DAFTAR PUSTAKA
DERMATOM
5
II. DEFINISI
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis
akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem
motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa
kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa
hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh
level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan
pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi sexual.3,7,10
a
Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.
b
Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.
Spesifik Level7
1.
C1 C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).
2.
C3 C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas
hilang.
3.
C5 C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.
4.
C6 C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).
5.
C7 C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).
6.
Th1 L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-),
fungsi tungkai (-), fungsi seksual (-).
8
7.
Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-),
fungsi seksual tergantung radiks yang rusak.
III.EPIDEMIOLOGI
Cidera medulla spinal adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 prang di Amerika serikat, dengan perkiraan 10.000 cedera
baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda
9
sekitar lebih 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam medic Rumah sakit
umum pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari
sampai Juni 2003, angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah
165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cedera medulla
spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%). Pada usia 45 tahun fraktur terjadi pada
pria dibandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan dan kecelakaan
bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena
faktor osteoporosis yang diasosiasikan dengan perubahan hormonal (menopose).2
IV. ETIOLOGI
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medulla
spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai
dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra. 3,7,9,10
2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
3,7,9,10
V. FAKTOR RESIKO
1. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan : Cedera tulang tulang
belakang mempengaruhi jumlah yang tidak proporsional pria. Bahkan,
perempuan account hanya sekitar 20 persen dari trauma cedera tulang
belakang di Amerika Serikat. 3,7,9,10
10
tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan
meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada
tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena
menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang
spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 3,7,9,10
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh
fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf
pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur
axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam
beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga
perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. 3,7,9,10
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan
hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,
keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta
ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika
urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi
dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi.3,7,9,10
Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka
tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik
refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini
terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal
shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak
terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit,
spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak
melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula
spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul
gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi
ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul
gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi
ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping itu juga
12
masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi
seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 3,7,9,10
Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu :
3,7,9,10
VII. PATOFISIOLOGI
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi
akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera
berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu,
intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window
period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam
setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer
energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma
yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit
setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan
perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan
kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat
traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid
endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi
inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera
medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. 3,7,9,10
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari
cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan
kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan
14
sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam
nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan
rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera
sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf.
Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari
enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan
kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid
endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan
bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki
penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-
zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor,
serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan
merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder. Bila bagian cervical 1-4
yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan
kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil. 3,7,9,10
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio,
Spina Bifida, Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena
fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash atau trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang
belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya pada waktu
duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara
mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
15
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri
vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis
yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusion, laseratio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau
mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla
spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari
jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau
fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla
spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.3,7,9,10
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang
terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama
dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam
kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan
yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia
radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang
belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler
dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan
menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma system anastomosis anterial anterior spinal.3,7,9,10
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut : 3,7,9,10
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan
trauma hiperekstensi.
16
VIII. KOMPLIKASI
1. Ulcer decubitus : Merupakan komplikasi paling utama pada cedera
medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada
daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada
cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan
sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan
berkurang. 3,7,9,10
2. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla
spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal,
tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang
menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak
melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan
kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang. 3,7,9,10
3. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis di
bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi
paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat
progresif sesuai keadaan. 3,7,9,10
4. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam
cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi
yang normal daripada pembuluh darah.
5. Cardiovasculer disease : Komplikasi dari sistem kardiorespirasi
merupakan resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis.
6. Syringomyelia : Berpengaruh pada spasme, phantom sensation, perubahan
refleks dan autonom visceral.
7. Neuropatic pain : Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla
spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis.
Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya
17
dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan
merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level
lesi ke inervasinya. 3,7,9,10
8. Perubahan Tonus Otot : Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah
paralysis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena.
Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending,
akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan
diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari
bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan
tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks. 3,7,9,10
9. Komplikasi Sistem respirasi : Bila lesi berada di atas level C4 akan
menimbulkan paralysis otot inspirasi sehingga biasanya penderita
membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan
pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen
C5 Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang
mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m.
intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat
kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret. 3,7,9,10
10. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada conus
medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen secral. Selama
fase spinal shock, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan
refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas,
kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral.
Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder,
akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter
utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan
adanya lesi pada cauda equina. 3,7,9,10
11. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan
complete atau incompletenya trauma. Terdapat dua macam respon,
reflekogenic atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada
penderita dengan lesi UMN, dan pshycogenic, dimana timbul melalui
aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN.
18
Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai reflexive erection, tapi
bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk
ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada cauda equina tidak
memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi. 3,7,9,10
12. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak
terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester
terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari
hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan dysrefleksia autonomik.
3,7,9,10
X. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindrom Guillain barre
Suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks
spinal dan saraf perifer, dan juga kadang-kadang saraf kranialis yang biasa
timbul setelah suatu infeksi. Gejala utama kelumpuhan yang simetris tipe
LMN dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang muka.
Biasanya karena infeksi virus maka dalam anamnesis tanyakan apakah
sebelumnya pernah batu pilek, diare. Terdapat infiltrasi sel mononuclear,
limfosit berukuran kecil. serabut saraf mengalami degenerasi segmental
dan aksonal sehingga lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal radiks
spinal tersebar disepanjang saraf perifer. Tipe penjalaran kelemahan pada
ektremitas berjalan dari distal ke proksimal dan sembuh perlahan-lahan
dari proksimal ke distal. Gejala makin bertambah, menyebar secara
assenden kebadan, anggota gerak atas dan cranial, kelemahan simetris dan
diikuti oleh hiporefleks atau arefleks. Disamping itu terdapat gangguan
sensibilitas parastesi. Sensibilitasnya ekstroseptif > dari sensibilitas
propioseptik, nyeri otot seperti nyeri setelah aktivitas fisik. Saraf cranial
yang terkena yaitu > yang kenan N.III, IV, VI, VII, XII.11
23
XI.
PENATALAKSANAAN
Prinsip utama penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis
24
1.
ABC : pertahankan jalan nafas, beri oksigen bila ada keadaan sesak, beri
cairan infuse 2 line untuk mencegah terjadinya shok.
2.
Immobilisasi : Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat, yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal dengan
menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat atau alas
yang keras. 8,9,10
3.
Stabilisasi Medis : Terutama sekali pada penderita tetraparesis atau
tetraplegia. 8,9,10
a
Periksa vital signs
b
Pasang NGT
c
Pasang kateter urin
4.
Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang normal dan
perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila
perlu monitor AGDA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic
shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone, Sodium Succinate
dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki
konntusio medula spinalis. 8,9,10
5.
Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment) : Bila terdapat
fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau GardnerWells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan
dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi. 8,9,10
6.
Dekompresi dan Stabilisasi Spinal : Bila terjadi realignment artinya terjadi
dekompresi. Bila realignment dengan cara tertutup ini gagal maka
dilakukan open reduction dan stabilisasi dengan approach anterior atau
posterior. 8,9,10
7.
Rehabilitasi : Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin.
Termasuk dalam program ini adalah bladder training, bowel training,
latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan
program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. 8,9,10
Medika Mentosa
1. Methylprednisolone merupakan pilihan pengobatan untuk cedera tulang
belakang akut. Jika metilprednisolon diberikan dalam waktu delapan jam
25
pada medulla spinalis bersifat permanen, karena seperti yang kita ketahui
bahwa setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak akan terjadi
regenerasi dari sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan
tetap rusak walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya.
Berdasarkan hal tersebut maka intervensi yang diberikan oleh fisioterapi
pun bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pasien dengan
kemampuan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Peran fisioterapis menurut KepMenKes 1363 Pasal 1 ayat 2 adalah bentuk
pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok
untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi
tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara
manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan
mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi . Selama tahap awal rehabilitasi,
terapis biasanya menekankan pemeliharaan dan penguatan fungsi otot
yang ada, pembangunan kembali keterampilan motorik halus dan belajar
teknik adaptif untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari. 8,9,10
2. Operasi : Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali
pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi : 8,9,10
a Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada
daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
b Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan
fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis
meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat. 8,9,10
c Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak
tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula
spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu
dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk
membuktikannya. 8,9,10
d Fragmen yang menekan lengkung saraf.
e Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
f Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah
pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan
perbaikan, harus dicurigai hematoma. 8,9,10
XII. PROGNOSIS
27