Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas karunia dan rahmat-
Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Sistem Sensori dan Persepsi I yang berjudul Makalah Sistem Sensori dan
Persepsi I Gangguan Sirkulasi Humor Aqueous: Glaukoma. Dengan
penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta bimbingan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan
banyak terima kasih.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karena itu,
kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan makalah mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan
memenuhi harapan berbagai pihak. Amin.
KELOMPOK 10
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Dafarisi.....................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang...................................................................................................1
1.2 RumusanMasalah..............................................................................................2
1.3 TujuanUmum....................................................................................................2
1.4 TujuanKhusus....................................................................................................2
1.5 Manfaat.............................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KonsepDasar.....................................................................................................3
2.1.1 Anatomi Mata..........................................................................................3
2.1.2 Fisiologi Mata..........................................................................................6
2.1.3 Faal Aqueous Humor...............................................................................6
2.1.4 Tekanan Bola Mata...................................................................................7
2.2 PengertianGlaukoma.........................................................................................7
2.3 PatofisiologiGlaukoma......................................................................................7
2.4 FaktorResikoTerjadinyaGlaukoma...................................................................8
2.5 KlasifikasiGlaukoma.........................................................................................8
2.6 TandadanGejalaGlaukoma..............................................................................14
2.7 PemeriksaanKhususGlaukoma........................................................................16
2.8 PengobatanGlaukoma....................................................................................20
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 PengkajianKeperawatan..................................................................................24
3.2 DiagnosaKeperawatan.....................................................................................24
3.3 IntervensiKeperawatan....................................................................................25
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................28
4.2 Saran................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................29
BAB 1
PENDAHULUAN
1.5 Manfaat
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep dasar dan
asuhan keperawatan mengenai penyakit glaukoma, sehingga dapat
digunakan sebagai acuan untuk praktik keperawatan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
b. Struktur mata
1. Lapisan terluar yang keras pada bola mata adalah tunika fibrosa.
Bagian posterior tunika fibrosa adalah sklera opaque yang berisi
jaringan ikat fibrosa putih. Kornea adalah perpanjangan anterior yang
transparan pada sklera di bagian depan mata. Bagian ini mentransmisi
cahaya dan memfokuskan berkas cahaya.
2. Lapisan tengah bola mata disebut tunika vaskular (uvea) dan tersusun
dari koroid (bagian yang sangat terpigmentasi untuk mencegah
refleksi internal berkas cahaya), badan siliaris (mengandung pembuluh
darah dan otot siliaris dimana otot ini penting dalam akomodasi
penglihatan, atau kemampuan untuk mengubah fokus dari objek
berjarak jauh ke objek berjarak dekat di depan mata), dan iris
(merupakan bagian mata yang berwarna bening. Terdiri dari jaringan
ikat dan otot radialis serta sirkularis, berfungsi untuk mengendalikan
diameter pupil). Pupil adalah ruangan terbuka yang bulat pada iris
yang harus dilalui cahaya untuk dapat masuk ke interior mata.
3. Lensa adalah struktur bikonveks yang bening tepat di belakang pupil.
Elastisitasnya sangat tinggi, suatu sifat yang akan menurun seiring
proses penuaan.
4. Rongga mata, terdiri dari 2 rongga.
a. Ruang anterior terletak dibelakang kornea dan di depan iris. Ruang
posterior terletak di depan lensa dan di belakang iris. Berisi
Aqueous humor, suatu cairan bening yang di produksi prosesus
siliaris untuk mencukupi kebutuhan nutrisi lensa dan kornea.
b. Ruang posterior terletak di antara lensa dan retina dan berisi vitreus
humor, berfungsi untuk mempertahankan benyuk bola mata dan
mempertahankan posisi retina terhadap kornea.
5. Retina, lapisan terdalam mata adalah lapisan tipis dan transparan.
Terdiri dari lapisan terpigmentasi luar dan lapisan jaringan saraf
dalam. Pada lapisan terdalam mata juga terdapat bintik buta (diskus
optikus) adalah titik keluar saraf mata; lutea makula adalah area
kekuningan yang terletak agak lateral terhadap pusat; fovea adalah
pelekukan sentral makula lutea yang tidak memiliki sel batang dan
hanya mengandung sel kerucut. Fungsinya sebagai pusat visual mata;
dan jalur visual ke otak.
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah suatu jenis glaukoma yang timbul sebagai
manifestasi penyakit intraokuler lain misalnya akibat trauma atau
pembedahan.
a. Glaukoma sekunder karena kelainan lensa mata
Luksasi lensa ke depan maupun ke belakang, lensa yang membengkak
karena katarak atau karena trauma, protein lensa yang menimbulkan
uveitis yang kemudian mengakibatkan tekanan bola mata naik.
Reaksi fakoanafilaktik yang sering ditemukan pada katarak yang
terlalu matang. Gambaran klinik adalah seperti uveitis. Lensa yang
membengkak menimbulkan glaukoma akut yang sering ditemukan.
b. Glaukoma sekunder karena kelainan uvea
Uveitis dapat menyebabkan glaukoma karena terbentuknya perlekatan
iris bagian perifer dan eksudatnya yang menutup celahcelah
trabekulum hingga outflow humor aqueous terhambat.
Tumor yang berasal dari uvea karena ukurannya dapat menyempitkan
rongga bola mata atau mendesak iris ke depan dan menutup sudut
bilik mata depan.
c. Glaukoma sekunder karena pembedahan atau trauma
Hifema dibilik mata depan karena trauma pada bola mata dapat
memblokir saluran outflow trabekulum. Perforasi kornea karena
kecelakaan menyebabkan iris terjepit dalam luka dan karenanya bilik
mata depan dangkal. Dengan sendirinya humor aqueous tidak dapat
mencapai jaringan trabekulum untuk penyaluran keluar. Pada
pembedahan katarak kadangkadang bilik mata depan tidak terbentuk
untuk waktu yang cukup lama, ini mengakibatkan perlekatan iris
bagian perifer hingga penyaluran aqueous humor terhambat.
d. Glaukoma sekunder karena rubeosis iris
Trombose vena retina sentral dan retinopati diabetik acapkali disusul
oleh pembentukan pembuluh darah di iris.
Dibagian iris perifer pembuluh darah ini mengakibatkan
perlekatanperlekatan sehingga sudut bilik mata depan menutup.
Glaukoma yang ditimbulkan nyeri dan sulit diobati.
e. Glaukoma sekunder karena kortikosteroid
Dengan munculnya kortikosteroid sebagai pengobatan setempat pada
mata, muncul pada kasus glaukoma pada penderita yang memang
sudah ada bakat untuk glaukoma. Glaukoma yang timbul menyerupai
dengan glaukoma sudut terbuka. Mereka yang harus diobati dengan
kortikosteroid jangka lama, perlu diawasi tekanan bola matanya secara
berkala.
3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma ini terdapat lebih jarang dari pada glaukoma pada orang
dewasa. Frekuensinya kirakira 0,01% diantara 250.000 penderita.
Karena itulah sedikit sekali dokter atau tenaga medis lain yang mendapat
kesempatan untuk mempelajari penyakit ini, sehingga perjalanan
kliniknya, serta cara merawatnya belum begitu dimengerti, seperti pada
glaukoma orang dewasa. 2/3 adalah lakilaki dan 2/3 terjadi bilateral.
Schele mengemukakan pembagian dalam:
a. Glaukoma infantum : yang tampak pada waktu lahir atau pada umur
13 tahun dan menyebabkan pembesaran bola mata, karena dengan
elastisitasnya bola mata membesar mnegikuti meningginya TIO.
b. Glaukoma yuvenilis : didapatkan pada anak yang lebih besar.
Patogenesis pada glaukoma kongenital ini belum diketahui dengan jelas.
Dikemukakan beberapa pendapat:
a. Anderson menemukan pada pemeriksaan histologis
1. Adanya jaringan mesenkim embrional yang persisten, dibagian
perifer bilik mata depan menutupi trabekula.
2. Kanal Schlemn tak terbentuk.
b. Seefelder menemukan bahwa insersi daripada iris terletak pada garis
Schwalbe (akhir dari membran Descement) atau 1/3 bagian anterior
trabekula.
c. W. B. Clark menemukan bahwa M. siliaris longitudinal berjalan
kemuka dan berinsersi pada trabekula, sehingga bila seratserat ini
berkontraksi, menyebabkan kanal Schlemn tertutup.
4. Glaukoma Absolut
Merupakan akhir dari semua glaukoma. Bila ditimbulkan sakit yang tak
tertahankan, dapat disuntikkan alkohol retrobulber atau dilakukan
krioterapi untuk mengurangi nyerinya. Kalau dengan pengobatan tak
dapat diatasi, dilakukan enukleasi bulbi. Jika tak menimbulkan rasa sakit
dibiarkan saja. Pengobatan pada umumnya simtomatis. Tekanan bola
mata yang tinggi diturunkan dengan diamox, pilokarpin, sedang untuk
rasa sakitnya diberikan analgetika dengan sedativa.
C. Glaukoma Sekunder
1. Karena kelainan lensa:
a. Luksasi.
b. Pembengkakan (intumesen).
c. Fakolitik.
2. Karena kelainan uvea:
a. Uveitis.
b. Tumor.
3. Karena trauma:
a. Pendarahan dalam bilik mata depan (hifema).
b. Perforasi kornea dan prolaps iris.
4. Karena pembedahan:
a. Bilik mata depan yang tidak cepat terbentuk setelah pembedahan
katarak.
5. Penyebab lain:
a. Rubeosis iridis (akibat trombose vena retina sentral).
b. Penggunaan kortikosteroid topikal berlebihan.
D. Glaukoma Kongenital
a. Tanda
1. Mata besar atau Buftalmus.
2. Diameter korne > dari pada normal.
3. Penglihatan berkurang.
4. Kornea berkabut.
5. Air mata linear pada membran Descement.
6. Peningkatan TIO.
7. Biasanya mata merah.
b. Gejala
Mata fotofobik berair.
E. Glaukoma Absolut
a. Gejala
Bola mata sering merasa nyeri dan pada keadaan ini dapat
menimbulkan kebutaan total.
2. Tonometri
Tonometri diperlukan untuk mengukur besarnya tekanan intraokuler. Ada
3 macam tonometri:
a. Tonometri digital
Cara ini adalah yang paling mudah, tetapi juga paling tidak cermat
sebab cara mengukurnya dengan perasaan jari telunjuk kita. Caranya
adalah dengan kedua jari telunjuk diletakkan di atas bola mata (satu
jari menahan dan jari lainnya menekan secara bergantian) sambil
penderita di suruh melihat ke bawah. Penderita tidak boleh menutup
mata, sebab menutup mata mengakibatkan tarsus kelopak mata yang
keras pindah ke depan bola mata, hingga apa yang kita palpasi adalah
tarsus dan ini selalu memberi kesan perasaan keras.
Tinggi rendahnya tekanan dicatat sbb:
Tio : Tensi intra okuler = N (normal)
Tio : N + 1 (agak tinggi), Tio : N 1 (agak rendah)
Tio : N + 2 (tinggi), dsb.
b. Tonometri Schiotz (cara mekanis)
Alat ini populer sekali, harganya terjangkau oleh tiap rumah sakit,
praktek, karena dapat dibawa kemanamana dan dapat dimasukkan ke
dalam saku. Kelemahan alat ini adalah bahwa apabila hasil pembacaan
menjadi terlalu rendah.
Teknik pemeriksaan menggunakan alat ini, yaitu penderita diminta
berbaring dan matanya ditetesi pantokain 12% satu kali. Penderita
diminta melihat lurus ke suatu titik di langitlangit, atau penderita
diminta melihat ke salah satu jarinya yang diacungkan di depan
hidungnya. Pemeriksa berdiri disebelah kanan penderita. Dengan ibu
jari tangan kiri kelopak mata digeser ke atas tanpa menekan bola
mata; jari kelingking tangan kanan yang memegang tonometer,
menyuai kelopak inferior. Dengan demikian celah mata terbuka lebar.
Perlahanlahan tonometer diletakkan di atas kornea. Jarum tonometer
akan menunjuk pada suatu angka di atas skala. Tiap angka pada skala
sesuai dengan jumlah Hg tekanan bola mata yang dapat dibaca dari
suatu tabel disediakan pada tiap tonometer.
c. Tonometri dengan tonometer aplanasi dari Goldman
Alat ini harganya cukup mahal, disamping itu dalam penggunaannya
memerlukan slitlamp yang juga cukup mahal. Didalam komunikasi
internasional secara tidak resmi, hanya tonometri dengan aplanasi
tonometer sajalah yang diakui. Di Indonesia hanya pusatpusat
oftalmologi dan beberapa dokter ahli mata yang mempunyainya.
Kelebihan alat ini adalah kekakuan sklera dapat diabaikan, sehingga
hasil pengukuran menjadi lebih cermat.
3. Gonioskopi
Gonioskopi adalah suatu cara untuk memeriksa sudut bilik mata depan
dengan menggunakan suatu lensa kontak khusus. Dalam hal glaukoma
gonioskopi diperlukan untuk menilai lebar sempitnya sudut bilik mata
depan. Dengan gonioskopi dapat dibedakan antara glaukoma jenis sudut
terbuka dan jenis sudut tertutup, juga dapat dilihat apakah terdapat
perlekatan iris bagian perifer ke depan (peripheral anterior sinechiae).
Dengan alat ini pula diramalkan apakah suatu sudut akan mudah tertutup
dikemudian hari. Cara yang sederhana untuk menentukan lebar
sempitnya suduut bilik mata depan, dengan menyinari bilik mata depan,
dari samping memakai sebuah senter. Iris yang datar akan disinari secara
merata, ini berarti sudut bilik mata depannya terbuka. Tetapi bila yang
disinari hanya pada sisi lampu senter, sedang pada sisi yang lain
terbentuk bayangan, maka kemungkinan sudut bilik maa depannya
sempit atau tertutup.
4. Oftalmoskopi
Pemeriksaan fundus mata, khususnya untuk memperhatikan keadaan
papil saraf optik, sangat penting dalam pengelolaan glaukoma yang
kronik yang dinilai adalah warna papil saraf optik, lebarnya ekskavasi.
Apakah suatu pengobatan berhasil atau tidak dapat dilihat dari ekskavasi
yang luasnya tetap atau terus membesar.
6. Tonografi
Untuk mengukur cairan bilik mata yang dikeluarkan mata melalui
trabekula, dalam satu satuan waktu. Teknik pemeriksaan tonografi, yaitu
tonometer diletakkan dikornea selama 4 menit dan TIO dicatat dengan
suatu grafik. Dengan suatu rumus, dari grafik tersebut dapat diketahui
banyaknya cairan bilik mata yang meninggalkan mata dalam satu satuan
waktu, (Normal: C = 0,13). Akhirakhir ini tonografi banyak yang
meragukan kegunaannya, sehingga banyak yang telah meninggalkannya.
7. Tes provokasi
Tes provokasi ini biasanya dilakukan pada keadaan yang meragukan.
a. Untuk glaukoma sudut terbuka
1. Tes minum air : penderita disuruh berpuasa, tanpa pengobatan
selama 24 jam. Kemudian disuruh minum 1 L air dalam 5 menit.
Lalu tekanan intraokuler diukur setiap 15 menit selama 1,5 jam.
Kenaikan tensi 8 mmHg atau lebih, dianggap mengidap glaukoma.
2. Pressure congestion test : pasang tensimeter pada ketinggian 5060
mmHg selmaa 1 menit. Kemudian ukur tensi intraokulernya.
Kenaikan 9 mmHg, atau lebih mencurgakan, sedang bila lebih dari
11 mmHg pasti patologis.
3. Kombinasi tes air minum dengan pressure congestion test :
setengah jam setelah tes minum air dilakukan pressure congestion
test. Kenaikan 11 mmHg mencurigakan, sedangkan kenaikan 39
mmHg atau lebih pasti patologis.
4. Tes steroid : diteteskan larutan dexamethasone 34 dd gt 1, selama
2 minggu. Kenaikan tensi intraokuler 8 mmHg menunjukkan
glaukoma.
b. Untuk glaukoma sudut tertutup
1. Tes kamar gelap : penderita duduk dikamar gelap 1 jam tidak boleh
tidur. Ditempat gelap ini terjadi midriasis, yang menganggu aliran
cairan bilik, mata ketrabekulum. Kenaikan tekanan lebih dari 10
mmHg pasti patologis, sedang kenaikan 8 mmHg mencurigakan.
2. Tes membaca : penderita disuruh membaca huruf kecil pada jarak
dekat selama 45 menit. Kenaikan tensi 1015 mmHg patologis.
3. Tes midriasis : dengan meneteskan midriatika seperti kokain 2%,
homatropin 1% atau neosynephrine 10%. Tensi diukur setiap jam
selama 1 jam. Kenaikan 5 mmHg mencurigakan sedangkan 7
mmHg atau lebih pasti patologis. Karena tes ini mengandung
bahaya timbulnya glaukoma akut, sekarang sudah banyak
ditinggalkan.
4. Tes bersujud : penderita disuruh bersujud selama 1 jam. Kenaikan
tensi 810 mmHg mennadakan kemungkinan ada sudut yang
tertutup, yang perlu disusul dengan gonioskopi. Dengan bersujud,
letak lensa lebih ke depan mendorong iris ke depan, menyebabkan
sudut bilik depan menjadi sempit.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Pengkajian
1. Riwayat atau adanya faktorfaktor resiko
a. Adanya riwayat penyakit mata dalam keluarga (glaukoma sudut
terbuka primer)
b. Tumor mata
c. Hemoragi Intraokuler
d. Inflamasi Intraokuler
e. Kontusio mata dari trauma selama pembedahan katarak
2. Pemeriksaan fisik berdasarkan pengkajian umum pada mata dapat
menunjukkan untuk sudut terbuka primer:
Untuk sudut terbuka primer:
a. Adanya keluhan kehilangan penglihatan primer yang lambat
(Penglihatan terowong).
Untuk sudut tertutup primer:
a. Nyeri berat pada mata disertai sakit kepala, mual dan muntah.
b. Keluhan sinar halo pelangi, penglihatan kabur dan penurunan persepsi
sinar.
c. Pupil terfiksasi secara sedang dengan sklera kemerahan karena radang
dan kornea tampak berawan.
3. Kaji pemahaman klien tentang kondisi dan respon emosional kondisi dan
rencana tindakan.
3.2 Diagnosa
1. Nyeri b.d peningkatan TIO, glaukoma akut
2. Kecemasan b.d ketakutan akan kebutaan permanen, kurangnya informasi
tentang pengobatan dan prosedur yang akan dilakukan
3. Intoleransi aktivitas b.d perubahan fungsi seiring penuaan
4. Risiko jatuh
5. Gangguan persepsi sensori (visual) b.d perubahan penerimaan, transmisi,
atau integrasi sensori
3.3 Intervensi
1. Nyeri b.d peningkatan TIO, glaukoma akut
Tujuan: mendemonstrasikan berkurangnya nyeri.
Kriteria Hasil: menyangkal nyeri, ekspresi wajah rileks, tidak merintih.
Intervensi:
a. Pantau TTV setiap 4 jam, derajat nyeri mata setiap 30 menit selama
fase akut, intake output selama 8 jam, ketajaman penglihatan setiap
waktu sebelum penetesan agent oftalmik intravena. Tanyakan bila
obyek masih kabur atau sudah bersih. (Untuk mengidentifikasi
kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan).
b. Berikan agent oftalmik untuk glaukoma sesuai anjuran dokter dan kaji
terhadap responnya. Lakukan kolaborasi segera bila ada hipotensi,
urine output kurang dari 240 cc/jam, nyeri mata tidak menghilang
setelah 30 menit diberi therapy, penurunan secara terus menerus
ketajaman penglihatan. (Agent osmotic intravena menyebabkan
penurunan TIO yang cepat dan merupakan hiperosmolar yang dapat
menyebabkan dehidrasi).
c. Siapkan pasien untuk pembedahan sesuai dengan instruksi dokter.
(Setelah TIO terkontrol pada glaukoma sudut terbuka, pembedahan
harus dilakukan secara permanen menghilangkan block pupil).
d. Pertahankan tirah baring ketat pada posisi semi fowler. (Tekanan pada
mata meningkat bila tubuh mendatar dan bila manuver valsava
diaktifkan).
e. Berikan analgesik sesuai anjuran dokter dan monitor terhadap
efeknya. (Untuk mengontrol nyeri).
2. Kecemasan b.d ketakutan akan kebutaan permanen, kurangnya informasi
tentang pengobatan dan prosedur yang akan dilakukan
Tujuan: mendemonstrasikan kecemasan berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil: berkurangnya perasaan gugup atau khawatir.
Intervensi:
a. Biarkan pasien mengungkapkan perasaannya tentang kondisi.
Pertahankan cara yang tenang dan efisien. Jelaskan tentang
pengobatan dan prosedur yang akan dilakukan. (Ekspresi perasaan
membantu pasien untuk mengungkapkan sumber kecemasan dan
penggunaan koping yang efektif. Pendekatan yang tenang dan pasti
meningkatkan kepercayaan klien. Informasi yang akurat membantu
mengurangi kecemasan).
b. Pertahankan kontrol nyeri yang efektif. (Nyeri merupakan salah satu
sumber kecemasan).
c. Pertahankan bel pemanggil disamping tempat tidur pasien dan
beritahu pasien untuk memberi tanda bila membuutuhkan pelayanan
perawat. Tutup pagar tempat tidur untuk mengingatkan pasien tidak
naik turun dari tempat tidur. (Kecemasan akan meningkat bila pasien
merasa ditinggalkan dan tanpa bantuan).
3. Resikocederab.dpenurunanlapangpandang
KriteriaHasil: pasiendankeluargaakanmengidentifikasifaktorfaktor yang
dapatmeningkatkankemungkinancederadanmembantumengidentifikasida
nmelakukantindakanpengamananuntukmencegahcedera.
Intervensi:
a. Identifikasi factor
penyebabatauberkontribusiterhadapterjadinyacederaakibatjatuh.
(Untukmeningkatkankesadaranpasien, keluarga, danpemberiasuhan).
b. Orientasikanpasienpadalingkungan.
(Tindakantersebutakanmembantupasienuntukmengatasilingkungan
yang tidakdikenalnya).
c. Apabilamengalamikehilanganpendengaran,
anjurkanpasienmenggunakanalatbantudengar.
(Untukmeminimalkandefisit).
4. Intoleransi aktivitas b.d perubahan fungsi seiring penuaan
Kriteria Hasil:pasienmenggunakanalat bantu untukmelakukanaktivitas.
Intervensi:
a. Tentukantujuan yang
realistisuntukmeningkatkantingkataktivitaspasien,
denganmempertimbangkanketerbatasanfisikdantingkatenerginya.
(Untukmembantumeningkatkankualitashidupnya).
b. Demonstrasikanpenggunaanalatbantu, sepertitongkat, walker, dll.
(Untukmengajarkanmetodepenghematan energy dankemandirian).
c. Pantaupengobatanpasien. (Untukmengidentifikasiobatobat yang
dapatmenggangguintoleransiaktivitas).
5. Gangguan persepsi sensori (visual) b.d perubahan penerimaan, transmisi,
atau integrasi sensori
Kriteria
Hasil:pasienmendiskusikandampakkehilanganpenglihatanterhadapgayahi
dupdanpasienmempertahankanorientasiterhadap orang, tempat,
danwaktu.
Intervensi:
a. Berikan kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaan tentang
kehilangan penglihatan. (Dengan memberikan kesempatan pasien
untuk mengatakan ketakutannya, pasien dapat melakukan koping
terhadap kehilangan penglihatan).
b. Bila pasien mengalami diplopia, tutup satu mata. (Untuk memperbaiki
penglihatan ganda).
c. Berikan stimulus taktil, auditorius, dan gustatorius. (Untuk membantu
mengompensasi kehilangan penglihatan).
d. Bila pasien buta pada saat masuk rumah sakit, berikan kesempatan
kepada pasien untuk secara langsung menata ruangannya; temani
pasien berjalan ke kamar mandi dan area penting lainnya sampai
pasien terbiasa dengan lingkungan. (Dengan mempertahankan tingkat
kemandirian pasien pada tingkat optimal akan tumbuh rasa control
pasien).
e. Lakukanmodifikasilingkunganuntukmemaksimalkanpenglihatan yang
dimilikipasien.
(Memodifikasilingkungandapatmembantupasienmemenuhikebutuhanp
erawatandiri).
f. Berikandanpantaukeefektifanobat yang diprogramkan.
(Pengobatandapatmembantumenurunkannyeridanmengontrol proses
penyakit).
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh tekanan bola mata
yang meningkat, ekskavasi dan atrofi papil saraf optik, serta kerusakan
lapang pandangan yang khas. Menurut Von Graefe (abad 19), glaukoma
merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama tekanan
intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu, penggaungan dan
atrofi saraf optik serta defek lapang pandangan yang khas.
Faktor resiko terjadinya glaukoma: usia, riwayat keluarga yang pernah
mengalami glaukoma, penderita diabetes, hipertensi, penyakit jantung,
peningkatan hormon tiroid rentan menderita glaukoma, riwayat trauma fisik,
kortikosteroid waktu lama dapat meningkatkan risiko glaukoma sekunder.
4.2 Saran
Sebagai calon perawat harus dapat mengerti dan memahami
penjelasan mengenai konsepkonsep dasar mengenai glaukoma. Yang
nantinya akan digunakan sebagai pedoman perawat dalam penanganan
penyakit yang berhubungan dengan alat indera, terutama indera penglihatan.
DAFTAR PUSTAKA
Radjamin, R.K. Tamin, dkk. 1984. Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: Airlangga
University Press.
Olver, Jare dan Cassidy, Lorraine. 2005. At a Glance Oftalmologi. Jakarta:
Erlangga.
dr. Nana Wijana S. D. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Abadi Tegal.
Irianto, Koes. 2012. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa. Bandung: Alfabeta.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Taylor, Cynthia M., dan Ralph, Sheila Sparks. 2010. Diagnosa Keperawatan
Dengan Rencana Asuhan. Jakarta: EGC.