Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi ( juga disebut kejang ayan ) ditandai dengan aktivitas berlebihan
yang tidak terkendali dari sebagian atau seluruh system saraf pusat. Orang dari
sebagian atau seluruh system saraf pusat. Orang yang mempunyai faktor
predisposisi timbulnya epilepsi akan mendapat serangan bila nilai basal dari
eksitabilitas system saraf (atau bagian yang peka terhadap keadaan epileptic )
meningkat diatas nilai ambang kritisnya. Selama besarnya eksitabilitas tetap dijaga
dibawah nilai ambang ini, maka serangan epilepsi tidak akan terjadi.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi
sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi
psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah,
pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak
menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa
anak-anak.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur
hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%) penduduk terserang
epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani pengobatan pada
lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta
penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi. Epilepsi sukar untuk dikendalikan
secara medis atau pharmacoresistant, sebab mayoritas pasien dengan epilepsi
adalah bersifat menentang.
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan
oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan
(unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak
yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel
otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses

1
eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-
perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion
ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron
sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan
epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular
dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran
neuron.

1.2 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
penulis khususnya mengenai Epilepsi mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, diagnosis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis, serta penatalaksanaan, dan komplikasi yang ditimbulkan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang


muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat
lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan
berbagai macam etiologi. Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa
dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut (unprovoked).

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan


sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan
cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut
sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan
sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom
(vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari
letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga
dikenal bermacam jenis epilepsi.

2.2. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Otak memiliki kurang lebih 15 millar neuron yang membangun subtansia


alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan
sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas : gerakan
motorik, sensasi, berpikir dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat
kedudukan memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom.
Sel-sel otak bekerja bersama-sama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik.
Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari
sekelompok sel yang menghasilkan serangan atau seizure.

3
Sistem limbik merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap
serangan. Ekspresi aktivitas otak abnormal dapat berupa gangguan motorik,
sensorik, kognitif atau psikis. Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan
otak ), hipokampus, dan area fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan
letak awal munculnya serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus,
substansia nigra dan korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas
serangan dan mencetuskan serangan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang
penghambat dari area subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara
korteks dan area otak lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal.
Penekanan terhadap aktivitas inhibisi eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi
dapat memudahkan penyebaran aktivitas serangan mengikuti awal serangan parsial
atau munculnya serangan epilepsi umum primer.

2.3 EPIDEMIOLOGI

Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang


memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau
kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup
beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak.
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras
apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum
diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak
insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut.

2.4. ETIOLOGI

Berdasarkan penyebabnya epilepsi dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsi


primer dan epilepsi sekunder

Epilepsi primer adalah epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti.
Epilepsi primer juga disebut dengan idiopatik epilepsi. Beberapa hal yang
berhubungan dengan epilepsi primer yaitu:

4
Adanya episode aktivitas listrik yang abnormal didalam otak yang menyebabkan
kejang

Ada beberapa area tertentu pada otak yang dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang
abnormal yang menyebabkan beberapa tipe kejang

Jika semua area otak dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang abnormal maka kejang
menyeluruh mungkin terjadi. Hal ini berarti bahwa kesadaran mungkin hilang atau
berkurang. Seringnya semua tangan dan kaki akan menjadi kaku kemudian
menyentak secara berirama.

Satu tipe kejang mungkin berkembang menjadi kejang tipe lain. Sebagai contoh,
kejang mungkin berawal sebagian meliputi muka atau tangan. Kemudian aktivitas
otot akan menyebar keseluruh tubuh. Pada saat ini, kejang akan menjadi
menyeluruh.

Kejang yang disebabkan oleh demam tinggi pada anak mungkin tidak
dipertimbangkan sebagai epilepsi.

Epilepsi sekunder adalah kejang yang penyebabnya telah diketahui.


Epilepsi sekunder disebut juga sebagai epilepsi simtomatik. Ada beberapa
penyebab yang biasa di temukan pada epilepsi sekunder yaitu:

Tumor

Ketidakseimbangan metabolism seperti hipoglikemi

Trauma kepala

Penggunaan obat-obatan

Kecanduan alkhohol

Stroke termasuk perdarahan

5
Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik

2.5. PATOFISOLOGI

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera


kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan
saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang
mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada
cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam
mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa
ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik
dan retardasi mental.

Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh


ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari
presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor
NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebut sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan
epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja
dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya
beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan
pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan
voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus
frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot
nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium
dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron

6
lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik
yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron. Jika terjadi kerusakan atau
kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu
sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter
seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik,
glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai
yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan


keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai Daerah
yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada
di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal
epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga
mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau
kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia
atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi.
Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini
faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta

7
benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari
serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

2.6. KLASIFIKASI

Epilepsi dapat dibagi dalam tiga golongan utama antara lain:

1. Epilepsi Grand Mal

Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan
dari neuron diseluruh area otak-di korteks, di bagian dalam serebrum, dan bahkan
di batang otak dan talamus. Kejang grand mal berlangsung selama 3 atau 4 menit.

2. Epilepsi Petit Mal

Epilepsi ini biasanya ditandai dengan timbulnya keadaan tidak sadar atau
penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, di mana selama waktu serangan ini
penderita merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch-
like),biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan mata.

3. Epilepsi Fokal

Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, baik regoi setempat pada
korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada serebrum dan batang
otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organik setempat atau adanya kelainan
fungsional.

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi


diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan
sindrom epilepsi

1. Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :

a. Bangkitan Parsial

Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,

1) Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)

8
Dengan gejala motorik

Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

Dengan gejala autonom

Dengan gejala psikis

Kejang ini sangat berbeda pada setiap orang, tergantung pada bagian otak
dimana kejang ini berawal. Satu hal yang umum terjadi pada setiap penderita bahwa
mereka tetap terjaga dan dapat mengingat apa yang terjadi. Dokter sering membagi
kejang parsial sederhana kedalam beberapa kategori tergantung pada jenis gejala
yang dialami oleh pasien.

Kejang motorik

Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai contoh, seseorang
mungkin mengalami gerakan abnormal seperti jari tangan menghentak atau
kekakuan pada sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap pada
satu sisi tubuh (berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas pada
kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat berpenagruh pada saat
berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak menyadari gerakan ini.

Kejang sensorik

Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan kejang sensori


mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada disitu,
mendengar bunyi berdetak, bordering atau suara seseorang ketika suara yang
sebenarnya tidak ada, atau merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati rasa
(kebas). Kejang mungki terasa sangat menyakitkan pada beberapa pasien. Mereka
akan merasa seperti berputar. Mereka juga mungkin mengalami ilusi. Untuk
singkatnya mereka mungkin percaya bahwa mobil yang sedang diparkir bergerak
pergi atau suara seseorang seperti teredam ketika seharusnya terdengar jelas.

Kejang autonomic

9
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf yang secara otomatis
mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya meliputi perasaan asing atau tidak
nyaman pada perut,dada dan kepala, perubahan pada denyut jantung dan
pernafasan, berkeringat.

Kejang psikis

Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan pengalaman akan
sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan memori, kata yang terbalik saat
berbicara, ketidakmampuan untuk menemukan kata yang tepat atau bermasalah
dalam memahami percakapan atau tulisan. Mereka mungkin dengan tiba-tiba
merasa takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak jelas. Beberapa pasien
mungkin merasa seperti mereka berada diluar tubuhnya atau merasa dejavu (pernah
mengalami sebelumnya).

2) Parsial Kompleks (kesadaran menurun)

a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

Dengan automatisme

b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

Dengan gangguan kesadaran saja

Dengan automatisme

3) Parsial yang menjadi umum sekunder

a) Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik

b) Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

10
b. Bangkitan Umum

1) Absence / lena / petit mal

Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam


beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam
tanpa reaksi. Serangan ini biasanya timbul pada anak- anak yang berusia antara 4
sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang
sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh
ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang
dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan
peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan
gambaran yang khas yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang
bangkit secara menyeluruh.

2) Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik,
terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio atau oleh ensepalopati
metabolik.

3) Tonik

Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.

4) Tonik-klonik /Grand mal

Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang
tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksasi). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai

11
mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan
tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

5) Mioklonik

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot


skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

6) Atonik

Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan
terjatuh secara tiba-tiba.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989

1. Berkaitan dengan letak fokus

a. Idiopatik

Epilepsi Rolandik benigna


Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

b. Simptomatik

Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis

2. Umum

a. Idiopatik
Kejang neonatus familial benigna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

12
Epilepsi Absans pada anak
Epilepsi Absans pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b.Simptomatik
Sindroma West (spasmus infantil)
Sindroma Lennox Gastaut

3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)


Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
Kejang demam
Berkaitan dengan alkohol
Berkaitan dengan obat-obatan
Eklampsia
Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

2.7. MANIFESTASI KLINIK


Epilepsi umum :
1. Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a. Primer
b. Sekunder
Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan
bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal
tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu
atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik
selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus
epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat

13
sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap
sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.

Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga


aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit.

Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatip seperti berkeringat,


midriasis pupil, refleks cahaya negatip, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti
secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-
kira 4 - 5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu
akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun
sekali.

2. Minor
a. Petit mal.
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada
anak sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang
berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih
dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata.
Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan
dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak
ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi
pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :

1. Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
2. Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
3. Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.

14
4. Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi
3 per detik.

b. Bangkitan mioklonus
Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan
yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar
diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka
terhadap rangsang sensorik.

c. Bangkitan akinetik
Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus
dan akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-
Gastaut.

d. spasme infantile
Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul
pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti
belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas
seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,
miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.

Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).


a) Bangkitan motorik.
Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu
atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita
seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari

15
tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi
klinik ini disebut Jacksonian marche

b) Bangkitan sensorik
Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks
sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi
abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada
bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks
motorik sehingga terjadi kejang-kejang.

c) Epilepsi lobus temporalis.


Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan
psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme.

Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:

1. Kesadaran hilang sejenak.


2. Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran
antara sadar dan mimpi(twilight state).
3. Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi
dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul :
a. Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b. Halusinasi dengan automatisme membaca.
c. Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau
perasaan aneh

16
2.8.DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan
obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Pola / bentuk serangan
Lama serangan
Gejala sebelum, selama dan paska serangan
Frekuensi serangan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat serangan terjadinya pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan.

3.Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

17
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk
diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak,
sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena
klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran
klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c.Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk


melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI

18
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan

19
2.9. PENATALAKSANAAN

Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan


pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen
maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30
menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit

20
1. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi

Setelah kejang pertama

Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko


terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non
epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari. Jika
bangkitan hipoglikemik maka diterapi dengan glukosa, bangkitan karena putusnya
alcohol dapat dikontrol paling baik dengan perubahan perilaku adiktif dan jika
bangkitan karena masalah psikogenik dapat diatasi dengan konseling yang tepat.
Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal, risiko pengobatan dan
manfaat pengobatan. Sebagai contoh, penderita epilepsi benigna dengan spikes
di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat karena
penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya sedikit
serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika terdapat lesi
struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk tumor otak, displasia
kortikal dan malformasi arteriovenosa).

Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-ragu untuk
memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan mempertimbangkan
dilakukannya tindakan bedah.

Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik


seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang
pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan
risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.

Tabel 1

A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :

21
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik

b. Malformasi arteriovenosa

c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika


2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :

a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)

b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)

c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)

d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat

e. Todds postical paresis

f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan
dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi
umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup
pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol

b. Penyalahgunaan obat

c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik

22
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)

e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal.

f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian

Setelah kejang lebih dua kali atau lebih

Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang
akibat putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti
demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang tunggal
dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti
: kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal, kejang
karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan
kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang akibat hal-hal di atas
sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang mengalami kejang pertama
namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan
terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun
kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil
dengan pertimbangan risk and benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan
pasien. Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir
karena jika terjadi kekambuhan sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien
bahkan mengancam nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang
mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua
biasanya hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling
besar terjadi pada dua tahun pertama. Seandainya pasien diputuskan untuk diobati,
maka penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang
pertama.

23
2. Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik
pasien

a) Tipe serangan

modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan First-line Second-line/ Third line/

add on add on
Parsial simple & Karbamazepine Asam valproat Tiagabin
kompleks dengan atau
Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
tanpa general sekunder

Fenobarbital Zonisamid Felbamat

Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon

Lamotrigin

Topiramat

Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat

Karbamazepine Okskarbazepin Levetiracetam

Fenitoin Zonisamid

Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin

Levetiracetam Clobazam

24
Zonisamid Clonazepam

Fenobarbital
Absence (tipikal dan Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam
atipikal)
Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat

Topiramat
Tonik Asam valproat Clonazepam

Fenitoin Clobazam

Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat Clonazepam
juvenil
Etosuksimid
Epilepsy mioklonik Asam valproat Clonazepam
juvenil
Fenobarbital Etosuksimid

25
dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

Obat Dosis Dosis yang Dosis Frekuensi Efek samping


awal paling umum maintena pemberian
(mg/hari) (mg/hari) nce (kali/hari)
(mg/hari)
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi
gusi, distres lambung,
penglihatan kabur,
vertigo, hiperglikemia,
anemia makrositik
Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang,
distress lambung, sedasi,
penglihatan kabur,
konstipasi, ruam kulit
Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi,
diplopia, hiponatremia,
ruam kulit
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam,
sindrom steven-johnson,
nyeri kepala, pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia,
kelelahan, anoreksia,
pusing, batu ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB ,
konstipasi, diare,
gangguan tidur

26
Felbamat 1200 2400 1800- 3 gg. GI, BB , anoreksia,
4800 nyeri kepala, insomnia,
hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB
, konstipasi, mulut
kering, sedasi, anoreksia
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk,
kebingungan, nyeri
kepala, vertigo, sinkop
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing,
sedasi, langkah
terhuyung, nyeri kepala,
eksaserbasi kejang
generalisata
Vigabatrin 500-1000 3000 2000- 1-2
4000
Gabapentin 300-400 2400 1200- 3 Leukopenia,mulut
4800 kering, penglihatan
kabur, mialgia,
penambahan berat,
kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Levetiracetam 1000 2000-3000 1000- 2
4000

27
28
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :

a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah


diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun
efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.

Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-
3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi)
harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang
minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat
primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.

c) Monoterapi

Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan


epilepsi. Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah
dilakukan evaluasi hasil pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah,
(3) efek samping minimal, (dapat ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995),
dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat. Dewasa ini terapi obat pada penderita
epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat tunggal. Pilihan obat
ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling tepat
sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan
mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi
sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram,
1995).

Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di


antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts
Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4)

29
ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang jelas, (5) pandangan baru
tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme terjadinya bangkitan, dan
(7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak lesi. Secara
farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang
penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari.tc "Sekitar 75% kasus yang
mendapat obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek
samping minimal. Akan tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan
memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995). Berbagai faktor yang mendorong
kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah: (1) klasifikasi epilepsi menurut
International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar obat antiepilepsi, (3)
konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme aksi yang
jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme
terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk
menentukan letak lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi
merupakan unsur yang penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari."

Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan


epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target
mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target.
Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk
tiap target (Gram, 1995).tc "Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu
sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta
dengan satu target mungkin merupakan pilihan utama, daripada satu OAE dengan
berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab multifokal, dapat diberikan
satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995)."

d) Politerapi

Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt


(1995) mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik
dan sedikit interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan
vigabatrin sebagai terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-

30
pasien tersebut sebelumnya sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat.
Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi frekuensi
bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.

Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam


farmakologi klinik, terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode
of action yang sama, karena itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena
efek sampingnya aditif (Goldsmith & de Biitencourt,1995).

Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan,


misalnya: valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter.
Dibandingkan dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang
berbeda dan lebih selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai
kombinasi spesifik. Selektif terapi kombinasi yang rasional, memerlukan
pertimbangan efek klinis OAE, efek samping, interaksi obat, kadar terapetik dan
kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi optimal dicapai dengan
menggunakan obat-obat yang:

(1) mempunyai mekanisme aksi berbeda;


(2) efek samping relatif ringan;
(3) indeks terapi lebar, dan
(4) interaksi obat terbatas atau negatif.

Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek
samping obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).

Fong (1995) mengatakan bahwa kombinasi obat hanya dipakai apabila


semua upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini
pertama tidak menolong, obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping
lebih kecil tetap diteruskan, sementara obat yang lain diganti dengan obat dari
kelompok lini kedua. Apabila obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan

31
untuk menarik obat pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan
apabila ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus
tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus epilepsi yang sulit
disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada kasus itu,
atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.

Terapi operatif

Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus
temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami
operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE.
Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi,
dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

Penghentian pengobatan

Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan


memulai pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya
menanyakan : berapa lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk
memutuskan apakah pengobatan dapat dihentikan atau belum, atau tidak dapat
dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan penderita/ orang tuanya tadi
memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis (termasuk serangannya)
dan prognosis epilepsy.

Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat


kekambuhan apabila OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah
adalah jenis serangan absence yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi
tingkat kekambuhannya adalah klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer,

32
parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan
epilepsy Jackson.

Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya
dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara
bertahap, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas
bahwa penghentian OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada
penderita atau orang tuanya harus diberikan pengertian secukupnya

2.10 KOMPLIKASI

kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress emosional. Pasien
mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti:

Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual

Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan pada
hippocampus, anomia ( ketidakmampuan untuk mengulang kata atau nama benda)

Kepribadian keras : agresif dan defensive

Komplikasi yang berhubungan dengan kejang tonik klonik meliputi:

Aspirasi atau muntah

Fraktur vertebra atau dislokasi bahu

Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit

Status epileptikus

Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis dimana kejang berulang tanpa
kembalinya kesadaran diantara kejang. Kondisi ini dapat berkembang pada setiap
tipe kejang tetapi yang paling sering adalah kejang tonik klonik. Status epileptikus
mungkin menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan mungkin
fatal. Komplikasi meliputi:

33
Aspirasi

Kardiakaritmia

Dehidrasi

Fraktur

Serangan jantung

Trauma kepala dan oral

Sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP) SUDEP terjadi pada sebagian kecil
orang dengan epilepsy . Dengan alasan yang sangat sulit untuk dimengerti, orang
sehat dengan epilepsy dapat meninggal secara mendadak. Ketika hal ini terjadi,
orang dengan epilepsy simtomatik memiliki risiko yang lebih tinggi.

Dari hasil autopsy tidak ditemukan penyebab fisik dari SUDEP. Hal ini mungkin
terjadi karena edem pulmo atau cardiac aritmia. Beberapa orang memiliki risiko
yang lebih tinggi dari yang lain seperti dewasa muda dengan kejang umum tonik
klonik yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya dengan pengobatan. Pasien yang
menggunakan dua atau lebih obat anti kejang mungkin memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk SUDEP.

2.11. PROGNOSIS

Ketika pasien telah berhasil bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini mungkin
untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur pasien dan tipe
epilepsy yang diderita. Hal ini dapat dilakukan dibawah pengawasan dokter yang
berpengalaman. Hampir seperempat pasien yang bebas kejang selama tiga tahun
akan tetap bebas kejang setelah menghentikan pengobatan yang dilakukan dengan
mengurangi dosis secara bertahap. Lebih dari setengah pasien anak-anak dengan
epilepsy dapat menghentikan pengobatan tanpa perkembangan pada kejang.

34
BAB III

PENUTUP

3.1.KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya


kejang berulang. Kejang terjadi ketika aktivitas listrik didalam otak tiba-tiba
terganggu. Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran,
emosi dan sensasi. Tidak semua kejang disebabkan oleh epilepsi. Kejang juga dapat
disebabkan oleh kondisi tertentu sepeti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala.
Ada banyak tipe kejang pada epilepsi, setiap tipe kejang digolongkan menurut
gejala yang terjadi. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang
umum, tergantung pada banyaknya area otak yang terpengaruh.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996

2. Epilepsi. Available at : http://www.medicastore.com/

3. S c o t t u s h I n t e r c o l l e g i a t e G u i d e l i n e s N e t w o r r k . D i a g n o
s i s a n d M a n a g e m e n t o f Epilepsy in Adults. 2003

4. WHO.Epilepsy.http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy/en/inde
x.html

36

Anda mungkin juga menyukai