DEFINISI
Resistensi ganda adalah M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada
pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resitensi terhadap obat anti
tuberkulosis dibagi menjadi : (UI, 2006)
1) Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT
atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
2) Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat
pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
3) Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal
1 bulan
Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan panduan pengobatan yang tidak memadai, baik karena jenis obatnya yang tidak
tepat misalnya hanya memberikan INH dan Etambutol pada awal pengobatan, maupun
karena lingkungan itu telah tercatat adanya resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya Rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua
obat itu sudah cukup tinggi.
3. Fenomena ”addition syndrome” (crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
panduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuma TB telah
resisten pada panduan yang pertama, maka ”penambahan ” (addition) satu macam obat hanya
akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
4. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga
mengganggu bioavailabilitas obat. Hal ini dilaporkan terjadinya di India.
5. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang obat datang ke suatu daerah dan kadang-
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
6. Pemberian obat TB yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, lalu setelah dua bulan berhenti lalu berpindah dokter mendapat obat kembali untuk dua
atau tiga bulan lalu stop lagi, dan demikian seterusnya.
2. ETIOLOGI
LIMA PENYEBAB TERJADINYA TB-MDR (“SPIGOTS” ):
1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat
ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan
penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi
juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan
menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan
jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (
“The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat
yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan memperpanjang
periode infeksious
1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
Resisten yang natural
Resisten yang didapat
Ampli fier effect
Virulensi kuman
Tertular galur kuman –MDR
2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti guideline
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau
karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan
misal rifampisin atau INH
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang
telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan
yang pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat
yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai selesai
gagal
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare
Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
C. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
Ampli fier effect
Tidak ada program DOTS-PLUS
Program DOTS belum berjalan dengan baik
Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDS–HIV
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
Gangguan penyerapan
Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. FAKTOR KUMAN
Kuman M. tuberculosis super strains
Sangat virulen
Daya tahan hidup lebih tinggi
Berhubungan dengan TB-MDR
5. PATOFISIOLOGI
1) Mekanisme TB MDR
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin
(R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus
baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur
M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat
antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb
yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah
diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan
terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif
obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi
sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat
obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri
menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak
terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT.
Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan
obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif
terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah
terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur
M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak
adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi
jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang
digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi
juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV
menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penularan
MDR Tb.
2) Mekanisme Klinis
Gejala Respiratorik :
1. Batuk kering yang berangsur-angsur menjadi produktif lebih dari 3 minggu, kadang-
kadang bercampur dengan dahak
2. Sesak napas dan nyeri dada
Gejala Sistemik :
1. Demam terutama dimalam hari
2. Berkeringat dingin malam hari tanpa aktivitas atau sebab yang jelas
3. Penurunan napsu makan
4. Penurunan berat badan
6. SUSPEK TB-MDR
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :
1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan rekam medis
sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori
2
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat OAT lini
kedua seperti kuinolon dan kanamisin
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori
1
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk
petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
9. TB-HIV
Pasien yang memenuhi ‘kriteria suspek’ harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal
yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi :
Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa infiltrat, fibroinfiltrat/ fibrosis,
konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan kavitas.
2. Bronchografi :
Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru
karena TB.
3. Laboratorium :
a. Darah : leukositosis/ leukopenia, LED meningkat
b. Sputum : BTA S/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ, DST, Gene-Xpert
c. Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)
Saat ini uji kepekaan M.tuberculosis secara tepat ( rapid test ) sudah
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai penampisan.
Metode yang tersedia adalah:
Line probe assey ( LPA )
- Pemeriksaan molekuler yang di dasarkan pada PCA
- Dikenal dengan Hain test/ Genotiype MDRTB plus
- Hasil pemeriksaan dapat di peroleh dalam waktu kurang lebih 24 jam
-Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosiss yang resisten
terhadap rifampisi ( R ) ternyata juga resisten terhadap isoniasis ( H ) sehingga tergolong
MDR
Gene Xpert
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam
8. PENATALAKSANAAN TB-MDR
Klasifikasi OAT untuk MDR
Klasifikasi obat anti tuberkulosis dibagi atas 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya,
yaitu :
1. Kelompok 1: Sebaiknya digunakan karena kelompok ini paling efektif dan
dapat ditoleransi dengan baik (Pirazinamid, Etambutol)
2. Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau kapreomisin jika alergi
terhadap kanamisin)
3. Kelompok 3: Fluorokuinolon yang bersifat bakterisidal tinggi
(Levofloksasin)
4. Kelompok 4: Bersifat bakteriostatik tinggi (PAS, Ethionamid, Sikloserin)
5. Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak disediakan dalam
program ini.
Kriteria utama berdasarkan data biologi dibagi menjadi 3 kelompok OAT :
1. Obat dengan aktiviti bakterisid : amnoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada
pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah : fluorokuinolon
3. Obat dengan aktiviti bakteriostatik : etambutol, cycloserin, dan PAS
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang drai kebutuhan tubuh dengan kelelahan, batuk yang sering,
adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
INTERVENSI
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas
normal
Monitor adanya penurunan
berat badan
Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan
Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
Monitor lingkungan selama
makan
Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah
Monitor mual dan muntah
Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht
Monitor makanan kesukaan
Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
Monitor kalori dan intake
nuntrisi
Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral.
Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet
DAFTAR PUSTAKA
Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Infeksi. Dalam : Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press, 1989 ; 13-7.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 3. Balai Penerbit FKUI; 2001.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.
PDPI. Standard Pelayanan Medik Paru. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Jakarta; 1998
Rasad sjahrir, Sukonto Kartoleksono, dan Iwan Ekayuda. Radiologi Diagnostik. Balai Penerbit FKUI;
2000.
Tam MC, Yew WW, Yuen YK. Treatment of Multidrug-Resistant and Extensively Drug-Resistant
Tuberculosis: Current Status and Future Prospects. [Online]. 2009. [cited 2011 November 20].
Available from URL : http://www.medscape.com/
Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP Persahabatan / WHO
Collaborating Center for Tuberculosis ; 2000
Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia ; 2006.
World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drugresistant tuberculosis
. Emergency Update 2008
Priantini NN. MDR-TB masalah dan penanggulangannya. Medicinal 2003;4:27-33
Why DOTS-Plus for MDR-TB (cited 2008 april). http://www.who.int/gtb/publication/busdocs/
index.html
Rabia J, Elizabeth MS, Gail EL, Warren RM, Paul DH, Thomas CV . Drug Resistance in
Mycobacterium tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol.8:97-112
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.