Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

ASMA

Pembimbing:
dr. Hj. Siti Rahma, Sp.A

Penyusun:
Anasthasya Giovani G
030.11.023

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 19 DESEMBER 2016 28 FEBRUARI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Anasthasya Giovani G

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi

Periode : Periode 19 Desember 2016 28 Februari 2017

Judul : Asma

1
Pembimbing : dr. Hj. Siti Rahma, Sp.A

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal:

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Bekasi.

Jakarta, Februari 2017

dr. Hj. Siti Rahma, Sp.A

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Asma dengan baik dan tepat waktu.

Case ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Bekasi. Di samping itu,
laporan kasus ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua tentang asma.

2
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya
kepada dr. Hj. Siti Rahma, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus
ini, serta kepada dokterdokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama
di Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada rekanrekan anggota Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik
maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesar
besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, Februari 2017

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan dunia
dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak baik di
negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan
dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik
indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar
6,5% pada usia sekolah menengah pertama.

3
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang
menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai
adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana
asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma.
Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan
pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini
upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah
terjadinya remodelling.
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis dan
tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis dan
overtreatment serta overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga diharapkan
dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta mengurangi biaya
pelayanan kesehatan yang besar.

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu

Nama An. R Tn. R Tn. S

Umur 10 tahun 32 tahun 31 tahun

Jenis Kelamin Laki - laki Laki-laki Perempuan

Alamat Bintara Jaya

Agama Islam Islam Islam

4
Suku bangsa Betawi

Pendidikan SD SMA SMA

Pekerjaan Pelajar Karyawan Swasta IRT

Keterangan Hubungan dengan


orang tua : Anak
Kandung

Tanggal Masuk 2 Februari 2017


RS

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis pada tanggal 3 Desember 2016
pukul 08.00 di bangsal Melati RSUD Bekasi.
a. Keluhan Utama :
Sesak napas sejak pagi SMRS.
b. Keluhan Tambahan :
Batuk berdahak

c. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi pada tanggal 2 Februari 2017
dengan keluhan sesak nafas sejak pagi sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan
semakin lama semakin memberat, saat sesak pasien hanya berdiam diri tidak bisa
beraktivitas. Pasien mengeluh sesak setelah berolahraga di sekolahnya, pasien sudah
memakai inhaler namun tidak berkurang. Sepulang sekolah Orangtua pasien
memberikan uap, dan sesak tidak berkurang juga. Ibu pasien mengaku memiliki
uap karena anaknya sudah sering sesak, dalam seminggu pasien bisa sesak lebih
dari 5 kali, namun pagi ini sesak tidak sembuh setelah diberi uap, sesak semakin
memberat. Pasien mengaku sesak berkurang saat pasien membun gkukan padan,
dan memberat saat beraktivitas. Pasien juga mengalami batuk sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit, batuk berdahak berwarna putih, tidak terdapat batuk darah. OS
mengaku memiliki riwayat asma sejak usia 7 tahun, 1 tahun terakhir kekambuhan
menjadi semakin sering. BAB dan BAK pasien tidak ada keluhan, riwayat mual dan
muntah disangkal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

5
Alergi + Candidiasis - Jantung -

Asma + Diare - Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Gastritis - Radang paru -

Otitis - Herpes - Tuberkulosis -


Zooster paru

Parotis - Operasi - Morbili -

e. Riwayat Penyakit Keluarga


TB Paru (-)
Alergi (-)
Asma (+)
Riw. sakit jantung (-)

f. Riwayat Imunisasi
Orangtua pasien mengatakan imunisasi dasar pasien lengkap.

g. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Pasien tinggal di rumah sendiri, dinding terbuat dari tembok, atap terbuat
dari genteng, dan ventilasi kurang. Dalam 1 rumah terdapat 4 anggota keluarga.
Menurut pengakuan keluarga pasien, lingkungan rumah padat penduduk
sehingga ventilasi dan pencahayaan kurang baik, dan ada tetangga pasien yang
memiliki sakit flek. Sumber air bersih berasal dari PAM.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 3 Februari 2017 di bangsal Melati RSUD
Kota Bekasi.
Status generalis
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 92 x/m

6
Frekuensi pernapasan : 24 x/m
Suhu tubuh : 37,10C
c. Data antropometri
Berat badan : 25 kg
Tinggi badan : 135 cm
o BB/U : 25/33 x 100% = 75,7%
o TB/U
: 135/139 x
100% = 97,1%
o BB/TB
: 86,2% (gizi
kurang)

Kepala

Bentuk : Normocephali, simetris


Rambut : Rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor.
Telinga : Normotia, sekret -/-, otalgia -/-
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, hematom (-)
Mulut : Bibir kering, lidah kotor (-)
Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-)
Thorax
7
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus meningkat
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
Pulmo : Suara napas vesikuler, ronki kering +/+, wheezing +/+
Cor : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi : Bising usus normal, frekuensi 2x/menit
Palpasi : Teraba supel, nyeri tekan (-) pada regio epigastrika,
turgor kembali cepat
Perkusi : Shifting dullness (-) , nyeri ketuk (-), timpani diseluruh
lapang abdomen
Kulit : Pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
Ekstremitas
Atas : simetris, tidak ada deformitas, akral hangat, tidak ada edema
Bawah : simetris, tidak ada deformitas, akral hangat.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium hematologi (02/02/2017)

Nama Test Hasil Unit Nilai Rujukan

Darah Lengkap

LED 41 mm 0 10

Lekosit 8.8 Ribu/uL 5 - 10

Hitung Jenis

Basofil 0 % <1

Eosinofil 2 % 13

Batang 0 % 26

Segmen 80 % 52 70

Limfosit 16 % 20 40

Monosit 2 % 28

Eritrosit 5.06 Juta/uL 45

Hemoglobin 13.0 g/dl 12 16

8
Hematokrit 41.3 % 40-54

Index Eritrosit

MCV 81.3 fL 75 87

MCH 25.6 pg 24 30

MCHC 31.5 % 31 37

Trombosit 622 ribu/uL 150-400

Kimia Klinik

GDS 177 mg/dL 60-110

Elektrolit

Natrium (Na) 134 mmol/L 135-145

Kalium (K) 4.2 mmol/L 3,5-5,0

Chlorida (Cl) 94 mmol/L 94-111

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi pada tanggal 2 Februari 2017 dengan
keluhan sesak nafas sejak pagi sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan
semakin lama semakin memberat, saat sesak pasien hanya berdiam diri tidak bisa
beraktivitas. Pasien mengeluh sesak setelah berolahraga di sekolahnya, pasien
sudah memakai inhaler namun tidak berkurang. Sepulang sekolah Orangtua
pasien memberikan uap, dan sesak tidak berkurang juga. Ibu pasien mengaku
memiliki uap karena anaknya sudah sering sesak, dalam seminggu pasien bisa
sesak lebih dari 5 kali, namun pagi ini sesak tidak sembuh setelah diberi uap, sesak
semakin memberat. Pasien mengaku sesak berkurang saat pasien membun gkukan
padan, dan memberat saat beraktivitas. Pasien juga mengalami batuk sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, batuk berdahak berwarna putih, tidak terdapat batuk
darah. OS mengaku memiliki riwayat asma sejak usia 7 tahun, 1 tahun terakhir
kekambuhan menjadi semakin sering.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, RR 24 x/menit, HR 92 x/menit dan suhu 37,10C. Status
gizi pasien menurut CDC termasuk gizi kurang. Pada pemeriksaan thorax
didapatkan rhonki dan wheezing positif (+).

9
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi ditemukan LED 41 mm, hitung jenis
0/2/0/80/16/2, eritrosit 5.06 juta/uL, trombosit 622, dan GDS 177.

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Asma serangan berat

VII.DIAGNOSIS BANDING
BRONKITIS ASMA BRONKIOLITIS
INSPEKSI Napas cuping Napas cuping Napas cuping
hidung, retrsksi hidung, retrsksi hidung, retrsksi
subkostal subkostal, subkostal
intercostal
PALPASI vocal fremitus vocal fremitus vocal fremitus
menurun meningkat menurun
PERKUSI redup Sonor/hipersonor Redup
AUSKULTASI rhonki kering Rhonki kering, rhonki basah,
wheezing wheesing

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Foto thorax
- Spirometri tes
- Pemeriksaan IgE

IX. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- oksigen 5 lpm
- nebu combivent : pulmicort 1: 1
- salbutamol 3 x 1 tab
- metilprednisolon 3 x 2mg
- infus Nacl 14 tpm
Aminophilin drip amp dalam nacl 500cc
Non medikamentosa
Tirah baring
Hindari faktor pencetus

X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
XI. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Pemeriksaan Fisik Terapi
03/02/17 - Sesak napas (+) o TTV : O2 nasal 2-3 liter/m
- Batuk berdahak TD : 114/84 mmHg IVFD Nacl 14tpm
10
(+) HR : 92x/m Ambroxol 3 x
o
T : 37,1 C 7.5ml
RR : 24x/m Inj.
o Retraksi (-) Dexamethasone 3
o SNV +/+, rh +/+, wh
x0.5cc
+/+
Inj. Ceftriaxon
1x1gr
Salbutamol +
teofilin 3x1caps
Inhalasi / 8 jam
ventolin 1 amp +
NaCl 2 cc
04/02/17 - Sesak nafas (+) o TTV : IVFD Nacl
- Batuk (+) TD : 108/80 mmHg 14tpm
HR : 90x/m Ambroxol 3 x
T : 36,8 oC 7.5ml
RR : 22x/m Inj.
o Retraksi (-) Dexamethasone
o SNV +/+, rh +/+, wh
3 x0.5cc
+/+
Inj. Ceftriaxon
1x1gr
Salbutamol +
teofilin 3x1caps
Inhalasi / 8 jam
ventolin 1 amp +
NaCl 2 cc
Cetirizine

11
BAB III
ANALISIS KASUS

Sesak nafas akibat respon antigen antibody sehingga


menyebabkan kontraksi otot polos,
hipersekresi mucus serta edema
mukuosa sehingga menyebabkan
terganggunya pertukaran gas dari paru
ke udara yang berada di luar.

Batuk sebagai mekanisme kompensasi dalam


mengeluarkan mucus yang berada di
saluran pernapasan akibat reaksi antigen
antibody.

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) asma ialah gangguan
inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel
mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan
dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai
rangsangan.1
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis
untuk anak tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus
Internasional dalam pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi lama
yaitu: Mengi berulang dan/ atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah

13
yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah
disingkirkan. Konsensus Nasional juga menggunakan batasan yang praktis ini
dalam batasan operasionalnya. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis
asma pada anak kecil, dengan bertambahnya umur, khususnya di atas umur 3
tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Bahkan untuk anak di atas umur
6 tahun definisi GINA dapat digunakan.2

II. Anatomi dan Fisiologi


Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan
ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar
saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona yaitu zona konduksi dan
respiratorius. Zona konduksi dimulai dari hidung, faring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis.
Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli
dan berakhir pada sakus alveolus terminalis.

Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi


oleh membranmukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung,
udara tersebut disaring,dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini
merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak
yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh
lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-

14
partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat
dalam lubang hidung. Sedangkan, partikel yang halus akan terjerat dalam
lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan
diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai ke udara inspirasi
berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga
bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh
dan kelembapannya mencapai 100%.

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan pada manusia


Udara mengalir dari hidung ke faring yang merupakan tempat
persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Laring
merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak
didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke
trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat
glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.
Trakea dibentuk dari 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan
diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan
di bagian sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel
bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan
dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan
mukosa.
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat
dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina.
Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan
batuk yang kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek,
lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan
mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri
dari 9-12 cincin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak
mengandung alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara
mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar
udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium
15
yang mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus
terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat
pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan
sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi
menjadi 3 proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar
masuknya udara melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen
sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena
adanya perbedaan tekanan antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses
kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui
membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat
yang tinggi tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya.
Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari
oksigen yang berada di dalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan
parsialnya dari pada karbondioksida di alveoli. Proses ketiga adalah perfusi
yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor
aliran darah.

III. Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan
10%pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di
negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat
bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar
3% dan untuk usia13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National
Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia
0-17 tahun adalah 57 per 1000anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa >
18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlahdewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas,
prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebihbanyak dibanding perempuan, selama
masa remaja prevalensinya hampir sama danpada dewasa laki-laki lebih banyak
menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Berdasarkan laporanNCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per
16
100 ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma
yang meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak.
Namun secara umum kematian pada anak akibat asma jarang.

IV. Faktor Resiko


Faktor Pejamu Faktor Lingkungan Faktor Lingkungan
Mempengaruhi Mencetuskan eksaserbasi
berkembangnya
asma
Prediposisi Alergen di dalam Alergen di dalam dan di
genetik ruangan luar ruangan
Atopi Mite domestik Polusi udara di dalam dan
Hiperesponsif Alergen binatang di luar ruangan
jalan napas Alergen kecoa Infeksi pernapasan
Jenis kelamin Jamur (fungi, Exercise dan
(L:Pr = 1,5-2 : molds, yeasts) hiperventilasi
1) Alergen di luar Perubahan cuaca
ruangan Sulfur dioksida
Tepung sari bunga Makanan, aditif
Jamur (fungi, (pengawet, penyedap,
molds, yeasts) pewarna makanan), obat-
Bahan di lingkungan obatan
kerja Ekspresi emosi yang
Asap rokok berlebihan
Perokok aktif Asap rokok
Perokok pasif Iritan

Infeksi pernapasan
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Diet dan obat
Obesitas

V. Patogenesis

17
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas
yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan
pengobatan.Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan
hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk
mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik
yangkhas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya
aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya
inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan
sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini
terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-
dependent Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi
pada 40% penderita asma anak dan dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh
sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil.
Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma
cepat (immediate asthmareaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2
(PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan
spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas
kapiler, disusul denganakumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul

18
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan
asma hilang dengan pengobatan.
Gambar 2. Patogenesis asma (GINA)
Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga
bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan
terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non
spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih
peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila
paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus
merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang
dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang
berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF).
TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling
tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa
menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi
sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan
perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang
persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat
kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis.
Sehingga apabila obat anti inflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai
profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas
menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian
terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi
sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina
retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi
sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini
diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telahter
lambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.

19
Gambar 3. Proses inflamasi dan remodelling pada asma

VI. Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi
pada mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas
bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiper reaktivitas
saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi
respon hipersensitivitas tipe 1 (dimediasi 1gE) terhadap alergen debu rumah
dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap
rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas
akan menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran
udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses
patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema
mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama
ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan
gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat
mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan
fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan
risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil,
recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran

20
napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi
kolateral (pori cohn) antar alveolus.
Gambar 4. Patofisiologi Asma

VII. D
i
a
g
n
o
s
i
s

GINA, Konsensus Internasional, maupun PNAA menekankan diagnosis


asma didahului batuk dan atau mengi. Batuk dan/atau mengi yang berulang
(episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya
riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda
yang patut diduga suatu asma. Untuk sampai pada diagnosis asma perlu suatu
pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau pemberian obat
bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk melihat respons
pengobatan, bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus
dengan histamin atau metakolin.
Dalam penegakkan diagnosis sangat dibutuhkan klasifikasi karena
berhubungan dengan tatalaksana yang akan diberikan. Selain berdasarkan
kekerapan serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, klasifikasi asma juga
dapat dinilai berdasarkan derajat keparahan serangan, yang terbagi menjadi

21
asma serangan ringan-sedang, asma serangan berat, dan asma dalam serangan
dengan ancaman henti napas. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma
(aspek kronik) dengan derajat penyakit asma (aspek akut).

Anamnesis:
Batuk dan/atau mengi kronik berulang (episodik)
Cenderung malam hari/dini hari (nokturnal/morning dip)
Musiman
Setelah aktivitas fisik atau bila ada faktor pencetus
Pilek sembuh >10 hari
Riwayat asma sebelumnya dan atopi pada pasien dan keluarganya

Pemeriksaan fisik:
Wheezing; anak usia di bawah lima tahun hati-hati bila tidak dijumpai
adanya wheezing. Hal itu disebabkan karena pada usia tersebut batuk
yang berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Apabila dijumpai
wheezing pada usia di bawah 3 tahun hendaknya berhati-hati dalam
mendiagnosis asma.
Batuk dan sesak
Gangguan tidur
Kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik; bermain
Penilaian derajat serangan asma: ringan/sedang/berat

Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan fungsi paru: peak flow meter, spirometer
Foto thorax: pada asma umumnya tampak hiperaerasi, bisa dijumpai
komplikasi berupa atelektasis, pneumothorax
Analisa gas darah: pada asma dapat terjadi asidosis respiratorik

22
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan
(exercise), udara kering dan dingin, atau dengan salin hipertonis.

Gambar 5. Diagnosis Asma Pada Anak

Klasifikasi Asma

23
Derajat keparahan serangan asma (PDPI)

VIII. Diagnosis banding


Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan
asma.Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma
meliputirhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan
silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak
memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengn adanya nyeri tekan local pada daerah
sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid
yang sering pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak
diberikan dengantepat.
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi
pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas

24
congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3
bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan
kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang
disebabkan oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang
umum pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi
pita suara. Selain itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis
terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak :
Rinosinusitis
Refluks gastroesofageal
Infeksi respiratorik bawah viral berulang
Bronkiolitis
Displasia bronkopulmoner
Tuberkulosis
Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
Intratorakal
Aspirasi benda asing
Sindrom diskinesia silier primer Defisiensi imun
Penyakit jantung bawaan

IX. Tatalaksana
The Global Initiative membagi tata laksana serangan asma menjadi dua,
yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan/IGD RS.
Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orangtuanya) sendiri di
rumah. Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah:
Meredakan penyempitan jalan napas secepat mungkin
Mengurangi hipoksemia
Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
Rencana tatalaksana mencegah kekambuhan.
Tatalaksana asma dibagi menjadi tatalaksana komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya, penghindaran terhadap faktor
pencetus, dan medikamentosa. Keluarga penderita asma dijelaskan mengenai
asma secara detail dengan bahasa awam agar keluarga mengetahui apa yang

25
terjadi, kapan harus pergi ke dokter, dan penanganan pertama apabila terjadi
serangan. Penghindaran terhadap pencetus sangat penting karena adanya faktor
pencetus yang menyebabkan rangsangan terhadap saluran respiratorik. Pada
beberapa keadaan, pasien harus segera dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat,
tidak menunggu respons terapi yang diberikan di rumah.
Berikut adalah kondisi pasien yang harus segera dibawa ke pelayanan
kesehatan:
Pasien mempunyai satu atau lebih faktor risiko
Pasien mengalami serangan akut berat (sesak berat)
Pada medika mentosa, pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan
asma serangan berat yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang
menetap setelah 1 jam pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis
beta-2 kerja pendek dan steroid sistemik). Obat ini tidak rutin dipakai untuk
serangan asma, tapi boleh sebagai alternatif, apabila pengobatan standar tidak
ada perbaikan. Pada penelitian, didapatkan bahwa pemberian MgSO4 IV 50
mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang dilanjutkan dengan pemberian agonis
beta-2. Pemberian magnesium sulfat dapat meningkatkan FEV1 dan
mengurangi angka perawatan di RS.

Tabel 2. Alat Inhalasi Sesuai Usia

26
Gambar 6. Tatalaksana Asma

27
Gambar 7. Tatalaksana Asma

28
Edukasi

Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien dan
orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan penghindaran
alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan
yang paling utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi
sebaiknya diberikan secara individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu
dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan
pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya.
Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi
kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar.4
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada
pasien dan keluarganya:4
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan
terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya
mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma
menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan
dokter menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian
asma jangka panjang dengan efek samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita
menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
- penggunaan obat-obatan dengan benar
- pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang
sudah diprogramkan;
- segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif dengan
dokter yang memeriksa;
- menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan
alergen dan iritan;4
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya)
sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan mandiri (self

29
management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan Guevara
menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu
mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi kunjungan
ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat penting
program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada anak4.

X. Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.7
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.7
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.7
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism).7
5. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial
dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di
samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak
dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi
klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui

30
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering,
histamin, dan metakolin.7

XI. Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut
berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan
lamanya pemantauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak
dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma
dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma
lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu
eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.3

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Serangan Asma Akut. In: Pudijiadi A, Hegar B, Handryastuti S, editors. Pedoman


Pelayanan Medis: Ikatan Dokter Anak Indonesia 2009. p. 269-72.
2. Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri. 2000;2(1):50-60.
3. Liu A, Covar R, Spahn J, Sicherer S. Childhood Asthma. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20 ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 1095-115.
4. Pedoman Nasional Asma Anak. Ikatan Dokter Indonesia. 2 nd ed. 2016. p. 23-8,
42-58.
5. Ratnawati. Epidemiologi Asma pada Anak. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol 31,
no 4. 2011.
6. Rengganis, I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. Vol 58, no 11. 2008
7. Pedoman Pengendalian Asma Departemen Kesehatan RI 2009

32
LAMPIRAN
Fungsi Nama generik Sediaan Keterangan

Obat Pereda Golongan Agonis (Kerja Pendek)

Terbutalin Sirup, tablet, 0,05-0,1 mg


turbuhaler
/kgBB / kali

Salbutamol Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1 mg


/kgBB / kali

Fenoterol MDI 100 mcg, 3-4x/ hari

Golongan Xantin

Teofilin Sirup, tablet 3-5mg/kgBB

Golongan antikolinergik
Ipratropium Bromid IDT 20 mcg/ 20 mcg,
semprot 3-4x/ hari
Solutio 0,25 mg/ ml 0,25 0,5 mg tiap 6
(0,025%) jam
(nebulisasi)

Obat Pengendali Golongan steroid

Metilprednisolon Tablet 4, 8,16 mg 0.25 mg-2 mg /hari


dosis tunggal atau
terbagi

Prednison Tablet 5 mg 1-2 mg/ kg BB/


hari, maksimum
40mg/ hari

Golongan Antileukotrien

Zafirlukas Tablet 2x20 mg/hari

Daftar obat untuk nebulasi


Nama generik Nama dagang Sediaan Dosis nebulisasi

Golongan -agonis
Berotec Solution 0,1 % 5 10 tetes
Fenoterol
Salbutamol Ventolin Nebule 2,5 mg 1 nebule

Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 respule

Golongan antikolinergik

33
Ipratropium Atrovent Solution 0,025 % > 6 tahun : 8 20 tetes
bromide
< 6 tahun: 4 10 tetes

Golongan steroid

Budesonide Pulmicort Respules

Flutikason Flixotide Nebules

Golongan - agonis + antikolinergik

Salbutamol + Combivent UDV Unit Dose Vial - 1 vial


ipratropium

Daftar obat steroid untuk serangan asma


Nama generik Nama dagang Sediaan Dosis

Medixon Tablet 4 mg 0,5 1 mg/kgBB/hari


Metil Prednisolon tiap 6 jam

Prednison Tablet 5 mg 0,5 1 mg/kgBB/hari


tiap 6 jam

m.prednisolon Medixon Vial 125 mg, vial 30 mg dalam 30 mnt


suksinat inj 500 mg (dosis tinggi) tiap 6 jam

Hidrokortison Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6


suksinat inj jam

Deksametason inj Kalmetason Ampul 0,5 1 mg/kgBB bolus,


dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari
diberikan tiap 6 -8 jam

Betametason inj Ampul 0,05 0,1 mg/kgBB


tiap 6 jam

34
KLASIFIKASI ASMA PADA ANAK

35

Anda mungkin juga menyukai