Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi


obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah menimbulkan reaksi
obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek samping.
Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru disamping
penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan maut juga.
Hipokalemi, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi
anafilaktik merupakan contoh-contoh efek samping yang potensial
bebahaya. Gatal-gatal karena alergi obat, mengantuk karena pemakaian
antihistamin merupakan contoh lain reaksi efek samping yang ringan.
Diperkirakan efek samping terjadi pada 6 sampai 15% pasien yang dirawat
di rumah sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-10% dari efek
samping. 40-60% disebabkan oeh gigitaan serangga, 20-40% disebabkan
oleh zat kontrasradiografi, 10-20% disebabkan oleh penicillin.
Syok anafilaktik merupakan bentuk terberat dari reaksi obat.
Anafilaktis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih
dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta
laktam, khususnya penisilin. Penisilin merupakan reaksi yang fatal pada
0,002 % pemakaian. Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoik yang
tersering adalah pemekaian media kontras untuk pemeriksaan radiologi.
Media kontraksi menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 %
dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur
intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang
hipoosmolar.
Anafilaktif memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-
tiba, tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan
dan kesiapan menghadapai keadaan tersebut sangat diperlukan. Berangkat
dari insiden tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut
tentang syok anafilaktik dengan tujuan agar mahasiswa pun pembaca

1
mengetahui tentang konsep teori dari anafilaksis dan menerapkan asuhan
keperawatan yang tepat pada pasien syok anafilaktik.
Reaksi alergi akut yang mengenai beberapa organ tubuh secara
simultan (biasanya system kardiovaskular, respirasi, kulit, dan
gastrointestinal) disebut sebagai reaksi anafilaksis (ana=balik;
phylaxis=perlindungan). Dalam hal ini respon imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan (Syamsu, 2001).
Anafilaksis merupakan manifestasi dari hipersensitivitas tipe cepat di mana
individu yang peka terpajan suatu antigen spesifik atau hapten yang
mengakibatkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa, biasanya
diikuti oleh kolaps vaskular serta syok dan disertai dengan urtikaria,
pruritus, dan angioedema (Dorland, 1998). Sedangkan menurut Guyton
(1997).
Anafilaksis merupakan kondisi alergi di mana curah jantung dan
tekanan arteri seringkali menurun dengan hebat. Anafilaksis terutama
disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah
suatu antigen, yang sensitive untuk seseorang, telah masuk ke dalam
sirkulasi.

B. Rumusan masalah

1. Apa definisi dari anafilaksis?


2. Bagaimana epidemilogi dari anafilaksis?
3. Bagaimana etiologi dari anafilaksis?
4. Apa saja zat-zat yang menimbulkan reaksi anafilaksis?
5. Bagaimana patogenesis dari anafilaksis?
6. Bagaimana gambaran klinis pasien pasien dengan anafilaksis?
7. Bagaimana diagnosa pada pasien dengan anafilaksis?
8. Bagaimana pengobatan pada pasien dengan anafilaksis?
9. Bagaimana prognosis dari anafilaksis?
10. Bagaimana pencegahan anafilaksis?
11. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien dengan anafilaksis?
12. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan anafilaksis?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum

2
Setelah mengikuti seminar tentang anafilaksis ini peserta diharapkan
mampu untuk mengetahui, melaksanakan dan memahami anafilaksis
beserta asuhan keperawatan nya.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan definisi dari anafilaksis
b. Mampu menjelaskan epidemiologi dari anafilaksis
c. Mampu menjelaskan dan menyebutkan etiologi dari anafilaksis
d. Mampu menyebutkan zat-zat yang dapat menimbulkan reaksi
e. Mampu menjelaskan patogenesis dari anafilaksis
f. Mampu menjelaskan gambaran klinis pasien dengan anafilaksis
g. Mampu menjelaskan diagnosa pada pasien dengan anafilaksis
h. Mampu menjelaskan pengobatan pada pasien dengan anafilaksis
i. Mampu menjelaskan prognosis dari anafilaksis
j. Mampu menjelaskan pencegahan anafilaksis
k. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pada pasien dengan anafilaksis
l. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan anafilaksis

D. Manfaat
Mahasiswa mampu melakukan pemberian asuhan keperawatan pada
pasien dengan masalah anafilaksis.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Anafilaksis

Anafilaksis adalah suatu alergi yang bersifat akut, menyeluruh dan


bisa menjadi berat. Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya
telah mengalami sensitisasi akibat pemaparan terhadap suatu allergen.
Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan allergen. Pada

3
pemaparan kedua atau pemaparan berikutnya, terjadi suatu reaksi alergi.
Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba, berat dan melibatkan seluruh tubuh.

Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang serius. Muncul dengan


cepat dan bisa berakibat fatal. Jenis reaksi ini merupakan keadaan darurat
medis dan perlu pertolongan segera. Bagi siapa pun mengalami reaksi
anafilaksis, epinefrin harus segera diberikan diikuti dengan perawatan
lebih lanjut dan transfer ke rumah sakit

Menurut Brunner & Suddart (2002) anafilaksis merupakan respon


klinis terhadap reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe I) antara
antigen yang spesifik dan antibody. Reaksi tersebut terjadi akibat antigen
IgE dengan cara, Antigen melekat pada antibody IgE yang terikat dengan
membrane permukaan sel mast serta basofil dan menyebabkan sel-sel
target ini diaktifkan. Sel mast dan basofil kemudian melepas mediator
yang menyebabkan perubahan vaskuler; pengaktifan trombosit, eosinofil
serta neutrophil, dan pengaktifan rangkaian peristiwa koagulasi.

Tipe-tipe reaksi anafilaksis:


1. Reaksi local Reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta
angioedema pada tempat kontak dengan antigen dan dapat merupakan
reaksi yang berat tetapi jarang fatal.
2. Reaksi sistemik Reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30
menit sesudah kontak dalam system organ berikut ini: kardiovaskuler,
respiratorius, gastrointestinal, dan integument.

B. Epidemiologi

Insidensi anafilaksis secara pasti belum diketahui, sebagian besar


disebabkan oleh belum jelasnya definisi dari sindrom itu sendiri. Anafilaksis
yang fatal relatif jarang, pada individu yang benar-benar mengalami
anafilaksis, hampir 1% terjadi kematian. Bentuk yang lebih ringan lebih
sering terjadi. Insidensi anafilaksis di Amerika Serikat per tahun
diperkirakan 30 kasus per 100.000 orang per tahun (81.000 kasus per

4
tahun). Suatu survey di Australia menyebutkan 0,59% dari anak-anak
berusia 3-17 tahun mengalami sedikitnya satu kejadian anafilaksis.

Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan anafilaksis sekarang lebih


sering terjadi pada komunitas dari pada di pusat kesehatan. Angka
kejadiannya meningkat pada individu dengan status sosioekonomi baik.
Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dan remaja. Sampai usia 15 tahun,
predileksinya adalah pada laki-laki, namun setelah usia 15 tahun,
predileksinya pada wanita. Terdapat kecenderungan perbedaan faktor
pencetus pada kelompok usia yang berbeda-beda, sebagai contoh,
anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh makanan puncaknya terjadi pada
remaja dan dewasa muda, sedangkan anafilaksis fatal yang dicetuskan oleh
sengatan serangga, zat-zat yang digunakan untuk diagnostik, dan obat-
obatan terjadi terutama pada usia pertengahan dan dewasa lanjut.

Dari studi epidemiologi meperlihatkan tiap tahun sebesar 30/100.000


orang dan 21/100.000 rata-rata insidensinya tiap tahun. Gejala dan tanda
yang menyertai, dimana tanda dan gejala kulit (100%), pernapasan (69%),
oral dan gastroentistinal (24%), dan kardiovaskuler (41%). Menurut Neugut
et al dari hasil surveinya, diperkirakan bahwa antara 3.3 dan 43 milyar
orang di USA mempunyai resiko untuk mengalami reaksi anapilaksis. Baru-
baru ini diperkirakan antara 1453 sampai 1503 orang meninggal tiap
tahunnya akibat anapilaktik atau reaksi anapilaksis (disebabkan makanan
100, penicillin 400, media radiokontras 900, latex 3, getah 40-100). Dari
data yang diperoleh menunjukkan bahwa anapilaksis merupakan masalah
serious kesehatan di USA.(6,7,8,9)

C. Etiologi
Berbagai zat atau keadaan dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis/anafilaktoid. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum,
hormone, enzim, bisa binatang, makanan, dan sebagainya), atau
polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang nanti bertindak sebagai
antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi lokal,
analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam

5
tubuh melalui oral, suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal. Di samping itu
ada juga penyebab yang tidak bersifat antigen. Secara umum penyebab
anafilaksis/anafilaktoid dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Obat
a. Molekul besar : hormone insulin, ACTH, estrogen, relaksin,
kortison
b. Antibiotik : penisilin, streptomisin, klorampenikol, sulfonamide,
kanamisin, dll.
c. Kemoterapeutik : siklosporin, metotreksat, melfalan, klorambusil,
dll.
d. Vaksin : difteri, morbili, parotitis, influenza, pertusis, rabies,
tetanus, tipoid.
2. Makanan
a. Ikan : cakalang, lemuru, salmon, sardine, lele, layang.
b. Udang : kepiting, cumi-cumi, kerang, teripang.
c. Kacang tanah, kacang kedelai, kacang mete, ercis, coklat.
d. Susu, telur, jamur, daging tupai, daging sapi, daging kelinci, daging
ayam, daging rusa.
e. Buah : nanas, mangga, nangka, apel, rambutan, langsap, durian,
strawberi, salak, jeruk, pisang, jagung.
f. Bumbu atau rempah : lada, pala, seledri, cengkeh, adas,
asam,lombok, jahe, bawang, ragi, vanili, kayu manis.
3. Bisa/cairan binatang :
a. Serangga
b. Ular
c. laba-laba
d. ubur-ubur
e. beberapa jenis ikan atau hewan air.
4. Getah tumbuhan : lateks, perekat akasia.
5. Bahan kosmetik/industri : cat rambut, parfum, pelurus rambut, pemutih
kulit, pengawet kayu, penyamak, cat.
6. Faktor lisis : panas, dingin, getaran, cahaya, tekanan.
7. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani

D. Zat Zat yang menimbulkan reaksi Anafilaksis


Zat-zat yang sering menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis dapat
dibagi atas :
1. Mediator IgE Protein (kelapa,ikan,kerang-kerangan,telur),Antiserum
( tetanus,dan antitoksin dipteri ). Hormon, enzim ( insulin, vasopressin,
paratohormone ,ACTH dan TSH ) Enzim (Tripsin, kimotripsin,
penisilinase, streptokinase). Bisa binatang atau Sengatan lebah

6
penyengat, lebah madu, semut api Ekstrak allergen Vaksin
(Antilimsofitik Gamma Globulin). Bahan-bahan tumbuhan (Alang-
alang, rumput, pohon). Bahan-bahan bukan tumbuhan (Kutu, bulu
anjing dan kucing, dan hewan uji coba laboratorium. Makanan (Susu,
telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada kapsul).
Polisakarida Dekstran dan ferum dekstran.
2. Golongan protamin dan antibiotikaGolongan Penisilin, amfotericin B,
nitrofurantoin, golongan kuinolon .
3. Vitamin Thiamin, asam folat.
4. Agen untuk diagnostic Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein.
5. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan Etilen oksida.

E. Patogenesis

Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun


yang menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi
sel mast dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E
(IgE) (anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ).
Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-
obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator
gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila
dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus,
peningkatan tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan
tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut
menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael
I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu
kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui
tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen
yang paling sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein
yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel
pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane
sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody

7
immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell.
Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan
diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil
membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai
pengenal dan pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung
sampai di sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama,
maka antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah
terbentuk dan diikat membentuk ikatan IgE Ag. Adanya ikatan ini
menyebabkan dinding sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan
melepaskan mediator-mediator endogen seperti histamine, kinin,
serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini
selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos.
Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut
dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya
tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan
basofil terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane
sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi
asam arakidonat dan kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan
dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang
juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena proses
terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan
fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh
dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan
menyebabkan pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa
melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut
reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda serta akibat yang
sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi
komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine secara

8
langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium,
antibiotika : vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang
terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel
lainnya. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema
karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan
menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat
terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi
miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila
sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat
dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan
dengan yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat
menyebabkan bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan
histamine.

F. Gambaran Klinis

Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi
sistemik. Reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah
yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali
fatal. Reaksi sistemik terjadi pada oragan target seperti traktus respiratorius,
sistem kardiovaskular, traktus gastrointestinalis, dan kulit. Reaksi ini
biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan penyebab.
1. Reaksi sistemik ringan
Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas di bagian
perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan

9
tenggorokan. Gejala permulaan ini dapat disertai dengan hidung
tersumbat dan pembengkakan peri orbita. Dapat juga disertai rasa gatal
pada membran mukosa, keluarnya air mata, dan bersin. Gejala ini
biasanya timbul dalam 2 jam sesudah kontak dengan antigen. Lamanya
gejala bergantung pada pengobatan, umumnya berjalan 1-2 hari atau
lebih pada kasus kronik
2. Reaksi sistemik sedang
Reaksi sistemik sedang mencakup semua gejala dan tanda yang
ditemukan pada reaksi sistemik ringan ditambah dengan bronkospasme
dan atau edema jalan napas, dispnu, batuk dan mengi. Dapat juga
terjadi angioedema, urtikaria umum, mual dan muntah. Biasanya
penderita mengeluh gatal menyeluruh, merasa panas, dan gelisah. Masa
awitan dan lamanya reaksi sistemik sedang hampir sama dengan reaksi
sistemik ringan.
3. Reaksi sistemik berat
Masa awitan biasanya pendek, timbul mendadak dengan tanda dan
gejala seperti reaksi sistemik ringan dan reaksi sistemik sedang,
kemudian dengan cepat dalam beberapa menit (terkadang tanpa gejala
permulaan) timbul bronkospasme hebat dan edema laring disertai serak,
stridor, dispnu berat, sianosis, dan kadangkala terjadi henti napas.
Edema faring, gastrointestinal dan hipermotilitas menyebabkan
disfagia, kejang perut hebat, diare dan muntah. Kejang umum dapat
terjadi, dapat disebabkan oleh rangsangan sistem saraf pusat atau
karena hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia
jantung, syok dan koma.

Rangkaian peristiwa yang menyebabkan gagal napas dan kolaps


kardiovaskular sering sangat cepat dan mungkin merupakan gejala objektif
pertama pada anafilaksis. Beratnya reaksi berhubungan langsung dengan
cepatnya masa awitan. Reaksi fatal umumnya terjadi pada orang dewasa.
Pada anak penyebab kematian paling sering adalah edema laring.

G. Diagnosa dan Diagnose Banding

10
1. Diagnosa
Diagnosis anafilaksis ditegakkan secara klinis. Perlu dicari riwayat
penggunaan obat, makanan, gigitan binatang atau tranfusi. Pada
beberapa keadaan dapat timbul keraguan terhadap penyebab lain
sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding. Pada reaksi sistemik
ringan dan sedang diagnosis bandingnya adalah diagnosis banding
urtikaria dan angioedema. Pada pasien dengan reaksi anafilaksis
biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan
alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat
suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau
kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu
dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan
darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara
mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut
(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan
mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar
pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok
anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang

11
rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90
mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah
awal.
2. Diagnosa Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran
klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut
sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang
sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam
mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator
tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada
sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan
syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant
syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan
dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan
tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri
dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa
sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar.
Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-
tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik
ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak
dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis.

12
Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan
tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,
nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese
restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual,
pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma.
Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak
berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk
berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul
karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan
lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung
yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus
seperti debu, terutama di udara dingin.

H. Pengobatan
Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan
segera. Bila perlu, segera lakukan resusitasi kardiopulmonal, intubasi
endotrakeal (pemasangan selang melalui hidung atau mulut ke saluran
pernafasan) atau trakeostomi/krikotirotomi (pembuatan lubang di trakea
untuk membantu pernafasan).
Epinefrin diberikan dalam bentuk suntikan atau obat hirup, untuk
membuka saluran pernafasan dan meningkatkan tekanan darah. Untuk
mengatasi syok, diberikan cairan melalui infus dan obat-obatan untuk
menyokong fungsi jantung dan peredaran darah. Antihistamin (contohnya
diphenhydramine) dan kortikosteroid (misalnya prednison) diberikan untuk
meringankan gejala lainnya (setelah dilakukan tindakan penyelamatan dan
pemberian epinefrin).
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan
antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau

13
kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01
mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan
dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09
mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5
mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Dan Loratadin,
dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun :
30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau
180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois
eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis,
kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta
pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit,
tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka
bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal
toksik dan Sindroma Steven Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis
tunggal pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian
diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari.
Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau
hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai
kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit
dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau
Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi
yang ada.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut
atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan
adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit
dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang
telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya
lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid
potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk
lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep

14
lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan
gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan
daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah
mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai potensi
medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher,
ketiak dan selangkangan.
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus. Untuk pruritus, urtikaria, atau edema angioneurotik dapat diberikan
antihistamin dan bila kelainan tersebut cukup luas diberikan pula adrenalin.
Reaksi anafilaktik akut membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas,
oksigen, cairan intravena, antihistamin dan kortikosteroid. Reaksi kompleks
imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang, namun sebagai terapi
simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi non-steroid.
Antihistamin generasi kedua dapat pula digunakan, seperti loratadin. Steroid
topikal dengan potensi sedang (hidrokortison atau desonid) dan pelembab
dapat digunakan pada tahap deskumasasi.
Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal
toksik, sindrom Stevens-Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan
hematologik) harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif
dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, transfusi, antibiotik
profilaksis). Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan,
sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama interdisiplin
dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah).
Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat
diberikan terlebih dahulu obat sebelum prosedur pemeriksaan, seperti
kortikosteroid, antihistamin dan atau efedrin. Pencegahan reaksi alergi obat
merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan. Penggunaan obat
yang sering memberikan reaksi alergi, seperti antibiotik, harus diberikan
sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit memberikan reaksi
alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat parenteral harus
ditunjang dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.
I. Prognosis
Estimasi saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat
makinmeningkat. Laporan dari seluruh dunia menunjukkan angka 0,01%

15
sampai 5% dan sekurang kurangnya 15%-30% penderita yang dirawat di
rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1 macam obat dan 6-
10% merupakan alergi obat.
Dengan penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik
bahkan untuk alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan
kulit, kontraktur, simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan
terlambat dilakukan. Angka kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian,
pada sindroma Steven Johnson kematian sebesar 5-15%.

J. Pencegahan

1. Anamnesis teliti mengenai alergi obat.

2. Penderita menunggu 30 menit sesudah pemberian obat.

3. Penggunaan antibiotik atau obat lain harus atas indikasi.

4. Bacalah label obat dengan teliti.

5. Kalau diperlukan anti serum, pergunakanlah preparat serum.

6. Lakukanlah tes kulit atau tes konjungtiva

7. Bila alergi terhadap obat, harus mempunyai catatan mengenai


macam/jenis obat tersebut.

8. Hindari alergen penyebab reaksi alergi. Untuk mencegah anafilaksis


akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi diberikan,
terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epinefrin

K. Penatalaksanaan

Terapi spesifik tergantung dari beratnya reaksi. Pada mulanya


diperlukan pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi respiratorius dan
kardiovaskuler. Jika pasien berada dalam keadaan henti jantung, resusitasi
kardiopulmoner harus segera dilakukan. Okigen diberikan dalam
konsentrasi yang tinggi selama pelaksanaan resusitasi kardiopulmoner atau

16
kalau pasien tampak mengalami sianosis, dispnea, atau mengi. Epinefrin
dalam bentuk larutan dengan pengenceran 1 : 1000 disuntikkan subkutan
pada ekstremitas atas atau paha dan dapat diikuti dengan pemberian infuse
yang kontinu. Antihistamin dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk
mencegah berulangnya reaksi dan urtikaria serta angioedema. Untuk
mempertahankan tekanan darah dan status hemodinamika yang normal,
diberikan preparat volume expander dan vasopresor. Pada pasien dengan
bronkospasme atau riwayat asma bronkiale atau penyakit paru obstruktif
menahun, preparat aminofilin, dan kortikosteroid dapat pula diberikan untuk
memperbaiki kepatenan serta fungsi saluran nafas. Pada kasus-kasus dimana
keadan hipotensi tidak responsive terhadap preparat vasopresor,
penyuntikan glukagon intravena dapat dilakukan untuk memberikan efek
kronotropik dan inotropik yang kuat. Pasien dengan reaksi yang berat harus
diamati dengan ketat selama 12 hingga 14 jam. Karena berpotensi untuk
kambuh kembali, pasien dengan reaksi yang ringan sekalipun harus
mendapatkan penjelasan mengenai resiko ini (Brunner & suddart, 2002).

Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab


penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok
anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emergensi dan alat bantu
resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan
karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik
setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral,
maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:

1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

a. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap


bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak

17
sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.

b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila


tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan


hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi
jantung paru.

3. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita


dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular.
Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik.
Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--
4 ug/menit.
4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB
intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam
cairan infus.

5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau


deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.

18
6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang
ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma.
Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah
yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bisa melepaskan histamin.

7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok


anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.

8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,


tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.
Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--
3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

19
BAB III
ASUHAN KEGAWATDARURATAN DENGAN SYOK
ANAFILAKTIK

A. Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway
1) Pengkajian
Adanya rasa tercekik di daerah leher, suara serak sebab edema
pada laring. Hidung terasa gatal, bersin hingga tersumbat. serta
adanya batuk, dan bunyi mengi. Ditemukan edema pada lidah.
2) Diagnosa
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan
napas
3) Intervensi
I. Kaji frekuensi kedalaman upaya bernapas.
II. Buka jalan napas dengan headtill dan chinlift.
III. Lakukan suction.
IV. Broncholitic, pemasangan entotracheal tube.

b. Breathing
1) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik ditemukan adanya batuk dan sesak
napas akibat spasme pada bronkus, bunyi stridor pada auskultasi
paru.
2) Diagnosa
Ketidakefektifan pola napas b/d spasme otot bronkus.
3) Intervensi
I. Kaji frekuensi napas
II. Berikan posisi semifowler
III. Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai
kebutuhan
IV. Pemberian bronkodilator
c. Circulation

20
1) Pengkajian
Terjadi hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG :
gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
Gelisah, pusing
2) Diagnosa
Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d penurunan curah
jantung dan vasodilatasi arteri
3) Intervensi :
I. Kaji kulit pucat, dingin atau lembab,catat kekuatan nadi.
II. Pertahankan kepatenan kardiovaskular. Berikan cairan IV.
III. Pemberian epinefrin

d. Disability
1) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik, akan mengalamai penurunan
kesadaran. Diakibatkan transport oksigen ke otak yg tidak
mencukupi ( menurunnya curah jantung hipotensi) yang
akhirnya darah akan sulit mencapai jaringan otak. Pasien dengan
syok anafilaktik biasanya terjadi gelisah dan kejang.

e. Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.

2. Secondary Survey
a. Catat adanya drainase dari mata dan hidung
b. Inspeksi lidah dan mukosa oral
c. Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
d. Kaji peristaltik saluran GI
e. Pemeriksaan diagnostic eosinofil.
f. Pemeriksaan fisik

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan
oleh reasi alergi yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi
sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular. Hal ini dapat disebabkan
oleh reaksi obat, makanan, serta gigitan serangga. Penatalaksaan dari syok
anafilaktik mengacu pemfokusan pada sistem pernapasan dan sistem
kardiovaskuler. Reaksi ini menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah,

21
spasme pada bronkus, edema pada laring, dan mengenai hampir diseluruh
sistem. Hal inilah yang menyebabkan syok anfilaktik masuk dalam tindakan
kegawat daruratan yang harus cepat ditangani.
B. Saran
Sebab gawat dan darurat adalah kondisi dimana perlu pertolongan
secara cepat dan tepat, maka dari itu penulis mengharapkan melalui makalah
ini akibat fatal dari reaksi hipersensivitas ini dapat menurun.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid
3. Penerbit P.T. Alumni : Bandung.

Sudoyo. W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi
iv. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran. Jakarta.

22
Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar. 2007.

Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316.
Hal 1442-1445

Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi


Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah;
2003, Denpasar.

Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 02 Oktober 2011]. Available


from: URL: www. duniakedokteran.cq.bz.

Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret


and Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006

Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis.


Allergy Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376

Mangku, G. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi, Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran UNUD, Denpasar; 2002. hal 50-55; 57-58.

23

Anda mungkin juga menyukai