Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam sampel tinja
seseorang. Hasil test yang positif menunjukkan orang tersebut terinfeksi Helicobacter pylori.
Biasanya dokter juga menguji adanya darah dalam tinja yang menandakan adanya perdarahan
dalam lambung karena gastritis.
4. Rontgen
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat dilihat
dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum
dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di
rontgen.
5. Endoskopi
Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin tidak
dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil
yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian
atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum endoskop
dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam
saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari
jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini
memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh
pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang,
kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering
terjadi adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop (Anonim,2010).
ULKUS GASTER
1.DEFINISI

Ulkus merupakan defek di mukosa hingga muskularis mukosa bahkan bisa sampai lebih dalam

Ulkus peptikum merupakan ulkus dapat terjadi di setiap bagian saluran cerna yang terpajan getah
asam peptik dan 98 % ada di duodenum dan lambung.

2.EPIDEMIOLOGI

Ulkus gaster lebih sering terjadi pada laki-laki

Ulkus gaster biasa diderita pada dekade ke 4 dan 5

Prevalensi terjadinya lebih

Komplikasi atau penyulit:

Perdarahan

Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus bergantung pada kecepatan kehilangan darah.

Perforasi

Penyebab utama perforasi diperkirakan adalah disebabkan oleh berlebihnya sekresi asam dan
seringkali terjadi akibat menelan NSAID, yang mengurangi jumlah sel ATP, menyebabkan rentan
terhadap stress oksidan. Perbaikan dari sel yang tertunda ini yang akan menyebabkan terjadinya
perforasi. Pengobatan adalah dengan melakukan pembedahan segera disertai dengan reseksi
lambung atau penjahitan pada tempat perforasi, bergantung pada keadaan penderita.

Obstruksi

Obstruksi saluran keluar lambung akibat peradangan dan edema, pilorospasme, atau jaringan
parut, terjadi pada sekitar 5% penderita ulkus peptik. Sehingga gejala yang timbul adalah
anoreksia, mual, dan kembung setelah makan; serta sering terjadi penurunan berat badan. Bila
obstruksi bertambah maka dapat timbul nyeri dan muntah. Pengobatan bertujuan untuk koreksi
cairan dan elektrolit, dekompresi lambung dengan memasukkan tabung nasogastrik, dan koreksi
pembedahan obstruksi (piloroplasti).

Intraktabilitas

Penyulit ulkus peptikum yang paling sering terjadi adalah intraktabilitas, yang berarti bahwa
terapi medis telah gagal mengatasi gejala secara memadai, sehingga penyakit ini sering sekali
timbul. Penderita dapat mengalami gangguan tidur akibat nyeri, kehilangan waktu untuk bekerja,
sering perlu perawatan di rumah sakit, atau hanya tidak mampu mengikuti cara pengobatan.
Tindakan pembedahan diperlukan dan sering dianjurkan pada penderita intraktabilitas.

Pengobatan:

tujuan dari pengobatan ulkus peptikum sendiri adalah untuk menghambat atau membufer sekresi
asam sehingga akan menghilangkan gejala dan mempermudah penyembuhan dari ulkus sendiri
karena sebenarnya lambung juga mempunyai mekanisme perbaikan sendiri. Mekanisme
perbaikan itu akan terganggu bila terdapat faktor-faktor lain yang memperberat, yang paling
sering karena adanya sekresi asam yang berlebih. Untuk mencapai tujuan dari pengobatan
tersebut, antara lain dengan:

Antasida

Penatalaksanaan diet, yaitu denagn makan sedikit-sedikit tapi dengan frekuensi yang
tinggi (sering), guna menetralkan asam yang berlebih pada ulkus peptikum.

AntikolinergikH menghambat saraf pascaganglion parasimpatik yang mensekresikan


asetikolin. Namun obat ini sudah jarang digunakan akibat efek lainnya yang kurang
menguntungkan lambung, yaitu akan menghambat motilitas dari usus sendiri yang akan
mengakibatkan perlambatan dari pengosongan lambung sendiri.

Penghambat H2 (Histamin) H karena efek dari histamin akan merangsang dari sekresi
asam/Hcl dan pepsinogen. Preparat yang digunakan adalah simetidin, ranitidin, dan
famotidin.

Anttimikroba/ anti bakteri, misalnya jika adanya infeksi dari Helicobacter pylori.

Istirahat yang cukup, baik fisik maupun emosi.


Ulkus duodenum

A. Definisi

Ulkus duodenum atau tukak duodenum (TD) secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek
mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan
serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu tukak adalah hilangnya epitel
superficial atau lapisan lebih dalam dengan diameter 5mm yang dapat diamati secara
endoskopi atau radiologis (Akil H.A.M, 2006).

B.Etiologi

Etiologi TD yang telah diketahui sebagai faktor agresif yang merusak pertaganan mukkosa
adalah Helicobacter pylori, obat anti inflamasi non-steroid, asam lambung/ pepsin dan faktor-
faktor lingkungan serta kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada
kejadian TD.

C.Patogenesis

Helicobacter pylori ditularkan secara feko-oral atau oral-oral. Didalam terutama terkonsentrasi
dalam antrum, bakteri ini berada pada lapisan mukus dan sewaktuwaktu dapat menembus sel-sel
epitel/ antar epitel.

Bila terjagi infeksa H.pylori maka bakteri ini akan melekat pada permukaan epitel dangan
bantuan adhesin sehingga akan terjadi gastritis akut yang akan berlanjut maenjadi gastritis kronik
aktif atau duodenitis kronik aktif.
Bila terjadi infeksi H.pylori, host akan memberi respon untuk mengeliminasi/memusnahkan
bakteri ini melalui mobilitas sel-sel PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif
dengan mengeluarkan bermacam-macam mediator inflamasi atau sitokinin, yang bersama-sama
dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel epitel
gastroduodenal yang lebih parah anmun tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi
konik.

Penggunaan OAINS secara kronik dan reguler bukan hanya dapat menyebabkan kerusakan
struktral pada gastroduodenal, tapi juga pada usus halus dan usus besar berupa inflamasi, ulserasi
atau perforasi. OAINS bersifat asam sehingga dapat menyebabkan kerusakan epitel dalam
berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS yang menghambat kerja dari
enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat, sehingga menekan produksi prostaglandin
dan prostasiklin yang berperan dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran
darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat, mengatur fungsi
immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung.

Faktor lingkungan yang dapat merupakan faktor resiko terjadinya TD adalah:

Merokok, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi H.pylori dengan menurunkan faktor


pertahanan dan menciptakan miliu yang sesuai untuk H.pylori.

Faktor stress, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin.

Beberapa penyakit tertentu dimana prevalensi TD meningkat, seperti eindrom Zilloninger


Elison, mastositosis sistemik, penyakit chron dan hiperparatiroidisme.

Faktor genetik.

D.Gambaran klinis

Gambaran klinik TD sebagai salah satu bentuk dispepsia organik adalah sindrom dispepsia
berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada epigastrium. Nyeri seperti rasa terbakar, nyeri raasa
lapar, rsa sakit/tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisasi, biasanya terjadi setelah
90 menit sampai 3 jam post prandial dan nyeri dapat berkurang semaentara sesudah makan,
minum susu atau minum antasida.

Nyeri yang spesifik pada 75% pasien adalah nyeri tengah malam yang membangunkan pasien.
Neri yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke punggung perlu diwaspadai adanya penetrasi tukak
ke pankreas, sedangkan nyeri yang muncul dan menetap mengenai seluruh perut dicurigai ssuatu
perforasi.

E.Diagnosis

Diagnosis pasti TD dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas dan
sekaligus dilakukan biopsi lambung untuk detiksi H.pylori atau dengan pemeriksaan foto barium
kontras ganda
DISPEPSIA
1. Definisi

Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang menunjukkan rasa nyeri atau
tidak menyenangkan pada bagian atas perut. Definisi dispepsia sampai saat ini disepakati oleh
para pakar dibidang gastroenterologi adalah kumpulan keluhan/gejala klinis (sindrom) rasa tidak
nyaman atau nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian atas yang disertai dengan keluhan
lain yaitu perasaan panas di dada dan perut, regurgitas, kembung, perut terasa penuh, cepat
kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah dan banyak mengeluarkan gas asam dari mulut.2
Sindroma dispepsia ini biasanya diderita selama beberapa minggu /bulan yang sifatnya hilang
timbul atau terus-menerus. (1)

Dispepsia didefinisikan sebagai nyeri kronis atau berulang atau rasa tidak nyaman
yang berpusat di perut bagian atas. Ketidaknyamanan didefinisikan sebagai perasaan negatif
subjektif yang tidak nyeri, dan dapat menggabungkan berbagai gejala termasuk cepat kenyang
atau kepenuhan perut bagian atas. Pasien dengan dominan
atau sering (lebih dari sekali seminggu) mulas atau regurgitasi asam harus dipertimbangkan
untuk memiliki gastroesophageal reflux disease (GERD) sampai terbukti sebaliknya (2)

Etiologi

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya dispepsia, yaitu pengleuaran asamb
lambung berlebih, pertahanan dindins lambung yang lemah, infeksi Helicobacter pyloriv(sejenis
bakteri yang hidup di dalam lambung dalam jumlah kecil, gangguan gerakan saluran pencernaan,
dan stress psikologis (Ariyanto, 2007).

Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya penyakit ulkus
lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan karena kanker lambung, sehingga harus
diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan bila terdapat salah satu
dari tanda ini, yaitu:
1. Usia 50 tahun keatas
2. Kehilangan berat badan tanpa disengaja
3. Kesulitan menelan
4. Terkadang mual-muntah
5. Buang air besar tidak lancar
6. Merasa penuh di daerah perut (Bazaldua, et al, 1999)
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dyspepsia
nonorganik atau dispesia fungsional. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi
banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun (Richter cit Hadi, 2002). Dispepsia dapat disebut
dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional atau
dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan
kelainan fungsi dari saluran makanan (Heading, Nyren, Malagelada cit Hadi, 2002).
2. Epidemiologi

a. Distribusi Frekuensi
Manusia

o Umur
Dispepsia terdapat pada semua golongan umur dan yang paling beresiko adalah diatas
umur 45 tahun. Penelitian yang dilakukan di Inggris ditemukan frekuensi anti
Helicobacter pylori pada anak-anak di bawah 15 tahun kira-kira 5% dan meningkat
bertahap antara 50%-75% pada populasi di atas umur 50 tahun. Di Indonesia, prevalensi
Helicobacter pylori pada orang dewasa antara lain di Jakarta 40-57% dan di Mataram
51%-66%.3
o Jenis Kelamin
Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki. Perbandingan
insidennya 2 : 1.5 Penelitian yang dilakukan Tarigan di RSUP. Adam Malik tahun 2001,
diperoleh penderita dispepsia fungsional laki-laki sebanyak 9 orang (40,9%) dan
perempuan sebanyak 13 orang (59,1%).15
o Etnik
Di Amerika, prevalensi dispepsia meningkat dengan bertambahnya usia, lebih tinggi pada
kelompok kulit hitam dibandingkan kelompok kulit putih. Di kalangan Aborigin
frekuensi infeksi Helicobacter pylori lebih rendah dibandingkan kelompok kulit putih,
walaupun kondisi hygiene dan sanitasi jelek. Penelitian yang dilakukan Tarigan di
Poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterology RSUPH. Adam Malik Medan
tahun 2001, diperoleh proporsi dispepsia fungsional pada suku Batak 10 orang (45,5%),
Karo 6 orang (27,3%), Jawa 4 orang (18,2%), Mandailing 1 orang (4,5%) dan Melayu 1
orang (4,5%). Pada kelompok dispepsia organik, suku Batak 16 orang (72,7%), Karo 3
orang (13,6%), Nias 1 orang (4,5%) dan Cina 1 orang (4,5%).15
o Golongan Darah
Golongan darah yang paling tinggi beresiko adalah golongan darah O yang berkaitan
dengan terinfeksi bakteri Helicobacter pylori.13
o Tempat
Penyebaran dispepsia pada umumnya pada lingkungan yang padat penduduknya,
sosioekonomi yang rendah dan banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang
dibandingkan pada negara maju. Di negara berkembang diperkirakan 10% anak berusia
2-8 tahun terinfeksi setiaptahunnya sedangkan di negara maju kurang dari 1%.14
o Waktu
Penyakit dispepsia paling sering ditemukan pada bulan Ramadhan bagi yang
memjalankan puasa. Penelitian di Turki pada tahun 1994, ditemukan terjadi peningkatan
kasus dengan komplikasi tukak selama bulan ramadhan dibandingkan bulan lain.
Penelitian di Paris tahun 1994 yang melibatkan 13 sukarelawan yang melaksanakan
ibadah puasa membuktikan adanya peningkatan asam lambung dan pengeluaran pepsin
selama berpuasa dan kembali ke kadar normal setelah puasa ramadhan selesai.
b. Determinan
o Host/Penjamu
Penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi faktor resiko
untuk terjadinya penyakit.
Umur dan Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eddy Bagus di Unit Endoskopi
Gastroenterologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2001 diperoleh penderita
dispepsia terbanyak pada usia 30 sampai 50 tahun.
Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki. Perbandingan
insidennya 2:1.5
Stress dan Faktor Psikososial
Stres dan faktor psikososial diduga berperan pada kelainan fungsional saluran
cerna menimbulkan perubahan sekresi dan vaskularisasi. Dispepsia non ulser sebagai
suatu kelainan fungsional dapat dipengaruhi emosi sehingga dikenal dengan istilah
dispepsia nervosa.16
o Agent
Agent sebagai faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati yang
terdapat dalam jumlah yang berlebih atau kekurangan.
Helicobacter Pylori
Agent yang dapat menimbulkan dispepsia adalah Helicobacter pylori.
Helicobacter pylori dapat menginfeksi dan merusak mukosa lambung. Kerusakan ini
disebabkan ammonia, cytotosin dan zat lain yang dihasilkan oleh bakteri ini dan
bersifat merusak mukosa lambung.14,17
Obat-Obatan
Sejumlah obat-obatan dapat menyebabkan beberapa iritasi gastrointestinal
sehingga mengakibatkan mual, mual dan nyeri di ulu hati. Misalnya NSAIDs, aspirin,
potassium supplemen dan obat lainnya.16
Ketidaktoleransian Pada Makanan
Sejumlah makanan dapat menimbulkan dispepsia, diantaranya adalah jeruk,
makanan pedas, alkohol, makanan berlemak dan kopi. Mekanisme oleh makanan
yang menimbulkan dispepsia termasuk kelebihan makan, kegagalan pengosongan
gastrik, iritasi dan mukosa lambung.16
Gaya Hidup
Pada umumnya pasien yang menderita dispepsia adalah pengkonsumsi rokok,
minuman alkohol yang berlebihan, minum kopi dalam jumlah banyak dan makan
makanan yang mengandung asam.10
o Environment
Lingkungan merupakan factor yang menunjang terjadinya penyakit. Faktor ini
disebut sebagai faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik,
lingkungan biologis dan lingkungan sosial ekonomi.
Lingkungan Fisik
Penyebaran dispepsia pada umumnya terdapat di lingkungan yang padat penduduknya,
soioekonomi yang rendah dan banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang
dibandingkan dengan negara maju.14
o Lingkungan Sosial Ekonomi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hatono di PT. Kusumahadi Santosa Karanganyar
tahun 2001-2002, diperoleh bahwa intensitas kebisingan di tempat kerja berpengaruh
sangat signifikan terhadap jumlah penderita dispepsia pada tenaga kerja di PT tersebut,
hal ini karena pengaruh bising yang dihasilkan mesin pabrik kepada stress pekerja.
3. Patofisiologi

Penyebab timbulnya gejala dispepsia sangat banyak sehingga diklasifikasikan


berdasarkan ada tidaknya penyebab dispepsia yaitu :
1. Dispepsia Organik
Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan
pada usia lebih dari 40 tahun.12 Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi :10,13
a. Dispepsia Tukak
Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri ulu hati. Berkurang atau bertambahnya
rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan
radiologi dapat menentukan adanya tukak di lambung atau duodenum.
b. Refluks Gastroesofageal

Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di dada dan regurgitasi asam
terutama setelah makan.
c. Ulkus Peptik
Ulkus peptik dapat terjadi di esophagus, lambung, duodenum atau pada divertikulum meckel
ileum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja getah lambung yang asam terhadap epitel yang
rentan. Penyebab yang tepat masih belum dapat dipastikan. Beberapa kelainan fisiologis yang
timbul pada ulkus duodenum :
Jumlah sel parietal dan chief cells bertambah dengan produksi asam yang makin
banyak.
Peningkatan kepekaan sel parietal terhadap stimulasi gastrin.
Peningkatan respon gastrin terhadap makanan
Penurunan hambatan pelepasan gastrin dari mukosa antrum setelah pengasaman isi
lambung.
Pengosongan lambung yang lebih cepat dengan berkurangnya hambatan pengosongan
akibat masuknya asam ke duodenum.
d. Penyakit Saluran Empedu
Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari
perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan.
e. Karsinoma
Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung, pancreas dan kolon) sering menimbulkan
keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri perut. Keluhan
bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.
f. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut terasa makin tegang dan
kembung.
g. Dispepsia pada sindrom malabsorbsi
Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, sering flatus,
kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya diare yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa
atau disertai rasa mual dan muntah, misalnya obat golongan NSAIDs, teofilin, digitalis,
antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin dan lain-lain).
i. Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung yang lambat
sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroid mungkin
menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan
timbulnya hipomotilitas lambung.
j. Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah sejenis kuman yang terdapat dalam lambung dan berkaitan dengan
keganasan lambung. Hal penting dari Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap seumur hidup,
selalu aktif dan dapat menular bila tidak dieradikasi. Helicobacter ini diyakini merusak
mekanisme pertahanan pejamu dan merusak jaringan. Helicobacter pylori dapat merangsang
kelenjar mukosa lambung untuk lebih aktif menghasilkan gastrin sehingga terjadi
hipergastrinemia.

4. Manifestasi klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
a. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan
gejala:
i. Nyeri epigastrium terlokalisasi
ii. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
iii. Nyeri saat lapar
iv. Nyeri episodik
b. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia),
dengan gejala:
i. Mudah kenyang
ii. Perut cepat terasa penuh saat makan
iii. Mual
iv. Muntah
v. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
vi. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
c. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
(Mansjoer, et al, 2007).
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau
kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan
dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi
nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare
dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa
minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan
berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani
pemeriksaan.

5. Diagnosis
Diagnosis hanya bisa ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan
penunjang yang membuktikan tidak adanya kelainan organik (struktural dan
biokimia). Adapun pemeriksaan yang dilakukan untuk mengeklusi adanya
kelainan organik antara lain pemeriksaan laboratorium (gula darah, dsb), radiologi
(kontras barium, barium meal, USG), dan endoskopi. Selain itu, dilakukan pula
pemeriksaan untuk mengevaluasi mekanisme dasar dari patofisiologi gejala untuk
menentukan terapi yang paling sesuai. Misalnya pemeriksaan pH-metri untuk
menilai tingkat sekresi asam lambung, manometri untuk menilai adanya gangguan
fase III migrating factors complex, elektrografi, skintigrafi atau penggunaan pellet
radioopak untuk mengukur waktu pengosongan lambung, Helikobakter pylori dan
sejenisnya.
6. Penatalaksanaan

Karena luasnya lingkup manajemen kasus dyspepsia, penatalaksanaan pasien tidak


hanya dengan pemberian medikamentosa. Edukasi sangat penting dalam tatalaksana pasien
dyspepsia fungsioal karena kebanyakan kasus terkait dengan psikososial dan perlu ditekankan
pada pasien ketiadaan kelainan organik. Selain itu, diet perlu diperhatikan. Meski tidak ada
ketentuan baku mengenai dietetik yang tepat untuk menangani kasus pasien, perlu diperhatikan
untuk selalu enghindari makanan yang merangsang seperti makanan pedas, asam, dan tinggi
lemak. Medikamentosa adalah dengan pemberian terapi yang langsung bekerja pada mekanisme
munculnya gejala. Antara lain:

1. Antasida: bekerja dengan menetralisir asam lambung


2. Reseptor H2 inhibitor
3. PPI (proton-pump inhibitor)
4. Sitoproteksi
5. Agonis motilin (eritromisin)
Prognosis

Prognosis dyspepsia fungsional adalah baik.

Daftar pustaka

1. Ariyanto, W.L. 2007. Mencegah Gangguan Lambung. www.kiatsehat.com, 2007


2. Longstreth, George F. 2006. Functional Dyspepsia Managing the Conundrum.
http://content.nejm.org/cgi/content/short/354/8/791, 2012
3. Fauci, Anthony S., dkk. 2008. Harrison, Principle Of Internal Medicine, 17th edition.
McGraw Hill. United States of America.
4. Keshav S. 2004. The Gastrointeastinal System at a Glance. Blackwell science.
Massachusetts

Anda mungkin juga menyukai