Anda di halaman 1dari 10

RESISTENSI MULTIPEL OBAT

ANTITUBERKULOSIS

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (tbc) merupakan penyakit infeksi yang terbesar di seluruh dunia. (3,6) Sejak
ditemukannya kuman Mycobacterium tuberculosis oleh Robert Koch pada tahun 1882, upaya
pemberantasan penyakit tuberculosis (tbc) terus ditingkaktan, namun angka penderita baru di
dunia diperkirkan 90 juta per tahun dan angka kematian di dunia 30 juta per tahun pada akhir
dekade ini. (3) Menurut Rattan,A dkk(6) angka kematian tiap minggu 52,000 orang atau tiap hari
lebih dari 7000 orang yang meninggal. Pengobatan dan kontrol terhadap penyakit tbc telah
dilakukan, tetapi akhir - akhir ini dilaporkan timbulnya resistensi kuman tbc terhadap INH dan
rifampisin di Amerika Serikat dan negara lainnya di dunia (resistensi multipel). (3).
Terdapatnya resistensi multipel obat (MDR=multiple drug resistance) terhadap
Mycobacterium tuberculosis, tercermin pada meningkatnya angka kasus baru dan angka
kematian serta kurang berhasilnya pengobatan terhadap penyakit tbc. Pengobatan terhadap
penyakit tbc memerlukan waktu yang lama dan adekuat, hal ini merupakan problem kesehatan
masyarakat di seluruh dunia. Hasil penelitian Aditama dkk (1), menunjukkan bahwa resistensi
primer terhadap INH sebesar 2,16%, streptomisin 1,23%, rifampisin 0,50%, etionamid 0,16%,
kanamisin 0,08% dan pirazinamid 0,04% Resistensi multipel terhadap obat anti tuberkulosis
berkisar antara 0 ,08%-2,71%, resisrtensi sekunder terhadap INH sebesar 5,05%, rifampisin
2,03%, streptomisin 1,40%, pirazinamid 0,21%, etionamid 0,21%, kanamisin 0,08%,
sedangkan resistensi multipel terhadap obat anti tuberkulosis berkisar antara 0,55% - 16,69%.
Di India angka resistensi multipel ialah sebesar 41%, di Saudi Arabia, resistensi multipel
antara 1,4%-6%. (1) Di Amerika Serikat resistensi primer sebesar 13% kasus baru terhadap satu
macam obat, resistensi multipel sebesar 3,2%. Di Yunani pada tahun 1995, resistensi terhadap
satu macam obat (rifampin) ialah sebesar 1,8%, resistensi multipel sebesar 1,02%. (4)

MEKANISME RESISTENSI ANTITUBERKULOSIS

Resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) disebabkan oleh mutasi khromosomal terhadap
masingmasing OAT. Contoh mutasi yang membuat resisten terhadap INH dan rifampicin
adalah 3 x 10-8 dan 2 x10-10 mutasi per bakteri per generasi. Penderita dengan jumlah kuman
mutan dan jumlah kuman yang banyak mempunyai risiko besar untuk terjadinya reistensi
terhadap OAT. Resistensi multipel setara dengan hasil perkalian mutasi masing-masing obat.
Derajat mutasi untuk INH dan rifampisin adalah 6 x 10 -18 mutasi per bakteri per generasi.
Dalam cavitas paru, jumlah kuman yang melebihi 10 9, kemungkinan kecil menimbulkan
resistensi multipel. (3) Dengan paket pengobatan multipel , misalnya INH dan rifampisin,
dapat dicegah terjadinya resistensi obat. Pengaruh terhadap derajat mutasi dalam kasus klinik
terletak pada proporsi kuman yang resisten dan perkembangbiakan kuman yang resisten.

Resistensi primer (PDR) dan sekunder

Resistensi primer adalah keadaan resistensi terhadap OAT pada penderita yang belum pernah
mendapat pengobatan dengan OAT sebelumnya. Faktor risiko terjadinya resistensi primer
OAT adalah kasus infeksi oleh kuman tbc yang resistensi OAT. Keadaan PDR ini dijumpai
secara geografis pada tempat yang mempunyai risiko tinggi untuk resistensi OAT, atau secara
etnis pada orang bukan kulit putih, pada orang muda, pada infeksi HIV, atau pada pemakaian
berbagai obat-obat suntik. (3)
Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang
pernah mendapat OAT
sebelumnya.(1)

Resistensi Obat Antituberkulosis Didapat (ADR=Acquired Drug


Resistance)

Epidemi resistensi multipel OAT adalah produk akhir dari resistensi OAT didapat. Proses
terjadinya ADR pada individu yang terinfeksi kuman tbc, sesuai dengan proporsi dari
populasi kuman tersebut. Melalui episode ADR terjadi resistensi multipel OAT (multiple drug
resistance = MDR). Secara epidemiologis, biologis dan klinis, ADR sangat berbeda dengan
PDR. Manifestasi klinik timbulnya resistensi OAT terjadi melalui tiga tahapan. Proses
dimulai dengan mutasi genetik, diikuti perkembangbiakan populasi yang resisten, kemudian
menimbulkan bakteri yang menjadi resisten terhadap OAT. Pemberian OAT tunggal terhadap
populasi kuman mutan dapat menimbulkan resistensi. Organisme yang resisten berkembang
biak dan menjadi dominan dalam populasi kuman. Timbulnya situasi ini akibat penggunaan
obat tunggal dimana bakteri mutan sudah resisten terhadapnya, atau pada terapi yang
menggunakan obat-obat yang fungsinya mirip dengan peng-gunaan obat tunggal (misalnya
penderita tidak patuh melaksanakan pengobatan, penulisan resep paket pengobatan yang tidak
tepat atau terjadi malabsorbsi selektif obat-obatan). Untuk mengurangi dan meminimalkan
resistensi OAT perlu diterapkan strategi pengobatan DOT (Directly Observed Therapy) dan
ketaatan pemantauan terhadap paket pengobatan.
Pada penderita yang mudah kena penyakit tbc dapat terjadi resistensi OAT. Menurut
perkiraan, separuh dari penderita terdiagnosis tbc gagal dalam pengobatan awal dan separuh
dari penderita terdiagnosis tbc relaps setelah pengobatan. Studi terakhir tentang kasus
resistensi OAT di San Francisco mengidentifikasikan 3 faktor risiko yaitu: ketidaKtaatan
terhadap pengobatan, infeksi HIV dan gangguan gastro-intestinal. Pada penderita infeksi HIV
dalam studi ini dan studi lainnya, ternyata resistensi obat tinggi dan terjadi monoresistensi
terhadap rifampisin yang tidak lazim. Perbedaan penderita tuberkulosis dengan HIV dan tanpa
HIV terletak pada sistem imunitasnya. Mengenai gangguan intestinal belum diketahui dengan
jelas, kemungkinan ada hubungan dengan malabsorbsi obat. Faktor-faktor risiko resistensi
obat antituberkulosis adalah sebagai berikut (3) :
i Ketidaktaatan penderita menggunakan paket OAT
ii Kegagalan menggunakan paket
OAT
iii Pemberian tunggal OAT
iv Penggunaan tunggal OAT yang tidak tepat
v Penggunaan paket OAT yang tidak tepat
vi Jumlah kuman yang besar vii Penderita dengan infeksi HIV viii Absorbsi obat yang kurang
baik.

EPIDEMIOLOGI RESISTENSI OBAT ANTITUBERKULOSIS

Epidemiologi resistensi OAT adalah hasil produk yang kompleks antara resistensi obat
didapat dan resistensi obat primer dan belum ada kontribusi yang jelas mengenai
hubungannya, tetapi ada kaitannya dengan letak geografis, populasi penderita dan program
terhadap pengendalian tuberkulosis. Angka resistensi obat didapat dan resistensi primer
menggambarkan perbedaan sifat dari program pengendalian terhadap antituberkulosis dan
perbedaan fungsi untuk mengukur besarnya problem resistensi OAT. Angka resistensi primer
mencerminkan perbedaan prevalensi strain yang resisten yang sudah berkembang di
masyarakat dan mempengaruhi dalam target penanganan untuk pencegahan penularan. Angka
resistensi primer dalam studi epidemiologis perlu penelitian lebih pada anak-anak dan
penderita HIV. Angka resistensi obat didapat jelas menunjukkan kegagalan penanganan
program tbc terutama dalam kasus tbc aktif.
Obat Streptomisin, yang pertama kali efektif terhadap pengobatan tuberkulosis diperkenalkan
pada tahun 1944. Walaupun terhadap angka resistensi primernya belum dilakukan penelitian
pada waktu itu, banyak pasien mulai dengan streptomisin monoterapi. Ternyata hasil
pengobatan sering tidak efektif dan klinis kurang baik.
Pada tahun 1950 digunakan obat lainnya, yaitu INH (isoniasid) dan para-aminosalycilic acid
(PAS) yang kemudian banyak digunakan dan menunjukkan bahwa kombinasi obat untuk
pengobatan tbc mengurangi resistensi OAT didapat. Angka resistensi primer kurang lebih 1
% sampai 2% pada tahun 1950. Yang penting adalah ketaatan penderita dalam pengobatan tbc
untuk mencegah terjadinya resistensi OAT didapat. Antara tahun 1960 dan 1970 resistensi
OAT didapat meningkat oleh karena perubahan pengobatan kasus tbc dari rawat inap menjadi
rawat jalan, dan usaha memajukan ketaatan terhadap pengobatan terhambat oleh terbatasnya
sumber penghasilan. ( 3 )
Rifampisin adalah obat poten untuk membunuh kuman dan efektif untuk pencegahan
resistensi obat. Pada penelitian non-random yang dilakukan dengan berbagai jenis metodologi
angka resistensi primer adalah 3,5%, 6,9% dan 9,0% pada tahun 1961 sampai 1968, 1975
sampai 1982 dan 1982 sampai 1986. Relatif rendahnya angka nasional resistensi primer pada
beberapa daerah menunjukkan adanya perbedaan epidemiologis. Misalnya penelitian di
Rumah Sakit di California Selatan dari tahun 1969 hingga 1984 angka resistensi primer adalah
sebesar 23%. (3) Pada penelitian terhadap semua pembiakan positif kasus tbc pada semester
pertama tahun 1991 diperoleh angka resistensi primer sebesar 13,4% dan resistensi multipel
sebesar 3,5%. Resistensi primer tampak nyata pada kota New York dengan angka resistensi
multipel 61%. Penelitian pada tahun 1991 pada penderita yang positif pembiakannya
menunjukkan angka 23% resistensi primer, meningkat 10% dari tahun 1982 sampai 1984.
Secara keseluruhannya, 33% penderita mengalami resistensi satu atau lebih OAT dan
resistensi multipel sebesar 19 %. Kenaikan resistensi ini belum dapat diidentifikasi
penyebabnya, tetapi disebabkan berbagai faktor termasuk epedimi infeksi HIV, keadaan
sosial ekonomi yang buruk dan derajat kesehatan masyarakat yang kurang memadai ikut
memegang peranan. Pengaruh kuat dari masya-rakat dengan resistensi yang tinggi terhadap
pengendalian tbc dan perbedaan daerah geografis belum terdefinisi dengan jelas, tetapi
penyebaran resistensi multipel antara daerah telah diperinci dengan jelas.
Problema resistensi multipel di New York pada permulaan tahun 1990 dengan cepat
diupayakan pengendaliannya termasuk strategi pengendaliannya (DOT =Directly Observed
Therapy). Keberhasilan dalam program pengendalian terhadap resistensi obat, tampak pada
bulan berikutnya dari hasil penelitian. Pada penelitian antara tahun 1991 dan 1994 tampak
penurunan dari 466 kasus menjadi 332 kasus, angka resistensi primer menurun dari 22 %
menjadi 13%, dan angka kasus resistensi multipel turun dari 19 % menjadi 13%. Untuk
pengendalian resistensi obat antituberkulosis dapat dipakai cara DOT maupun cara
konvensional, walaupun dengan adanya risiko tinggi infeksi HIV.

WABAH RESISTENSI
OBAT ANTITUBERKULOSIS
Jumlah resistensi multipel OAT mewabah, terutama terjadi di rumah sakit dan telah
dilaporkan sejak tahun 1990. Banyak wabah yang timbul di New York merupakan penyebaran
infeksi nosokomial dengan resistensi tinggi, terutama pada penderita infeksi HIV yang kurang
terkontrol secara adekuat. Dalam wabah ini, lebih dari 90% penderita terinfeksi HIV
cenderung terkena infeksi tbc dengan cepat dan aktif serta serangan infeksi tbc juga relatif
tinggi dengan mortalitas tinggi. Banyaknya penularan dari wabah ini disebabkan kurangnya
standar penanganan dan pengendalian terhadap penyakit tbc, termasuk terlambatnya diagnosis,
kelemahan pemeriksaan laboratorium dan tidak adekuatnya isolasi kasus tersebut. Kerentanan
yang tinggi pada penderita infeksi HIV dan kasus resistensi obat multipel di rumah sakit, di
klinik, perumahan dan lembaga pemasyarakatan, mendorong untuk diperbainya fasilitas
terhadap wabah dan perhatian terhadap pengendalian infeksi.

EPIDEMIOLOGI GLOBAL
OBAT ANTITUBERKULOSIS

Problema global yang paling utama pada resistensi multipel OAT adalah kurangnya penelitian
tentang resistensi obat di berbagai tempat di dunia, khususnya di negara yang berkembang.
Pada daerah geografis yang telah melakukan penelitian sebelumnya, angka resistensi multipel
OAT bervariasi dari tidak ada sampai 30% lebih. Angka resistensi multipel yang tinggi telah
dilaporkan adalah di Nepal (48%), Gujarat , India (33,85), Bolivia (15,3%), Korea (14,5%) (3),
Di Jakarta (RS Persahabatan) (0,12 -
16 ,69%) ( 1 ) dan Di Yunani (1,02% ).
(4).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
RESISTENSI OBAT
ANTITUBERKULOSIS

Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya resistensi OAT dapat dilakukan dengan
metode in vitro yang mengukur pertumbuhan organisme dalam konsentrasi tertentu OAT.
Metode kualitatif yang paling sering digunakan adalah metode proporsional dan metode
BACTEC. Pada metode proporsional, kuman ditanamkan pada lempeng agar tanpa obat dan
lempeng agar yang telah ditambahkan obat anti tuberkulosis dengan konsentrasi tertentu.
Resistensi OAT adalah bila perbandingan antara jumlah colony forming unit pada lempeng
agar yang mengandung obat antituberkulosis dengan lempeng agar tanpa obat, hasilnya lebih
dari 1% dan resistensi dinyatakan bermagna. (2,3) Pada metode BACTEC konsentrasi tertentu
obat antituberkulosis ditambah dengan substrat radio aktif yang diberi label untuk
mendeteksi pertumbuhan kuman secara otomatis. Jika kecepatan pertumbuhan pada inokulasi
yang mengandung obat melebihi angka pertumbuhan 1 : 100 pengenceran pada lempeng
agar bebas obat, maka bahan pengasingan ini dianggap resisten. Keuntungan dengan sistem
BACTEC adalah lebih cepat menentukan resistensi obat dan hasil resistensi obat adalah khas
dalam minggu ke 3 sampai minggu ke 4 setelah pemeriksaan. Keterbatasan sistem BACTEC
dibandingkan dengan sistem proporsional ialah bahwa sistem BACTEC tidak dapat
menentukan proporsi kuman M. tuberculosis yang resisten terhadap obat, hanya dapat
digunakan untuk menentukan konsentrasi hambatan minimal (MIC). Kelemahan lainnya yaitu
meng-gunakan 3 jenis atau lebih konsentrasi masing-masing obat percobaan, dari konsentrasi
yang rendah sampai yang tinggi. MIC adalah konsentrasi yang paling rendah untuk
menghambat pertumbuhan lebih dari 99% populasi M.tuberculosis dalam waktu yang tertentu.
Akhir-akhir ini pengetahuan dasar genetik memberikan jalan dengan ditemukannya
pemeriksaan genotip dalam upaya deteksi cepat resistensi obat. Tehnik perbanyakan DNA
(Polymerase Chain Reaction =PCR) di pergunakan untuk mendeteksi adanya resistensi
terhadap obat tertentu dan keberhasilan cara ini tergantung pada hubungan antara resistensi
fenotip dan genotip. Pengetahuan ini sangat jelas pada resistensi rifampisin di mana
resistensi dengan mutasi 81 pasangan basa pada gen rpoB (RNA polymerase B), ternyata
lebih dari 90% pada isolat yang resisten. (3,4)
Pemeriksaan PCR juga dapat digunakan untuk mendeteksi mutasi resistensi rifampisin di
dalam bahan pemeriksaan klinik sebelum dibiakan, sebab itu dapat menentukan resistensi
rifampisin yang lebih cepat. (3) Pada pemeriksaan metode Flow Cytometry, bahan
pemeriksaan ditambah fluoresein diasetat dan dapat memberikan hasil resistensi obat
antituberkulosis lebih cepat, hanya dalam waktu 72 jam sudah dapat memberikan hasilnya. (5)
PENGOBATAN TBC
DI ERA RESISTENSI OBAT Beberapa prinsip pengobatan muncul dari banyak percobaan
klinik sejak streptomisin ditemukan. Prinsip utama dan yang terpenting ialah paling sedikit
memberikan dua jenis obat yang sensitif untuk pengobatan tbc aktif serta untuk mencegah
terjadinya resistensi obat. Prinsip kedua ialah tidak memberikan pengobatan tunggal karena
dapat menimbulkan resistensi obat yang dalam prakteknya dapat berkembang menjadi
resistensi terhadap obat baru. Prinsip ketiga ialah lamanya dan efektifitas paket pengobatan
harus cukup. Ketidaktaatan paket pengobatan adalah paling penting sebagai penyebab
kegagalan dalam pengobatan, kekambuhan, dan resistensi
obat. (3)

Paket Pengobatan Awal

Sejak tahun 1986, American


Thoracic Society ( ATS) dan pusatpusat pengendalian dan pencegahan (CDC=Centers for
Disease Control and Prevention), merekomendasikan paket pengobatan awal dengan 3 jenis
obat, yaitu INH, rifampisin, dan pirazinamid. (3) Pada tahun 1993 diadakan modifikasi
pengobatan tbc yaitu meliputi pengobatan dengan ethambutol atau streptomisin ditambah
INH, rifampisin dan pirazinamid, Pada mereka yang resisten terhadap INH. Ethambutol
( atau streptomisin) diteruskan sampai diperoleh hasil pemeriksaan sensitifitas terhadap semua
OAT.
Etambutol (atau streptomisin) tidak perlu diteruskan jika kuman yang diasingkan sensitif
karena dapat membawa risiko keracunan obat.
Pirazinamid dihentikan setelah 2 bulan pertama pengobatan. INH dan rifampisin harus
diberikan 4 bulan lagi sampai total waktu pengobatan 6 bulan. Cara ini dapat diberikan tiap
hari, dua kali seminggu atau tiga kali seminggu. (3) Di daerah yang dengan prevalensi
resistensi multipel yang tinggi, seperti di New York, lima atau enam jenis obat dapat diberikan
pada pengobatan awal.

Paket Pengobatan Awal pada


Resistensi Obat Antituberkulosis Paket pengobatan awal untuk kasus resistensi OAT perlu
disesuaikan dengan hasil tes resistensi obat dan riwayat pengobatan penderita. Pada penderita
yang telah menerima pengobatan lebih dari 1 bulan tetapi kurang menunjukkan kemajuan,
umumnya diberikan paket pengobatan awal seperti pada kasus tbc meskipun tes resistensi
belum diperoleh hasilnya, tetapi pada uji awal hasilnya masih sensitif. Gambaran kerentanan
obat di masyarakat sangat berguna untuk menentukan pola paket pengobatan tbc dalam
kelompok obat-obatan sebagai berikut:
Obat yang utama:
INH, rifampisin, etambutol,
Pirazinamid, streptomisin Obat sekunder:
Sikloloserin, ethionamid, asam
Para-aminosalisilat, kapreomisin,
Kanamisin
Obat lainnya:
Quinolon, rifampisin, klofazamin, Thiasetason, ampisilin/klavula nat,
imipenem, amikasin

Secara umum OAT dibagi dalam obat utama dan sekunder. Obat utama bersifat lebih khusus
dan lebih efektif serta kurang toksik dibandingkan obat sekunder. Obat kategori ketiga terdiri
dari obat yang mempunyai aktifitas in vitro dan in vivo, tetapi jarang dipakai dan belum ada
percobaan tentang efektivitas obat dalam klinik.
Tujuan seleksi cara pengobatan adalah untuk mendapat-kan hasil yang maksimum, toksisitas
yang rendah dan jaminan akan tuntasnya pengobatan. Pada kasus dengan resistensi tinggi,
akan lebih sukar untuk melaksanakan pengobatannya. Untuk pengobatan terhadap kasus
suspek resistensi obat antituberkulosis, pada pengobatan awal perlu diberikan paling sedikit 3
jenis obat di mana kuman tbc masih rentan berdasarkan tes resistensi dan sebelumnya belum
mendapatkan obat antituberkulosis tersebut. Paket pengobatan selanjutnya adalah berdasarkan
hasil tes sensitifitas dan perkembangan klinis.

Resistensi terhdap INH


Cara pengobatan yang efektif untuk penderita dengan resistensi INH yang telah dilakukan
ialah dengan pengobatan kombinasi rifampisin, etambutol dan pirazinamid untuk jangka
waktu 6 bulan. Paket pengobatan lain adalah dengan rifampisin dan ethambutol selama 12
bulan, dengan memberikan pirazinamid diberikan selama 2 bulan pertama. Dalam suatu studi
dilaporkan, dengan paket pengobatan rifampisin dan ethambutol selama 6 bulan atau 9 bulan
ditambah 2 bulan pertama dengan streptomisin dan pirazinamid, angka relapsnya rendah.
Beberapa klinikus melanjutkan pengobatan dengan pemberian INH walaupun mengetahui
adanya resistensi, dengan harapan akan membunuh populasi yang masih rentan terhadap INH.
Jika manfaatnya tidak jelas dan adanya efek hepatotoksik dari INH, disarankan agar
pemberian
INH dihentikan. ( 3)
Resistensi terhadap Rifampisin Kegagalan terhadap rifampisin dalam paket pengobatan
standar terjadi setelah waktu yang lama. Isolat yang resistensi terhadap rifampisin dapat
diobati dengan INH dan etambutol untuk waktu 18 bulan. Seperti terhadap isolat yang
resistensi terhadap INH, pirazinamid perlu ditambahkan minimal 2 bulan pertama. Pendapat
lain adalah perlunya menambahkan streptomisin pada paket pengobatan dengan INH dan
ethambutol untuk beberapa bulan pertama.

Resistensi terhadap Ethambutol, Pirazinamid atau Streptomisin Isolat yang resisten


terhadap etambutol, pirazinamid atau streptomisin hanya berpengaruh sedikit terhadap paket
pengobatan. Tidak adanya etambutol atau streptomisin dalam paket pengobatan tidak akan
menurunkan efisiensi atau perubahan total waktu pengobatan. Tanpa pirazinamid, periode
pengobatan dengan INH dan rifampisin memerlukan waktu 3 bulan lebih lama dan total
waktu pengobatan menjadi menjadi 9 bulan.

Resistensi Multipel Obat


Antituberkulosis
Pada resistensi multipel OAT, minimal kuman resisten terhadap INH dan rifampisin dan
pengobatan terhadap resistensi multipel OAT selalu dengan 3 atau 4 jenis obat dimana isolat
rentan dan lamanya pengobatan tergantung obat yang dipakai dan luasnya penyakit. Di
National Jewish Center, pengobatan diawali dengan dosis rendah, kemudian secara bertahap
dosis ditingkatkan sesuai dengan target selama 3 sampai 10 hari untuk mencapai konsentrasi
dalam serum yang optimal karena secara farmakokinetik dari beberapa macam OAT tidak
dapat diramalkan efeknya seragam. Hal ini perlu dirancang dengan baik pada paket
pengobatan terhadap penderita HIV karena ada risiko tinggi gangguan absorbsi obat.
Tanpa memberikan INH dan rifampisin, (dua jenis obat yang penting), maka kemanjuran
pengobatan berkurang dan waktu pengobatan lebih lama. Dalam keadaan ini, banyak yang
menggunakan 4 macam obat termasuk obat suntik. Pengobatan secara oral perlu konsisten
menggunakan obat primer ditambah fluorokuinolon dan obat sekunder . Pada pengobatan
primer etambutol perlu diberikan dosis 25 mg per kg berat badan, kemudian diturunkan
menjadi 15 mg per kg berat badan. Pengobatan perlu diteruskan selama 18-24 bulan sampai
ada perubahan kepekaan pada pembiakan kuman tbc. Obat suntik perlu diteruskan 4 sampai 6
bulan sampai timbul toksisitas atau sampai dosis maksimum tercapai.

OBAT BARU ANTITUBERKULOSIS

Fluoroquinolone telah digunakan secara luas untuk pengobatan resistensi multipel OAT dan
ada beberapa studi klinik yang dipakai sebagai petunjuk bagi klinikus. Secara randon telah
dilakukan penelitian pengobatan terhadap 200 penderita dengan sputum positif tbc di Tanzania
yang menerima paket pengobatan yang mengandung INH, rifampisin dan siprofloksasin atau
INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Terjadinya konversi sputum menjadi negatif
memerlukan waktu yang lama dan sering terjadi kekambuhan yang tinggi dengan cara
menggunakan siprofloksasin dibandingkan dengan cara standar. Aktivitas sterilisasi
siprofloksasin kurang dari pada kombinasi pirazinamid dan etambutol: Fluorokuinolon adalah
obat tambahan untuk pengobatan kasus resistensi multipel OAT, untuk hal ini perlu dilakukan
percobaan lebih lanjut. (3) Dua derivat rifamisin lainnya, yaitu rifabutin dan rifapentin ternyata
lebih baik MIC-nya terhadap kuman tbc namun dapat terjadi resistensi silang. Perlu dicatat
bahwa 30% kuman tbc yang resisten terhadap rifamisin rentan terhadap rifabutin. Pada saat
ini rifabutin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan dalam pengobatan.

PEMBEDAHAN

Pada beberapa penderita dengan resistensi tinggi terhadap OAT diperlukan pembedahan untuk
reseksi paru atau drainase empiema. Pada penderita dengan resistensi multipel OAT
penyakitnya perlu dilokalisasikan. Kegagalan dalam pengobatan merupakan indikasi kuat
untuk bedah. Iseman dkk (3) melaporkan bahwa pembedahan reseksi lebih memberikan
penyembuhan dibandingkan dengan penderita yang tanpa reseksi.

KEPATUHAN PENGOBATAN

Ketidak taatan terhadap pengobatan adalah penyebab utamadalam kegagalan pengobatan,


kekambuhan dan resistensi obat. Untuk memastikan kepatuhan penderita terhadap paket
pengobatan dan untuk menekan risiko efek samping
(termasuk ADR), strategi DOT perlu dilaksanakan pada semua penderita dengan resistensi
obat. Strategi DOT untuk pengendalian penyakit tbc memberikan hasil yang baik dalam
program pengendalian penyakit tbc dan lebih menekan biaya pengobatannya.. Pelaksanabn
DOT di Tarrant, Texas pada tahun 1986 telah berhasil menurunkan angka reisistensi primer,
resistensi OAT didapat dan kekambuhan penyakit. Dengan menggunakan paket kombinasi
jumlah resistensi obat didapat akan menurun. Ada dua formula kombinasi OAT di USA yaitu
formula kombinasi INH dan rifampisin dan formula INH, rifampisin dan pirazinamid.
Kemanjuran formula tersebut belum terbukti melalui penelitian yang luas., yang terpenting
ialah bahwa formula kombinasi bukan pengganti DOT, dan yang terpenting adalah
kepatuhan terhadap paket pengobatan.

HASIL PENGOBATAN PADA PENDERITA RESISTENSI


OBAT ANTITUBERKULOSIS

Terjadinya wabah resistensi multipel OAT, khususnya pada penderita dengan infeksi HIV-1,
menunjukkan angka mortalitas yang tinggi bila diagnosis terlambat ditegakkan dan
pengobatan adekuat terlambat diberikan. Banyak penderita meninggal sebelum hasil test
resistensi diperoleh. Walaupun dengan kondisi pengobatan yang baik, hasil pengobatan
penderita dengan resistensi multipel OAT sering mengecewakan. Di National Jewish
Center, di antara 171 penderita dengan resistensi multipel OAT dari strain yang resisten
terhadap rata-rata 6 jenis obat, angka kesembuhan keseluruhannya 52% dan 22 % meninggal
karena penyakit tuberkulosis. Laporan dari RS.Bellevue di New York, hasil pengobatan 173
penderita dengan resistensi multipel OAT ternyata menunjukkan 55 % meinggal dan mortalitas
yang lebih tinggi pada penderita dengan HIV-1 seropositif dibandingkan penderita yang
seronegatif (72% banding 20%).
Pengobatan awal memberikan pengaruh besar terhadap hasil pengobatan. Jika pengobatan
awal telah dipilih dengan paket pengobatan yang sesuai, penderita akan memberikan respon
yang baik terhadap pengobatan. (3).

PENGOBATAN PENCEGAHAN
UNTUK ORANG YANG BERKONTAK DENGAN KASUS RESISTENSI OBAT

INH adalah satu-satunya obat pencegahan yang telah terbukti efektif, tetapi percobaan
binatang dan laporan klinik telah membuktikan bahwa rifampisin efektif untuk pencegahan
penyakit tuberkulosis,. Oleh karena itu untuk kasus yang berkontak dengan kasus yang
resisten INH, dapat diberikan rifampisin (600 mh/hari) selama 6 bulan. Akan tetapi yang
berkontak dengan kasus resistensi multipel OAT, tidak ada paket pencegahan yang baik.
Penentuan paket harus didasarkan atas anggapan bahwa orang yang berkontak baru saja
terinfeksi dengan kuman yang resisten terhadap terhadap OAT dan jika terinfeksi akan
menderita tuberkulosis. Jika setelah dievaluasi beberapa lama, kontak dianggap kemungkinan
besar mendapat infeksi dengan strain kuman tbc dengan resistensi multipel OAT perlu diobati
dengan dua jenis obat oral anti tuberculosis perlu diberikan selama 6-12 bulan. Demikian juga
jika individu dengan risiko tinggi berkembang menjadi penderita tbc. Contohnya adalah
pemberian pirazinamid dan etambutol atau pirazinamid dan fluorokuinolon
KESIMPULAN

Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan nasional dan internasional. Munculnya


resistensi OAT menyulitkan program pengendalian epidemi tbc dan penanganan klinis kasus
tuberkulosis. Penanganan klinis resistensi OAT, terutama resistensi multipel OAT adalah
kompleks, sering memberikan efek yang merugikan dan memerlukan konsultasi spesialis. Dua
prinsip pengobatan adalah selalu menggunakan dua jenis atau lebih obat terhadap kuman yang
rentan dan tidak memberikan obat tunggal, penentuan program paket pengobatan dan lamanya
waktu pengobatan yang tepat untuk menghindari terjadinya resistensi, menghindar toksisitas
obat, serta memperbaiki respon penderita terhadap pengobatan. Strategi DOT dan kepatuhan
terhadap pengobatan merupakan faktor-faktor terpenting untuk meghindari terjadinya
resistensi primer, resistensi didapat dan resistensi multipel obat antitubeRkulosis. Pengobatan
pencegahan perlu dipertimbangkan pada kasus kontak erat dengan penderita aktif dengan
infeksi tuberkulosis yang resisten terhadap OAT. Tes resistensi perlu dikembangkan terus
untuk menurunkan angka resistensi obat antituberkulosis, sehingga program pemberatasan
penyakit tbc regional maupun internasional dapat berhasil dengan baik.
m
m . .o
ckct ct
o
rakcc Ch
wwu.d-a
rc
a

F-n
o hD
aF

e
g
Xe
C
w.

gX
-
o

PP
D
u

n-
wd
!

!
w
w

Cli

Click
to bu
y NO

DAFTAR PUSTAKA
W

1. Blair,J.E., Lennette,E.H., Truant,J.P. 1970. Manual of Clinical Microbiology.


2. American Society of Microbiologi. pp. 131-134.
3. Bradford,W,Z., Daley,C,L. Multiple drug-resistant tuberculosis.1998. Infectious disease clinics
of north america. 12:157-172.
4. Matsiota-Bernard,P.,Vrioni,G., and Marinis,E.1998.Characterisazion of ProB Mutation in
Rifampin
5. Resistent clinical Mycobacterium tuberculosis Isolates from Greece. J.Clin.Microbil.36:20-23.
6. Moore,A,V.,Kirk,S,M.,Callister,S,M., et all. 1999. Safe Determination of Susceptibility of
Mycobacterium tuberculosis to Antimycobacterial Agent by Flow Cytometry. J. Clin.
Microbiol. 37:479-483.
7. Rattan,A.,Kalia .A.,Ahmad. N. 1998. Multidrug-Resistent Mycobacterium tuberculosis:
Molecular Perspectives.Emerg Infec. Dis..4 : 195-209

Anda mungkin juga menyukai