Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan pemakaian batubara hingga saat ini semakin meningkat.


Hal itu didukung oleh adanya program pemerintah yang menetapkan
batubara sebagai sumber energi alternatif utama. Sejalan dengan
perkembangan pemanfaatan batubara di Indonesia, muncul pula
beberapa kendala yang menghambat perkembangan tersebut. Kendala
utama tersebut adalah adanya gas SO2 hasil pembakaran batubara
yang dapat menimbulkan pencemaran udara. Untuk mengurangi gas
SO2 ini dapat dilakukan dengan mengurangi kandungan sulfur sebelum
batubara dibakar (desulfurisasi) atau dengan mengurangi kandungan
sulfur setelah batubara dibakar (flue gas desulfurization).

Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan masalah


lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan utama. Sulfur
batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global serta
gangguan pernafasan.. Cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut
adalah dengan mewujudkan gagasan clean coal combustionmelalui
desulfurisasi batubara

Salah satu teknologi konversi energi adalah pembangkit tenaga listrik.


Penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik akan dapat
meningkatkan emisi dari partikel SO2, NOX, dan CO2. saat ini bahan bakar
pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan
bakar fosil, salah satunya adalah batubara. Penggunaan batubara untuk
bahan baker pembangkit listrik diperkirakan akan terus meningkat. Meskipun
kandungan sulfur batubara Indonesia relative kecil tetapi penggunaan dalam
jumlah besar akan dapat meningkatkan emisi SO2 sehingga dapat
berdampak negative terhadap manusia dan lingkungan
Dalam hubungannya dengan penggunaan energi, terus dilakukan inovasi
pada teknologi yang memproduksi, mengkonversi, menyalurkan, dan
menggunakan energi sehingga diperoleh teknologi yang lebih efisien dan
ramah lingkungan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Batubara

Kemajuan pesat teknologi industri khususnya sejak akhir tahun 1950-an


membuat konsumsi energi meningkat sangat pesat. Hal ini membuat
pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam,batubara) secara
besa-besaran tidak terhindarkan. Bahan bakar fosil yang mudah dieksplorasi
dandapat diperoleh dalam jumlah besar dengan biaya yang tidak terlalu
tinggi menjadi sumber energi utama dunia selama berpuluh tahun.
Dari data akhir 1990-an, peta sumber energi dunia adalah sebagai berikut :

Sumber Energi

Persentasi

Available Years

Oil

38.6 %

45

Coal

27.3 %

230

Natural Gas

21.6 %

65

Water Power

6.7 %

Nuclear Power

5.7 %

43 (uranium235)

New Energy and Others


0.1 %

(source: Clean Coal Science Handbook, 1995 available years dihitung


dengan asumsi pemakaian energi sama dengan pada saat data dibuat t
ermasuk dalam New Energy adalah: plasma, fuel cell, solar cell, danlain-lain.)

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ketergantungan terhadap bahan


bakar fosil tidak dapat dielakkan paling tidak dalam kurun waktu 100 tahun
yang akan datang. Tetapi pemakaian bahanbakar fosil secara besar-besaran
juga membawa dampak yang sangat serius terhadap lingkungan terutama
isu global warming dan acid rain. Melihat urgensi teknis pembakaran bahan
bakar fosil yang clean untuk meredam isu- isu lingkungan tsb,
dipandang perlu untuk mengembangkan sistem pembakaran yang baru
dan lain dari yang konvensional.Batubara memiliki keunggulan dibanding
bahan bakar fosil lainnya, yaitu:

1. Jumlah batubara yang economically exploitable lebih banyak

2. Distribusi batubara di seluruh dunia lebih merata.

Kelemahan Batubara :

1. Karena komposisi coal adalah CHONS + Ash, coal identik dengan bahan
bakar yang kotor dan tidak ramah lingkungan.

2. Dibanding bahan bakar fosil lainnya, jumlah kandungan C per mol dari
batubara jauh lebih besar.Hal ini meyebabkan pengeluaran CO2 dari
batubara juga jauh lebih banyak. Demikian juga dengan kandungan Sulfur
(S) dan Nitrogen (N) nya yang bila keluar ke udara bebas bisa menjadi
H2SO4 dan H2NO3 yang merupakan penyebab hujan asam.

2.2 Teknologi desulfurisasi batubara


Dalam proses penangkapan unsur S atau desulfurisasi batubara dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara yang berbeda yaitu secara :

1. Kimia

2. Biologi

3. Fisik

Penghilangan unsur S dalam batubara juga dapat diaplikasikan sebelum


pembakaran berlangsung, sesudah pembakaran ataupun ketika
pembakaran batubara berlangsung. Berikut ini merupakan contoh
penghilangan unsur S dalam batubara dalam furnace ketika pembakaran
berlangsung.Untuk "menangkap S, kedalam furnace disemburkan bubuk
kapur CaCO3 yang disebut sorbent.

Salah satu alasan pemilihan CaCO3 adalah harganya yang murah dan mudah
diperoleh. Proses yang terjadi di dalam furnace adalah sebagai berikut :

1. Desulfurization (De-SOx) Reaction :

CaCO3 CaO + CO2

CaO + SO2+ O2 CaSO4 (solid)

( S telah "tertangkap" dalam bentuk endapan )

2. Di suhu tinggi (di atas 1300 C) terjadi reaksi berikut:

CaSO4 CaO + SO2+ O2

( Hal ini menyebabkan De-SOx efisiensi berkurang drastis )

2.2.1 Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia

1. Tujuan Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia bertujuan untuk :

A. Untuk menghasilkan batubara yang dapat dibakar secara langsung tanpa


megalami proses desulfurisasi pada gas buang.

B. Untuk mengurangi gas cleaning setelah proses gasifikasi batubara.


2. Tahapan proses desulfurisasi secara kimia yaitu:

a. Oksidative ( temperatur penguraian batubara dibawah 400oC )

1). Zat Pengoksidasi

Pada proses oksidasi untuk menghilangkan sulfur yang terkandung


dalam batubara menggunakan zat pengoksidasi sebagai berikut:

a) Metal ions (Fe+3, Hg+2, Ag+)

b) Strong acids (HNO3 + HClO4)

c) O2, Cl2, SO2, H2O2 dan udara.

2). Meyers Process:

Metode yang digunakan dalam proses oksidasi ini yaitu Metode Meyer
yang telah dikembangkan. Proses tersebut berdasarkan oksidasi
kandungan sulfur bentuk pirit dalam batubara dengan menggunakan
larutan Ferric sulfate panas, tanpa menghilangkan asam organik.

a) Batubara : berukuran 1.4 mm

b) Pereaksi : Fe2(SO4)3

c) Temperature : 100-130oC

d) Waktu : 5-6 jam

e) Tekanan : 3-6 atm

f) Pirit dioksidasikan menjadi ferrous sulfate, H2SO4 dan unsur S.

g) Penghilangan Pyritic-S : 83-99 %

h) As, Cd, Mn, Pb dan Zn juga dihilangkan.


3). Reaksi oksida desulfurisasi sebagai berikut:

5FeS2 + 23Fe2(SO4)3 + 24H2O51FeSO4+ 4S

O2 ditambahkan untuk mengoksidasi FeSO4 agar kembali menjadi Fe2(SO4)3

4FeSO4 + 2H2SO4 + O2 2Fe2(SO4)3 + 2H2O

Netralsasi batu kapur untuk menghilangkan kelebihan sulfat

Fe2(SO4)3 + CaO3CaSO4 + Fe2O3

FeSO4 + CaO CaSO4 + FeO

4). Reaksi oksidade sulfurisasi secara umum :

2FeS2 + 7O2 + 2H2O 2FeSO4 + 2H2SO4

4FeSO4 + O2 + 2H2SO4 2Fe2(SO4)3 + 2H2O

Fe2(SO4)3 + 3H2O Fe2O3 + 3H2SO4

b. Caustic ( temperatur penguraian batubara dibawah 400oC )

1). Reaksi Desulfurisasi menggunakan caustic :

2FeS2 + 6NaOH2NaFeO2 + Na2S + 2H2O + O2

Coal-S + 2NaOH Coal-O + Na2S + H2O

2). Molten Caustic Leaching (MCL)

Proses MCL konvensional menggunakan campuran NaOH + KOH (1:1), atau


NaOH + KOH + Ca(OH)2 pada temperatur 370-390 oC selama 2-3 jam.

c. Reduction (proses hidrosulfurisasi pada temperatur > 440 oC).

Reaksi yang terjadi pada proses reduksi adalah sebagai berikut :

FeS2 + H2 FeS(s) + H2S (g)


FeS + H2 Fe + H2S (g)

3. Kekurangan proses desulfurisasi secara kimia:

a) Biaya proses tinggi.

b) Severe leaching conditions (100-400oC).

c) Energy intensive.

d) Penambahan material ke dalam batubara selain dapat mengurangi


kandungan ash dan sulfur dapat juga berpotensi menjadi polutan.

e) Banyak di temukan permasalahan pengendalian polusi, korosi dan


pembuangannya.

2.2.2. Desulfurisasi Batubara Dengan Secara biologi

Kandungan sulfur dalam batubara dapat dihilangkan dengan metode


biologi yang dikenal dengan Mikrobial desulfurization. Proses
desulfurisasi secara mikrobiologi dapat dilakukan dengan cara
pengoksidasian pyrite, unsur S, dan S-organik oleh bakteri. Beberapa
mikroorganisme yang mampu mengoksidasi Sulfur, yaitu:

Acidithiobacillus ferrooxidans, (for FeS2).

Acidithiobacillus thiooxidans, (for FeS2) .

Leptospirillum ferrooxidans, (for FeS2).

Sulfolobus acidocalderius (for FeS2).

Rhodopseudomonas spheriodes (for organic-S).

1. Reaksi

2. Proses konversi batubara menggunakan biotechnolgy

2.2.3 Physical desulphurization (coal preparation)


Desulfurisasi secara fisika memiliki peran penting dalam pengurangan
kandungan sulfur dan abu dalam batubara, hanya dapat menghilangkan
pyritic sulfur dan mineral lainnya.

1. Advanced novel coal beneficiation techniques

2. Microcel (column flotation)

2.3 Teknologi Desulpurisasi pada Pembangkit Listrik

Flue Gas Desulfurization (FGD)

Selain memperbaiki efisiensi dan sistim pembakaran batubara, sebagai


upaya untuk mencegah berlanjutnya krisis ekologi dewasa ini juga
telah dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang mampu
memisahkan gas-gas polutan seperti SOx dan NOx dalam gas buang dari
pembakaran batubara. Salah satu metode untuk memisahkan polutan
SOx dalam gas buang adalah dengan teknik flue-gas desulfurization
(FGD). Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu
kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas
FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam
gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya
"didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O)
membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan
dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum
(gypsum). Gas buang yang keluar dari sistim FGD sudah terbebas dari oksida
sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki
senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.

Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum


yang dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi
karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan
bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk
papan gipsum ( gypsum boards ) yang umumnya dipakai sebagai plafon
atau langit-langit rumah (ceiling - 4 boards), dinding penyekat atau
pemisah ruangan ( partition boards ) dan pelapis dinding ( wall
boards ). Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam
memproduksi gipsum sintetis ini. Pabrik wallboard dari gipsum sintetis
yang pertama di AS didirikan oleh Standard Gypsum LLC mulai November
tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan dengan stasiun pembangkit
listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di Cumberland yang berkapasitas
2600 Mega Watt.

Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu


mengubah bahan buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu
produk baru yang bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum
sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih
baik dibandingkan gipsum yang diperoleh dari penambangan. Gipsum
hasil proses FGD ini memiliki ukuran butiran yang seragam.

Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak mustahil suatu saat


nanti, setiap PLTU batubara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum
sintetis.

Jenis/tipe FGD

Sistem FGD dapat diklasifikasikan ke dalam 2 jenis, yaitu:

1. Sistem basah, Wet Flue Gas Desulfurization

2. Sistem kering, Dry Fle Gas Desulfurization

2.4. Dampak dari pembakaran batubara

Batubara yang masih mengandung elemen sulfur, nitrogen baik yang


terikat sebagai senyawa organik, anorganik, atau unsur bebasnya akan
menghasilkan polutan ( Sox dan Nox ) pada saat pembakaran. Akibat dari
polutan itu diantaranya adalah hujan asam.

1. Hujan Asam
Hujan asam adalah suatu masalah lingkungan yang serius yang benar-
benar difikirkan oleh manusia. Ini merupakan masalah umum yang
secara berangsur-angsur mempengaruhi kehidupan manusia. Istilah
Hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia
menulis tentang polusi industri di Inggris (Anonim, 2001). Tetapi istilah
hujan asam tidaklah tepat, yang benar adalah deposisi asam. Deposisi
asam ada dua jenis, yaitu :

a. Deposisi kering

Deposisi kering ialah peristiwa terkenanya benda dan mahluk hidup oleh
asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah perkotaan karena
pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap pabrik. Selain itu
deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena
angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi
jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran.

b. Deposisi basah

Deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi
apabila asap di dalam udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun
hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun bersifat asam. Deposisi
asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui udara yang mengandung
asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke bumi.
Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh
dari sumber pencemaran. Hujan secara alami bersifat asam karena Karbon
Dioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk
sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat
karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh
tumbuhan dan binatang. Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman
berkisar pH 5, apabila hujan terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas
klorine yang bereaksi serta bercampur di atmosfir sehingga tingkat
keasaman lebih rendah dari pH 5, disebut dengan hujan asam.

2. Penyebab Hujan Asam

Pada dasarnya Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, Sulfur Dioxide
(SO2) dan nitrogen oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui
pembakaran. Akan tetapi sekitar 50% SO2 yang ada di atmosfer diseluruh
dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan gunung berapi maupun
kebakaran hutan secara alami. Sedangkan 50% lainnya berasal dari
kegiatan manusia, misalnya akibat pembakaran BBF, peleburan logam
dan pembangkit listrik. Minyak bumi mengadung belerang antara 0,1%
sampai 3% dan batubara 0,4% sampai 5%. Waktu BBF di bakar, belerang
tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas di udara.
Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Soemarwoto
O, 1992).

3. Dampak Hujan Asam

Terjadinya hujan asam harus diwaspadai karena dampak yang ditimbulkan


bersifat global dan dapat menggangu keseimbangan ekosistem. Hujan
asam memiliki dampak tidak hanya pada lingkungan biotik, namun juga
pada lingkungan abiotik, antara lain :

a.Danau

Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species


yang bertahan. Jenis Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang
paling pertama mati akibat pengaruh pengasaman. Apa yang terjadi jika
didanau memiliki pH dibawah 5, lebih dari 75 % dari spesies ikan akan
hilang (Anonim, 2002). Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang
secara signifikan berdampak pada keberlangsungan suatu ekosistem.
Tidak semua danau yang terkena hujan asam akan menjadi
pengasaman, dimana telah ditemukan jenis batuan dan tanah yang
dapat membantu menetralkan keasaman.

b.Tumbuhan dan hewan

Hujan asam yang larut bersama nutrisi didalam tanah akan menyapu
kandungan tersebut sebelum pohon-pohon dapat menggunakannya
untuk tumbuh. Serta akan melepaskan zat kimia beracun seperti
aluminium, yang akan bercampur didalam nutrisi. Sehingga apabila nutrisi
ini dimakan oleh tumbuhan akan menghambat pertumbuhan dan
mempercepat daun berguguran, selebihnya pohon-pohon akan terserang
penyakit, kekeringan dan mati.Sebagaimana tumbuhan, hewan juga
memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam. Spesies hewan tanah
yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena
sifat hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap
perubahan lingkungan yang ekstrim. Spesies hewan yang lain juga akan
terancam karena jumlah produsen (tumbuhan) semakin sedikit. Berbagai
penyakit juga akan terjadi pada hewan karena kulitnya terkena air dengan
keasaman tinggi. Hal ini jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.

c. Kesehatan Manusia

Dampak deposisi asam terhadap kesehatan telah banyak diteliti, namun


belum ada yang nyata berhubungan langsung dengan pencemaran udara
khususnya oleh senyawa Nox dan SO2. Kesulitan yang dihadapi
dkarenakan banyaknya faktor yang mempengaruhi kesehatan
seseorang, termasuk faktor kepekaan seseorang terhadap pencemaran
yang terjadi. Misalnya balita, orang berusia lanjut, orang dengan status
gizi buruk relatif lebih rentan terhadap pencemaran udara dibandingkan
dengan orang yang sehat.

Berdasarkan hasil penelitian, sulphur dioxide yang dihasilkan oleh


hujan asam juga dapat bereaksi secara kimia didalam udara, dengan
terbentuknya partikel halus suphate, yang mana partikel halus ini akan
mengikat dalam paru-paru yang akan menyebabkan penyakit pernapasan.
Selain itu juga dapat mempertinggi resiko terkena kanker kulit karena
senyawa sulfat dan nitrat mengalami kontak langsung dengan kulit.

d.Korosi

Hujan asam juga dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa


material seperti batu kapur, pasirbesi, marmer, batu pada diding beton
serta logam. Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua serta
monument termasuk candi dan patung. Hujan asam dapat merusak
batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan kristal
pada batuan yang telah menguap. Seperti halnya sifat kristal semakin
banyak akan merusak batuan.
BAB III

KESIMPULAN

Kandungan Sulfur dan persenyawaannya dalam batubara harus


dihilangkan agar tidak memberikan dampak yang buruk bagi
lingkungan baik itu hujan asam maupun proses korosi. Proses
penghilangan kandungan sulfur dalam batubara dapat dilakukan dengan
metode kimia, biologi, dan fisik. Teknologi Desulpurisasi pada Pembangkit
Listrik yaitu Flue Gas Desulfurization (FGD) yang menghasilkan produk
samping gypsum dari sulfur tersebut.

Dukung aku ya Dalam Kontes SEO

Adira Asuransi Kendaraan Terbaik Indonesia

DEZULFURISASI BATUBARA

Proses pengurangan sulfur pada batubara ( desulfurisasi )


Proses pengurangan sulfur pada batubara ( desulfurisasi )
Teknologi pemisahan sulfur batubara dapat dilakukan pada tahap sebelum , selama ,
atau sesudah proses pemanfaatannya , serta kombinasi diantaranya . Apabila ditinjau
dari prosesnya , desulfurisasi melibatkan proses fisika , kimia dan biologi , atau
kombinasi diantaranya .

1). Desulfurisasi secara Fisik (Physical Coal Cleaning=PCC)


Saat ini teknik PCC banyak dilakukan . Dan dibedakan atas : metoda benefisiasi kering
(dry) dan basah ( wet ) . Wet PCC sering digunakan . Metoda PCC tergantung dari
perbedaan densitas batubara bersihnya dengan pengotornya ( impurities ) . Tingkat
pemisahan menurut densitas tergantung dari kandungan abu . Untuk menentukan
densitas media pembersih (cleaning medium ) yang dapat memberikan kandungan abu
tertentu digunakan kurvaWashability yang ditunjukkan pada gambar di bawah . Dari
kurva ini bila diinginkan kandungan abu menjadi 8% maka dari kurva B diperoleh yield
dari 8% adalah 85% , selanjutnya dari kurva A diperoleh densitas media pembersih
adalah 1,61 .
Kurva Washability
Kebanyakan peralatan PCC digunakan untuk batubara bituminous . Untuk batubara
peringkat rendah tidak dibenefisiasi dengan air , karena batubara peringkat ini
bersifat hidropilik . Peralatan yang sering digunakan untuk benefisiasi antara lain :

1. Jig
2. Dense Media , dan Dense Media Cyclones
3. Concentrating Tables
4. Hydrocyclones
5. Froth Flotation
JIG

Froth Flotation
2). Desulfurisasi secara Kimia ( Chemical Coal Cleaning = CCC )
Banyak proses pembersihan sulfur batubara secara Kimia telah dikembangkan dalamm
skala industri , seperti proses Meyers . Proses Meyers adalah proses leaching secara
kimia menggunakan cairan sulfat besi ( ferrisulphate ) yang dapat dibersihkan dan
digunakan kembali ( regenerable ) untuk mengkonversi dan mengambil secara
kimia kandungan sulfur pirit dalam batubara dengan hasil elemen sulfur dan
besi . Tabel di bawah menunjukkan beberapa proses desulfurisasi dalam tahap
pengembangan . Proses kimia ini umumnya hanya mampu menurunkan kadar sulfur
pirit , tetapi tidak untuk sulfur organik dalam batubara . Proses desulfurisasi secara
kimia selanjutnya adalah proses dengan oksidasi , yaitu oksidasi dengan udara . Pada
prinsipnya kadar sulfur dikurangi dengan konversi melalui oksidasi dengan udara
menjadi hasil yang mudah menguap ( terutama sulfur dioksida ) dan sulfur - sulfur
yang mudah larut yang dapat dipindahkan dengan medium air pencuci dalam tahap
berikutnya .

Beberapa Proses Benefisiasi secara Kimia

Hidrodesulfurisasi ( metode reduksi ) adalah juga proses desulfurisasi secara kimia


yang menghasilkan reduksi sulfur ke hidrogen sulfida yang mudah menguap pula .
Adapun proses kimia yang lain melibatkan aktivitas reaksi pada suhu tinggi terhadap
karbonat dan batubara untuk menghasilkan sulfat yang mudah larut . Masalahnya
sekarang adalah tidak ada satu metode kimia pun yang dikembangkan untuk secara
khusus melarutkan sulfur organik dalam batubara , dan teknik desulfurisasi secara
kimia sering memerlukan energi yang besar . Selain itu , jika metode desulfurisasi
secara kimia harus diterapkan selama atau setelah proses pembakaran , diperlukan
peralatan pendukung dengan desain khusus untuk proses itu , yang harganya relatif
mahal . Biaya peralatan desulfurisasi batubara secara kimia dan masalah - masalah
sehubungan dengan perawatan peralatan dan pembuangan limbah sulfur yang
dihasilkan dari proses ini juga mahal . Dengan demikian , jika perlu , industri lebih
baik menghindarinya daripada menggunakannya . Oleh karena itu , desulfurisasi
batubara yang dilakukan sebelum pembakaran dan dengan biaya murah , perlu
ditemukan .

3). Desulfurisasi secara Biologi ( Biologycal Coal Cleaning = BCC )


Metode desulfurisasi batubara dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme sudah
banyak dilakukan penelitiannya dan secara umum dianggap cukup murah biayanya .
Masalahnya sekarang adalah bagaimana secara teknis teknologi itu dapat
dikembangkan ( Chen , 1990 dan Kilbane II , 1990 ) . Hal ini merupakan tantangan bagi
peneliti bidang perbatubaraan.

Anda mungkin juga menyukai