Anda di halaman 1dari 3

KURANGNYA PERHATIAN TERHADAP HAK ASASI KORBAN

DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA


DAN TIDAK TERCAPAINYA KEADILAN SOSIAL
*Azam Zaini Mukhtar
Sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem yang terdiri
dari beberapa komponen yang saling berkaitan antara lain komponen
substansi hukum meliputi peraturan perundang-undangan yang
mengatur hukum pidana materil serta hukum pidana formil, adapun
komponen struktur hukum dalam peradilan pidana meliputi kepolisian,
kejaksaan, pengadilan serta lembaga pelaksanaan pidana. Semua
komponen tersebut merupakan bagian yang integral dalam penegakan
hukum pidana dari proses penyidikan hingga sampai di persidangan
dan bermuara pada lembaga pelaksanaan pidana. Namun kesemua
proses peradilan pidana yang berjalan dan merupakan rangkaian
proses yang melibatkan struktur hukum dan terdakwa tersebut
sampai saat ini hanya berfokus pada terdakwa. Dilihat dari segi
substansi hukum yang menjadi dasar ketentuan pelaksanaan acara
pidana yakni KUHAP berfokus pada bagaimana hak-hak tersangka dan
terdakwa tidak dilanggar oleh aparat penegak hukum dan terpenuhi.
Namun Hanya satu pasal yang mengatur hak korban yakni ganti
kerugian oleh pihak ketiga. Adapun kedudukan tersangka dan
terdakwa dalam sistem pemeriksaan yang digunakan saat ini adalah
sistem akusatoir yakni tersangka/terdakwa berkedudukan sebagai
subjek dan bukan sebagai objek dalam pemeriksaan. Namun dalam
praktik kedudukan korban dalam pemeriksaan tidaklah seperti
kedudukan tersangka dan terdakwa yang telah dipandang sebagai
subjek dalam pemeriksaan. Korban yang menderita kerugian baik
dalam bentuk materiil maupun imateriil misalnya korban pembunuhan,
kekerasan, pencurian, pemerkosaan dalam praktiknya di tahap
pemeriksaan hingga persidangan hanya dijadikan sebagai objek.
Terkadang bagi sebagian korban yang merupakan orang tidak mampu
baik secara finansial maupun pengetahuan tentang hukum hanya
menunggu dirinya diperiksa, memberi keterangan, dan menunggu
putusan pengadilan. Apabila dilihat dari konsep keadilan maka korban
juga mendapatkan hak untuk dipenuhi dan dihilangkan penderitaanya.
Banyak korban yang tidak mengetahui proses hukum dan tidak
mendapatkan pendampingan atau bantuan hukum seperti halnya
tersangka dan terdakwa.

Bandingkan dengan ketentuan tentang bantuan hukum bagi


tersangka dan terdakwa di dalam KUHAP. Tersangka dalam proses
penyidikan telah mendapatkan haknya untuk mendapatkan bantuan
hukum yaitu didampingi oleh penasihat hukum. Yaitu dengan cara
diberitahukan oleh penyidik dalam memperoleh bantuan hukum Baik
itu ditunjuk oleh penyidik maupun inisiatif memilih sendiri.. sedangkan
tidak ada ketentuan demikian untuk korban tindak pidana. Hal ini
menyulitkan Akses untuk mendapatkan hak-haknya serta memperoleh
keadilan bagi korban jika dirinya merupakan orang yang tidak mampu
dan tidak memahami proses hukum.

Keterwakilan korban oleh Penuntut Umum di Persidangan tidak


mampu untuk memulihkan apa yang diderita olehnya. Ketentuan
pemulihan hak bagi korban di dalam KUHAP yang dapat diajukan oleh
korban ataupun oleh ahli warisnya sebelum penuntut umum
membacakan tuntutan belumlah tepat apabila melihat kondisi latar
belakang masyarakat kita yang awam tentang proses hukum dimana
masih banyak korban tidak mengetahui dan mendapatkan bantuan
hukum untuk membela hak-haknya.

Jika kita melihat dari putusan pengadilan yang memuat


pemidanaan bagi terdakwa, jarang dijumpai putusan yang
menjatuhkan ganti kerugian atau restitusi bagi korban. Begitupun
dengan tuntutan Penuntut Umum yang jarang sekali mencantukmkan
pemberian restitusi bagi korban oleh pelaku tindak pidana, padahal
korban telah mempunyai hak untuk mengajukan kepada Penuntut
Umum. Ini mencerminkan bahwa hak asasi untuk menerima ganti rugi
dan restitusi belum dapat diperoleh oleh mereka yang tidak mampu
secara finansial dan keterbatasan pengetahuanya tentang hukum.

Terdapat pengaturan khusus yang mengatur tentang


pemenuhan hak-hak korban tindak pidana. Yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Akan
tetapi sama halnya dengan ketentuan di dalam KUHP. Yaitu atas
inisiatif korban yang harus mengajukan kepada LPSK. Adapun
pemberian kompensasi juga dapat diberikan apabila korban
mengajukanya. Apabila korban tidak mengerti tentang ketentuan-
ketentuan yang mengatur hak asasinya tersebut maka korban juga
tidak dapat memperoleh hak-haknya secara otomatis yang seharusnya
diperhatikan pada saat tahap penyidikan. Semua ini mencerminkan
bahwa fokus pada hak asasi dan keadilan bagi korban diposisikan
nomor ke sekian dari pada fokus pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana.

Perlunya perhatian dan fokus kepada hak korban dan


memposisikanya sebagai subjek dalam sistem peradilan pidana
merupakan hal yang sangat urgent. Bagaimanapun setiap orang
berhak untuk mendapatkan keadilan. untuk terciptanya keadilan sosial
maka pemenuhan hak asasi harus terlebih dahulu terpenuhi.

Apa yang diamanatkan oleh pasal 28 H yang berbunyi, setiap


orang berhak mendapat kemudahahn dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. Belum sepenuhnya dapat terwujud saat ini.
Dengan melihat keterbatasan pengaturan tentang pemenuhan hak-hak
korban seperti yang telah diutarakan diatas, maka langkah yang dapat
membantu korban dalam memperoleh hak-haknya adalah melalui
bantuan hukum. Harapan dari permasalahan tersebut adalah
pemerintah selayaknya lebih peka dan memperioritaskan hak-hak
korban sebagaimana tersangka/terdakwa yang dijamin hak-haknya
sejak sesaat setelah tindak pidana terjadi agar tercipta keseimbangan
dan keserasian serta guna mewujudkan keadilan sosial.

Anda mungkin juga menyukai