Anda di halaman 1dari 26

BAB II

DAFTAR PUSTAKA

I. ANATOMI MEDULA SPINALIS DAN DERMATOM


ANATOMI
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di
canalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid
dan piamater. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen
spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla
spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior dimulai dari bagian
foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla
oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Dibawah
medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan
lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat
dibagian belakang os coccygea. Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang
disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui foramen
intervertebral. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga
oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).3-6

Gambar 1. Anatomi Medula spinalis4


Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui
radix anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix sensorik. Masing-
masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang
3

membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-


masing radix saraf memiliki sebuah ganglion radix posterior, yaitu sel-sel yang
membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu :
3-6

a 8 pasang syaraf servikal,


b 12 pasang syaraf torakal,
c 5 pasang syaraf lumbal,
d 5 pasang syaraf sakral dan
e 1 pasang syaraf koksigeal.

Gambar 2. 31 pasang saraf spinal.4


Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia
grisea) yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan
melintang, substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu
anterior atau posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura
grisea yang tipis. Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari
medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Substansi
grisea mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak
bermyelin, syaraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian
Posterior sebagai input atau afferent, anterior sebagai Output atau efferent,
comissura grisea untuk refleks silang dan substansi alba merupakan kumpulan
serat syaraf bermyelin.
4

Fungsi medula spinalis :3-6


a
Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.
b
Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks
merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal
ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh.
Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks somatis dan
refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau kelenjar disebut
refleks otonom atau visceral.
c
Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
d
Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
Fungsi lengkung refleks : 3-6
a Reseptor: penerima rangsang.
b Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf
pusat (ke pusat refleks).
c Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis: substansia
grisea), tempat terjadinya sinap (hubungan antara neuron dengan neuron
dimana terjadi pemindahan atau penerusan impuls).
d Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor.
Bila sel efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga neuron motorik
(sel saraf atau penggerak).
e Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban
refleks. Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka),
sel kelenjar.

DERMATOM
5

Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang


dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal
juga membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ
dalam, dan kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut
dialihkan ke dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.7

Gambar 3. Standard Neurological Clasification of Spinal Cord


Injury7

II. DEFINISI
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis
akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem
motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa
kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa
hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh
level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan
pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi sexual.3,7,10

Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:7


6

Grade A Hilangnya seluruh fungsi morotik


dan sensorik dibawah tingkat lesi
Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik
dan sebagian fungsi sensorik di
bawah tingkat lesi.
Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan
kekuatan di bawah 3.
Grade D Fungsi motorik intak dengan
kekuatan motorik di atas atau sama
dengan 3.

Grade E Fungsi motorik dan sensorik


normal.

Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel Score.3,10


Frankel Score A kehilangan fingsi motorik dan sensorik
lengkap
(complete loss).
Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak
berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi
tidak dapat berjalan).
Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan
tetapi tidak dengan normal gait).
Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.

Skala kerusakan berdasarkan American spinal injury association/International


medical society of Paraplegia (IMSOP)
Grade Tipe Gangguan spinalis ASA/IMSOP
A Komplit Tidak ada fungsi sensorik dan
motorik sampai S4-5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi
fungsi motorik terganggu
sampai segmen sacral S4-5
C Inkomplit Fungsi motoik terganggu
dibawah level, tapi otot-otot
7

motorik utama masih punya


kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu
dibawah level, otot-otot motorik
utamanya punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi sensorik dan motorik
normal
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :7

a
Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.

b
Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.

Spesifik Level7

1.
C1 C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).

2.
C3 C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas
hilang.

3.
C5 C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.

4.
C6 C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).

5.
C7 C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).

6.
Th1 L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-),
fungsi tungkai (-), fungsi seksual (-).
8

7.
Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-),
fungsi seksual tergantung radiks yang rusak.

Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu :3,7,9,10

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan


Central cord Cedera pada posisi Menyebar ke daerah sacral.
syndrome sentral dan sebagian Kelemahan otot ekstremitas atas
pada daerah lateral. dan ekstremitas bawah jarang
Dapat sering terjadi terjadi pada ekstremitas bawah
pada daerah servikal
Brown- Sequard Anterior dan posterior Kehilangan ipsilateral
Syndrome hemisection dari proprioseptiv dan kehilangan
medulla spinalis atau fungsi motorik.
cedera akan
menghasilkan medulla
spinalis unilateral
Anterior cord Kerusakan pada Kehilangan funsgsi motorik dan
syndrome anterior dari daerah sensorik secara komplit.
putih dan abu- abu
medulla spinalis
Posterior cord Kerusakan pada Kerusakan proprioseptiv
syndrome anterior dari daerah diskriminasi dan getaran. Funsgis
putih dan abu- abu motor juga terganggu
medulla spinalis
Cauda equine Kerusakan pada saraf Kerusakan sensori dan lumpuh
syndrome lumbal atau sacral flaccid pada ekstremitas bawah
samapi ujung medulla dan kontrol berkemih dan
spinalis defekasi.

III.EPIDEMIOLOGI
Cidera medulla spinal adalah masalah kesehatan mayor yang
mempengaruhi 150.000 prang di Amerika serikat, dengan perkiraan 10.000 cedera
baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda
9

sekitar lebih 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam medic Rumah sakit
umum pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari
sampai Juni 2003, angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah
165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cedera medulla
spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%). Pada usia 45 tahun fraktur terjadi pada
pria dibandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan dan kecelakaan
bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena
faktor osteoporosis yang diasosiasikan dengan perubahan hormonal (menopose).2

IV. ETIOLOGI
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medulla
spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai
dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation
Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula
spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum
vertebra. 3,7,9,10
2. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera
medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik,
penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
3,7,9,10

V. FAKTOR RESIKO
1. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan : Cedera tulang tulang
belakang mempengaruhi jumlah yang tidak proporsional pria. Bahkan,
perempuan account hanya sekitar 20 persen dari trauma cedera tulang
belakang di Amerika Serikat. 3,7,9,10
10

2. Menjadi antara usia 16 dan 30 : Banyak terjadi cedera tulang belakang


traumatis jika berusia antara 16 dan 30. Kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab utama cedera tulang belakang untuk orang di
bawah 65, sementara jatuh penyebab paling cedera pada orang dewasa
yang lebih tua. 3,7,9,10
3. Terlibat dalam perilaku berisiko : Menyelam ke dalam air terlalu dangkal
atau bermain olahraga tanpa mengenakan peralatan keselamatan yang
tepat atau mengambil tindakan pencegahan yang tepat dapat
menyebabkan cedera tulang belakang. 3,7,9,10
4. Memiliki tulang atau kelainan sendi : Sebuah cedera yang relatif kecil
dapat menyebabkan cedera tulang belakang jika Anda memiliki
gangguan lain yang mempengaruhi tulang atau sendi, seperti arthritis
atau osteoporosis. 3,7,9,10

VI. GEJALA KLINIK


Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada
pada daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami
gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya
sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau
menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang terjadi.
Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau merusak jalur jalannya
saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi
trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya
fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau
beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya
kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya
menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot
tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid).
Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot
yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). 3,7,9,10
Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa
menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi
secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan
11

tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan
meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada
tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena
menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang
spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 3,7,9,10
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh
fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf
pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur
axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam
beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga
perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. 3,7,9,10
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan
hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,
keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta
ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika
urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi
dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi.3,7,9,10
Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka
tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh
refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik
refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini
terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal
shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak
terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit,
spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak
melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula
spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul
gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi
ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul
gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi
ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping itu juga
12

masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi
seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 3,7,9,10
Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu :
3,7,9,10

1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.


2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot
dan reflek tendon myotome.
3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan
sapstic blader dan bowel.
4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.
5. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke
duduk, Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
6. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan
hipotensi.
7. Skin problem menyangkut adanya decubitus.
Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu
diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada
C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8
akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal,
otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan
sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot
intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektivitas kinerja otot
pernafasan menurun. 3,7,9,10
Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi
karena gangguan jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan thoracal.
Akibat disfungsi simpatis yang mempengaruhi fungsi jantung dan dinding
vascular, hilangnya control simpatis supraspinal mengakibatkan aktivitas simpatis
menurun. Lesi setinggi cervical dan thoracal mengakibatkan tonus vasomotor
menurun sehingga mengakibatkan hipotensi. 3,7,9,10
Fungsi sistem urinaria terganggu dimana bila terjadi lesi setinggi S2 dan
S4. Dimana bila terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor vesika
urinaria mengalami kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor melemah
sedangkan S4 mengatur spinkter urinaria eksterna berkontraksi karena bersifat
spastic, akan mengakibatkan retensi urin. Sedangkan bila lesi setinggi S4 akan
13

mengakibatkan SUE melemah (membuka) sedangkan fungsi dari otot VU normal


maka akan mengakibatkan inkontinensia urin. 3,7,9,10
Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medularis, axon parasimpatis
di cauda equine dan axon somatic pudendus setinggi T10, fungsi pembentukan
fese terganggu, karena mempengaruhi dinding usus, pada lesi tersebut diatas akan
mengakibatkan tipe LMN, dimana feces lebih kering dan bundar, resiko tinggi
inkontinensia akibat rendahnya tonus spinkter ani. Lesi setinggi diatas conus
medularis akan mengakibatkan lesi tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas
peristaltic usus, retensi fecal akibat spastic spinkter ani. 3,7,9,10

VII. PATOFISIOLOGI
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi
akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera
berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu,
intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window
period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam
setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer
energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma
yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit
setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan
perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan
kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat
traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid
endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi
inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger
Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera
medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. 3,7,9,10
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari
cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan
kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan
14

sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam
nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan
rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera
sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf.
Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari
enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan
kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid
endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan
bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki
penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-
zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor,
serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan
merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder. Bila bagian cervical 1-4
yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan
kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil. 3,7,9,10
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,
jatuh dari ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio,
Spina Bifida, Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena
fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash atau trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang
belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya pada waktu
duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara
mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
15

beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri
vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis
yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusion, laseratio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau
mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla
spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari
jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau
fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla
spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.3,7,9,10
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang
terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama
dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam
kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan
yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia
radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang
belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler
dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan
menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma system anastomosis anterial anterior spinal.3,7,9,10
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut : 3,7,9,10
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan
trauma hiperekstensi.
16

2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada


jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula
spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis
anterior dan posterior.

VIII. KOMPLIKASI
1. Ulcer decubitus : Merupakan komplikasi paling utama pada cedera
medulla spinalis. Terjadi karena tekanan yang pada umumnya terjadi pada
daerah pinggul (ischial tuberositas dan trochanter pada femur). Pada
cedera medulla spinalis tidak hanya terjadi perubahan dari tonus otot dan
sensasi saja, tapi juga peredaran darah ke kulit dan jaringan subkutan
berkurang. 3,7,9,10
2. Osteoporosis dan fraktur : Kebanyakkan pasien dengan cedera medulla
spinalis akan mengalami komplikasi osteoporosis. Pada orang normal,
tulang akan tetap sehat dan kokoh karena aktifitas tulang dan otot yang
menumpu. Ketika aktifitas otot berkurang atau hilang dan tungkai tidak
melakukan aktifitas menumpu berat badan, maka mulai terjadi penurunan
kalsium, phospor sehingga kepadatan tulang berkurang. 3,7,9,10
3. Pneumonia, atelektasis, aspirasi : Pasien dengan cedera medula spinalis di
bawah Th4, akan beresiko tinggi untuk berkembangnya restriksi fungsi
paru. Terjadi pada 10 tahun dalam cedera medulla spinalis dan dapat
progresif sesuai keadaan. 3,7,9,10
4. Deep Vein Trombosis (DVT) : Merupakan komplikasi terberat dalam
cedera medula spinalis, yaitu terdapat perubahan dari kontrol neurologi
yang normal daripada pembuluh darah.
5. Cardiovasculer disease : Komplikasi dari sistem kardiorespirasi
merupakan resiko jangkapanjang pada cedera medulla spinalis.
6. Syringomyelia : Berpengaruh pada spasme, phantom sensation, perubahan
refleks dan autonom visceral.
7. Neuropatic pain : Merupakan masalah yang penting dalam cedera medulla
spinalis. Berbagai macam nyeri hadir dalam cedera medulla spinalis.
Kerusakan pada daerah tulang belakang dan jaringan lunak di sekitarnya
17

dapat berakibat rasa nyeri pada daerah cedera. Biasanya pasien akan
merasakan terdapat phantom limb pain atau nyeri yang menjalar pada level
lesi ke inervasinya. 3,7,9,10
8. Perubahan Tonus Otot : Akibat yang paling terlihat pada SCI adalah
paralysis dari otot-otot yang dipersarafi oleh segmen yang terkena.
Kerusakan dapat mengenai traktus descending motorik, AHC, dan saraf
spinalis, atau kombinasi dari semuanya. Saat mengenai traktus descending,
akan terjadi flaccid dan hilangnya refleks. Kemudian kondisi tersebut akan
diikuti dengan gejala autonom seperti berkeringat dan inkontinensia dari
bladder dan bowel. Dalam beberapa minggu akan terjadi peningkatan
tonus otot saat istirahat, dan timbulnya refleks. 3,7,9,10
9. Komplikasi Sistem respirasi : Bila lesi berada di atas level C4 akan
menimbulkan paralysis otot inspirasi sehingga biasanya penderita
membutuhkan alat bantu pernafasan, hal tersebut disebabkan gangguan
pada n. intercostalis. Komplikasi pulmonal yang terjadi pada lesi disegmen
C5 Th 12, timbul karena adanya gangguan pada otot ekspirasi yang
mendapat persarafan dari level tersebut, seperti m. adbominalis dan m.
intercostalis. Paralysis pada m. obliques eksternalis juga menghambat
kemampuan penderita untuk batuk dan mengeluarkan sekret. 3,7,9,10
10. Kontrol Bladder dan Bowel : Pusat urinaris pada spinal adalah pada conus
medullaris. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen secral. Selama
fase spinal shock, bladder urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan
refleks pada bledder hilang. Lesi di atas conus medullaris akan
menimbulkan refleks neurogenic bladder berupa adanya spastisitas,
kesulitan menahan BAK, hipertrophy otot detrusor, dan refluks urethral.
Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks bladder,
akbiat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter
utethra. Gangguan pada bowel sama seperti pada bladder ditambah dengan
adanya lesi pada cauda equina. 3,7,9,10
11. Respon Seksual : Respon seksual berhubungan langsung dengan level dan
complete atau incompletenya trauma. Terdapat dua macam respon,
reflekogenic atau respon untuk stimulasi eksternal yang terlihat pada
penderita dengan lesi UMN, dan pshycogenic, dimana timbul melalui
aktifitas kognisi seperti fantasi, yang berhubungan dengan lesi pada LMN.
18

Pria dengan level lesi yang tinggi dapat mencapai reflexive erection, tapi
bukan ejakulasi. Pada lesi yang lebih ke bawah ia dapat lebih cepat untuk
ejakulasi, tetapi kemampuan ereksinya sulit. Lesi pada cauda equina tidak
memungkinkan terjadinya ejakulasi ataupun ereksi. 3,7,9,10
12. Menstruasi biasanya terhambat 3 bulan, fertilasi dan kehamilan tidak
terhambat, tapi kehamilan harus segera diakhiri, terutama pada trisemester
terakhir. Persalinan akan terjadi tanpa sepengetahuan ibu hamil akibat dari
hilangnya sensasi, dan persalinan diawali dengan dysrefleksia autonomik.
3,7,9,10

IX. PENEGAKAN DIAGNOSIS


Anamnesis
1. Keluhan utama : Keluhan yang membawa pasien untuk berobat.
Kebanyakan kasus cedera medulla spinal datang dengan keluhan
kelemahan pada ektremitas. Tanyakan keluhan sudah berapa lama
dirasakan.8,9,10
2. RPS :

Kaji keluhan kelemahan : Lokasi kelemahan (bagian sktremitas
mana saja) paraplegia tau quadriplegi, kelmahan timbulnya tiba-
tiba atau perlahan-lahan, gejala semakin parah atau tidak, timbul
setelah makan atau tidak, obat-obatan yang digunakan utnuk
mengurangi gejala, hasil pengobatan. 8,9,10

Kaji keluhan tambahan : Nyeri (lokasi, terus menerus atau hilang
timbul, nyeri menjalar atau tidak, kapan nyeri bertambah, kapan
nyeri berkurang. Kesemutan, sesak, nyeri pada perut, keluhan BAK
(inkontinensia atau retensi urin), BAB (konstipasi). Hilangnya
sensasi rasa. Gangguan fungsi seksual. 8,9,10
Tanya sebelumnya apakah pernah alami gejala yang sama, kegiatan
sehari-hari (angkat yang berat-berat). Pola BAK dan BAB sebelum
sakit. 8,9,10
19

3. RPD : Riwayat trauma sebelumnya, riwayat kelainan tulang belakang,


riwayat DM, HT, Alergi, Low back pain, osteoporosis, osteoarthritis,
riwayat TBC. 8,9,10
4. RPK : Riwayat kelainan tulang belakang, osteoporosis, TBC. 8,9,10
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian kondisi jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi darah. Pada kasus cedera, sangat penting diperiksa keadaan jalan nafas
dan pernafasannya karena pada trauma C1-C4. 8,9,10
1. Inspeksi : Inspeksi adalah pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta
kemampuan gerak dan fungsinya. Apakah ada oedem pada anggota gerak,
pengecilan otot ( atropi ), warna, dan kondisi kulit sekitarnya, kemampuan
beraktifitas, alat bantu yang digunakan untuk beraktifitas, posisi pasien,
dll. 8,9,10
2. Palpasi : Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan
menggunakan tangan dan membedakan antara kedua anggota gerak yang
kanan dan kiri. Palpasi dilakukan terutama pada kulit dan subcutaneus
untuk mengetahui temperatur, oedem, spasme, dan lain sebagainya. 8,9,10
3. Pemeriksaan Fungsi Gerak : Dalam hal ini meliputi fungsi gerak aktif,
gerak pasif, dan gerak isometrik. Pada pemeriksaan ini umumnya pada
pasien ditemukan adanya rasa nyeri, keterbatasan gerak, kelemahan otot,
dan sebagainya. 8,9,10
4. Pemeriksaan Fungsional : Dalam pemeriksaan fungsional meliputi
kemampuan pasien dalam beraktifitas baik itu posisioning miring kanan-
kiri ( setiap 2 jam ), transfer dari tidur ke duduk, dari tempat tidur ke kursi
roda, dan sebaliknya. 8,9,10
5. Pemeriksaan Khusus
a Kekuatan Otot : Pengukuran ini digunakan untuk melihat kekuatan
otot dari keempat anggota gerak tubuh. Dan dilakukan dengan
menggunakan metode manual muscle testing ( MMT ). 8,9,10
b ROM ( Lingkup Gerak Sendi ) : Pemeriksaan ROM dilakukan
dengan menggunakan goniometer dan dituliskan dengan
menggunakan metode ISOM (International Standar Of
Measurement ). 8,9,10
20

c Pemeriksaan Nyeri dengan VAS ( Visual Analog Scale ) : VAS


merupakan salah satu metode pengukuran nyeri yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Pasien diminta untuk menunjukan letak nyeri yang dirasakan pada
garis yang berukuran 10 cm, dimana pada ujung sebelah kiri (nilai
0) tidak ada nyeri, dan pada ujung sebelah kanan ( nilai 10 ) nyeri
sekali. 8,9,10
d Pemeriksaan Sensoris : Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menentukan sensori level. Sensori level adalah batas paling kaudal
dari segment medula spinalis yang fungsi sensorisnya normal. Tes
ini terdiri dari 28 tes area dermatom yang diperiksa dengan
menggunakan tes tajam tumpul dan sentuhan sinar, dengan kriteria
penilaiannya sebagai berikut : 8,9,10
Nilai 0 : tidak ada dapat merasakan (absent ).
Nilai 1 : merasakan sebagian ( impaired ) dan hiperaestesia.
Nilai 2 : dapat merasakan secara normal.
NT ( not testable ) : diberikan pada pasien yang tidak dapat
merasakan karena tidak sadarkan diri.
e. Pemeriksaan Motorik : Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menentukan motorik levelnya. Motorik level adalah batas paling
kaudal dari segment medula spinalis yang fungsi motoriknya
normal. Identifikasi kerusakan motorik lebih sulit, karena
menyangkut innervasi dari beberapa otot. Tidak adanya innervasi,
berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan
pemeriksaan dengan Manual Muscle Test (MMT), dengan skala
penilaian sebagai berikut : Nilai Huruf Skala Definisi : 8,9,10
0 (Zero) : Tidak ditemukan kontraksi dengan palpasi.
1 ( Tr ) Trace : Ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan
2 ( P) Poor : Gerakan dengan ROM penuh, tidak dapat melawan
gravitasi.
3 (F) Fair : Gerakan penuh melawan gravitasi
4 (G) Good : Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan.
5 (N) Normal : Gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan
maksimal.
21

Pada pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle


testing ini biasanya dilakukan pada daerah myotom, antara lain :
8,9,10

C 5 : Fleksi siku ( m. biceps, m. brachialis )


C 6 : Ekstensi pergelangan tangan ( m. ekstensor carpi radialis
longus dan brevis )
C 7 : Ekstensi siku ( m. triceps )
C8 : Fleksi digitorum profundus jari tengah (m. fleksor digitorum
profundus)
Th 1 : Abduksi digiti minimi (m. abduktor digiti minimi )
L 2 : Fleksi hip ( m. iliopsoas )
L 3 : Ekstensi knee ( m. Quadriceps )
L 4 : Dorso fleksi ankle (m. tibialis anterior )
L 5 : Ekstensi ibu jari kaki (m. ekstensor hallucis longus )
S 1 : Plantar fleksi ankle (m. gastrocnemius, m. soleus )
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
Osteocalsin : Suatu protein tulang yang disekresi oleh osteoblast.
B-cross lap : parameter untuk proses rosorpsi (penyerapan tulang)
untuk mengetahui fungsi osteoklas.
Elektrolit : kalsium total.
Darah lengkap : Hb, HT, Leukosit, trombosit.
Kimia darah : Gula darah 2 jam pp, gula darah puasa.
Vit D
Kalsitonin.
2. Foto Polos Vertebra. Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-
kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan
jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral,
dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan
Lateral. Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan
mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto
dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya
kemungkinan fraktur vertebra C1-C2. 8,9,10
3. CT-scan Vertebra : Dapat melihat struktur tulang, dan kanalis spinalis
dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk
mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang. 8,9,10
22

4. MRI Vertebra : MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal


medula spinalis dalam sekali pemeriksaan serta untuk melihat jaringan
lunak.
5. Pungsi Lumbal : Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit
peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada
tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula
spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat
dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis
tersebut. 8,9,10
6. Mielografi : Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari
trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intervertebralis. 8,9,10

X. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindrom Guillain barre
Suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks
spinal dan saraf perifer, dan juga kadang-kadang saraf kranialis yang biasa
timbul setelah suatu infeksi. Gejala utama kelumpuhan yang simetris tipe
LMN dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang muka.
Biasanya karena infeksi virus maka dalam anamnesis tanyakan apakah
sebelumnya pernah batu pilek, diare. Terdapat infiltrasi sel mononuclear,
limfosit berukuran kecil. serabut saraf mengalami degenerasi segmental
dan aksonal sehingga lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal radiks
spinal tersebar disepanjang saraf perifer. Tipe penjalaran kelemahan pada
ektremitas berjalan dari distal ke proksimal dan sembuh perlahan-lahan
dari proksimal ke distal. Gejala makin bertambah, menyebar secara
assenden kebadan, anggota gerak atas dan cranial, kelemahan simetris dan
diikuti oleh hiporefleks atau arefleks. Disamping itu terdapat gangguan
sensibilitas parastesi. Sensibilitasnya ekstroseptif > dari sensibilitas
propioseptik, nyeri otot seperti nyeri setelah aktivitas fisik. Saraf cranial
yang terkena yaitu > yang kenan N.III, IV, VI, VII, XII.11
23

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu dengan lumbal fungsi


terdapatnya peningkatan protein, dan 80% diagnose dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan EMG dimana terdapat kelainan poliradiluloneuropati.
Selain itu kelumpuhan dapat juga terjadi di otot-otot penggerak bola mata
sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang dapat disertai
gangguan koordinasi anggota gerak.11
2.
Paralisis flaksid
Paralisis flaksid yaitu kelainan yang ditandai dengan kadar kalium
yang rendah < 3,5 mmol/L dengan gejala kelemahan atau kelumpuhan
skeletal. Pada saat serangan terjadi pergerakan kalium dari cairan
ekstraseluler masuk ke dalam sel. Diluar serangan kalium darah menjadi
normal. Biasanya terjadi pada otot kaki atau tangan. Biasanya gejala
timbul setelah makan kekenyangan. Ditandai dengan serangan episodic
berupa kelemahan otot atau paralisis flaksid akibat perpindahan kalium ke
ruang intraselular otot rangka. Serangan muncul setelah tidur atau
istirahat, tetapi dapat dicetuskan oleh, latihan fisik. Diagnosis ditegakkan
apabila timbul kelemahan otot disertai kadar kalium plasma yang rendah
(<3,0 mEq/L) dan kelemahan otot membaik setelah pemberian kalium.
Kelainan EKG dapat berupa pendataran gelombang T, supresi segmen ST,
munculnya gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fi brilasi
ventrikel, takikardia supraventrikular, dan blok jantung. Terapi biasanya
simtomatik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EKG,
elektromiografi (EMG), dan biopsi otot. Biopsi otot menunjukkan hasil
normal saat di luar serangan, tetapi saat serangan, dapat ditemukan miopati
vakuolar, yaitu vakuola retikulum endoplasma otot berdilatasi dengan
sitoplasma sel otot penuh terisi glikogen, dan ukuran serat otot bervariasi.
Pemeriksaan kadar kalium urin saat serangan, Ekskresi kalium yang
rendah dan tidak ada kelainan asam basa.12

XI.
PENATALAKSANAAN
Prinsip utama penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis
24

1.
ABC : pertahankan jalan nafas, beri oksigen bila ada keadaan sesak, beri
cairan infuse 2 line untuk mencegah terjadinya shok.
2.
Immobilisasi : Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat, yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal dengan
menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat atau alas
yang keras. 8,9,10
3.
Stabilisasi Medis : Terutama sekali pada penderita tetraparesis atau
tetraplegia. 8,9,10
a
Periksa vital signs
b
Pasang NGT
c
Pasang kateter urin
4.
Segera normalkan vital signs. Pertahankan tekanan darah yang normal dan
perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila
perlu monitor AGDA (analisa gas darah), dan periksa apa ada neurogenic
shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone, Sodium Succinate
dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki
konntusio medula spinalis. 8,9,10
5.
Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment) : Bila terdapat
fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau GardnerWells
tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan
dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi. 8,9,10
6.
Dekompresi dan Stabilisasi Spinal : Bila terjadi realignment artinya terjadi
dekompresi. Bila realignment dengan cara tertutup ini gagal maka
dilakukan open reduction dan stabilisasi dengan approach anterior atau
posterior. 8,9,10
7.
Rehabilitasi : Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin.
Termasuk dalam program ini adalah bladder training, bowel training,
latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan
program kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. 8,9,10
Medika Mentosa
1. Methylprednisolone merupakan pilihan pengobatan untuk cedera tulang
belakang akut. Jika metilprednisolon diberikan dalam waktu delapan jam
25

dari cedera, beberapa orang mengalami perbaikan ringan. Tampaknya


untuk bekerja dengan mengurangi kerusakan pada sel-sel saraf dan
mengurangi peradangan di dekat lokasi cedera. Namun, itu bukan obat
untuk cedera tulang belakang. Berikan metil prednisolon : dosis 30 Mg/
Kgbb, IV perlahan-lahan selama 15 menit. Metil prednisolon mengurangi
kerusakan membran sel yang berkontribusi pada kematian neuron,
mengurangi infalamasi dan menekan aktifitas sel-sel imun yang
mempunyai kontribusi serupa pada kerusakan neuron dan peningkatan
sekunder asam arakidonat mencegah peroksidasi lemak pada membran
sel. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan
untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan
oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian
penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika
masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi.
8,9,10

2. Bila terjadi spastisitas otot, berikan : Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari,


Baklopen 3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan
secara tradisional digunakan untuk mengobati gangguan musculoskeletal
yang menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.
Selain ituobat clonazepam yang merupakan benzodiazepine.8,9,10
3. Bila ada rasa nyeri bisa diberikan : Analgetika golongan NSAIDs (anti
inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai
pengobatan untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus
dihindari karena sering terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi
ginjal dan gastrointestinal. Opioid analgetik umumnya aman bila
digunakan dengan tepat, dan efek samping yang serius yang relative jarang
terjadi.
4. Antidepresan trisiklik : digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk
mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala. Seperti
amitriptilin.
Non Medika Mentosa
1. Fisioterapi : Fisioterapi dapat berperan sejak fase awal terjadinya trauma
sampai pada tahap rehabilitasi. Pada penderita SCI kerusakan yang terjadi
26

pada medulla spinalis bersifat permanen, karena seperti yang kita ketahui
bahwa setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak akan terjadi
regenerasi dari sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan
tetap rusak walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya.
Berdasarkan hal tersebut maka intervensi yang diberikan oleh fisioterapi
pun bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pasien dengan
kemampuan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Peran fisioterapis menurut KepMenKes 1363 Pasal 1 ayat 2 adalah bentuk
pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok
untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi
tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara
manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan
mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi . Selama tahap awal rehabilitasi,
terapis biasanya menekankan pemeliharaan dan penguatan fungsi otot
yang ada, pembangunan kembali keterampilan motorik halus dan belajar
teknik adaptif untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari. 8,9,10
2. Operasi : Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali
pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi : 8,9,10
a Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada
daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
b Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan
fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis
meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat. 8,9,10
c Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak
tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula
spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu
dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk
membuktikannya. 8,9,10
d Fragmen yang menekan lengkung saraf.
e Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
f Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah
pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan
perbaikan, harus dicurigai hematoma. 8,9,10

XII. PROGNOSIS
27

Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai


harapan untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama
72 jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi
sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan
kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medula spinalis dapat
sembuh dan mandiri. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas
neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal. 8,9,10

Anda mungkin juga menyukai