JURNAL
Vol. 2
No.1
Hlm
263-328
Makassar
Desember 2007
ISSN
1907-5316
ISSN : 1907-5316
Tahun KeduaTerbit : 2007
ISSN : 1907-5316
PEDOMAN PENULISAN
JURNAL HUTAN DAN MASYARAKAT
1. Naskah yang dimuat adalah naskah asli berupa hasil penelitian, review,
konsep pemikiran/gagasan ilmiah dibidang kebijakan, kewirausahaan dan
ekonomi kehutanan dengan mencantumkan nama lengkap dan institusi
dan alamat institusi penulis.
2. Naskah dapat ditulis dalam bahasa indonesia disertai dengan abstrak.
Diketik satu setengah spasi, dan diserahkan kepada redaksi pelaksana
yang disertai dengan CD yang dapat diedit dan melampirkan biodata
singkat tentang penulis. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris.
Isi Naskah untuk yang berbasis pelatihan terdiri atas : ABSTRACT dengan
Keywords, PENDAHULUAN, METODOLOGI PENELITIAN, HASIL DAN
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, dan DAFTAR PUSTAKA untuk naskah
bahasa Indonesia. untuk naskah bahasa Inggris, terdiri atas ABSTRAK
dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND
DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES.
Isi Naskah untuk yang berbasis review dan konsep pemikiran dalam
bahasa Indonesia, terdiri atas minimal : ABSTRACT dengan Keywords,
PENDAHULUAN, setelah pendahuluan dapat disertakan bagian lain
sesuai dengan onteks dan kategorisasi isi naskah) KESIMPULAN dan
DAFTAR PUSTAKA. Begitupun dengan naskah bahasa Inggris terdiri atas
minimal : atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION,
METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan
REFERENCES.
3. Judul diibuat secara singkat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
dengan huruf kapital dan jelas dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama
penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di
bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap
instansi/institusi
4. ABSTRAK dibuat dalam bahasa Indonesia jika naskah berbahasa Inggris
dan dalam bahasa Inggris jika naskah berbahasa Indonesia, isinya berupa
intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang
dinyatakan secara kuantitafi atau kualitatif. Abstrak ditulis dengan
hurufkecil miring dengan jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci
masing-masing tidak lebih dari 9 kata.
5. PENDAHULUAN berisi : latar belakang, tujuan penelitian dan hipotesis
(tidak harus ada)
ISSN : 1907-5316
DAFTAR ISI
Vol. II, No. 3, Mei 2007
Vol. II, No. 3, May 2007
Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Kawasan Hutan Di Desa
Borisallo Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan
Community Interdependency Level towards the forest area in Borisallo
Village of Parangloe District, Gowa Regency, South Sulawesi
Yusran dan Nurdin Abdullah. 127-135
Analisis Deskriptif Pola Konversi
Hutan Kemiri Rakyat (Hkr) Di Kabupaten Maros
Descriptive Analysis of Conversion Pattern of
Community Candlenut Forest (Hutan Kemiri Rakyat-HKR) in Maros Regency
Syamsu Alam .................................................................................................... 136-144
Potensi Dan Karateristik Ekologi Provenansi Eboni
(Diospyros celebica Bakh) Untuk Pemuliaan Dan Konservasi Genetik
Potency and Ecologycal Characteristic Of Eboni Provenances
(Diospyros celebica Bakh) for Tree Improvement and Genetic Conservation
Muh. Restu. 144-150
Dinamika Tenur Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Pada Sub
Das Minraleng Hulu Kabupaten Maros
The dynamics of land tenure and its influencing factors
in Sub-Watershed of Minraleng, Maros Regency
Muh. Dassir. 151-167
Komposisi Limbah Penebangan di Arel HPH
PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya
The Composition of Cutting Waste at PT. Teluk Bintuni
Mina Agro Karya Concession
A. Mujetahid, M. 168-173
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Debit Sungai Mamasa
Analysis of Factors Influencing the River Discharge of Mamasa
Asikin Muchtar dan Nurdin Abdullah 174-187
Studi Sosial Ekonomi Masyarakat pada Sistem Agroforestry di Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap
Study of Community Socio-Economic Aspects in Agroforestry System in
Lasiwala Village, Sidrap Regency
Iswara Gautama. ............................................................................................... 319-328
127
PENDAHULUAN
Hutan berfungsi secara alami
sebagai fondasi dan penyelaras
kehidupan di atas permukaan bumi
ini. Hutan di samping menghasilkan
kayu, juga hasil hutan non kayu dan
jasa lingkungan. Hasil hutan non
kayu berupa damar, rotan, bahan
obat-obatan,
dalan
lainnya,
sedangkan jasa lingkungan seperti
menampung air, menahan banjir,
mengurangi erosi dan sedimentasi,
sumber keaneka ragaman hayati dan
menyerap
karbon
sehingga
mengurangi pencemaran udara,
serta sebagai tempat dan sumber
kehidupan satwa dan makhluk hidup
lainnya.
(Sudana
M.UA,
dan
Wollenberg E., 2001).
128
129
mengandangkannya.
Areal
persawahan hanya dikelola pada
musim hujan saja karena sawah di
wilayah ini merupakan jenis sawah
tadah hujan.
Mata Pencaharian Responden
Penduduk Dusun Lantaboko
memiliki mata pencaharian utama
sebagai
pembuat
gula
aren,
sedangkan
mata
pencaharian
sampingannya
adalah
bertani,
pedagang dan beternak. olongan
mata pencaharian responden dapat
dilihat pada Tabel 1.
25
100
130
Madu
131
Rotan
Rotan yang tumbuh liar di
kawasan hutan hanya digunakan
sebagai alat pengikat dan dianyam
untuk tempat pengumpulan gula aren
yang sudah dimasak dan dicetak.
Pekerjaan ini hanya pekerjaan
sampingan
yang
dilakukan
responden sambil memasak gula.
Barang kerajinan ini tidak dipasarkan
tetapi untuk konsumsi sendiri.
Berdasarkan
hasil
wawancara, hanya 2 orang (8 %)
responden yang memungut rotan.
Jika diasumsikan harga rotan Rp.
25.000,-/ikat,
maka
rata-rata
penghasilan dari mengambil rotan
adalah Rp. 38.000,-/tahun.
Sebenarnya banyak kerajinan
yang dapat dibuat dari rotan dan
bernilai tinggi, misalnya saja kursi,
meja, pembatas ruangan, tirai dan
tikar.
Namun
rendahnya
pengetahuan masyarakat mengenai
kerajinan tangan sehingga hanya
membuat untuk dipakai sendiri.
Masyarakat harus diberikan pelatihan
mengenai cara membuat kerajinan
dari rotan dan diberikan bantuan
dalam pemasaran hasil nantinya.
Pemanfaatan lahan
Kegiatan bertani sawah di
dalam kawasan hutan dilakukan
secara turun temurun, bak pada
lahannya sendiri dan maupun
mengolah lahan milik orang lain.
Sawah yang berada di wilayah ini
adalah sawah tadah hujan. Musim
tanam padi berlangsung pada bulan
Desember
dan
Januari,
pemeliharaan dilakukan sejak bulan
Februari hingga bulan April, dan
masa panen berlangsung bulan Mei
dan Juni.
Jumlah
responden
yang
terlibat langsung dalam pengelolaan
sawah adalah 23 orang dengan
pendapatan tertinggi adalah Rp
2.400.000,-/tahun dan terendah Rp.
375.000,-/tahun. Hasil wawancara
menunjukkan
bahwa
selain
132
133
Berdasarkan
hasil
pembahasan,
maka
disimpulkan bahwa :
dan
dapat
134
3.
4.
5.
6.
bangunan
sebanyak
Rp.
564.000,- (9.02 %), dan hasil
hutan lainnya sebanyak Rp.
185.360,- (2.96 %).
Tingkat
ketergantungan
masyarakat terhadap kawasan
hutan dikategorikan tinggi karena
89,9 % dari total pendapatan
masyarakat Dusun Lantaboko
berasal dari dalam kawasan
hutan dan hanya 9,74 % dari
total pendapatan masyarakat
berasal dari luar kawasan hutan.
Kegiatan
pemberdayaan
masyarakat di Dusun Lantaboko
melalui penyuluhan, pelatihan
dan
pendampingan
perlu
dilakukan secara terpadu untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
kelestarian
hutan.
Menjalin mitra kerja dengan
produsen yang bergerak dalam
industri pengolahan makanan
berbahan dasar nira aren dan
gula aren.
Membudidayakan
tanaman
untuk penggunaan kayu bakar.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan
dan
Perkebunan, 2002. PP No. 34
tahun 2002..
Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi
Selatan,
2006.
Kebijakan
Kehutanan.
Makalah
pada
Seminar Sosialisasi Kebijakan
Departemen
Kehutanan
Kepada
Perguruan
Tinggi,
Pemda, UPT di Universitas
Hasanuddin, 9 Mei 2006. Dinas
Kehutanan Propinsi Sulawesi
Selatan. Makassar.
Rangkuti. N, Ferdi, 2005. Mencari
Alternatif
Ekonomi
Lokal.
Center for International Forestry
Research, Jakarta.
Sardjono, M. A. 1999. Mensiasati
Keberhasilan Pengembangan
Kebijakan
Hutan
Kemasyarakatan dari Kebijakan
Menuju Penerapan. Makalah
Disampaikan pada lokakarya
Pengembangan HKm 29 30
September 1999 di Bogor.
Direktorat Penghijauan dan
Perhutanan Sosial. Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Sudana M., Uluk A., dan Wollenberg
E., 2001.
Ketergantungan
Masyarakat Dayak Terhadap
Hutan
di
Sekitar
Taman
Masional Kayan Mentarang.
Center for International Forestry
Research, Jakarta.
135
136
PENDAHULUAN
Visi pembangunan jangka
panjang kehutanan tahun 2006-2025
adalah KEHUTANAN SEBAGAI
PENYANGGA
BERKELANJUTAN
Tahun
2025.
Dalam
rangka
mewujudkan
visi
tersebut,
seyogyanya pengelolaan hutan harus
diarahkan
pada
peningkatkan
pendapatan
masyarakat,
peningkatkan lapangan kerja dan
kesempatan
berusaha
serta
peningkatkan fungsi hutan untuk
kelestarian lingkungan.
Perkembangan
jumlah
penduduk yang semakin meningkat
dari waktu ke waktu mendorong
meningkatnya kebutuhan masyarakat
akan bahan pangan, lapangan kerja,
dan kebutuhan hidup lainnya hasil
hutan,
sehingga
mendorong
terjadinya konversi lahan hutan (alih
fungsi lahan hutan ke penggunaan
lahan yang lain). Kegiatan konversi
lahan hutan tersebut menyebabkan
berkurangnya fungsi produksi jasa
lingkungan seperti pengatur tata air
dan penyerapan karbon serta
137
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
dilaksanakan
pada tiga kecamatan di Kabupaten
Maros, ketiga kecamatan tersebut
yaitu
Kecamatan
Camba,
Kecamatan Mallawa dan Kecamatan
Cenrana.
Pertimbangan
dalam
memilih lokasi penelitian yaitu : (1)
Lokasi penelitian tersebut merupakan
wilayah yang didominasi hutan kemiri
rakyat ,(2) Lokasi tersebut sedang
berlangsung konversi hutan kemiri
rakyat ke penggunaan lahan yang
lain. Pengambilan data dilakukan di
perkampungan (dusun) yang masih
terdapat
hutan
kemiri
rakyat.
Pengumpulan data lapangan, analisa
data dan penulisan dilakukan selama
tiga (3) bulan yaitu mulai bulan Maret
2007 sampai Mei 2007.
Populasi dan Teknik Sampel
Sebagai
populasi
dalam
penelitian ini adalah seluruh petani
yang
terdapat
pada
ketiga
kecamatan,
yaitu:
Kecamatan
Camba, Kecamatan Mallawa dan
Kecamatan Cenrana. Lokasi ini
dipilih dengan pertimbangan bahwa
diwilayah ini didominasi hutan kemiri
yang
sedang
terkonversi
kepenggunaan lahan
yang lain.
Pengambilan
sampel
dilakukan
secara acak distratifikasi (stratified
random sampling). Yang pertama
dilakukan
adalah
pemilihan
kampung-kampung sampel yang
akan disurvei
secara purpossive
yang didasarkan atas kriteria pola
konversi HKR ke penggunaan ladang
berpindah, ladang menetap dan
kebun coklat. Dari 26 desa pada
ketiga kecamatan tersebut terdapat
sejumlah 92 kampung (dusun).
Kampung-kampung tersebut dipilih
12 kampung secara purposive untuk
masing masing pola konversi HKR
ke penggunaan lahan usaha tani lain.
Sehingga
terpilih sebanyak 36
kampung (dusun). Kemudian untuk
masing-masing
kampung
dipilih
secara acak petani responden
sebanyak
10
orang.
Dengan
demikian jumlah responden untuk
masing-masing
pola konversi
sebanyak 120 petani, sehingga total
responden 360.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan
untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam rangka mencapai
tujuan penelitian. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan
metode survei, yaitu metode yang
bertujuan untuk meminta tanggapan
dari responden. Beberapa metode
138
Tabel 1. Luas dan Persentase Konversi pada Berbagai Pola Konversi HKR
Nilai Rata-rata Pola Konversi HKR
Ladang Ladan Kebu
No
Uraian
Satuan
Gabung
Berpind gMen
n
an
ah
etap
Kakao
1. Luas HKR 1996
(10 thn terakhir)
ha
1,39
1,03
2,11
1,51
2. Luas HKR 2007
(saat ini)
ha
0,89
0,72
1,33
0,98
3. Luas HKR terkonversi
ha
0,50
0,31
0,78
0,53
4. Persentase konversi
%
43,41
45,20
39,00
42,56
,
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Data yang disajikan pada
Tabel 1 memberikan gambaran
bahwa pola konversi HKR menjadi
kebun
kakao
paling
luas
dibandingkan dengan pola konversi
penggunan lahan pada ladang
berpindah dan ladang menetap.
Sedangkan yang paling sempit
139
140
Karakteristik
pendapatan
usahatani
pada
berbagai
penggunaan lahan meliputi : sawah,
ladang menetap, ladang berpindah,
kebun kakao dan HKR dengan pola
koversi
memberikan
tingkat
pendapatan yang sangat bervariasi.
Tingkat pendapatan usaha tani dari
berbagai pola penggunaan lahan di
lokasi penelitian dapat dilihat pada
Tabel 3.
Uraian
Satuan
1.
2.
Pendapatan HKR
Pendapatan
Konversi
Pendapatan
Sawah
Pendapatan Total
Usahatani
Kontribusi
Pendapatan HKR
Rp
Rp
Rp
1.552,8
5.315,4
2.660
3.176,1
Rp
4.508,9
8.297,3
6.528,9
6.445,0
27,29
13,00
31,55
22,4
3.
4.
5.
Penduduk
Terhadap
141
142
143
lama,
demikian
pula
waktu
penyimpanannya dapat bertahan
sampai 3 tahun.
Sehingga HKR
dapat menempati lokasi yang jauh
dari
rumah
petani
dengan
menguntungkan, dimana komoditi
lain tidak menguntungkan lagi
diusahakan.
Hal ini sejalan dengan
pendapat Barlow (1978) yang
menyatakan
bahwa
pola
penggunaan lahan ditentukan oleh
nilai lahan (land rent) yang diperoleh
pemilik lahan dari suatu
pola
penggunaan lahan.
Berbeda HKR yang terdapat
dekat dengan jalan utama ia tidak
mampu bersaing dengan pola
penggunaan yang lain, terutama dari
aspek
produktifitas
lahan
(pendapatan petani) karena hutan
kemiri lama baru dapat berproduksi,
yaitu setelah
berumur 5 tahun.
Sedangkan alternatif penggunaan
lahan pada pada pola konversi
ladang
menetap
mempunyai
alternatif jenis tanaman yang dapat
diusahakan
terutama
tanaman
semusim yang cepat berproduksi
dan mudah dipasarkan. Terutama
untuk lahan sawah dan ladang.
Pengembangan prasarana jalan ke
pelosok-pelosok desa menyebabkan
akses terhadap pasar komoditi
pertanian dan kehutanan
tinggi,
sehingga kayu kemiri sebelumnya
tidak punya nilai pasar, sekarang
sudah punya nilai pasar. Pada lokasi
HKR yang sebelumnya tidak punya
nilai pasar sekarang sudah dapat
terjual dengan harga pohon berdiri
antara Rp 20.000 sampai Rp 60.000
per pohon. Harga kayu kemiri
tersebut ditentukan jarak dari jalan
yang dapat dilalui kendaraan truk
roda empat, Jarak paling jauh yang
masih
mempunyai
nilai
pasar
maksimun 0,5 km.
Hasil pengamatan lapangan
dan wawancara responden, dengan
adanya nilai pasar
kayu kemiri,
justeru belum mendorong petani
untuk
melakukan
kegiatan
peremajaan kemiri, tetapi justeru
semakin
mempercepat
mengkonversi
hutan kemirinya,
karena menyebabkan tersedianya
modal bagi petani membuka areal
hutan kemirinya untuk dijadikan
ladang atau kebun dengan pola
pertanian intensif modal dan tenaga
kerja.
KESIMPULAN
Pola
Konversi
HKR
ke
pengguaan lahan non kehutanan
secara umum dapat dikelompokkan
atas 3 (tiga pola),
yaitu: pola
konversi ladang berpindah, ladang
menetap,
dan
kebun
kakao.
Karakteristik ketiga pola tersebut,
memiliki perbedaan
ditinjau dari
berbagai aspek:
a. Pola konversi ladang berpindah
umumnya dilakukan oleh petani
yang berpendapatan rendah,
akses terhadap pasar dan
fasilitas sosial ekonomi lainnya
rendah,
tekanan
penduduk
terhadap lahan relatif rendah
(rata-rata 83,4 jiwa/ km2), tingkat
pendidikan petani rendah. Luas
areal HKR yang terkonversi 10
tahun terakhir per petani rata-rata
0,5 ha atau 43 persen dari luas
HKR yang dikuasai. Kontibusi
pendapatan HKR terhadap total
pendapatan usaha tani sebesar
22,43 %.
b. Pola konversi ladang menetap
umumnya dilakukan oleh petani
yang berpendapatan tinggi, akses
terhadap pasar tinggi dan fasilitas
sosial ekonomi lainnya tinggi,
tekanan penduduk relatif tinggi (
rata-rata 124,6 jiwa/ km2), tingkat
pendidikan petani relatif tinggi
(rata-rata
lama
menempuh
pendidikan 7,8 tahun). Luas areal
yang terkonversi 10 tahun
terakhir 0,3 ha atau 45,2 % dari
lahan HKR yang dikuasainya.
Kontribusi
pendapatan
HKR
terhadap total pendapatan usaha
tani sebesar 13 %.
144
145
146
147
sampai 6,87 m3 per ha. Potensi antar
provenansi
juga
menunjukkan
adanya. Adapun potensi volume
Provenansi
Maros
Barru
Sidrap
Malili
Pohon
0.8
1.25
2.32
2.16
Kerapatan (pohon/plot)
Tiang
Pancang
2.54
4.79
4.25
6.98
5.15
8.32
6.3
9.72
Semai
90.54
130.63
139.86
125.95
148
Berdasarkan
Tabel
2
kebutuhan akan naungan tidak
menunjukkan
bahwa
kerapatan
terpenehi.
Ewusie
(1990)
tegakan masih terdistribusi secara
mengemukakan
bahwa
jenis
baik pada masing-masing tingkatan
vegetasi yang bersifat toleran dan
pertumbuhan.
Hal
ini
semi toleran, pertumbuhan awalnya
menggambarkan
bahwa
proses
membutuhkan naungan yang berat,
regenerasi masih tetap berlangsung.
jika tidak memenuhi kebutuhan
Jika dikaitkan dengan karateristik
naungan tersebut maka semai akan
sifat silvik eboni yang semitoleran,
mengalami kematian. Eboni dalam
maka pembukaan lapisan tajuk
proses regenerasinya menghasilkan
akibat pemanfaatan dapat merubah
jumlah semai yang banyak per
komposisi kerapatan pada berbagai
pohon.
Jumlah
semai
yang
tingkatan pertumbuhan, khususnya
dihasilkan dapat mencapai 250
pada tingkat semai dan pancang.
1000
anakan,
namun
dalam
Pembukaan yang besar akan
perkembangannya tidak semuanya
mengakibatkan cahaya matahari
akan mencapai tingkat pancang,
akan
mencapai
lantai
hutan,
akibat
terjadinya
persaingan
sehingga jenis-jenis toleran akan
terhadap kebutuhan cahaya dan
mengalami gangguan pertumbuhan
unsur hara.
atau mengalami kematian akibat,
Adapun histogram kerapatan eboni terdapat pada Gambar 1.
140
individu / plot
120
100
pohon
80
Tiang
Pancang
60
Semai
40
20
0
Maros
Barru
Sidrap
Malili
149
Uraian
Ketinggian tempat
(meter dari
permukaan laut)
Barru
Malili
Maros
Sidrap
82 -122
300 - 350
436-564
200-324
4 30 01 LS
2
Letak Geografis
BT
2 1 3 05 LS
0
120 3143
BT
04 58'03 LS
o
119 46 '27,1
BT
3 4320 LS
o
119 4102
BT
Litosol
Latosol
Litosol
Podsolik
119 6 30
Jenis Tanah
Tipe Iklim
Asosiasi jenis
vegetasi
Medang,
terap, nyatoh
Cendrana,
pinang, aren
Aren, ipi,
terap
Topografi
Bergelombang
hingga
bergunung
Berbukit dan
Bergunung
Berbukit dan
bergunung
Datar,
berbukit dan
bergunung
Luas Areal
Pemanfataan /
Penebangan
200 ha
100 ha
17 ha
Tidak dilakukan
penebangan
Penebangan
oleh
perusahaan
kayu
Tidak dilakukan
penebangan
200 ha
Tidak
dilakukan
penebangan
150
KESIMPULAN
Potensi
Volume
dan
kerapatan populasi eboni pada
berbagai provenansi yang diteliti
lebih rendah dibadingkan potensi
alaminya atau telah mengalami
penurunan potensi. Kondisi ekologis
masing-masing
provenansi
mempunyai
variasi
terutama
ketinggian tempat, luas areal dan
letak geografis.
DAFTAR PUSTAKA
Ewusie,
151
PENDAHULUAN
Perubahan sistem penguasaan
tanah menyebabkan perubahan sistem
produksi pertanian Amaluddin (1987).
Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis
hak penguasaan tanah komunal, yaitu
hak bengkok, hak banda desa, hak
narawita; serta satu yang bersifat
individual yaitu hak yasan. Penerapan
UUPA tahun 1960 menyebabkan
konversi
tanah
yang
semula
berdasarkan hukum adat (komunal)
menjadi hak milik. Hak narawita secara
de facto sudah menjadi milik individual,
sehingga
penjualan
tanah
berkembang, peluang tunakisma untuk
menggarap me-ngecil, dan mobilitas
penguasaan cenderung terpolarisasi.
Bersamaan
dengan
itu,
sistem
produksi yang semula dilandasi nilai-
152
153
Teori
pembaruan
agraria
digunakan pada penelitian ini untuk
melihat perubahan penguasaan lahan
yang terjadi pada berbagai bentuk
wanatani pada rumah tangga petani di
Hulu Sub DAS Minraleng. Pembaruan
agrarian dalam arti sempit diartikan
sebagi land reform, yaitu redistribusi
tanah. Sedangkan pengertian land
reform yang luas adalah pembaruan
dalam struktur penguasaan, struktur
produksi dan struktur pelayanan
pendukung.
Seringkali
pengertian
agrarian reform dan land reform
dipakai bergantian dalam arti yang
sama. Sedangkan agrarian reform
sebenarnya
merupakan
upaya
perubahan atau perombakan sosial
yang dilakukan secara sadar, guna
mentrans-formasikan struktur agraria
kearah sistem agraria yang lebih sehat
dan merata
bagi pengembangan
pertanian
dan
kesejahteraan
masyarakat desa (Wiradi, 2001).
Untuk melihat faktor-faktor apa
yang
berperan
pada
terjadinya
perubahan penguasaan lahan, maka
digunakan hasil penelitian dari World
Bank 1975) dalam Wiradi (2001) pada
sebuah publikasinya mengenai land
reform yang menurutnya
berbagai
pola penguasaan dan pemilikan tanah
yang
terdapat
pada
berbagai
masyarakat.,
karena
pengaruh
berbagai faktor, yaitu : (1) sistem politik
dan situasii politik; (2). struktur
ekonomi; (3). sistem sosial; (4). sistem
hukum; (5). situasii demografis; (6).
sistem pertanian; dan
(7). basis
sumberdaya nasional masing-masing.
Karena
pengaruh
faktor-faktor
tersebut maka terdapat enam katagori
dasar penguasaan dan penggunaan
tanah, yaitu : tipe feodal Asia, tipe
feodal Amerika Latin, tipe komunal
tradisional, tipe pasar ekonomi, tipe
sosialis, dan tipe perkebunan besar,
Kerangka
teori
di
atas
merupakan hubungan antar variabel
penelitian
pada
penelitian
ini
diperlihatkan pada Gambar 1.
Penelitian
ini
bertujuan
mendeskripsikan
dinamika tenurial
yang terjadi pada Sub DAS Minraleng
154
155
Terkontrol
1. Teknologi :
- Prasarana budidaya
- Prasarana panen
- Prasarana pasca panen
- Prasarana pengolahan
hasil
- Prasarana pengangkutan
- Teknologi manajemen
2. Akses terhadap
infrastruktur :
- Prasarana jalan
- Prasarana pasar
- Akses pada sarana
produksi (modal,
peralatan, lembaga
ekonomi)
Komunal
Individu-komunal
Individu
Individu- Penyakapan
Tidak Terkontrol
1. Biofisik :
- Curah hujan
- Jenis tanah
- Tingg tempat
2. Demografi :
- Pertambahan penduduk
- Migrasi
3. Pranata sosial
Eeel;lsmlmd
3. Pranata sosial
Eksogen
Kebijakan pemerintah :
- Program
- Peraturan
Landasan
teori
LAND REFORM
Transformasi
agraria
Land tenure
156
wawancara mendalam
digunakan
metode purposive sampling dengan
kriteria ;tokoh masyarakat, masyarakat
asli yang berdomoisili sejak lahir
sampai
sekarang
pada
lokasi
penelitian, dan usia di atas 55 tahun.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka
Sampel Penelitian
(KK)
50
41
91
43
38
81
40
212
data
yang
dikumpulkan
pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Teknik Pengumpulan Data, Jenis Data dan Peralatan yang Digunakan
Teknik peJenis data yang
Responden yang
Alata yang
ngumpulan
dikumpulkan
diwawancarai
digunakan
data
jenis tanaman yang
- Petani wanatani
wawancara
dibudidayakan, per-alatan
berbagai strata
Questionnaire wanatani, pengolahan hasil,
penguasaan lahan
pemasaran hasil, pola tenurial,
(pemilik-penggarap, Questionaire
peralatan transportasi, dan
penyakap, dan
pola tenurial
buruh tani)
Wawancara Dinamika pengelolaan SDA,
Pedoman
mendalam
jumlah penduduk, dan
Informan kunci
wawancara
Dinamika tenurial wanatani
Penelusuran Perkembangan penduduk, dan
dokumen
teknologi
Data BPS
Pengamatan Biofisik lahan dan Teknologi
-tustel.
wanatani,
sarana
dan
handycam,
prasarana yang digunakan
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Analisis data
kualitatif
dilakukan
untuk
mendiskripsikan dinamika tenurial
157
diskriminan
diskriminan
untuk
mengetahui faktor-faktor yang berperan
terhadap terjadinya dinamika tenurial.
Desa Limampoccoe
Dinamika wanatani berupa konversi
lahan wanatani ladang, dan atau hutan
rakyat menjadi sawah di dorong oleh
produktifitas hasil sawah yang lebih
tinggi dan tingginya nilai sistem tenurial
persawahan seperti teseng, sanra, dan
paje. Sedangkan dinamika komoditas
dari komoditas untuk subsistensi
pangan pokok (padi ladang dan jagung)
pada periode awal kemerdekaan
sampai periode tahun 1970) menjadi
Tabel 3.
Dinamika Sistem Tenure yang terjadi pada Wanatani di Desa
Limampoccoe
No
1.
Kelemba
gaan
pengelol
aan
lahan
2.
3.
1.
Kelemb
agan
pemilika
n lahan
2.
3.
4.
Periode
faktor penyebab
faktor penyebab
Nama Periode terpingg
munculnya
terpinggirkanny
Tenuri
terirkannya
Tenurial
a tenurial
al
lembaga tenurial
nya
Lakara
-penanda
semua tanah
1990 kepemilikan
negara bebas
sekaran
sudah menjadi
Beland
g
lahan milik
Ronda a pengendalian hama
--------------Jepang
kelom
babi dan monyet
pok
Massa
kekurangan
penggunaan
ro
1990tenaga kerja
mesin perontok
sekaran
pemanen padi
padi
g
Distribusi lahan
Sanra
1970---------
Kebutuhan
--------------sekaran
uang tunai pemilik
g
lahan
Distribusi lahan
Tesen
Patron-klien
-------------------g
2000 usaha komoditas
Paje
sekaran
komersial
Ketimpangan
penguasaan lahan
bangsawan
petani gurem
Lokasi
Penerapa
n
Kelembag
aan
ladang,
sawah,
hutan
rakyat
ladang,
sawah
sawah
ladang,
sawah,
hutan
rakyat
sawah
sawah
Sawah
kebun
158
159
1.
Tenur
ial
peng
elolaa
n
lahan
Nama
Tenuri
al
Periode
terlembagan
ya
tenurial
Lakara
2. Madum
me
(Ronda
kelompo
k)
Periode
terpinggir
kan
tenurial
faktor penyebab
munculnya Tenurial
1980 sekarang
-penanda kepemilikan
Belanda
1990sekarang
Jepang
3. Massaro
1990sekarang
Makkam
piri
5 Makkallic
e
6 Madepp
a
Ten
urial
pemi
likan
laha
n
----2000sekarang
Mallolo
1970-1980
2000sekarang
1.
Lakara
Belanda Jepang
1990 sekarang
2.
Sanra
(sawah)
1970sekarang
---------
3.
4.
Sanra
(kemiri)
1980 sekarang
Teseng
(sawah
----------1980
Teseng
(kemiri)
sekarang
4.
Paje
1990sekarang
-----------
faktor penyebab
terpinggirkannya
tenurial
Distribusi lahan
Patron-klien
-------------------- Distribusi lahan
Produksi lahan kemiri
Patron-klien
menurun
peningkatan
Produktifitas
pengusahaan sawah
usaha komoditas
komersial
------------------------- Distribusi
dan
intensifikasi
lahan
subur antar petani
160
161
Tabel 5. Dinamika Sistem Tenure yang terdapat pada Wanatani di Desa Batupute
No
1.
Tenurial
pengelolaan
lahan
2
3.
4
5
6
Nama
Tenurial
Madumme
(Ronda
kelompok)
Makkampiri
Mabali
Makkallice
Madeppa
Mallolo
Tenurial
pemilikan
dan hak
kelola lahan
1.
Lakara
Sanra
3.
Teseng dan
mallolo
1940 - 1970
1970-1980
BelandaJepang
1970sekarang
---------
----2000sekarang
------
Distribusi lahan
Kebutuhan uang tunai pemilik
lahan
Distribusi hak kelola lahan
Patron-klien
konversi kemiri monokultur
menjadi kebun campuran coklat
Distribusi (bagi lahan) pada tuan
tanah dengan kaum ata
(patron-klien)
162
2 Teknologi
4 Biofisik
5 Infrastrukt
ur
Variabel
X1
X2
X5
X6
X7
X8
X9
X11
X13
0.949
0.010
X17
X19
X21
X26
X27
X28
X29
0.960
0.947
0.873
0.894
0.946
0.939
0.937
0.026
0.008
0.000
0.000
0.007
0.004
0.003
Notasi
163
164
165
dengan
ketersediaan
lahan
pertanian yang luas.
Tahap
pertengahan sampai sekarang
(1980 sekarang), tenurial yang
berkembang
bertipe
pasar
ekonomi, pengaruh sistem politik
otoritarian,
struktur
ekonomi
mengglobal,
sistem
hukum
sentralisasi
dan
demografi
penduduk
tinggi
dengan
ketersediaan lahan pertanian
terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Amaluddin .1987. Kemiskinan dan
Polarisasi Sosial. Studi Kasus
di Desa Bulugede, Kendal,
Jawa Tengah.
Penerbit UI
Press. Jakarta.
Cohran. G.W. 1977.
Sampling
Techniques. Penerbit John
Wiley and Sons. New York.
Fausi.
N. 1999.
Petani dan
Penguasa.
Dinamika
Perjalanan
Politik
Agraria
Indonesia. Penerbit Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Hayami, Y dan Kikuchi, M. 1987.
Dilema Ekonomi Desa, Suatu
Pendekatan Ekonomi Terhadap
Perubahan Kelembagaan di
Asia. Terjemahan oleh Sahara,
D. Noer.
Penerbit yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Sumaryanto,
Siregar,
M.
dan
Wahida. 2002. Penguasaan
tanah, Sistem Usahatani dan
Pendapatan
Rumahtangga
Petani
di Daerah Beririgasi
DAS
Brantas.
Laporan
Penelitian
Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian IPB Bogor
bekerjasama dengan IFPRI .
Bogor.
Skousen, D. 2001. Sang Maestro
Teori-Teori Ekonomi Modern:
Sejarah Pemikiran Ekonomi.
Terjemahan
oleh
Santoso,
B.W.T. 2006. Prenada media
Group. jakarta
Scott. J. C. 1976. Moral Ekonomi
Petani.
Pergolakan
dan
Subsistensi di Asia Tenggara.
Penerbit LP3ES. Jakarta.
Wiradi, G. 1999. Reforma Agraria
Perjalanan
Yang
Belum
Berakhir.
Penerbit Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta.
.
Diterima 22 Mei 2007
Muh. Dassir
Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia.Alamat Rumah : Kompleks Perumhan Antang,
Makassar HP :08524992337
166
The study aims to investigate the composition of cutting waste and the percentage
value of the logging waste against the realization of log production, and the
prospective utilization of the existing cutting waste. The result of the study is
expected to become a reference for the forestry department to conduct
supervision on the validity of the annual work plan proposed by the investor of the
cutting waste utilization.The study is conducted in two groups of wood, Meranti
wood and Mixed species. A grouping is also made based on the tree diameter,
with range of diameter between 50-79 and 80 cm up. A three time replication is
conducted to each tree group, which make 24 tree samples. Data processing in
analysis to determine composition and percentage value of waste woods on
realization of log production was conducted by tabulation method.The study
reveals that the cutting waste, which can be utilized, is located at clear bole stem,
above clear bole stem and stumps with average percentage of 14.565% for single
tree. Reference value to estimate the potential of cutting waste which are based
on the realization of the log production, is 14.520% for Meranti and 14.610% for
Mixed species.
Keyword : composition, waste, cutting.
PENDAHULUAN
Pemanfaatan limbah kayu
telah berkembang pesat dengan
semakin terbatasnya sumber daya
hutan kayu yang ada. Beberapa
industri kayu lapis bahkan telah
dilengkapi dengan unit pengelolaan
limbah seperti briket arang, papan
blok (blok board), papan partikel
(partikel board) serta finir (veneer)
untuk bagian tengah (coor) kayu
lapis (plywood). Produk seperti ini
tidak memerlukan ukuran bahan
baku kayu yang besar, sehingga
cukup dengan limbah pemanenan
atau sisa pengelolaan kayu di
industri kayu gergajian atau kayu
lapis
Produk yang dihasilkan
tersebut memiliki pangsa pasar,
167
tahapan
kegiatan
penebangan
dengan jumlahnya yang sangat
besar. Oleh karena itu, diperlukan
suatu penelitian untuk mengetahui
secara pasti besarnya limbah yang
terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui komposisi kayu limbah
penebangan di areal HPH PT. Teluk
Bintuni Mina Agro Karya dan nilai
persentase yang harus digunakan
sebagai pedoman dalam taksasi
potensi kayu limbah. Hasil penelitian
ini diharapkan menjadi masukan bagi
pemerintah daerah terutama instansi
yang menangani kehutanan dalam
rangka pembinaan dan pengawasan
pengusahaan
hutan
khususnya
pemanfaatan kayu limbah dan
bermanfaat bagi para investor yang
akan memanfaatkan kayu limbah
penebangan.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan
di Areal HPH PT. Teluk Bintuni Mina
Agro Karya. Secara administrasi
pemerintahan, terletak pada Distrik
Babo Kabupaten Teluk Bintuni
Provinsi Irian Jaya Barat. Penelitian
dilaksanakan pada Bulan April - Juni
2006
Populasi
dan
Sampel
Penelitian
Populasi penelitian ini adalah
semua
pohon
siap
tebang
(berdiameter 50 cm.
Populasi
dikelompokan dalam dua kelas
diameter, yaitu diameter 50-79 cm
dan 80 cm. Pemilihan sample
dilakukan secara purposive yang
terdiri dari dua kelompok yaitu
meranti
dan rimba campuran.
Masing-masing jenis kayu yang
mewakili dua kelas diameter dengan
ulangan sebanyak tiga kali. Dengan
demikian, pohon sample yang
dibutuhkan adalah sebanyak dua
168
terpendek
(d1)
dan
diameter terpanjang (d2)
melalui pusat bontos juga.
Du= diameter rata-rata bontos
ujung dalam kelipatan satu
cm penuh, yang diperoleh
dari diameter terpendek
(d3) dan terpanjang (d4)
melalui pusat bontos juga.
Perhitungan volume limbah:
Perhitungan
volume
limbah
menggunakan rumus Brereton
metric, sesuai petunjuk cara
pengukuran dan penetapan isi
kayu bulat Indonesia ( Direktorat
Jenderal
Bina
Produksi
Kehutanan, 2004) berikut ini:
Rumus : I = 0,7854 x D2 x L
PL =
Dp Du
=
2
1 / 2(d1 d 2) 1 / 2(d 3 d 4)
2
Dimana :
D=
(m )
L= Panjang kayu bulat
(m3)
0,7854
merupakan
angka dari
= x 3.1416
Perhitungan prosentase kayu
limbah:
VLk
100 %
TL Vp
TL
Vp
= Volume produksi
kayu bulat yang
sampai di TPK (m3)
Dimana :
D = diameter kayu bulat rimba
Dp= diameter rata-rata bontos
pangkal dalam kelipatan
satu cm penuh, yang
diperoleh dari diameter
169
= Panjang (m)
Komposisi
limbah
pemanenan berdasarkan sumber
limbah, baik dari kelompok kayu
meranti maupun rimba campuran
pada berbagai kelas diameter di
areal PH PT. Teluk Bintuni Mina
Agro Karya dapat dilihat pada
Tabel 1.
N
o.
Jenis
Kayu
Volum
e Log
3
(m )
1.
Merbau
8,670
2.
Kenari
Rata-rata-A
11,40
0
10,03
5
1.
Kedond
ong
5,730
2.
Jabon
6,300
Rata-rata-B
6,020
Rata-rata
Total
8,028
Volume Limbah (m )
Di atas Bebas Cabang (cm)
Beb
as
Tung
10 20
Jumla
Cab
gak
-19
29
30
h
ang
A. Kelompok Meranti
0,09
0,4
0,31
0,160
0,700
0,610
0
50
0
0,07
0,5
0,45
0.180
0,820
0,520
0
70
0
0.08
0,5
0,38
0.170
0,760
0,565
0
10
0
B. Kelompok Rimba Campuran
0,06
0,2
0,18
0,120
0,430
0,420
0
50
0
0,06
0,2
0,23
0,160
0,450
0,350
0
30
0
0,06
0,2
0,20
0,140
0,440
0,385
0
40
5
0,00
0,3
0,29
0,155
0,600
0,475
7
75
3
Total
Limb
ah
1,620
1,790
1,705
1,030
1,030
1,030
1,368
Volu
me
Tota
l
3
(m )
10,2
9
13,1
9
11,7
4
6,76
0
7,33
0
7,05
0
9,39
5
Persent
ase
Limbah
(%)
15,740
13,570
14,520
15,240
14,050
14,610
14,565
berasal
dari
batang
yang
berdiameter 30 cm ke atas sebesar
0,510 m3 (67,11%), 20 29 cm
sebesar 0,17 m3 (22,37%) dan
diameter 10-19 cm sebesar 0,08
m3 (10,52%). Besarnya persentase
limbah tersebut karena kayu yang
terletak di atas bebas cabang
pertama tidak dimanfaatkan lagi
walaupun jumlah potongan dan
diameter berkisar antara 10-30 cm
masih memiliki potensi untuk
dimanfaatkan dan volumenya yang
besar. Perusahaan kayu berupa
HPH
yang
belum
mampu
mengolah kayu ukuran kecil, akan
ditinggalkan di petak tebangan
berupa limbah karena hanya
memanfaatkan
kayu
dengan
ukuran diameter tertentu.
170
171
0.9
0.8
0.7
0.6
> bebas cabang
0.5
bebas cabang
0.4
tunggak
0.3
0.2
0.1
0
Merbau
Kenari
Kedondong
Jabon
172
1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Merbau
Kenari
Kedondong
Jabon
173
Departemen
Jakarta.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah diuraikan pada bagian
terdahulu, maka dapat disimpulkan
bahwa
komposisi
kayu
limbah
penebangan di areal HPH PT. Teluk
Bintuni Mina Agro Karya tersebar pada
bagian atas batang bebas cabang,
batas bebas cabang, dan tunggak
dengan persentase sebesar 14,565%
dari volume kayu yang dapat
dimanfaatkan
per
pohon.
Nilai
pedoman untuk menduga potensi
limbah
berdasarkan
pendekatan
realisasi produksi adalah 14,520%
untuk kelompok kayu meranti dan
14,610 % untuk kelompok kayu rimba
campuran atau rata-rata 14,565% dari
realisasi kayu produksi.
Dalam
pemberian
ijin
pemanfaatan limbah, sebaiknya Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Bintuni
menggunakan nilai prosentase limbah
berdasarkan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan,
2002.
Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor
6886/Kpts-II/2002
tentang Pedoman dan Tata
Cara
Pemberian
Ijin
Pemungutan
Hasil
Hutan
(IPHH) pada Hutan Produksi.
Kehutanan.
Direktorat
Jenderal
Pengusahaan
Hutan, 1990. Pedoman Teknis
Penekanan dan Pemanfaatan
Kayu Limbah Pembalakan.
Departemen
Kehutanan.
Jakarta.
Pusat
Pusat
Bahasa
Departemen.
Pendidikan Nasional, 2003.
Kampus
Besar
Bahasa
Indonesia. Edisi Ketiga. Balai
Pustaka Jakarta.
Sanusi,
D.,
1991.
Opimasi
pemanfaatan Jenis-Jenis Kayu
Tropis Melalui
pengolahan
Kayu Terpadu. GFG-report
No.18 Jan, 1991. Halaman 160.
Suwasa S., 1991. Suatu Pemikiran
Tentang Pemanfaatan JenisJenis Kayu Hutan Tropis
Secara
Maksimal
dalam
Kaitannya dengan kelestarian
Sumber. GFG-report No.18
Jan, 1991. Halaman 79.
174
175
butiran
tanah
oleh
limpasan
permukaan
menyebabkan
pendangkalan pada alur sungai,
bendung, bendungan, waduk, dan
saluran-saluran irigasi lainnya serta
muara-muara sungai bagian hilir.
Hilangnya luas vegetasi hutan
yang efektif
dapat menurunkan
evapotranspirasi, kelembaban tanah,
infiltrasi, dan memperbesar limpasan
permukaan.
Akibat
hal
itu
mempengaruhi kondisi hidrologi di
suatu DAS sehingga menimbulkan
pengaruh
kepada
karakteristik
fluktuasi debit aliran sungai yang
besar.
Akibat menurunnya kondisi
penutupan lahan vegetasi hutan
pada bagian hulu DAS Mamasa yang
saat ini perambahan hutan masih
berlangsung
hingga
penelitian
dilaksanakan telah menyebabkan
perubahan iklim terutama curah
hujan yang selama beberapa tahun
terakhir
nampak
cenderung
berfluktuasi.
Disamping
itu,
perubahan temperatur pada DAS
Mamasa
cukup
signifikan,
menyebabkan kondisi iklim mulai
terganggu.
Beberapa tahun terakhir ini
fungsi hidrologis DAS Mamasa
bagian hulu cenderung menurun.
Pertambahan
luas
keberhasilan
upaya reboisasi dan rehabilitasi
lahan tidak dapat mengimbangi
pertambahan luas kerusakan lahan
yang menjadi lahan kritis. Tingginya
laju erosi dan sedimentasi dari
daerah
bagian
hulu
telah
menyebabkan berkurangnya umur
pakai berbagai bangunan pengendali
sedimen karena telah penuh dengan
sedimen.
Berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka masalah penelitian ini
dapat dirumuskan
: Faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi debit
sungai Mamasa yang cenderung
menurun dari tahun ke tahun ?
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
DAS Mamasa Kabupaten Mamasa
Sulawesi Barat. Pengambilan data
berlangsung selama 11 bulan yaitu
mulai bulan Desember 2006 sampai
dengan Oktober 2007.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Kertas/tally sheet untuk tempat
mencatat data primer dan data
sekunder
2. Ring sampel untuk mengambil
sampel tanah
3. Pulpen dan pencil untuk alat tulis
menulis
4. Dan lain-lain
Sedangkan peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Komputer + Soft Ware Sig (Arc
Info, Arcview) 1 unit
1. Peta Digital Citra Landsat Path
Row 114-61 dan 114-62 tahun
1999, 2000, 2003, dan Peta
Digital Spot 4 tahun 2007
2. Peta Digital RBI (Rupa Bumi
Indonesia) Lembar
2012-22
Mamasa, 2012-54 Sumarorong,
2012-52
Polewali,
2012-61
Karawa
Dan
2012-33
Kassa/Lampa
3. Peta Kelas Lereng Propinsi
Sulawesi Selatan
4. Peta Paduserasi TGHK dengan
RTRWP
6.
Peta Jenis Tanah, Lembaga
Penelitian Bogor
7. Current meter untuk mengukur
debit aliran sungai
8. Laboratorium tanah Fakultas
Pertanian dan Kehutanan Unhas
9. Camera digital untuk dokumentasi.
10.GPS untuk mengukur posisi
koordinat di lapangan
176
177
HASILPENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Mempelajari ekosistem DAS,
dapat diklasifikasikan menjadi daerah
hulu, tengah dan hilir. DAS bagian
hulu dicirikan sebagai daerah
konservasi,
DAS
bagian
hilir
merupakan daerah pemanfaatan.
DAS bagian hulu mempunyai arti
penting
terutama
dari
segi
perlindungan fungsi tata air, karena
itu setiap terjadinya kegiatan di
daerah hulu akan menimbulkan
dampak di daerah hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit dan
transport sedimen serta material
terlarut dalam sistem aliran airnya.
Dengan perkataan lain ekosistem
DAS, bagian hulu mempunyai fungsi
perlindungan terhadap keseluruhan
DAS. Gambaran keterkaitan secara
menyeluruh dalam pengelolaan DAS,
terlebih dahulu diperlukan batasanbatasan mengenai DAS berdasarkan
fungsi, yaitu pertama DAS bagian
hulu
didasarkan
pada
fungsi
konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan
DAS agar tidak terdegradasi, yang
antara lain dapat diindikasikan dari
kondisi tutupan vegetasi lahan DAS,
kualitas air, kemampuan menyimpan
air (debit), dan curah hujan. Kedua
DAS bagian tengah didasarkan pada
fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan sosial dan
ekonomi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kuantitas air,
kualitas
air,
kemampuan
menyalurkan air, dan ketinggian
muka air tanah, serta terkait pada
prasarana
pengairan
seperti
pengelolaan sungai, waduk, dan
danau. Ketiga DAS bagian hilir
didasarkan pada fungsi pemanfaatan
air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan
manfaat
bagi
kepentingan sosial dan ekonomi,
yang diindikasikan melalui kuantitas
dan
kualitas
air,
kemampuan
menyalurkan air, ketinggian curah
hujan, dan terkait untuk kebutuhan
pertanian,
air
bersih,
serta
pengelolaan air limbah (Direktorat
Kehutanan dan Sumberdaya Air,
2006).
Karakteristik
DAS
dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu 1) faktor lahan (ground factor),
yang meliputi topografi, tanah,
geologi, geomorfologi, 2) vegetasi
dan penggunaan lahan (Haeruman,
1994).
Topografi permukaan atau
bentuk lahan mempengaruhi aliran
permukaan (run off) dan aliran air
bumi. Aliran permukaan (surface
runoff)
meningkat
dengan
meningkatnya
lereng.
Tanah,
geologi, geomorfologi dari suatu
DAS, berfungsi sebagai kontrol
terhadap besar kecilnya infiltrasi dan
kapasitas menahan air permukaan
(Haeruman, 1994).
Menurut
Seyhan
(1997),
sistem DAS (watershed system)
dapat diamati melalui tiga tahap
utama yaitu : 1) input (curah hujan),
2) sistem struktur kerja dalam DAS,
3) output (limpasan/runoff). Dalam
hubungannya
dengan
sistem
hidrologi,
DAS
mempunyai
karakteristik
spesifik
yang
berhubungan
dengan
keadaan
faktor-faktor fisik biologisnya seperti
curah
hujan,
evapotranspirasi,
infiltrasi,
perkolasi,
limpasan
permukaan, kandungan air tanah,
dan aliran sungai.
Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas, penulis tertarik
melakukan
penelitian
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi debit aliran sungai
Mamasa
yang
cenderung
berfluktuasi menuun dari tahun ke
tahun.
Curah Hujan
Berdasarkan hasil pengamatan
curah hujan dan debit sungai di
lapangan serta hasil pengukuran
curah hujan serta debit sungai
tahunan oleh Dinas Pengelolaan
Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi
178
pengembangan
wilayah
yang
menempatkan DAS sebagai suatu
unit pengelolaan sumber daya alam
(SDA) yang secara umum untuk
mencapai
tujuan
peningkatan
produksi pertanian dan kehutanan
yang optimum dan berkelanjutan
(lestari) dengan upaya menekan
kerusakan seminimum mungkin agar
distribusi aliran air sungai yang
berasal dari DAS dapat merata
sepanjang tahun.
Data
debit
sungai
yang
diperoleh
selain
dari
hasil
pengukuran oleh Dinas Pengelolaan
Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi
Selatan yang diukur pada stasiun
AWLR
Sikuku
Kecamatan
Sumarorong,
dilakukan
pula
pengukuran debit secara langsung di
lapangan terutama pada setiap anak
sungai yang mengalir ke sungai
utama
Mamasa
sebagai
perbandingan. Data curah hujan dan
debit tahunan dipasangkan untuk
dianalisis hubungan curah hujan
tersebut dengan fluktuasi debit
sungai selama masa periode 32
tahun mulai tahun 1975 sampai
dengan tahun 2006 sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.
179
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
168,8
68,8
247,89
168,64
92,82
98,27
81,80
140,75
80,20
159,20
61,00
56,83
145,83
55,00
218,83
258,75
380,82
60,50
291,42
299,50
312,83
301,45
178,50
351,25
302,42
264,08
257,58
223,45
96,17
282,00
179,88
119,00
45,20
23,34
60,12
44,08
26,23
27,60
25,40
39,23
23,10
40,12
17,50
10,20
54,00
24,30
98,00
73,12
112,00
21,20
24,30
56,70
39,80
45,50
23,00
56,00
49,69
24,30
44,94
41,96
27,21
52,41
22,47
35,41
hujan.
tahun
1986.
curah
dilihat
F
21,963
Sig.
,000(a)
180
C.Hjn/Debit
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
0,000
75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06
Tahun
181
Curah Hujan
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0,000
y = 13,55409+0,147951X
R2 = 0,650139
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
Debit Sungai
1996
50.191,20
1997
54.154,85
1998
55.917,37
1999
57.959,66
2000
58.070,16
2001
56.070,16
2002
54.983,72
2003
59.805,33
2004
49.941,94
2005
59.986,10
2006
49.153,11
Rt-rt
55.113,62
Sumber : Analisis Peta Citra Landsat dan Spot 4, 2007
Tabel 3 di atas menunjukkan
adanya
fluktuasi
debit
sungai
mengikuti perubahan luas penutupan
lahan. Debit sungai tertinggi 63,33
m3/detik pada tahun 1996 dengan
63,33
41,78
44,62
49,67
33,67
44,97
41,94
27,21
52,39
22,57
35,41
42,21
182
e. Manusia,
dengan
pembuatan
bangunan-bangunan
pembukaan
tanah
pertanian,
urbanisasi dapat merubah keadaan
sifat Daerah Aliran Sungai.
Menurut Kittredge dalam
Manan (1978), pengelolaan Daerah
Aliran Sungai adalah pengelolaan
sumberdaya alam yang dapat pulih
(renewable), seperti air, tanah dan
vegetasi dalam sebuah Daerah
Aliran
Sungai,
agar
dapat
mengalirkan air (water yield) untuk
kepentingan pertanian, perkebunan,
peternakan,
perikanan
dan
masyarakat yaitu air minum, industri,
irigasi dan tenaga listrik.
Menurut
Manan
dalam
Paembonan (1980), pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai
adalah
merupakan bagian dari manajemen
sumberdaya alam yang meliputi
pengurusan dan pengembangan dari
semua sumberdaya alam dari suatu
daerah aliran yang ditujukan kepada
produksi
dan
perlindungan
sumberdaya
air
termasuk
pengendalian erosi dan banjir serta
pemeliharaan nilai-nilai perairan.
Pengelolaan DAS adalah
upaya
manusia
dalam
mengendalikan hubungan timbal
balik antara sumberdaya alam
dengan manusia di dalam DAS dan
segala aktivitasnya, dengan tujuan
membina kelestarian dan keserasian
ekosistem
serta
meningkatkan
pemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia
secara
berkelanjutan
(Anonim, 2002).
Tujuan
utama
dari
pengelolaan daerah aliran sungai
adalah untuk mencapai suatu
keadaan daerah aliran sungai yang
menciptakan fungsi hutan sebagai
sistem
perlindungan
yang
memungkinkan terlaksananya tata air
yang baik, dalam hal ini hasil air yang
optimum
dipandang
dari
segi
kuantitas dan kualitas (Manan dalam
Paembonan (1980).
Agar tujuan dari pengelolaan
daerah aliran sungai dapat tercapai,
maka perlu diperhatikan komponen-
183
184
185
1. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
debit
sungai
Mamasa adalah faktor curah
hujan dan penutupan lahan.
2. Perubahan luas vegetasi hutan
mempengaruhi debit sungai,
semakin luas vegetasi hutan,
debit sungai berkurang, dan
semakin sempit luas vegetasi
hutan, debit sungai meningkat.
3. Dalam pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Mamasa agar debit
sungai tidak banyak mengalami
penurunan
sebaiknya
perlu
pengaturan penutupan lahan
yang ada sekarang dengan jalan
mengurangi dan menambah luas
vegetasi hutan terutama memilih
jenis vegetasi daun lebar seperti
Cempaka, Tumaku, dan Liasa.
DAFTAR PUSTAKA
Penelitian
dan
Pengembangan
Daerah,
2005. Kondisi Eksisting DAM
Bakaru
Terhadap
Ketersediaan Energi Listrik di
Sulawesi Selatan. Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan.
Departemen
Kehutanan.
2006.
Glossary
Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kehutanan.
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan Teknologi
Pengelolaan DAS Indonesia
Bagian Timur
Haeruman, H. 1994. Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Lokakarya Pengelolaan DAS
Terpadu, Cisarua. Bogor.
Hairiah, K, ;Suprayogo, D, ;Widianto ;
Berlian
;
Suhara,
186
E.;Mardiastuning,
A.;Widodo, H.R,;Prayogo, C.
dan S.Rahayu. 2004. Alih
Guna Lahan Hutan Menjadi
Lahan Agroforestry Berbasis
Kopi.
Lee, R., 1980. Forest Hidrology.
Columbia University Press,
New
York/
Guildford,
Survey.
Linsley, Ray K.et.all. 1980. Applied
Hydrology. New Delhi: Tata
McGraw Hill Publication.
Co.
Manan, 1977. Pengaruh Hutan dan
Manajemen Daerah Aliran
Sungai.
Departemen
Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Paembonan, 1978. Kaidah dan
Pengertian
Dasar
Manajemen Daerah Aliran
Sungai.
Proceeding
Pertemuan
Diskusi
Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai, Direktorat Reboisasi
dan Rehabilitasi Lahan,
Jakarta.
_______, 1980. Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai . Sekolah
Pasca
Sarjana,
Insitut
Pertanian Bogor.
_______, 1983. Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai dan Pengaruh
Hutan. Fakultas Pertanian
Jurusan
Kehutanan,
Universitas
Hasanuddin,
Ujung Pandang.
Prasetyo,
L.B.
1999.
Modul
Praktikum Aplikasi Sistem
Informasi Geografis. Jurusan
Konservasi
Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan,
Institut
Pertanian
Bogor.
Bogor.
Soeranggadjiwa, M.H., M.R. Achlil,
A.
Mangundikoro,
dan
Djumrah,
1978.
Aspek
Institusi dalam Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Proceeding
Pertemuan
Diskusi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai, Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan, Jakarta.
Soerjono, 1978. Modus Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Lembaga Penelitian Hutan
Bogor, Bogot
Soerianegara, I. Dan A. Indrawan.
1978.
Pengelolaan
Sumberdaya Alam Bagian II.
FPS-IPB. Bogor.
Sosrodarsono, S., dan Takeda, 1978.
Hidrologi untuk Pengairan.
PT.
Pradnya
Paramita,
Jakarta.
Subarkah, I. 1978. Hidrologi untuk
Perencanaan Bangunan Air.
Penerbit
Idea
Dharma,
Bandung.
Soedarma, 1986. Elements of
Watershed
Management,
Direktorat
Penggunaan
Tanah. Jakarta.
Stalling,
187
188
PENDAHULUAN
Taman
Nasional
Gunung
Leuser adalah salah satu taman
nasional
terluas
di
Indonesia
sehingga tidak mungkin Balai Taman
Nasional Gunung Leuser sebagai
pengelola
melaksanakan
pemantauan secara menyeluruh
terhadap wilayah kerjanya. Oleh
karena itu di bentuk beberapa Seksi
Konservasi Wilayah yang menjadi
perpanjangan tangan Balai Taman
Nasional
Gunung
Leuser
dikeseluruhan
wilayahnya.
Agar
jangkauan Balai Taman Nasional
Gunung Leuser lebih nayata di
lapangan, maka dibentuk Resort
yang bertanggung jawab kepada
Seksi Konservasi Wilayah masingmasing. Keberadaan Resort juga
sebagai wakil Balai Taman Nasional
Gunung Leuser di lapangan
diharapkan
mampu
mengatasi
kesenjangan dan menjadi jembatan
Balai dalam menyikapi persoalanpersoalan di lapangan. Diharapakan
keberadaan Resort akan membuat
kinerja Balai Taman Nasional
Gunung Leuser lebih efektif dan
efisien
Kinerja Resort yang baik akan
ditentukan oleh sejauh mana resort
itu sendiri mengejawantahkan tugas
dan fungsi pokok Balai Taman
Nasional Gunung Leuser. Jadi,
keberhasilan balai Taman Nasional
Gunung Leuser akan tercermin dari
keberhasilan
resort-resortnya.
Namun, resort-resort di Taman
Nasional Gunung Leuser belum
semuanya berfungsi sebagaimana
mestinya. Kalaupun ada hanya
beberapa saja dan itupun hanya
spesifik pada pengelolaan wisatanya.
Agar pemberdayaan resort bisa
berjalan sebagaimana mestinya, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan
189
190
semakin
sempit.
Kondisi
ini
diperparah oleh tidak berhasilnya
pengusaha-pengusaha
tersebut
mengangkat
perekonomian
masyarakat
setempat.
Otomatis
masyarakat sekitar resort Cinta Raja
memanfaatkan lahan-lahan yang
tersisa.
Keberadaan PTPN II sebagai
BUMN yang memiliki sebagian besar
lahan perkebunan di sekitar TNGL
termasuk di resort cinta raja tidak
banyak memberi kontribusi kepada
masyarakat. Asumsi awal sebelum
masuk ke resort Cinta Raja
masyarakat di sana dilibatkan dalam
pengelolaan perkebunan terutama
dalam pemanenan hasil perkebunan,
ternyata asumsi ini terbantahkan oleh
hasil
wawancara
dengan
masyarakat. Pihak PTPN memiliki
karyawan sendiri yang didatangkan
dari luar pada saat pemanenan,
bukan masyarakat yang bermukim
disekitar perkebunan tersebut.
Sebenarnya lahan perkebunan
PTPN II bisa dijadikan daya dukung
dalam mensejahterakan masyarakat
di wilayah resort Cinta Raja sehingga
mereka tidak berpikiran untuk
membuka lahan di hutan di mana
TNGL satu-satunya harapan mereka.
Pelibatan
masyarakat
dalam
pengelolaan perkebunan seperti
pemeliharaan dan pemanenan hasil
bisa
dijadikan
solusi
dalam
mengatasi
sempitnya
lahan
masyarakat yang terjepit oleh PTPN
II dan TNGL
Daya Dukung Masyarakat
Masyarakat di wilayah resort
Cinta Raja pada prinsipnya dari dulu
mengetahui
keberadaan
TNGL.
Kesadaran
ini
muncul
seiring
antusiasme para pengunjung akan
keaslian alam di sekitar mereka.
Selain itu, bencana yang melanda
berbagai daerah akibat kerusakan
hutannya hampir setiap saat mereka
saksikan dimedia televisi
dan
tentunya
mereka
tidak
ingin
mengalami
hal
yang
sama.
191
192
193
satu
kebijakan
yang
sangat mendukung untuk
penguatan
dan
pemberdayaan
resort
Cinta Raja di masa
datang
3. Pihak TNGL agar segera
menetapkan batas wilayah
resort Cinta Raja secara
resmi
4. Perlu adanya upaya nyata
dari berbagai pihak terutama
pihak pengambil kebijakan di
TNGL agar daya dukung di
atas bisa disempurnakan dan
dimanfaatkan
secara
masksimal sebagai bagian
yang tidak terpisah satu
dengan lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad., Sayed Muhadar., 1999.
Berjuang
Mempertahankan
Hutan : Kearifan Tradisional
Masyarakat Aceh Melestarikan
Ekosistem Leuser. Madani
Press, Jakarta.
PPL,
2001.
Sekilas
Tentang
Kawasan Ekosistem Leuser.
Unit
Manajemen
Leuser,
Medan
Susmianto.,
A.
,2000.
Sistem
Perlindungan
Kawasan
Konservasi Contoh Masalah
Taman
Nasional
Gunung
Leuser) Prosiding Seminar :
Peranan Kehutanan dalam
Penyelenggaraan
Otonomi
Daerah di Sumatera Utara.
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan
Kehutanan
Pematang Siantar, Siantar.
Wiratno, dkk. 2001. Berkaca di
Cermin Retak. Forest Press,
The
Gibbon
Foundation
Indonesia,
Departemen
Kehutanan,
PILI-NGO
Movement. Jakarta.
146