Anda di halaman 1dari 12

TUGAS BACA

KOLESTEATOMA

Di Susun Oleh:

DIMAS ADRIYONO WIBOWO (1102012067)

Pembimbing:

Dr. Fahmi A., Sp.THT

KEPANITERAAN ILMU THT

RSUD SOREANG
Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Istilah
kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun 1838 karena disangka
kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang kemudian ternyata bukan. Beberapa istilah lain
yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain : keratoma (Schucknecht), squamos eipteliosis
(Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel, 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman, 1959), kista
epidermoid (Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii.
Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau tulang
mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya.
Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah
termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal. Kadang-
kadang, kolesteatomas juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal dan basis cranii.
Komplikasi ekstrarempotal dapat terjadi di leher, sistem saraf pusat, atau keduanya.
Kolesteatomas kadang-kadang menjadi cukup besar untuk mendistorsi otak normal dan
menghasilkan disfungsi otak akibat desakan massa.
Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek tekanan yang
menyebabkan remodelling tulang, seperti yang biasa terjadi di seluruh kerangka apabila
mendapat tekanan (desakan) secara konsisten dari waktu ke waktu. Kedua, aktivitas enzim
pada kolesteatoma dapat meningkatkan proses osteoklastik pada tulang, yang nantinya akan
meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Kerja enzim osteolitik ini tampaknya meningkat
apabila kolesteatoma terinfeksi.
Epidemiologi
Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi yang
relatif sering pada pembedahan otologi (kira-kira setiap minggu di praktek otologi tersier).
Kematian akibat komplikasi intrakranial dari kolesteatoma sekarang jarang terjadi, yang
berkaitan dengan diagnosis dini, intervensi bedah tepat waktu, dan terapi antibiotik yang
adekuat. Akan tetapi kolesteatomas tetap menjadi penyebab umum relatif tuli konduktif
sedang pada anak-anak dan orang dewasa.
Patogenesis dan Klasifikasi
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara
lain adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut
akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964)
yang mengatakan : kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah.
Epitel kulit liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat
serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada
medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis menurut etiologinya :

1. Kolesteatoma kongenital
Kolesteatoma kongenital terbentuk sebagai akibat dari epitel skuamosa
terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis, ditemukan pada telinga
dengan membran tympani utuh tanpa ada tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma
biasanya di mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin
angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle sering ditemukan secara tidak sengaja
oleh ahli bedah saraf.
Penderita sering tidak memiliki riwayat otitis media supuratif kronis yang
berulang, riwayat pembedahan
otologi sebelumnya, atau perforasi
membran timpani. Kolesteatoma
kongenital paling sering
diidentifikasi pada anak usia dini
(6 bulan 5 tahun). Saat
berkembang, kolesteatom dapat
menghalangi tuba estachius dan
Gambar 3. Kolesteatoma kongenital. Tampak
massa putih di belakang membran tympani menyebabkan cairan telinga
yang intak
tengah kronis dan gangguan
pendengaran konduktif. Kolesteatom juga dapat meluas ke posterior hingga meliputi
tulang-tulang pendengaran dan, dengan mekanisme ini,
menyebabkan tuli konduktif.
2. Kolesteatoma akuisital, jenis ini terbagi dua :
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi
membrana tymphani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari
membran tymphani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga
tengah akibat gangguan tuba (Teori Invaginasi).
Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai akibat dari retraksi
membran timpani. Kolesteatoma akuisital primer klasik berawal dari retraksi
pars flaksida di bagian medial
membran timpani yang terlalu dalam
sehingga mencapai epitimpanum.

Gambar 4. Kolesteatoma pada daerah


atik. Merupakan kolesteatoma akuisital
primer pada stadium paling awal
Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitympanum (disebut juga
skutum) secara perlahan terkikis, menghasilkan defek pada dinding lateral
epitympanum yang perlahan meluas. Membran timpani terus yang mengalami
retraksi di bagian medial sampai melewati pangkal dari tulang-tulang
pendengaran hingga ke epitympanum posterior. Destruksi tulang-tulang
pendengaran umum terjadi. Jika kolesteatoma meluas ke posterior sampai ke
aditus ad antrum dan tulang mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid dengan
eksposur dura dan/atau erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi dan
mengakibatkan ketulian dan vertigo.
Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran
posterior dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian posterior telinga
tengah. Apabila retraksi meluas ke medial dan posterior, epitel skuamosa akan
menyelubungi bangunan-atas stapes dan membran tympani terteraik hingga ke
dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari membran
timpani posterior cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan
kadang-kadang kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes.
b. Kolesteatoma akuisital sekunder
Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi
membran tympani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel
kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga
tengah (Teori Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani
karena iritasi infeksi yang berlangsung lama ( Teori Implantasi).
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari
beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa
perforasi yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau
mungkin karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang
sederhana seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel
skuamosa ke telinga tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma.
Perforasi marginal di bagian posterior adalah yang paling mungkin
menyebabkan pembentukan kolesteatoma. Retraksi yang mendalam dapat
menghasilkan pembentukan kolesteatoma jika retraksi menjadi cukup dalam
sehingga menjebak epitel deskuamasi.

Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman


(infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi
dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi
dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor- (TNF-), tumor growth
factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat
hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media Supuratif Kronis dengan
Kolesteatoma5

Jenis Kuman Jumlah temuan


Pseudomonas aeruginosa 9 31,5%
Proteus mirabilis 17 58,5%
Difteroid 1 3,3%
Streptococcus -hemolyticus 1 3,3%
Enterobacter sp. 1 3,3%

Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat
oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini
mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis, dan abses otak.
Granuloma Kolesterol
Granuloma kolesterol adalah kista jinak yang terdapat pada ujung pars petrosus, yang
merupakan bagian dari tulang tengkorak dan berdekatan dengan telinga tengah. Granuloma
ini merupakan massa yang berisi cairan, lipid, dan kristal-kristal kolesterol yang dikelilingi
oleh lapisan fibrosa.
Didalam tulang tengkorak, terdapat banyak ruang-ruang yang berisi udara yang
disebut juga air cells. Selama ini dipercaya bahwa granuloma kolesterol terbentuk apabila air
cells yang terdapat di pars petrosus mengalami obstruksi. Obstruksi akan membentuk suatu
ruangan yang hampa udara sehingga menyebabkan darah akan mengalir ke dalam air cells
tersebut. Sel-sel darah merah ini akan memecah, sehingga kolesterol yang terkandung di
dalam hemoglobin akan terbebas. Sistem imun tubuh akan bereaksi terhadap kolesterol ini
sebagai benda asing, sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Pembuluh-pembuluh darah
kecil disekitarnya akan mengalami ruptur sebagai akibat dari reaksi inflamasi. Perdarahan
yang berulang akan menyebabkan massa granuloma semakin mudah meluas.
Granuloma dapat terbentuk dimana saja di dalam tubuh kita apabila ada reaksi
terhadap benda asing, dan pada sebagian besar kasus biasanya tidak menimbulkan gejala
ataupun efek yang serius. Meskipun begitu, granuloma kolesterol pada pars petrosus
berbahaya karena kedekatannya dengan telinga dan beberapa saraf kranial. Apabila massa ini
dibiarkan tanpa diterapi dan semakin meluas, tuli permanen dan/atau kerusakan saraf dapat
terjadi, begitu juga destruksi tulang.
Faktor Risiko
Granuloma kolesterol timbul sekunder dari kondisi-kondisi yang menyebabkan
obstruksi dari air cells. Beberapa kondisi tersebut termasuk infeksi telinga kronis,
kolesteatoma, atau trauma kepala yang menyebabkan perdarahan pada area apex pars
petrosus.
Gejala klinis
Gejala klinis dari granuloma kolesterol antara lain gangguan pendengaran unilateral,
tinnitus, facial twitching, vertigo, dan facial numbness.
Diagnosis
Pada pemeriksaan telinga dengan otoskop, ditemukan membran tympani berwarna
kebiruan atau terdapat bayangan kecoklatan di belakangnya. Pemeriksaan pencitraan (MRI ,
CT) dapat membantu membedakan granuloma kolesterol dengan lesi lainnya, khususnya
dengan kolesteatoma. Audiogram digunakan untuk mengevaluasi gangguan pendengaran.

Presentasi Klinis
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus-menerus
atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut sulit
dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah (vaskularisasi), maka
antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada kolesteatoma. Antibiotik topikal
biasanya dapat diletakkan mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan
menembus beberapa milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma terinfeksi
yang besar biasanya resisten terhadap semua jenis terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea
akan tetap timbul ataupun berulang meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif.
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada kolesteatoma.
Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel deskuamasi
dengan atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang
akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi apabila
tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada
stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan pertanda
dari perkembangan komplikasi yang lebih serius.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah drainase
dan jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah tidak responsif terhadap terapi
antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90% kasus.
Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena seringkali gendang telinga tetap
utuh sampai komponen telinga tengah cukup besar. Kolesteatoma yang berasal dari
implantasi epitel skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada
membran tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini, (kolesteatoma kongenital,
kolesteatoma implantasi) pada akhirnya kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi
pada membran tympani.
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah kanalis
akustikus eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala
menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik sistemik
maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan. Apabila terapi ototopikal berhasil,
maka akan tampak retraksi pada membran tympani pada pars flaksida atau kuadaran
posterior.
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan salah satu
komlikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi yang terkait dengan
kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi sebagai abses di
leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali dengan tanda-tanda dan gejala
komplikasi pada susunan saraf pusat, yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau
meningitis.

Indikasi Pembedahan
Hampir semua kolesteatoma harus dibersihkan. Kadangkala dilakukan pengecualian
apabial keadaan umum pasien sangat buruk sehingga membuat prosedur pembedahan terlalu
berisiko. Beberapa pasien yang memiliki kolesteatoma di satu-satunya telinga yang dapat
mendengar, dengan alasan yang rasional, enggan untuk menjalani operasi. Risiko kehilangan
pendengaran akibat dari operasi pengangkatan umumnya lebih kecil daripada risiko yang
berhubungan dengan membiarkan kolesteatoma in situ.
Kontraindikasi Pembedahan
Gangguan pendengaran di telinga kontralateral adalah kontraindikasi relatif untuk
pembedahan. Seringkali, kolesteatoma menyebabkan risiko lebih besar untuk sisa
pendengaran daripada pembedahan itu sendiri, dan, lebih sering daripada tidak, operasi
pengangkatan adalah pilihan yang baik bahkan ketika kolesteatoma berada di satu-satunya
telinga yang dapat mendengar.
Pemeriksaan Pencitraan
CT scan merupakan modalitas pencitraan pilihan karena CT scan dapat mendeteksi
cacat tulang yang halus sekalipun. Namun, CT scan tidak selalu bisa membedakan antara
jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma dengan cairan serebrospinal
hampir sama, yaitu kurang-lebih -2 sampai +10 Hounsfield Unit, sehingga efek dari desakan
massa itu sendirilah yang lebih penting dalam mendiagnosis kolesteatoma. Gaurano (2004)
telah menunjukkan bahwa perluasan antrum mastoid dapat dilihat pada 92% dari
kolesteatoma telinga tengah dan 92% pulalah hasil CT scan yang membuktikan erosi halus
tulang-tulang pendengaran. Defek yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT scan adalah
sebagai berikut:

a. erosi skutum
b. fistula labirin
c. cacat di tegmen
d. keterlibatan tulang-tulang pendengaran
e. erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas
f. anomali atau invasi dari saluran tuba

Gambar 5. CT scan yang menggambarkan erosi tulang dan kolesteatoma

MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkiraka dapat
melibatkan jaringan lunak sekitarnya. Masalah-masalah ini termasuk yang berikut:

a. keterlibatan atau invasi dural


b. abses epidural atau subdural
c. Herniasi otak ke rongga mastoid
d. Peradangan pada labirin membran atau saraf fasialis
e. trombosis sinus sigmoid

Penatalaksanaan
Terapi Medis
Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien yang
menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk anestesi
umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur. Pembersihan secara teratur dapat
membantu mengontrol infeksi dan dapat memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi tidak
dapat menghentikan ekspansi lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi. Terapi
antimikroba yang utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat
membantu sebagai terapi tambahan.
Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes telinga lebih
baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri. Diperlukan antibiotik pada setiap
fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat
langsung dipilih yang sesuai dengan keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret
kuning pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali
disebabkan oleh golongan anaerob.
Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai apabila curiga
Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan terhadap kuman anaerob, dapat
dipakai metronidazol, klindamisin, atau kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman
penyebab, dapat dipakai campuran trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat.
Antibitotik topikal yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping
terhadap pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin
harus sangat hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.
Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti Asam Asetat
1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan garam fisiologis. Larutan
harus dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar tidak mengiritasi labirin setelah itu
dikeringkan dengan lidi kapas.
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan kolesteatoma. Dalam keadaan
tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk menggunakan teknik canal wall up atau
canal wall down. Jika pasien memiliki beberapa episode kekambuhan dari kolesteatoma dan
keinginan untuk menghindari operasi masa depan, teknik canal wall down adalah yang paling
sesuai.
Beberapa pasien tidak dapat
menerima tindakan canal-wall
down.Pasien tersebut dapat diobati
dengan tertutup (canal wall-up),
asalkan mereka memahami bahwa
penyakit lebih mungkin kambuh
dan mereka mungkin membutuhkan
beberapa serial prosedur
pembedahan.
Meskipun semua kelebihan
dan kekurangan kedua teknik
operasi itu menjadi relatif di tangan
ahli bedah yang berpengalaman,
tiap ahli bedah telinga mempunyai
alasan sendiri mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas berbeda
adalah bahwa timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal
mempertahankan bentuk fisiologis liang telinga dan telinga tengah.
Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh
Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di
rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior,
pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. Inkus dan
malleus dibuang, hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula seluruh mukosa kavum
tympani.
Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi radikal,
bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran dipertahankan
setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan
agar terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free
fascia graft maupun berupa jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-
tulang pendengaran.

Tabel 2. Keunggulan dan kelemahan timpanoplasti dinding utuh dan dinding runtuh

Teknik Operasi Timpanoplasti Dinding Utuh Dinding Runtuh


Fisiologik Lebih fisiologik Kurang fisiologik
Residivitas Lebih tinggi Lebih rendah
Kesulitan Lebih tinggi Lebih rendah
Komplikasi (iatrogenik) Lebih tinggi Lebih rendah
Perbaikan pendengaran Lebih tinggi Lebih rendah
Keperluan operasi kedua Ya Tidak
Pembersihan spontan rongga Lebih baik Memerlukan lebih sering
ooperasi (self cleansing) kontrol
Hearing aid Lebih mudah Sukar

Komplikasi

Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan


komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis,
kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus
sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-operasi juga dapat dimasukkan
sebagai komplikasi segera.
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi tandur,
stenosis liangg telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang
dipasang. Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu operasi.
Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis waktu
melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di
dekat stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah
kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila tpografi daerah sekitarnya sudah tidak
dikenali dengan baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi
sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma.
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut klasifikasi House-
Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk melihat derajat kerusakan pada
saraf dan menentukan prognosis penyembuhan spontan.
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab vertigo pasca-
operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selam operasi, belum tentu karena cedera operasi.
Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah aditus ad
antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringa kolesteatoma dan
matriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperbuuk sistem konduksi
telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan
duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas dapat
ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran berhenti.
Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat
menyebabkan perdarahan besar.
Prognosis
Mengeliminasi kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun mungkin memerlukan
beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan berhasil, komplikasi dari
pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi.
Timpanoplasti dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat rendah
dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus, yang cukup
menguntungkan bila dibandingkan tingkat kekambuhan timpanoplasti dinding utuh yang 20-
40%.
Meskipun demikian, karena rantai osikular dan/atau membran tympani tidak selalu
dapat sepenuhnya direstorasi kembali normal, maka kolesteatoma tetaplah menjadi penyebab
umum relatif tuli konduktif permanen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009 (cited May 15,
2017). Available at http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2012
3. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2007 (cited
May 15, 2017). Available at http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview
4. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2005
5. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch
Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited May 15, 2017). Available at
www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-060125.pdf
6. Cholesterol Granuloma. March 16, 2006 (cited May 15, 2017). Available at
http://www.upmc.com/Services/minc/conditionstreatments/Pages/cholesterol-
granuloma.aspx

Anda mungkin juga menyukai