Anda di halaman 1dari 7

1

TATALAKSANA TERKINI SINDROMA KORONER AKUT:


FOKUS PADA INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI SEGMENT ST

Muhammad Yamin

Divisi Kardiologi/Pelayanan Jantung Terpadu, Departemen


Ilmu Penyakit Dalam FKUI/Rumahsakit Pendidikan Dr Cipto Mangunkusumo
Jakarta

KASUS

Seorang laki-laki usia 49 tahun berprofesi sebagai pengusaha masuk ke UGD


dengan keluhan utama nyeri dada tengah dan lemas sejak 3 jam yang lalu. Nyeri dada
berlangsung > 30 menit, menjalar ke punggung dan lengan kiri, disertai keringat dingin
dan muntah. Beliau adalah seorang penderita hipertensi yang tidak teratur minum obat
dan seorang perokok berat. Saat tiba di UGD keadaan umum terlihat sangat lemah,
tekanan darah 80/55 mmHg, nadi 123 kali per menit, teratur, dan halus, akral dingin.
Pemeriksaan fisik lain suara jantung terdengar melemah. Rekaman EKG memperlihatkan
irama sinus takikardia dengan elevasi segment ST di sandapan II/III/aVF. Pemeriksaan
petanda jantung dalam batas normal. Apa yang harus dilakukan pada pasien ini ?

I. Pendahuluan

Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah suatu kumpulan gejala berupa nyeri dada
angina ( bisa juga dalam bentuk chest dyscomfort atau angina equivalent) yang
disertai perubahan EKG (elevasi segment ST atau depresi segment ST atau inversi
gelombang T yang jelas) dan atau peningkatan petanda jantung (cardiac
biomarkers) seperti troponin. Secara umum SKA dikelompokkan menjadi Angina
Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard Tanpa Elevasi Segment ST (Non-ST
Elevation Myocardial Infarction), dan Infark Miokard dengan Elevasi Segment ST
(ST Elevation Myocardial Infarction). Di Amerika Serikat sekitar 1,5 juta pasien
dirawat karena SKA tiap tahunnya. Kebanyakan pasien dapat mengalami
Kematian Jantung Mendadak (KJM) akibat SKA.

Diagnosis, tatalaksana, dan pengobatan SKA telah berkembang pesat belakangan


ini sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik dan mendalam agar
morbiditas dan mortalitas akibat SKA dapat ditekan. Peran dokter keluarga,
dokter UGD, maupun dokter lainnya sangat penting sebagai lini terdepan untuk
mencegah keterlambatan dalam penanganan penderita SKA.

Pada tulisan ini akan diuraikan patofisiologi, diagnosis, dan tatalaksana terkini
SKA dengan ST Elevasi (ST Elevation Myocardial Infarction) dengan penekanan
utama pada diagnosis dini dan terapi awal yang optimal.
2

II. Patofisiologi SKA

Proses awal yang mendasari SKA adalah aterosklerosis yaitu suatu penyakit
sistemik yang melibatkan tunika intima pembuluh darah besar dan sedang seperti
aorta, arteri karotis, dan arteri koronaria. Proses aterosklerosis yang paling awal
dimulai oleh gangguan fungsi (disfungsi) endotel pembuluh darah. Proses ini
berlanjut menjadi proses imflamasi sehingga terbentuk plak aterosklerotik.
Kecepatan pembentukan plak ini ditentukan oleh faktor risiko seperti diabetes,
hipertensi, dislipidemia, dan merokok. Kedaan ini akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan antara pasokan darah koroner dengan kebutuhan oksigen
miokard (iskemia). Bila plak aterosklerotik mengalami disrupsi atau sobek
(plaque rupture) maka akan terjadi proses trombosis mendadak dengan akibat
terjadi penurunan pasokan aliran miokard secara tiba-tiba. Trombosis dapat
menutup sebagian pembuluh koroner (secara klinis dikenal sebagai APTS dan
NSTEMI) atau menyumbat total ( secara klinis dikenal sebagai infark miokard
dengan Elevasi Segment ST, STEMI). Spasme atau vasokonstriksi dan embolisasi
trombus kecil ke arah distal memberikan konstribusi terhadap proses oklusi total.
Proses tersebut secara ringkas dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Proses aterosklerosis. Gambar no 1 menunjukkan kedaan


Arteri normal. Pada gambar no 2 mulai terjadi penumpukan
lipid ekstraseluler ke dalam intima. Gambar no 3 terbentuk plak
fibrotik dan gambar 4 terjadi progessivitas plak. Gambar 5 menun
jukkan terjadinya ruptur plak dengan trombosis. Trombus dapat
mengalami resorbpsi dan pemulihan plak oleh sel otot polos

Pada STEMI akan terjadi jejas (injury) transmural yang semakin meluas dengan
berjalannya waktu. Umumnya bila dalam 4 jam tidak dilakukan reperfusi
(memperbaiki kembali aliran koroner) maka 50% otot jantung akan mati (nekrosis).
3

III. Gambaran Klinis dan Diagnosis

Infark Miokard Akut (IMA) adalah nyeri dada iskemik yang disertai elevasi
segment ST yang menetap pada EKG (STEMI). Mayoritas pasien IMA disertai
kenaikan petanda jantung (cardiac biomarkers) seperti troponin dan CK-MB dan
terjadi pembentukan gelombang Q patologis pada EKG. Gambaran klinis yang
khas adalah nyeri dada atau rasa tidak enak di dada yang berlangsung sekitar 10-
20 menit. Lokasi nyeri bisa juga di epigastrik atau skapula. Petunjuk penting
lainnya adalah adanya penjalaran ke rahang bawah atau lengan kiri dan ada
riwayat penyakit jantung koroner. Pada orangtua dan penderita diabetes maka
gejala menjadi tidak spesifik (sesak, lemas, dan pusing).

Rekaman EKG harus dibuat sesegera mungkin. Pada keadaan awal EKG bisa tidak
spesifik sehingga perlu diulang lagi dan dibandingkan dengan rekaman
sebelumnya. Adanya gambaran Blok Berkas Cabang Kiri baru (new left bundle
branch block) adalah termasuk gambaran STEMI. Pada keadaan khusus perlu
dibuat rekaman EKG posterior (lead V7-V9) atau sandapan kanan (V3R-V4R).

Pemeriksaan darah untuk petanda jantung (cardiac biomarkers) harus dilakukan


sesegera mungkin walaupun pemberian terapi reperfusi tidak perlu menunggu
hasil darah. Pemeriksaan echokardiografi (ultrasound jantung) bermanfaat bila
diagnosis STEMI tidak pasti dan untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lain
seperti perikarditis, diseksi aorta, emboli paru, dan effusi perikard.

Pada tahap diagnosis kecepatan adalah sangat penting. Tim UGD mulai dari
bagian pendaftaran, perawat, dan dokter jaga harus memprioritaskan perhatian
dan pemeriksaan pada pasien yang dicurigai nyeri dada iskemik.

IV. Tatalaksana

Untuk kasus dengan gambaran kilinis STEMI dengan mula terjadi (onset) < 12 jam
dan pada EKG terlihat ST elevasi persisten atau diduga ada LBBB baru maka harus
segera dilakukan reperfusi baik mekanik maupun farmakologik. Reperfusi
mekanik dengan percutaneous coronary translumnal angioplasty (PTCA) adalah
terapi pilihan bila sarana memungkinkan.

Sebelum terapi reperfusi, terapi awal yang diberikan adalah penghilang nyeri
(analgetik) golongan opiates seperti morphine (IV 4-8 mg dengan dosis tambahan
2 mg setiap 15 menit). Ini penting untuk menghilangkan nyeri dan menenangkan
pasie karena bila pasien kesakitan dan cemas maka akan terjadi takikardia yang
dapat meningkatkan beban kerja jantung. Terapi awal lain adalah pemberian
oksigen.
4

A. Reperfusi Farmakologik

Diberikan pada pasien STEMI yang tidak mungkin atau tidak ada fasilitas
untuk reperfusi mekanik (primary PTCA). Obat-obat trombolitik yang dapat
diberikan :

1. Streptokinase : 1,5 juta unit intravena dalam 30-60 menit


2. Alteplase (t-PA): 15 mg bolus intravena dan dilanjutkan o,75 mg/kgBB
dalam 30 menit, lalu 0,5 mg/kgBB dalam 60 menit

Kontraindikasi absolut pemberian trombolitik adalah stroke hemoragik, stroke


iskemik dalam 6 bulan terakhir, neoplasma dan trauma intrakranial, operasi
besar dalam 3 bulan terakhir, riwayat perdarahn lambung dalam 1 bulan
terkahir, diseksi aorta, dan gangguan koagulasi. Sedangkan kontraindikasi
relatif adalah terapi oral antikoagulan, TIA dalam 6 bulan terakhir, kehamilan
atau post partum 1 minggu, hipertensi refrakter (TD sistolik >180 mmHg,
diastolik > 110 mmHg), dan endokarditis infektif.

B. Reperfusi Mekanik

Reperfusi mekanik dengan PTCA lebih unggul dalam keberhasilan


melnacarkan kembali aliran koroner dibandingkan dengan reperfusi
farmakologik. Ada tiga jenis reperfusi mekanik:

1. PTCA primer
Pelebaran arteri koroner dgn PTCA pada STEMI dengan mula terjadi < 12
jam dengan rentang waktu antara pasien datang ke rumahsakit sampai
balon koroner dikembangkan (door to balloon time) < 2 jam. Biasanya
diindikasikan pada pasien dengan renjatan (syok) atau kontraindikasi
terhadap trombolitik.

2. Rescue PTCA
Bila trombolitik gagal pada pasien dengan infark luas dan onset < 12 jam.
Parameter klinik kegagalan trombolitik adalah turunnya elevasi segment
ST <50% dalam 60-90 menit pasca pemberian trombolitik.

3. Facilitated PTCA

Untuk mengurangi efek keterlambatan tindakan PTCA, diberikan


trombolitik dosis penuh sebelum dilakukan PTCA terencana.

C. Antiplatelet
5

Pemberian terapi antiplatelet dikelompokkan dalam tiga kategori sebagai


berikut:

1. Bila dilakukan PTCA Primer

a. Aspirin oral dengan dosis 150-325 mg


b. Clopidogrel dosis pembebanan (loading dose) 300-600 mg
c. GPIIb/IIIa inhibitor (abciximab)

2. Bila diberikan trombolitik


a. Aspirin oral dosis 150-325 mg
b. Clopidogrel 300 mg bila usia < 75 thn dan 75 mg bila usia > 75 thn

3. Bila tidak diberikan trombolitik


a. Aspirin oral dgn dosis 150-325 mg
b. Clopidogrel oral 75 mg

D. Antikoagulan (Antitrombin)

1. Bila dilakukan PTCA Primer

Diberikan heparin bolus 100 UI/kgBB dan selama tindakan ACT


dipertahankan sekitar 250-300. Bivalirudin diberikan bolus 0,75 mg kgBB
intravena dan diteruskan infus 0,75 mg/KgBB/jam.

2. Bila diberikan trombolitik


a. Enoxaparin
Bila usia <75 thn dan kreatinin < 2,5 mg/dL maka diberikan bolus
ntravena 30 mg dan dilanjukan 1 mg/kgBB per 12 jam. Bila usia di atas
75 thn dan CCT < 30 ml maka dosis bolus 0,75 mg/kgBB dan dosis
pemeliharaan diberikan satu kali sehari.

b. Heparin
Bolus 60 UI/kgBB dengan dosis maksimum 4000UI dan diikuti dengan
infus drip 12 UI/kgBB maksimum 1000 UI/jam diteruskan selama 24-
48 jam.

c. Fondaparinux
6

Diberikan 2,5 mg bolus intravena dan diikuti dosis pemeliharaan 2,5


mg per hari selama 8 hari.

3. Bila tidak diberikan trombolitik

Semua obat antikoagulan dosisnya sama seperti jika diberikan trombolitik

Obat-obat tambahan lain yang harus diberikan untuk mencegah remodelling


ventrikel dan serangan ulang antara lain adalah ACE inhibitors, Angiotensin receptor
blockers, beta blockers, antikolesterol, dan antidiabetes. Pengendalian faktor risiko
juga amat penting untuk ditangani secara baik

V. Kesimpulan

SKA, termasuk STEMI, adalah suatu penyakit yang masih menjadi masalah
dengan angka kematian yang tinggi. Untuk itu diperlukan kemampuan diagnosis
yang cepat dan tepat agar tidak terjadi keterlambatan dalam pemberian terapi.
Peran dokter UGD, perawat jaga, dan dokter keluarga dalam hal ini sangat
penting. Tatalaksana awal yang vital adalah terapi reperfusi baik farmakologik
maupun mekanik. Umumnya reperfusi farmakologik lebih terpilih karena relatif
mura, mudah dilaksanakan, dan tersedia di banyak tempat. Sedangkan reperfusi
mekanik dengan PTCA masih terbatas karena mahal, memerlukan tenaga
terampil, dan adanya keterbatasan kecepatan waktu pasien datang sampai
dilakukan tindakan pembalonan (door to balloon time). Obat-obat lain yang harus
diberikan adalah antiplatelet, antioagulan, ACE inhibitor dan ARB, beta blocker,
dan obat antilipid. Yang juga penting adalah modifikasi faktor risiko lainnya.

Daftar Kepustakaan:

1. Gluckman TJ, Sachdev M, Schulman SP, Blumenthal BS. A simplified approach to the
management of non-ST-segment elevation acute coronary syndromes. JAMA
2005;293:349-357.
7

2. Van de Warf F, Bax J, Betriu A, Lundqvist CB, et al. Management of acute myocardial
infarction in patients with presenting ST-segment elevation. The task force on
management of ST-elevation acute myocardial infarction of the European Society of
Cardiology. Eur H J 2008;29:2909-45.
3. Gitt AK, Betriu A. Antiplatelet therapy in acute coronary sydromes. Eur H J (Suppl)
2008;10:A4-A12.
4. Mehta RH, Roe MT, Chen AY, Lytle BL, Pollack CV, et al. Recent trends in the care of
patients with non-ST-segemnt elevation acute coronary syndromes. Arch Int Med.
2006;166:2027-34
5. Thygesen K, Alpert JS, White HD. Universal definition of acute myocardial infarction.J
Am Col Cardiol 2007;50:2173-95.

Anda mungkin juga menyukai