5.1. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. TB adalah penyebab
kematian utama kedua dari penyakit infeksi setelah HIV di seluruh dunia. World Health Organization
(WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Laporan
WHO (Global Tuberculosis Report 2012), menyatakan bahwa pada tahun 2011 TB kasus baru diperkirakan
lebih dari 9 juta dan kematian akibat TB sebanyak 1,4 juta jiwa, 990.000 kasus pada TB dengan Human
Immunodefficiency Virus (HIV) negatif dan 430.000 kasus TB dengan HIV positif. Pada tahun 2011
Indonesia berada pada rangking keempat negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia, dengan peringkat
pertama berturut-turut adalah India (2-2,5 juta kasus), China (0,9-1,1 juta kasus), dan Afrika Selatan (0,4-
0,6 juta kasus), dengan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 690.000 dan estimasi
insidensi 450.000 kasus baru per tahun.
Kasus resistensi merupakan kasus yang sedang menjadi tantangan dalam program
penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan telah terjadi resistensi primer di seluruh dunia dengan persentase
poliresisten sebesar 17,0%, monoresisten sebesar 10,3%, dan Tuberculosis-Multidrug Resistant (TB-MDR)
sebesar 2,9%. Ketika dilaporkan adanya beberapa kasus resistensi obat TB di beberapa wilayah di dunia
hingga tahun 1990-an, masalah ini belum dipandang sebagai masalah yang utama. Akan tetapi
berdasarkan laporan-laporan penelitian yang sudah dilakukan maka kasus resistensi obat TB ini menjadi
perhatian utama dan perlu penanganan yang lebih serius. Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh
karena lemahnya program pengendalian TB.
WHO pada tahun 2001 telah mendata dan melaporkan negara-negara yang perlu mewaspadai akan
maraknya kasus TB-MDR adalah: Afghanistan, Bangladesh, Brazil, Cambodia, China, Democratic Republic
of Congo, Ethiopia, India, Indonesia, Kenya, Mozambique, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Russia, South
Africa, Tanzania, Thailand, Uganda, Vietnam, dan Zimbabwe. WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang
di dunia yang telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resistensi terhadap obat anti
tuberkulosis (OAT) dan dijumpai 273.000 (3,1 %) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000. Munir
mengutip hasil penelitian Aditama bahwa resistensi primer di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Persahabatan pada tahun 1994 sebesar 6,86%. Hendra pada tahun 2011, telah terjadi resistensi primer di
RSUP Haji Adam Malik Medan yaitu monoresisten primer sebesar 21,18%, poliresisten primer sebesar
15,29%, dan TB-MDR primer sebesar 4,7%.
Penyebab terjadinya resistensi kuman adalah akibat pemberian terapi TB yang tidak adekuat
sehingga menyebabkan mutants resisten. Selain itu keterlambatan diagnosis akan menyebabkan
penyebaran galur resistensi obat semakin panjang. Pemberian terapi OAT TB-MDR yang jangka pendek
dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten ( The amplifier effect)
5.2. DEFINISI
Tuberkulosis-Multi Drug Resistant (TB-MDR) atau Resistensi ganda adalah M. tuberculosis yang resisten
minimal terhadap rifampisin dan isoniazid (INH) dengan atau tanpa Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lainnya.
Resistensi terhadap obat anti TB dibagi menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah
mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
2. Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT
sebelumnya atau belum pernah.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.
5.3. PATOGENESIS
Rifampisin adalah semisintetik derivat dari S treptomycin mediterranei, merupakan obat antituberkulosis
yang paling kuat dan penting. Memilki sifat bakterisida intraseluler dan ekstraseluler. Rifampisin sangat
baik diabsorbsi melalui per oral. Ekskresi melalui hati kemudian ke empedu dan mengalami resirkulasi
enterohepatik. In vitro aktif terhadap gram positif, gram negatif, bakteri enterik, mikobakterium, dan
klamidia. Secara khusus menghentikan sintesis RNA dengan cara mengikat dan menghambat polymerase
RNA yang tergantung DNA (RNA polymerase DNA-dependent) pada sel-sel mikobakterium yang masih
sensitif.
Resistensi rifampisin yang didapat merupakan hasil dari mutasi yang spontan mengubah sub unit
gen RNA polymerase (rpoB), sub unit gen ẞ-RNA polymerase. RNA polymerase manusia tidak mengikat
Rifampisin ataupun dihambatnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa 96% strain yang resisten rifampisin
telah memiliki mutasi pada daerah inti gen 91-bp. Resistensi muncul segera pada pemakaian obat tunggal.
Isoniazid harus tetap diberikan pada setiap terapi TB kecuali organisme telah mengalami resistensi. Obat
ini murah, dapat mudah diperoleh, memiliki selektifitas yang tinggi untuk Mycobacterium dan hanya 5 %
yang menunjukkan efek samping. INH merupakan molekul yang kecil, larut, dan bebas dalam air, mudah
penetrasi ke dalam sel, aktif terhadap mikroorganisme intrasel maupun ekstrasel. Mekanisme kerja INH
adalah menghambat sintesis asam mikolat dinding sel melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti reaksi katalase-peroksidase. INH adalah obat yang bakteriostatik pada bakteri yang istirahat dan
bakterisida pada organisme yang bermultiplikasi cepat, baik pada ekstraseluler dan intraseluler.
Sebagian besar galur yang resisten INH memiliki perubahan asam amino pada gen katalase-
peroksidase (katG) atau promoter lokus dua gen yang dikenal dengan inhA. Produksi berlebih dari gen
inhA menimbulkan resistensi INH tingkat rendah dan resisteni silang Etionamida. Sedangkan mutasi gen
katG menimbulkan resistensi INH tingkat tinggi dan sering tidak menimbulkan resistensi silang dengan
Etionamida.
Resistensi etambutol umumnya dikaitkan dengan mutasi pada gen embB yang merupakan gen yang
mengkodekan untuk enzim arabinosiltransferase. Arabinosiltransferase terlibat dalam reaksi polimerasi
arabinoglikan. Resistensi terjadi akibat mutasi yang menyebabkan ekspresi berlebih produksi dari gen
embB. Mutasi gen embB telah ditemukan pada 70% galur yang resisten dan melibatkan pergantian posisi
asam amino 306 atau 406 pada 90 % kasus. Resistensi segera timbul bila obat diberikan secara tunggal.
Pirazinamid sebagai bakterisida pada organisme metabolisme lambat dalam suasana lingkungan asam
diantara sel fagosit dan granuloma keseosa. Pirazinamid diduga oleh basil tuberkel dikonversikan menjadi
produk zat yang aktif yaitu asam pirazinoat. Pirazinamid diabsorbsi dengan baik melaui saluran
pencernaan.
Resistensi pirazinamid terjadi oleh karena kehilangan aktivitas pyrazinamidase sehingga tidak lagi
dikonversikan menjadi asam pirazinoat. Resistensi ini dihubungkan dengan terjadinya mutasi pada gen
pncA yang menyandikan enzim pyrazinamidase.
Merupakan aminoglikosida yang diisolasikan dari Streptomyces griseus. Streptomisin menghambat sintesis
protein dengan cara menimbulkan gangguan pada ribosom. Dua per tiga galur yang resistensi terhadap
streptomisin diidentifikasi bahwa terjadi mutasi pada satu dari dua target yaitu 16s rRNA (rrs) atau gen
yang menyandi protein ribosom S12 (rpsL). Kedua target ini yang diyakini terdapat ikatan ribosom
streptomisin.
5.4. DIAGNOSIS
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis,
radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis TB dibagi atas dua golongan, yaitu gejala
respiratorius berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorius sangat
bervariasi dari mulai yang tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi.
Sedangkan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat
badan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama didaerah apeks dan
segmen posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkhial, amforik, suara
napas melemah, ronkhi basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan organ mediastinum.
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :
1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2, dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya
dan riwayat penyakit dahulu.
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat OAT lini kedua seperti
kuinolon dan kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB MDR konfirmasi, termasuk petugas
kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR.
9. TB-HIV.
Pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal
yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat. Diagnosis TB-MDR dipastikan
berdasarkan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap
rifampisin dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR.
5.5. PENGOBATAN
Pengobatan TB-MDR memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 18-24 bulan setelah konversi biakan.
Konversi biakan adalah: pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan biakan 2 kali berturut-turut dengan
jarak pemeriksaan 30 hari, menunjukkan hasil negatif. Terdiri atas dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan. Apabila pada akhir bulan kedelapan belum terjadi konversi maka disebut gagal
pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian panduan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap
awal. Satuan bulanan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis bukan bulan kalender. Satu bulan
pengobatan adalah bila pasien mendapatkan 28 dosis pengobatan. Tahap awal dengan lama pengobatan
yaitu dengan rumus : a + 4 bulan, dimana a adalah : bulan pertama tercapai konversi. Lama tahap awal
minimal 6 bulan dan bila sampai bulan kedelapan pasien tidak konversi maka pengobatan dinyatakan
gagal. Tahap lanjutan dengan rumus : a + 18 bulan, dimana a adalah : bulan pertama tercapai konversi.
Pada tahap awal dengan suntikan diberikan 5 kali seminggu baik selama rawat inap maupun rawat jalan.
Dan untuk obat oral diminum/ditelan setiap hari di depan petugas kesehatan. Untuk tahap lanjutan obat
oral diberikan maksimum 1 minggu dan diminum di depan PMO (Petugas Kesehatan).
Pedoman WHO membagi pengobatan TB-MDR menjadi lima group berdasarkan potensi dan efikasinya:
1. Kelompok pertama: Pirazinamid dan Etambutol paling efektif dan ditoleransi dengan baik.
2. Kelompok kedua: injeksi Kanamisin atau Amikasin, jika alergi diganti dengan Kapreomisin atau Viomisin
yang bersifat bakterisidal.
3. Kelompok ketiga: Fluoroquinolon di antaranya: Levofloksasin, Moksifloksasin, Ofloksasin yang bersifat
bakterisidal tinggi.
4. Kelompok keempat: PAS, Etionamid, Protionamid, dan Sikloserin merupakan bakteriostatik lini kedua.
5. Kelompok kelima: Amoksisilin+Asam Klavulanat, Makrolide baru (Klaritromisin), dan Linezolid, masih
belum jelas efikasinya.
Pilihan paduan OAT TB-MDR saat ini adalah paduan terstandar ( standardized treatment) yaitu :
Km-Eto-Lfx-Cs-Z(E) / Eto-Lfx-Cs-Z(E)
Bila Kanamisin sudah resisten maka paduan menjadi Cm-Eto-Lfx-Cs-Z(E) / Eto-Lfx-Cs-Z(E).
Bila Levofloksasin sudah resisten maka paduan menjadi Km-Eto-Mfx-PAS-Cs-Z(E) / Mfx-Eto-PAS-Cs-Z(E).
Kanamisin (Km)
Kanamisin berkaitan erat dengan antibiotik jenis aminoglikosida. Kanamisin bekerja pada ribosom dan
menghambat proses sintesis protein. Kanamisin biasanya dapat diberikan secara intramuskular.
Konsentrasi serum harus berada dalam kisaran 15-20 mg/kg. Hati-hati pemberian pada ibu hamil dan ibu
menyusui, penyakit ginjal, penyakit hati dan yang hipersensitif terhadap aminoglikosida. Efek samping yang
dapat terjadi adalah: gangguan pada saraf kedelapan, dan toksisitas ginjal. Gangguan pendengaran,
gangguan keseimbangan yang menetap, neuropati perifer. Pemantauan terhadap penggunaan obat ini
harus tetap dilakukan, antara lain: pemeriksaan faal ginjal (serum kreatinin dan kalium), audiogram bulanan
untuk fungsi pendengaran.
Amikasin (Am)
Sama halnya dengan kanamisin, amikasin juga berhubungan erat dengan antibiotik aminoglikosida.
Amikasin juga bekerja pada ribosom, penghambatan sintesis protein. Amikasin dapat diberikan
intramuskular atau intravena. Rata-rata konsentrasi puncak serum adalah 21 mg/ml dan MIC adalah 4-8
mg/ml. Amikasin juga memiliki efek samping terhadap kelemahan pada saraf kedelapan dan juga
menyebabkan toksisitas ginjal.
Kapreomisin (Cm)
Kapreomisin secara kimiawi berbeda dari aminoglikosida, tetapi kemungkinan memiliki resistensi silang
dengan streptomisin, amikasin, dan kanamisin. Kapreomisin memiliki aktivitas teurapetik yang sama
dengan kanamisin dan amikasin begitu juga dengan farmakologi dan toksisitasnya. Efek sampingnya juga
berpengaruh pada sistem persyarafan kedelapan dan juga menyebabkan toksisitas ke ginjal. Pemantauan
pemberian obat ini juga perlu memeriksa faal ginjal dan pemeriksaan fungsi pendengaran sebelum dan
selama pengobatan.
Levofloksasin (Lfx)
Levofloksasin merupakan fluorokuinolon yaitu agen anti bakteri spektrum luas yang bekerja menghambat
DNA enzim girase. Levofloksasin lebih banyak dipakai secara oral dan lebih sensitif terhadap organisme.
Tidak ada resistensi silang dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Reaksi obat antara kuinolon dengan
teofilin yaitu akan meningkatkan kadar serum teofilin dan resiko efek samping dari teofilin. Pemberian
antasida (seperti: magnesium sulfat, aluminium sulfat, kalsium atau didanosine) akan menyebabkan
menurunnya absorbsi dan menghilangkan efek terapetik fluorokuinolon. Pemberian probenesid akan
menurunkan sekresi fluorokuinolon di ginjal yang mengakibatkan sekitar 50% peningkatan serum
fluorokuinolon. Pemberian suplemen vitamin yang mengandung seng (Zn) dan besi (Fe) akan mengurangi
absorbsinya. Efek samping yang timbul adalah: mual, kembung, pusing, insomnia, sakit kepala, ruam,
pruritus dan fotosensitivitas. Jika dijumpai resistensi levofloksasin maka diberikan moxifloksasin.
Etionamid (Eto)
Etionamid memiliki struktur yang mirip dengan INH. Namun resistensi silang dengan INH sangat jarang
terjadi. Dosis etionamid sebesar 2,5 µg/kg memiliki efek bakteristatik. Etionamid diserap baik oleh usus
dan di metabolisme di hati. Kadar serum puncak nya adalah 15-20 mg/ml dan dosis optimumnya biasanya
1 gram. Obat ini hampir sepenuhnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Efek samping yang timbul adalah:
mual, muntah, kehilangan napsu makan, dan nyeri perut. Reaksi neurologis yang sering muncul adalah:
sakit kepala, gelisah, diplopia, tremor, dan kejang-kejang. Diperlukan penambahan dosis secara bertahap
karena sangat mengiritasi saluran pencernaan. Jika obat diberikan pada malam hari maka sangat
dianjurkan bersamaan dengan anti-emetik dan obat hipnosis. Hepatitis dapat terjadi pada 1 persen pasien.
Untuk memantau hepatotoksik maka perlu dilakukan pemeriksaan faal hati dan enzim paru per bulan. Jika
didapati peningkatan faal hati lima kali lipat maka obat harus dihentikan.
Sikloserin (Cs)
Sikloserin bersifat bakteriostatik yang merupakan analog dalanine dan bekerja masuk kedalam dinding sel.
Obat ini diserap baik di usus dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini diekskresikan oleh urin
sebanyak 70% dari bentuk aktifnya dan 30% lagi di metabolisme di dalam tubuh. Efek samping umum
termasuk gangguan neurologis dan psikiatris mulai dari sakit kepala, tremor, gangguan memori, dan
gangguan psikosis berupa mengantuk, paranoid, depresi, atau reaksi katatonik. Beberapa pasien dengan
gangguan kecemasan dan depresi dapat berupa keinginan bunuh diri. Dosis umum adalah 15-20 mg/kg,
dengan dosis maksimal 1 gram/hari. Sebagian besar efek samping menghilang apabila obat dihentikan.
Untuk mencegah gangguan psikis yang serius maka perlu pemantauan berkala atas status mental dan
tingkat dosis yang diperlukan. Untuk mengurangi potensi kejang dan konvulsi dapat diberikan Piridoksin
dengan dosis 100-150 mg. Sikloserin dapat mengurangi efektifitas fenitoin jika diberikan bersamaan
dengan INH. Dosis fenitoin dalam hal ini dapat dikurangi. Minuman mengandung alkohol akan memberikan
efek toksik. Untuk kasus dengan adanya gagal ginjal, dosis harian obat harus dikurangi. Sebaiknya
diminum pada saat perut kosong karena dapat makanan dalam lambung akan menurunkan absorbsi obat.
Para-Amino Salicylic acid (PAS)
Jika dijumpai resisten terhadap sikloserin maka dapat diganti dengan Para-Amino Salicylic acid (PAS).
Obat ini diekskresikan dengan cepat, dosis tinggi diperlukan untuk mempertahankan aktivitas
bakteriostatiknya. Dosis umum terapi oral harian adalah 150 mg/kg, dan dosis tidak boleh melebihi 10-12
gram/hari. Melebihi dari dosis tersebut akan menyebabkan efek samping mual, muntah, diare, dan nyeri
epigastrium. Dari 5-10% pasien, PAS juga dapat menyebabkan reaksi hiersensitivitas, hepatitis,
hipotiroidisme, atau anemia hemolitik. Efek samping dapat dikurangi dengan terapi awal dosis rendah dan
secara bertahap dinaikkan sampai mencapai dosis penuh.
Pirazinamid (Z)
Pirazinamid bersifat bakterisidal lemah tetapi mempunyai efek sterilisasi intraseluler, di lingkungan asam
dan tempat peradangan. Sangat efektif diberikan pada 2 bulan pertama pengobatan karena proses
peradangan sedang pada puncaknya. Pirazinamid mudah diabsorbsi dan tersebar di seluruh jaringan. Hati-
hati pemberian pada penderita Diabetes Mellitus karena dapat menyebabkan kadar gula darah tidak stabil.
Kadang menyebabkan kekambuhan gout atau dapat terjadi arthralgia. Efek samping yang timbul adalah:
mual, muntah, hiperurisemia yang asimptomatik dan timbulnya gout. Efek samping yang jarang timbul yaitu
: anemia siderobastik, photosensitive dermatitis dan gangguan hati berat.
Etambutol (E)
Etambutol bersifat bakteriostatik dan mudah diabsorbsi di saluran pencernaan. Efek samping yang timbul
adalah: gangguan fungsi mata yang tergantung dengan besarnya dosis, kelainan hati dan arthralgia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Central TB Division, Directorate General of Health Services, Ministry of Health & Family Welfare.
Revised. National Tuberculosis Control Programme, DOTS-Plus Guidelines, New Delhi, January 2010.
2. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. 10 th Edition. McGraw-Hill Companies Inc.Dalam
terjemahan: Nirmala WK, Yesdelita N, Susanto D, Dany F. (edt). Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta:
EGC; 2007: 796-801.
3. Kreider ME, Rossman MD. Clinical presentation and treatment of tuberculosis. In: Fishman AP, Elias
JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM. Pulmonary disease and disorders. Philadelphia: Mc Graw Hill;
2000: 2479-2480.
4. Munir SM, Nawas A, Soetoyo DK. Pengamatan pasien tuberkulosis paru dengan multidrug resistant
(TB-MDR) di poliklinik paru RSUP Persahabatan. J Respir Indo; 2010; 30 (20).
5. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycobacterial agents, infectious diseases. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, et al edts. Harrison’s principles of internal medicine. New York: Mc Graw Hill Medicine;
2008.
6. World Health Organization. Global tuberculosis report 2012. Geneva; WHO Press; 2012.
7. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis.
2006.
8. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis.
Geneva; 2011 update.