I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan Asia-Pasifik merupakan suatu kawasan yang dua pertiga wilayahnya berpenduduk
miskin di dunia (UNESCO, 2010).Daerah ini menghadapi perubahan iklim yang dramatis dan
karena itu pengelolaan ekosistem hutan, pesisir dan laut oleh masyarakat sangat pentinguntuk
memastikan kelangsungan hidup ekosistem ini dan masyarakat yang tinggal di dalamnya,
yang termasuk manusia, hewan dan tumbuhan. Untuk menghadapi situasi tersebut,literasi
sains sangat dibutuhkan.Karena literasi sains sendiri kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam memahami serta menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.kompetensi
literasi sains sangat dibutuhkan oleh setiap individu dalam pengambilan keputusan baik
pribadi maupun sosial. Pendidikan sains merupakan elemen penting dalam pengembangan
sains dan kapasitas teknologi suatu negara atau wilayah (UNESCO & International Council
for Sains (ICSU), 2007). Sains telah diterima menjadi ilmu yang menarik dan inspiratif untuk
terus berkembangnya pengetahuan ilmiah dan juga untukpengetahuan masyarakat global.
Dunia global membutuhkan individu yang mampu mencipta, tidak hanya memakai penemuan
dari peneliti terdahulu.Sehingga siswa harus menjadi orang yang kreatif dan kritis dalam
pemecahan masalah tertentu. Hal inilah yang menjadi focus Negara-nagara di dunia termasuk
dikawasan Asia-Pasifik. Meskipun jelas bahwa ada perbedaan antara negara-negara saat ini,
di tengah pendidikan sains globalisasi harus didasarkan pada pemahaman terkini tentang
bagaimana orang belajar, khususnya bagaimana orang belajar sains untuk mengurangi
perbedaan dan membawa masyarakat belajar pengetahuan bahwa Akan mampu mengatasi
tantangan yang semakin meningkat untuk keberlanjutan jangka panjang. Untuk membahas
lebih dalam mengenai pendidikan sains di kawasan Asia-Pasifik maka makalah ini akan
menjelaskan mengenai hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
2
II. PEMBAHASAN
Asia-Pasifik adalah wilayah yang mencakup pesisir pantai Asia Timur, Asia
Tenggara dan Australasia di dekat Laut Pasifik, ditambah negara-negara di laut Pasifik
(Oceania). Istilah Asia-Pasifik menjadi dikenal pada sekitar tahun 1980-an sewaktu
pertumbuhan ekonomi pada wilayah heterogen ini dalam hal perdagangan saham,
perdagangan umum dan bentuk lain dari interaksi ekonomi dan politik menjadi topik
pembicaraan. Masuknya negara-negara di kawasan Oceania seperti Australia dan Selandia
Baru adalah berdasarkan relasi ekonomi di antara negara-negara tersebut dan mitra dagang
mereka di wilayah Asia Timur hingga ke utara.Dalam beberapa konteks, wilayah ini
dianggap pula mencakup negara-negara utama di kawasan Asia yang terletak di sekeliling
lingkar luar Pasifik yang membujur dari Oceania, hingga ke Rusia, dan turun ke bawah
sepanjang pantai barat Amerika (Wikipedia, 2016).
4
Keadaan pendidikan sains dikawasan Asia-Pasifik masih belum terlihat stabil dan
merata.Padahal pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam menghadapi isu
global saat ini, banyak factor yang menyebabkan terjadinya ketidakseragaman kualitas
5
Dalam laporan Program Inovasi Pendidikan untuk Pembangunan Asia (APEID) tahun 1991,
dilaporkan ada kekurangan dalam pendidikan sains di wilayah Asia Pasifik. Di antara kritik
tersebut, ilmu yang diajarkan di wilayah ini sempit dan hanya mempersiapkan siswa untuk
memasuki institusi pendidikan tinggi. Laporan tersebut menganjurkan bahwa, "Integrasi
pengetahuan teoretis dan penerapannya dengan keterampilan terkait merupakan inti
perubahan kualitatif pendidikan sains di tahap sekolah" (APEID, 1991). Dengan kata lain,
perubahan diusulkan di mana pendidikan sains di wilayah tersebut harus beralih dari
penghafalan pasif ke pembelajaran aktif.
Dalam mengukur tingkat keberhasilan pendidikan sains berbagai Negara, maka terdapat
survey evaluasi pendidikan yang diadakan secara global, sehingga setiap Negara memiliki
gambaran mengenai kualitas pendidikannya berdasarkan hasil survey tersebut.Terdapat
beberapa Negara yang berada di kawasan Asia-Pasifik mengikuti survey evaluasi tersebut
termasuk Indonesia.Program evaluasi yang diadakan seperti PISA, TIMSS dan PIRLS.
paling tinggi. Setiap level tersebut menunjukkan tingkat kompetensi yang harus
dicapai siswa (Johar, 2012).Pada PISA, skor memiliki enam tingkat. Level 1 (a dan b)
yaitu level terendah, memiliki skor yang lebih rendah antara 262 dan 335, level 2 atau
3 yang memiliki batas skor terendah masing-masing 407 dan 480. Level 4 dengan
batas skor yang lebih rendah dari 553, level 5 atau 6 dengan batas skor yang lebih
rendah dari 626 dan698 masing-masing. Berikut negara-negara kawasan Asia-Pasifik
yang mengikuti survey PISA:
Dalam PISA, aspek keaksaraan ilmiah mengukur pengetahuan ilmuwan siswa dan
juga bagaimana mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk memperoleh
pengetahuan baru, untuk menjelaskan masalah terkait sains dan teknologi, kesadaran
tentang bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan intelektual dan budaya
dan kemauan untuk terlibat dalam hal-hal yang berhubungan dengan sains (Martin et
al., 2008). Negara Singapura menempati urutan pertama baik dalam kawasan Asia-
Pasifik dan juga didunia, disusul olehdan Jepang di keurutan kedua dengan nilai skor
sains 538. Sebagian besar Negara kawasan Asia-Pasifik yang mengikuti evaluasi
PISA masuk dalam standar rata-rata yang ditetapkan OECD (skor 493), Negara yang
masuk dalam level rendah yakni Maldova, Thailand dan Indonesia.Lebih dari satu
dari empat siswa di Hong Kong (Cina), Singapura adalah siswa dengan prestasi
terbaik dalam bidang matematika, artinya mereka bisa menangani tugas yang
7
TIMSS bertujuanuntukmengetahuipeningkatanpembelajaranmatematikadansainsyang
diselenggarakansetiap 4 tahunsekali.Pertama kali diselenggarakanpadatahun 1995,
kemudianberturut-turutpadatahun 1999, 2003, 2007, 2011, dan yang baru saja
dilaksanakan pada tahun 2015.TIMSS dilakukan dalam rangka membandingkan
prestasi Matematika dan Sains siswa kelas 8 dan kelas 4 di beberapa negara di
dunia.Berdasarkan hasil studi TIMSS Singapura menduduki peringkat pertama baik di
kawasan Asia-Pasifik maupun dunia dengan skor 590.
Pada survey TIMSS siswa dituntut mampu menerapkan pengetahuan dan pemahaman
tentang proses dan hubungan ilmiah dalam memulai penyelidikan ilmiah. Tolok ukur
internasional yang tinggi ditetapkan pada angka 550. Antara skor 476 dan 550 itu
8
Terlepas dari perubahan positif dalam pendidikan sains yang dapat dikaitkan dengan TIMSS
dan PISA, bagaimanapun harus diperhatikan bahwa selalu ada kritik atas survey yang
diadakan ini.Misalnya, sehubungan dengan PISA yang menyatakan bahwa literasi sains
merupakan konstruksi yang tidak jelas dan oleh karena itu sulit untuk memiliki ukuran
standar untuk dibandingkan (Champagne, 2009). Kritik yang sama dinyatakan untuk TIMSS
dimana sampel dari berbagai negara mungkin tidak sebanding di tingkat usia dan kelas,
sebagai contoh di Amerika Serikat, usia rata-rata adalah 18,1; Islandia 21,2; Austria 19,1;
Republik Ceko 17,8 dan seterusnya (Education and Practice, 2010). Kritik lainnya meliputi:
PISA menilai jumlah yang sangat terbatas dari apa yang sebenarnya
diajarkan di sekolah;
PISA hanya mampu mengadopsi desain cross-sectional;
PISA mengabaikan peran dan kontribusi guru (Mortimore, 2009).
Sehubungan dengan hasil di atas, laporan UNESCO (2010) mengatakan bahwa beberapa
negaradi Asia-Pasifik mengalami penurunan jumlah pendaftaran pada universitas untuk mata
pelajaran sains dan teknologi. Menghadapi tantangan untuk memastikan pembangunan
berkelanjutan, negara-negara harus memiliki rencana untuk membangun fondasi yang kuat
berdasarkan kapasitas sumber daya manusia untuk sains dan teknologi. Faktanya bahwa
literasi sains harusditanamkan sejak dinimelalui pendidikan sains yang berkualitas (ICSU,
2011). Untuk membahas hal ini secara lebih mendalam, lima negara kawasan Asia-Pasifik
dijadikan untuk perbandingan (yaitu, Australia, Malaysia, Singapura, Indonesia dan
Thailand). Negara-negara ini dipilih berdasarkan kedekatan geografis satu sama lain. Hasil
TIMSS dan PISA di atas menunjukkan bahwa status prestasi belajar sains di Malaysia,
Thailand dan Indonesia berada pada tingkat yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
9
Singapura dan Australia. Pada Tabel 3.Ikhtisar negara-negara terpilih dari Knowledge
Economy and Knowledge Index (KEI & KI) ditunjukkan dalam kaitannya dengan kualitas
pendidikan sains serta keseluruhan inovasi,pendidikan dan ICT
Tabel 3. KEI Index, KI Index dan Kualitas Pendidikan Sains & Matematika
QualityofScienceand
Country KEI KI Innovation Education ICT MathematicsEducation
Singapore 8.26 7.79 9.49 5.09 8.78 10.00
Australia 8.88 8.98 8.92 9.71 8.32 8.47
Thailand 5.21 5.25 5.95 4.22 5.55 5.95
Malaysia 6.10 6.25 6.91 5.22 6.61 7.86
Indonesia 3.11 2.99 3.24 3.20 2.52 6.87
Indeks KEI merupakan lingkungan kondusif untuk pengetahuan yang akan digunakan secara
efektif untuk pembangunan ekonomi. Indeks KEI dihitung sebagai rata-rata skor normal dari
empat pilar, insentif ekonomi, inovasi, pendidikan dan ICT.Indeks KI dihitung sebagai rata-
rata skor normal untuk tiga pilar yang merupakan inovasi, pendidikan dan ICT dan mengukur
kemampuan suatu negara untuk menghasilkan, mengadopsi, dan menyebarkan
pengetahuan.Nilai inovasi adalah rata-rata skor normal untuk aplikasi paten dan jurnal ilmiah
dan teknis.Nilai pendidikan menunjukkan rata-rata skor normal untuk literasi orang dewasa
serta pendaftaran sekunder dan tersier.Nilai ICT mengacu pada rata-rata skor normal untuk
tiga variabel utama, yaitu telepon, komputer dan internet per 1000 orang (World Bank,
2012).Seperti yang sudah terlihat, Singapura menghasilkan nilai tertinggi untuk kualitas
pendidikan sains dan matematika dan inovasi dan ICT, walaupun Australia menghasilkan
angka yang lebih tinggi untuk indeks pendidikan dan KI.
Minat sains harus dirangsang melalui pengenalan lingkungan dan belajar-mengajar yang
inovatif dan dinamis (World Science Forum, 2003). Tabel 4 memberikan ringkasan deskripsi
dari penelitian tentang bagaimana guru sains mengajarkan sains, faktor pembatas dan strategi
yang dicoba untuk membantu guru sains mengajar dengan lebih baik.
Status and Quality tahun 11 dan 12 Science in Australian Schools (Goodrum, Druhan, &
Abbs, 2011), menyimpulkan bahwa jumlah siswa yang belajar sains semakin sedikit. Di
kelas, 73% siswa sains menunjukkan bahwa mereka menyalin catatan guru disetiap pelajaran,
dan 65% siswa menunjukkan bahwa mereka tidak pernah atau jarang diberikan pilihan untuk
10
mengejar bidang minat. Sebanyak 79% siswa menyatakan bahwa demonstrasi dilakukan
sangat sering oleh para guru dan praktek sains terutama dilakukan dalam format "berdasarkan
resep" dimana siswa mengikuti instruksi khusus untuk mencapai hasil yang diketahui.Pada
tahun 2006, Venthan menyimpulkan bahwa kelas sains di Singapura berpusat pada guru,
berbasis teks dan berorientasi pada konten, dimana guru paling sering melakukan monolog
dan suara guru adalah suara dominan yang didengar dalam pelajaran sains. Sebuah studi
kemudian menunjukkan bahwa situasi ini berubah di kelas sains di Singapura, di mana
metode berpusat pada guru telah digantikan oleh pendekatan pedagogi yang lebih progresif
(Lim & Pyvis, 2012).
Indonesia di satu sisi membutuhkan sumber daya manusia yang terlatih untuk mengelola
semua sumber daya alam yang kaya dan banyak ditemukan di negara ini. Indonesia mengakui
fakta bahwa kualitas pendidikan matematika dan sains Indonesia perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan teknologi untuk dapat
mengelola/memproses sumber daya alam yang melimpah untuk kehidupan yang lebih bai
(Hendayana, Supriatna, & Imansyah, 2010). Laporan tahun 2010 ini tidak terlalu berbeda
dengan penelitian sebelumnya yang ditunjukkan pada Tabel 4. Apa yang ditunjukkan oleh
laporan ini adalah bahwa pelatihan guru sains penting dan harus ditekankan lebih jauh, yang
pada gilirannya akan mempengaruhi proses belajar mengajar sains secara aktual di ruang
kelas.
Sains merupakan kegiatan intelektual yang praktis.Pengetahuan ilmiah selalu bergeser seiring
dengan perubahan sosial dunia.Sejarah telah menunjukkan bahwa walaupun esensi penemuan
ilmiah dimulai dari individu itu sendiri, namun pengetahuan baru tetap harus dibagikan dalam
komunitas praktik ilmiah yang dengannya pengetahuan baru harus diverifikasi melalui
konsensus dan dianggap dapat diterima (Learning Space, 2012). Proses ilmiah yang
berlangsung selama berabad-abad ketika masih tahap embrio mencerminkan pengetahuan
masyarakat yang terus berkembang, misalnya teori alam semesta yang bersifat heliosentris
yang dikemukakan oleh Copernicus (1473 - 1543) dipelajari lebih jauh dan diamati oleh
manusia seperti Galileo (1564 - 1642) melalui penemuan baru yaitu teleskop.
Kuhn (1972) mengedepankan teori revolusi ilmiahnya yang berlandaskan historis karena
memiliki lima tahap yang berbeda yaitu:
1. Sains yang belum matang
2. Ilmu pengetahuan normal (dewasa) yang menganut paradigma
3. Penumpukan anomali yang tidak dapat dilakukan ditafsirkan dalam
paradigma asli yang menciptakan krisis
4. Sebuah revolusi yang dibawa oleh kelompok-kelompok di dalam
komunitas ilmiah yang mendukung berbagai paradigma alternatif, dan
5. Reformasi masyarakat sebagai paradigma baru menjadi norma yang dapat
diterima (MacIssac, 1991).
Ketika model Kuhn dibandingkan dengan teori epistemologi genetik Jean Piaget, yang
banyak diterapkan dalam pendidikan sains, ada banyak kesamaan bagaimana pengetahuan
ilmiah dikembangkan saat seseorang belajar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1
(MacIssac, 1991).
12
Operasional Perkembangan
Sains
Skema Paradigma
Epitemologi Teori
Genetik Asimilasi Sains Normal Kuhnian
Piaget
Disekuilibrium Krisis
Akomodasi Sains
Revolusioner
Pertama, guru sains harus kreatif dalam merancang pemahaman siswa.Pemahaman siswa
dapat timbul dengan memberikan stimulus yangbersumber dari media ICT.Media ICT dapat
dengan mudah berasimilasi dan diakomodasi secara terus menerus.Tentu saja, guru harus
menggunakan sumber daya ini secara interaktif dan tidak dalam pendekatan yang berpusat
pada guru.
13
Kedua, guru sains harus memastikan bahwa siswa mereka memiliki kesempatan untuk
melakukannya.Melakukan brainstorming dalam sebuah komunitas untuk berdiskusi
mengenai makna dan temuan ilmiah dengan bantuan berbagai media sosial/platform
ICT.Mahasiswa jurusansains saat ini, bersama dengan guru mereka dapat mendiskusikan
makna dan interpretasi sains yang mereka pelajari. Guru sains sendiri harus menyadari bahwa
dalam pengetahuan masyarakat pengetahuan pedagogi berupa ide-ide harus dibagikan untuk
mendorong inovasi dan kreativitas. Melalui infrastruktur ICT yang canggih, praktik
komunitas dapat dipasang dan diskusi online dapat dimulai karena gagasan dikomunikasikan
dengan cepat namun bermakna.
Diskusi yang dilakukan baik melalui tatap muka atau online secara sinkron atau asinkron
(lokal maupun internasional) dapat membantu guru sains untuk meningkatkan pengetahuan
pedagogis, konten dan teknologi mereka sehubungan dengan pendidikan sains. Argumen dan
negosiasi antar guru sains dapat memperbaiki gaya mengajar mereka. Mahasiswa sains juga
dapat berbagi dan memperdebatkan gagasan dan pemahaman di dalam komunitas siswa lokal
dan internasional sehingga dapat meningkatkan literasi sains yang diperlukan dalam
pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, program pelatihan in-service atau pre-service
untuk guru sains juga harus meningkatkan pehamaman tentang teknologi dan pengalaman
pedagogis serta pengetahuan filosofis antara guru dan siswa yang terlibat dalam menciptakan
pelajaran sains untuk masa depan (Daniel, 2010 ).
Saat ini pengetahuan ilmiah memainkan peran penting dalam struktur masyarakat
modern.Sosiologi sains dalam pendidikan sains saat ini penting untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat (Thorlindsson & Vilhjalmsson, 2003).Tujuan akhir dalam sebuah
pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan pendidikan sains adalah untuk mengajar
masyarakat terhadap pembelajaran mandiri dan pendidikan mandiri (World Science Forum,
2003).
14
III. SIMPULAN
1. Wilayah Asia-Pasifik yakni wilayah yang mencakup pesisir pantai Asia Timur, Asia
Tenggara dan Australasia di dekat Laut Pasifik, ditambah negara-negara di laut
Pasifik (Oceania) yang terdiri dari lebih kurang 54 negara.
2. Dalam semua survey yang dilakukan Negara Singapura merupakan Negara yang
memiliki skor tertinggi baik dalam kawasan Asia-Pasifik maupun dunia.
3. Proses pembelajaran yang rata-rata yang terjadi di Negara berkembang kawasan Asia-
Pasifik, masih belum sepenuhnya mengedepankan student centered, hanya Negara
maju yang sudah menggunakan pendekatan student centered sepenuhnya dalam
pembelajaran.
4. Pendidikan sains sangat berkaitan dengan kehidupan sosial, karena pada dasarnya
pendidikan sains nantinya akan mempersiapkan siswa masuk dalam lingkup sosial
15
DAFTAR PUSTAKA
APEID Report. (1991). Education for the 21st Century: Asia Pacic perspectives. Bangkok:
UNESCO.
Daniel, E. G. S. (2010). To escape the nishing the biology syllabus syndrome: An action
research exploratory study in explicit modelling for Malaysian biology. Systemic
Practice and Action Research.
Goodrum, D., Druhan, A., & Abbs, J. (2011).The status and quality of year 11 and 12 science
in Australian schools.Canberra: Australian Academy of Science.
Hendayana, S., Supriatna, A., & Imansyah, H. (2010). Indonesias issues and challenges on
quality improvement of mathematics and science education. Paper presented at the
Africa-Asia University Dialogue for Educational Development: Efforts towards
improving the quality of education. Diunduh dari http://aadcice.hiroshima-
u.ac.jp/e/reseach/paper_no4-1.pdf.
ICSU.(2011). Report of the ICSU ad-hoc review panel on science education. Paris:
International Council for Science.
Johar, Rahmah. 2012. Domain Soal PISA Untuk Literasi Matematika. Unsyiah. Banda Aceh
Kim, G.-J. (2010). Welcome remarks in the KEDI-UNESCO Bangkok joint seminar. Seoul,
Republic of Korea.
Lim, P., & Pyvis, D. (2012). How Singapore junior college science teachers address
curriculum reforms: A theory. Issues In Educational Research, 22(2), 127148.
16
Martin, M. O., Mullis, I. V. S., Foy, P., Olson, J. F., Erberber, E., Preuschoff, C., & Galia, J.
(2008). TIMSS 2007 international science report. Chestnut Hill, MA: TIMSS &
PIRLS International Study Center, Boston College
OECD. 2016. PISA 2015 Results in Focus. OECD Publishing. Diunduh dari
www.oecd.org/pisa.
Thorlindsson, T., & Vilhjalmsson, R. (2003). Introduction to the special issue: Science,
knowledge and society. Acta Sociologica, 46(20), 99105.
UNESCO Jakarta Report. (2010). The regional bureaus science support strategy 2010
2013: Meeting societys needs with science based solutions. Jakarta: UNESCO
House.
UNESCO & ICSU Report. (2007). Academies of sciences and the transition to knowledge
societies: Challenges and perspectives for the academies of Eastern and South-
Eastern Europe. Trieste, Italy: Stella srl.
Watson, K. (2012). South east Asia and comparative studies. Journal of International and
Comparative Education, 1(1), 3139.
Wikipedia.(2016).Asia-Pasifik.
https://id.wikipedia.org/wiki/Asia-Pasifik. diakses pada tanggal 09 Mei 2017 pukul
00:36 WIB.
World Bank. (2010). The world bank annunal report 2010: Year in review.Diunduh dari
http://siteresources.worldbank.org/EXTANNREP2010/Resources/WorldBankAnnual
Report2010.pdf
World Science Forum. (2003). Knowledge based society. Diunduh dari http://
www.sciforum.hu/previous-fora/2003/permanent-update/knowledge-based-
society.html.
Yuenyong, C., & Narjaikaew, P. (2009). Scientic literacy and Thailand science education.
International Journal of Environmental & Science Education, 4(3), 335349.