Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit
sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh
infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi.
Secara anatomis apeks gigi-gigi rahang atas (kecuali insisivus) sangat dekat
dengan dasar sinus, terutama sinus maksilaris. Gigi yang berlubang (karies) atau adanya
abses/infeksi di sekitar gigi harus diobati, sebab masalah gigi di rahang atas itu dapat
menjalar sampai ke sinus.
Mukosa sinus terdiri atas epitel toraks berlapis semu bersilia dan diantaranya ada
sel-sel goblet serta kelenjar submukosa yang menghasilkan suatu selaput lendir yang
bersifat melindungi. selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya
yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium ke dalam hidung
untuk dibuang.
Sejak ditemukannya kompleks osteomeatal sebagai faktor yang sangat berperan
dalam patofisiologi sinusitis kronis, diperlukan tomografi komputer yang dapat
memberikan gambaran yang sangat baik dari sinus paranasal dan kompleks osteomeatal.
Pada tomografi komputer dapat dilihat lokasi sumbatan aliran sekret, perluasan penyakit,
berbagai kelainan anatomi, adanya massa dan cairan dalam sinus. Semuanya ini sangat
membantu operator dalam mengarahkan tindakan operasi sesuai dengan kelainan yang
ditemukan, sehingga tidak merusak jaringan yang sehat.
Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu
rongga di antara konka media dan lamina papirasea. KOM dibatasi oleh bula etmoid,
prosesus unsinatus, dan konka media. Isi KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum,
sel ager nasi, resesus frontal, dan bula etmoid.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulag-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
dalam rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan
sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih
8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada
usia antara 15-18 tahun.

SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial
os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

2
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui
infundibulum yang sempit.
d. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.1

SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempuyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.

3
SINUS ETMOID
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya
0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka
media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya
sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan
sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior
biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel
sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid aterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
snus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sfenoid.

SINUS SFENOID
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. ukuranya adalah 2 cm,
tingginya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat

4
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
sfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a. karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons.

Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal)

5
Gambar 2: Anatomi sinus paranasal (potongan melintang)

Gambar 3: Anatomi sinus paranasal (potongan sagital)

6
KOMPLEKS OSTEOMEATAL
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari infundibulum
etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan
sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

Gambar 4: Kompleks osteomeatal

2.2 DEFINISI
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya
adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya diikuti
oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore,
letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut
sinusitis dentogen.

7
Gambar 5: Penyebaran infeksi pada sinusitis dentogen

Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore:


a. Sinus maksilaris dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang dibatasi oleh
bagian alveolar sinus maksilaris, lantai orbital, dinding lateral hidung dan dinding
lateral os maksila.
b. Pada sesetengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi sedemikian
rupa sehingga hanya sinus mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang tersisa.
c. Bisa juga terjadi ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang alveolar
antara sinus dan rongga mulut.

8
d. Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding lateral dari maksila dapat
langsung menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini lemah dan mudah
ditembus dari lantai sinus. Akibatnya, infeksi odontogenik umumnya terjadi
bersamaan dengan infeksi jaringan lunak vestibular/fasia.

2.3 ETIOLOGI
Etiologi sinusitis dentogen adalah:
a. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai gigi
molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi
yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang
ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal.
b. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi atau terbukanya dasar sinus
sewaktu dilakukan pencabutan gigi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus
maksila.
e. Hubungan langsung gigi maksila dengan sinus maksila terutama gigi molar tiga.
f. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambalan
akibat pengisian saluran akar yang berlebihan.
g. Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
h. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler
dan folikuler.
i. Neoplasma yang mengadakan infiltrasi ke dalam sinus maksila.

9
Gambar 6: Faktor penyebab terjadinya sinusitis dentogen

2.4 EPIDEMIOLOGI
Di Eropa, sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Di Amerika, lebih
dari 30 juta penduduk per tahun menderita sinusitis. Wald di Amerika menjumpai insiden
pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi
gigi.
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien
rawat jalan. Di Medan insiden sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H.
Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu
sebanyak 71.43%. Hasil dari penelitian melaporkan bahwa insiden sinusitis dentogen
lebih tinggi pada wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga dan
keempat.

10
Gambar 7: Tampilan abses periodontal dan abses periapikal

2.5 PATOFISIOLOGI
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor
utama berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu:
Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam mukosa sinus
maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah ostium dan berarti
menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan mengakibatkan sinus mudah
mengalami infeksi. Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen
dari granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi
oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi
dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus
dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba
serta mengandungi zat - zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

11
Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus
akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang
dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi
silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.
Kejadian sinusitis dentogen terjadi karena infeksi bakteri streptococcus mutans
menyebabkan terjadinya karies sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pulpa
terbuka maka kuman akan masuk dan terjadi pembusukan pada pulpa sehingga
membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus.
Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi mukosa sinus.
Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus
menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis. Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu
patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor
ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.6 GEJALA KLINIS dan DIAGNOSIS


Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada gigi
serta pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai dengan
kriteria American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS),
yang mana diagnosis sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1
faktor mayor dan 2 faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat
penyakit gigi, serta temuan radiologi sinus paranasal dan CT Scan. Selain itu, kadang
diperlukan konsultasi dengan departemen kedokteran gigi untuk mendukung dan
membuat diagnosis sinusitis dentogen serta penatalaksanaannya.

12
AKUT
Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:

Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan
yang paling sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai
keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala,
demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi,
nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma.

Rinoskopi Anterior
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda
patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi
posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).

Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi
hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan
dinding lateral hidung.

Foto polos sinus paranasal


Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada kasus
tertentu, misalnya:

a. Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat.


b. Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal
c. Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi
d. Evaluasi terapi
e. Alasan medikolegal.

13
KRONIK
Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:

Anamnesis
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International Consensus on Sinus
Disease. Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung
purulen, sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu.
Kriteria minornya adalah demam dan halitosis.

Penderita Gejala dan Tanda


Mayor Minor
Kongesti hidung atau sumbatan Demam
Sekret hidung/post nasal purulen Sakit kepala

Dewasa dan Anak Rasa nyeri/tekanan/penuh di wajah Nafas berbau


Gangguan penghidu (hiposmia, anosmia) Fatique
Demam Batuk
Sakit gigi
Hidung berbau
Gejala telinga
-
Anak-Anak Batuk
Iritabilitas/Rewel
Dikutip dari: Kennedy DW

14
Rinoskopi anterior
Terlihat adanya sekret purulen di meatus medius atau meatus superior.

Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak
dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus
medius atau superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka
bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan lain-lain.

Pemeriksaan foto polos sinus


Dapat dilakukan mengingat biayanya murah, cepat dan tidak invasif.

Pemeriksaan CT Scan
Dianjurkan dibuat untuk pasien sinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan
terapi medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa kontras.
Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit di dalam
rongga sinus dan adanya kelainan di KOM (kompleks ostiomeatal). Sebaiknya
pemeriksaan CT scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar
proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomis dapat terlihat
dengan jelas.

Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa
kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus
maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan kelainannya masih
reversibel atau sudah ireversibel.

2.7 DIAGNOSIS BANDING

15
Sinusitis maksilaris
Sinusitis etmoid
Sinusitis frontal
Sinusitis sfenoid

16
Foto rontgen panorama CT Scan aksial
menunjukkan bagian menunjukkan proses
opak bulat pada sinus perluasan dengan
maksila kiri dengan pinggir sklerotik
pinggir sklerotik (anak (panah) pada sinus
panah). maksilaris.

Gambar 9: CT Scan aksial dan koronal yang menunjukkan akar gigi yang
terlantar di bagian alveolar dari sinus maksilaris (panah) yang
menyebabkan penebalan mukosa sinus.

2.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:
Atasi masalah gigi
Pengeboran untuk mengeluarkan sisa pembusukan dan restorasi lubang dengan
bahan dari resin, komposit, amalgam, porselen. Bila tidak memungkinkan dapat
dilakukan ekstrasi gigi.

AKUT

17
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam).
Antibiotik yang diberikan yakni golongan penisilin atau kotrimoksazol dan terapi
tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar
drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi,
diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka
pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polos atau CT Scan
dan atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

KRONIK
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang sesuai
dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik
mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternative 7 hari. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi
10-14 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan
nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal:
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.
- Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi
- Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian

18
Non Radikal:
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Bedah sinus endoskopi fungsional
merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus. Teknik bedah ini pertama kali
diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamm-berger dan Kennedy. BSEF
adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah
membuka dan membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara
alami.

2.9 Komplikasi
1. Osteomileitis atau abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal
dan biasanya pada anak-anak
2. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Kelainan dapat berupa edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
3. Kelainan intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ektradural atau subdural,
abses otak dan trombosis sinus kavernosus
4. Kelainan paru, seperti bronkhitis dan bronkhiektasis.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa
sinus paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi. 10% kasus sinusitis
dengan sumber odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas. Meskipun sinusitis
dentogen adalah kondisi yang relatif umum, patogenesisnya masih belum jelas serta
masih kurangnya konsensus mengenai gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan.

19
Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang
kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di salam mukosa sinus maksila, penyebaran
secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal atau kantong
periodontal gigi ke sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang berupa
transluminasi, foto rontgen, CT-Scan dan MRI.
Bila sinusitis disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung berbau.
Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan obat-obatan;
antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus serta operatif.
Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc,
etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik
fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI, 2013.
2. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis
dan Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006.
3. Bashiruddin J, Soetjipto D, Rifki N. Abses orbita sebagai komplikasi sinusitis
maksila dan etmoid akibat infeksi gigi. Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah
Tahunan Perhati.

20
4. Mangunkusumo E. Sinusitis. Kumpulan Naskah Simposium Sinusitis. Jakarta,
2009.
5. Kennnedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ. Diseases Of The Sinuses Diagnosis And
Management. Decker ; 2001.
6. Jhosephsori G, Roy S. Review Article: Pediatric Sinusitis diagnosis and
management. Pediatrics 2009.
7. Wald ER, Rhinitis and acute and chronic sinusitis. Pediatric Otolaryngology 2nd
edition. Philadelphia, WB Saunders.
8. Refni M. Peran tomografi komputer dalam deteksi kelainan dan sebagai persiapan
pra-operasi BSEF pada penderita sinusitis kronis. Kursus dan Pelatihan BSEF,
Malang.
9. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A
Short Practice of Otolaryngology. All India Publishers.

21

Anda mungkin juga menyukai