Tabel 4.1 menunjukkan nilai rata-rata kadar glukosa darah pada hari ke-0, 3,
7, 14 dan 21. Nilai rata-rata pada hari ke-0 (sebelum perlakuan) yaitu 81 mg/dL. Nilai
rata-rata kadar glukosa darah tertinggi terjadi pada hari ke-3 yaitu 103,4 mg/dL.
Sedangkan rata-rata kadar glukosa darah terendah ditunjukkan pada pemeriksaan
darah pada hari ke-14 yaitu 99,4 mg/dL.
120.00
103,4
100.00
81
60.00
40.00
20.00
0.00
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Gambar 4.1 Diagram rata-rata kadar glukosa darah pada hari ke-0, 3, 7, 14, dan 21
Gambar 4.1 menunjukkan pola perubahan kadar gula darah hari ke-0, 3, 7,14
dan 21. Terjadi puncak perubahan pola kadar gula darah pada hari ke-3 dengan nilai
rata-rata 103,4 mg/dL. Setelah hari ke-3 terjadi penurunan kadar glukosa dan kadar
glukosa cenderung stabil yaitu secara berurutan 101,2 mg/dL, 99,4 mg/dL dan 101
mg/dL.
4.3 Pembahasan
Pada penelitian ini juga menunjukkan terjadi peningkatan kadar gula darah
pada hari ke-3. Hal ini diduga hewan coba sedang berada pada fase awal stress dan
pada fase ini hipotalamus membantu tubuh menghadapi stress dengan cara
mengsekresi hormon kortisol. Dimana hipofisis mulai mensekresi ACTH pada
puncaknya sehingga terjadi serkresi kortikosteron juga mencapai kadar tertinggi dan
melepaskan hormon glukortikoid untuk meningkatkan kadar gula darah yang
bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi (Hawari, 2001).
Pada hari ke-7,14 dan 21 mengalami penurunan dan tidak memiliki perbedaan
bermakna. Dimana pada penelitian sebelumnya (Ramadhana, 2015) menunjukkan
bahwa kadar gula darah tikus yang terpapar stress psikologi fisik juga mengalami
penurunan dan tidak memiliki perbedaan bermakna pada hari ke-7 dan seterusnya.
Hal ini dapat terjadi kemungkinan tikus sudah memasuki fase resistensi dan mulai
beradaptasi dengan stress psikologi fisik. Respon hewan coba dengan menjadi lebih
aktif diduga juga dapat menekan kadar glukosa darah. Seperti yang dijelaskan oleh
Kadir (2010) bahwa aktivasi akselerasi, mobilitas dapat bermanfaat sebagai respon
fisik. Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
tidak signifikan pada kadar gula darah tikus sebelum dan sesudah diberi perlakuan.
Hal ini diduga karena pengurangan oklusi hanya dilakukan satu kali dan pada kedua
sisi rahang atas dan bawah secara seimbang, sehingga memungkinkan hewan coba
beradaptasi selama adanya disharmoni oklusi. Hal ini mengakibatkan proses
kelelahan dan stress selama kondisi disharmoni oklusi sangat kecil sehingga tidak
terlalu berpengaruh terhadap hormon stress yang berhubungan dengan regulasi kadar
gula darah dalam tubuh. Hwang dkk (2014) menjelaskan dalam penelitian Occlusal
reduction of unilateral molar influences chang of stress-related hormones in rat
dimana perlakuan pengurangan oklusi hanya dilakukan pada satu sisi menunjukkan
bahwa disharmoni oklusi dapat mempengaruhi serangkaian homoestasis di dalam
tubuh, terutama pengaturan hormon kostikosteron, namun pengaruh tersebut baru
terjadi setelah hewan coba diberi perlakuan selama 18 minggu.
Saat terjadi disharmoni oklusi, secara sistemik bagian tubuh yang menerima
stresor adalah sistem syaraf pusat di otak. Didalam otak stresor diterjemahkan ke
dalam suatu proses fisiologis sebagai respon pertahanan dari host. Bagian otak yang
terstimulasi adalah hipotalamus, yang diketahui berperan penting dalam merespon
suatu stress. Sistem hormonal pada hipotalamus teraktivasi dimulai dari jalur HPA
(hypothalamic-pituitary-adrenal) axis. Jalur HPA yang teraktivasi dapat menstimulasi
hipotalamus untuk mensekresi coticotropic releasing hormone (CRH) kedalam aliran
darah portal hipotalamus-hipofisis. CRH menstimulasi hipofisis anterior untuk
mensekresi ACTH. ACTH akan beredar didalam darah ke seluruh tubuh sampai pada
korteks kelenjar adrenal. ACTH akan memicu korteks adrenal untuk mensekresi
hormon-hormon glukokortikoid. Salah satu hormon glukokortikoid yang disekresi
saat terjadi stress adalah kortikosteron. Sekresi kortikosteron sebagai hormon stress
akan meningkat sebagai respon fisiologi secara seluler (Yoshihara dkk., 2009).