Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peritonitis merupakan peradangan yang terjadi di rongga peritoneum.
Rongga peritoneum dibatasi oleh peritoneum viseral yang melekat pada organ-
organ viseral dan peritoneum parietal yang merupakan bagian dalam dinding
abdomen. Permukaan peritoneum adalah membran semipermeabel yang berperan
dalam pertukaran cairan ekstraseluler.
Normalnya rongga peritoneum adalah steril walaupun terdapat flora
normal didalamnya, tetapi dapat terjadi peritonitis bila mekanisme pertahanannya
terkontaminasi secara terus-menerus oleh bakteri dalam jumlah banyak.
Dalam disiplin ilmu bedah ada tiga kelompok penyakit atau kelainan yang
termasuk ke dalam akut abdomen, yaitu :
1. Perdarahan dalam rongga perut
2. Penyumbatan saluran cerna
3. Peradangan dalam rongga perut
4. Perforasi
Peritonitis termasuk akut abdomen, dari namanya diketahui bahwa
keadaan ini gawat sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat .
1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik


Senior (KKS) di SMF Bedah Rumah Sakit Islam Siti Rahmah Padang.

1.3 Manfaat Penulisan

Sebagai bahan acuan dalam memahami dan mempelajari mengenai


peritonitis pada abdomen.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


2.1.1 Anatomi Dinding Abdomen
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Di bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas
pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas
beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan
subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga
otot dinding perut, m.oblikus abdominis eksternus, m. oblikus abdominis internus,
dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum.
Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya
yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal
maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding
perut dilayani secara segmental oleh n. torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.

2
Gambar 1: Tampak anterior otot dinding abdomen dan penampang melintang
otot abdomen

Dalam bentuk kuadran merupakan bentuk garis besar dan sederhana.


Penentuan kuadran ini dengan menarik garis (horizontal dan vertikal) melalui
umbilikus. Dengan cara ini dinding abdomen terbagi atas 4 daerah yang sering
disebut :
Kuadran kanan atas
Kuadran kiri atas
Kuadran kanan bawah
Kuadran kiri bawah

3
Gambar 2: 4 Kuadran Abdomen

Tabel.1 Organ yang terdapat pada kuadran-kuadran :


Kuadran Kanan Atas Kuadran Kiri Atas
Hati, kantung empedu, paru, Hati, jantung, esofagus, paru,
esophagus pankreas, limfa, lambung
Kuadran Kanan Bawah Kuadran Kiri Bawah
Usus 12 jari (duo denum), usus Anus, rektum, testis, ginjal, usus
besar, usus kecil, kandung kemih, kecil, usus besar
rektum, testis, anus

Regio digunakan untuk pemeriksaan yang lebih rinci atau lebih spesifik,
yaitu dengan menarik dua garis sejajar dengan garis median dan garis transversal
yang menghubungkan dua titik paling bawah dari arkus kosta dan satu lagi yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Bedasarkan
pembagian yang lebih rinci tersebut permukaan depan abdomen terbagi menjadi 9
regio:

4
Gambar 3: 9 regio abdomen

Hypochondrium dextra, yaitu regio kanan atas:


Hepar dan Vesica fellea
Epigastrium, regio yang berada di ulu hati :
Gaster, Hepar, Colon transversum
Hypochondrium sinistra, regio yang berada di kiri atas:
Gaster, Hepar, Colon Transversum
Lumbaris dextra, regio sebelah kanan tengah:
Colon ascendens
Umbilicalis, regio tengah:
Intestinum tenue, Colon transversum
Lumbaris sinistra, regio sebelah kiri umbilikalis:
Intestinum tenue, Colon descendens
Inguinalis dextra, regio kanan bawah:
Caecum, Appendix vermiformis
Hypogastrium / Suprapubicum, regio di tengah bawah:

5
Appendix vermiformis, Intestinum tenue, Vesica urinaria
Inguinalis sinistra, regio kiri bawah:
Intestinum tenue, Colon descendens, Colon sigmoideum

2.1.2 Anatomi lapisan peritoneum


Peritoneum merupakan bagian membran serosa terbesar diseluruh tubuh
yang terdiri dari epitel pipih berlapis. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal
yang memisahkan rongga abdominopelvic, dan peritoneum viseral yang langsung
melekat pada organ-organ di dalam rongga peritoneum. Rongga peritoneum
merupakan rongga yang berisi cairan serosa yang berfungsi sebagai pelumas di
antara peritoneum parietal dan viseral.
Peritoneum terdiri dari lima lipatan besar:
1. Omentum besar
lapisan peritoneal yang terbesar yang melekat pada kolon tranversum
dan mengikat usus halus. Omentum besar normalnya terdiri dari
kumpulan jaringan lemak.
2. Ligamen falciformis
Ligamen falciformis adalah ligamen yang berbentuk seperti bulan
sabit, yang menghubungkan hati ke bagian depan perut dan
diafragma. Hati merupakan satu - satunya organ pencernaan yang
melekat pada bagian depan perut
3. Omentum kecil
Omentum kecil ialah lipatan kecil yang menghubungkan lambung.
4. Mesenterium
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda,
bentuknya seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang
perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada usus halus. Di
antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat
pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus.
Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon.
Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti
celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum majus.
Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam

6
bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat
pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama
omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.
5. Mesocolon
Bagian dari mesenterium yang menyokong usus besar.

Gambar 4: Anatomi Abdomen

Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan


peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan
peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda
peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada
di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf.

2.2 Definisi Peritonitis


Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau
seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut

7
dan kronis. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal dari
organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ
lambung, colon, kandung empedu dan apendiks. Infeksi dapat juga menyebar dari
organ lain yang menjalar melalui darah.
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut
peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus
(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis.

2.3 Epidemiologi
Kejadian peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah. Peritonitis
sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus
bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah
dilakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian peritonitis
tersier kurang dari 1% kasus bedah.

2.4 Etiologi
Secara umum peritonitis biasanya disebabkan oleh :
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi.
Yang sering menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung
empedu, appendiks, buli-buli dan pankreas. Sebenarnya peritoneum sangat
kebal terhadap infeksi, jika pemaparan tidak berlangsung terus-menerus, tidak
akan terjadi peritonitis dan peritoneum cenderung mengalami penyembuhan
jika diobati.
2. Luka tusuk karena bakteri dari pisau atau benda tajam yang masuk ke rongga
abdomen.
3. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa terkumpul di perut (asites)
dan mengalami infeksi.
4. Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.

8
5. Iritasi tanpa infeksi
Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada
sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.
6. Infeksi dari rahim dan saluran telur yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonorrhoe dan infeksi chlamidia).

2.5 Klasifikasi
Tabel 2. Klasifikasi Peritonitis
Peritonitis primer A. Peritonitis spontan pada anak
B. Peritonitis spontan pada dewasa
C. Peritonitis pada pasien CAPD
D. Peritonitis tuberkulosa dan granulomatosa
Lainnya
Peritonitis sekunder A. Peritonitis perforasi akut
1. Perforasi saluran gastrointestinal
2. Iskemia saluran intestinal
3. Peritonitis pada pelvis dan bentuk lainnya
A. Peritonitis pasca operasi
1. Anastomotic leak
2. Perforasi yang tidak disengaja
B. Peritonitis pasca trauma
1. Trauma tumpul pada abdomen
2. Trauma tembus pada abdomen
Peritonitis tertier A. Peritonitis tanba sebab yang jelas
B. Peritonitis akibat jamur
C. Peritonitis with low-grade pathogenic bacteri

2.5.1 Primary peritonitis


Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) adalah infeksi bakteri akut pada
cairan asites. Kontaminasi dari rongga peritoneal diduga hasil dari translokasi
bakteri di dinding usus atau saluran limfatik mesenterika dan, lebih jarang,
melalui paparan hematogen di hadapan bakteremia. SBP dapat terjadi sebagai

9
komplikasi dari setiap keadaan penyakit yang menghasilkan sindrom klinis asites,
seperti gagal jantung dan sindrom Budd -Chiari. Anak-anak dengan nefrosis atau
lupus eritematosus sistemik dengan asites memiliki risiko tinggi menderita SBP.
Risiko tertinggi SBP terdapat pada pasien dengan sirosis yang dalam keadaan
dekompensasi.
Peritonitis yang disebabkan oleh penyebaran infeksi dari darah dan limfe
ke peritoneum. Pembagian peritonitis berdasarkan kuman penyebab:
1. Peritonitis Streptococcus
Penyebabnya adalah Streptococcus haemolitikus, penderita terbanyak
berusia 4 tahun akibat infeksi saluran pernafasan, seperti
tonsilitis atau faringitis.
2. Peritonitis pneumococcus
Penyebabnya adalah pneumococcus, penderita terbanyak adalah anak
perempuan berusia 3-10 tahun, akibat vaginitis dan salphingitis. Selain
itu dapat disebabkan oleh pneumonia dan infeksi telinga tengah.
3. Peritonitis gonococcus
Sering terjadi pada wanita dewasa karena salphingitis.
4. Peritonitis tuberculosis
Penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosa dan dapat terjadi pada
semua golongan umur.
Penurunan fungsi hati, kadar total protein yang rendah dan rendahnya
kadar komplemen merupakan faktor resiko yang tinggi dalam kejadian peritonitis.
Pasien dengan kadar protein rendah dalam cairan asites (<1 g / dL) memiliki
risiko 10 kali lipat lebih tinggi mengalami SBP dibandingkan dengan tingkat
protein lebih dari 1 g / dL. Sekitar 10 -30% pasien dengan sirosis dan asites
mengalami (Spontaneous Bacterial Peritonitis) SBP. Insiden meningkat menjadi
lebih dari 40% dengan asites isi protein cairan kurang dari 1 g / dL (yang terjadi
pada 15% dari pasien), mungkin karena penurunan Kegiatan opsonic cairan asites.
2.5.2 Secondary peritonitis

10
Peritonitis sekunder (SP) terjadi akibat perforasi usus buntu, ulkus
lambung dan duodenum, serta perforasi sigmoid yang disebabkan diverculitis,
kanker dan strangulasi. Necrotizing pancreatitis juga dapat dikaitkan dengan
peritonitis dalam kasus infeksi pada jaringan nekrotik. Patogen yang terlibat
dalam SP saluran pencernaan proksimal berbeda dengan saluran pencernaan
distal. Organisme Gram positif mendominasi dalam saluran pencernaan bagian
atas, dengan pergeseran ke arah organism gram negatif dalam saluran GI atas pada
pasien asam lambung terapi supresif jangka panjang. Kontaminasi dari usus kecil
distal atau sumber usus awalnya dapat mengakibatkan pelepasan beberapa ratus
spesies bakteri (dan jamur), respon imun tubuh dengan cepat menghilangkan
sebagian besar organisme ini. Hasil pemeriksaan bakteri peritonitis hampir selalu
polymicrobial, berisi campuran bakteri aerobik dan anaerobik dengan dominasi
organisme gram negatif.

2.5.3 Tertiary peritonitis


Berkembang lebih sering pada pasien immunocompromised dan pada
orang dengan yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang signifikan.
Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden
peritonitis tersier pada pasien yang membutuhkan perawatan ICU untuk infeksi
perut yang parah mungkin setinggi 50-74%.

2.6 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita -pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstruksi usus (Wilson et al,2008).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga

11
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.
Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia
(Schwartz at el,2009).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,
lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang
kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus (Wilson et al,2008).

12
Gambar 5: Skema patofisiologi Peritonitis
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor

13
yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara
umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal
dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal
meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.
Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,
gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.

2.7.1 Gejala
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi
peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri
menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya
bertambah meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri menandakan
penyebaran dari peritonitis.
Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan secara tepat letaknya dengan jari. Rangsang yang
menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan, rangsang kimiawi,
atau proses radang.
Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa
seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.
Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.

14
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong,
kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya
berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas
karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan
tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal
diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih
banyak berkurang.
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum
atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis
generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan
kuman gram negative dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang
menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi
dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat
memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran
yang terlihat pada manusia.

2.7.2 Tanda
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic
dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal
sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal.
Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang

15
menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti
ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus
dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk
mencegah keadaan yang lebih buruk.
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen
tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita
diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru
terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan
dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus
paralitik.

Gambar 6: Distensi Abdomen


Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi
intestinal sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis
berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang
terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang.
Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi.

Perkusi

16
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi.
Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga,
udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma,
sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi
daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah
yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak
dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat
semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan
dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan
banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap
lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih
luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter.
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah,
tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan
perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh
suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan
perforasi lokal, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis
berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau
menjalar ke titik peradangan yang maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis,
reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.

17
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit
yang meningkat dan asidosis metabolik.
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan
adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel
darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat
tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,
meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi
hepar dan ginjal dapat dilakukan.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

2.8.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup
foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat
terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

18
1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan
film ukuran 35 x 43 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase
usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan
gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada
tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di
proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).

Gambar 7: Herring bone appearance

2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang

19
kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya
udara bebas infra diafragma dan air fluid level.

Gambar 8. air fluid level

3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya


air fluid level dan step ladder appearance.

Gambar 9. step ladder appearance

Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus
partial, air fluid level, dan herring bone appearance.

Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:

20
1.Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang-
kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau
intestinum crassum.
2.Air fluid level
3.Herring bone appearance
Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air
fluid level ada yang pendek pendek (usus halus) dan panjang panjang (kolon)
karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus
obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada
foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada
pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena
ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama
radiologi adalah:
1.Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2.Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air sub diafragma berbentuk
bulan sabit (semilunair shadow).

21
Gambar 10: free air sub diafragma

3.Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.

Gambar 11: free air intra peritonial

Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada


cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intra peritoneal.

22
Gambar 12: Foto BNO pada peritonitis

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :
1. Memuasakan pasien
2. Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau
intestinal
3. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena
4. Pemberian antibiotik yang sesuai
5. Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
6. Bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar.

2.9.1 Penanganan Preoperatif


Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan
status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan

23
dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB
(Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk
mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid
lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar
karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan
dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.

Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,
sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp,
Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai
peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman
aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil
kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika
masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai
dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih,
perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah
didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti
candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan
lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan
dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan

24
streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif.
Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari
sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada
penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang
diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada
stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi
kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk
gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis
antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi.
Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena
gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan
penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel.
Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam,
dengan hitung sel darah putih yang normal.

Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari
metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi
paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti
(1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2)
hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya
nafas yang cepat dan dangkal.13

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

25
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah
udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung
kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi
dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia
preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin,
alkali fosfatase dan urinalisis.

2.9.2 Penanganan Operatif


Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.

Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang
terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik
atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang
rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan
mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut).
Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun
anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.

26
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak
berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin,
povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan
mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan
menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan
komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan
dimana fagosit menghancurkan bakteri.

Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase
yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat
menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak
dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya
abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada
kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa
terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.

2.9.3 Pengananan Postoperatif


Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada

27
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder.

2.10 Komplikasi
a. Hipovolemia pada penderita peritonitis kimiawi.
b. Sepsis pada penderita peritonitis bakterial.
c. Kegagalan organ - organ tubuh (pulmoner, kardial, hepatik,
renal), mendahului kematian beberapa hari sebelumnya.
Abses abdominal dan perlengketan yang dapat menyebabkan obstruksi
abdominal di kemudian hari.

2.11 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi prognosis, antara lain:
1. jenis infeksinya/penyakit primer
2. durasi/lama sakit sebelum infeksi
3. keganasan
4. gagal organ sebelum terapi
5. gangguan imunologis
6. usia dan keadaan umum penderita
Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau
apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan
pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.
Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas
sebanyak 10-30%. Pasien dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan
kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses abdomen yang persisten, anastomosis
yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang jelek.

28
BAB III
PENUTUP

29
3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa
membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera. Penyebab yang paling
serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga
peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum,
intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang
dapat disebabkan oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing,
obstruksi dari usus yang mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic
Inflammatory Disease) dan bencana vascular (trombosis dari
mesenterium/emboli). Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil,
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri
abdomen yang hebat, dinding perut akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas
antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

30

Anda mungkin juga menyukai

  • Case Neurologi
    Case Neurologi
    Dokumen2 halaman
    Case Neurologi
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Retinopati Hipertensi
    Retinopati Hipertensi
    Dokumen28 halaman
    Retinopati Hipertensi
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • PPOK Case
    PPOK Case
    Dokumen37 halaman
    PPOK Case
    Putri aliya
    Belum ada peringkat
  • Retinopati Hipertensi
    Retinopati Hipertensi
    Dokumen29 halaman
    Retinopati Hipertensi
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Cover Ppok
    Cover Ppok
    Dokumen1 halaman
    Cover Ppok
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen38 halaman
    PPT
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen59 halaman
    Bab 1
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • BAB I Efusi Pleura Lina
    BAB I Efusi Pleura Lina
    Dokumen21 halaman
    BAB I Efusi Pleura Lina
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • BAB I Pneomothoraks
    BAB I Pneomothoraks
    Dokumen11 halaman
    BAB I Pneomothoraks
    Putri aliya
    Belum ada peringkat
  • BAB I Referat
    BAB I Referat
    Dokumen40 halaman
    BAB I Referat
    Wita Afrianti
    Belum ada peringkat
  • Case Efusi Pleura
    Case Efusi Pleura
    Dokumen9 halaman
    Case Efusi Pleura
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen29 halaman
    Referat
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen4 halaman
    Kata Pengantar
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Referat Anestesi
    Referat Anestesi
    Dokumen60 halaman
    Referat Anestesi
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Efusi Pleura Ira Mayasari
    Efusi Pleura Ira Mayasari
    Dokumen46 halaman
    Efusi Pleura Ira Mayasari
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Blefaritis
    Blefaritis
    Dokumen33 halaman
    Blefaritis
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Uveitis Fix
    Uveitis Fix
    Dokumen32 halaman
    Uveitis Fix
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • In Vaginas I
    In Vaginas I
    Dokumen45 halaman
    In Vaginas I
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Referat Invaginasi
    Referat Invaginasi
    Dokumen23 halaman
    Referat Invaginasi
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Blefaritis
    Blefaritis
    Dokumen33 halaman
    Blefaritis
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Blefaritis
    Blefaritis
    Dokumen33 halaman
    Blefaritis
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Referat Anestesi
    Referat Anestesi
    Dokumen60 halaman
    Referat Anestesi
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Case Interne
    Case Interne
    Dokumen60 halaman
    Case Interne
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat
  • Referat Invaginasi
    Referat Invaginasi
    Dokumen23 halaman
    Referat Invaginasi
    Dinata Aya Azany
    Belum ada peringkat