2, Oktober 2011
HASIL HUTAN
Vol. 17 No. 2, Oktober 2011
DAFTAR ISI
iii
Forest Products Bulletin
ISSN 1979-6080 Vol. 17 No. 2, Oktober 2011
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya
ABSTRAK
UDC (OSDC) 630*892.2 (594.71) Kata kunci: Proses pemutihan, pulp kimia, sistim tertutup,
Sentot Adi Sasmuko (Balai Penelitian Kehutanan Mataram) air proses, limbah buangan pemutihan, daur
Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu ulang bahan kimia pemutih, dampak, lingkungan
Unggulan Lokal Nusa Tenggara Barat
BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2,
hal. 71 - 79. UDC (OSDC) 630*812
Tanaman songga (Strychnos ligustrina) yang banyak Susan Trida Salosa (Balai Penelitian Kehutanan Manokwari).
tumbuh di Kabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Sifat Fisik Kayu Cempaka(elmerilia Papuana Dandy) Sebagai
Barat merupakan komoditi hasil hutan bukan yang potensial Kayu Andalan Papua
untuk dikembangkan menjadi salah satu unggulan daerah. BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2,
Masyarakat lokal secara arif hanya memanfaatkan buah hal. 94 - 110.
songga untuk membantu pengobatan penyakit malaria,
demam, sakit gigi, atau untuk meningkatkan stamina tubuh. Kadar air Cempaka pada kondisi segar dan kering udara
Potensi dan pengusahaan tanaman songga pada saat ini telah rata-rata 124.37% dan 14.36%. Rata-rata berat jenis untuk
mengalami penurunan, pada hal pedagang dan konsumen kondisi segar, kering udara dan kering oven yaitu 0.37; 0.42;
masih membutuhkan. Oleh karena itu, kendala-kendala yang 0.41. Penyusutan volumetrik pada kondisi kering udara rata-
ada perlu segera diantisipasi agar pengelolaan tanaman songga rata 4.48% dan kering oven rata-rata 7.30%. T/R ratio pada
dapat berjalan lebih baik untuk membantu meningkatkan kondisi kering udara 1.37 dan kering oven 1.39.
pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pengembangan
daerah. Kata kunci: Cempaka (Elmerilia papuana Dandy), kadar air,
Kata kunci: Songga, potensi,unggulan spesifik, tanaman berat jenis dan penyusutan
obat, pengembangan
v
UDC (OSDC) 630*832.2 UDC (OSDC) 630*899
Nuryawan, A (Universitas Sumatera Utara) & O. Rachman Sentot Adi Sasmuko (Balai Penelitian Kehutanan Mataram)
Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit Pakoba: HHBK Potensial Lokal Spesifik Sulawesi Utara
BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2,
hal. 124 - 135. hal. 142 - 149.
Penelitian ini menguraikan mengenai penggunaan limbah batang Tanaman songga (Strychnos ligustrina) yang banyak tumbuh di
kelapa sawit sebagai bahan baku kayu lapis. Tulisan ini bertujuan Kabupaten Dompu dan Bima, Nusa Tenggara Barat merupakan
memberi informasi ilmiah tentang limbah batang sawit yang telah komoditi hasil hutan bukan yang potensial untuk dikembangkan
dimanfaatkan dan diusahakan secara komersial oleh satu perusahaan di menjadi salah satu unggulan daerah. Masyarakat lokal secara arif hanya
Sumatera Utara menjadi kayu lapis yang dikembalikan oleh konsumen. memanfaatkan buah songga untuk membantu pengobatan penyakit
Metode yang dilakukan adalah wawancara dengan manajer operasional malaria, demam, sakit gigi, atau untuk meningkatkan stamina tubuh.
industri, studi pustaka, dan membandingkan produk kayu lapis tersebut Potensi dan pengusahaan tanaman songga pada saat ini telah mengalami
dengan yang ada di pasaran kota Medan yang dibeli dari satu panglong penurunan, pada hal pedagang dan konsumen masih membutuhkan.
(toko kayu dan bahan bangunan). Hasil penelitian menunjukkan kayu Oleh karena itu, kendala-kendala yang ada perlu segera diantisipasi agar
lapis hybrid yang tersusun atas venir-venir dari batang sawit dan kayu pengelolaan tanaman songga dapat berjalan lebih baik untuk membantu
sembarang dari segi keragaan masih memenuhi kelayakan sebuah meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pengembangan
produk kayu lapis namun perlu mendapat perhatian pemberian bahan daerah.
pengawet kayu sehingga tidak terserang bubuk atau organisme perusak
Kata kunci: Songga, potensi,unggulan spesifik, tanaman obat,
kayu. Saran untuk industri masih diperlukan suatu penelitian jangka
pengembangan
waktu keawetan kayu lapis hybrid setelah diberi bahan pengawet asam
borat (H3BO3). Pemberian jenis bahan pengawet lainpun perlu
dicobakan. UDC (OSDC) 630*652.9 (594.48)
Zakaria Basari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kata kunci: Limbah batang kelapa sawit, bahan baku, kayu lapis Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan)
hybrid, organisme perusak kayu, asam borat
Analisis Kerusakan Hutan Akibat Perladangan Liar di Kawasan Hutan
Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Rejang Lebong Provinsi
Bengkulu
UDC (OSDC) 630*284.9 BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2,
S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro & Siswo hal. 150 - 159.
Produksi Getah Tusam pada berbagai Ukuran dan Jumlah Kowakan
Tulisan ini memberikan informasi tentang kerusakan hutan
BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2, akibat perladangan liar di kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat.
hal. 136 - 141. Pengamatan dilaksanakan di Desa Ktenong 1, Ktenong 2, Kabupaten
Salah satu persoalan dalam penyadapan getah pinus adalah Rejang Lebong Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
rendahnya produktifitas getah per pohon dan teknik penyadapan yang kerusakan hutan akibat perladangan liar di desa Ktenong 1, dan
cenderung merusak pohon. Peluang pohon akan mati, roboh, sakit dan Ketenong 2 masing-masing 4 Ha dan 5,6 Ha. Volume kayu yang hilang
3 3
rusak makin besar apabila dalam dan jumlah kowakan yang dibuat dari masing-masing desa tersebut rata-rata 232,96 m dan 436,9 m atau
3
penyadap tidak sesuai dengan standar. rata-rata 69,77 m /Ha.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan koakan optimal meliputi Kata kunci: Hutan, pohon, kerusakan hutan.
lebar, dalam dan jumlah kowakan sehingga produksi maksimal dan
kesehatan pohon terjaga. Perlakuan lebar kowakan (4 cm, 6 cm, 8 cm, 10
UDC (OSDC) 630*307
cm, 12 cm), kedalaman kowakan 2 cm dan 4 cm, dan jumlah kowakan
Wesman Endom (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
1 dan 2. Sampel digunakan dalam penelitian ini 63 pohon, data yang
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan)
diperoleh dianalisis dengan rancangan acak lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah dan lebar kowakan Penelitian Awal Teknis Alat Keruk Sistem Kabel Layang
berpenga signifikan mempengaruhi produksi getah sedangka kedalaman BULETIN Has. Hut., Oktober 2011, Vol. 17 No. 2,
kowakan tidak signifikan. Produksi optimal tercapai pada perlakuan hal. 160 - 179.
dengan kowakan 2 cm, 4 cm dan lebar kowakan 6 cm, dan jumlah
Ada dua prototipe alat keruk yang diuji coba yaitu alat keruk
kowakan sebanyak 2 buah. Rentang produksi optimal berada pada lebar
bentuk kotak dan sayap yang dioperasikan dengan menggunakan
kowakan 4 - 8 cm. Hasil penyadapan dengan kowakan optimum
teknologi kabel layang. Secara teknis mesin maupun wahana kabel
meningkatkan produksi getah sebesar 108,87% dan tambahan
cukup layak digunakan. Produktivitas alat keruk tipe sayap lebih besar
peningkatan penghasil sebesar Rp 132.500,- untuk setiap kali sadap pinus
dari pada produktivitas tipe kotak. Produktivitas dengan alat keruk
dibandingkan teknik yang dilakukan sekarang. 3
sayap adalah 2,5 m .hm/jam dengan biaya operasi dan pemilikan
3 3
sebesar Rp 92.648 m .hm/jam atau Rp 37.059/m .jam Hasil yang
dicapai jelas belum maksimal, oleh karena itu agar kinerja alat keruk ini
menjadi lebih produktif, efektif dan efisien, maka perbaikan konstruksi
mesin maupun sistem alat keruk masih sangat diperlukan.
Kata kunci: Pengerukan lumpur, pendangkalan, situ, teknologi kabel
layang, antisipasi, banjir.
vi
Forest Products Bulletin
ISSN 1979-6080 Vol. 17No. 2, October 2011
The descriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge
ABSTRACT
UDC (OSDC) 630*892.2 (594.71) UDC (OSDC) 630*812
Sentot Adi Sasmuko (Research at the Center of Forestry Research Susan Trida Salosa (Research at the Center of Forestry Research
Mataram) Manokwari)
Development of Sanggo Plants as Producer of Locally Superior Non- Physical Characteristics of Cempaka (Elmerilia papuana Dandy) as a
Wood Forest Products at West Nusa Tenggara Province) Mainstay Wood of Papua
Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, Forest Product Bulletin. October 2010, Vol. 16 No 2,
pp. 71 - 79. pp. 94 - 110.
Songga (Strychnos ligustrina) plant which abundantly grow The rate of fresh water content of Cempaka is 124.37% and
in Dompu and Bima Regency, West Nusa Tenggara is signifien an a 14,3% for air drying. The densities of the wood fresh, air drying and
commodity of non-wood forest products which can be potentially oven are 0,37; 0,42; 0,41. The rate of volume shrinkage in air drying is
developed into one of the regional superior items. Local community 4,48% and oven drying is 7,30%. T/R ratio in the air drying and oven
there wisely has only used songga fruit to help malaria, feves, toothache, are 1,37, and 1,39.
or to increase body stamina. Potency and uses of songga plant
Key words: Cempaka (Elmerilia papuana Dandy), water content,
nowadays tend to decrease. Ttraders and consumers these still urgently
densities dan shrinkage
need songga plant. Therefore, all the existing related constrants deserve
immediate anticipation in order that the management of songga
plants can work out better to assist boosting growth of community and
development of region
Key words : Songga, potential, superior specific, medicinal plants,
development
vii
UDC (OSDC) 630*832.2 UDC (OSDC) 630*899
Nuryawan, A (The University of Sumatera Utara) & O. Rachman Sentot Adi Sasmuko (Research at the Center of Forestry Research
(Center for Forest Products Research and Development) Mataram )
Plywood Made of Waste of Oil Palm Trunk Specific Local Potential Non-Timber North Sulawesi
Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2, Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2,
pp. 124 - 135. pp. 142 - 149.
This research concerned in using waste of oil palm trunk as Potential non-timber in Indonesia should continue to be
plywood raw material. This paper reported the scientific information extracted, because there are manytypes of plants that are less well
about costumer complain in quality of plywood which made of waste known but provide both social and economic benefits for society. The
of oil palm trunk. The methods were interview with the manager of existence of specific local non-timber them on the island of Sulawesi,
industry operational, literature study, and comparing the plywood have revealed the benefits and prospects of development because there
with another one in Medan area which bought at the panglong (timber are likely to contribute to local communities. The types of specific local
and building materials store). The research result showed that the non-timber are generally useful as a medicinal plant and food
hybrid plywood which consist of waste of oil palm trunk and lesser mterials, as well as pakoba which is on type of plant whose fruits
known species veneers had been fulfilled rheological properties as areedible.
plywood. Unfortunately, they must be preserved with wood
Key words: Non-timber, pakoba, development, community
preservatives in order to avoid the wood destroying organism. The
economic, North Sulawesi
suggestion for the industry, there were researches need on hybrid
plywood after preservation treatment especially by borate acid
(H3BO3). Giving other preservatives may be trialed. UDC (OSDC) 630*652.9 (594.48)
Zakaria Basari (The Center for Research and Development on Forest
Key words: Waste of oil palm trunk, raw material, hybrid plywood, Engineering and Forest Products Processing)
wood destroying organism, borate acid
Analysis of Damage to Forests from Illegal Cultivation in Forest Areas
Kerinci Seblat National Park, Province of Bengkulu District Rejang
UDC (OSDC) 630*284.9 Lebong
S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro & Siswa (Research Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2,
of the Center of Forestry Research Solo) pp. 150 - 159.
Pine Resin Yield on Various Sizes and Numbers of Quarres This paper provides information about the damage to forests
Forest Product Bulletin. October 2010, Vol. 16 No 2, from illegal cultivation in the area of Kerinci-Seblat National Park.
pp. 136 - 141. Observation conducted in the Village Ktenong 1, Ktenong 2, Rejang
Lebong Bengkulu. The results showed that damage to forests from
There are two important issues faced in pine tapping (Pinus
illegal cultivation in the village Ktenong 1, and Ktenong 2 each of 4 ha
merkusii Yungh. et de Vr.), nemely, low productivity of resin per tree
and 5.6 ha. The volume of wood is missing from each village average
and damaging tree caused by improper tapping techniques. Width, 3 3 3
232.96 m and 436.9 m or an average of 69.77 m /ha.
depth and number of tapping quarres do not meet the standard. This
studies were aimed at obtaining optimal resin yield by improving
Key words : Forest, trees, deforestasi
tapping techniques, including width, depth and number of quarres
without significatly damaging the tree. Treatments employing quarre
width of either 4, 6, 8, 10, or 12 cm, and depth of 2 or 4 cm, combined
with one or two tapping quarres on each tree were evaluated. Result UDC (OSDC) 630*.....
showed that number and width of tapping quarres significantly Wesman Endom ( The Center for Research and Development on
affected the resin yield, but not for the depth of quarres. Optimum resin Forest Engineering and Forest Products Processing)
yield was obtained at quarre tapping depth of 2 cm, width of 6 cm with Preliminary Study on Technical Implementation of Mud-Dredging
2 units of quarre per tree. Compared with the existing tapping Device Operated by the Skyline System
technique, this system increased resin yield until 108,87% per tapping Forest Product Bulletin. October 2011, Vol. 17 No 2,
cycle. pp. 160 - 179.
Keywords: Pine resin, optimum yield, tapping technique There are two types of dredger devices which were experimented
i.e. box shaped type and wing shaped type. Both types are operated using
skyline technology. Technically the engine as well as the cable was
feasible to be used. The productivity of wing-typed dredger device was
greater than that of box typed dredger device. The productivity of
3
wing dredger device was about 2.5 m .hm/hour with cost of ownership
3
and operation reaching about Rp 92,648 m /hour and Rp
3
37,059/m .hour respectively. These achievements are not yet
maximum, and therefore, to afford better performance, i.e.
productive, effective and efficient, the machine construction and the
device should be improved.
Key words: Mud dredger, shallow, lake, skyline technology,
anticipate, floods.
viii
PENGEMBANGAN SONGGA SEBAGAI HASIL HUTAN BUKAN
KAYU UNGGULAN LOKAL NUSA TENGGARA BARAT
Oleh:
Sentot Adi Sasmuko
Balai Penelitian Kehutanan Mataram
Jalan Dharma Bhakti No. 7 Langko-Lingsar-Lombok Barat 83371
Telp. (0370) 6573874 Fax. (0370) 6573841 e-mail : bpkmataram@yahoo.co.id
1
e-mail : sentotadisasmuko@ymail.com
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Indonesia tidak kurang memiliki 9.606 spesies tanaman biotik dan baru empat
persen saja (385 spesies) yang digunakan. Berdasarkan survey keanekaragam hayati,
Indonesia memiliki sekitar 940 spesies tanaman obat, tetapi hanya 120 spesies yang
masuk dalam bahan obat-obatan Indonesia (Setiawan, 2010). Potensi tanaman obat
sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang besar ini seharusnya dapat dimanfaatkan
secara maksimal, agar perkembangan usaha di bidang biofarmaka dapat lebih maju dan
memberikan kontribusi ekonomi bagi pembangunan wilayah serta peningkatan
pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena itu, merupakan tantangan bagi
kita untuk pemanfatan biofarmaka secara maksimal tanpa merusak kelestarian hutan.
Selain itu perlu ada kerja sama dengan petani untuk meningkatkan pemanfaatan
keanekaragaman hayati tersebut.
71
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 71 79
Tanaman songga yang berada di Kabupaten Dompu dan Bima Provinsi Nusa
Tenggara Barat tumbuh pada ketinggian 10 sampai 100 meter dari permukaan laut dan
biasanya terdapat di daerah yang berbatu (Cunha, 1986). Kebanyakan tumbuh
membentuk semak dengan tinggi dapat mencapai 3 m. Berbatang kecil dengan diameter
terbesar mencapai 15 cm, berkayu keras, dan kuat.
Nama lokal songga adalah bidara laut, bidara pait, bidara putih, kayu ular, dara
laut, dara putih (Jawa); bidara gunong (Madura); aju mapa, bidara mapai (Bugis); ai
betek, aihedu, hau feta (Rote); maba putih, elu, ai baku moruk (Timor). Secara botanis
klasifikasi songga menurut Heyne (1950) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Gentianales
Famili : Loganiaceae
Genus : Strychnos
72
Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu ..... (Sentot Adi Sasmuko )
73
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 71 79
Pada prinsipnya asal tumbuhan songga tidak diketahui secara pasti. Hasil
wawancara dengan masyarakat di Kecamatan Sape dan Lambu, Kabupaten Bima dan
Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, mereka tidak mengetahui asal-usul tanaman
songga tersebut. Sebuah artikel mengatakan bahwa di mulai abad ke XI kayu songga
sudah dikenal sejak jaman dahulu kala dari mulai pesisir pantai pulau sumatera sampai
pada kerajaan kesultanan Abdul Aziz putra Abdullah dari kesultanan kerajaan Dompu
NTB. Pada masa dahulu kayu songga merupakan obat yang digunakan untuk
menangani penyakit demam tinggi akibat dari serangan nyamuk malaria, selain itu
kerajaan-kerajaan yang berasal dari kesultanan Tambora telah menggunakan kayu
songga sebagai pengobatan yang dapat merapatkan kembali tulang yang patah akibat
peperangan antar kerajaan (Anonim, 2009).
Sedangkan dipulau Jawa nama songga berasal dari madura yang dibuat untuk
beberapa campuran adonan jamu, yang rasanya sangat pahit sehingga orang jawa
sebahagian mengatakan kayu songga merupakan obat yang seperti setan (kata
umpatan), sehingga tidak tahan untuk meminum air rendamannya. Di pulau Sumatera,
kayu songga sudah dikenal sebagai obat bidara laut, obat ini sudah digunakan oleh
kerajaan melayu islam untuk mengobati dan mengatasi penyakit yang sangat kronis
seperti kanker, darah tinggi, kencing manis, kencing batu, mati sebelah/stroke,
migrain, diabetes, sesak nafas, wasir, maag, sakit pinggang, demam, impoten dan sakit
gigi (Setiawan, 2010).
Diduga kuat bahwa efektifitas pengobatan kayu tersebut bukan berasal dari
komponen kimia penyusun dinding selnya (lignin dan selulosa), akan tetapi
diakibatkan oleh bahan ekstraktif (bukan penyusun dinding sel). Dengan demikian
bahan ekstraktif tersebut dapat dianggap sebagai HHBK pula.
Hasil wawancara dengan masyarakat petani songga di Kabupaten Bima dan
Dompu bahwa sejak nenek moyang mereka telah memanfaatkan songga untuk
mengobati sakit malaria, demam, lemah badan dan untuk menjaga stamina. Mereka
menggunakan buah songga yang sudah tua (berwarna oranye) sebanyak 2-3 buah
dikupas kulitnya lalu langsung ditelah. Menurut keterangan mereka, dalam dua sampai
tiga hari sudah ada perubahan sakitnya dan tidak ada efek samping. Apabila untuk
menjaga stamina tubuh, cukup makan dua buah songga dalam satu minggu satu kali.
Bagian lain dari pohon songga jarang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, cukup
dengan mengkonsumsi buahnya saja sebagai obat. Seluruh bagian tanaman songga baik
batang, daun, kulit, akar maupun buahnya mempunyai rasa yang teramat pahit.
Supriadi (1986), telah melakukan penelitian pengaruh rebusan kayu songga
(Strychnos ligustrina) terhadap penurunan kadar gula darah. Percobaan menggunakan
kelinci (Oryctolagus cuniculus) jantan, sehat, berwarna putih berat badan berkisar antara
1,5 - 2 kg. Rebusan kayu songga 5%, 10%, 15% dan 20% diberikan secara oral dengan
takaran 5 mL/kg berat badan kepada kelompok yang bcrlainan. Pengambilan darah
melalui vena telinga dilakukan pada jam ke 0, 1, 2, 3, 4 sampai jam ke 5 setelah
74
Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu ..... (Sentot Adi Sasmuko )
Permintaan pasar (konsumen) terhadap kayu songga masih tinggi, namun ada
kendala pada kelangsungan supply bahan baku. Hasil pengamatan di lapangan saat ini
terdapat pedagang yang terpaksa menghentikan usahanya mengirim atau souvenir kayu
berbentuk gelas ke luar Sumbawa yaitu Bali dan Surabaya. Namun masih ada pula
pedagang yang tetap mengirim ke konsumen di Kalimantan meskipun tidak dalam
jumlah banyak seperti sebelumnya. Pengusahaan HHBK songga di Kabupaten Dompu
dan Bima ini tidak dapat berkembang disebabkan oleh beberapa faktor kendala, antara
lain terbatasnya bahan baku, lemahnya pengetahuan masyarakat, lemahnya pemasaran,
dan kurangnya dukungan dan pembinaan.
75
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 71 79
C. Lemahnya Pemasaran
Pada saat ini, pemasaran kayu songga masih sangat terbatas, hal ini dikarenakan
penjualannya masih dalam bentuk kayu utuh, bagian lain seperti daun dan buah belum
bisa bernilai ekonomis. Pada saat terjadi transaksi penjualan kayu songga, harga yang
diterima para petani sangat murah yaitu Rp. 1.500 5.000 per batang. Harga tersebut
tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan petani dalam mengambil songga dari
dalam hutan. Mereka mengambil songga karena terpaksa dan hanya pekerjaan
sampingan saja. Masyarakat belum mengetahui informasi pasar secara utuh, sehingga
harga ditentukan secara sepihak oleh pembeli (pedagang pengumpul).
76
Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu ..... (Sentot Adi Sasmuko )
Songga sangat berpotensi menjadi salah satu HHBK unggulan lokal yang spesifik
bagi Provinsi NTB. Di daerah lain belum ada informasi tentang pemanfaatan dan
perdagangan songga oleh masyarakat. Kabupaten Dompu dan Bima yang merupakan
sentra produksi songga sudah dikenal sehingga para pedagang dari luar daerah seperti
Bali, Jawa dan Kalimantan banyak yang datang ke sana untuk mendapatkan kayu
songga. Melihat kondisi ini, tanaman songga di kedua kabupaten tersebut sangat
berpotensi untuk menjadi komoditi bernilai ekonomis tinggi bagi masyarakat dan
daerah setempat. Agar harapan tersebut dapat dicapai dengan baik, maka perlu segera
dilakukan beberapa upaya yang melibatkan peran aktif berbagai pihak (stake holders).
Strategi pengembangan yang dapat dilakukan antara lain adalah peningkatan potensi
tanaman, peningkatan pembinaan dan bimbingan teknis kepada masyarakat,
peningkatan kelembagaan dan pemasaran, serta dukungan kebijakan dan peraturan
yang jelas.
77
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 71 79
78
Pengembangan Songga sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu ..... (Sentot Adi Sasmuko )
A. Kesimpulan
1. Tanaman Songga (Strychnos ligustrina) sangat berpotensi menjadi salah satu
komoditi HHBK obat unggulan lokal yang spesifik di Provinsi Nusa Tenggara
Barat karena sudah dikenal masyarakat sejak lama dan bernilai ekonomis.
2. Pemanfaatan songga oleh masyarakat di Kabupaten Dompu dan Bima adalah untuk
mengobati sakit malaria, demam, lemah badan dan untuk menjaga stamina. Secara
kearifan lokal bagian yang dimanfaatkan adalah buah yang sudah masak (tua).
3. Kendala pengembangan tanaman songga adalah terbatasnya bahan baku, kurangya
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, sistem pemasaran yang masih
tradisional dan kurangnya dukungan pemerintah melalui kebijakan dan peraturan
yang jelas.
B. Saran
1. Secara ilmiah nama botanis songga harus dilakukan identifikasi agar dapat
diketahui dengan pasti species yang sebenarnya agar tidak terjadi lagi perdebatan di
kalangan masyarakat dan ilmuwan.
2. Potensi tanaman songga perlu segera ditingkatkan untuk menjamin kelangsungan
bahan baku pada saat dibutuhkan. Budidaya di luar kawasan hutan dan pembinaan
teknis kepada masyarakat merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan.
3. Pengembangan pengelolaan tanaman songga dapat berdampak bagi peningkatan
ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Pengembangannya
dapat dilakukan dengan pola hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau hutan
tanaman rakyat akan memberikan hasil yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Buku Penelitian Departemen Kesehatan RI. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Farmasi. Jakarta.
Cunha, T. 1986. Usaha isolasi dan identifikasi kandungan alkaloid kayu bidara laut
(Strychnos ligustrina BL.) asal kabupaten Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.
FMEPA-UNHAS. Makasar.
Heyne, K. 1950. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.
Setiawan, B. 2010. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayatim Biofarmaka Belum
Optimal. Formatnews Jakarta 24/5.
Supriadi, 1986. Efek hipoglokemik rebusan kayu songga (Strychnos ligustrina Bl.)
terhadap binatang percobaan kelinci. JF FMIPA-UNHAS. Makasar.
79
KEMUNGKINAN PENERAPAN SISTIM TERTUTUP
PADA PEMUTIHAN PULP DI INDONESIA
Oleh:
1
Dian Anggraini & Han Roliadi
1
Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan,
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Tlp. 0251- 8633378, 8633413
E-mail : elisabethdianreza@gmail.com
ABSTRAK
Kata kunci : Proses pemutihan, sistim tertutup, volume air, limbah buangan
pemutihan, dampak lingkungan
I. PENDAHULUAN
Proses pemutihan merupakan salah satu tahap lanjutan pengolahan pulp. Untuk
menghasilkan produk kertas tertentu atau turunan selulosa lain. Pemutihan bertujuan
merubah bahan penyebab warna yang masih terdapat dalam pulp, sehingga pulp
memiliki derajat kecerahan yang tinggi. Terdapat dua cara pemutihan yaitu:
menggunakan bahan kimia kuat untuk menghancurkan/menyingkirkan sisa lignin dan
zat ekstraktif yang masih terdapat dalam pulp; dan menggunakan bahan kimia selektif
untuk menetralisir atau merubah struktur bahan penyebab warna pada pulp, tetapi
tidak menyerang lignin secara elativ. Cara pertama banyak digunakan pada pulp kimia
80
Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup ..... (Dian Anggraini & Han Roliadi )
dengan bahan khlorin, senyawa lain mengandung khlor, dan oksigen, sedangkan cara
kedua dikhususkan untuk pulp semi-kimia dan pulp mekanis dengan bahan
borohidrida, hidrosulfit, dan peroksida (Casey, 1980; Sjostrom, 1993; Smook dan
Kocurek, 1993).
Proses pemutihan pulp baik cara pertama ataupun cara kedua, banyak
mengkonsumsi air. Air dalam proses tersebut digunakan antara lain untuk media
pelarut bahan kimia pemutih, media elative pulp, media reaksi antara bahan pemutih
dengan relatif pulp, dan pencucian pulp. Air buangan yang dihasilkan proses tersebut
mengandung sisa bahan kimia pemutih yang bisa membahayakan manusia dan mahluk
hidup lain, antara lain sisa bahan pemutih, hasil reaksi antara bahan pemutih dengan sisa
lignin atau ekstraktif dalam pulp, senyawa-senyawa mengandung khlor dan bahan
elativ. Di samping itu air buangan hasil proses pemutihan umumnya bersifat korosif
pada peralatan logam. Sebagai salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan sistim tertutup pada proses pemutihan pulp, dan
diharapkan dapat berdampak pada penurunan konsumsi air proses, pengurangan polusi
dan emisi, penghematan elati proses, dan mitigasi aspek elative lain terhadap
lingkungan (Anonim, 1997; 2005).
Di Indonesia terdapat lima pabrik pulp/kertas utama yang menggunakan bahan
baku kayu dengan proses kimia dan pemutihan pulp. Masing-masing memiliki
kapasitas produksi di atas 200.000 ton pulp putih per tahun. Total produksi
pulp/kertas dari kelima pabrik tersebut pada tahun 2006 mencapai sekitar 3 juta ton per
tahun (Anonim, 2007). Kapasitas produksi riil seluruh pabrik pulp/kertas Indonesia
pada tahun yang sama mencapai 4,6 juta ton, dengan demikian produksi tersebut
didominir oleh ke lima pabrik pulp/kertas utama (Anonim, 2010). Sampai saat ini
pabrik pulp/kertas tersebut belum menerapkan sistim tertutup pada proses pemutihan,
tetapi melakukan perlakuan khusus pada limbah buangan pabrik (waste-water
treatment), termasuk limbah pemutihan, sehingga limbah pabrik yang dibuang ke air
bebas (sungai, danau, atau laut) tidak membahayakan kehidupan mahluk air dan
menyebabkan aspek elative terhadap lingkungan (Anonim, 2003; 2008). Jika
diperkirakan setiap 1 ton produksi pulp/kertas dihasilkan limbah cair dengan volume
3
9-10 m (Anonim, 2005a), maka kelima pabrik pulp/kertas Indonesia tersebut
3
berpotensi menghasilkan limbah cair dengan volume 27-30 juta m atau 27-30 juta
kiloliter per tahun. Adanya penerapan sistim tertutup diharapkan dapat mengurangi
biaya peralatan, bahan kimia utama/pembantu, dan tenaga untuk waste-water treatment
tersebut. Diperkirakan sebagian dari volume limbah cair tersebut (27-30 juta kiloliter
per tahun), dapat didaur ulang (Anonim, 2005). Dengan demikian, aplikasi sistim
tertutup dapat menghemat pemakaian air prosess sebesar 9-10 juta kiloliter per tahun).
Tulisan ini menguraikan sistim proses pemutihan pulp kimia dan mekanisme reaksi,
penerapan sistim tertutup, kendala yang dihadapi, penanggulangan serta uraian aspek
terkait lainnya.
81
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 80 93
A. Substitusi:
1. Senyawa mengandung khlor + lignin-OH lignin-Cl (khloro-lignin) + H2O -------- (I)
2. Khloro-lignin + NaOH (ekstraksi alkali) lignin-O-Na (terlarut) + NaCl ----------- (II)
B. Oksidasi:
1. Senyawa mengandung khlor + H2O HCl + On ------------------------------------------------- (III)
2. Lignin + On (suasana alkali) lignin terfragmentasi + CO2 + H2O ---------------------- (IV)
3. Lignin terfragmentasi lebih mudah larut dalam air (terutama pada suasana alkali)-(V)
Ekstraksi alkali (reaksi II dan V) bertujuan menetralisir HCl yang terbentuk
(reaksi III), sehingga mengurangi degradasi fraksi karbohidrat pulp. Mengenai bahan
pemutih berdasar khlor, cenderung lebih banyak menggunakan bahan pemutih ClO2
dibandingkan Cl2. Reaksi degradasi sisa lignin oleh ClO2 berlangsung 2,5 kali lebih
cepat dan lebih efektif daripada Cl2, sehingga lebih selektif merusak lignin dan
akibatnya meminimalisir degradasi karbohidrat pulp. Ini terindikasi bahwa
82
Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup ..... (Dian Anggraini & Han Roliadi )
penggunaan ClO2 lebih banyak memicu terjadinya reaksi III dan IV, dan lebih sedikit
intensitas reaksi I. Akibatnya, penggunaan ClO2 cenderung menurunkan terbentuknya
AOX, dioksin, dan khloro-lignin, sehingga beban ancaman polusi lebih rendah (Smook
dan Kocurek, 1993; Anonim, 1997, 2005a).
Untuk senyawa bahan pemutih tidak mengandung khlor, seperti oksigen (O2),
ozon (O3), dan peroksida (H2O2), prinsip reaksi dengan lignin adalah oksidasi biasa,
sebagai berikut (Sjostrom, 1993; Anonim, 1991; 2005a, 2005b, 2005c):
4. Oksigen: O2 + sisa lignin lignin terfragmentasi + CO2 + H2O .. (VI)
5. Peroksida: H2O2 (dalam suasana alkali) H2O + On .... (VII)
6. Ozon: O3 (dalam suasana asam) O2 + On ........ (VIII)
On dan O2 akan mengoksidasi lignin seperti pada reaksi IV dan VI,
menghasilkan lignin terfragmentasi, CO2 dan H2O. Lignin terfragmentasi tersebut
lebih mudah larut pada cairan bersuasana alkali (NaOH). Bahan pemutih mengandung
oksigen tersebut (O2, O3, dan H2O2) kurang selektif dalam mendegradasi lignin, maka
suasana alkali (lemah) digunakan pada proses pemutihan menggunakan bahan
mengandung oksigen tersebut. Ini disebabkan suasana alkali membantu degradasi dan
pelarutan lignin, sedangkan fraksi karbohidrat lebih tahan terdegradasi pada suasana
tersebut. Khusus untuk bahan pemutih ozon (O3), karena hanya aktif pada suasana
asam (berbeda dengan oksigen dan peroksida) sehingga pada suasana tersebut bisa
merusak karbohidrat pulp selain mendegradasi lignin, maka waktu reaksi harus
sesingkat mungkin (sekitar 10 menit), dan sesudahnya diberikan perlakuan alkali guna
melarutkan hasil degradasi lignin (seperti halnya bahan pemutih oksigen dan peroksida)
(Anonim, 2005c).
Pemutihan untuk pulp semikimia dan pulp mekanis, biasanya menggunakan
bahan kimia yang lebih lemah dibandingkan bahan untuk pulp kimia. Pemutihan ini
ditujukan untuk menghasilkan pulp/kertas dengan derajat kemurnian selulosa tidak
terlalu tinggi, seperti kertas koran, kertas pamflet, karton, dan kertas katalog. Berbeda
dengan pemutihan pulp kimia yang dilakukan secara bertahap, pada proses ini
pemutihan pulp cukup satu tahap saja, atau sekiranya bertahap maksimum hanya 2-3
tahap. Bahan kimia untuk tujuan tersebut ada yang bersifat oksidator (a.l. peroksida)
atau reduktor (senyawa hidrosulfit dan borohidrida), yang digunakan secara tunggal
atau kombinasi, seperti P (peroksida)-P (dua tahap), P-P-HS (hidrosulfit), dan P-B
(borohidrida). Selanjutnya rincian reaksinya diuraikan berikut ini (Sjostrom, 1993;
Zimmermann et al., 1991; Anonim, 2005b):
C. Peroksida (H2O2)
Prinsip reaksinya sama seperti pada reaksi IV, VI, dan VII, dan berbeda dengan
oksigen dan ozon, maka peroksida merupakan oksidator lermah. Pada pemutihan ini,
aktifitas peroksida terbatas hanya mendegradasi lignin secara parsial dan mentralisir
gugus fungsionil penyebab warna.
83
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 80 93
84
Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup ..... (Dian Anggraini & Han Roliadi )
Bowyer, 1989). Dari sejumlah itu, sekitar 5-7% digunakan pada proses pemutihan pulp,
yaitu membutuhkan 3.000-3.500 gallon atau 12-15 kiloliter air (Anonim, 2005a).
Selanjutnya, jika hal tersebut dihubungkan dengan keberadaan lima pabrik pulp/kertas
utama di Indonesia dengan total kapasitas produksinya mencapai 3 juta ton per tahun,
maka kelima pabrik tersebut berpotensi mengkonsumsi air proses untuk pemutihan
pulp sebanyak 36-45 juta kiloliter per tahun.
Pemutihan pulp dengan sistim tertutup banyak dititik beratkan pada pulp kimia,
dan menggunakan bahan pemutih berdasar khlor (karena keselektifan bahan tersebut
merusak lignin), yang dikembangkan oleh Rapson dan Reeve (Smook dan Kocurek,
1993; Anonim, 2005a). Pulp kimia yang diputihkan adalah hasil proses sulfat, dan
proses tersebut bersifat universal, dan sesuai untuk mengolah berbagai jenis kayu tropis
(Anonim, 2009). Skema sistim tertutup tersebut disajikan pada Gambar 1. Tahapan
yang terlibat pada proses ini antara lain: (1) pencucian dengan gerakan saling
berlawanan arah (counter-current washing) terhadap aliran suspensi pulp hasil
pemutihan; (2) pengggunaan ClO2 dan Cl2 untuk mengefektifkan proses pemutihan; (3)
memanfaatkan limbah pemutihan pulp untuk pencucian serpih lunak hasil pemasakan
dan blow dari digester (brown stock washing), dan untuk mengencerkan cairan bahan
kimia segar untuk pemasakan serpih (white water); (4) membersihkan embun yang
terkondensasi dan melekat pada permukaan evaporator dengan cara semburan uap
panas (super-heated steam), dan (5) menggunakan air kondensat sebagai pencuci
peralatan proses pemutihan.
Adanya sistim tertutup pada proses pemutihan pulp tersebut diharapkan dapat
mengurangi beban limbah buangan berikut daur ulang bahan kimia dan energi:
85
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 80 93
B. Reduksi Khlor
Disarankan pada tahapan pemutihan tersebut (antara lain DCDED), ikut pula
dilibatkan tahapan pemutihan dengan oksigen atau ozon (Anonim, 1991; 2005a;
2005b). Hal tersebut terjadi karena akan mengurangi beban penggunaan bahan pemutih
ClO2 dan Cl2, sehingga akan menurunkan jumlah sisa bahan pemutih yang
mengandung khlor dan senyawa khloro-organik dalam limbah buangannya.
D. Reduksi Air
Sistim tertutup mengurangi volume penggunaan air proses pada pemutihan
pulp. Kelima, sistim tertutup dapat mendaur ulang sebagian bahan kimia (antara lain
Cl2, ClO2, NaOH, dan Na2SO4) yang tidak saja bisa digunakan pada proses pemutihan
tetapi juga proses lain (pulping), sebagaimana diuraikan pada reaksi XX
86
Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup ..... (Dian Anggraini & Han Roliadi )
87
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 80 93
Keterangan gambar:
Gambar 1A:
Fresh water = Air tawar untuk proses
ClO2, Cl2, NaOH = Bahan kimia untuk pemutihan pulp (ClO 2, Cl2), dan soda api (alkali)
untuk melarutkan senyawa yang terbentuk hasil pemutihan tersebut
Bleaching DcEDED = Pemutihan pulp secara bertahap menggunakan tahapan Dc
(ClO 2+Cl 2) E (estraksi dengan alkali) D (ClO 2) E - D
Wood = Bahan serat (kayu)
Cooking = Pemasakan kayu (bentuk serpih) menjadi pulp
Washing = Pencucian serpih kayu lunak hasil proses pemasakan
Pulping chemical (NaOH, Na2S) = Bahan kimia pemasak untuk pengolahan pulp (NaOH, Na 2S)
Black liquor evaporator = Tempat/alat penguapan fraksi air pada lindi hitam (bekas cairan
pemasak)
Furnace = Tanur (dapur api), dipakai untuk menguapkan/membakar habis
lindi hitan sehingga tersisa bahan anorganik (smelt)
Purge CO2 & H2O to atmosphere = Membuang/melepaskn gas CO 2 dan uap H 2O ke udara lepas
Purges (Dregs / Grits) = Membuang padatan anorganik sebagai hasil samping penyiapan
bahan kimia pemasak dan proses pulping (bentuk Dregs dan Grits)
ke tempat penampungan (landfill)
Liquor preparation = Penyipana cairan bahan kimia pemasak
White liquor evaporator = Tempat/alat penguapan fraksi air cairan bahan kimia pemasak (siap
dimasukkan ke ketel pemasak serpih kayu)
Condensation = Proses pengembunan (kondensasi) uap air menjadi air
Condensate = Air yang terbentuk dari kondensasi (pengembunan) uap air
Condensate stripping = Pengumpulan air condensate
H2 O = Air
Unbleached pulp = Pulp tidak diputihkan
Bleached pulp = Pulp diputihkan
Gambar 1B:
H2SO 4 = Asam sulfat
NaClO 3 = Natrium khlorat (salah satu macam bahan kimia pemutih)
ClO2 solution = Larutan ClO 2 (salah satu macam bahan kimia pemutih)
Cl2 solution = Larutan Cl2 (salah satu macam bahan kimia pemutih )
H2 O = Air
NaOH = Soda api (alkali)
Blach plant with countercurrent = Tempat dilakukan proses pemutihan, dan sesudahnya dilakukan
washing terhadap pulp (hasil pemutihan) menggunakan air di mana arah
gerakan air berlawanan arah dengan arah gerakan suspensi pulp
selama proses pemutihan tersebut
Pulp = Pulp yang telah diputihkan
Condensate = Air yang terbentuk dari kondensasi (pengembunan) uap air
Wash liquor = Cairan bekas pencucian pulp selama proses pemutihan
Digester and Washer = Ketel pemasak serpih kayu dan seperangkat alat pencucian serpih
hasil pemasakan
White liquor = Cairan bahan kimia pemasak yang siap dimasukkan ke ketel
pemasak untuk memasak serpih kayu
Causticizer = Proses merubah soda abu (Na 2CO3) menjadi soda api (NaOH)
Furnace = Tanur (dapur api), dipakai untuk menguapkan/membakar habis
lindi hitan sehingga tersisa bahan anorganik (smelt)
Smelt = Bahan anorganik yang terbentuk dari dapur api
Dissolving = Pelarutan bahan kimia yang terbentuk dari dapur api (tanur)
Green liquor = Cairan yang terbentuk hasil proses pelarutan (dissolving) seperti
tersebut di atas, mengandung Na 2S dan Na2CO3
88
Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup ..... (Dian Anggraini & Han Roliadi )
Menurut Sjostrom (1993), Zimmermann et. al. (1991) dan Anonim (2005a,
2005b), berkenaan dengan terbentuknya dan terakumulasinya senyawa seperti khloro-
organik, padatan organik, dan Na2SO4 dalam limbah buangan, pada saat aliran limbah
tersebut mencapai recovery furnace yang bersuhu tinggi (Gambar 1) senyawa tersebut
akan mengalami reaksi oksidasi, reduksi, dan asam-basa yaitu:
a. Padatan energy (sisa lignin, karbohidrat) oksidasi/reduksi CO2 + H2O + energy
...................... (XVIII)
b. Khloro-organik (sisa lignin/ekstraktif, polifenol) + NaOH NaCl + CO2 + H2O +
energy ....................... (XIX)
c. Na2SO4 + C (padatan organik) Na2S + CO2 ............ (XX)
Na2SO4 (hasil reaksi XIV) melalui reaksi reduksi pada tanur daur ulang
(recovery furnace) menghasilkan Na2S (reaksi (XX). Na2S dan NaOH (reaksi XVI)
merupakan senyawa utama pada cairan pemasak segar (white liquor) untuk memasak
serpih dalam digester. Disamping itu, energi yang terbentuk pada recovery furnace
(reaksi XVIII dan XIX) bisa dimanfaatkan untuk sumber panas tambahan untuk ketel
uap (boiler) guna menghasilkan tenaga listrik untuk keperluan keseluruhan aktifitas di
industri pulp/kertas. Selanjutnya, bahan anorganik yang terbentuk dari furnace
tersebut (NaOH, NaCl, dan sisa Na2SO4) disalurkan ke precipitator, lalu ke leacher
(Gambar 1) di mana mengalami pengenceran dengan air. Setelah pengenceran, NaOH
dipakai kembali sebagai pelarut (E) pada tahapan pemutihan DCDED (Gambar 1A dan
1B); sedangkan, NaCl mengalami proses elektrolisa guna menghasilkan NaOH dan Cl2
(reaksi XV), dan Na2SO4 untuk menghasilkan Na2S (reaksi XX).
Mencermati keseluruhan mekanisme sistim tertutup pemutihan pulp (Gambar
1), ternyata sistim tersebut berakibat tidak saja pengurangan pemakaain air proses dan
penurunan volume limbah, tetapi juga penghematan pemakaian energi dan daur ulang
sebagian bahan kimia. Kendala yang mungkin dihadapi adalah penerapan tersebut
memerlukan biaya, peralatan, bahan kimia, dan tenaga pelaksanaan yang tidak murah
(mahal) antara lain pengadaan/pembuatan bahan kimia pemutih, peralatan/media
reaksi dan ekstraksi alkali, dan sistim penyaluran/transfer bahan kimia/hasil reaksi dari
suatu tahap ke tahap berikut (Gambar 1). Diharapkan adanya manfaat/faedah yang
positif dari penerapan sistim tersebut akan dapat mengatasi kendala-kendala tersebut.
Terlihat pada skema bahwa untuk penerapan sistim tertutup proses pemutihan
pulp diperlukan masukkan bahan kimia utama berupa ClO2, Cl2, NaClO3, NaOH, dan
H2SO4 (Gambar 4). ClO2 dan Cl2 dapat disintesa menurut reaksi XIV yang diperlukan
antara lain NaClO3 dan H2SO4; NaOH untuk pembentukan NaOCl (reaksi XII), dan
NaOCl untuk menghasilkan NaClO3 (reaksi XIII). Jadi inti utama bahan kimia
89
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 80 93
masukkan adalah NaOH, Cl2, dan H2SO4. NaOH dan Cl2 sebagian dapat diperoleh
kembali (disintesa) dari elektrolisa garam dapur (NaCl dari reaksi XII) menurut reaksi
XV dan XVI. Sintesa H2SO4 membutuhkan bahan baku kimia pyrite (FeS2). Pyrite pada
tahap awal dipanaskan pada suhu tinggi sehingga diperoleh sulfur (S). Selanjutnya, S
tersebut direaksikan dengan oksigen murni (O2) menggunakan katalis vanadium (V2O5)
atau platina (Pt) sehingga terbentuk gas sulfurtriosida (SO3). Selanjutnya SO3dilewatkan
ke uap air panas (H2O) sehingga terbentuk asam sulfat atau H2SO4 (Casey, 1980; Ege,
1986). Adapun rincian reaksinya sebagai berikut:
a. FeS2 (pyrites) suhu tinggi (T) FeS + S ............. (XXI)
b. 2 S + 3 O2 (katalis V2O5 atau Pt) 2 SO3 ......... (XXII)
c. SO3 + H2O (uap panas) H2SO4 ......... (XXIII)
Sumber pyrites (FeS2) dan garam dapur (NaCl) di Indonesia cukup besar (Purba,
2004; Anonim, 2008a dan Anonim 2011), sehingga dapat mendukung penerapan sistim
tertutup pemutihan pulp. Belerang/sulfur (S) banyak terdapat di gunung berapi yang
masih aktif dan umumnya tidak murni dan terikat dengan unsur lain (Fe) dalam bentuk
pyrite (FeS2). Di Indonesia banyak gunung berapi yang masih aktif, diantaranya yang
terkenal sebagai penghasil belerang adalah Gunung Welirang dan Gunung Ijen di Jawa
Timur. Demikian juga untuk NaCL, Indonesia merupakan Negara kepualauan yang
dikelilingi oleh lautan sehingga potensi NaCl di Indonesia cukup berlimpah.
Selanjutnya pada tahapan pemutihan bertahap, sekiranya dilibatkan bahan
pemutih mengandung oksigen (O2, H2O2, dan O3), dengan demikian diperlukan
masukkan masing-masing bahan pemutih tersebut. Salah satu cara yang praktis
mendapatkan O2 adalah melalui eletrolisa air (H2O). Untuk pembuatan H2O2, mula-
mula diperlukan logam natrium (Na) yang kemudian direaksikan dengan oksigen
berlebih sehingga dihasilkan natrium peroksida (Na2O2). Kemudian Na2O2 tersebut
direaksikan dengan asam kuat (biasanya H2SO4) sehingga terbentuk H2O2. Untuk
mendapatkan O3, diperlukan O2 dimana O2 tersebut dilewatkan medan muatan listrik
statis diantara dua elektroda bermuatan tinggi yang saling berlawanan (positif dan
negatif). Atas dasar itu sebagian O2 akan dikonversi menjadi O3. Rincian keseluruhan
reaksi tersebut diuraikan oleh George, et al. (1987) sebagai berikut:
a. H2O proses elektrolisa H2 + O2 ................ (XXIV)
b. Na + O2 (berlebih) Na2O2 .............. (XXV)
c. Na2O2 + H2SO4 Na2SO4 + H2O2 ........... (XXVI)
d. O2 (medan listrik statis antara dua eletroda bermuatan berlawanan) O3 ... (XXVII)
Ternyata untuk sintesa 3 macam bahan pemutih tersebut (O2, H2O2, dan O3),
bahan kimia utama yang diperlukan adalah Na, H2SO4, dan H2O (air). Na dapat
diperoleh melalui elektrolisa garam dapur (reaksi XV); sedangkan H2SO4 dapat
diperoleh dari reaksi XXI XXIII.
90
Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup ..... (Dian Anggraini & Han Roliadi )
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Advances in pulping: The use of ozone in bleaching pulps. TAPPI
(Technical Association of the Pulp and Paper Industries), 74 (11): 16-18.
______. 1997. Are Pulp and Paper Mills Environmentally Safe? Brochures of the
Weyerhauser Co., CH. 3E32. Tacoma, Washington, USA.
______. 2003. Apa itu pabrik pulp? Harian Kompas, tanggal 8 juni 2003, hlm 32. PT.
Kompas Media Nusantara. Jakarta.
______. 2005. Minimize water effluents: Trend and news. Prsesentation by Purac/Elof
Hansson at Seminar and Business Discussions on Indonesian Swedish Pulp and
Paper Technology at Sangri-La Hotel, 27 April 2005. Jakarta.
______. 2005a. The Effluent Treatment Plants. Brochures of the Purac AB Co., Purac
AB. SE-221 05 Lund. Lund, Sweden.
______. 2005b. New way to chemical pulping. Technical Presentation. Metso
Chemical Pulping Lines. FIN-28101. Pori, Finland.
______. 2005c. Advancing pulp way: Superbatch cooking produces intact fibers. Fiber
Line Technology. Metso Paper USA, Inc. Georgia, USA.
______. 2007. Indonesian Pulp and Paper Industry. Directory 2007. Indonesian Pulp
and Paper Association. PT. Pindo Deli Pulp & Paper Mills. Jakarta, Indonesia.
______. 2008. Industri pulp dan kertas, Maju mundur kena. Harian Kompas, tanggal 27
Nopember 2008, hlm 21. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta.
______. 2008a. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
______. 2009. Experimental use of 23 Indonesian lesser used wood species. Technical
Report No. 4. Forest Products Research and Development Center (FPRDC,
Bogor) in cooperation with Indonesian sawmill and Woodworking Association
(ISWA, Jakarta) and International Tropical Timber Organization (ITTO).
Project Pd 286/04 Rev. 1(1): Strengthening the Capacity to Promote Efficient
Wood Processing Technology in Indonesia. Jakarta.
91
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 80 93
______. 2010. Industri pulp dan kertas Indonesia menghadapi persaingan pasar global.
Diskusi Panel Industri Kehutanan Menghadapi Persaingan Pasar Global.
Jakarta, Agustus 2010. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia. Jakarta.
______. 2010a. Industri kertas: Tiga perusahaan produksi pulp. Harian Kompas,
tanggal 31 Nopember 2010, hlm 21. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta.
______. 2010b. Studi pembangunan industri bahan bakar nabati di Provinsi Riau.
Laporan Kerjasama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
______. 2011. Ubahlah air laut jadi air minum. Harian Radar Bogor, 20 September
2011, hlm.3. Bogor.
Atkin, P.W. 1986. Physical Chemistry. Second ed. W.H. Freeman and Co. New York
San Francisco.
Casey, J.P. 1980. Pulp and Paper: Chemistry and Chemical Technology. Third edition,
Vol. I. A Wiley Interscience Publication. New York London Brisbane
Toronto.
Ege, S. 1986. Organic Chemistry. D.C. Health and Co. Lexington, Massachusetts/
Toronto.
Filho, M.S. 2008. Wood-based bioenergy Recent developments in power generation
and transportation fuels. Keynote Address 3 presented at Asia Pacific Regional
Forum on Promoting Wood-based Bioenergy using Wood Residues and wastes,
14-17 October 2008. Menara Peninsula Hotel. Jakarta.
George, M.V., J. Mahanty, P.T. Narasimhan, dan C.N.R. Rao. 1987. Handbook of
Chemistry and Physics. Second ed. Affiliated East-West Press PVT. LTd. New
Delhi.
Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1989. Forest Products and Wood Science. Iowa State
University Press. Ames.
Purba, M. 2004. Kimia untuk SMU, Jilid IA IIIB. Erlangga, Jakarta.
Smook, G.A. and M.J. Kocurek. 1993. Handbook for Pulp and Paper Technologists.
Joint Textbook Committee of Paper Industry. Atlanta, Georgia.
Sjostrom, E. 1993. Wood chemistry: Fundamental and Applications. Academic Press.
Inc. New York Toronto London.
Vogt, K. 2008. Why wood-based bioenergy is climate friendly and environmental.
Keynote Address 3 presented at Asia Pacific Regional Forum on Promoting
Wood-based Bioenergy using Wood Residues and wastes, 14-17 October 2008.
Menara Peninsula Hotel. Jakarta.
92
Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup ..... (Dian Anggraini & Han Roliadi )
Walker, J.C.F., B.G. Butterfield, and J.M. Harris. 1993. Primary Wood Processing:
Principles and Practice. Chapman & Hall. London New York Tokyo.
Zimmerman, M., R. Patt, O. Kordsachia, and W.D. Hunter. 1991. ASAM pulping of
Douglas-fir by a chlorine-free bleaching sequence. TAPPI, 74 (11): 129-134.
93
SIFAT FISIK KAYU ANDALAN PAPUA:
CEMPAKA (Elmerilia papuana DANDY.)
Oleh:
1 2
Susan Trida Salosa & Endra Gunawan
1
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
2
Universitas Negeri Papua
email: susan_3sa@yahoo.com
ABSTRAK
Kata kunci : Cempaka (Elmerilia papuana Dandy), kadar air, berat jenis dan
penyusutan.
94
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Potensi keragaman jenis pohon di Papua sangat tinggi, yaitu tercatat kurang
lebih 600 jenis pohon. Meskipun demikian dari jumlah tersebut hanya beberapa puluh
jenis yang telah diketahui sifat fisik dan mekanikmya (Anonim, 1976). Sedangkan
untuk informasi anatomi dan sifat biologis serta kimianya pun masih sangat terbatas
pula.
Eksploitasi secara besar-besaran pada hutan sangat mengancam keberadaan jenis-
jenis yang potensial dipakai seperti kayu besi (Intsia bijuga), Matoa (Pometia pinnata) dll.
Pemanfaatan yang besar tanpa melalui mekanisme penyiapan bahan baku yang baik ke
bahan jadi membuat bahan-bahan jadi yang berasal dari kayu mudah rusak. Ini
mengakibatkan permintaan akan bahan baku kayu meningkat terus.
Dalam mengantisipasi kehilangan kayu-kayu dari jenis-jenis yang sangat
diminati ini maka perlu ditemukan jenis-jenis yang kelak menjadi komoditi alternatif.
Jenis-jenis ini dapat dijadikan komoditi yang handal bila telah diketahui sifat dasarnya.
Dengan mengetahui sifat-sifat kayu tersebut maka akan lebih mudah menempatkan
jenis-jenis kayu tersebut pada kegunaan yang tepat seperti untuk kayu lapis, pulp dan
kertas dll. Juga mempermudah perlakuan awal dalam pemanfaatannya seperti
penerapan zat pengawet. Telah diketahui bahwa masing-masing jenis kayu juga
mempunyai sifat-sifat fisik dan mekanik yang tidak sama antara jenis satu dengan jenis
lainnya (Panshin dan De Zeuw, (1970) ; Haygreen dan Bowyer, (1982).
Cempaka (Elmerilia papuana Dandy) adalah salah satu jenis kayu yang potensial
bagi Papua. Dikatakan potensial karena dapat ditemukan dengan mudah dan banyak
digunakan oleh masyarakat di Papua.
A. Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 (satu) pohon
cempaka (Elmerilia papuana Dandy) yang dibawa dalam bentuk cakram dari lapangan.
Penelitian ini dengan pengambilan bahan penelitian yakni Cempaka (Elmerilia
papuana Dandy) di hutan alam Kabupaten Manokwari dan selanjutnya dianalisis di
Laboratorium Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (UNIPA).
B. Metode Penelitian
1. Pengumpulan data
a. Pengukuran Kadar Air dan Berat Jenis
Berdasarkan ASTM D-2395 contoh uji berukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 cm yang
dikeringanginkan selama 1 bulan ditimbang beratnya dan dihitung volumenya
95
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
menggunakan gelas ukur. Contoh uji kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu
105o C sehingga beratnya konstan, selanjutnya ditimbang untuk mendapatkan berat
kering tanur.
Kadar Air kering udara ditetapkan dengan rumus :
Wa Wo
Ka (%) = x 100 %
Wo
dimana :
Ka = Kadar air kayu kering udara
Wa = Berat awal/ berat kayu kering udara (gram)
Wo = Berat kayu kering tanur (gram)
Wo
BJ =
Wa
dimana :
BJ = Berat jenis
Wa = Berat air setara dengan volume kayu kering udara (gram)
Wo = Berat kayu kering tanur (gram)
Penyusutan tangensial
T. Rasio =
Penyusutan radial
C. Analisa Data
Data diolah secara Tabulasi dan secara deskriptif akan digambarkan mengenai
fisiknya, hubungan antara kadar air, berat jenis, penyusutan dan T- rasio.
96
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
A. Kadar Air
Kadar air kayu cempaka yang diteliti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata kadar air kayu cempaka (Elmerilia papuana Dandy) menurut
arah radial dan longitudinal
Kadar Air
Longitudinal Radial
Segar Kering Udara
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar air segar kayu cempaka berkisar antara
61.48 166.91 % dengan rata-rata 124.37 % dan kadar air kering udara berkisar antara
12.07 16.13 % dengan rata-rata 14.36 %.
Besarnya kadar air bervariasi antara jenis pohon, antara kayu gubal dan kayu
teras pada pohon yang sama dan juga antara potongan kayu pada ketinggian yang
berbeda pada pohon yang sama (Skarr, 1972). Variasi kadar air segar dan kering udara
kayu cempaka pada arah radial dan longitudinal disajikan berturut-turut pada Tabel 2,
Gambar 1 dan Gambar 2.
97
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
Tabel 2. Variasi kadar air segar dan kering udara kayu cempaka menurut arah radial
Kadar Air
Radial Longitudinal
Segar Kering Udara
Pada table 2 dapat dilihat bahwa kadar air segar kayu cempaka pada arah radial
terendah (86,7 %) pada kayu gubal dan selanjutnya meningkat (162,3 %) pada kayu
teras. Sebaliknya pada kondisi kering udara, kadar air kayu cempaka lebih tinggi pada
kayu gubal (14,91%) dan menurun pada kayu teras (13,81 %).
Menurut Haygreen dan Bowyer (1993), salah satu sumber variasi kandungan air
dalam suatu pohon yaitu perbedaan antara kayu gubal dan kayu teras. Pada kayu daun
jarum, kadar air kayu gubal cenderung lebih tinggi dibandingkan kayu teras tetapi pada
kayu daun lebar perbedaan kadar air segar pada bagian gubal dan teras tidak nyata. Hasil
penelitian kayu cempaka pun menunjukkan bahwa adanya perbedaaan yakni kadar air
segar pada bagian gubal lebih kecil dari pada kayu teras. Hasil ini sama dengan penelitian
Hasriani (1996) dimana kadar air segar kayu bugis (Koordersiodendron pinnatum Merr).
Sebaliknya pada kondisi kering udara, kayu teras memiliki kadar air yang lebih rendah
dibandingkan pada kayu gubal.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa kadar air segar kayu Cempaka menurut arah
longitudinal tertinggi (142.03 %) terdapat pada bagian ujung dan semakin menurun ke
bagian pangkal pohon (113.40 %). Sebaliknya pada kondisi kering udara, kadar air lebih
tinggi pada bagian pangkal (15.42 %) dan semakin rendah pada bagian ujung (12.66 %),
hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Menurut Soenardi (1976), berat kayu adalah jumlah dari zat kayu (dinding sel),
zat ekstraktif dan air dalam kayu. Jumlah zat penyusun dinding sel dalam sepotong
kayu tidak akan berubah namun zat ekstraktif dan air yang terdapat dalam kayu
tersebut dapat hilang jika kayu diberi perlakuan. Adapun perbedaan kadar air kayu
gubal dan teras yang terdapat pada kayu cempaka ini diduga karena adanya kandungan
zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu teras. Pada waktu contoh uji dikeringkan
dengan menggunakan oven, tidak hanya air yang menguap akan tetapi zat ekstraktif
juga ikut menguap. Fengel dan Weneger (1995) menambahkan bahwa metode
98
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
pengeringan yang menggunakan oven dan suhu di atas 600C dapat menyebabkan
senyawa yang mudah menguap dalam kayu akan hilang. Adapun zat-zat ekstraktif yang
mudah menguap adalah alkoholik, zat warna dan asam-asam lemak tertentu.
150
Kadar air segar (%)
100
50
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian batang
Gambar 1. Variasi kadar air segar kayu cempaka menurut arah longitudinal
Kadar air segar pada kayu Cempaka cenderung meningkat dari pangkal ke ujung.
Ini berbeda dengan pendapat Brown et al (1952) yang mengatakan bahwa dalam hal
posisinya pada bagian batang, kadar air kayu pada bagian pangkal cenderung lebih
tinggi dibandingkan pada bagian ujungnya. Pola semacam ini ditemukan juga pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lahuna (1986) dalam Hasriani (1996) terhadap kayu
Binuang (Octomeles sumatrana Miq) dimana diperoleh kadar air segar kayu Binuang
yang cenderung meningkat dari pangkal ke ujung. Sebaliknya pada kondisi kering
udara, kadar air cenderung menurun dari pangkal ke ujung.
20
Kadar air kering udara (%)
15
10
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian batang
Gambar 2. Variasi kadar air kering udara kayu cempaka menurut arah
longitudinal
99
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), kadar air kayu cenderung menurun saat
suatu pohon bertambah tua. Hal ini disebabkan proporsi kayu teras di bagian pangkal
lebih tinggi dibandingkan pada bagian ujung pohon. Pada kayu teras banyak
terkandung zat ekstraktif dimana zat ini dapat menggantikan kedudukan air dalam
mengisi rongga dan dinding sel. Pada waktu contoh uji dikeringkan berat kayu teras
menjadi lebih ringan dibandingkan kayu gubal. Hal ini diduga karena pada waktu
contoh uji dikeringkan dalam oven, zat ekstraktif yang terkandung dalam kayu teras
ikut menguap bersama air. Dengan demikian kadar air kayu pada bagian pangkal
cenderung lebih tinggi dari pada bagian ujung.
Kadar air kering udara kayu Cempaka berkisar antara 12.07% 16.13% dengan
rata-rata 14.36 %. Menurut penelitian LPHH standar kering udara kayu daun lebar di
Indonesia adalah 12-20%, ini berarti kadar air kering udara untuk kayu Cempaka
berada dalam kisaran kadar air kering udara yang diperbolehkan oleh LPHH untuk
kayu-kayu gergajian (Oey Djoen Seng, 1964).
B. Berat Jenis
Hasil penelitian berat jenis kayu Cempaka dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata berat jenis kayu cempaka menurut arah radial dan longitudinal
Density (%)
Longitudinal Radial
Fresh Air drying Ovened
Pangkal Gubal 0.42 0.40 0.46
Teras 0.35 0.42 0.44
rata-rata 0.39 0.41 0.45
Tengah Gubal 0.41 0.45 0.45
Teras 0.38 0.38 0.39
rata-rata 0.40 0.42 0.42
Ujung Gubal 0.39 0.45 0.43
Teras 0.28 0.43 0.31
rata-rata 0.34 0.44 0.37
Rata-rata 0.37 0.42 0.41
Pada Tabel 2 terlihat bahwa berat jenis kayu Cempaka pada kondisi segar
berkisar antara 0.28-0.42 dengan rata-rata 0.37. Pada kondisi kering udara, berat jenis
kayu Cempaka berkisar antara 0.38-0.45 dengan rata-rata 0.42, sedangkan untuk
kondisi kering oven berat jenis kayu Cempaka berkisar antara 0.31-0.46 dengan rata-
rata 0.41.
Variasi berat jenis kayu Cempaka menurut arah radial dan longitudinal pada
kondisi segar, kering uadara dan kering oven dapat dilihat berturut-turut pada Gambar
3 dan Gambar 4.
100
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
0,5
0,4
Bera jenis
BJ Segar
0,3
BJ K. udara
0,2
BJ K. oven
0,1
0
Gubal Teras
Bagian batang
Pada Gambar 3 terlihat bahwa berat jenis kayu Cempaka menurut arah radial
baik kondisi segar, kering udara maupun kering tanur, tertinggi (0.40, 0.43, 0.45)
terdapat pada kayu gubal dan semakin menurun menuju kayu teras (0.37, 0.41 dan 0.38).
Pola semacam ini sesuai dengan salah satu pola yang dikemukakan oleh Panshin
dan De Zeeuw (1980). Menurut Panshin dan De Zeeuw (1980), ada beberapa macam
pola variasi berat jenis menurut arah radial, yaitu berat jenis meningkat dari empulur ke
kulit, berat jenis menurun ke arah luar dan kemudian meningkat di bagian kulit dan
berat jenis lebih tinggi di bagian empulur dari pada kulit.
Pola variasi berat jenis kayu Cempaka pada arah radial dimana berat jenis kayu
teras lebih rendah dibandingkan kayu gubal diduga disebabkan oleh kandungan zat
ekstraktif yang terdapat di dalam kayu teras. Hal ini sesuai dengan pendapat Lee (1985),
bahwa zat ekstraktif mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan berat
kayu. Namun pada saat contoh uji direndam untuk mencapai kondisi kayu yang jenuh
yang jenuh dengan air, zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu teras ikut larut dalam air
sehingga menyebabkan kayu teras menjadi lebih ringan dibandingkan kayu gubalnya.
Apabila zat ekstraktif dikeluarkan dari dalam sepotong kayu maka berat kayu tersebut
akan berkurang (Haygreen dan Bowyer, 1989). Adapun zat ekstraktif yang dapat larut
di dalam air menurut Soenardi (1976) adalah garam, zat pektin, zat warna, phlotannins
dan asam-asam tertentu.
Sementara variasi berat jenis kayu Cempaka arah longitudinal dapat dilihat pada
Gambar 4 berikut ini :
101
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
0,5
0,4
Bera jenis
BJ Segar
0,3
BJ K. udara
0,2
BJ K. oven
0,1
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian batang
C. Penyusutan
1. Penyusutan kering udara
Besarnya penyusutan tangensial (T), radial (R ), longitudinal (L) dan
penyusutan volumetrik serta perbandingan T/R untuk kondisi kering udara dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata penyusutan kering udara kayu cempaka menurut arah radial
dan longitudinal
Shrinkage (%)
Longitudinal Radial
T R L T/R Vol
Pangkal Gubal 4.39 1.34 0.60 3.28 6.33
Teras 2.90 2.29 0.45 1.27 5.64
Rata-rata 3.65 1.82 0.53 2.27 5.99
Tengah Gubal 1.93 2.47 0.43 0.78 4.83
Teras 1.86 2.48 0.33 0.75 4.67
Rata-rata 1.90 2.48 0.38 0.77 4.75
Ujung Gubal 2.56 1.78 0.73 1.44 5.07
Teras 1.92 2.79 0.46 0.69 0.31
Rata-rata 2.24 2.29 0.60 1.06 2.69
Rata-rata 2.59 2.19 0.50 1.37 4.48
102
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata penyusutan tangensial kayu Cempaka
pada kondisi kering udara berkisar antara 1.86-4.39% dengan rata-rata 2.59%. Nilai
penyusutan radial berkisar antara 1.34-2.79 % dengan rata-rata 2.19 %, sedangkan
penyusutan longitudinal berkisar antara 0.33-0.73% dengan rata-rata 0.50%.
Penyusutan volumetrik kayu Cempaka pada kondisi kering udara berkisar antara 0.31-
6.33% dengan rata-rata 4.48 %. Adapun nilai perbandingan penyusutan T/R kayu
Cempaka pada kondisi kering udara adalah 1,37.
Variasi penyusutan tangensial, radial dan longitudinal kayu Cempaka pada
kondisi kering udara dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
5
4.5
Penyusutan kering oven
4
3.5
3 T
2.5 R
2 L
1.5
1
0.5
0
Gubal Teras
Bagian batang
Gambar 5. Variasi penyusutan kayu cempaka menurut arah radial pada kondisi
kering udara
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa pada arah radial, penyusutan kering udara
tertinggi pada kayu Gubal dengan rata-rata penyusutan tangensial (2.96%), radial
(1.86%) dan longitudinal (1.21%) dan cenderung berkurang menuju teras.
103
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
Penyusutan kering udara
4
3,5
3 T
2,5
2 R
1,5
1 L
0,5
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian batang
Shrinkage (%)
Longitudinal Radial
T R L T/R Vol
Pangkal Gubal 3.40 1.75 1.34 1.94 6.49
Teras 4.80 4.13 1.55 1.16 10.48
Rata-rata 4.10 2.94 1.45 1.55 8.49
Tengah Gubal 4.08 3.41 1.89 1.20 9.38
Teras 3.50 4.01 0.56 0.87 8.07
Rata-rata 3.79 3.71 1.23 1.03 8.73
Ujung Gubal 4.65 2.77 1.66 1.68 9.08
Teras 3.24 2.20 1.38 1.47 0.31
Rata-rata 3.95 2.49 1.52 1.58 4.70
Rata-rata 3.95 3.05 1.40 1.39 7.30
104
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa penyusutan tangensial pada kondisi kering
oven berkisar antara 3.24-4.80% dengan rata-rata 3.95%. Penyusutan radial berkisar
antara 1.75-4.13% dengan rata-rata 3.05 %, sedangkan penyusutan longitudinal berkisar
antara 0.56-1.89% dengan rata-rata 1.40%. Penyusutan volumetrik kayu Cempaka
pada kondisi kering oven berkisar antara 0.31-10.48% dengan rata-rata 7.30%. Untuk
nilai perbandingan T/R pada kondisi ini adalah 1.39.
Penyusutan kering oven
5
4
T
3
R
2
L
1
0
Gubal Teras
Bagian batang
Gambar 7. Variasi penyusutan kayu cempaka menurut arah radial pada kondisi
kering oven
Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada arah radial, penyusutan kering oven
tertinggi pada kayu gubal dengan rata-rata penyusutan tangensial (4.04 %), radial
(2.64%) dan longitudinal (1.63 %) serta penyusutan volumetrik (8.32%) dan umumnya
berkurang ke kayu teras yaitu penyusutan tangensial (3.85 %), radial (3.45 %),
longitudinal (1.16%).
Penyusutan kering oven
5
4 T
3
R
2
L
1
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian batang
105
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
Pada Gambar 8 terlihat penyusutan kering oven umumnya tertinggi pada bagian
pangkal dengan rata-rata tangensial (4.10%), radial (2.94%), longitudinal (1,45%) dan
volumetrik (8.49%) dan cenderung menurun ke bagian ujung pohon yaitu penyusutan
tangensial (3.95%), radial (2,49%) dan longitudinal (1.52%).
Berdasarkan data penyusutan pada Tabel 3 dn Tabel 4, untuk kedua macam
kondisi tersebut, dapat dilihat bahwa kecenderungan penyusutan kering oven lebih
tinggi dibandingkan dengan penyusutan kering udara. Rata-rata penyusutan tangensial
pada kondisi kering oven sebesar 3.95%, radial 3.05% dan longitudinal 1.40% serta
penyusutan volumetrik 7.30%. Pada kondisi kering udara besarnya penyusutan
tangensial adalah 2.59%, radial 2.19% dan longitudinal 0.50% serta penyusutan
volumetrik 4.48%. Penyusutan tangensial, radial dan longitudinal kayu Cempaka
menurut arah radial menunjukkan nilai yang semakin menurun dari kayu gubal ke
kayu terasnya. Pada arah longitudinal terjadi penurunan penyusutan dari pangkal ke
ujung.
Menurut Soenardi (1976) besarnya penyusutan dipengaruhi oleh kandungan air
kayu. Data kadar air segar kayu Cempaka pada Tabel 1 menunjukkan nilai yang
meningkat baik dari kayu gubal ke kayu teras maupun dari pangkal ke ujung.
Sementara penyusutan pada kayu gubal dan bagian pangkal pohon lebih besar
dibandingkan pada kayu teras dan bagian ujung pohon. Pola semacam ini berlaku
untuk semua macam kondisi baik kondisi kering udara maupun kering oven.
Menurut Callman dan Cote (1968), besarnya penyusutan suatu kayu sangat
dipengaruhi oleh kerapatannya, semakin tinggi kerapatan kayu maka semakin besar
persentase penyusutannya. Kerapatan sepotong kayu menunjukkan berat jenis
kerapatan yang dimiliki oleh kayu tersebut. Makin besar berat jenis maka makin besar
pula kerapatannya. Berdasarkan hasil penelitian berat jenis kayu meningkat dari teras
ke gubal, diikuti dengan peningkatan penyusutan dari teras ke gubal. Hal ini diduga
terjadi karena pada saat contoh uji direndam, air memenuhi rongga sel pada kayu gubal
sehingga pada saat dikeringkan udara menguap lebih besar pada kayu gubal sementara
zat ekstraktif pada kayu teras tidak menguap dan tetap memenuhi rongga sel. Menurut
Haygreen dan Bowyer (1989), apabila zat ekstraktif dikeluarkan maka contoh uji akan
cenderung menyusut lebih banyak saat dikeringkan sebab hilangnya zat zat ekstraktif
menyebabkan hilangnya zat penyumbat dinding sel. Pada arah longitudinal penurunan
berat jenis dari pangkal ke ujung diikuti dengan penurunan penyusutan dari pangkal ke
ujung. Hal ini diduga terjadi karena pada bagian pangkal kerapatan dinding sel lebih
tinggi dibandingkan di bagian ujung pohon, dimana kerapatan kayu sangat
mempengaruhi penyusutan yang terjadi.
Ditambah pula bahwa kayu memiliki sifat anisotropis yang salah satunya yaitu
perubahan dimensi (penyusutan dan pengembangan) yang berbeda-beda pada ketiga
arah penampangnya (radial, tangensial dan longitudinal). Besarnya nilai penyusutan
kayu Cempaka yang diperoleh pada kondisi kering udara adalah tangensial 2.59%,
radial 2.19% dan longitudinal 0.50%.
106
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
Pada kondisi kering oven nilai penyusutan tangensial yang diperoleh 3.19%,
radial 3.05% dan longitudinal 1.40 %.
Nilai perbandingan penyusutan T/R dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat kestabilan kayu. Besarnya nilai perbandingan T/R berkisar antara 1.40 2
(Panshin and De Zeeuw, 1980). Centre Technique Forestien Tropical Perancis
(CTFTP) membuat standar mengenai kestabilan kayu, yaitu kayu dikatakan stabil
apabila mempunyai T/R 1.14 (Soeraptono, 1991 dalam Muhamad Alwan Soleh, 1994).
Kayu dengan nilai T/R yang rendah (lebih kecil dari 1.4) yaitu kayu dengan nilai
penyusutan tangensial dan radial yang rendah dikatakan mempunyai kestabilan
dimensi yang tinggi (Kollman dan Cote, 1968). Berdasarkan standar tersebut, kayu
Cempaka merupakan kayu yang mempunyai kestabilan dimensi yang tinggi dengan
nilai T/R 1.37 pada kondisi kering udara dan 1.39 pada kondisi kering oven. Dengan
demikian dalam penggunaannya tidak diperlukan penanganan khusus terutama dalam
proses pengeringan.
Adapun variasi penyusutan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 9 dan
Gambar 10.
Penyusutan volumketrik
10
8
6 Kondisi kering udara
4 Kondisi kering oven
2
0
Gubal Teras
Bagian batang
Pada Gambar 9 terlihat bahwa penyusutan volumetrik pada arah radial tertinggi
pada kayu gubal yaitu 5.62 % pada kondisi kering udara dan 8.31 % pada kondisi kering
oven dan cenderung menurun ke arah teras.
107
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
Penyusutan volumketrik
10
8
6 Kondisi kering udara
4 Kondisi kering oven
2
0
Pangkal Tengah Ujung
Bagian batang
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian mengenai sifat fisik kayu Cempaka diperoleh kesimpulan :
A. Kadar Air
1. Kadar air kayu Cempaka pada kondisi segar rata-rata 124.37% sedang untuk kondisi
kering udara rata-rata 14.36%.
2. Pada arah longitudinal kadar air segar kayu Cempaka cenderung meningkat dari
pangkal ke bagian ujung sedang pada arah radial terjadi penurunan dari teras ke
gubal.
B. Berat Jenis
1. Rata-rata berat jenis untuk ketiga macam kondisi (kondisi segar, kering udara dan
kering oven) masing-masing yaitu 0.37; 0.42; 0.41.
2. Pada arah longitudinal baik pada kondisi segar, kering udara maupun kering oven
menunjukkan nilai yang cenderung menurun dari bagian pangkal ke bagian bagian
ujung. Pada arah radial terjadi penurunan dari gubal ke teras.
108
Sifat Fisik Kayu Andalan Papua ..... (Susan Trida Salosa & Endra Gunawan )
C. Penyusutan
1. Penyusutan tangensial pada kondisi kering udara rata-rata 2.59 % sedang pada
kondisi kering oven rata-rata 3.95 %.
2. Penyusutan radial pada kondisi kering udara rata-rata 2.19 % sedang pada kondisi
kering oven rata-rata 3.05 %.
3. Penyusutan longitudinal pada kondisi kering udara rata-rata 0.50 % sedang pada
kondisi kering oven rata-rata 1.40 %.
4. Penyusutan volumetrik pada kondisi kering udara rata-rata 4.48 % sedang pada
kondisi kering oven rata-rata 7.30 %.
5. Penyusutan pada arah longitudinal menunjukkan nilai yang semakin menurun dari
bagian pangkal ke bagian ujung. Begitu pula, pada arah radial nilai penyusutan
semakin menurun dari kayu gubal ke arah kayu teras.
6. T/R ratio pada kondisi kering udara adalah 1.37, sedangkan pada kondisi kering
oven 1.39. Hal ini menunjukkan bahwa kayu Cempaka memiliki kestabilan
dimensi yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H.P., A.J. Panshin, and C. C. Forsaith. 1952. Text Book of Technology. Vol. II.
Mc. Grown Hill Book Company. New York. Toronto. London.
Fengel, D. dan G., Wegener. 1995. Kayu. Disadur Sastrohamidjojo H. dan S.
Prawirohadmodjo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Ginoga, Bakir, 1974. Pengujian Sifat Fisik dan Mekanik Kayu di Jepang. Publikasi
Khusus No. 24 Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Hanafiah, Kemas Ali. 1997. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Hasriani. 1996. Variasi Sifat Fisika Kayu Bugis (Koordersiodendron pinnatum Merr).
Skripsi Sarjana Kehutanan Faperta Uncen. Manokwari. Tidak diterbitkan.
Haygreen J.G. dan Bowyer J.L.1993. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu.Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Hematang, Y.E. 1994. Studi Sifat Fisik Mekanis Lentur Pometia pinnata dan Pometia
coreaceae. Laporan Penelitian Faperta Universitas Cendrawasih. Manokwari.
Tidak diterbitkan.
Kollman F. F., and W. aa. Cote, 1968. Principle of wood Science and Tecnology Vol. I
Solid Wood. Springervelag. New york.
109
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 94 110
110
POTENSI LIGNIN DARI LIMBAH BIOMASSA PADA
SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
SEBAGAI BAHAN BAKU PEREKAT ALAMI
Oleh:
Widya Fatriasari
UPT Biomaterial LIPI
Jl. Raya Bogor KM 46 Cibinong Bogor 16911
E-mail: fatriasari@biomaterial-lipi.go.id
ABSTRAK
Kata kunci : Potensi lignin, sektor kehutanan dan perkebunan, limbah lignoselulosa,
bahan baku perekat alami
I. PENDAHULUAN
Lignin merupakan salah satu bagian utama dari struktur dinding sel kayu (dari
bahan berserat lignoselulosa lain) selain holoselulosa yang berfungsi sebagai perekat dan
penguat dinding sel (Ruhendi, 2010). Lignin juga merupakan polimer alami dengan
struktur tiga dimensi dengan unit phenyl propana (C9) dimana monomer-monomer
tersebut satu terhadap lainnya bergabung membentuk polimer melalui ikatan karbon
ke karbon, karbon dengan oksigen dan ikatan eter (Goring, 1989; Van der Klashorst,
a
1989; Ruhendi et al, 2007 ). Lebih lanjut ikatan karbon (C) karbon (C) tersebut bisa
111
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 111 123
112
Potensi Lignin dari Limbah Biomassa ..... (Widya Fatriasari )
Lignin sebagai polimer yang semula secara alami bersifat thermoplastic dapat
dirubah menjadi thermotting melalui hasil kondensasi dengan formaldehida
membentuk lignin-formaldehida. Lignin-formaldehida tersebut dapat digunakan
sebagai perekat atau campuran sebagai campuran bahan perekat untuk penghematan
pemakaian perekat utama. Selain itu lignin dapat dikopolimerisasi dengan fenol atau
resorsinol dan formaldehida sehingga membentuk lignin fenol formaldehida (LPF) atau
a
lignin resorsinol formaldehida (LRF) (Pizzi, 1994 dalam Ruhendi et al, 2007 ). Lignin
sering ditambahkan dalam fenol formaldehida (membentuk LPF) maupun urea
formaldehida (LUF) sebagai perekat dalam pembuatan produk komposit (Ruhendi et
a
al., 2007 ). Pada indutri biokomposit sampai saat ini biaya kebutuhan perekat sintetis
masih memegang peranan yang cukup signifikan dari komponen biaya total produk,
oleh karena itu pengembangan perekat alami sebagai substitusi perekat sintetis tersebut
ataupun sebagai fortifikasi dalam perekat campuran dari bahan lignoselulosa dapat
diupayakan untuk menurunkan biaya produksi dan mengurangi dampak lingkungan.
Sektor kehutanan merupakan sumber biomassa lignoselulosa yang cukup
melimpah ketersediaanya sebagai sumber lignin sebagai bahan baku perekat alami. Pada
makalah sebelumnya telah diperoleh informasi potensi riil produksi sektor kehutanan
3
khususnya untuk perekat alami dan biokomposit pada tahun 2008 sebesar 8,058,734 m
dengan produksi pulp menurut Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), diperkirakan
7,9 jutan ton per tahun (Kabar Indonesia, 2008).
Terkait dengan segala uraian tersebut telah dilakukan kajian ilmiah dalam
bentuk tulisan dengan tujuan untuk memperoleh informasi jumlah limbah dari
biomassa berlignoselulosa sektor kehutanan tersebut dan jumlah lignin potensial pada
sektor tersebut. Berdasarkan data tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran
potensi riil lignin sebagai bahan baku perekat alami dan terbarukan di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam analisis ini berupa kajian data dari data statistik
primer dan data dari penelitian terkait dengan tema penulisan. Urutan metode yang
dilakukan adalah pertama menghitung potensi limbah yang dihasilkan pada sektor
kehutanan dengan memperhitungkan data produksi industri kayu solid dan kayu
olahan primer serta produksi beberapa industri kayu olahan dengan data rendemen
produksinya, kedua perhitungan besarnya lignin yang terkandung dalam bahan ligno-
selulosa pada sektor kehutanan tersebut dengan asumsi prosentase kehadirannya dari
literatur hasil penelitian dan mengkonversinya menjadi satuan berat menggunakan
asumsi rata-rata berat jenis kayu.Ketiga melakukan perhitungan limbah pada sektor
perkebunan khususnya produksi tandan kosong kelapa sawit dan serat dan menghitung
jumlah lignin yang terkandung didalamnya dengan asumsi prosentase berdasarkan
literatur hasil penelitian. Keempat menentukan formula prediksi pola produksi lignin
TKKS dan serat dalam kurun waktu 10 tahun dengan regresi linier. Selanjutnya data
113
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 111 123
potensi limbah sektor kehutanan dan perkebunan dan prediksi potensi lignin yang
terkandung didalamnya dianalisis untuk memperoleh informasi secara lebih mendalam
terkait dengan kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan baku bio-perekat di
Indonesia.
Pada dasarnya hampir semua bagian dari hasil panen dari hutan (khususnya
kayu) dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk turunannya yang bernilai
tambah seperti kayu lapis, papan partikel, laminated vineer lumber (LVL), dan medium
density fiberboard (MDF). Tabel 1 berikut ini menyajikan data rendemen industri
panel dan kayu solid pada sektor kehutanan. Lebih lanjut data ini digunakan sebagai
sumber informasi dasar penghitungan potensi limbah yang dihasilkannya. Data
produksi dan limbah yang dihasilkan industri kayu solid dan kayu olahan primer
disajikan pada Tabel 2 ,3, 4 berikut ini.
Tabel 1. Data rendemen industri panel dan kayu solid pada sektor kehutanan
Industri Rendemen Industri Asal bahan Rendemen
No. Asal bahan baku
tunggal (%) terpadu baku (%)
I. PANEL KAYU
1 Kayu lapis Kayu bulat 52-62 1. Kayu lapis Kayu bulat 57-66
(kayu lapis+
Papan Blok)
Kayu bulat karet 20-37
Venir sengon (core) 65-69
+ kayu bulat
diameter besar)
2 Kayu lapis Kayu bulat 40-41 1. Kayu lapis
indah (core (Kayu lapis+
kayu lapis Papan blok
biasa) (+ Papan
partikel )
3 Veneer Indah Kayu bulat 27-31 1. Kayu Kayu bulat 60-69
(slice) Lapis (Kayu
lapis+ Papan
blok +
Papan
partikel +
Kayu lapis
indah)
114
Potensi Lignin dari Limbah Biomassa ..... (Widya Fatriasari )
Tabel 1. Lanjutan
Industri Rendemen Industri Asal bahan Rendemen
No. Asal bahan baku
tunggal (%) terpadu baku (%)
Venir (rotary) Kayu bulat diameter 71-75 Kayu bulat 63-73
besar
Kayu bulat diameter 80-89
Kecil (Spindleless)
4 Papan partikel Kayu bulat 24-65
5 LVL Kayu bulat 48-60
6 Bare core Kayu bulat 37-53
7 MDF BBS 42-55
II. KAYU SOLID
1 Penggergajian Kayu bulat hutan 53-72
alam
Kayu bulat hutan 35-50
tanaman
Kayu bulat karet 20-30
2 Papan Kayu bulat 34-45
Sambung
3 Bilah sambung Kayu bulat 31-33
4 Moulding Kayu bulat 32-52
(imajiner)
Kayu gergajian 51-64
Papan sambung 70-80
Bilah sambung 70-80
III. Chip
Chip BBS 87 - 97
(belum
disaring)
47 - 56
(sudah
disaring &
kering udara
Keterangan : Lampiran surat Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Nomor: S. 948/VI-BPPHH/2004
Tanggal: 26 Oktober 2004 (Departemen Kehutanan, 2009)
115
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 111 123
Tabel 2. Data produksi dan limbah beberapa industri kayu solid dan kayu olahan
primer
Limbah limbah Limbah
Tahun Kayu
No Kayu bulat Kayu lapis industri industri kayu industri
Kegiatan gergajian
kayu bulat lapis penggergajian
1 1 2 3 4 5 6 7
2 1998/1999 19,026,944 7,154,729 2,707,221 6,354,999 4,078,196 1,150,569
3 1999/200 20,619,942 4,611,878 2,060,163 6,887,061 2,628,770 875,569
4 2000 13,798,240 2,789,543 2,789,543 4,608,612 1,590,040 1,185,556
5 2001 11,155,400 2,101,485 674,868 3,725,904 1,197,846 286,819
6 2002 9,004,105 1,694,405 623,496 3,007,371 965,811 264,986
7 2003 11,423,501 6,110,556 762,604 3,815,449 3,483,017 324,107
8 2004 13,548,938 4,514,392 432,967 4,525,345 2,573,203 184,011
9 2005 24,222,638 4,533,749 1,471,614 8,090,361 2,584,237 625,436
10 2006 21,792,144 3,811,794 679,247 7,278,576 2,172,723 288,680
11 2007 20,614,208 3,453,350 525,209 6,885,145 1,968,410 223,214
Total 165,206,06 40,775,88 12,726,932 55,178,824 23,242,252 5,408,946
rata-rata 30,037,465 7,413,797 2,313,988 10,032,513 4,225,864 983,445
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa potensi limbah total dalam kurun
waktu 1998-2007 yang terbesar dari industri kayu bulat. Limbah yang diproduksi dari
kayu lapis menurun tajam pada tahun 2002, meskipun kemudian meningkat signifikan
pada tahun 2003. Tidak stabilnya kondisi industri kayu lapis nasional merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi berfluktuasinya limbah yang diproduksinya. Pada
industri kayu gergajian juga mengalami fenomena yang sama, di mana sejak tahun 2001
terjadi penurunan produksi kayu gergajian beserta limbahnya meskipun produksi
sempat meningkat pada tahun 2005 dan selanjutnya produksi cenderung mengalami
penurunan.Tabel 3 dan 4 berikut menyajikan data produksi kayu olahan dan limbah
yang dihasilkannya.
116
Potensi Lignin dari Limbah Biomassa ..... (Widya Fatriasari )
Tabel 3. Data produksi dan limbah yang dihasilkan beberapa industri kayu olahan (1)
Limbah
Tahun Papan Limbah Limbah serpih
No Vinir Serpih kayu papan
kegiatan partikel vinir *) kayu*)
partikel*)
1 2 8 9 10 11 12 13
2 1998/1999 134,063 282,347 495,982 113,283 125,644 255,431
3 1999/200 1,034,999 188,054 203,352 874,574 83,684 104,726
4 2000 668,842 200,034 19,885 565,171 89,015 10,241
5 2001 94,228 296,877 384,803 79,623 132,110 198,174
6 2002 4,361,044 6,731 22,024 3,685,082 2,995 11,342
7 2003 289,191 93,642 127,377 244,366 41,671 65,599
8 2004 155,374 244,070 316,673 131,291 108,611 163,087
9 2005 1,012,205 124,768 352,078 855,313 55,522 181,320
10 2006 255,759 40,655 556,967 216,116 18,091 286,838
11 2007 299,202 103,506 252,826 0 53,306
Total 8,304,907 1,477,178 2,582,647 7,017,646 657,344 1,330,063
Rata-rata 1,509,983 295,436 469,572 1,275,936 119,517 241,830
*)
Potensi rata-rata limbah = 1,637,283 m3/tahun
Berdasarkan Tabel 3 di atas limbah yang diproduksi dari industri vinir, tampak
bahwa terjadi fluktuasi produksi yang sangat tajam, di mana produksi tertinggi terjadi
pada tahun 2002 dan selanjutnya cenderung menurun. Sedangkan limbah yang
diproduksi dari industri papan partikel justru mengalami titik terendah pada tahun
2002 dan puncak produksinya terjadi pada tahun 2001. Limbah yang diproduksi dari
industri chipwood sangat berfluktusi dan tidak memiliki trend tertentu dengan produksi
tertinggi pada tahun 2006 dan terendah pada tahun 2000. Fluktuatifnya limbah yang
diproduksi kayu olahan (Tabel 3) ini juga dipengaruhi faktor suplai bahan baku ke
industri selain juga faktor kondisi sosial, ekonomi, dan politik serta kebijakan
pemerintah yang terjadi.
Tabel 4. Data produksi dan limbah yang dihasilkan beberapa industri kayu olahan (2)
Olahan Limbah Limbah Limbah olahan
Tahun Pulp moulding
lainnya pulp*) moulding*) lainnya*)
2 15 16 17 18 19 20
1998/1999 1,993,624 705,005 978,038 996,812 562,372 341,927
1999/200 1,194,283 647,854 634,465 597,142 364,817 314,209
2000 658,984 160,336 329,492 92,193 0
2001 702,121 37,384 139,134 351,061 80,002 18,131
2002 280,591 161,833 140,296 93,054 0
2003 4,662,337 726,502 321,653 2,331,169 184,950 352,353
2004 2,593,926 766,401 238,743 1,296,963 137,277 371,704
2005 988,192 360,298 272,668 494,096 156,784 174,745
2006 3,370,600 23,060 119,396 1,685,300 68,653 11,184
2007 4,881,966 2440983 0 0
Total 21,326,624 3,266,504 3,026,266 10,663,312 1,740,103 1,584,254
Rata-rata 3,877,568 816,626 605,253 1,938,784 316,382 176,028
*) 3
Potensi rata-rata limbah =2,431,194 m /tahun
117
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 111 123
Sumber data lain dari Asosiasi Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI)
menyebutkan bahwa produksi pulp di Indonesia tahun 2008 diperkirakan mencapai
b
7,9 juta ton per tahun. Dimana menurut Rudatin (1989) dalam Ruhendi et al.(2007 ),
dari 15.000 ton pulp (berat kering) dari proses sulfat akan dihasilkan limbah lindi hitam
sekitar 13.000 ton dengan konsentrasi lignin 18% berat padatan/berat larutan.
Diperkirakan dari produksi pulp tersebut, akan diperoleh lignin dari lindi hitam sekitar
3,16 juta ton per tahun (Syahbirin et al, 2009).
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa industri pulp menyumbang limbah
paling tinggi dibandingkan dari industri kayu olahan lainnya dan moulding. Adapun
pola produksi limbah komoditi tertentu yang terjadi pada kurun waktu 2000-2007
dimana produksi tersebut mengalami peningkatan tajam pada tahun 2003, meskipun
sempat turun pada tahun 2004-2005 dan selanjutnya terjadi peningkatan pada tahun-
tahun selanjutnya.
Gambaran potensi lignin tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan lignin serat
TKKS berikut kemungkinan pemanfaatan lignin tersebut sebagai bio-perekat, adalah
dengan anggapan TKKS tidak digunakan untuk hal lain seperti bahan bakar (terutama
di pabrik CPO), pupuk organik/kompos, dan bahan baku pembuatan pulp/kertas
(umumnya menggunakan proses semi kimia, karena sebagian besar lignin TKKS ikut
terbawa pada produk pulp/kertas).
Mengenei limbah yang diproduksi oleh industri moulding, produksi limbah
tersebut cenderung menurun dan tertinggi pada tahun 1998 dan untuk limbah dari kayu
olahan lainnya relatif tidak stabil, dengan produksi tertinggi pada tahun 2004.
Berdasarkan perhitungan data limbah pada Tabel 2, 3, dan 4 maka dapat
diprediksi lignin yang terkandung dalam limbah tersebut. Adapun rincian total potensi
limbah adalah sebagai berikut :
3
Potensi limbah rata-rata per tahun 1 (Tabel 2) =15,241,822 m /tahun
3
Potensi limbah rata-rata per tahun 2 (Tabel 3) =1,637,283 m /tahun
3
Potensi limbah rata-rata per tahun 3 (Tabel 4) = 2,431,194 m /tahun
3
Potensi limbah total limbah 1+limbah 2 +limbah 3 = 19,310,299 m /tahun
Selanjutnya, dengan asumsi yaitu berat jenis limbah (kayu) 0,50 (kering oven),
kandungan selulosa dan lignin pada limbah tersebut berturut-turut sebesar 50% dan
25%, maka dapat diperkirakan potensi lignin sebesar 19,310,299 x 0,50 x 0,25 =
2,413,787,375 ton/tahun (sebesar 2,4 juta ton/tahun). Angka potensi lignin dibuat
dengan anggapan segala limbah pengolahan kayu tersebut (Tabel 2,3 dan 4) tidak
dipergunakan untuk bahan baku industri kayu, atau misalkan limbah penggergajian
kayu dan limbah industri kayu lapis tetap utuh tidak digunakan sebagai bahan baku
pembuatan papan partikel, MDF, dan pulp/kertas, dan sebagainya.
Jadi selain sektor kehutanan, biomassa dari sektor perkebunan juga berpotensi
menghasilkan limbah yang cukup besar khususnya dari perkebunan kelapa sawit yaitu
4,604,647.95 ton/tahun (sebagai TKKS) dan 377,809.62 ton/tahun (sebagai serat) (Tabel
5) adalah dari usaha perkebunan kelapa sawit (TKKS).Peningkatan produksi limbah
TKKS mengikuti peningkatan produksi komoditi utamanya (minyak kelapa
118
Potensi Lignin dari Limbah Biomassa ..... (Widya Fatriasari )
sawit/CPO) selama kurun waktu 2000-2007. Dari produksi limbah TKKS tersebut
dapat diperkirakan potensi ligninnya (Tabel 5), lebih lanjut kecenderungan potensi
produksi lignin TKKS dan serat disajikan pada Gambar 1 dan 2.
Tabel 5. Potensi limbah dan kandungan lignin dari perkebunan kelapa sawit
TKKS Serat Lignin TKKS Lignin serat
Tahun
(ton basah) (ton basah) (ton basah) (ton basah)
2000 2,376,672.47 222,848.81 451,567.77 24,513.37
2001 2,850,602.24 267,286.85 541,614.43 29,401.55
2002 3,266,786.13 306,310.35 620,689.36 33,694.14
2003 3,544,663.14 332,365.51 673,486.00 36,560.21
2004 3,676,917.07 344,766.30 698,614.24 37,924.29
2005 4,027,018.29 377,593.56 765,133.48 41,535.29
2006 5,890,612.90 552,333.59 1,119,216.45 60,756.69
2007 5,997,174.14 562,325.31 1,139,463.09 61,855.78
2008 5,954,758.03 558,348.17 1,131,404.03 61,418.30
2009* 6,328,579.10 593,399.52 1,202,430.03 65,273.95
2010 6,737,343.89 631,727.37 1,280,095.34 69,490.01
Rata-rata 4,604,467.95 377,809.62 874,883.11 47,493,05
Keterangan : - Lignin dalam TKKS dan serat: 19% dan 11% (Srekala et al., 1997)
- TKKS berdasarkan 33.95% tandan buah segar, dan berdasarkan 8.98% mesocarp
- Potensi rata-rata lignin limbah TKKS dan serat =932,376.16 ton
119
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 111 123
data riil
Kecenderungan
Pola produksi lignin dari serat juga memiliki kecenderungan yang semakin
meningkat dari tahun 2000-2010 (Gambar 2). Berdasarkan data produksi selama 10
tahun tersebut dapat diperoleh persamaan regresi dengan R2 yang juga mendekati 1
(0.938), yang berarti model ini layak untuk digunakan sebagai pendugaan produksi
lignin pada tahun yang akan datang. Kemungkinan produksi lignin yang terkandung
dalam serat pada tahun 2020, 2025 dan 2030 masing-masing adalah 9.658.298, 9.706.018
dan 9.706.018 ton basah. Keseluruhan pendugaan potensi lignin tersebut pada tahun
2020-2030 (Gambar1 dan 2) juga dengan anggapan (seperi diuraikan sebelumnya) bahwa
TKKS tidak dipergunakan untuk bahan bakar, pupuk kompos, dan pulp/kertas
(menggunakan proses semi-kimia).
120
Potensi Lignin dari Limbah Biomassa ..... (Widya Fatriasari )
data riil
Kecenderungan
1. Lignin merupakan salah satu komponen utama penyusun dinding sel kayu atau
bahan berserat ligno-selulosa lain, disamping komponen holoselulosa. Diharapkan
lignin tersebut (sebagai polifenol) bermanfaat sebagai bahan baku untuk sintesa
perekat alami (bio perekat).
2. Total potensi limbah dari sektor kehutanan Indonesia (kurun waktu 1998-2007),
khususnya industri perkayuan (mencakup antara lain penggergajian, vinir/kayu
lapis, pulp/kertas/MDF, papan partikel, LVL, dan papan blok) mencapai
3
19,310,229 (sekitar 19,3 juta) m per tahun. Limbah tersebut juga merupakan bahan
berserat ligno-selulosa sehingga dengan demikian komponen lignin dapat pula
dimanfaatkan untuk bio-perekat, dengan potensi 2,431,323 ton/tahun.
3. Sektor perkebunan (khusunya usaha perkebunan kelapa sawit) menghasilkan
limbah yang disebut tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dengan potensi sebesar
4,604,647.95 ton/tahun (2000-2010).Limbah TKKS juga merupakan bahan berserat
ligno-selulosa, dimana berpotensi pula menghasilkan lignin TKKS, dan lignin serat
secara keseluruhan sebesar 932,376.22 ton/tahun, yang juga dapat dimanfaatkan
untuk bio-perekat.
4. Potensi lignin dari limbah sektor kehutanan dan limbah sektor perkebunan adalah
dengan anggapan limbah tersebut tetap utuh, tidak dimanfaatkan untuk hal lain,
seperti bahan bakar, pupuk kompos/organik, pulp/kertas/MDF, dan sebagainya.
121
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 111 123
DAFTAR PUSTAKA
122
Potensi Lignin dari Limbah Biomassa ..... (Widya Fatriasari )
Syahbirin, Gustini, A.A. Darwis, A. Suryani, W. Syafii. 2009. Pengaruh nisbah pereaksi
(lignin eupcalyptusnatrium bisulfit) dan ph awal reaksi sulfonasi terhadap
karakteristik natrium lignosulfonat. J. Tek. Ind. Pert.19(2): 101-106.
Van der Klashorst, G.H. 1989. Wood Adhesives Chemistry and Technology: Lignin
formaldehyde wood adhesives. A.Pizzi (Eds). Volume 2. Marcel Dekker, Inc.
New York and Basel, pp: 155-189.
123
KAYU LAPIS DARI VENIR LIMBAH BATANG SAWIT
Oleh:
1 2
Arif Nuryawan & Osly Rachman
1
Staf Pengajar Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan,
email : arif.nury@gmail.com atau arifnury@yahoo.com
2
Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, RI, Bogor
email : osly.rachman@gmail.com
ABSTRAK
Kata kunci : Limbah batang kelapa sawit, bahan baku, kayu lapis hybrid, organisme
perusak kayu, asam borat
I. PENDAHULUAN
124
Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit ..... (Arif Nuryawan & Osly Rachman )
Lahan (GNRHL) Selain itu muncul ide efisiensi pemanfaatan kayu solid dengan
mencari alternatif melalui teknologi pengolahan kayu dan bahan berlignoselulosa
lainnya, salah satunya adalah pengembangan pemanfaatan limbah batang sawit.
Di Indonesia terdapat potensi limbah kayu kelapa sawit yang cukup besar.
Mengingat pohon kelapa sawit memiliki umur ekonomis 25 tahun. Setelah itu, pohon
akan ditebang karena produksinya menurun dan pohon bertambah tinggi sehingga sulit
untuk dipanen. Penanaman kelapa sawit di lapangan biasanya dilakukan dengan
kerapatan 130-143 pohon per hektar. Setelah 25 tahun diperkirakan ada sekitar 10%
pohon mati sehingga pada saat peremajaan terdapat sekitar 117 pohon tua per hektar.
Pada tahun 1967-1982 luas pertambahan areal kelapa sawit mencapai rata-rata 15 ribu
hektar/tahun. Dengan asumsi bahwa luas areal yang diremajakan sama dengan
pertambahan luas areal kelapa sawit 25 tahun sebelumnya, maka pada tahun 1997-2007
ada sekitar 1,7 juta pohon yang ditebang setiap tahun. Pada tahun 1983-1990
pertambahan areal rata-rata mencapai 100 ribu hektar/ tahun, sehingga pada tahun
2008-2015 jumlah pohon yang ditebang ada 11,7 juta pohon per tahun. Kayu sawit
tersebut akan terus tersedia sepanjang tahun karena peremajaannya dilakukan secara
kontinyu (Prayitno dan Darnoko, 1994) dan limbahnya dapat dimanfaatkan satu
diantaranya sebagai bahan baku kayu lapis.
Di Propinsi Sumatera Utara, terdapat satu industri yang mengolah limbah
batang kelapa sawit menjadi produk kayu lapis. Namun sayangnya, beberapa waktu
yang lalu industri ini telah gulung tikar karena produk kayu lapis yang dihasilkan
diserang bubuk kayu kering sehingga dikembalikan oleh konsumen.
Penelitian ini menguraikan mengenai penggunaan limbah batang kelapa sawit
sebagai bahan baku kayu lapis. Tujuan penelitian ini adalah memberikan informasi
ilmiah tentang limbah batang sawit yang telah dimanfaatkan dan diusahakan secara
komersial menjadi bahan baku kayu lapis yang dikembalikan oleh konsumen.
Bahan penelitian ini adalah sampel kayu lapis yang terbuat dari venir limbah
batang sawit dan venir kayu sembarang yang telah diusahakan secara komersil oleh satu
industri di Propinsi Sumatera Utara. Sebagai pembanding dibeli kayu lapis yang ada di
pasaran kota Medan dari satu panglong (toko kayu dan bahan bangunan) terbuat dari
venir kayu.
Metode pengkajian ini mencakup tiga kegiatan, yaitu :
1. Wawancara dengan manajer operasional industri
2. Studi literatur/ pustaka mengenai limbah batang kelapa sawit
3. Membandingkan produk kayu lapis dari venir limbah batang kelapa sawit dan venir
kayu sembarang yang telah diusahakan secara komersil oleh satu industri di
Propinsi Sumatera Utara dan produk kayu lapis yang ada di pasaran kota Medan
yang dibeli dari satu panglong (toko kayu dan bahan bangunan) yang terbuat dari
venir kayu.
125
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 124 135
Gambar 1. Diagram alir proses produksi kayu lapis dari limbah batang sawit
126
Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit ..... (Arif Nuryawan & Osly Rachman )
Gambar 2. Produksi vinir sebagai bahan baku kayu lapis di Malaysia (sumber :
Feng, 2006)
Gambar 3. Persiapan awal produksi kayu Gambar 4. Keragaan kayu lapis dari
lapis, limbah batang sawit mulai masuk limbah batang kelapa sawit (Rachman,
line untuk dikupas menjadi venir 2006)
menggunakan mesin rotary cutting
(Rachman, 2006)
127
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 124 135
Batang sawit sebelum dimasukan ke rotary cutting dipotong dengan panjang 130
cm untuk selanjutnya dikupas dijadikan vinir sebelum menjadi produk lanjutan.
128
Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit ..... (Arif Nuryawan & Osly Rachman )
Prayitno dan Darnoko (1994) menjelaskan bahwa pohon kelapa sawit yang akan
diremajakan mempunyai tinggi 9 - 12 m dengan diameter 45 - 65 cm yang diukur pada
ketinggian 1,5 m dari tanah. Bagian kulitnya mempunyai ketebalan sekitar 3 - 3,5 cm
(Gambar 5). Kayu kelapa sawit terdiri atas serat dan parenkim. Kandungan parenkim
ini meningkat pada bagian batang. Parenkim kelapa sawit bagian atas mengandung pati
sampai 40%. Kadar air kayu kelapa sawit segar cukup tinggi yaitu sekitar 65%.
kulit
korte ks
bagian utama
Pohon sawit tergolong famili palmae, mempunyai kayu dengan komposisi sel
utama berupa jaringan pembuluh (vascular bundles) (Gambar 6) dan jaringan parenkim
(Rahayu, 2001). Jaringan pembuluh terdiri atas jaringan serat, pembuluh penyalur
makanan atau metaxylem (meta dan proto). Fungsi utama jaringan pembuluh adalah
sebagai penyokong batang, di mana dinding sel serabut tebal dan mengandung silika.
Parenkim berdinding tipis dan mengandung karbohidrat tinggi (Coto, 2003).
129
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 124 135
130
Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit ..... (Arif Nuryawan & Osly Rachman )
Balfas (2003) menambahkan secara umum terdapat beberapa hal yang kurang
menguntungkan dari kayu sawit dibandingkan kayu biasa di antaranya adalah :
1. Kandungan air pada batang segar sangat tinggi (dapat mencapai 500%).
2. Kandungan zat pati sangat tinggi (pada jaringan parenkim dapat mencapai 45%).
3. Keawetan alami sangat rendah.
4. Kadar air keseimbangan relatif lebih tinggi.
5. Pada saat proses pengeringan terjadi kerusakan parenkim disertai perubahan dan
kerusakan fisis secara berlebihan terutama pada bagian kayu berkerapatan rendah.
6. Pada pengolahan mekanis batang sawit, pisau, gergaji dan amplas lebih cepat
tumpul.
7. Kualitas permukaan kayu setelah pengolahan relatif lebih rendah.
8. Dalam proses pengerjaan akhir (finishing) memerlukan bahan yang lebih banyak.
Salah satu masalah serius dalam pemanfaatannya adalah sifat higroskopis yang
berlebihan. Meskipun telah dikeringkan hingga kadar air kering tanur, batang sawit
dapat kembali menyerap air dari udara hingga mencapai kadar air lebih dari 20%.
Pada kondisi ini beberapa jenis jamur dan cendawan dapat tumbuh subur baik pada
permukaan maupun bagian dalam kayu sawit. Hal ini terutama berhubungan dengan
karakteristik kimia kayu sawit yang memiliki kandungan ekstraktif (terutama pati)
yang lebih banyak dibandingkan kayu biasa. Persentase kandungan dan kelarutan
karakteristik kimia kayu sawit lebih besar/banyak dibandingkan kayu biasa seperti
agathis dan jati (Tabel 2).
131
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 124 135
Balfas (2003) juga menyatakan bahwa kayu sawit memiliki beberapa hal yang
menguntungkan dibandingkan dengan kayu biasa, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Harga kayu atau biaya eksploitasi sangat rendah.
2. Warna kayu cerah dan lebih seragam.
3. Tidak mengandung mata kayu.
4. Relatif tidak memiliki sifat anisotropis.
5. Mudah diberi perlakuan kimia.
6. Mudah dikeringkan.
3
7. Pada bagian yang cukup padat (kerapatan > 500 g/cm ) tidak dijumpai perubahan
atau kerusakan fisis yang berarti.
C. Perbandingan Kayu Lapis dari Batang Sawit dan Kayu Lapis Konvensional
Secara keragaan kayu lapis dari batang sawit memiliki stabilitas dimensi yang
rendah. Hal ini dimungkinkan karena higroskopisitas venir batang sawit yang
menyusun kayu lapis sawit masih tinggi akibat tidak diberi perlakuan. Seperti yang
diungkapkan Balfas (2003) bahwa salah satu masalah serius dalam pemanfaatan batang
sawit adalah sifat higroskopis yang berlebihan. Meskipun telah dikeringkan hingga
kadar air kering tanur, batang sawit dapat kembali menyerap air dari udara hingga
mencapai kadar air lebih dari 20%.
Berikut keragaan kayu lapis dari batang sawit jika dibandingkan dengan kayu
lapis hybrid (campuran dari limbah batang dan kayu biasa/ sembarang) dan kayu lapis
konvensional (Gambar 9).
B B. Kayu lapishybrid
(batang sawit + kayu
sembarang)
Gambar 9. Perbandingan kayu lapis batang sawit, kayu lapis hybrid, dan kayu
lapis konvensional
132
Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit ..... (Arif Nuryawan & Osly Rachman )
Pada Gambar 9 terlihat kayu lapis batang sawit agak lebih bergelombang (A) jika
dibandingkan kayu lapis hybrid (B). Apalagi jika dibandingkan dengan kayu lapis
konvensional (C). Hal ini mengindikasikan kayu lapis konvensional yang terbuat dari
venir-venir kayu lebih stabil dimensinya dibandingkan A dan B. Seperti diketahui
bahwa penyusutan kayu konvensional ada pada tiga arah yang besarnya berbeda-beda
(bersifat anisotropis), yaitu 0,1% untuk bidang longitudinal, 2~4% untuk bidang
radial, dan 4~7% untuk bidang tangensial. Walaupun venir-venir kayu yang
menyusun kayu lapis memiliki kembang susut yang tinggi hingga 7%, namun kayu
lapis konvensional tetap stabil karena konstruksi penyusunannya dibuat bersilangan
tegak lurus. Akibatnya penyusutan yang terjadi akan saling ditahan. Misalnya
penyusutan venir bagian core/inti, maka penyusutannya akan ditahan oleh venir bagian
face dan back-nya.
Adapun batang kelapa sawit, karena monokotil, dan tersusun atas vascular
bundles dan parenkim, maka tidak ada bidang-bidang seperti halnya pada kayu
konvensional. Bidang tangensial dan radial yang ada seperti pada kayu konvensional
menjadi satu bidang saja pada batang sawit. Akibatnya kembang susutnya menjadi lebih
besar. Oleh karena itu jika dibuat venir kemudian direkatkan, stabilitas dimensinya
masih lebih rendah jika dibandingkan kayu lapis konvensional.
Sebagai solusi untuk optimasi pemanfaatan batang sawit sebagai bahan baku
kayu lapis maka dibuatlah kayu lapis hybrid yang terdiri atas venir-venir dari batang
sawit dan venir-venir kayu konvensional dalam hal ini kayu sembarang. Disebut kayu
sembarang karena di dalamnya terdiri atas bermacam-macam jenis kayu, biasanya kayu-
kayu buah-buahan (Sitorus, 2009). Namun demikian tetap harus diwaspadai mutu
stabilitas dimensi dan keawetannya karena kandungan pati yang tinggi pada batang
sawit akan mengundang berbagai mikroorganisme. Tampilan kayu lapis hybrid batang
sawit disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan wawancara dengan manajer produksi
kayu lapis hybrid pada mulanya bisa dipasarkan/ dijual karena keragaannya hampir
mirip dengan kayu lapis konvensional.
Gambar 10. Keragaan kayu lapis hybrid : tersusun atas venir batang sawit dan
venir kayu sembarang
133
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 124 135
Tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama karena konsumen yang telah membeli
kayu lapis hybrid merasa dirugikan akibat kayu lapis hybrid ternyata tidak awet. Banyak
dari bagian kayu lapis hybrid terserang bubuk. Hal ini diduga kandungan pati dari
batang sawit yang dijadikan venir masih relatif tinggi. Untuk itu pabrik kayu lapis
hybrid berupaya melapisi kayu lapis tersebut dengan bahan pengawet kayu (asam
borat/ H3BO3). Tetapi konsumen sudah terlanjur tidak mau membeli kayu lapis hybrid
tersebut. Akibatnya sekarang industri tersebut gulung tikar.
Kayu lapis hybrid yang tersusun atas venir-venir dari batang sawit dan kayu
sembarang dari segi keragaan masih memenuhi kelayakan sebuah produk kayu lapis
namun perlu mendapat perhatian pemberian bahan pengawet kayu sehingga tidak
terserang bubuk atau organisme perusak kayu. Saran untuk industri masih diperlukan
suatu penelitian jangka waktu keawetan kayu lapis hybrid setelah diberi bahan
pengawet borat. Pemberian jenis bahan pengawet lainpun perlu dicobakan. Saran
untuk penelitian lanjut adalah pengujian kekuatan fisik dan mekanik mengingat dalam
penelitian ini sifat kekuatannya belum teruji.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada DP2M Dikti Depdiknas RI atas biaya
penelitian ini dan kepada Arif Budiman, Evalina Herawati, S.Hut, M.Si dan PT.Raja
Garuda Mas Panel (RGM) di Blok Songo Kecamatan Kotapinang Kabupaten
Labuhanbatu Selatan khususnya Pimpinan PT. Asia Forestama Raya Unit Labuhan
Batu (Bapak Sian Pau) atas kerjasamanya dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008a. Perkembangan Produksi Kayu Bulat dan Kayu Olahan Sepuluh Tahun
Terakhir. http://www.dephut.go.id. [5 12 2008]
______. 2008b. Luas Kawasan Hutan dan Perairan. http://www.dephut.go.id. [5 - 12
2008]
Bakar, E.S. 2003. Kayu Sawit Sebagai Substitusi Kayu dari Hutan Alam. Forum
Komunikasi Teknologi dan Industri kayu, Volume: 2/1/Juli 2003., JTHH,
Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Balfas, J. 2003. Potensi Kayu Sawit Sebagai Alternatif Bahan Baku Industri Perkayuan.
Makalah Seminar Nasional Himpunan Alumni-IPB dan HAPKA Fakultas
Kehutanan IPB Wilayah Regional Sumatera Utara. Medan.
134
Kayu Lapis dari Venir Limbah Batang Sawit ..... (Arif Nuryawan & Osly Rachman )
Coto, Z. 2003. Peningkatan Mutu Kayu Karet, Kayu Sawit Untuk Peningkatan
Optimalisasi Pemanfaatan. Seminar Nasional Himpunan Alumni-IPB dan
HAPKA Fakultas Kehutanan IPB Wilayah Regional Suamtera. Medan.
Erwinsyah, Herawan, T. dan E. Susilawati. 1999. Penguraian Serat Tandan Kosong
Sawit Sebagai Bahan Baku Serat Berkaret. Warta PPKS 7(2) : 75-79.
________. 2008. Improvement of Oil Palm Wood Properties Using Bioresin [Disertasi].
Dresden Technic University. Jerman.
Feng LY. 2006. Enhancing Properties of Oilpalm Stem Plywood through Pretreatment of
Phenolic Resin. Bahan presentasi Institute of Tropical Forestry and Forest
Products Universiti Putra Malaysia Serdang Selangor Malaysia.
Lubis, A.U., Guritno, P. dan Darnoko. 1994. Prospek Industri dengan Bahan Baku
Limbah Padat Kelapa Sawit di Indonesia. Berita PPKS 2. Medan
Prayitno, T.A. dan Darnoko. 1994. Karakteristik Papan Partikel dari Pohon Kelapa
Sawit. Berita PPKS 2. Medan.
Rahayu, I.S. 2001. Sifat Fisis, Mekanis, Kimia, dan Keawetan Kayu Sawit. [Tesis].
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Risza, S. 1994. Kelapa Sawit: Upaya Meningkatkan Produktifitas. Kanisius.
Yogyakarta.
Sitorus, O.R. 2009. Survey Industri Kayu Sekunder di Kota Medan. [Skripsi]
Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology Wood. Structure, Properties, Utilization. Van
Vostrand Reinhold Inc. USA.
135
PRODUKSI GETAH TUSAM PADA BERBAGAI UKURAN
DAN JUMLAH KOWAKAN
Oleh:
1 1 2 2
S. Andy Cahyono , Dody Prakosa , Dody Yuliantoro & Siswo
Email: sandycahyono@yahoo.com.
1
Balai Penelitian Kehutanan Solo, Jl. Jend A. Yani-Pabelan, Kartasura, Surakarta 57102
2
Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km.6,5 Punti Kayu, Palembang
ABSTRAK
Salah satu persoalan dalam penyadapan getah pinus adalah rendahnya
produktifitas getah per pohon dan teknik penyadapan yang cenderung merusak pohon.
Peluang pohon akan mati, roboh, sakit dan rusak makin besar apabila dalam dan jumlah
kowakan yang dibuat penyadap tidak sesuai dengan standar.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan koakan optimal meliputi lebar, dalam dan
jumlah kowakan sehingga produksi maksimal dan kesehatan pohon terjaga. Perlakuan
lebar kowakan (4 cm, 6 cm, 8 cm, 10 cm, 12 cm), kedalaman kowakan 2 cm dan 4 cm,
dan jumlah kowakan 1 dan 2. Sampel digunakan dalam penelitian ini 63 pohon, data
yang diperoleh dianalisis dengan rancangan acak lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah dan lebar kowakan berpenga
signifikan mempengaruhi produksi getah sedangka kedalaman kowakan tidak
signifikan. Produksi optimal tercapai pada perlakuan dengan kowakan 2 cm, 4 cm dan
lebar kowakan 6 cm, dan jumlah kowakan sebanyak 2 buah. Rentang produksi optimal
berada pada lebar kowakan 4 - 8 cm. Hasil penyadapan dengan kowakan optimum
meningkatkan produksi getah sebesar 108,87% dan tambahan peningkatan penghasil
sebesar Rp 132.500,- untuk setiap kali sadap pinus dibandingkan teknik yang dilakukan
sekarang.
I. PENDAHULUAN
Hutan alam Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vries) ditemukan pertama kali oleh
Junghuhn tahun 1841 di Dolok Suanon (Harahap, 2000) dan satu-satunya genus pinus
asli Indonesia. Potensi tusam yang cukup komersil menjadikannya sebagai salah satu
tanaman andalan selain jati di Perhutani dan berkontribusi besar pada ekonomi
penyadap (Soedjono, 1992). Di Perhutani, hutan tanaman tusam disadap untuk
memperoleh getahnya untuk diolah menjadi gondorukem dan terpentin, dan kayunya
dimanfaatkan untuk pertukangan. Gondorukem digunakan sebagai bahan baku dalam
industri kertas, plastik, cat, batik, tinta cetak, politur, farmasi dan sebagainya,
sedangkan terpentin dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri kosmetik,
minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik dan farmasi.
136
Produksi Getah Tusam pada berbagai ..... (S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro dan Siswo )
Tingkat produksi getah yang rendah dan kerusakan pohon karena teknik
penyadapan yang tidak tepat merupakan masalah penting dalam pengelolaan hutan
tusam. Produksi getah dipengaruhi oleh spesies, umur, kondisi tapak, kondisi iklim
(curah hujan dan temperatur), metode sadap, lamanya sadap dan pemberian stimulan
(Coppen dan Hone, 1995; Wang et al., 2006). Metode sadap merupakan salah satu faktor
penyadapan yang dapat diubah dan diperbaiki untuk meningkatkan produksi.
Penyadapan dilakukan dengan membuat kowakan dengan alat kadukul/
petel/pecok. Alat pembuat kowakan mempunyai sisi tajam selebar 10 cm. Namun
kowakan yang dihasilkan sering mencapai 12 - 15 cm (Endom et al., 2005) sehingga
sangat mengganggu kesehatan pohon dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Lebar dan kedalaman kowakan berpengaruh terhadap kesehatan pohon dan produksi
kayu. Bila kowakan terlalu lebar dan dalam, pohon akan mudah mati atau roboh karena
oleh tiupan angin. Apalagi, fakta lapangan menunjukkan banyak pohon tusam dengan
jumlah kowakan bervariasi antara 2 - 8 (Anonim, 2005) atau 2 - 7 buah per pohon
(Endom et al., 2005). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh teknik penyadapan
yang tepat sehingga menghasilkan getah yang optimal dengan tetap memperhatikan
kesehatan pohon.
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK)
Gombong pada anak petak 62 f. Anak petak 62 f dipilih untuk uji-coba penyadapan
tusam dengan pertimbangan: 1. pertumbuhan tanaman pinus baik, 2. usia pohon sudah
masa sadap, 3. tanaman pinus murni dengan diameter relatif seragam/homogen, 4.
topografi relatif rata dibandingkan lainnya, 5. dekat pemukiman pengamat getah
sehingga keamanan lebih terjamin, 6. Mudah dijangkau.
C. Prosedur Kerja
Rancangan penelitian dipergunakan adalah rangcangan acak lengkap (RAL).
Perlakuan yang diujicobakan adalah pembuatan kowakan dengan berbagai lebar,
kedalaman dan jumlah kowakan Table 1.
137
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 136 141
138
Produksi Getah Tusam pada berbagai ..... (S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro dan Siswo )
139
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 136 141
140
Produksi Getah Tusam pada berbagai ..... (S. Andy Cahyono, Dody Prakosa, Dody Yuliantoro dan Siswo )
DAFTAR PUSTAKA
141
PAKOBA: HHBK POTENSIAL LOKAL SPESIFIK
SULAWESI UTARA
Oleh:
1
Sentot Adi Sasmuko
1
Balai Penelitian Kehutanan Mataram
Jl. Dharma Bhakti No.7 Langko-Lingsar-Lombok Barat 83371
Telp. 0370- 6573874 Fax. 0370 6573841 e-mail : bpkmataram@yahoo.co.id
1
e-mail : sentotadisasmuko@ymail.com
ABSTRAK
Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Indonesia perlu digali terus
menerus, karena masih banyak jenis tanaman yang kurang dikenal tetapi memberikan
manfaat baik sosial maupun ekonomi bagi masyarakat. Keberadaan HHBK lokal
spesifik diantaranya di Pulau Sulawesi perlu diungkap manfaat dan prospek
pengembangannya karena terdapat kemungkinan dapat memberikan kontribusi
kepada masyarakat setempat. Jenis-jenis HHBK lokal spesifik tersebut pada umumnya
bermanfaat sebagai tanaman obat dan bahan makanan. Seperti halnya pakoba yaitu
salah satu jenis tanaman yang buahnya bisa dimakan, bahkan masyarakat Minahasa
sudah sejak lama mengkonsumsi buah pakoba tersebut. Akan tetapi keberadaannya di
Sulawesi Utara kurang mendapat perhatian serius untuk dikembangkan sebagai
komoditi lokal unggulan yang spesifik sebagai sumber pangan. Agar supaya pakoba
dapat lebih dikenal maka perlu ada upaya pelestarian dan pengembangan komoditi
sehingga akan semakin besar kontribusinya terhadap peningkatan ekonomi dan sosial
budaya masyarakat di daerah tersebut.
I. PENDAHULUAN
Pulau Sulawesi dikenal mempunyai tingkat endemisitas flora yang tinggi. Posisi
geografis pulau tersebut yang berada di tengah-tengah kawasan Wallacea dan di antara
dua benua Asia dan Australia sangat memungkinkan mempunyai potensi
keanekaragaman hayati yang tinggi. Akan tetapi dari sekitar 5.000 jenis flora Sulawesi
(Kinnaird, 1997) yang telah diketahui, hanya beberapa jenis saja dapat dimanfaatkan
dan familiar di tengah masyarakat. Demikian halnya di Provinsi Sulawesi Utara, dari
jumlah sekitar 99 jenis pohon terdapat beberapa jenis yang endemik dan mempunyai
nilai historis. Di antara jenis tersebut terdapat pohon pakoba merupakan salah satu
jenis endemik yang tumbuh di tengah masyarakat Minahasa. Masyarakat mengenalnya
sebagai jambu minahasa yang mempunyai kaitan dengan sejarah masyarakat di sana dan
telah dimanfaatkan baik kayu maupun buahnya.
142
Pakoba: HHBK Potensial Lokal Spesifik ..... (Sentot Adi Sasmuko )
Sampai saat ini pohon pakoba belum dapat diketahui dengan pasti nama
botanisnya, beberapa publikasi hanya menuliskan Eugenia sp. Demikian pula dengan
pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Kayu pakoba sebatas hanya
dimanfaatkan untuk kayu bakar dan arang, sedangkan buah pakoba oleh masyarakat
secara tradisional dibuat untuk manisan, dodol, dan minuman. Oleh karena itu, segera
perlu dilakukan upaya melalui kegiatan riset untuk dapat mengetahui taksonomi dan
teknologi pengembangan pemanfaatan pohon pakoba tersebut.
Pengembangan pohon pakoba di daerah asal sejauh ini masih sangat minim
bahkan cenderung semakin berkurang potensinya karena banyak masyarakat telah
menebangnya. Pemerintah Kota Tomohon telah menjadikan pohon pakoba ini sebagai
maskot kota Tomohon yang berarti merupakan jenis unggulan setempat. Akan tetapi
kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembangan pohon pakoba masih belum nyata
terlihat, sehingga masih perlu digalakkan lagi.
Dalam sektor kehutanan pakoba telah diakui sebagai salah satu sumber
komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) potensial untuk dikembangkan. Strategi
pengembangan untuk memperkuat eksistensi pohon pakoba sebagai pohon unggulan
Propinsi Sulawesi Utara khususnya masyarakat Minahasa perlu segera dilakukan oleh
berbagai pihak, baik melalui riset-riset maupun kegiatan-kegiatan sektoral lainnya.
Diharapkan pohon jambu Minahasa ini menjadi jenis primadona spesifik yang tidak
dimiliki daerah lainnya dan memberikan manfaat historis, ekologis dan ekonomis bagi
masyarakat. Dengan demikian akan menghilangkan kesan bahwa keberadaan pohon
pakoba tersebut terabaikan padahal masyarakat telah lama mengenalnya.
Sehubungan dengan uraian di atas, tulisan ini menyajikan secara ringkas dan
praktis mengenai keberadaan pakoba sebagai salah satu jenis HHBK potensial spesifik
asal Sulawesi Utara.
143
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 142 149
duduk atau bertangkai, berbilangan 4-5. Benang sari lepas-lepas, sering dalam jumlah
banyak; bakal buah beruang 2, jarang 3-4. Buah buni beraneka bentuk dan warna,
berdaging seperti spons, seperti kulit atau kering, sering bermahkotakan tabung
kelopak atau daun-daun kelopak yang menetap. Biji 1-2, jarang lebih.
Banyak spesiesnya yang menghasilkan buah yang disukai orang, memiliki
penampakan indah sebagai pohon hias, atau menghasilkan komoditas industri yang
penting seperti cengkeh. Karena jenis-jenis anggotanya, marga ini pantas dinamakan
sebagai marga jambu atau jambu-jambuan. Beberapa contoh jenis dari anggota marga
ini, di antaranya adalah :
Syzygium aqueum; jambu air
Syzygium aromaticum; cengkeh
Syzygium cumini; jamblang, duwet, jambu keling
Syzygium jambos; jambu mawar
Syzygium malaccense; jambu bol
Syzygium samarangense; jambu air semarang, jambu semarang, jambu cincalo
Untuk pohon pakoba sendiri masih memerlukan identifikasi ilmiah untuk
memastikan nama spesies botaninya. Beberapa tulisan masih memakai Eugenia sp. atau
terkadang Syzygium sp., bahkan terdapat tulisan yang langsung memakai Eugenia
cumini yang jelas tidak tepat.
144
Pakoba: HHBK Potensial Lokal Spesifik ..... (Sentot Adi Sasmuko )
Salah satu daerah yang menunjukkan perhatian lebih awal terhadap keberadaan
tanaman pakoba adalah Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Tomohon. Bahkan Pemda
setempat memilih pakoba menjadi maskot daerah dan sebagai tanaman unggulan lokal
setempat berdasarkan Surat Keputusan Walikota Tomohon No. 152/2007 tanggal 11
Mei 2007 yang kemudian diluncurkan pada upacara puncak peringatan hari lingkungan
hidup se dunia tahun 2007 tgl. 31 Juli 2007. Namun sampai sejauh ini menurut
pengamatan yang ada, perhatian pemerintah Kota Tomohon terhadap pakoba ini lebih
terkesan hanya klaim maskot dan sudah cukup merasa puas telah menunjuk flora
unggulan sebagai maskot daerah.
Bila ditinjau dari beberapa aspek, dasar pemilihan pakoba sebagai maskot/pohon
unggulan tersebut perlu mendapat dukungan. Hal ini berdasarkan pertimbangan
bahwa tanaman tersebut merupakan jenis endemik dan spesifik daerah setempat,
mempunyai nilai historis, eksistensinya kurang diperhatikan lagi dan cenderung akan
mengalami penurunan potensi, padahal masyarakat setempat telah memanfaatkan
pakoba sebagai penyedia kayu, buahnya untuk bahan pangan dan industri makanan
skala kecil, dan pohonnya dapat mempertahankan kesuburan tanah.
Dilihat dari karakteristik tanaman yang selalu hijau dan sistem perakaran yang
kuat, pakoba sesuai untuk merehabilitasi lahan dan konservasi tanah/air. Oleh karena
itu, pemilihan jenis untuk kegiatan-kegiatan bidang reboisasi, reklamasi, hutan
tanaman rakyat, atau program silvikultur intensif dan kegiatan penanaman lainnya
dapat menunjuk pakoba sebagai salah satu prioritasnya. Dengan demikian diharapkan
pakoba akan benar-benar merasa diakui eksistensinya di daerah habitat aslinya untuk
menjadi salah satu jenis unggulan yang potensial.
145
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 142 149
IV. PEMANFAATAN
Meskipun belum banyak dijumpai rumah atau mebel yang terbuat dari kayu
pakoba atau makanan dan minuman yang berbahan baku buah pakoba, namun
menurut keterangan masyarakat dan beberapa tulisan yang ada, pohon pakoba
memberikan manfaat yaitu bagian kayunya sebagai bahan bangunan rumah, kayu baka;
buahnya untuk makanan buah-buahan, makanan asinan, minuman jus; dan kulitnya
sebagai bahan pewarna. Di kota Manado terdapat salah satu swalayan yang telah
menjual kue dodol berbahan baku buah pakoba. Menurut keterangan penjual swalayan
tersebut pembeli kue dodol pakoba yang belum banyak mengetahui keberadaan buah
tersebut pada umumnya hanya karena merasa penasaran sekedar ingin tahu rasa dan
aromanya. Masyarakat belum menganggap makanan yang terbuat dari buah pakoba
sebagai kebutuhan pelengkap makanan/buah yang sudah ada. Hal ini dulunya pernah
juga dialami oleh buah pohon matoa (Pometia pinnata) yang sekarang ternyata banyak
dijual di berbagai pusat perbelanjaan dan telah menjadi makanan/buah alternatif
masyarakat. Sebagian orang telah meyakini bahwa buah pakoba (Gambar 2) juga
sebagai obat anti diabetes meskipun secara kedokteran belum ada pembuktiannya.
146
Pakoba: HHBK Potensial Lokal Spesifik ..... (Sentot Adi Sasmuko )
147
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 142 149
C. Menggalakkan kegiatan usaha masyarakat yang berbahan baku berasal dari pohon
pakoba dengan dukungan dan bimbingan teknis dari instansi terkait.
D. Menggalakkan kegiatan penelitian dalam rangka mendukung peningkatan potensi
tanaman, teknologi pengolahan dan pemanfaatan kayu dan buah, pemasaran
produk dan paket-peket teknologi lainnya.
A. Kesimpulan
1. Pakoba (Syzygium sp.) merupakan tanaman endemik daerah Sulawesi Utara yang
cukup potensial untuk dikembangkan menjadi tanaman unggulan spesifik yang
bernilai ekonomis. Pakoba dikategorikan sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu
(HHBK) unggulan lokal Sulawesi Utara dari pemanfaatan buah dan kulitnya,
selain kayunya yang dapat pula dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan.
2. Sampai sejauh ini perhatian masyarakat terhadap keberadaan pakoba masih kurang
sehingga potensi dan teknologi pemanfaatannya masih belum berkembang.
Pemerintah Daerah Kota Tomohon telah menjadikannya sebagai maskot daerah
dan tanaman unggulan daerah tersebut sejak tahun 2007. Akan tetapi upaya
pengembangan oleh daerah otonom tersebut dan daerah lain masih perlu
ditingkatkan agar tidak terkesan kita mengabaikannya.
B. Saran
1. Pemda Tomohon telah meningkatkan eksistensi dan perhatian masyarakat
terhadap pakoba, akan tetapi perhatian tersebut masih perlu ditingkatkan lagi
melalui kegiatan-kegiatan fisik berupa peningkatan potensi dan pengembangan
pemanfaatannya. Perhatian terhadap pakoba juga perlu diikuti oleh pihak lainnya
dan masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya.
2. Dalam bidang ekologi dan lingkungan, pohon pakoba sangat baik dimanfaatkan
untuk konservasi lahan dan hutan. Jenis ini dapat dikelompokkan dalam jenis
pohon MPTS (multiple purpose tree species) sebagai penghasil cadangan makanan
berupa buah pakoba. Selain itu dapat pula digalakkan penanaman pakoba di lahan-
lahan kosong lingkungan perumahan dan sebagai tanaman turus jalan. Dengan
demikian bahwa untuk mendukung keberhasilan pengembangan tanaman pakoba
ini masih diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian pula untuk menghasilkan bibit-
bibit pakoba yang unggul dan cepat tumbuh sesuai dengan tapak penanaman.
3. Kegiatan-kegiatan penelitian yang dapat mendukung upaya pengembangan
tanaman pakoba tersebut perlu ditingkatkan untuk menghasilkan data dan
informasi teknis serta paket-paket teknologi yang dapat membantu masyarakat
dalam memanfaatkan hasilnya secara berkesinambungan.
148
Pakoba: HHBK Potensial Lokal Spesifik ..... (Sentot Adi Sasmuko )
DAFTAR PUSTAKA
Heyne, K. 1950. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.
Kinnaird M F, 1997. Sulawesi Utara, Sebuah Panduan Sejarah Alam. Yayasan
Pengembangan Wallacea.
Schmid, R. 1972. A resolution of the Eugenia-Syzygium controversy (Myrtaceae).
Amer. J. Bot. 59: 423-436.
Schmid, R. 1972. Floral anatomy of Myrtaceae, I. Syzygium. Bot. Jahrb. Syst. 92:433-
489. 19 Dec. 1972.
www.tomohonkota.go.id. April 2009.
www.wapedia.mobi/id. April 2009.
149
ANALISIS KERUSAKAN HUTAN AKIBAT PERLADANGAN
LIAR DI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL KERINCI
SEBLAT, KABUPATEN REJANG LEBONG
PROVINSI BENGKULU
Oleh:
Zakaria Basari
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610
Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633414
E-mail : zakariabasari@yahoo.co.id.
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Hutan sebagai sumberdaya alam merupakan karunia Allah SWT yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, yang di anugrahkan kepada kita semua
sebagai amanah atau titipan. Dewasa ini dengan adanya kerusakan hutan (deforestration)
tersebut luas kawasan hutan Indonesia mengalami penyusutan yang besarnya
mencapai 54, 4% tidak termasuk Maluku dan Irian Jaya (FAO dalam Soemarwoto. O,
2001).
Kaban. MS (2008) menyatakan, bahwa dewasa ini kawasan hutan Indonesia
telah mengalami deforestrasi dengan laju kerusakan rata-rata 2 juta ha/tahun. Kerusakan
tersebut terjadi akibat adanya kegiatan illegal loging, illegal mining, kebakaran hutan,
perladangan/perambahan liar, perubahan fungsi hutan dan lain sebagainya. Sebagai
akibat dari kerusakan hutan tersebut ekosistem hutan menjadi merosot yaitu, berupa
hilangnya habitat satwa liar orang utan di Kalimantan dan Sumatra, kuskus dan burung
maleo di Sulawesi, kanguru dan burung kasuari di rian jaya, gajah dan harimau di
Sumatra dan masih banyak lagi jenis flora-fauna yang musnah akibat adanya kerusakan
hutan tersebut. Sementara, di daerah dataran tinggi pegunungan karena akibat hutan
gundul maka jika terjadi hujan lebat dampaknya erosi, banjir dan longsor banyak
terjadi di mana-mana.
150
Analisis Kerusakan Hutan akibat Perladangan ..... (Zakaria Basari )
Pada akhir tahun 2000 terjadi banjir besar di daerah Cilacap, Aceh dan Minahasa,
Jawa tengah dan Sumatra Barat bencana ini banyak menelan korban jiwa dan harta,
besar kerugian dalam rupiah sulit dihitung jumlahnya (Soemarwoto O, tahun 2001).
Semua kejadian itu adalah adalah merupakan masalah besar yang tidak boleh dibiarkan.
Sebagai upaya agar kawasan hutan tersebut dapat tetap terjaga dan lestrari maka
perlu ditempuh 4 (empat) gatra yang harus dilakukan. Yaitu : 1) Gatra teknis, dengan
melakukan rehabilitasi lahan kritis, 2) gatra ekologis, tidak melakukan pengrusakan
hutan, 3) gatra ekonomis, meningkatkan ekonomi massyarakat sekitar hutan, 4) gatra
hukum (law emfoshment) yaitu melakukan penegakan hukum tampa pilih bulu.
Di lapangan ke 4 gatra di atas itu tidak mudah dilaksanakan, karena banyak
kendala, diantaranya adalah daerah yang direhabilitasi berada di daerah pegunungan
yang sulit dijangkau, adanya budaya masyarakat lokal yang tidak mau menerima hal
yang baru seperti tidak biasa melakukan penanaman pohon kayu tetapi penebangan
pohon sudah biasa dilakukan dan kebiasaan ladang berpindah dan lain sebagainya.
Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kalau kegiatan rehabilitasi lahan kritis di
kawasan/non kawasan hutan itu berjalan lambat, sementara pengrusakan hutan terus
bertambah saecara cepat. Hal ini juga sama seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu
jika dibiarkan secara berlarut-larut maka akan menjadi masalah besar.
Selanjutnya, informasi ilmiah hasil penelitian tentang kerusakan hutan di
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) khususnya daerah Desa Ketenong 1
dan 2 Kabupaten Rejang Lebong sampai saat ini masih kurang. Oleh karena itu
seyogyanya perlu diteliti.
Maksud penelitian adalah ingin memberikan informasi tentang kondisi
kerusakan hutan lindung dan konservasi seputar bukit barisan Gn. Seblat wilayah kerja
Balai Besar TNKS. Sedangkan tujuannya adalah mengetahui luas kerusakan hutan
akibat kegiatan perladangan liar dan potensi hutan.
151
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 150 159
D. Pengolahan Data
1. Menghitung volume kayu (pohon) digunakan rumus
2
V = . D . L ......................... 1)
3
di mana V = Volume (m ) , D = Diameter (cm), L = Panjang ( m )
2. Menghitung Luas Keterbukaan hutan rusak :
Lh = P x L ............................ 2)
2
di mana Lh = Luas lahan terbuka ( m ), P = Panjang lahan terbuka (m), L = Lebar
lahan terbuka (m)
3. Menghitung persentase pohon yang hilang dibandingkan dengan jumlah pohon
yang masih utuh di hutan primer. Rumus yang digunakan adalah :
Pph = Jpr / Jpu x 100% .................... 3 )
di mana Pph = Persentase pohon yang hilang (n/ha), Pr = Jumlah pohon yang
rusak atau hilang di areal bekas perladadangan liar (n/Ha), Pu = Jumlah pohon
yang utuh di hutan primer (n/Ha).
4. Menghitung indek ekologis vegetasi digunakan rumus :
152
Analisis Kerusakan Hutan akibat Perladangan ..... (Zakaria Basari )
153
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 150 159
Dari Tabel 1 diketahui bahwa jumlah pohon yang rusak 215 pohon. Jika kondisi
hutan itu masih utuh di mana untuk tingkat tiang diameter rata-rata 0,15 cm dan
panjang taksiran 4 m, dan tingkat pohon diameter rata-rata 30 cm dengan panjang
3
taksiran rata-rata 10 m, maka masing-masing volumenya mencapai 12, 64 m dan 31,5
3 3
m . Atau jumlah volume seluruhnya 43, 69 m .
2
Luas petak ukur adalah 4000 m atau 0,4 Ha, sementara berdasarkan hasil
pengukuran GPS luas yang terbuka faktual akibat perladangan liar tersebut adalah 10
kali lipatnya atau seluas 4 Ha. Dengan demikian volume kayu yang hilang dari hutan
tersebut adalah sebesar 436, 9 m3 .
Selanjutnya untuk melihat hutan yang rusak di areal lainnya yaitu yang berada
wilayah pemerintahan Desa Ketenong 2, koordinat 82109995 dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut.
Tabel 2 di atas itu kondisinya sama dengan Tabel 1, yaitu bahwa jika kondisi
hutan itu masih utuh di mana diameter tunggak rata-rata pohon tingkat tiang 0,15 cm
dan panjang taksiran 4 m dan tunggak tingkat pohon diameter rata-rata 30 cm dengan
3
panjang rata--rata 10 m, maka masing-masing volumenya mencapai 11,58 m dan 29,48
3 3
m . Atau jumlah seluruhnya 41,06 m . Luas petak ukur sama dengan di atas yaitu 4000
2
m atau 0,4 Ha, sementara berdasarkan hasil pengukuran GPS luas yang keterbukaan
hutan sebenarnya akibat perladangan liar tersebut adalah mencapai 14 kali lipatnya
154
Analisis Kerusakan Hutan akibat Perladangan ..... (Zakaria Basari )
atau seluas 5, 6 Ha. Atau volume kayu yang hilang dari hutan tersebut adalah sebesar
232,96 m3. Dengan demikian jumlah volume kayu yang hilang dari ke dua lokasi
mencapai 669,86 m3 . Atau volume kayu yang hilang tersebut rata-rata 69, 77 m3 /Ha.
Ditinjau dari aspek ekonomi angka volume kayu ini nilainya cukup besar,.
karena berdasarkan informasi dari pedagang kayu di daerah menyatakan, bahwa harga
kayu dari hutan alam dijual rata-rata satu juta rupiah per meter kubik. Sementara kayu
yang hilang dari hutan seluas 9,6 ha tersebut 669,86 m3, berarti dari hutan yang rusak
yang berada di ke dua desa tersebut telah terjadi kerugian Negara sebesar
Rp 669.860.000,- .
Laporan dari Balai Besar TNKS tentang kerusakan hutan dari tahun 1998 - 2000
menunjukkan luas kerusakan yang cukup besar, yaitu mencapai 28%. Di mana luas
kerusakan hutan di daerah Kabupaten Rejang Lebong mulai dari tahun 1998 - 2000
sebesar 113.090 ha, sementara luas kawasan hutan lindung dan konservasi TNKS
adalah seluas 392.042 ha (Kerangka kerja TN. Kerinci Seblat, 2002). Dengan demikian,
3
total kerugian negara dari hutan wilayah TNKS yaitu 113. 090 Ha x 69,77 m x
Rp 1.000.000 = Rp 7890289300000,-. Sungguh fantastis kerugian Negara ini. Kerugian
dari aspek ekologis seperti hilangnya habitat flora-fauna liar yang dilindungi sudah
tidak dapat dihitung. Kehidupan Biologis yang berada di TNKS jumlahnya sangat luar
biasa, yaitu terdapat 199 mamalia Sumatra (termasuk harimau, banteng, kijang,
beruang, gajah dan lain-lain), 371 jenis burung, lebih dari 4000 jenis tumbuhan dan 300
jenis anggrek hutan ( Balai besar TNKS, 2002).
Dengan adanya kerusakan hutan yang luasnya itu sangat besar nampaknya
ekosistem yang ada di kawasan hutan TNKS sudah terganggu. Hal itu dibuktikan, yaitu
dari hasil laporan masyarakat sekitar hutan desa ketenong 1, ketenong 2 dan Desa Seblat
menyatakan bahwa harimau sudah sering keluar dari kawasan hutan untuk memakan
ternak, selain itu babi hutan juga banyak mengganggu areal pertanian. Untuk
mengetahui bentuk kerusakan hutan akibat perladangan liar dapat dilihat pada
Gambar 1 dan 2 berikut.
155
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 150 159
Dari Gambar 1 dan 2 terlihat bahwa kerusakan hutan akibat perladangan ini
sangat berbahaya, yaitu umumnya pembukaan hutan dilakukan di daerah tebing-tebing
0
yang curam (20 - 30 ) daerah kemiringan topografi seperti ini rawan erosi. Sedangkan
yang ditanam adalah tanaman nilam, singkong dan kopi robusta.
B. Hutan Primer
Sebagai pembanding kondisi hutan yang rusak maka dilakukan juga pengamatan
di hutan yang masih utuh (primer) dengan melakukan inventarisasi pohon (timber
cruising). Hasil pengamatan dari lima petak ukur di hutan primer dapat dilihat pada
Tabel 4 berikut.
Telah terkumpul data dari 5 petak ukur hasil infentarisasi pohon hutan primer di
daerah Bukit Kopassus (Bukit seblat) dan Bukit Kostrad (Gunung Gedang). Panjang dan
lebar petak ukur masing-masing adalah 20 m x 100 m. Hasil pengukuran adalah sebagai
berikut .
156
Analisis Kerusakan Hutan akibat Perladangan ..... (Zakaria Basari )
Dalam Tabel 6 menunjukkan bahwa data jumlah pohon tingkat tiang diperoleh
dari ukuran petak 10 m x 10 m, tetapi dalam perhitungan data menjadi 2 x lipatnya
3
yaitu 2 x 157 batang = 314 batang atau volumenya menjadi 27.52 m . Sehingga total
volume 805 m3/ha.
Hasil pengamatan tingkat tingkat semai dan tingkat pancang jumlahnya + 400
batang. Hasil perhitungan belum apat disajikan karena masih dipeoses.
Sementara untuk mengetahui parameter ekolgis hutan yang terdiri dari
kerapatan dan frekuensi tumbuhan hutan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5
berikut.
Tabel 7. Analisa parameter ekologi pohon tingkat tegakan dan tiang pada 5 Petak
2
Ukur seluas 10.000 m
Pu 1 Pu 2 Pu 3 Pu 4 Pu 5 KR FR
No. Jenis ?n K F INP
(n) (n) (n) (n) (n) (%) (%)
1 Kempayan 1 0 0 0 0 1 0.000 0.2 0.2 0.2 0.4
2 Jelepung 34 6 14 11 9 76 0.008 16.5 1 4.5 21.1
3 Jenti/Aporosa sp 1 2 0 0 0 3 0.000 0.7 0.4 1.8 2.5
4 Meranti/Shorea sp 4 1 0 0 1 6 0.001 1.3 0.6 2.7 4.0
5 Mubabihi 1 0 0 0 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
6 Bantik apu 3 0 0 0 0 3 0.000 0.7 0.2 0.9 1.6
7 Gelam merah/Eugenia sp 3 7 10 5 9 34 0.003 7.4 1 4.5 11.9
8 Jelatan/Aporosa sp 6 6 7 7 7 29 0.003 6.3 1 4.5 10.8
9 Abu/Eugenia sp 10 5 16 8 8 47 0.005 10.2 1 4.5 14.8
10 Sagai/Serianthos sp 3 0 0 0 0 3 0.000 0.1 0.2 0.9 1.0
11 Durian rimbo/Durio sp 2 1 0 0 0 3 0.000 0.7 0.4 1.8 2.5
12 Kubabilai 1 1 1 0 0 3 0.000 0.7 0.6 2.7 3.4
13 Medang merah/Litsea sp 5 0 0 1 0 6 0.001 1.3 0.4 1.8 3.1
14 Medang cabe/Litsea sp 2 0 1 0 0 3 0.000 0.7 0.4 1.8 2.5
15 Medang kambing/Litsea sp 2 0 0 0 0 2 0.000 0.4 0.2 0.9 1.3
16 Medang pelapung/Litsea sp 0 0 13 8 7 28 0.003 6.1 0.6 2.7 8.8
17 Medang kunyit/Litsea sp 0 0 0 7 2 9 0.001 2.0 0.4 1.8 3.8
18 Medang sako/Litsea sp 2 0 1 6 6 15 0.002 3.3 0.8 3.6 6.9
19 Medang kuning/Litsea sp 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
20 Medang sekep /Litsea sp 0 0 2 0 0 2 0.000 0.4 0.2 0.9 1.3
21 Medang timbun/Litsea sp 8 3 0 1 0 12 0.001 2.6 0.6 2.7 5.3
22 Duren hantu/Durio sp 0 2 0 2 0 4 0.000 0.9 0.4 1.8 2.7
157
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 150 159
Tabel 7. Lanjutan
Pu 1 Pu 2 Pu 3 Pu 4 Pu 5 KR FR
No. Jenis ?n K F INP
(n) (n) (n) (n) (n) (%) (%)
23 Lempa'o 3 4 6 3 0 16 0.002 3.5 0.8 3.6 7.1
24 Lempa'o bunga 0 1 0 0 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
25 Lempa'o batu 0 1 0 0 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
26 Kulit manis/Cinnamomum sp 1 0 0 0 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
27 Teumeus 2 7 6 7 10 32 0.003 7.0 1 4.5 11.5
28 Teumedo 0 0 0 0 13 13 0.001 2.8 0.2 0.9 3.7
29 Eumpening/Quequs sp 0 4 13 3 5 25 0.003 5.4 0.8 3.6 9.1
30 Rasamala/Altingia exelsa 0 8 3 3 3 17 0.002 3.7 0.8 3.6 7.3
31 Asem kiat/Mangifera sp 0 1 0 0 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
32 Leumsua 0 0 2 0 0 2 0.000 0.4 0.2 0.9 1.3
33 Balam/Palaquim sp 0 1 1 0 1 0 0.000 0.7 0.6 2.7 3.4
34 Gelam jambu /Eugenia sp 0 3 5 4 4 16 0.002 3.5 0.8 3.6 7.1
35 Sempua 0 0 0 2 2 4 0.000 0.9 0.4 1.8 2.7
36 Stewea 0 0 3 0 4 7 0.001 1.5 0.4 1.8 3.3
37 Petai rimbo/Parkia spesiosa 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
38 Tajimtopoa 0 0 0 0 3 3 0.000 0.7 0.2 0.9 1.6
39 Rau/Ficus erecta Roxb 0 0 0 3 3 6 0.001 1.3 0.4 1.8 3.1
40 Eumpoy 0 0 1 3 2 6 0.001 1.3 0.6 2.7 4.0
41 Tuboabelai 0 0 1 0 1 2 0.000 0.4 0.4 1.8 2.3
42 Cenia ajun 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
43 Lubus 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
44 Kapung 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
45 Eungas/Gluta renghas 0 0 0 1 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
46 Mentirai 0 0 0 1 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
47 Kelabau/Dacryodes regusa 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
48 Jenatao/Aporosa sp 1 0 1 0 0 2 0.000 0.4 0.4 1.8 2.3
49 Eumbuan 0 0 1 0 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
50 Cengea 0 0 0 1 0 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
51 Kendo 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
52 Tajai tupoa 0 0 0 0 1 1 0.000 0.2 0.2 0.9 1.1
Dari Tabel 7 terlihat bahwa jenis pohon yang mempunyai Nilai Index Penting
tertinggi adalah pohon Jelepung sehingga Nampak pohon ini paling dominan. Pohon
ini merupakan pohon yang paling antik dan langka di dunia, karena bentuknya sangat
berbeda dibanding dengan pohon-pohon yang lainnya yaitu, bentuk akarnya tumbuh
ke atas seperti akar tunggang pohon mangrove. Tetapi diameter tengah akar mencapai
1 - 4 m dengan ketinggian 1- 3 m, di atas akar tumbuh batang pohon dengan jumlah
4 - 5 batang yang diameter rata-rata 40 cm. Ditengah akar tersebut berlubang seperti
pintu Gua dengan ukuran lebar 1 - 3 m. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 7
berikut.
158
Analisis Kerusakan Hutan akibat Perladangan ..... (Zakaria Basari )
V. KESIMPULAN
159
PENELITIAN AWAL TEKNIS ALAT KERUK
SISTEM KABEL LAYANG
Oleh:
Wesman Endom
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633414
E-mail : wesmanendom@yahoo.com
ABSTRAK
Situ merupakan bagian penggunaan lahan dari suatu tata ruang Daerah Aliran
Sungai (DAS), yang berfungsi menampung air hujan. Sangat disayangkan banyak situ
atau danau maupun sungai mengalami pendangkalan. Pendangkalan terjadi akibat
sedimentasi karena buangan sampah-sampah dan kotoran lainnya. Pendangkalan harus
dikeruk yang dapat dilakukan dengan berbagai alat berat jenis eksavator dengan
konsekuensi biaya operasinya cukup mahal.
Pada studi ini dicoba dikaji alat keruk lumpur Wesyankus, yang cara
pengoperasiannya dilakukan dengan menggunakan teknologi kabel layang. Prototipe
ini dibuat sebagai pengembangan alat penjepit pada proses pengeluaran kayu. Alat ini
dioperasikan secara mekanik karena digerakan bukan menggunakan sistem hidraulik
atau elektrik. Penelitian dilakukan untuk mengetahui kinerja alat termasuk kesulitan
dan kelemahannya dan diharapkan prototipe yang diuji coba ini dapat dimanfaatkan
untuk mendukung solusi upaya pengerukan lumpur dalam antisipasi banjir.
Alat keruk yang dicoba ada dua macam yaitu tipe kotak dan tipe sayap. Dari hasil
percobaan diketahui produktivitas alat keruk lumpur tipe sayap lebih besar dari pada
produktivitas alat tipe kotak. Meskipun demikian, hasil pengukuran alat tipe sayap ini
belum maksimal, sehingga konstruksi mesin atau sistem alat keruk perlu dilakukan
perbaikan.
Kata kunci : Alat keruk lumpur, situ, danau, sitem mekanik, efektif, efisien, ramah
lingkungan
I. PENDAHULUAN
Banjir besar yang melanda luas di Ibukota Negara Jakarta di antaranya terjadi
pada tahun 2001. Hal serupa juga terjadi di berbagai tempat di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan wilayah Indonesia lainnya. Fenomena ini masih terus saja berlangsung
walau sebenarnya hujan yang turun kadang tidak terlalu besar.
Hujan merupakan pemicu terjadinya banjir, dan banjir terjadi karena beberapa
faktor antara lain: pasang surut air laut (rob), kondisi dan sistem pengaliran,
karakteristik dan kondisi luas areal dalam mendukung daya serap air ke dalam tanah,
daya tampung situ/sungai, jebolnya tanggul, tipe hujan dan intensitas hujan (Anonim,
160
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
1998). Faktor-faktor itu banyak bersifat alami, sehingga tidak mungkin dapat
dikendalikan manusia. Namun, untuk faktor kondisi dan penggunaan lahan serta
kemampuan situ/sungai dalam menampung air, masih bisa dikendalikan oleh manusia.
Misalnya dalam upaya meningkatkan kapasitas situ/sungai dapat dilakukan dengan
jalan pengerukan.
Untuk mengantisipasi banjir, selain dapat dilakukan dengan membuat kanal-
kanal baru juga perlu melakukan pengerukan sungai/situ (Anonim, 2010). Ada banyak
jenis alat keruk dapat dipakai untuk operasi pengerukan seperti Eksavator Mitsubishi
dan Komatsu buatan Jepang, Caterpillar buatan Amerika dan banyak lagi termasuk
buatan Korea, Jerman, China dan Taiwan. Eksavator memang efektif sebagai alat
keruk, namun jangkauannya terbatas antara 8-12 meter. Dengan karakteristik seperti
itu, maka perairan situ atau danau yang cukup lebar (> 30 meter), penggunaan
eksavator menjadi kurang efektif dan efisien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengerukan daerah perairan yang lebar yaitu untuk mengangkat lumpur,
eksavator perlu sarana pendukung lain agar dapat terapung, sehingga operasi
pengerukan menjadi tidak mudah, banyak terjadi kerusakan di pinggir situ akibat
gerakan bolak balik alat dan biaya operasi mesin cukup mahal.
Berdasarkan ketiga alasan itu, dicoba dicari upaya alternatif lain agar situ dapat
dikeruk, dengan syarat kelayakan praktis secara teknis, ekonomis, ekologis dan sosial.
Terkait dengan permasalahan di atas, pada kegiatan ini disampaikan penelitian
pendahuluan tentang rekayasa prototipe alat keruk (model sayap dan kotak) dan mesin
penggeraknya. Diharapkan hasil uji coba ini dapat mendukung solusi alternatif dalam
pengerukan lumpur di daerah perairan yang lebar. Dengan demikian selain mampu
meminimalkan banjir, situ tersebut juga dapat lebih ditingkatkan peranannya baik
sebagai sarana untuk rekreasi, olah raga, olah pikir maupun media pendidikan
kehidupan.
A. Penggunaan Alat
1. Alat keruk
Alat keruk yang digunakan ada dua macam yakni tipe kotak (Gambar 3) dan tipe
sayap (Gambar 4). Kedua alat ini memiliki sistem perangkat alat yang dapat membuka
dan menutup sehingga lumpur yang terkeruk dapat terus dibawa ke darat dengan aman.
Pada alat keruk tipe kotak, bagian yang membuka dan menutup hanya bagian
bawahnya saja, sedang pada tipe alat keruk sayap semua kedua bagiannya bergerak.
Alat keruk tipe sayap dibuat atas dasar inspirasi pengait yang biasa dipakai untuk
membawa/memindahkan pada kegiatan pemanenan kayu.
161
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
1
2
A 3
162
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
3. Mesin penarik
Alat yang dipergunakan untuk menurun-naikan prototipe alat keruk pada
sistem kabel layang ini ialah berupa modifikasi dari mesin penarik kayu Expo-2000
(Endom, et al., 2009), alat tersebut diberi nama Wesyankus. Alat ini digerakkan mesin
diesel 24 PK. Pada alat ini kemudian ditambah dengan dua buah drum baru (tabung
logam berbentuk selinder) dengan fungsi masing-masing bekerja sebagai (1) Alat
penarik dan menurunkan kabel yang terhubung dengan alat keruk melalui drum
tengah, (2) Alat melepas kunci untuk dapat menurunkan alat keruk dari kereta kabel
layang (drum atas); dan (3) Alat maju mundur kereta kayu (drum bawah). Model mesin
antara sebelum dan sesudah ada penambahan kelengkapan drum disajikan pada
Gambar 2 dan 3.
Drum atas
Drum tengah
B. Prosedur Penelitian
Sebelum uji coba dilakukan pertama-tama dilakukan survey lokasi. Pada tempat
terpilih kemudian dilakukan pemasangan kabel utama dengan bantuan katrol dan
perlengkapan lainnya termasuk penempatan mesin. Setelah segala sesuatunya siap
kemudian dilakukan uji coba maju mundur kereta gantung dan naik turun alat keruk.
Kegiatan yang dilakukan pada uji coba ini antara lain:
1. Pengukuran jarak bentang kabel dari pohon yang menjadi tiang utama maupun
pohon sebagai tiang pembantu. Untuk keperluan ini dipasang simbul jarak selang 10
m yang ditempatkan di sebelah bawah luar jalur kabel.
2. Pada simbul di bawah jalur diukur kedalaman air dan ketebalan lumpur untuk
mengetahui rata-rata ketebalan lumpur dan kelaman airnya.
163
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
3. Pengukuran bahan bakar sebelum dan sesudah dipakai dalam setiap kegiatan uji
coba.
4. Pencatatan waktu dan hasil lumpur pada setiap kali pengerukan dilakukan untuk
menghitung produktivitas kerja dan biaya operasi pengerukan.
164
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
(a)
1 2 3
(b)
1 2 3
Gambar 4. Alat keruk lumpur kabel layang. Model kotak (a) dan model sayap (b).
A.1. Skema alat keruk tipe kotak pada saat awal, a.2. Bagian penutup menekuk saat
menyentuh tanah dan a.3. Tipe alat keruk saat berjalan
B.1. Skema alat keruk tipe sayap pada saat awal, a.2. Alat keruk sayap menekuk
saat menyentuh tanah dan a.3. Tipe alat keruk saat berjalan
1 2 3
Gambar 5. Proses pengerukan lumpur. (1) Alat keruk dilepas dari penguncian
siap diluncurkan ke dalam situ. (2) Setelah pengerukan peluru
pembawa alat pengeruk ditarik hingga bergantung pada kereta. (3)
Lumpur hasil pengerukan ditumpahkan di darat.
165
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
Khusus untuk cara melepaskan kunci peluru penarik muatan, di darat dapat
langsung dilakukan di bawah kereta gantung namun untuk pengerukan lumpur
penarikan kunci tidak dilakukan di air, karena itu penariknya diganti dengan kabel
yang tergulung pada mesin drum atas). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Drum atas
Gambar 6. (a) Penggunaan alat pelepas kunci saat di darat. (b) Posisi kabel pelepas
kunci untuk di daerah perairan bertanda(X) yang pengendaliannya
dilakukan di mesin. (c) Kabel bertanda (x) terhubung dengan drum
atas.
166
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
( 40 m di Situ Salam)
(20 m di Situ Dongkal)
Kondisi Situ Salam cukup besar dan terpelihara dengan baik yang dimanfaatkan
menjadi tempat rekreasi murah keluarga, misalnya untuk kegiatan memancing, jalan-
jalan dan bersepeda melihat pemandangan di kawasan situ tersebut. Di Situ Dongkal,
Cibubur, Jakarta Timur, keadaannya agak berbeda dan tampak kurang terawat, namun
lokasi ini juga tempat yang cukup disukai para pehobi memancing ikan, sekalipun
jumlahnya tidak banyak.
Dari hasil pengukuran bentang perairan sepanjang 100 m (Situ Salam) dengan
interval jarak 10m, kedalaman airnya antara 2-4 m, sedangkan ketebalan lumpur
bervariasi antara 30-50 cm. Di Situ Dongkal, lumpurnya sangat tipis sedang kedalaman
airnya sangat dangkal. Kedalaman air di Situ Dongkal sekitar 110 cm dan itupun
letaknya ada di pinggir situ. Menurut keterangan masyarakat setempat, situ ini pernah
dikeruk tapi itu hanya di bagian pinggirannya saja mengingat terbatasnya jangkauan
alat. Ke arah tengah, kedalaman air lebih dangkal hanya berkisar 50-65 cm, sedang tebal
lumpurnya antara 2-22 cm atau rata-rata 5,74 cm.
167
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
168
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
2
1,15 x 1,96 x 150 0,975 x 450 x 150
Mdyn = + =10,12 kg-m
365 x 5 150^2 x 60 x 0,85
Pemeriksaan motor terhadap beban lebih. Beban motor saat start ialah
M maks 21,58
= = 1,88
M daya 11,46
Suatu nilai yang berada di bawah yang diijinkan pada katalog (2,5). Dengan
demikian penggunaan mesin modifikasi Expo-2000 dapat memenuhi syarat untuk
dioperasikan.
Terkait dengan pengoperasian mesin maka untuk mengetahui kekuatan kabel
yang digunakan dalam proses pengerukan lumpur, ditetapkan dengan mengikuti
rumus berikut (Rudenko, 1996).
Q
Sw =
n x h x h1
dengan :
Q = berat muatan yang diangkat = 450 kg
n = jumlah muatan puli yang menyangga muatan ( 1 buah)
h = efisiensi puli (Tabel = 0,951)
h1 = efisiensi yang disebabkan kerugia tali akibat kekakuannya ketika
menggulug pada drum yang diasumsikan sebesar = 0,98
450
Dari perhitugan ini diperoleh Sw = = 478,843 kg
1 x 0,951 x 0,98)
169
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
170
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
ke tengah situ, 2) Berhenti sesaat untuk kemudian membuka kunci peluru agar turun
dari kereta, 3) Penurunan alat keruk, mengambil lumpur dan kembali ke kereta
pembawa, 4) Membawa kembali kereta dan alat pemuat keruk ke daratan untuk
dikeluarkan lumpurnya yang dibuka secara perlahan.
Hasil sementara dari uji coba alat keruk diperoleh sebagai berikut.
Tabel 1. Hasil uji coba sementara pengangkatan lumpur dengan alat keruk model
kotak
Waktu keruk (menit)
Buka
Jarak Lepas Angkat
No kunci s/d Pengun- Hasil
(m) Pergi s/d s/d Pulang Total Keterangan
keluarkan cian (cm)
keruk terkunci
lumpur
A Pengujian awal
Sistem rem
1 40 1.27 1.42 2.35 2.04 3.05 5.18 15.31 20 tidak berjalan
normal
Sistem rem
2 46 1.48 3.24 3.10 2.18 5.02 3.24 18.25 20 tidak berjalan
normal
Sistem rem
3 95 3.19 4.09 4.40 3.13 4.96 0.48 20.24 24 tidak berjalan
normal
Alat tak
4 13 1.13 0.98 1.24 1.01 0.40 0.45 5.21
menutup
Alat tak
5 24 2.13 2.12 2.56 2.08 0.39 0.36 9.64
menutup
Alat tak
6 38 1.30 1.46 4.37 1.45 1.29 0.40 10.26
menutup
Alat tak
7 40 1.34 2.26 2.78 1.67 1.44 0.50 9.99
menutup
Alat tak
8 30 1.27 2.21 3.08 1.38 1.21 0.14 9.30
menutup
Jumlah 326 13.11 17.78 23.89 14.93 17.75 10.75 98.20 64
Rata-rata 40.75 1.64 2.22 2.99 1.87 2.22 1.34 12.28 8
B Pengujian lanjutan
1 30 0.89 0.07 0.39 3.04 4.00 0.15 8.55 10
2 40 1.10 0.68 1.09 1.20 0.47 0.78 5.32 10
3 45 0.58 1.49 2.06 2.80 1.21 0.60 8.74 25
4 51 1.48 0.39 0.69 1.64 0.88 0.31 5.40 20
5 46 2.56 1.48 1.05 1.14 0.12 0.36 6.71 10
6 76 1.16 1.02 0.40 0.58 1.21 0.78 5.15 20
7 70 1.26 0.45 0.57 1.19 1.30 0.48 5.25 14
8 74 0.84 1.17 1.39 1.85 1.25 0.30 6.80 5
9 20 1.36 1.21 1.36 0.78 1.28 0.11 6.11 10
Jumlah 452 11.23 7.96 9.01 14.23 11.72 3.88 58.03 124
Rata2 50.22 1.25 0.88 1.00 1.58 1.30 0.43 6.45 13.78
171
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
Dari Tabel 1 diketahui rata-rata lumpur terkeruk setebal 13,78 cm yang setara
dengan volume sebanyak 0.049608 m3 atau kurang lebih 0,05 m3 pada jarak angkut rata-
rata sejauh 50,22 m dalam waktu 6,45 menit. Berarti produktivitas kerjanya adalah
sebesar 0.9188 m3.hm/jam. Secara komersial nilai ini relatif masih sangat rendah. Untuk
alat keruk model sayap, kinerja alat disajikan pada Tabel 4.
172
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
Rata-rata lumpur yang terkeruk dengan model sayap setebal 30,42 cm atau
setara dengan volume 0,0967 m3 pada jarak angkut rata-rata sejauh 34,23 m dalam waktu
6,93 menit. Berarti produktivitas kerjanya adalah sebesar 2,45 m3.hm/jam. Secara
komersial nilai ini juga masih relatif rendah sekalipun dibanding model kotak sangat
jauh lebih besar. Kendati demikian untuk ukuran percobaan tahap awal dan jarak
bentang cukup jauh, hal ini sudah memberikan adanya indikasi andai operasi dapat
berjalan dengan mesin mulus, kuat, aman dan dapat dikendalikan dengan baik, maka
kinerjanya diyakini akan cukup tinggi. Dengan demikian ada harapan bahwa alat ini
dapat dipakai untuk pengerukan lumpur. Pada uji coba pengerukan tahap awal di Situ
Salam, UI Depok, rendahnya hasil yang diperoleh ini adalah akibat beberapa hal
berikut:
1. Bentangan kabel penarik maupun pelepas kunci peluru cukup panjang dan kabel
tidak ada penahan sehingga menggelayut masuk ke dalam air. Keadaan ini
menyebabkan diperlukan waktu tersendiri sebelum kereta angkut dapat tertarik ke
darat. Waktu yang diperlukan untuk menggulung/melepas sebanyak hampir
setengah waktu itu sendiri, karena sebenarnya waktu tempuh tidak lebih dari 2
menit untuk jarak 100 m. Oleh karena itu bila mesin sudah berjalan secara optimal,
waktu yang diperlukan tidak lebih dari 3 menit per rit.
2. Kabel yang dipasang pada kereta angkut terkadang lepas, sehingga hal ini akan
menambah waktu yang hilang.
3. Proses untuk mengeluarkan lumpur masih perlu dibantu dengan memasang kabel
penahan yang terkadang masih suka lepas dari kaitannya sehingga hal ini juga
menambah waktu yang seharusnya tidak terjadi.
Dalam uji coba ini di Situ Dongkal, hanya digunakan satu alat keruk yakni alat
keruk bentuk sayap. Pertimbangan ini didasarkan pada hasil uji coba yang dilakukan di
Situ Salam Depok, yang memperlihatkan alat keruk bentuk sayap lebih besar hasilnya
dibanding alat keruk bentuk kotak. Namun demikian, pada uji coba ini setelah drum
penarik muatan dengan pelepas peluru dicoba dipisah dengan gigi eksentrik yang baru,
ternyata masih ditemukan sejumlah permasalahan baru. Beberapa permasalahan itu
ialah :
1. Alat penyangga kabel penarik dan pelepas peluru yang dirancang dapat berjalan
seperti gordeng belum berjalan sesuai harapan, sehingga menyita banyak waktu
untuk perbaikannya. Permasalahan ini kemudian dapat diperbaiki dengan cara
memasang pipa kosong (bos) berdiameter 3 cm sepanjang masing-masing 20 cm,
yang ditempatkan di antara setiap penyangga kabel berjumlah 20 buah. Penyangga
kabel ini dihubungkan dengan tambang kecil sehingga saat kereta gantung bergerak
secara perlahan, maka setiap penyangga kemudian akan bergerak mengikuti kereta
pada jarak masing-masing 5-8 meter.
2. Poros drum penarik muatan yang sempat diperbaiki kembali bengkok. Hal ini
dapat dimengerti akibat jarak yang semakin jauh sehingga beban kabel di dalam
drum juga bertambah. Hal ini diyakini mengakibatkan poros drum kurang kuat
menahan beban yang lebih besar.
173
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
E. Analisa Biaya
Analis biaya operasi pengerukan lumpur yang dibahas diambil pada alat tipe
sayap mengingat pada tipe sayap hasilnya lebih baik dari pada tipe kotak. Untuk itu
pendekatan dilakukan dengan antara lain dilihat dari penggunaan minyak solar sebagai
bahan bakar mesin disel yang dipakai. Catatan yang ada memperlihatkan bahwa selama
mesin dihidupkan pada uji coba pengerukan lumpur selama 5 jam dari jam 10.05 -12.05
kemudian disambung dari jam 13.00-16.00, pengurangn bahan bakar terjadi sebanyak 4
cm. Itu berarti rata-rata berkurang 0,8 liter/jam. Pada kesempatan lain dengan
dihidupkan mesin dari jam 8.44-12.12. kemudian disambung dari jam 1.35 16.30 atau
secara keseluruhan selama 7,13 jam, tangki solar yang berisi semula tinggi 17,3 cm
menjadi tinggal 11,5 cm. Berarti ada pengurangan setinggi 5,8 cm atau rata-rata 5,8
liter/7,13 jam = 0,81 liter/jam. Dengan pembulatan ke atas, penggunaan bahan bakar
solar sebanyak 0,8-0,9 liter/jam, dibulatkan menjadi 1 liter/jam. Penggunaan solar ini
juga termasuk di dalamnya dipakai saat memperbaiki konstruksi mesin untuk
memotong, menggerinda maupun mengelas.
Konsumsi solar sebanyak itu kurang lebih sama dengan penggunaan solar untuk
pengeluaran kayu, karena pada saat dipakai operasi pada pengeluaran kayu, konsumsi
bahan bakar solar sebesar rata-rata 0,98 - 1,22 liter/jam dan pada uji tahun 2005
penggunaan bahan bakar rata-rata 0,94 liter/jam (Endom, 2006).
Pada hasil penelitian untuk pengeluaran kayu diketahui bahwa biaya operasi
pengeluaran kayu dengan menggunakan teknologi kabel layang adalah sebesar Rp
3
26.870/m dengan biaya investasi diperhitungkan saat itu sebesar Rp 80 juta (Endom
2006). Atas dasar acuan ini dapat diperkirakan bahwa biaya pengerukan lumpur juga
tidak akan terlalu jauh dari biaya pengeluaran kayu.
Hasil analisis biaya untuk operasi pengerukan lumpur dengan dicoba dilakukan
pendekatan bahwa biaya investasi untuk mesin, alat keruk, kabel dan seperangkat
peralatan yang lainnya adalah senilai Rp 130 juta, maka diperoleh rincian analisa biaya
sebagai berikut.
174
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
Tabel 5. Rincian biaya operasi pengerukan lumpur menggunakan alat keruk kabel
layang.
I Biaya tetap Rp per tahun Rp per jam
a. Penghapusan dan bunga(mesin) 22.592.000 22.592
b. Penghapusan kabel 9.884.000 9.884
c. Penghapusan tirfor dan takel 4.236.000 4.236
d. Pemeliharaan peralatan 8.810.880 8.811
Jumlah 1 45.523
II Biaya tidak tetap
a. Bahan bakar (solar) 4.500
b. Bahan bakar bensin 5.000
c. Oli 1.875
d. Gemuk 750
e. Upah operator mesin 10.417
f. Upah buruh 3.750
Jumlah II 26.292
III Biaya persiapan (setting kabel) 1.000.000 20.833
Jumlah I + II + III 92.648
Dari perhitungan sederhana di atas dapat dilihat bahwa biaya pemilikan dan
penghapusan untuk satu unit alat keruk tipe sayap sistem kabel layang sebesar Rp
92.648/jam. Bila untuk sementara kemampuan pengerukan maksimum 2,5
3 3
m /hm.jam maka berarti biaya operasi adalah sebesar Rp 37.059/m .hm. Artinya
3
untuk setiap pengambilan satu m lumpur dengan jarak 100 m diperlukan biaya
sebesar Rp 37.059. Biaya ini masih terhitung cukup mahal, namun apabila
produktivitasnya meningkat 2-3 kali lipat, maka biaya per m3.hm sekitar Rp 15.000.
Dibanding dengan kesulitan, resiko dan pengaruhnya terhadap lingkungan yang lebih
rendah maka biaya ini cukup murah sehingga dapat dipakai sebagai alternatif alat keruk
selain cara eksavator. Untuk penggunaannya secara luas, dapat dikombinasikan dengan
mesin eksavator sehingga kelemahan eksavator dalam pengangkutan dapat dibantu
dengan alat keruk kabel layang. Dengan demikian pengerukan situ hasilnya akan lebih
produktif. Kendati demikian, mengingat hasil uji coba awal ini belum dapat
memberikan data yang cukup baik karena alat masih mengalami beberapa masalah,
maka perbaikan yang akan datang baik terhadap konstruksi mesin maupun alat
keruknya sangat diperlukan.
Dari gambaran hasil di atas cukup jelas bahwa teknologi kabel layang yang telah
umum dipakai untuk mengeluarkan kayu pada medan berat dan sulit, seperti harus
175
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
melewati sungai, jurang atau lembah, sementara prasarana jembatan atau akses jalan
tidak memadai, juga kemampuannya telah dicoba untuk dimanfaatkan sebagai alat
pengeruk lumpur situ. Sebagaimana diketahui banyak situ kini mengalami
pendangkalan akibat tingginya sedimentasi atau pembuangan sampah. Sekalipun
demikian, penerapannya tidaklah mudah karena terkendala oleh sulitnya mencari
orang yang memiliki keahlian memasang jaringan kabel yang baik, cepat dan aman
(Olund, 2001).
Terkait dengan itu, mesin modifikasi Expo-2000 juga adalah merupakan sejenis
alat angkat yang dapat dipakai menjadi wahana pengerukan lumpur selain eksavator.
Hal ini dapat dilihat dari keberadaannya yang sejenis dengan alat angkat yang dapat
dipakai untuk memindahkan muatan yang digunakan di banyak tempat seperti pabrik,
pelabuhan udara dan laut, toko, kecelakaan, dan sebagainya.
Sesuai dengan jenis dan sifat kerjanya, secara garis besar alat angkat ada
dibedakan dalam 3 jenis (Rudenko, 1996) yaitu pertama alat pengangkat dengan
peralatan pengangkat yang bertujuan untuk memindahkan muatan biasanya dalam satu
bac (batch). Kedua peralatan pemindah yakni kelompok mesin yang mungkin tidak
mempunyai peralatan pengangkat tetapi memindahkan muatan secara
berkesinambungan. Ketiga perlengkapan permukaan dan overhead yakni kelompok
mesin yang mungkin juga tidak dilengkapi dengan peralatan pengangkat dan biasanya
menangani muatan dalam satu bac (batch).
Mengenai jenis kabel yang digunakan ialah termasuk pada ketegori lapisan serat
tali baja yang parallel, dengan anyaman kawat yang sama arahnya dengan untaian tali
yang ada di dalamnya. Tali ini mampu menahan gesekan lebih baik dan lebih fleksibel
tetapi cenderung untuk terpuntir. Tali parallel ini banyak dipakai pada lift dan alat
pengangkat yang mempunyai jalur pandu dan tali sebagai pengehela (Rudenko, 1996).
Fenomena yang terjadi dan sangat rumit dalam pengoperasian alat mengunakan
sistem tali sebagai wahana penariknya ialah karena banyak parameter yang tidak dapat
ditentukan dengan tepat. Setiap kawat di dalam tali yang ditekuk atau tertekuk akan
mengalami tegangan yang rumit yang merupakan gabungan antara tegangan tarik,
lentur dan puntir serta ditambah dengan saling menekan dan bergesekan di antara
kawat dan tali. Akibatnya, tegangan total yang terjadi tidak dapat ditentukan secara
analisis hanya pada tingkat pendekatan tertentu. Lagi pula bila tali itu melewati puli
dan drum, kawat bagian terluar akan mengalamim kikisan yang akan mengurangi
kekuatan kabel tersebut (Rudenko, 1996). Oleh karena itu sebenarnya umur kabel
sangat dipengaruhi oleh kelelahan dan kabel hanya dapat mengalami lengkungan
tertentu sepanjang umur pakainya. Sejumlah lengkungan tertentu yang telah melewati
batas itu akan rusak dengan cepat (Rudenko, 1996).
Terkait dengan kajian sebelumnya maka perlu diketahui atau dicari hubungan
antara umur kabel dengan berbagai faktor yang menyebabkan keausan dan
menentukan jumlah lengkungan yang melampaui batas. Oleh karena itu dalam
mendesain peralatan pengangkat harus diperhatikan ketergantungan umur pakai kabel
pada ukuran puli atau drum, beban angkat, konstruksi kabel dan faktor lainnya.
176
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
Untuk melihat hal itu kabel yang digunakan sebagai media penarik beban dari uji coba
alat mesin Expo-2000 dicoba dilakukan plotting pada diagram jumlah lengkungan
dengan hasil sebagai berikut.
1. Rekayasa teknologi kabel layang yang biasa dipakai untuk mengeluarkan kayu telah
diuji coba dipakai pada pengeruk lumpur di situ, dengan hasil cukup baik sekalipun
masih banyak diperlukan sejumlah perbaikan teknis.
177
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 160 179
2. Ada dua prototipe alat keruk yang dicoba yaitu alat keruk berupa kotak dan sayap.
3. Mesin modifikasi Expo-2000 yang kemudian dilakukan modifikasi dengan dua
drum tambahan yakni untuk penurun dan pengangkat alat keruk serta penarik maju
mundur kereta angkut kabel layang telah menunjukkan fungsi kinerja cukup baik.
4. Proses naik turunnya alat keruk masih dipengaruhi oleh tali pembuka yang
terkadang mengait pada alat keruk. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan desain
agar kabel penahan saat alat keruk akan dibuka tidak berpengaruh pada proses
pengerukan maupun menumpahkan hasilnya.
5. Hasil kerukan dapat dibawa ke darat dengan kecepatan sekitar 100-150 m/menit.
Ditambah dengan waktu untuk membuka dan memasang tali penahan dan lainnya,
bila berjalan tanpa ada hambatan proses pengerukan lumpur memakan waktu 2-3
menit per rit. Berarti tiap jam dapat dilakukan 20-30 kali pengerukan.
3
6. Saat awal uji coba, pengerukan dihasilkan lumpur 0,2-0,25 m per trip, sehingga
3
dalam satu jam diharapkan dapat dikeruk lumpur sebanyak 4-6 m .hm/jam.
7. Dari hasil percobaan ternyata produktivitas alat pengeruk lumpur tipe sayap lebih
tinggi dari pada produktivitas alat tipe kotak. Produktivitas alat keruk tipe sayap
3
adalah 2,5 m .hm/jam (lumpur) dengan biaya kepemilikan sebesar Rp 92.648 /jam
3
dan biaya operasi sebesar Rp 37.059/ m .hm.
DAFTAR PUSTAKA
178
Penelitian Awal Teknis Alat Keruk ..... (Wesman Endom )
179
BULETIN hasil hutan Vol. 17 No. 2, Oktober 2011: 180 181
INDEKS PENULIS
A
Anggraini, D., Kemungkinan Penerapan Sistim Tertutup Pada Pemutihan Pulp di
Indonesia, 17 (2) April 2011 : 81-94.
B
Basari, Z., Analisis Kerusakan Hutan Akibat Perladangan Liar di Kawasan Hutan
Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, 17 (2)
April 2011 : 153-162.
Basari, Z., Kajian Teknis dan Ekonomis Penambangan Gambut Sebagai Sumber
Energi Pada Industri Pulp dan Kertas, 17 (1) April 2011 : 27-41.
C
Cahyono, A., Produksi Getah Tusam pada Berbagai Ukuraan dan Jumlah Kowakan,
17 (2) April 2011 : 139-144.
D
Dulsalam., Produktifitas dan Biaya Penyaradan dan Kayu dengan Traktor Pertanian
yang dilengkapi Alat Bantu di Areal Hutan Tanaman Kemampau, Banyuasin, Sumatera
Selatan, 17 (1) April 2011 : 61-69.
E
Endom, W., Penelitian Awal Teknis Alat Keruk Sistem Kabel Layang, 17 (2) April
2011 : 163-182.
F
Fatriasari, W., Potensi Lignin dari Limbah Biomassa pada Sektor Kehutanan dan
Perkebunan Sebagai Bahan Baku Perekat Alami, 17 (2) April 2011 : 113-125.
M
Muslich, M., Manfaat Pohon ki Kendal, 17 (1) April 2011 : 1-7.
N
Nuryawan, A., Kayu Lapis Dari Vinir Limbah Batang Sawit, 17 (2) April 2011 : 127-
138.
R
Rachman, O., Lamela,Venir Gergajian Yang Telah di Lupakan Ternyata Bernilai
Tinggi, 17 (1) April 2011 : 9-18.
180
Indeks Penulis
S
Salosa, S., Sifat Fisik Kayu Andalan Papua: Cempaka (Elmerilia papuana DANDY.),
17 (2) April 2011 : 95-111Sasmuko, S., Pengembangan Songga Sebagai Hasil Hutan
Bukan Kayu Unggulan Lokal Nusa Tenggara Barat, 17 (2) April 2011 : 71-79.
Sasmuko, S., Perbandingan Sifat Fisiko Kimia Menjadi Atsiri Hasil Penyulingan Daun
Asal Tiga Jenis Pohon Eukaliptus, 17 (1) April 2011 : 19-26.
Sasmuko, S., Prospek Merakit Rumah Panggung Woloan Menggunakan Enam Jenis
Kayu Lokal Sulawesi Utara, 17 (1) April 2011 : 43-51.
W
Wibowo, S., Manfaat Tanaman Nyamplung dan Prospek Pengembangannya, 17 (1)
April 2011 : 53-60.
Sasmuko, S., PAKOBA: HHBK Potensial Lokal Spesipik Sulawesi Utara, 17 (2) April
2011 : 145-152.
181