Anda di halaman 1dari 24

1.

DEFINISI
Resistensi ganda adalah M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada
pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resitensi terhadap obat anti
tuberkulosis dibagi menjadi : (UI, 2006)
1) Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT
atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
2) Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat
pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
3) Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal
1 bulan
Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan panduan pengobatan yang tidak memadai, baik karena jenis obatnya yang tidak
tepat misalnya hanya memberikan INH dan Etambutol pada awal pengobatan, maupun
karena lingkungan itu telah tercatat adanya resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya Rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua
obat itu sudah cukup tinggi.
3. Fenomena ”addition syndrome” (crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
panduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuma TB telah
resisten pada panduan yang pertama, maka ”penambahan ” (addition) satu macam obat hanya
akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
4. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga
mengganggu bioavailabilitas obat. Hal ini dilaporkan terjadinya di India.
5. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang obat datang ke suatu daerah dan kadang-
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
6. Pemberian obat TB yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, lalu setelah dua bulan berhenti lalu berpindah dokter mendapat obat kembali untuk dua
atau tiga bulan lalu stop lagi, dan demikian seterusnya.

2. ETIOLOGI
LIMA PENYEBAB TERJADINYA TB-MDR (“SPIGOTS” ):
1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat
ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan
penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi
juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan
menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan
jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (
“The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat
yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan memperpanjang
periode infeksious

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA MDR- TB


Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih banyak
OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien
tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi obat anti TB (OAT) pada
dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang
tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain /
masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain :

1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
 Resisten yang natural
 Resisten yang didapat
 Ampli fier effect
 Virulensi kuman
 Tertular galur kuman –MDR

2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
 Keterlambatan diagnosis
 Pengobatan tidak mengikuti guideline
 Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau
karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan
misal rifampisin atau INH
 Tidak ada guideline/pedoman
 Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
 Tidak ada pemantauan pengobatan
 Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang
telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan
yang pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat
yang resisten.
 Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
 Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien
 Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai selesai
gagal
 Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare
 Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang
 Regimen / dosis obat yang tidak tepat
 Harga obat yang tidak terjangkau
 Pengadaan obat terputus
C. Pasien
 Kurangnya informasi atau penyuluhan
 Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
 Efek samping obat
 Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
 Masalah sosial
 Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM
 Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
 Ampli fier effect
 Tidak ada program DOTS-PLUS
 Program DOTS belum berjalan dengan baik
 Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDS–HIV
 Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
 Gangguan penyerapan
 Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. FAKTOR KUMAN
 Kuman M. tuberculosis super strains
 Sangat virulen
 Daya tahan hidup lebih tinggi
 Berhubungan dengan TB-MDR

4. KATEGORI RESISTENSI M. Tuberculosis TERHADAP OAT


Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB:
1) Mono- resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
2) Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin
3) Multidrug-resistance (MDR): Kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan
rifampicin.
4) Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu obat
golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin, dan amikasin)
5) Total Drug Resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada kondisi
ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai

5. PATOFISIOLOGI
1) Mekanisme TB MDR
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin
(R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus
baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur
M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat
antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb
yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah
diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan
terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif
obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi
sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat
obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri
menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak
terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT.
Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan
obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif
terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah
terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur
M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak
adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi
jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang
digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi
juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV
menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penularan
MDR Tb.

2) Mekanisme Klinis
Gejala Respiratorik :
1. Batuk kering yang berangsur-angsur menjadi produktif lebih dari 3 minggu, kadang-
kadang bercampur dengan dahak
2. Sesak napas dan nyeri dada

Gejala Sistemik :
1. Demam terutama dimalam hari
2. Berkeringat dingin malam hari tanpa aktivitas atau sebab yang jelas
3. Penurunan napsu makan
4. Penurunan berat badan

6. SUSPEK TB-MDR
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :
1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan rekam medis
sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori
2
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat OAT lini
kedua seperti kuinolon dan kanamisin
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori
1
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk
petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
9. TB-HIV
Pasien yang memenuhi ‘kriteria suspek’ harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal
yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi :
Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa infiltrat, fibroinfiltrat/ fibrosis,
konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan kavitas.
2. Bronchografi :
Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru
karena TB.
3. Laboratorium :
a. Darah : leukositosis/ leukopenia, LED meningkat
b. Sputum : BTA S/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ, DST, Gene-Xpert
c. Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)
Saat ini uji kepekaan M.tuberculosis secara tepat ( rapid test ) sudah
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai penampisan.
Metode yang tersedia adalah:
Line probe assey ( LPA )
- Pemeriksaan molekuler yang di dasarkan pada PCA
- Dikenal dengan Hain test/ Genotiype MDRTB plus
- Hasil pemeriksaan dapat di peroleh dalam waktu kurang lebih 24 jam
-Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosiss yang resisten
terhadap rifampisi ( R ) ternyata juga resisten terhadap isoniasis ( H ) sehingga tergolong
MDR
Gene Xpert
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam
8. PENATALAKSANAAN TB-MDR
 Klasifikasi OAT untuk MDR
Klasifikasi obat anti tuberkulosis dibagi atas 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya,
yaitu :
1. Kelompok 1: Sebaiknya digunakan karena kelompok ini paling efektif dan
dapat ditoleransi dengan baik (Pirazinamid, Etambutol)
2. Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau kapreomisin jika alergi
terhadap kanamisin)
3. Kelompok 3: Fluorokuinolon yang bersifat bakterisidal tinggi
(Levofloksasin)
4. Kelompok 4: Bersifat bakteriostatik tinggi (PAS, Ethionamid, Sikloserin)
5. Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak disediakan dalam
program ini.
Kriteria utama berdasarkan data biologi dibagi menjadi 3 kelompok OAT :
1. Obat dengan aktiviti bakterisid : amnoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada
pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah : fluorokuinolon
3. Obat dengan aktiviti bakteriostatik : etambutol, cycloserin, dan PAS

 Hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang distandarisasi


untuk pasien MDR TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya ”tailor mode”, bergantung dari
hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif.
 Obat lini-2 yang digunakan yaitu golongan
fluorokuinolon,aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + as klavulanat.
 Saat ini panduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif
minimal 2-3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000-
1500 mg atau ofloksasin 600-800 (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).
 Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan.
 Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan
MDR TB.
Resistensi silang
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak
efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi
silang.
 Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat digunakan untuk
kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang
lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn ofloksasin di masa datang.
 Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan
tiosetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif dengan etionamid
dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten
terhadap tiosetason pada lebih dari 70% kasus.
 Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin.
Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur
yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap steptomisin.
Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap
kapreomisin.
Kesimpulan :
- Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
- Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin
 Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan
obat golongan lain.

Tabel 1: Klasifikasi OAT untuk MDR


Golongan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini Pertama  Isoniazid (H)  Pirazinamid (Z)
 Rifampisin (R)  Streptomisin (S)
 Etambutol (E)
Golongan-2 Obat suntik lini kedua  Kanamisin (Km)
 Amikasin (Am)
 Kapreomisin (Cm)
Golongan-3 Golongan  Levofloksasin (Lfx)
Floroquinolone  Moksifloksasin (Mfx)
 Ofloksasin (Ofx)
Golongan-4 Obat bakteriostatik lini  Etionamid (Eto)  Terizidon (Trd)
kedua  Protionamid (Pto)  Para amino salisilat
 Sikloserin (Cs) (PAS)
Golongan-5 Obat yang belum terbukti  Clofazimin (Cfz)  Clarithromisin
efikasinya dan tidak  Linezolid (Lzd) (Clr)
direkomendasikan oleh  Amoksilin/ Asam  Imipenem (Ipm).
WHO Klavulanat (Amx/Clv)
 Strategi Pengobatan
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan
OAT dinegara tersebut. Dibawah ini beberapa strategi pengobatan TB-MDR
 Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang
representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji
kepekaan indivisual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama.
Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
 Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB
pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen
empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
 Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB
sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Pilihan berdasarkan :
- Ketersediaan OAT lini kedua (second-line)
- Pola resistensi setempat dan riwayat penggunaan OAT lini kedua
- Uji kepekaan obat lini pertama dan kedua

 Prinsip Panduan Pengobatan TB-MDR


1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan efektifitas yang pasti
atau hampir pasti.
2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir dipastikan ada pada
fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten kanamisin.
3. Dosis obat berdasarkan berat badan.
Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan
atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Periode ini dikenal sebagai fase intensif. Lama fase
intensif: Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah berdasarkan kultur
konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil
sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil kultur,
sputum, foto thorax dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan
pemakaian obat suntik.
1. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
2. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `
3. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan. Obat per oral diminum
setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum didepas petugas kesehatan kecuali pada hari
libur diminum didepan PMO. Sedangkan pada fase lanjutan obat oral diberikan maksimum 1
minggu dan diminum didepan PMO. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral dibawah
pengawasan selama masa pengobatan.
4. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin (vit.B6), dengan dosis 50
mg untuk setiap 250 mg sikloserin
5. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal
 Dosis OAT
a. Dosis OAT ditetapkan dan diberikan berdasarkan berat badan pasien.
b. Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas farmasi
fasyankes Pusat Rujukan PMDT untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir pengobatan
sesuai dosis yang telah dihitung oleh Tim Ahli Klinis. Jika pasien diobati di fasyankes Pusat
Rujukan PMDT maka paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan di simpan
di Poli DOTS Plus fasyankes Pusat Rujukan PMDT.
c. Jika pasien meneruskan pengobatan di fasyankes sub rujukan/ satelit PMDT maka paket obat
akan diambil oleh petugas farmasi fasyankes sub rujukan/ satelit PMDT dari unit farmasi
fasyankes Pusat Rujukan PMDT setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku. Pasien tidak
diijinkan untuk menyimpan obat.
d. Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2: Perhitungan dosis OAT MDR


OAT Berat Badan (BB)
< 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg
Pirazinamid 20-30 mg/kg/hari 750-1500 mg 1500-1750 mg 1750-2000 mg
Kanamisin 15-20 mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol 20-30 mg/kg/hari 800-1200 mg 1200-1600 mg 1600-2000 mg
Kapreomisin 15-20mg/kg/hari 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Levoflosasin 7,5-10 mg/kg/hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg
Moksifloksasin 7,5-10 mg/kg/hari 400 mg 400 mg 400 mg
Sikloserin 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
Etionamid 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg
PAS 150 mg/kg/hari 8g 8g 8g
 Fase – fase Pengobatan TB-MDR
Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau kapreomisin)
yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan
Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
- Menilai keadaan pasien secara cermat
- Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
- Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
- Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
- Tidak ditemukan efek samping
- Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman pengobatan
TB MDR
Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan
dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien
hanya pada libur.
Fase pengobatan lanjutan
 Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
 Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
 Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat setiap
minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan
 Pemantauan dan Hasil Pengobatan
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB – batuk, berdahak, demam dan BB
menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons
pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh
setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan
setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
 Penilaian klinis termasuk berat badan
 Penilaian segera bila ada efek samping
 Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan
 Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
 Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan
 Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan
Kapreomisin)
 Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

9. PENGOBATAN TB-MDR PADA KEADAAN KHUSUS


Pengobatan TB-MDR pada wanita usia subur
 Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan kehamilan.
 pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif yang akan mendapat
pengobatan TB MDR.
Pengobatan TB-MDR pada ibu hamil
 Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi sampai saat ini
keamanannya belum diketahui
 Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini
 Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga pengobatan bisa
ditangguhkan sampai trimester kedua
Pengobatan TB-MDR pada ibu menyusui
 Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB MDR harus mendapat pengobatan
penuh
 Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan konsentrasi yang lebih
kecil
 Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai BTA nya menjadi
negatif atau ibu menggunakan masker N-95
Pengobatan TB-MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi hormon
 Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan rejimen yang tidak
mengandung riyfamycin
 Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat pengobatan dengan
rifampycin bisa memilih salah satu metode berikut: gunakan kontrasepsi oral yang
mengandung dosis oestrogen yang lebih besar (50 μg) atau menggunakan kontrasepsi bentuk
lain
Pengobatan pasien TB-MDR dengan diabetes mellitus
 Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan ginjal dan
neuropati perifer
 Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama pengobatan TB MDR,
tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus
 Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya
 Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan
selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan ginjal
 Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan dengan hati –
hati
 Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan
selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
 Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan dengan tabel diatas (jika
terjadi gangguan ginjal).
Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan hati
 OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama
 Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB MDR jika tidak ada bukti
klinis penyakit hati kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut hepatitis dahulu atau pemakaian
alkohol berlebihan.
 Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga harus lebih diawasi
 Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid
 Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim meningkat, OAT harus
dihentikan dan dilaporkan kepada tim therapeutic advisory
 Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis akut, kombinasi empat
OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang paling aman
Pengobatan pasien TB-MDR dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi)
 Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti kejang
 Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan anti kejang
diperlukan sebelum mulai pengobatan
 Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini
 Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi
 Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak
cukup terkontrol dengan pengobatan dengan gangguan psikiatris

10. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Identitas Px meliputi : nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan,
agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan jam masuk RS, No. Reg, ruangan, serta identitas
yang bertanggung jawab.
2. Keluhan Utama
Biasanya Px TB Paru ditandai dengan sesak nafas, batuk dan berat badan menurun.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang.
Pada umumnya Px TBC vering mengalami panas lebih dari 2 minggu sering terjadi bentuk
berulang-ulang, anorexia, lemah, berkeringat banyak pada malam hari dan hemaptoe
b. Riwayat kesehatan lalu.
Px mempunyai riwayat tertentu seperti, Diare kronik, investasi cacing, malaria kronik,
campak dan infeksi HIV
c. Riwayat kesehtan keluarga.
Px keluarganya tidak mempunyai penyakit menular atau mempunyai penyakit menular
d. Riwayat psikososial.
Riwayat psikososial sangat berpengaruh dalam psikologis Px dengan timbul gejala-gejala
yang dialami dalam proses penerimaan terhadap penyakitnya, meliputi :
1) Perumahan yang padat
2) Lingkungan yang kumuh dan kotor
3) Keluarga yang belum mengerti tentang kesehatan
4. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Meliputi : kebiasaan merokok, banyaknya rokok yang dihabiskan, penggunaan alkohol,
tembakau dan kebiasaan olah raga.
b. Pola nutri dan Metabolisme
Meliputi : nafsu makan, diit khusus / suplemen, fluktuasi berat badan 6 bulan terakhir,
kesukaran menelan.
c. Pola eliminasi
Meliputi : kebiasaan eliminasi urine / defekasi, warna, konsistensi dan bau sebelum MRS
atau MRS.
d. Pola istirahat dan tidur
Meliputi : lama tidur Px sebelum MRS dan MRS, gangguan waktu tidur, merasa tenang
setelah tidur.
e. Pola aktifitas dan latihan
Meliputi : kegiatan Px dirumah dan di RS, serta lamanya aktivitas.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi : body image, self sistem, kekacauan identitas, depersonalisasi.
g. Pola sensori dan kognitif
Meliputi :daya pengelihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan kognitif Px baik
atau tidak.
h. Pola reproduksi sexual
Meliputi : penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi pola seksual Px,
pemeriksaan payudara setiap bulan sekali / 2 bulan, masalah seksual yang berhubungan
dengan penyakit.
i. Pola hubungan peran
Meliputi : hubungan dengan keluarga, rekan kerja dan teman atau masyarakat.
j. Pola penanggulangan stres
Meliputi : penyebab stres, koping terhadap stres, adaptasi terhadap stres, pertahanan diri
terhadap dan pemecahan masalah.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Meliputi : agama, keyakinan dan ritualitas.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suhu, nadi, pernafasan, BB, TB.
b. Kepala dan leher
Bentuk, kelainan, tanda-tanda trauma, warna rambut dan kebersihan rambut.

- Mata : Sklera, konjungtiva dan kornea.


- Hidung : Bentuk, bersih atau tidak ada polip atau tidak, daya
penciuman normal atau tidak.
- Mulut : Bentuk, kebersihan, ada perdarahan atau tidak, mukosa
bibir.
- Telinga : Bentuk, kebersihan, daya pendengaran.
- Leher : Ada pembesaran kelenjar tynoid atau tidak ada
pembengkakan atau tidak.
c. Thorax
Bentuk Thorax Px TB paru biasanya tidak normal (Barrel chest)
d. Paru
Bentuk dada tidak simetris, pergerakan paru tertinggal, adanya whezing atau ronkhi, ada suara
nafas Bronchial
e. Jantung
Didapatkan suara 1 dan suara 2 tunggal
f. Abdomen
Biasanya Px TB terdapat pembesaran limpha dan hati
g. Inguinal-Genetalia-Anus
Ada kemerahan atau tidak, ada leat atau tidak
h. Tulang belakang
Ada kelainan atau tidak, ada edema atau tidak.
i. Kulit
Tidak didapatkan kelainan pada tekstur kulit, warna kulit, turgor kulit menurun atau tidak
j. Ekstrimititas
Akral hangat dan dingin, ada edema dikaki atau tidak, nyeri waktu berjalan
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan penunjang
1) LED meningkat.
2) Leukosit meningkat.
3) Hb menurun.
b. X-foto
- Di dapatkan pembesaran kelenjar para tracheal atau hiler dengan atau tanpa adanya infiltrat.
- Gambaran milier atau bercak kalsifikasi.
c. Pemeriksaan sputum / Bakteriologis
- Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB Paru, namun pemeriksaan ini tidak
sensitif karena hanya 30-70 % Px TB yang dapat di diagnoisis berdasarkan pemeriksaan ini.
- Pemeriksaan sputum dilakukan dengan cara pengambilan cairan di lambung dan dilakukan
setiap pagi 3 hari berturut-turut yaitu sewaktu pagi – sewaktu (SPS).
d. Pemeriksaan mantoox test / uji tuberkulin
- Sebagai standar dipakai PPO SIU atau OT 0,1 mg.
1) Indurasi 10 mm atau lebih : reaksi positif.
2) Indurasi 5 mm – 9 mm : reaksi meragukan.
3) Indurasi 0-5 mm : reaksi negatif.
- Tes Tuberkulin dapat negatif pada Penyakit HIV / AIDS, malnutrisi berat, TB milier,
morbili meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengansekret kental atau sekret darah,
kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan denganberkurangnya keefektifan permukaan paru,


atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, Edema bronchial.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang drai kebutuhan tubuh dengan kelelahan, batuk yang sering,
adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
INTERVENSI

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC Airway suction
bersihan jalan nafas  Respiratory status :  Pastikan kebutuhan
Ventilation oral/tracheal suctioning
 Respiratory status :  Auskultasi suara nafas
Airway patency sebelum dan sesudah
suctioning.
Kriteria Hasil :  Informasikan pada klien dan
 Mendemonstrasikan keluarga tentang suctioning
batuk efektif dan suara  Minta klien nafas dalam
nafas yang bersih, tidak sebelum suction dilakukan.
ada sianosis dan dyspneu  Berikan O2 dengan
(mampu mengeluarkan menggunakan nasal untuk
sputum, mampu bernafas memfasilitasi suksion
dengan mudah, tidak ada nasotrakeal
pursed lips)  Gunakan alat yang steril
 Menunjukkan jalan nafas setiap melakukan tindakan
yang paten (klien tidak  Anjurkan pasien untuk
merasa tercekik, irama istirahat dan napas dalam
nafas, frekuensi setelah kateter dikeluarkan
pernafasan dalam rentang dan nasotrakeal
normal, tidak ada suara  Monitor status oksigen
nafas abnormal) pasien
 Mampu  Ajarkan keluarga bagaimana
mengidentifikasikan dan cara melakukan suksion
mencegah faktor yang  Hentikan suksion dan
dapat menghambat jalan berikan oksigen apabila
nafas pasien menunjukkan
bradikardi, peningkatan
saturasi O2, dll
Airway Management
 Buka jalan nafas, guanakan
teknik chin lift atau jaw
thrust bila perlu
 Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
 Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
 Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
 Lakukan suction pada mayo
 Berikan bronkodilator bila
perlu
 Berikan pelembab udara
Kassa basah NaCI Lembab
 Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor respirasi dan status
O2
2 Gangguan  Respiratory Status : Gas Airway Management
pertukaran gas exchange
 Buka jalan nafas, gunakan
 Respiratory Status :
teknik chin lift atau jaw
ventilation
thrust bila perlu
 Vital Sign Status
 Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Kriteria Hasil :
 Identifikasi pasien perlunya
 Mendemonstrasikan
pemasangan alat jalan nafas
peningkatan ventilasi dan
buatan
oksigenasi yang adekuat
 Pasang mayo bila perlu
 Memelihara kebersihan
 Lakukan fisioterapi dada jika
paru-paru dan bebas dari
perlu
tanda-tanda distress
 Keluarkan sekret dengan
pernafasan
batuk atau suction
 Mendemonstrasikan batuk
 Auskultasi suara nafas, catat
efektif dan suara nafas
adanya suara tambahan
yang bersih, tidak ada
 Lakukan suction pada mayo
sianosis dan dyspneu
 Berikan bronkodilator bila
(mampu mengeluarkan
perlu
sputum, mampu bernafas
 Berikan pelembab udara
dengan mudah, tidak ada
 Atur intake untuk cairan
pursed lips)
mengoptimalkan
 Tanda tanda vital dalam
keseimbangan.
rentang normal
 Monitor respirasi dan status

O2
Respiratory Monitoring
 Monitor rata-rata,
kedalaman, irama dan usaha
respirasi
 Catat pergerakan dada, amati
kesimetrisan, penggunaan
otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
 Monitor suara nafas, seperti
dengkur
 Monitor pola nafas :
bradipnea, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
 Catat lokasi trakea
 Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan
paradoksis)
 Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak
adanya ventilasi dan suara
tambahan
 Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi
crakles dan ronkhi padajalan
napas utama
 Auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui
hasilnya

3 Ketidakseimbangan NOC : NIC :


nutrisi kurang dari  Nutritional Status : food Nutrition Management
kebutuhan tubuh and Fluid Intake  Kaji adanya alergi makanan
 Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
Kriteria Hasil :
kalori dan nutrisi yang
 Adanya peningkatan
dibutuhkan pasien.
berat badan sesuai dengan  Anjurkan pasien untuk
tujuan meningkatkan intake Fe
 Berat badan ideal sesuai  Anjurkan pasien untuk
dengan tinggi badan meningkatkan protein dan
 Mampu mengidentifikasi
vitamin C
kebutuhan nutrisi  Berikan substansi gula
 Tidak ada tanda tanda  Yakinkan diet yang dimakan
malnutrisi mengandung tinggi serat
 Tidak terjadi penurunan
untuk mencegah konstipasi
berat badan yang berarti  Berikan makanan yang
terpilih ( sudah
dikonsultasikan dengan ahli
gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan
harian.
 Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
 Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
 Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan

Nutrition Monitoring
 BB pasien dalam batas
normal
 Monitor adanya penurunan
berat badan
 Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan
 Monitor interaksi anak atau
orangtua selama makan
 Monitor lingkungan selama
makan
 Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
 Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
 Monitor turgor kulit
 Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah
 Monitor mual dan muntah
 Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht
 Monitor makanan kesukaan
 Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
 Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor kalori dan intake
nuntrisi
 Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral.
 Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet

DAFTAR PUSTAKA

Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Infeksi. Dalam : Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University
Press, 1989 ; 13-7.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 3. Balai Penerbit FKUI; 2001.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.
PDPI. Standard Pelayanan Medik Paru. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Jakarta; 1998
Rasad sjahrir, Sukonto Kartoleksono, dan Iwan Ekayuda. Radiologi Diagnostik. Balai Penerbit FKUI;
2000.
Tam MC, Yew WW, Yuen YK. Treatment of Multidrug-Resistant and Extensively Drug-Resistant
Tuberculosis: Current Status and Future Prospects. [Online]. 2009. [cited 2011 November 20].
Available from URL : http://www.medscape.com/
Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP Persahabatan / WHO
Collaborating Center for Tuberculosis ; 2000
Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia ; 2006.
World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drugresistant tuberculosis
. Emergency Update 2008
Priantini NN. MDR-TB masalah dan penanggulangannya. Medicinal 2003;4:27-33
Why DOTS-Plus for MDR-TB (cited 2008 april). http://www.who.int/gtb/publication/busdocs/
index.html
Rabia J, Elizabeth MS, Gail EL, Warren RM, Paul DH, Thomas CV . Drug Resistance in
Mycobacterium tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol.8:97-112
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Anda mungkin juga menyukai