Anda di halaman 1dari 73

ISSN : 1907-5316

JURNAL

Vol. II, No. 1, Mei 2007


Vol. II, No. 1, May 2007

Hutan & Masy.

Vol. 2

No.1

Hlm
263-328

Makassar
Desember 2007

ISSN
1907-5316

ISSN : 1907-5316
Tahun KeduaTerbit : 2007

Jurnal Hutan dan Masyarakat


Vol. III, No. 3, Desember 2008
Penanggung Jawab Publisher
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Kepala Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan
Universitas Hasanuddin.
Ketua Pengarah Editor-in-Chief :
Prof. Dr. Ir Yusran Jusuf, M.Si (Kebijakan Kehutanan)
Wakil Ketua PengarahVice of Editor-in-chief :
Dr. Ir. Supratman, MP (Manajemen Hutan)
Penyunting Pelaksana Editorial Staff :
Risma Illa Maulany, S.Hut., M.Sc
Ir. M.Asar Said Mahbub, MP
Ir. Abd. Rasyid Kalu, MS
Muhammad Alif KS, S.Hut, M.Si
Tata Usaha dan DistribusiAdministration and Distribution
Sultan, S.Hut
Adriyanti Sabar, S.Hut
Desain/Layout Layouters :
Sultan, S.Hut
Alamat Redaksi Address :
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Fak. Pertanian
dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. (0411) 589592 - (0411)
585917. Kampus Unhas Tamalanrea. www.fahutan-unhas.web.id
Email : bira_hut@yahoo.co.id

Hutan dan Masyarakat diterbitkan tiga kali


setahun oleh Laboratorium Kebijakan dan
Kewirausahaan
Fakultas
Kehutanan
Universitas Hasanuddin, Makassar. Jurnal ini
merupakan
sarana
komunikasi
dan
peyebarluasan hasil penelitian mengenai
kebijakan, kewirausahaan, sosial dan
ekonomi kehutanan.

Forest and Society is published three times


in a year by the Laboratorium of Policy and
Enterpreunership of Forestry, Hasanuddin
University, Makassar, Indonesia. The
Journal is intended to be a vehicle for
communicating
and
promoting
the
dissemination
of
research
results
concerning forest and enterpreunership of
forest, social and economic of foresty.

ISSN : 1907-5316

PEDOMAN PENULISAN
JURNAL HUTAN DAN MASYARAKAT
1. Naskah yang dimuat adalah naskah asli berupa hasil penelitian, review,
konsep pemikiran/gagasan ilmiah dibidang kebijakan, kewirausahaan dan
ekonomi kehutanan dengan mencantumkan nama lengkap dan institusi
dan alamat institusi penulis.
2. Naskah dapat ditulis dalam bahasa indonesia disertai dengan abstrak.
Diketik satu setengah spasi, dan diserahkan kepada redaksi pelaksana
yang disertai dengan CD yang dapat diedit dan melampirkan biodata
singkat tentang penulis. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris.
Isi Naskah untuk yang berbasis pelatihan terdiri atas : ABSTRACT dengan
Keywords, PENDAHULUAN, METODOLOGI PENELITIAN, HASIL DAN
PEMBAHASAN, KESIMPULAN, dan DAFTAR PUSTAKA untuk naskah
bahasa Indonesia. untuk naskah bahasa Inggris, terdiri atas ABSTRAK
dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND
DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES.
Isi Naskah untuk yang berbasis review dan konsep pemikiran dalam
bahasa Indonesia, terdiri atas minimal : ABSTRACT dengan Keywords,
PENDAHULUAN, setelah pendahuluan dapat disertakan bagian lain
sesuai dengan onteks dan kategorisasi isi naskah) KESIMPULAN dan
DAFTAR PUSTAKA. Begitupun dengan naskah bahasa Inggris terdiri atas
minimal : atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION,
METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan
REFERENCES.
3. Judul diibuat secara singkat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
dengan huruf kapital dan jelas dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama
penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di
bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap
instansi/institusi
4. ABSTRAK dibuat dalam bahasa Indonesia jika naskah berbahasa Inggris
dan dalam bahasa Inggris jika naskah berbahasa Indonesia, isinya berupa
intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang
dinyatakan secara kuantitafi atau kualitatif. Abstrak ditulis dengan
hurufkecil miring dengan jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci
masing-masing tidak lebih dari 9 kata.
5. PENDAHULUAN berisi : latar belakang, tujuan penelitian dan hipotesis
(tidak harus ada)

6. METODOLOGI PENELITIAN berisi : waktu dan tempat, bahan dan alat,


metode, rancangan penelitian (kalau ada), analisis data. Metode disajikan
secara ringkas namun jelas
7. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan pembahasan, dibuat
terpisah atau dijadikan satu
8. Tabel berjudul dalam bahasa Indonesia, judul tersebut harus singkat, jelas,
dan terletak di atas Tabel yang bersangkutan, diikuti keterangan sumber
data. Antar kolom/anak kolom terpisah cukup jelas
9. Gambar, Grafik dan Foto warna atau hitam/putih harus kontras, tajam,
jelas,diberi keterangan, dengan ukuran paling kecil sebesar kartu pos.
10. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas dan padat
11. Daftar Pustaka disusun alfabetis dengan mencantumkan : (a) untuk buku:
Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul lengkap buku, penyuntig
(bila ada), nomor seri (bila ada), volume, edisi, penerbit, kota penerbit, (b)
untuk terbitan berkala : nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul
tulisan, nama beidak lebih dari 9 rkala, volume dan nomor,nama penerbit,
kota penerbit
12. Redaksi menerima makalah melalui e_mail account: bira_hut@yahoo.co.id
Setiap naskah yang diterima akan dinilai dan diedit oleh Dewan Redaksi.

ISSN : 1907-5316

DAFTAR ISI
Vol. II, No. 3, Mei 2007
Vol. II, No. 3, May 2007
Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Kawasan Hutan Di Desa
Borisallo Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan
Community Interdependency Level towards the forest area in Borisallo
Village of Parangloe District, Gowa Regency, South Sulawesi
Yusran dan Nurdin Abdullah. 127-135
Analisis Deskriptif Pola Konversi
Hutan Kemiri Rakyat (Hkr) Di Kabupaten Maros
Descriptive Analysis of Conversion Pattern of
Community Candlenut Forest (Hutan Kemiri Rakyat-HKR) in Maros Regency
Syamsu Alam .................................................................................................... 136-144
Potensi Dan Karateristik Ekologi Provenansi Eboni
(Diospyros celebica Bakh) Untuk Pemuliaan Dan Konservasi Genetik
Potency and Ecologycal Characteristic Of Eboni Provenances
(Diospyros celebica Bakh) for Tree Improvement and Genetic Conservation
Muh. Restu. 144-150
Dinamika Tenur Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Pada Sub
Das Minraleng Hulu Kabupaten Maros
The dynamics of land tenure and its influencing factors
in Sub-Watershed of Minraleng, Maros Regency
Muh. Dassir. 151-167
Komposisi Limbah Penebangan di Arel HPH
PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya
The Composition of Cutting Waste at PT. Teluk Bintuni
Mina Agro Karya Concession
A. Mujetahid, M. 168-173
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Debit Sungai Mamasa
Analysis of Factors Influencing the River Discharge of Mamasa
Asikin Muchtar dan Nurdin Abdullah 174-187
Studi Sosial Ekonomi Masyarakat pada Sistem Agroforestry di Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap
Study of Community Socio-Economic Aspects in Agroforestry System in
Lasiwala Village, Sidrap Regency
Iswara Gautama. ............................................................................................... 319-328

127

TINGKAT KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP


KAWASAN HUTAN DI DESA BORISALLO KECAMATAN
PARANGLOE KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN
Community Interdependency Level towards the forest area in
Borisallo Village of Parangloe District, Gowa Regency, South
Sulawesi
Yusran dan Nurdin Abdullah
Abstract
This study aims to identify forms of community activities inside the forest area, to
calculate the incomes derived from each activity, and to calculate the contribution
of the activities towards the total incomes of the community, and to identify the
level of interdependency to the forest area. Data collection were conducted
purposively with 25 respondents involved. The results of the study show that the
forms and the average value of community activities in Lantaboko sub-Village
inside the forest area in term of palm sugar making was Rp. 1,960,920,- (31.36
%). From other activities such as honey bee production was Rp. 80,200,- (1,28 %),
and from rattan was Rp. 38,000,- (0.61 %). Paddy cultivation has contributed Rp.
964,280,- (15.42 %), while livestock was Rp. 1,574,240,- (25.17 %). Firewoods
collection has resulted Rp. 254,960,- (4,08 %) and for construction wood was Rp.
564,000,- (9.02 %). From other forest products was Rp. 185,360,- (2.96 %). The
community interdependency level towards the forest area can be categorized as
high. This was because 89.9 % of the total incomes gained from the outside of the
forest.
Keywords : level of interdependency, palm sugar, community.

PENDAHULUAN
Hutan berfungsi secara alami
sebagai fondasi dan penyelaras
kehidupan di atas permukaan bumi
ini. Hutan di samping menghasilkan
kayu, juga hasil hutan non kayu dan
jasa lingkungan. Hasil hutan non
kayu berupa damar, rotan, bahan
obat-obatan,
dalan
lainnya,
sedangkan jasa lingkungan seperti
menampung air, menahan banjir,
mengurangi erosi dan sedimentasi,
sumber keaneka ragaman hayati dan
menyerap
karbon
sehingga
mengurangi pencemaran udara,
serta sebagai tempat dan sumber
kehidupan satwa dan makhluk hidup
lainnya.
(Sudana
M.UA,
dan
Wollenberg E., 2001).

Jumlah masyarakat Indonesia


yang tinggal di dalam atau di pinggir
hutan
yang
menggantungkan
hidupnya dari hasil hutan sangat
besar.
Namun
akibat
aktifitas
masyarakat dalam kawasan hutan
cenderung
tidak
terkendali
menyebabkan munculnya bencana
dan kerusakan. Selain itu kebijakan
pengelolaan hutan masa lalu yang
tidak berjalan secara optimal telah
menyisakan banyak permasalahan
ekonomi, sosial maupun lingkungan.
(Rangkuti. N, Ferdi, 2005).
Salah satu wilayah di Provinsi
Sulawesi Selatan yang kondisi
hutannya sangat memprihatinkan
adalah Kabupaten Gowa. Dengan
luas hutan sekitar 188.000 ha, seluas
28.000 ha merupakan lahan kritis

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

128

(Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi


Selatan, 2006). Kondisi tersebut
disebabkan antara lain karena
masyarakat
masih
memandang
hutan semata-mata sebagai sumber
pendapatan, terjadinya benturan
kepentingan dan konflik pemanfaatan
sumberdaya, pemanfaatan kawasan
yang melampaui daya dukung
kawasan, maraknya pemanenan dan
perdagangan hasil hutan illegal
(illegal logging) dan lemahnya
penegakan hukum. Selain itu,
kawasan hutan di wilayah Gowa
banyak digunakan untuk menanam
tanaman semusim dengan tanaman
yang
tidak
sesuai
dengan
peruntukannya.
Dusun
Lantaboko
Desa
Lonjoboko Kecamatan Parangloe
merupakan salah satu wilayah di
Kabupaten Gowa yang sebagian
besar
penduduknya
melakukan
aktivitas di dalam kawasan hutan.
Umumnya masyarakat di wilayah ini
menjadikan pembuatan gula aren
sebagai sumber mata pencaharian
utama. Selain itu, masyarakat masih
memanfaatkan
hutan
dengan
membuka lahan untuk bercocok
tanam, memungut hasil hutan kayu
dan non kayu. Berdasarkan hal yang
tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian
untuk
mengetahui
ketergantungan masyarakat terhadap
kawasan hutan di Dusun Lantaboko
Kecamatan Parangloe Kabupaten
Gowa. Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi
bentuk-bentuk
aktivitas
masyarakat
dalam
kawasan hutan.
2. Menghitung pendapatan masingmasing aktivitas dan konstribusi
terhadap
pendapatan
total
masyarakat.
3. Mengetahui
tingkat
ketergantungan
masyarakat
terhadap kawasan hutan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Maret April 2006 di

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

Dusun Lantaboko Desa Lonjoboko


Kecamatan Parangloe Kabupaten
Gowa.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan
dengan
menggunakan
metode
survei, wawancara, diskusi terfokus.
Penentuan sampel dilakukan secara
purposive dengan jumlah responen
sebanyak 25 responden.
Jenis dan Sumber Data
Data
yang
dikumpulkan
dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari pengamatan
langsung di lapangan dan hasil
wawancara
kepada
responden.
Wawancara akan dituntun dengan
daftar pertanyaan atau quisioner.
Data
sekunder
diperoleh
dari
berbagai instansi yang terkait berupa
dokumen laporan dan hasil penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi
Desa Lonjoboko Kecamatan
Parangloe Kabupaten Gowa terletak
pada poros Sungguminasa Malino
kurang lebih 54 Km dari ibukota
kabupaten dan sekitar 15 Km dari
ibukota kecamatan. Desa Lonjoboko
termasuk dalam wilayah DAS
Jeneberang dengan ketinggian ratarata dari permukaan laut 350-800 dpl
dan
Desa ini memiliki luas 62,60
Km2 . Desa Lonjoboko meliputi
Dusun Bontoloe, Dusun Galesong,
Dusun
Tombongi
dan
Dusun
Lantaboko. Sampel penelitian di
Dusun Lantaboko yang merupakan
terluas yaitu seluas 32,08 Km2,
dengan kepadatan penduduk ratarata 4 jiwa/Km2.
Jarak Dusun
Lantaboko dari ibukota desa sejauh

129

16 Km dengan waktu tempuh 120


menit.
Lahan yang dimanfaatkan
oleh responden di dalam kawasan
hutan diperuntukkan sebagai areal
pemungutan nira, produksi gula aren,
dan pembukaan lahan pertanian. Hal
tersebut dikarenakan membuat gula
aren merupakan mata pencaharian
utama
responden.
Selain
itu,
kawasan
hutan
dimanfaatkan
responden
sebagai
areal
persawahan,
perkebunan,
pemungutan hasil hutan kayu dan
non kayu serta menggembalakan
ternaknya secara bebas dalam
kawasan
hutan
tanpa

mengandangkannya.
Areal
persawahan hanya dikelola pada
musim hujan saja karena sawah di
wilayah ini merupakan jenis sawah
tadah hujan.
Mata Pencaharian Responden
Penduduk Dusun Lantaboko
memiliki mata pencaharian utama
sebagai
pembuat
gula
aren,
sedangkan
mata
pencaharian
sampingannya
adalah
bertani,
pedagang dan beternak. olongan
mata pencaharian responden dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Responden Berdasarkan Mata Pencaharian di dusun


Lantaboko
Mata Pencaharian
Jumlah Responden
No
Persentase (%)
Utama
(Orang)
1
Petani
8
32
2
Pedagang
1
4
Pembuat
Gula
Aren
3
16
64
Jumlah

25

100

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2006


Responden mengambil nira aren sebagai bahan membuat gula aren dari
Responden mengambil nira
sebagai bahan pertimbangan dalam
aren sebagai bahan membuat gula
rangka
pemberdayaan
dan
aren dari dalam kawasan hutan
pembinaan mitra kepada masyarakat
sedangkan bertani dilakukan di
untuk meningkatkan kesejahteraan
dalam dan di luar kawasan
hidupnya.
hutan.Responden yang memiliki
Bentuk-Bentuk Aktivitas
mata pencaharian sebagai pembuat
Masyarakat Dalam Kawasan Hutan
gula aren berusia produktif tua (11
responden), usia produktif muda (9
responden), dan usia non produktif (2
Penduduk Dusun Lantaboko
responden).
Sedangkan
tingkat
pada umumnya melakukan aktivitas
pendidikan, tidak bersekolah (12
di dalam kawasan hutan sebagai
responden), tamat SD (7 responden),
pembuat gula aren. Aktivitas lain
SMP (2 responden) dan SMA 1
adalah bertani, memanfaatkan hasil
responden.
Hasil
tersebut
hutan kayu, rotan, madu, dan
menunjukkan bahwa secara umum
menggembalakan
ternaknya
di
responden
yang
bermata
hutan. Jumlah pendapatan dari
pencaharian sebagai pembuat gula
masing-masing aktivitas
disajikan
aren memiliki tingkat pendidikan yang
pada Tabel 2.
rendah
dengan
kategori
usia
produktif tua. Hal ini dapat dijadikan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

130

Tabel 2. Rata-rata Pendapatan dari aktivitas responden Dalam Kawasan Hutan


No
Aktivitas
Pendapatan (Rp/Thn)
1 Membuat Gula Aren
1.960.920
2 Mengambil Madu
80.200
4 Memungut Rotan
38.000
5 Pemanfaatan lahan
964.260
6 Penggembalaan ternak
1.574.240
7 Kayu Bakar
254.960
8 Kayu Bangunan
564.000
9 Lain-lain
185.360
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2006

Membuat Gula Aren

Madu

Pohon aren yang tumbuh di


dalam
kawasan
hutan
sudah
dimanfaatkan
oleh
masyarakat
Dusun Lantaboko secara turuntemurun.
Proses pembuatannya
dilakukan secara tradisional dengan
memasak menggunakan kayu bakar
yang juga diperoleh dari kawasan
hutan. Nira aren disadap dari pohon
aren setiap harinya selama 4-6
bulan/tahun.
Penyadapan
nira
dilakukan secara bergantian pada
pagi dan sore hari. Nira yang disadap
pada pagi hari, ditampung dan
diambil pada sore hari begitu pula
sebaliknya.
Gula
aren
merupakan
komoditi utama yang paling banyak
menghasilkan pendapatan dibanding
dengan komoditi lain yang ada di
Dusun Lantaboko. Dalam sehari,
responden dapat memproduksi 20
50 buah gula aren dengan rata-rata
35 buah gula aren per hari. Jumlah
responden yang terlibat langsung
dengan aktivitas pembuatan gula
aren adalah 22 orang dengan nilai
pendapatan per tahun yang tertinggi
adalah Rp. 5.600.000,- dan yang
terendah Rp 840.000,- atau rata-rata
Rp. 1.960.920,-/tahun (tabel 12)
dengan
persentase
pendapatan
31,36 % dari total pendapatan
responden.

Selain aren, hasil hutan non


kayu lainnya yang dimanfaatkan oleh
responden adalah madu. Madu
merupakan hasil hutan yang di
dapatkan dari sarang lebah di hutan.
Madu
di
percaya
berkhasiat
mengobati berbagai macam penyakit.
Hasil hutan ini sangat digemari
karena khasiat dan rasanya manis.
Di dalam kawasan hutan Lantaboko
banyak lebah yang bersarang,
namun masyarakat hanya mengambil
madunya pada saat musim kemarau
saja.
Madu yang diperoleh dijual
kepada masyarakat setempat atau ke
pasar dan selebihnya dikonsumsi
sendiri. Harga jual madu di pasar
lokal Rp. 15.000/botol. Jumlah
responden yang terlibat langsung
dengan aktivitas pemanfaatan madu
adalah 6 orang dengan pendapatan
per tahun tertinggi adalah Rp
900.000,- dan terendah Rp 75.000.
Persentase pendapatan rata-rata
responden dari aktivitas mengambil
madu sebesar 1,28 % dari total
pendapatan responden di Dusun
Lantaboko.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

131

Rotan
Rotan yang tumbuh liar di
kawasan hutan hanya digunakan
sebagai alat pengikat dan dianyam
untuk tempat pengumpulan gula aren
yang sudah dimasak dan dicetak.
Pekerjaan ini hanya pekerjaan
sampingan
yang
dilakukan
responden sambil memasak gula.
Barang kerajinan ini tidak dipasarkan
tetapi untuk konsumsi sendiri.
Berdasarkan
hasil
wawancara, hanya 2 orang (8 %)
responden yang memungut rotan.
Jika diasumsikan harga rotan Rp.
25.000,-/ikat,
maka
rata-rata
penghasilan dari mengambil rotan
adalah Rp. 38.000,-/tahun.
Sebenarnya banyak kerajinan
yang dapat dibuat dari rotan dan
bernilai tinggi, misalnya saja kursi,
meja, pembatas ruangan, tirai dan
tikar.
Namun
rendahnya
pengetahuan masyarakat mengenai
kerajinan tangan sehingga hanya
membuat untuk dipakai sendiri.
Masyarakat harus diberikan pelatihan
mengenai cara membuat kerajinan
dari rotan dan diberikan bantuan
dalam pemasaran hasil nantinya.
Pemanfaatan lahan
Kegiatan bertani sawah di
dalam kawasan hutan dilakukan
secara turun temurun, bak pada
lahannya sendiri dan maupun
mengolah lahan milik orang lain.
Sawah yang berada di wilayah ini
adalah sawah tadah hujan. Musim
tanam padi berlangsung pada bulan
Desember
dan
Januari,
pemeliharaan dilakukan sejak bulan
Februari hingga bulan April, dan
masa panen berlangsung bulan Mei
dan Juni.
Jumlah
responden
yang
terlibat langsung dalam pengelolaan
sawah adalah 23 orang dengan
pendapatan tertinggi adalah Rp
2.400.000,-/tahun dan terendah Rp.
375.000,-/tahun. Hasil wawancara
menunjukkan
bahwa
selain

bersawah, lahan yang dimanfaatkan


masyarakat di tanami dengan
tanaman perkebunan seperti kopi,
coklat, sayur dan buah. Namun,
penghasilan dari perkebunan ini terus
mengalami penurunan
sehingga
banyak masyarakat meninggalkan
lahan mereka dan lebih memilih
tanaman persawahan yaitu padi.
Penggembalaan Ternak
Ternak di wilayah ini di lepas
bebas di sekitar hutan maupun di
dalam
kawasan
hutan
tanpa
pengawasan. Petani menggiring
ternaknya ke dalam hutan dan
dibiarkan berkeliaran dalam hutan
tanpa penjagaan. Pada saat akan
dimulai persiapan lahan untuk
menanam padi atau ada pembeli
ternak barulah ternak tersebut akan
dicari dalam hutan.
Ternak
dijual
kepada
masyarakat
setempat
dan
ke
konsumen yang datang langsung
ataupun melalui pesanan. Harga jual
ternak sapi tertinggi Rp.2.500.000,/ekor dan harga terendah Rp
1.500.000,-/ekor.
Persentase
pendapatan rata-rata responden dari
ternak sapi adalah 25,17 % dari total
hasil pendapatan komoditi yang
dimanfaatkan dari kawasan hutan di
Dusun Lantaboko.
Selain
memberi konstribusi langsung, ternak
juga dijadikan pembajak sawah oleh
masyarakat serta digunakan untuk
mengangkut hasil pertanian dan gula
aren dari tempat produksi menuju ke
rumah atau ke konsumen.
Kayu Bakar
Masyarakat
di
Dusun
Lantaboko masih menggunakan kayu
bakar untuk keperluan memasak
sehari-hari dan proses pembuatan
gula merah. Kayu bakar diperoleh
dengan
beberapa
cara
yaitu
memotong bagian-bagian tertentu
dari pohon seperti ranting tau
cabang, mengambil ranting-ranting
pohon pada saat ada penebangan.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

132

Mereka mengumpulkan kayu dalam


jumlah yang cukup banyak di musim
kemarau untuk persediaan di musim
penghujan.
Berdasarkan hasil wawancara
diketahui bahwa seluruh responden
memperoleh kayu bakar dari dalam
kawasan hutan. Selain itu diketahui
pula harga kayu bakar di pasar lokal
Rp.
1.500/ikat.
Perhitungan
pendapatan kayu bakar yang mereka
gunakan dapat dilihat pada Lampiran
2. Dari hasil perhitungan tersebut
diketahui
biaya
yang
harus
dikeluarkan oleh setiap rumah tangga
jika seandainya mereka membeli
kayu bakar yaitu rata-rata Rp.
254.960,-/tahun atau 4,08 % dari
total hasil pendapatan komoditi yang
dimanfaatkan dari kawasan hutan di
Dusun Lantaboko. Dengan demikian
konstribusi
kayu
bakar
untuk
kebutuhan rumah tangga cukup
besar.
Kayu Bangunan
Mengambil kayu bangunan
juga merupakan salah satu aktivitas
yang dilakukan responden pada
kawasan hutan. Pemanfaatan hasil
hutan
kayu
digunakan
untuk
membuat rumah dan perabot rumah
tangga. Masyarakat mengambil kayu
tersebut dalam kawasan hutan tanpa
adanya penanaman kembali.
Kayu
Uru
(Elmerillia
pubescens Dandy) banyak dijumpai
dalam kawasan hutan pada wilayah
ini. Kayu Uru yang nama lokalnya
disebut kayu Bissu, yang paling
banyak digunakan masyarakat untuk

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

bahan bangunan rumah. Kayu Uru


merupakan salah satu jenis kayu
yang bernilai komersil, sehingga
masyarakat biasa mengeluarkan
kayu ini secara ilegal.
Kayu
yang
ditebang
menggunakan
peralatan
gergaji
mesin (Chain Saw). Harga jual kayu
pertukangan rata-rata Rp. 300.000,/kubik. Jumlah responden yang
terlibat dalam pengambilan kayu
bangunan dalam kawasan hutan
hanya 4 orang dengan pendapatan
rata-rata dari aktivitas mengambil
kayu adalah sebesar Rp. 564.000,/tahun atau 9.02 % dari total hasil
pendapatan responden di Dusun
Lantaboko.
Berdasarkan
hasil
pengamatan, di wilayah ini dapat
dibudidayakan jenis kayu yang lain.
Hal ini dapat dilihat dari kawasan
penghijauan milik PT.Inhutani Gowa
yang ditanami kayu-kayuan dengan
jenis Jati Putih (Gmelina arborea),
Sengon (Parasienthys falcataria),
dan Akasia (Acacia mangium).
Menurut responden, mereka mau
saja menanam komoditi kehutanan di
lahan mereka bila saja pemerintah
memberikan bibit tanpa harus dibeli.
Ketergantungan Masyarakat
Terhadap Kawasan Hutan
Masyarakat Dusun Lantaboko
menjadikan kawasan hutan sebagai
sumber
mata
pencaharian.
Pendapatan masing-masing aktivitas
masyarakat dalam kawasan hutan
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

133

Tabel 3.Persentase pendapatan responden berdasarkan jenis aktivitas


Persentase Pendapatan (%)
No
Aktivitas Responden
Di Luar
Dalam Kawasan Hutan
Kawasan Hutan
1.
Gula Aren
31.36
2.
Madu
1.28
3.
Rotan
0.61
Pemanfaatan lahan
15.42
6.49
4.
5.
Penggembalaan ternak
25.17
0.28
6.
Kayu Bakar
4.08
7.
Kayu Bangunan
9.02
8.
Lain-lain
2.96
2.97
89.9
9.74
Jumlah
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2006
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
secara
umum
tingkat
pendapatan masyarakat Lantaboko
di dalam kawasan hutan jauh lebih
tinggi
(89,9
%)
dibandingkan
pendapatan di luar kawasan hutan
(9,74%). Komoditi tertinggi pada
pembuatan gula aren (31,36 %) dan
terendah pada komoditi rotan (0,61
%). Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya keberadaan hutan bagi
masyarakat Lantaboko. Sedangkan
jenis
aktivitas
yang
dilakukan
masyarakat di lokasi penelitian
berupa
pemungutan/pemanfaatan
hasil
hutan
dan
pemanfaatan
kawasan (PP No. 34 tahun 2002).
Berdasarkan
hasil
wawancara, kendala yang dialami
masyarakat antara lain lahan di luar
kawasan tidak mencukupi untuk
pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Sebagai salah satu wilayah yang
dekat dengan kawasan hutan, sangat
sulit bagi masyarakat melakukan
ruang gerak pertanian dengan lahan
yang sangat terbatas. Minimnya
pengetahuan
dan
pendidikan
masyarakat
menyebabkan
masyarakat
kurang
menyadari
pentingnya hutan lestari.
Kegiatan
penyuluhan
terhadap
masyarakat
mengenai
fungsi hutan lestari dan peningkatan
keterampilan
perlu
digalakkan.
Ketrampila mengubah rotan menjadi

kerajinan rumah tangga, meubel atau


membuat makanan dan minuman
yang berbahan dasar nira dan gula
aren yang bernilai ekonomis seperti
cuka, nata, kecap dan lainlain.Sosialisasi
teknik
bertani/berkebun dengan pola cocok
tanam yang sesuai juga penting
untuk masyarakat di daerah ini
(Sardjono, M. A. 1999.)
KESIMPULAN

Berdasarkan
hasil
pembahasan,
maka
disimpulkan bahwa :

dan
dapat

1. Aktivitas yang masyarakat Dusun


Lantaboko di dalam kawasan
hutan adalah menyadap nira
aren, mengambil rotan dan
madu, dan menggembalakan
ternak.
2. Rata-rata pendapatan aktivitas
responden dalam kawasan hutan
per tahun, adalah gula aren
sebanyak Rp. 1.960.920,- (31.36
%), madu sebanyak Rp. 80.200,(1,28 %), rotan sebanyak Rp.
38.000,- (0.61 %), padi sebanyak
Rp. 964.280,- (15.42 %), ternak
sebanyak Rp. 1.574.240,- (25.17
%), kayu bakar sebanyak Rp.
254.960,- (4,08 %),
kayu

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

134

3.

4.

5.

6.

bangunan
sebanyak
Rp.
564.000,- (9.02 %), dan hasil
hutan lainnya sebanyak Rp.
185.360,- (2.96 %).
Tingkat
ketergantungan
masyarakat terhadap kawasan
hutan dikategorikan tinggi karena
89,9 % dari total pendapatan
masyarakat Dusun Lantaboko
berasal dari dalam kawasan
hutan dan hanya 9,74 % dari
total pendapatan masyarakat
berasal dari luar kawasan hutan.
Kegiatan
pemberdayaan
masyarakat di Dusun Lantaboko
melalui penyuluhan, pelatihan
dan
pendampingan
perlu
dilakukan secara terpadu untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
kelestarian
hutan.
Menjalin mitra kerja dengan
produsen yang bergerak dalam
industri pengolahan makanan
berbahan dasar nira aren dan
gula aren.
Membudidayakan
tanaman
untuk penggunaan kayu bakar.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan
dan
Perkebunan, 2002. PP No. 34
tahun 2002..
Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi
Selatan,
2006.
Kebijakan
Kehutanan.
Makalah
pada
Seminar Sosialisasi Kebijakan
Departemen
Kehutanan
Kepada
Perguruan
Tinggi,
Pemda, UPT di Universitas
Hasanuddin, 9 Mei 2006. Dinas
Kehutanan Propinsi Sulawesi
Selatan. Makassar.
Rangkuti. N, Ferdi, 2005. Mencari
Alternatif
Ekonomi
Lokal.
Center for International Forestry
Research, Jakarta.
Sardjono, M. A. 1999. Mensiasati
Keberhasilan Pengembangan
Kebijakan
Hutan
Kemasyarakatan dari Kebijakan
Menuju Penerapan. Makalah
Disampaikan pada lokakarya
Pengembangan HKm 29 30
September 1999 di Bogor.
Direktorat Penghijauan dan
Perhutanan Sosial. Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Sudana M., Uluk A., dan Wollenberg
E., 2001.
Ketergantungan
Masyarakat Dayak Terhadap
Hutan
di
Sekitar
Taman
Masional Kayan Mentarang.
Center for International Forestry
Research, Jakarta.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135

135

Diterima 21 April 2007


Yusran Jusuf
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan,
Fakultas Kehutanan,Program Studi Manajemen Hutan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Perumahan Dosen Unhas
Blok BG No 64. HP 08152517364
Nurdin Abdullah
Laboratorium Konservasi Sumber Daya Hutan,
Fakultas Kehutanan,Program Studi Manajemen Hutan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Perumahan Dosen Unhas
Blok B No 31 Telp. 0411-512255

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 127-135

136

ANALISIS DESKRIPTIF POLA KONVERSI


HUTAN KEMIRI RAKYAT (HKR) DI KABUPATEN MAROS
Descriptive Analysis of Conversion Pattern of
Community Candlenut Forest (Hutan Kemiri Rakyat-HKR) in Maros Regency
Syamsu Alam
Abstract
The purpose of this research is to investigate the conversion pattern of community
candlenut forest (hutan kemiri rakyat-HKR) in Maros Regency. It was found that
there were three categories of conversion in HKR area: temporary farming,
permanent farming, and cocoa farming. Each of the conversion category had its
own characteristics. However, the income obtained from the conversion activities
was always higher compared to the income obtained from the HKR in all
categories. The income sharing from HKR were as followed: temporary farming
(22.43%), permanent farming (13%), and cocoa farming (27.29%). It seems that
the income differential between conversion income and HKR income of the farmer
became a driving factor that affect the level of conversion.
Keywords: community candlenut forest, conversion pattern, maros regency

PENDAHULUAN
Visi pembangunan jangka
panjang kehutanan tahun 2006-2025
adalah KEHUTANAN SEBAGAI
PENYANGGA
BERKELANJUTAN
Tahun
2025.
Dalam
rangka
mewujudkan
visi
tersebut,
seyogyanya pengelolaan hutan harus
diarahkan
pada
peningkatkan
pendapatan
masyarakat,
peningkatkan lapangan kerja dan
kesempatan
berusaha
serta
peningkatkan fungsi hutan untuk
kelestarian lingkungan.
Perkembangan
jumlah
penduduk yang semakin meningkat
dari waktu ke waktu mendorong
meningkatnya kebutuhan masyarakat
akan bahan pangan, lapangan kerja,
dan kebutuhan hidup lainnya hasil
hutan,
sehingga
mendorong
terjadinya konversi lahan hutan (alih
fungsi lahan hutan ke penggunaan
lahan yang lain). Kegiatan konversi
lahan hutan tersebut menyebabkan
berkurangnya fungsi produksi jasa
lingkungan seperti pengatur tata air
dan penyerapan karbon serta

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144

produksi langsung berupa kayu dan


hasil hutan lainnya. Hal tersebut
menimbulkan
dampak
terhadap
banjir, kekeringan serta menurunnya
kontribusi
pendapatan
dan
penyerapan tenaga kerja sektor
kehutanan.
Hutan Kemiri Rakyat (HKR) di
Kabupaten Maros telah memberikan
manfaat baik langsung (tangible
benefit) maupun manfaat tidak
langsung
(intangible
benefit).
Manfaat langsung yaitu produksi biji
kemiri dan kayu untuk kebutuhan
konsumsi dalam negeri maupun
untuk konsumsi luar negeri (pasar
ekspor). Sedangkan manfaat tidak
langsung
yaitu
produk
jasa
lingkungan (pengatur tata air dan
penyerapan karbon). Kondisi HKR
tersebut sedang mengalami proses
konversi ke penggunaan lahan yang
dianggap oleh petani
lebih
menguntungkan. Kegiatan konversi
tersebut yang tidak terkendali akan
berdampak
kepada
kerusakan
(degradasi)
HKR
yang
dapat
menurunkan
nilai
manfaatnya.
Selanjutnya
Yusran
(2005)

137

menyatakan bahwa konversi lahan


hutan kemiri rakyat yang saat ini
sedang berlangsung di Kabupaten
Maros merupakan ancaman bagi
kelestarian
hutan
kemiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka pengetahuan pola konversi
hutan kemiri rakyat di Kabupaten
Maros
diperlukan,
guna
penanggulangan konversi
untuk
mewujudkan
pengelolaan
HKR
lestari.
Penelitian ini mempelajari
secara diskriptif karakteristik pola
konversi HKR dan pola konversi
hubungannya
dengan
faktor
demografi,
sumberdaya
rumah
tangga petani dan aksessibilitas
lokasi.
Dengan
mengidentifikasi
secara deskriptif pola konversi dan
hubungannya dengan factor tesebut
di atas, maka diharapkan mampu
memberikan gambaran nyata yang
bisa dijadikan referensi untuk strategi
penaggulangan konversi hutan kemiri
rakyat
dalam
mewujudkan
pengelolaan hutan.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
memperoleh
gambaran
awal
karakteristik pola konversi hutan
kemiri
rakyat
sebagai
dasar
penelitian selanjutnya. Pengetahuan
tentang karakteristik pola konversi
HKR dapat dijadikan masukan
dalam
merumuskan
kebijakan
pengelolaan hutan kemiri rakyat di
Kabupaten Maros.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini
dilaksanakan
pada tiga kecamatan di Kabupaten
Maros, ketiga kecamatan tersebut
yaitu
Kecamatan
Camba,
Kecamatan Mallawa dan Kecamatan
Cenrana.
Pertimbangan
dalam
memilih lokasi penelitian yaitu : (1)
Lokasi penelitian tersebut merupakan
wilayah yang didominasi hutan kemiri
rakyat ,(2) Lokasi tersebut sedang
berlangsung konversi hutan kemiri
rakyat ke penggunaan lahan yang
lain. Pengambilan data dilakukan di
perkampungan (dusun) yang masih

terdapat
hutan
kemiri
rakyat.
Pengumpulan data lapangan, analisa
data dan penulisan dilakukan selama
tiga (3) bulan yaitu mulai bulan Maret
2007 sampai Mei 2007.
Populasi dan Teknik Sampel
Sebagai
populasi
dalam
penelitian ini adalah seluruh petani
yang
terdapat
pada
ketiga
kecamatan,
yaitu:
Kecamatan
Camba, Kecamatan Mallawa dan
Kecamatan Cenrana. Lokasi ini
dipilih dengan pertimbangan bahwa
diwilayah ini didominasi hutan kemiri
yang
sedang
terkonversi
kepenggunaan lahan
yang lain.
Pengambilan
sampel
dilakukan
secara acak distratifikasi (stratified
random sampling). Yang pertama
dilakukan
adalah
pemilihan
kampung-kampung sampel yang
akan disurvei
secara purpossive
yang didasarkan atas kriteria pola
konversi HKR ke penggunaan ladang
berpindah, ladang menetap dan
kebun coklat. Dari 26 desa pada
ketiga kecamatan tersebut terdapat
sejumlah 92 kampung (dusun).
Kampung-kampung tersebut dipilih
12 kampung secara purposive untuk
masing masing pola konversi HKR
ke penggunaan lahan usaha tani lain.
Sehingga
terpilih sebanyak 36
kampung (dusun). Kemudian untuk
masing-masing
kampung
dipilih
secara acak petani responden
sebanyak
10
orang.
Dengan
demikian jumlah responden untuk
masing-masing
pola konversi
sebanyak 120 petani, sehingga total
responden 360.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan
untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam rangka mencapai
tujuan penelitian. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan
metode survei, yaitu metode yang
bertujuan untuk meminta tanggapan
dari responden. Beberapa metode

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144

138

yang digunakan adalah, Wawancara


dan
studi
literatur.
Metode
wawancara
dilakukan
guna
memperoleh data dan informasi
langsung dari sumber aslinya tentang
kondisi/parameter yang hendak dikaji
dalam
suatu
kuesioner
yang
terstruktur dan tidak terstruktur,
sedangkan studi literatur untuk
memperoleh informasi pendukung
guna melengkapi data yang ada.
Untuk
mengetahui
karakteristik
pengelolaan HKR digunakan analisis
deskriptif dengan data tabulasi dari
hasil penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Konversi HKR
Hutan kemiri rakyat
di
Kabupaten
Maros
telah
dikembangkan
oleh
masyarakat
sejak tahun 1826 yang telah
memberikan manfaat ekologi dan
ekonomi bagi masyarakat setempat
serta memberikan kontribusi bagi
pengembangan ekonomi wilayah

Kabupaten Maros. Kondisi HKR saat


ini sedang mengalami proses
konversi menjadi penggunaan lahan
non
kehutanan.
Dampak
dari
kegiatan konversi tersebut telah
dirasakan oleh masyarakat berupa
kekekurangan air dimusim kemarau,
baik untuk keperluan rumah tangga
maupun untuk air irigasi.
Berdasarkan hasil pengamatan
lapangan dan wawancara responden
dapat diketahui bahwa ada 3 (tiga)
pola konversi HKR ke penggunaan
lahan non kehutanan yaitu pola
penggunaan ladang berpindah, pola
penggunaan ladang menetap dan
pola
penggunaan
perkebunan
(kebun kakao). Masing-masing pola
konversi HKR tersebut mempunyai
karakteristik tersendiri tentang luas
dan
persentase
HKR
yang
terkonversi
sejak
tahun
1996
(sepuluh tahun terakhir). Perbedaan
luas dan persentase konversi pada
berbegai pola konversi HKR ke
penggunaan lain terlihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Luas dan Persentase Konversi pada Berbagai Pola Konversi HKR
Nilai Rata-rata Pola Konversi HKR
Ladang Ladan Kebu
No
Uraian
Satuan
Gabung
Berpind gMen
n
an
ah
etap
Kakao
1. Luas HKR 1996
(10 thn terakhir)
ha
1,39
1,03
2,11
1,51
2. Luas HKR 2007
(saat ini)
ha
0,89
0,72
1,33
0,98
3. Luas HKR terkonversi
ha
0,50
0,31
0,78
0,53
4. Persentase konversi
%
43,41
45,20
39,00
42,56
,
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Data yang disajikan pada
Tabel 1 memberikan gambaran
bahwa pola konversi HKR menjadi
kebun
kakao
paling
luas
dibandingkan dengan pola konversi
penggunan lahan pada ladang
berpindah dan ladang menetap.
Sedangkan yang paling sempit

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144

konversinya adalah pola konversi


HKR menjadi ladang menetap. Jika
dilihat dari persentase rata-rata HKR
yang dikonversi dari luas hutan
kemiri yang dikuasai petani 10 tahun
terakhir menunjukkan angka yang
paling tinggi
justru pada ladang
menetap dan paling kecil pada pola
konversi kebun kakao. Hal tersebut
menunjukkan bahwa setiap pola
konversi HKR ke penggunaan lahan
usaha
tani
lain
mempunyai

139

perbedaan rata-rata luas HKR yang


terkonversi dan persentase konversi
dari areal HKR yang dikuasai petani.
Perbedaan ini disebabkan karena
perbedaan karakteristik usaha tani
pada masing-masing pola konversi.
Penguasaan
HKR oleh petani
pada pola konversi HKR menjadi
kebun kakao lebih luas dan
pengelolaan kebun kakao tidak
seintensif
usaha tani pada pola
konversi menjadi ladang menetap.

Hubungan Sumberdaya Rumah


Tangga Petani dengan Pola
Konversi
Kondisi
sumberdaya
rumah
tangga petani ditinjau dari segi
kemampuan menyediakan faktor
produksi yang meliputi tenaga kerja
keluarga,
modal
dalam
arti
kemampuan finansial serta lahan
usaha disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Sumberdaya Rumah Tangga Petani


Rata-rata Pola Konversi
Ladan
Ladang
No
Uraian
Satuan
g
Kebun Gabung
Berpind
Meneta Kakao
an
ah
p
1. Umur
Tahun
44,1
46,1
43,3
44,5
2. Lama Pendidikan
tahun
5,0
7,8
7,2
6,6
3. Jml Anggota Keluarga
orang
5,0
4,6
4,3
4,6
4. Luas Lahan
ha
2,0
1,8
2,6
2,1
5. Pendapatan Perkapita Rp.000
1.046
2.117.3 2.136.1
1.767
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Data pada Tabel 2 menunjukkan
bahwa petani (responden) rata-rata
lama menempuh pendidikan 6,6
tahun, rata- rata umurnya 44,5 tahun
dan
rata-rata
jumlah
anggota
keluarganya 4,6 orang. Jika dilihat
dari kemampuan petani dari segi
umur
dan
jumlah
anggota
keluarganya, maka kemampuan
petani untuk melanjutkan usaha HKR
masih memungkinkan, karena masih
berumur produktif dan tenaga kerja
keluaraga tersedia. Tetapi jika dilihat
dari tingkat pendidikan petani dalam
hal kemampuan menerima inovasi
baru dan memperoleh informasi
masih sangat terbatas, terutama
pada petani yang melakukan pola
konversi ke ladang berpindah.
Karakteristik pedapatan pada
petani yang melakukan pola konversi
ladang berpindah masih tergolong
miskin. Hal ini dasarkan kriteria yang
dikemukan oleh Sayogyo dengan
menggunakan standar pendapatan

berdasarkan harga setara beras lebih


kecil 360 kg beras. Pendapatan
perkapita petani pada pola konversi
ladang berpindah dengan petani
konversi ladang mentap dan petani
pola konversi kebun kakao dua kali
lebih besar.
Hal tersebut menunjukkan
bahwa petani yang melakukan
konversi
ladang berpindah tidak
mempunyai kemampuan finansial
untuk melakukan usaha tani yang
padat modal. Pertanian ladang
berpindah
adalah merupakan
pertanian yang kurang memerlukan
modal, tetapi menggunakan banyak
tenaga kerja. Hal ini sebagai
penyebab
utama
petani
tetap
melakukan kegiatan perladangan
berpindah.
Rendahnya
tingkat
pendapatan pada petani yang
mengkonversi HKR menjadi ladang
berpindah (petani ladang berpindah)
dan tingkat pendidikan yang rendah
serta jumlah anggota keluarga yang
besar adalah merupakan acaman
bagi kegiatan konversi HKR dan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144

140

Hubungan Pendapatan Usaha Tani


dengan Pola Konversi

kawasan hutan negara dimasa


datang.
Karena
syarat
untuk
melakukan
pertanian
ladang
menetap dan kebun kakao harus
ditunjang dengan modal intensif dan
kemampuan
petani
untuk
menerapkan
inovasi
teknologi
budidaya
serta
kemampuan
memperoleh
informasi
untuk
mengetahui kondisi pasar komoditi
usaha
tani
kedepan
dalam
hubungannya dengan pemilihan jenis
tanaman yang dipilihnya , terutama
pada tanaman hortikultura seperti
lombok dan tomat.

Karakteristik
pendapatan
usahatani
pada
berbagai
penggunaan lahan meliputi : sawah,
ladang menetap, ladang berpindah,
kebun kakao dan HKR dengan pola
koversi
memberikan
tingkat
pendapatan yang sangat bervariasi.
Tingkat pendapatan usaha tani dari
berbagai pola penggunaan lahan di
lokasi penelitian dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Pendapatan Usaha Tani


No

Uraian

Satuan

1.
2.

Pendapatan HKR
Pendapatan
Konversi
Pendapatan
Sawah
Pendapatan Total
Usahatani
Kontribusi
Pendapatan HKR

Rp
Rp

Nilai Rata-rata Pola Konversi


Ladang
Ladang
Kebun Gabung
Berpind
Menetap Kakao
an
ah
1.230,4
1.078,8
2.027,8
1.445,7
1.725,6
2.508,0
3.287,9
2.507,1

Rp

1.552,8

5.315,4

2.660

3.176,1

Rp

4.508,9

8.297,3

6.528,9

6.445,0

27,29

13,00

31,55

22,4

3.
4.
5.

Sumber data primer, setelah diolah, 2007


Data pada Tabel di atas
menunjukkan
bahwa
pola
penggunaan
lahan
sawah
memberikan kontribusi pendapatan
paling tinggi atau lebih 50 % dari total
pendapatan usaha tani, kemudian
disusul ladang menetap, kebun
kakao, ladang berpindah dan yang
paling
rendah
adalah
HKR.
Kontribusi pendapatan HKR terhadap
total pendapatan usaha tani rata
rata sebesar 22,43 % dan yang
paling tinggi pada pola konversi
kebun kakao (31,11 %) dan paling
rendah pada pola konversi ladang
menetap, hanya sebesar 13 %.
Rendahnya

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144

pendapatan yang diterima petani dari


usaha HKR merupakan faktor yang
mendorong
petani
melakukan
konversi HKR menjadi penggunaan
lahan usaha tani yang memberikan
pendapatan yang lebih tinggi.
Tekanan
Lahan

Penduduk

Terhadap

Perkembangan jumlah penduduk


dan meningkatnya kebutuhan rumah
tangga petani mendorong
untuk
memanfaatkan lahan mereka yang
lebih efisien dan memberikan
pendapatan
yang
paling
menguntungkan seperti data pada
Tabel 4.

141

Tabel 4.Hubungan Tekanan Penduduk Terhadap Lahan dengan Pola Konversi


Nilai Rata-rata Pola Konversi
Kebu
Satua
Ladang
Ladang
No
Uraian
n
Gabunga
n
Berpinda Meneta
Kaka
n
h
p
o
1. Kepadatan
Jiwa/k
83,4
124,6
61,9
90,0
2. Penduduk
m
7,4
7,4
9,2
8,0
3. Rasio OrangJiwa/h
29,0
14,8
17,0
20,2
4. Sawah
a
6,7
10,8
3,8
7,1
5. Rasio OrangJiwa/h
22,4
16,4
5,8
14,9
6. Ladang
a
90,5
82,1
83,4
85,3
Rasio Orang Kebun Jiwa/h
Rasio Orang-HKR
a
Persentase Petani
Jiwa/h
a
Persen
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Data
pada
Tabel
4
menunjukkan
bahwa
kepadatan
penduduk pedesaan pada masingmasing pola konversi HKR menjadi
ladang
menetap
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
ladang
berpindah dan kebun kakao. Yang
paling
rendah
kepadatan
penduduknya adalah pada pola
konversi kebun kakao. Sedangkan
rasio orang-lahan ladang dan kebun
serta persentase penduduk yang
bekerja
sebagai
petani
memperlihatkan angka yang paling
besar adalah pada pola konversi
HKR menjadi ladang berpindah. Hal
ini memberi gambaran bahwa pola
konversi yang paling tinggi tekanan
penduduknya
terhadap
lahan
pertanian adalah pada pola konversi
ladang berpindah, kemudian disusul
dengan ladang menetap dan yang
paling rendah tekanan penduduk
terhadap lahan pertanian
adalah
pola konversi kebun kakao.
Kepadatan penduduk kurang 10
jiwa/km2,
kegiatan
perladangan
berpindah
masih memungkinkan
dilaksanakan untuk dapat memenuhi
kebutuhan subsistensi penduduk dan
tidak merusak lingkungan (Ruf dan
Lancon, 2005). Melihat keadaan

tekanan penduduk terhadap lahan


pertanian
menunjukkan
angka
kepadatan rata-rata penduduknya
mencapai 90 jiwa per km2 yang
berarti bahwa kegiatan perladangan
berpindah, yang dapat menjamin
kelestarian
lingkungan
dan
memenuhi kebutuhan subsistensi
penduduk tidak memungkinkan lagi.
Rendahnya tingkat pendapatan dan
tingginya
tekanan
penduduk
merupakan faktor pendorong petani
melakukan
konversi
HKR
ke
penggunaan
usaha
tani
yang
memberikan pendapatan yang tinggi,
karena, tidak mencukupi lagi lahan
usaha taninya (terutama bahan
pangan dan tanaman yang cepat
menghasilkan).
Hubungan Tingkat Aksessibilitas
Petani terhadap HKR dan Pasar
dengan Pola Konversi
Tingkat
aksessibilitas
(kemudahan pencapaian) petani
terhadap
lahan
usahanya
berhubungan dengan aktifitas petani
terhadap
lahannya.
Perbedaan
aktifitas petani terhadap lahan HKR
berdampak terhadap pola konversi
HKR
ke
penggunaan
lahan.
Hubungan
antara
tingkat
aksessibilitas petani terhadap pola

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144

142

konversi hutan kemiri rakyat disajikan


pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan Tingkat Aksesibilitas Petani Terhadap pasar dan Lahan
Terhadap Pola Konversi HKR.
Nilai Rata-rata Pola Konversi
Ladan Kebu
Satua Ladang
No
Uraian
g
n
Gabung
n
Berpinda
Menet
Kaka
an
h
ap
o
1. Akses ke Lahan
Km
1,9
22
1,9
2,0
2. Akses ke Jalan Utama
Km
11,7
24
8,1
7,4
3. Akses ke Pasar Utama
Km
77,6
68,3
91,5
79,1
4. Biaya Transpotasi
Rp/or 28.333,3 20.666, 24.58 24,527,8
5. Orang
g
366,7
7
3,335
334,7
Biaya Transportasi
Rp/or
283,3
4,2
barang
g
Sumber : Data Primer Setelah Dioalah. 2007
Data
pada
Tabel
5
menunjukkan data bahwa jarak
rumah dengan lahan HKR petani
rata-rata 2 km, relatif sama untuk
pola konversi ladang berpindah dan
kebun kakao. Sedangkan pola
konversi ladang menetap mempunyai
jarak rumah dengan HKR lebih tinggi
dibanding lainnya hal ini berarti
bahwa
pola
ladang
menetap
mempunyai tingkat aksessibilitas
yang
rendah
terhadap
hutan
kemirinya.
Lokasi HKR pada
umumnya jauh dari rumah petani, hal
ini disebabkan karena HKR tidak
memerlukan
pengelolaan
yang
intensif, jika dibandingkan pada pola
penggunaan kebun atau ladang.
Menurut Hornsby (1988) bahwa
pada umumnya petani selalu ingin
berdekatan dengan lahan yang
dikelolanya.
Terbatasnya lahan pertanian
di lokasi penelitian, sehingga secara
terpaksa petani melakukan usaha
tani pada jarak yang jauh dari
rumahnya. Dengan demikan petani
melakukan pilihan pola penggunaan
lahan yang paling menguntungkan
menurut mereka, baik ditinjau dari
pendapatan usaha tani dan biaya
tenaga kerja maupun dengan alasan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144

keamanan usaha tani terutama


serangan hama babi dan monyet.
Oleh karena pola penggunaan lahan
sawah,
ladang
dan
kebun
memerlukan tenaga kerja yang
intensif dan relatif memberikan
pendapatan yang lebih tinggi, maka
petani cenderung berdekatan dengan
sawah dan ladang mereka.
Akses petani terhadap pasar
dengan
variabel indikator yang
diamati adalah
jarak pemukiman
dengan jalan utama (poros Makassar
Watampone) dan jarak pemukiman
petani
dengan
pasar
utama
(Makassar) serta biaya transport
orang dan barang. Data pada Tabel
5 menunjukkan bahwa petani dengan
pola konversi ladang berpindah
mempunyai tingkat aksessibilitas
yang rendah dibandingkan dengan
pola konversi lainnya. Tingkat
aksessibilitas
yang
rendah
menyebabkan harga produk komoditi
pertanian lebih murah terutama pada
komoditi tanaman yang cepat rusak
dan volumenya besar seperti pada
komoditi kayu kemiri. Salah satu
keuntungan petani mengembangkan
komoditi kemiri pada lahan yang
mempunyai akses rendah adalah
sifat komoditi biji kemiri dapat ditunda
pemanenannya dalam jangka waktu

143

lama,
demikian
pula
waktu
penyimpanannya dapat bertahan
sampai 3 tahun.
Sehingga HKR
dapat menempati lokasi yang jauh
dari
rumah
petani
dengan
menguntungkan, dimana komoditi
lain tidak menguntungkan lagi
diusahakan.
Hal ini sejalan dengan
pendapat Barlow (1978) yang
menyatakan
bahwa
pola
penggunaan lahan ditentukan oleh
nilai lahan (land rent) yang diperoleh
pemilik lahan dari suatu
pola
penggunaan lahan.
Berbeda HKR yang terdapat
dekat dengan jalan utama ia tidak
mampu bersaing dengan pola
penggunaan yang lain, terutama dari
aspek
produktifitas
lahan
(pendapatan petani) karena hutan
kemiri lama baru dapat berproduksi,
yaitu setelah
berumur 5 tahun.
Sedangkan alternatif penggunaan
lahan pada pada pola konversi
ladang
menetap
mempunyai
alternatif jenis tanaman yang dapat
diusahakan
terutama
tanaman
semusim yang cepat berproduksi
dan mudah dipasarkan. Terutama
untuk lahan sawah dan ladang.
Pengembangan prasarana jalan ke
pelosok-pelosok desa menyebabkan
akses terhadap pasar komoditi
pertanian dan kehutanan
tinggi,
sehingga kayu kemiri sebelumnya
tidak punya nilai pasar, sekarang
sudah punya nilai pasar. Pada lokasi
HKR yang sebelumnya tidak punya
nilai pasar sekarang sudah dapat
terjual dengan harga pohon berdiri
antara Rp 20.000 sampai Rp 60.000
per pohon. Harga kayu kemiri
tersebut ditentukan jarak dari jalan
yang dapat dilalui kendaraan truk
roda empat, Jarak paling jauh yang
masih
mempunyai
nilai
pasar
maksimun 0,5 km.
Hasil pengamatan lapangan
dan wawancara responden, dengan
adanya nilai pasar
kayu kemiri,
justeru belum mendorong petani
untuk
melakukan
kegiatan
peremajaan kemiri, tetapi justeru

semakin
mempercepat
mengkonversi
hutan kemirinya,
karena menyebabkan tersedianya
modal bagi petani membuka areal
hutan kemirinya untuk dijadikan
ladang atau kebun dengan pola
pertanian intensif modal dan tenaga
kerja.
KESIMPULAN
Pola
Konversi
HKR
ke
pengguaan lahan non kehutanan
secara umum dapat dikelompokkan
atas 3 (tiga pola),
yaitu: pola
konversi ladang berpindah, ladang
menetap,
dan
kebun
kakao.
Karakteristik ketiga pola tersebut,
memiliki perbedaan
ditinjau dari
berbagai aspek:
a. Pola konversi ladang berpindah
umumnya dilakukan oleh petani
yang berpendapatan rendah,
akses terhadap pasar dan
fasilitas sosial ekonomi lainnya
rendah,
tekanan
penduduk
terhadap lahan relatif rendah
(rata-rata 83,4 jiwa/ km2), tingkat
pendidikan petani rendah. Luas
areal HKR yang terkonversi 10
tahun terakhir per petani rata-rata
0,5 ha atau 43 persen dari luas
HKR yang dikuasai. Kontibusi
pendapatan HKR terhadap total
pendapatan usaha tani sebesar
22,43 %.
b. Pola konversi ladang menetap
umumnya dilakukan oleh petani
yang berpendapatan tinggi, akses
terhadap pasar tinggi dan fasilitas
sosial ekonomi lainnya tinggi,
tekanan penduduk relatif tinggi (
rata-rata 124,6 jiwa/ km2), tingkat
pendidikan petani relatif tinggi
(rata-rata
lama
menempuh
pendidikan 7,8 tahun). Luas areal
yang terkonversi 10 tahun
terakhir 0,3 ha atau 45,2 % dari
lahan HKR yang dikuasainya.
Kontribusi
pendapatan
HKR
terhadap total pendapatan usaha
tani sebesar 13 %.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144

144

c. Pola konversi kebun kakao


umumnya dilakukan oleh petani
yang berpendapatan tinggi, akses
terhadap pasar dan fasilitas
sosial ekonomi lainnya rendah
sampai tinggi,
kepadatan
penduduk relatif rendah (61,9
jiwa/km2), tingkat pendidikan
relatif tinggi (rata-rata lama
menempuh
pendidikan
7,2
tahun).
Luas
lahan
yang
dikonversi per petani selama 10
tahun terakhir rata-rata 0,8 ha
atau 42,6 % dari lahan HKR
yang dikuasainya. Kontribusi
pendapatan HKR terhadap total
pendapatan usaha tani sebesar
27,29 %.
d. Upaya untuk penanggulangan
konversi
HKR, diperlukan
kebijakan yang bervariasi sesuai
dengan
karakteristik
pola
konversinya, faktor demografi,
tingkat pendapatan dan tingkat
aksessibilitas. Prioritas utama
pemberian
kebijakan
yang
bersifat
insentif
untuk
penanggulangan konversi adalah

petani yang melakukan konversi


hutan kemirinya ke pola ladang
berpindah, karena pendapatan
petani
yang
rendah
dan
ketergantungan
sumber
pendapatan dari areal HKR
tinggi.
e. Diperlukan
studi
selanjutnya
analisis
kuantitatif
untuk
mempelajari faktor-faktor yang
mempengaruhi
masing-masing
pola konversi HKR.
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, R. 1978. Land Resources
Economic.
3rd
Edition.
Prentice Hall, Inc., Engelwood
Cliffs: New Jersey.
Yusran, 2005. Analisis Performansi
dan Pengembangan Hutan
Kemiri Rakyat di Kawasan
Pegunungan
Bulusaraung
Sulawesi Selatan. Disertasi
tidak
diterbitkan.
Bogor:
Program
Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.

Diterima : 5 Mei 2007


Syamsu Alam
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat rumah : Kompleks PerumahanDosen
Unhas Blok AG 33, HP :0811447810

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144

145

POTENSI DAN KARATERISTIK EKOLOGI


PROVENANSI EBONI (Diospyros celebica Bakh) UNTUK
PEMULIAAN DAN KONSERVASI GENETIK
Potency and Ecologycal Characteristic
Of Eboni Provenances (Diospyros celebica Bakh) for Tree Improvement and
Genetic Conservation
Muh. Restu.
Abstract
Forest as a natural resource in Indonesia involves high biological diversity. In
South Sulawesi, ebony wood is one of endemic and typical natural resources and
its existence have placed Indonesia as the producer for the wood with highest
economic value. The high economic potency of ebony wood has caused an
intensive exploitation of ebony from its natural habitat.. One of factors causing the
degradation was the existence of uncontrolled harvesting activities which were not
accompanied by rehabilitation efforts. One effort, which can be carried out to
anticipate the progressive destructive condition of the ebony in its natural habitat,
is by developing and implementing tree breeding as well as genetic conservation
systems. This research was addressed to identify the ecological conditions of
various habitats or provenances of ebony. Ecological characteristics observed in
the current study were the potencies of volume, regeneration or density, and
environmental conditions covering four different provenances (Maros, Barru,
Sidrap, and Malili). Data were collected by applying random sampling method in
plots and field measurement.Research results indicate that the standing stock of
different provenances varied from 2.25 6.86 m3/ha in volume with the density of
0.8 2.16 trees/plot, 2.54 6.3 poles/plot, 4.79 9.72 saplings/plot, and 90.54
139.86 seedlings/plot. The research results show that the existing volume and
density of ebony belong to the low category compared to the natural condition.
Keywords: eboni, ecologycal characteristis, provenance
PENDAHULUAN
Sumberdaya alam berupa hutan
di Indonesia dengan keragaman
hayatinya yang tinggi telah menarik
perhatian
banyak
kalangan,
termasuk
orang-orang
yang
berkecimpung
dalam
bidang
perdagangan dan industri. Setiap
daerah
memiliki
sumberdaya
potensial
dengan
kondisi
ketersediaan dan peran ekologis,
sosial budaya serta ekonomi yang
berbeda. Di Sulawesi Selatan, jenis
kayu eboni merupakan salah satu
sumberdaya alam yang khas dan
endemik serta keberadaannya telah
menempatkan Indonesia sebagai

produsen jenis kayu yang bernilai


ekonomi
tertinggi
tersebut.
Penampakan kayu terasnya yang
hitam dengan garis-garis coklat
kemerahan serta sifat-sifat kayunya
yang kuat, awet dan berkilap
membuat
jenis
kayu
tersebut
digolongkan kedalam kelompok kayu
mewah, dengan nilai ekonomi yang
tinggi. Nilai jual kayu eboni dapat
mencapai US $. 6.000 per m3, jika
dibandingkan dengan pohon hutan
lainnya nilai jual tersebut, sangat
tinggi karena mencapai 10 40 kali
dari nilai jual kayu non eboni.
Potensi ekonomi yang besar
tersebut, menyebabkan pemanfaatan
eboni pada habitat alaminya semakin

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150

146

intensif. Pohon dengan diamater


lebih 30 cm ditebang, sehingga yang
tersisa umumnya didominasi pohon
dengan diamater yang kecil. Hal ini
mengakibatkan potensi kayu eboni
semakin berkurang pada habitat
alaminya. Dampak lanjutan dari
penurunan potensi adalah semakin
menyempitnya basis genetik. Salah
satu faktor yang menyebabkan
penurunan
itu adalah
adanya
pemanenan yang kurang atau tidak
terkendali dan tanpa adanya usahausaha
merehabilitasi.
Hal
ini
diperparah lagi dengan rendahnya
pengetahuan
masyarakat
akan
aspek ekologis dan provenansinya
dari kayu tersebut. Ketidakpedulian
akan hal ini dikhawatirkan pada
suatu saat kayu eboni akan semakin
sulit didapatkan, bahkan perlahanlahan akan punah. Salah satu usaha
yang
dapat
dilakukan
untuk
mengantisipasi terjadinya kondisi
yang
lebih
parah
terhadap
sumberdaya alam hutan berupa kayu
eboni adalah dengan pengadaan dan
penerapan sistem atau kebijakan
pemuliaan
dan
konservasi
genetiknya.
METODE PENELITIAN
Penelitian tahun pertama ini
ditujukan untuk mengindentifikasi
lingkungan
fisik
ekologis
dan
penanda morfologis dari masingmasing
provenansi
dengan
menggunakan metode pengukuran
dan pengamatan, parameter yang
digunakan adalah :
1. Potensi regenerasi
Potensi regenerasi diketahui
dengan
mengambil
sampel
dilapangan menggunakan metode
petak ukur. Selanjutnya dianalisis
dengan
menghitung
potensi
berdasarkan jumlah individu per
satuan luas terhadap tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon.
2. Potensi Kerapatan
Kerapatan tegakan dihitung
dengan menghitung jumlah pohon
per satuan luas (N/ha)

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150

3. Kondisi fisik lingkungan


Karateristik fisik lingkungan di
ketahui dengan melakukan analisis
tanah,
kondisi
temperatur,
kelembaban serta kelerengan areal.
Adapun
tahapan
metode
pengumpulan data dilakukan sebagai
berikut :
1. Melakukan survay pendahuluan
pada areal/habitat eboni masingmasing provenansi.
2. Pembuatan plot sampel secara
sistematis dengan menggunakan
plot ukuran 20 x 20 meter dengan
jarak antar plot 100 meter.
3. pengamatan dilakukan untuk
tingkat pohon yang berdiameter
20 cm ketatas, Tiang dengan
diamater 10 20 cm, pancang
dengan diameter kurang dari 10
cm tinggi lebih 1 meter. Untuk
tingkat semai menggunakan plot
ukuran 5 x 5 meter atau
merupakan sub plot.
Data yang diperoleh dianalisis
dengan mengunakaan rumus
yaitu :
1. Volume per ha
V = Lbds x Tbc x f
V = Volume
Lbds = luas bidang dasar
F = Faktor koreksi (angka bentuk)
yaitu 0,7
2. Luas Bidang dasar (Lbds)
Lbds = I/4 d2
d = diameter batang
3. Kerapatan
Kerapatan = Jumlah individu /
Luas areal (plot)
Pengumpulan data lapangan,
analisa
data
dan
penulisan
dilakukan selama tiga (3) bulan yaitu
mulai bulan Maret 2007 sampai Mei
2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap
parameter potensi volume tegakan,
menunjukkan
bahwa
potensi
minimum berkisar antara 2,25
sampai 3,16 m3 per ha, sedangkan
potensi maksimum berkisar 4,35

147
sampai 6,87 m3 per ha. Potensi antar
provenansi
juga
menunjukkan
adanya. Adapun potensi volume

masing-masing provenansi terdapat


pada Tabel 1.

Tabel 1. Potensi Volume Tegakan Masing-masing Provenansi


Potensi Volume (m3/ha)
No
Provenansi
Maksimum
Minimun
1
Maros
4,35
2,25
2
Barru
6,75
2,75
3
Sidrap
5,76
2,65
4
Malili
6,86
3,16
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Berdasarkan potensi pada
masing-masing
lokasi
yang
menunjukkan adanya variasi, namun
jika dibandingkan dengan potensi
alami eboni, menunjukkan bahwa
secara keseluruhan potensi yang
dimiliki telah mengalami penurunan.
Potensi alami pada hutan alami yang
belum
mengalami
gangguan
mencapai 30 60 m3 per ha
(Riswan, 2001). Adanya penurunan
potensi ini menunjukkan bahwa
provenansi tersebut telah mengalami
gangguan
akibat
pemanfaatan
berupa penebangan pohon yang
berdiamater besar.
Akibat yang juga timbul
dengan penebangan terhadap pohon
induk adalah terjadinya perubahan
struktur tajuk. Hilangnya strata tajuk
atas
menyebabkan
terjadinya
pembukaan tajuk. Pada tegakan
eboni perubahan struktur tajuk dapat
berpengaruh
terhadap
proses
regenerasi eboni, karena jenis ini
merupakan jenis semi toleran, yaitu
pada fase anakan membutuhkan
naungan untuk proses

pertumbuhannya. Hal ini sesuai


dengan pernyataan Whitten, dkk.
(1997) bahwa eboni merupakan jenis
semi toleran yang pada tahap semai
memerlukan
naungan.
Tegakan
eboni terdapat pada hutan campuran
bersifat
mengelompok
dengan
dominasi mencapai 90 %, dari
keseluruhan jenis yang terdapat
dalam tegakan.
Hasil
analisis
terhadap
potensi
regenerasi
di
lokasi
penelitian
menunjukkan
adanya
perbedaan kerapatan antar lokasi
yang ditunjukkan pada plot sampel.
Provenansi Maros memperlihatkan
potensi regenerasi yang lebih rendah
dibanding provenansi lainnya. Jika
dilihat dari sebaran kerapatan
tegakan
berdasarkan
tingkatan
pertumbuhan, menunjukkan bahwa
sebaran
pada
masing-masing
provenansi masih membentuk kurva
J terbalik. Adapun kerapatan
masing-masing provenansi terdapat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Kerapatan Tegakan Masing-masing Provenansi


No
1
2
3
4

Provenansi
Maros
Barru
Sidrap
Malili

Pohon
0.8
1.25
2.32
2.16

Kerapatan (pohon/plot)
Tiang
Pancang
2.54
4.79
4.25
6.98
5.15
8.32
6.3
9.72

Semai
90.54
130.63
139.86
125.95

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150

148

Berdasarkan
Tabel
2
kebutuhan akan naungan tidak
menunjukkan
bahwa
kerapatan
terpenehi.
Ewusie
(1990)
tegakan masih terdistribusi secara
mengemukakan
bahwa
jenis
baik pada masing-masing tingkatan
vegetasi yang bersifat toleran dan
pertumbuhan.
Hal
ini
semi toleran, pertumbuhan awalnya
menggambarkan
bahwa
proses
membutuhkan naungan yang berat,
regenerasi masih tetap berlangsung.
jika tidak memenuhi kebutuhan
Jika dikaitkan dengan karateristik
naungan tersebut maka semai akan
sifat silvik eboni yang semitoleran,
mengalami kematian. Eboni dalam
maka pembukaan lapisan tajuk
proses regenerasinya menghasilkan
akibat pemanfaatan dapat merubah
jumlah semai yang banyak per
komposisi kerapatan pada berbagai
pohon.
Jumlah
semai
yang
tingkatan pertumbuhan, khususnya
dihasilkan dapat mencapai 250
pada tingkat semai dan pancang.
1000
anakan,
namun
dalam
Pembukaan yang besar akan
perkembangannya tidak semuanya
mengakibatkan cahaya matahari
akan mencapai tingkat pancang,
akan
mencapai
lantai
hutan,
akibat
terjadinya
persaingan
sehingga jenis-jenis toleran akan
terhadap kebutuhan cahaya dan
mengalami gangguan pertumbuhan
unsur hara.
atau mengalami kematian akibat,
Adapun histogram kerapatan eboni terdapat pada Gambar 1.

140

individu / plot

120
100
pohon

80

Tiang
Pancang

60

Semai

40
20
0
Maros

Barru

Sidrap

Malili

Gambar 1. Histogram Kerapatan Eboni Masing-masing Provenansi


Berdasarkan
karateristik
ekologis
pada
tiap
lokasi
menunjukkan bahwa eboni tumbuh
pada ketinggian antara 82 564
meter dari muka laut. Masing-masing
provenansi mempunyai perbedaan
ketinggian
tempat
tumbuh.
Provenansi
Barru
mempunyai
ketinggian tempat tumbuh yang
paling rendah dibanding dengan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150

provenansi lainnya. Naiem (1991)


mengemukan
bahwa
adanya
perbedaan ketinggian tempat akan
memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan
dan
diakibatkan
perbedaan
terhadap
karakter
genetik.
Tipe iklim tempat tumbuh eboni
umumnya termasuk iklim B, kecuali
lokasi Malili mempunyai tipe iklim A.

149

Berdasarkan jenis tanah maka


umumnya jenis tanah tempat tumbuh
eboni merupakan jenis tanah yang
telah mengalami proses pelapukan
lebih lanjut, atau jenis tanah yang
miskin hara.
Pada
umumnya
eboni
mempunyai
topografi
yang
bergelombang hingga bergunung
dengan kelerengan lebih dari 15 %.
Adapun jenis tanaman yang tumbuh
berdampingan yaitu jenis aren
(Arenga pinnata) kecuali pada lokasi
malili berdapingan dengan jenis
lainnya seperti terap (Arthocarpus
elasticus).
Berdasarkan
aspek
pemanfaatan
potensi,
maka
umumnya tegakan eboni telah
dimanfaatkan untuk kebutuhan kayu
pertukangan, sehingga pada tegakan
eboni telah dilakukan penebangan,
kecuali pada lokasi provenansi
maros, tidak dilakukan pemanfaatan,
namun luasnya lebih kecil dibanding
luas
areal
prvenansi
lainnya.
Provenansi maros merupakan ras

lahan, atau merupakan tegakan yang


dikembangkangkan oleh masyarkat
setempat
dengan
melakukan
penanaman
bibit
eboni
yang
diperoleh dari sumber provenansi
lainnya. Ras lahan ini telah
berkembang menjadi tegakan alami,
dan mengalami proses regenerasi.
Untuk mengetahui sumber bibit
provenansi maros, maka diperlukan
analisis keragaman morfologis dan
genetik dengan provenansi lainnya.
Zobel
dan
Talbert
(1984),
mengemukan bahwa ras lahan akan
membentuk karakter genetik yang
khas akibat adaptasi terhadap
lingkungan
dan
proses
perkembangbiakan yang terjadi,
namun
umumnya
ras
lahan
mempunyai
tingkat
keragaman
genetik yang rendah akibat sumber
induknya terbatas dan umumnya
berasal dari kekerabatan yang dekat.
Adapun karateristik ekologis masingmasing provenansi terdapat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Karateristik Ekologis Masing-masing Provenansi


Provenansi
No

Uraian
Ketinggian tempat
(meter dari
permukaan laut)

Barru

Malili

Maros

Sidrap

82 -122

300 - 350

436-564

200-324

4 30 01 LS
2

Letak Geografis

BT

2 1 3 05 LS
0
120 3143
BT

04 58'03 LS
o
119 46 '27,1
BT

3 4320 LS
o
119 4102
BT

Litosol

Latosol

Litosol

Podsolik

119 6 30

Jenis Tanah

Tipe Iklim

Asosiasi jenis
vegetasi

Aren, ipi, bayur

Medang,
terap, nyatoh

Cendrana,
pinang, aren

Aren, ipi,
terap

Topografi

Bergelombang
hingga
bergunung

Berbukit dan
Bergunung

Berbukit dan
bergunung

Datar,
berbukit dan
bergunung

Luas Areal

Pemanfataan /
Penebangan

200 ha

100 ha

17 ha

Tidak dilakukan
penebangan

Penebangan
oleh
perusahaan
kayu

Tidak dilakukan
penebangan

200 ha
Tidak
dilakukan
penebangan

Sumber : Sulawesi Selatan dalam Angka, 2006/2007. Data Primer setelah


diolah, 2007

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150

150

KESIMPULAN
Potensi
Volume
dan
kerapatan populasi eboni pada
berbagai provenansi yang diteliti
lebih rendah dibadingkan potensi
alaminya atau telah mengalami
penurunan potensi. Kondisi ekologis
masing-masing
provenansi
mempunyai
variasi
terutama
ketinggian tempat, luas areal dan
letak geografis.

DAFTAR PUSTAKA
Ewusie,

J.Y, 1990. Pengantar


Ekologi Tropika. Penerbit
Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Naiem, M, 1991. Inheritance and
Lingkage of Allozyme of
Megagametophyte
of
Japanese Red Pine PlusTree Clones Selected from

Natural Stands in Japan.


Doctoral
Disertation.
Doctoral
Program
in
Agricultural
Sciences
University
of
Tsukuba.
Japan.
Riswan, S, 2001. Kajian Biologi
Eboni (Diosphyros celebica
Bakh). Prosiding Managemen
dalam
menundukung
Keunggulan Industri Menuju
Otonomisasi dan Era Pasar
Bebas.
Pusat
Penelitian
Biologi LIPI. Berita Biologi 6
(2). 211-217.
Whitten A J, M. Mustafa and
Henderson G S, 1987.
Ekologi Sulawesi. Gadjah
Mada Press.
Zobel, B dan
J. Talbert, 1984.
Applied
Forest
Tree
Improvement. John Wiley &
Sons. New York, Chichester,
Brisbane, Toronto. Singapore.

Diterima 11 Mei 2007


Muh. Restu
Laboratorium Silvikultur,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Kompleks Perumahan Dosen
Unhas Blok BG 65. HP 0811443515

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150

151

DINAMIKA TENUR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG


MEMPENGARUHINYA
PADA SUB DAS MINRALENG HULU KABUPATEN MAROS
The dynamics of land tenure and its influencing factors in Sub-Watershed of
Minraleng, Maros Regency
Muh. Dassir
Abstract
The purpose of the research is to describe land tenure dynamic which have been
occurred since the Dutch settlement period, until now, in the Sub-watershed of
Minraleng and to identify the influencing factors of the dynamic. The data were
analyzed by using qualitative and descriptive method in identifying agroforestry,
and applying multivariate discriminant to identify the influencing factors regarding
land tenure dynamic. For the first step (Dutch settlement 1970), the
characteristics of tenure was traditional communal that was influenced by the
economic system on the local level. Traditional agricultural system based on the
local resources and the people demography were low with limited land used for
agriculture. The influencing factor to land tenure dynamic were demography,
technology, bio-physical land characteristics, access for infrastructure, and the
institutions.
Demography
factor
such
as
the
variable
of
urbanization/transmigration, land width, rice field land width, and sakap (benefit
sharing land) width, and land ownership. Technological factors such as the
quantity of the equipment for cultivating the agricultural products, which include
tecnologys factors, and the quantity of the land owned system that doing, which
include institution.
Keyword: tenur dynamics , land reform, reforma agraria

PENDAHULUAN
Perubahan sistem penguasaan
tanah menyebabkan perubahan sistem
produksi pertanian Amaluddin (1987).
Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis
hak penguasaan tanah komunal, yaitu
hak bengkok, hak banda desa, hak
narawita; serta satu yang bersifat
individual yaitu hak yasan. Penerapan
UUPA tahun 1960 menyebabkan
konversi
tanah
yang
semula
berdasarkan hukum adat (komunal)
menjadi hak milik. Hak narawita secara
de facto sudah menjadi milik individual,
sehingga
penjualan
tanah
berkembang, peluang tunakisma untuk
menggarap me-ngecil, dan mobilitas
penguasaan cenderung terpolarisasi.
Bersamaan
dengan
itu,
sistem
produksi yang semula dilandasi nilai-

nilai tradisonal digantikan oleh sistem


produksi komersial. Dalam konteks
yang lebih luas, Hayami dan Kikuchi
(1987) juga menemukan kesamaan
dampak Revolusi Hijau di Indonesia
dan Pilipina. Transformasi sistem
sosial pedesaan seperti itu, juga
didukung oleh temuan Temple (1976)
dalam Sumaryanto, et al (2002) yang
melihat adanya evolusi desa Jawa dari
desa komunal (1830-1870) dilanjutkan
desa tradisional (1870-1959), dan
terakhir desa komersial bersamaan
dengan era Revolusi Hijau.
Satu hal yang sangat menarik
dalam bahasan Revolusi Hijau menurut
Fausi (1999) adalah bagaimana
dampak penggunaan teknologi seperti
bibit unggul, pestisida, dan lain-lain
berpengaruh terhadap konsentrasi
penguasaan tanah. Menurut Wiradi

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

152

(1999), dampak revolusi hijau pada


skala makro dapat dilihat dengan
membandingkan
hasil
sensus
pertanian 1973 dan 1983, sedangkan
pada skala mikro dapat dilihat pada
hasil studi yang dilakukan Hayami dan
Kikuchi (1987) tentang perubahan
kelembagaan
di
Asia.
Mereka
mempunyai kesimpulan yang sama
tentang dampak revolusi hijau, yaitu
semakin tingginya gejala konsentrasi
penguasaan tanah di pe-desaan
sebagai akibat penggunaan teknologi.Timbulnya
permasalahan
ketimpangan
penguasaan
lahan
tersebut menurut Hayami dan Kikuchi
(1987), salah satu penyebabnya
dikarenakan
perbandingan antara
tanah-tenaga kerja telah turun begitu
cepat
dise-babkan oleh angka
pertambahan
penduduk
yang
demikian cepat.
Untuk menopang
pemenuhan
kebutuhan
pokok
dilakukan
usaha
peningkatan
produktifitas
tanah
dengan
menerapkan
pengembangan
dan
penyebaran teknologi benih-pupuk dan
perluasan
sistem
irigasi,
dan
penyesuaian
pranata-pranata yang
mengatur
pemakaian tanah dan
penggunaan
tenaga kerja.
Lebih
lanjut menurut Hayami dan Kikuchi
(1987), perubahan sistem penguasaan
tanah
sangat
terkait
dengan
perkembangan teknologi pertanian,
struktur perekonomian desa, dan pada
akhirnya terkait pula dengan struktur
sosial masyarakat pedesaan. Oleh
sebab itu Todaro (1983) dalam Wiradi
(2001) menyatakan pembangunan
pertanian harus terintegrasi dengan
pembangunan pedesaan.
Berdasarkan hasil interpretasi
peta citra satelit skala 1: 250.000 tahun
2002, penutupan lahan yang terdapat
pada Hulu Sub DAS Minraleng, sangat
bervariasi dari padang rumput ( 14.690
ha), sawah (19.699), pertanian lahan
kering campur semak (10.703) dan
areal berhutan (11. 531 Ha) berupa
hutan alam dan hutan tanaman (
hutan rakyat dan hutan pinus hasil
reboisasi oleh pemerintah). Salah satu
permasalahan
pada
Sub
DAS

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

Minraleng Hulu , yaitu penutupan lahan


dengan berbagai pola penggunaan
lahan yang kurang bagus berdampak
pada terjadinya banjir pada musim
hujan dan kekeringan pada musim
kemarau pada desa desa hilir yang
terletak
disekitar
danau
tempe,
sehingga
pertanian
daerah
hilir
mengalami kekurangan air irigasi.
Permasalahan lainnya, yaitu terjadi
peningkatan luas lahan kritis, sebagai
akibat dari sistem penguasaan lahan
yang tidak jelas, sehingga masyarakat
tidak memiliki
hak dan kewajiban
moral secara jelas untuk pemanfaatan
lahan dengan sebaik mungkin dan
kewajiban moral untuk tetap menjaga
kelestarian produktifitas lahan, melalui
usaha intensifikasi dan diversivikasi
usahatani.
Pentingnya penanganan sistem
pertanian pada Hulu Sub DAS
Minraleng, dikarenakan banjir yang
terjadi pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau pada
desa-desa bagian hilir Danau Tempe
merupakan
akibat
dari
pola
pemanfaatan lahan dibagian Hulu dan
tengah DAS Bila-Walanae yang telah
rusak, sehingga tidak dapat berfungsi
dengan baik untuk mengatur tata air
dari pola pemanfaatan lahan tersebut,
seperti perladangan berpindah ,
penebangan liar, dan konversi lahan.
Pengrusakan sumberdaya lahan ini
akan berlangsung terus apabila tidak
ada alternatif
pilihan bagi petani
peladang untuk mengalihkan sistem
peladang ke sistem wanatani menetap,
atau ke lapangan pekerjaan baru.
Informasi tentang struktur penguasaan,
pemilikan dan penguasaan lahan serta
Pengetahuan kita terhadap kearifan
tradisional
perubahan
sistem
penguasaan lahan (land tenure) dan
dinamika pengusahaan wanatani yang
terdapat
pada
lokasi
penelitian
merupakan bahan masukan dalam
pembaruan agraria dan perbaikan
sistem pengelolaan sumberdaya alam
yang
lebih
baik
pada
lokasi
bersangkutan.

153

Teori
pembaruan
agraria
digunakan pada penelitian ini untuk
melihat perubahan penguasaan lahan
yang terjadi pada berbagai bentuk
wanatani pada rumah tangga petani di
Hulu Sub DAS Minraleng. Pembaruan
agrarian dalam arti sempit diartikan
sebagi land reform, yaitu redistribusi
tanah. Sedangkan pengertian land
reform yang luas adalah pembaruan
dalam struktur penguasaan, struktur
produksi dan struktur pelayanan
pendukung.
Seringkali
pengertian
agrarian reform dan land reform
dipakai bergantian dalam arti yang
sama. Sedangkan agrarian reform
sebenarnya
merupakan
upaya
perubahan atau perombakan sosial
yang dilakukan secara sadar, guna
mentrans-formasikan struktur agraria
kearah sistem agraria yang lebih sehat
dan merata
bagi pengembangan
pertanian
dan
kesejahteraan
masyarakat desa (Wiradi, 2001).
Untuk melihat faktor-faktor apa
yang
berperan
pada
terjadinya
perubahan penguasaan lahan, maka
digunakan hasil penelitian dari World
Bank 1975) dalam Wiradi (2001) pada
sebuah publikasinya mengenai land
reform yang menurutnya
berbagai
pola penguasaan dan pemilikan tanah
yang
terdapat
pada
berbagai
masyarakat.,
karena
pengaruh
berbagai faktor, yaitu : (1) sistem politik
dan situasii politik; (2). struktur
ekonomi; (3). sistem sosial; (4). sistem
hukum; (5). situasii demografis; (6).
sistem pertanian; dan
(7). basis
sumberdaya nasional masing-masing.
Karena
pengaruh
faktor-faktor
tersebut maka terdapat enam katagori
dasar penguasaan dan penggunaan
tanah, yaitu : tipe feodal Asia, tipe
feodal Amerika Latin, tipe komunal
tradisional, tipe pasar ekonomi, tipe
sosialis, dan tipe perkebunan besar,
Kerangka
teori
di
atas
merupakan hubungan antar variabel
penelitian
pada
penelitian
ini
diperlihatkan pada Gambar 1.
Penelitian
ini
bertujuan
mendeskripsikan
dinamika tenurial
yang terjadi pada Sub DAS Minraleng

Hulu dan mengetahui


faktor-faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
dinamika tersebut. Hasil penelitian ini
diharapkan
memberikan bahan
masukan untuk perumusan kebijakan
program sistem penguasaan lahan
yang dapat meningkatkan pendapatan
petani dan perbaikan kualitas/ekologi
lahan wanatani.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian dan Unit Analisis
Penelitian
ini
merupakan
penelitian ex post fakto yang bersifat
sampling survei mengacu pada teori
fungsi
dengan
menggunakan
pendekatan
sistem
untuk
menggambarkan sifat keadaan yang
sementara berjalan tanpa intervensi
langsung. Daerah studi adalah Hulu
Sub DAS Minraleng Kabupaten Maros,
meliputi .
Kecamatan Cenrana,
Kecamamatan Camba dan Kecamatan
Mallawa.
Waktu
penelitian
dilaksanakan selama enam bulan,
mulai Agustus 2006 sampai Januari
2007. Wilayah desa yang terpilih
adalah berdasarkan pertimbangan
jumlah penduduk, teknologi yang
digunakan, luas desa, letak desa, dan
agroekosistem yang terdapat dan
berkembang.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini, yaitu
seluruh petani yang terdapat pada
Hulu Sub DAS Minraleng yang
melakukan aktivitas wanatani, meliputi
Kecamatan
Cenrana,
Kecamatan
Camba dan Kecamatan Mallawa
Kabupaten Maros,
Penentuan desa sampel penelitian
dilakukan mengunakan metode cluster
sampling, yaituan dari masing-masing
kecamatan dipilih satu desa yang
dapat mewakili keragaman dinamika
tenurial yang terjadi. Wilayah desa
yang terpilih adalah berdasarkan
pertimbangan
jumlah
penduduk,
teknologi yang digunakan, luas desa,

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

154

letak desa, dan agroekosistem yang


terdapat
dan
berkembang.
Berdasarkan pertimbangan tersebut
dipilih tiga desa, yaitu desa Batu Pute
Kecamatan
Mallawa
yang
mewakili desa-desa dengan usaha tani
(1) kebun kemiri dan jati yang lebih
dominan, (2) pembangunan dan
pengembangan wanatani kemiri dan
jati mengarah ke agrobisnis tanaman
tahunan, (3) dan luas lahan penduduk.
Desa Timpuseng
yang mewakili
kecamatan
Camba
dengan
karakteristik : (1) usaha tani tanaman
semusim
lebih
dominan,
(2)
pembangunan dan pengembangan
usaha tani mengarah ke usaha tani
persawahan, (3) etnis penduduk desa
tersebut merupakan campuran etnis
bugis dan Makassar, (4) terletak di
sepanjang jalan propinsi hingga ke
pegunungan dan, (5) lahan pertanian
penduduk sempit. Desa Limampoccoe
yang mewakili kecamatan Cenrana
dengan karakteristik : (1) pola
pertanian pangan lahan kering pada
kawasan hutan lebih dominan, (2)
hutan pinus dibangun oleh pemerintah,
(3) pembangunan dan pengembangan
usaha tani pada kawasan hutan pinus

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

mengarah ke tegalan dan lahan


perkebunan (coklat, kopi), (4) lahan
pertanian penduduk sempit dan
kawasan hutan pinus masih luas, (5)
teknologi budi daya masih terbatas.
Populasi rumah tangga petani
pada desa terpilih tersebut
tidak
homogen, karena petani terdiri atas
beberapa lapisan yang antara lain
didasarkan pada luas penguasaan
lahan dan
variasi wanatani yang
dikembangkan rumah tangga petani.
Sehubungan dengan kondisi populasi
rumah tangga petani yang tidak
homogen, maka pemilihan contoh
responden dilakukan berdasarkan
pendekatan prospektif, artinya kausa
(faktor pengaruh) diidentifikasi terlebih
dahulu kemudian diikuti penelusuran
efek. Kriteria pelapisan petani yang
digunakan pada penelitian ini adalah
jenis penguasaan lahan petani yang
dibedakan atas 1) petani pemilik, 2)
petani penyakap, 3) petani penyewa
lahan dan 4) kombinasi dari petani
pemilik, sewa dan petani penyakap.
Sedangkan variasi pengusahaan lahan
petani responden dibedakan atas 1)
luas areal wanatani yang diusahakan,
dan 2) pengelolaan usahatani

155

Terkontrol
1. Teknologi :
- Prasarana budidaya
- Prasarana panen
- Prasarana pasca panen
- Prasarana pengolahan
hasil
- Prasarana pengangkutan
- Teknologi manajemen
2. Akses terhadap
infrastruktur :
- Prasarana jalan
- Prasarana pasar
- Akses pada sarana
produksi (modal,
peralatan, lembaga
ekonomi)

Dinamika penguasaan lahan


-

Komunal
Individu-komunal
Individu
Individu- Penyakapan

Tidak Terkontrol
1. Biofisik :
- Curah hujan
- Jenis tanah
- Tingg tempat
2. Demografi :
- Pertambahan penduduk
- Migrasi
3. Pranata sosial

Eeel;lsmlmd

3. Pranata sosial
Eksogen
Kebijakan pemerintah :
- Program
- Peraturan
Landasan
teori

LAND REFORM

Transformasi
agraria

Land tenure

Gambar 1. Hubungan Antar Variabel Teoritis Dinamika Penguasaan Lahan


berdasarkan
agroekosistem
menyangkut perbuatan menggerakkan
orang
(manajemen
usahatani),
fasilitas dan teknologi wanatani yang
digunakan
yang digunakan berupa
jenis tanaman, peralatan dan saprodi
yang digunakan.
Penentuan responden pada
masing-masing desa sampel dilakukan

secara pengelompokan acak berlapis


(cluster stratified random sampling).
Kategori
yang
dijadikan
dasar
pengelompokan secara stratifikasi
pada petani wanatani yang akan
menjadi responden adalah : Luas
lahan usahatani, petani pemilik tetap,
dan
petani
pemilik
sementara.
Sedangkan untuk informan kunci untuk

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

156

wawancara mendalam
digunakan
metode purposive sampling dengan
kriteria ;tokoh masyarakat, masyarakat
asli yang berdomoisili sejak lahir
sampai
sekarang
pada
lokasi
penelitian, dan usia di atas 55 tahun.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka

jumlah responden yang dipilih pada


setiap desa ditentukan berdasarkan
hasil perhitungan menggunakan rumus
Cohran (1977) dengan jumlah sampel
rumah tangga pada setiap desa
sampel penelitian, seperti pada Tabel
1 di bawah ini.

Tabel 1. Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian


Karakteristik Populasi
Kecamatan
Desa
Wanatani
(KK)
Cenrana
Limampoccoe
Subsisten
319
Komersil
230
Jumlah
549
Camba
Timpuseng
Subsisten
241
Komersil
180
Jumlah
421
Mallawa
Batu pute
Kapitalis
242
Total sampel penelitian
Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2007
Teknik Pengumpulan Data dan
Jenis Data
Gambaran
secara
lengkap
teknik pengumpulan data dan jenis

Sampel Penelitian
(KK)
50
41
91
43
38
81
40
212

data
yang
dikumpulkan
pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
2.

Tabel 2. Teknik Pengumpulan Data, Jenis Data dan Peralatan yang Digunakan
Teknik peJenis data yang
Responden yang
Alata yang
ngumpulan
dikumpulkan
diwawancarai
digunakan
data
jenis tanaman yang
- Petani wanatani
wawancara
dibudidayakan, per-alatan
berbagai strata
Questionnaire wanatani, pengolahan hasil,
penguasaan lahan
pemasaran hasil, pola tenurial,
(pemilik-penggarap, Questionaire
peralatan transportasi, dan
penyakap, dan
pola tenurial
buruh tani)
Wawancara Dinamika pengelolaan SDA,
Pedoman
mendalam
jumlah penduduk, dan
Informan kunci
wawancara
Dinamika tenurial wanatani
Penelusuran Perkembangan penduduk, dan
dokumen
teknologi
Data BPS
Pengamatan Biofisik lahan dan Teknologi
-tustel.
wanatani,
sarana
dan
handycam,
prasarana yang digunakan
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Analisis data
kualitatif
dilakukan
untuk
mendiskripsikan dinamika tenurial

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

yang terjadi sejak periode penjajahan


Belanda sampai sekarang. Sedangkan
analisis
kuantitatif
dilakukan
menggunakan
analisis
multivariat

157

diskriminan
diskriminan
untuk
mengetahui faktor-faktor yang berperan
terhadap terjadinya dinamika tenurial.

komoditas komersil, seperti jahe dan


kacang tanah pada periode tahun 1980
-sekarang,
tidak
menyebabkan
perubahan tenurial pemilikan dan
pengelolaan lahan (Tabel 3). Tenurial
pemilikan lahan dan pengelolaan
wanatani kemiri di Desa Limampoccoe
tidak berkembang seperti pada Desa
Timpuseng dan Desa Batupute,
dikarenakan
skala
pengusahaan
wanatani kemiri rata-rata hanya 0,5 ha
pada beberapa kepala keluarga petani.
Dinamika tenurial bersifat simetris
terhadap dinamika wanatani yang
bentuk akhirnya menjadi persawahan,
sedang dinamika komoditas wanatani
bersifat asimetris terhadap dinamika
tenurial ladang dan hutan rakyat di
desa Limampoccoe.

HASIL PENE;LITIAN DAN


PEMBAHASAN

Desa Limampoccoe
Dinamika wanatani berupa konversi
lahan wanatani ladang, dan atau hutan
rakyat menjadi sawah di dorong oleh
produktifitas hasil sawah yang lebih
tinggi dan tingginya nilai sistem tenurial
persawahan seperti teseng, sanra, dan
paje. Sedangkan dinamika komoditas
dari komoditas untuk subsistensi
pangan pokok (padi ladang dan jagung)
pada periode awal kemerdekaan
sampai periode tahun 1970) menjadi
Tabel 3.
Dinamika Sistem Tenure yang terjadi pada Wanatani di Desa
Limampoccoe

No
1.
Kelemba
gaan
pengelol
aan
lahan

2.

3.

1.

Kelemb
agan
pemilika
n lahan

2.

3.

4.

Periode
faktor penyebab
faktor penyebab
Nama Periode terpingg
munculnya
terpinggirkanny
Tenuri
terirkannya
Tenurial
a tenurial
al
lembaga tenurial
nya
Lakara
-penanda
semua tanah
1990 kepemilikan
negara bebas
sekaran
sudah menjadi
Beland
g
lahan milik
Ronda a pengendalian hama
--------------Jepang
kelom
babi dan monyet
pok
Massa

kekurangan
penggunaan
ro
1990tenaga kerja
mesin perontok
sekaran
pemanen padi
padi
g

Individu panen padi


komunal pada
unggul dapat
subsistensi
dipersingkat
pangan antar
berkembangnya
distrik/masyarakat
sistem
individualisme
Lakara Beland
1990 penanda
semua tanah
asekaran kepemilikan
negara bebas
Jepang
g
sudah menjadi
lahan milik

Distribusi lahan

Sanra
1970---------
Kebutuhan
--------------sekaran
uang tunai pemilik
g
lahan

Distribusi lahan

Tesen

Patron-klien
-------------------g
2000 usaha komoditas

Paje
sekaran
komersial

Ketimpangan
penguasaan lahan
bangsawan

petani gurem

Lokasi
Penerapa
n
Kelembag
aan
ladang,
sawah,
hutan
rakyat
ladang,
sawah
sawah

ladang,
sawah,
hutan
rakyat
sawah

sawah

Sawah
kebun

Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007


Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

158

Berdasarkan Tabel 3 di atas,


periode
Jepang
sampai
awal
kemerdekaan pola tenurial yang
berkembang
bersifat
komunal
tradisional (world Bank, 1975). Pola
ini berkembang, karena pengaruh
sistem sosial, struktur ekonomi, situasi
demografis, sistem pertanian dan
kondisi basis sumberdaya lokal, serta
belum adanya pengaruh sistem
ekonomi dari wilayah yang lebih luas
(regional, nasional dan global). Pada
periode tahun 1980 sekarang pola
tenurial yang berkembang bersifat
tipe pasar ekonomi, karena pengaruh
(1) sistem politik dan situasi politik, (2)
struktur ekonomi yang lebih
luas
(regional, nasional, dan global), (3)
sistem hukum yang sentralisasi, (4)
dan situasi demografis, dimana jumlah
penduduk mengalami peningkatan.
Desa Timpuseng
Periode penjajahan Belanda
sampai tahun 1980, produktifitas lahan
wanatani kemiri sebanding dengan
produktifitas lahan persawahan, maka
sistem tenurial pemilikan lahan
dipersawahan sama seperti sistem
tenurial
pemilikan
lahan
pada
wanatani kemiri, tetapi berbeda dalam
sistem tenurial pengelolaan lahan,
yaitu Sistem makkampiri, mallolo

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

ampiri, makkalice tidak terdapat pada


usahatani persawahan (Tabel 4).
Menurunnya produktifitas lahan
wana-tani kemiri dan meningkatnya
produktifitas lahan persawahan pada
periode
tahun 1990 -sekarang
menyebabkan
hilangnya sistem
sanra dan teseng pada wanatani
kemiri,
sedang
pada
sistem
persawahan, tenurial teseng dan
sanra tetap berlangsung. Dinamika
teknologi usahatani
dipersawahan
bersifat simetris negatif terhadap
dinamika tenurial wanatani kemiri di
Desa Timpuseng.
Sistem makkalice pada wanatani
terpinggirkan pada periode 1990
sekarang
dikarenakan
faktor
pertambahan
penduduk,
dan
terbatasnya luas lahan kemiri yang
dimiliki per rumah tangga petani di
Desa Timpuseng.
Inovasi teknologi (hard ware dan
soft ware) pada cara produksi
dipersawahan dan ladang bero tidak
merubah sistem nilai (moral) yang
terkandung pada tenurial
yang
berlangsung.
Sistem
tenurial
terpinggirkan pada kemiri tidak
disebabkan oleh teknologi, melainkan
penurunan produktifitas lahan kemiri
dan keterbatasan lahan kemiri per
rumah
tangga
(KK)
akibat
pertambahan penduduk.

159

Tabel 4. Dinamika Sistem Tenure pada Wanatani di Desa Timpuseng


No

1.
Tenur
ial
peng
elolaa
n
lahan

Nama
Tenuri
al

Periode
terlembagan
ya
tenurial

Lakara

2. Madum
me
(Ronda
kelompo
k)

Periode
terpinggir
kan
tenurial

faktor penyebab
munculnya Tenurial

1980 sekarang

-penanda kepemilikan

Belanda

1990sekarang

Jepang

3. Massaro
1990sekarang

Makkam
piri
5 Makkallic
e
6 Madepp
a

Ten
urial
pemi
likan
laha
n

----2000sekarang

Mallolo

1970-1980

2000sekarang

1.

Lakara

Belanda Jepang

1990 sekarang

2.

Sanra
(sawah)

1970sekarang

---------

3.
4.

Sanra
(kemiri)

1980 sekarang

Teseng
(sawah

----------1980

Teseng
(kemiri)

sekarang

4.

Paje

1990sekarang

-----------

faktor penyebab
terpinggirkannya
tenurial

semua tanah negara


bebas sudah menjadi
lahan milik
pengendalian hama
Berladang berpindah
babi dan monyet pada
sudah tkd dilakukan
kelompok
penggunaan pagar
peladang/petani
hidup
sawah
usahatani sawah
mendominasi
kekurangan tenaga
penggunaan mesin
kerja pemanen padi
perontok padi
Individu-komunal
panen padi unggul
untuk subsistensi
dapat dipersingkat
pangan antar
distrik/masyarakat
----------------------- Lahan kemiri luas/ KK Lahan kemiri terbatas/
KK
kepadatan penduduk
pertambahan
rendah
penduduk
pencurian kemiri
pencurian kemiri

Lahan kemiri terbatas/


KK
Konversi lahan kemiri
menjadi sawah
penanda
semua tanah negara
kepemilikan
bebas sudah menjadi
lahan milik
Pertambahan
penduduk
Pertambahan penduduk
TGHK
Distribusi lahan
Kebutuhan uang tunai
--------------pemilik lahan
Distribusi lahan
Produksi lahan kemiri
Kebutuhan uang tunai
menurun
pemilik lahan
Peningkatan
produktifitas
pengusahaan sawah

Distribusi lahan

Patron-klien
-------------------- Distribusi lahan
Produksi lahan kemiri
Patron-klien
menurun
peningkatan
Produktifitas
pengusahaan sawah
usaha komoditas
komersial
------------------------- Distribusi
dan
intensifikasi
lahan
subur antar petani

Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007


Berdasarkan Tabel 4 di atas,
periode penjajahan belanda awal
kemerdekaan, dan
periode tahun
1970-1980 dinamika tenurial yang

berkembang bersifat tipe komunal


tradisional. Sedang pada periode
tahun 1985 sejak pemberlakuan
revolusi hijau, dinamika tenurial yang

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

160

berkembang bersifat tipe pasar


ekonomi.
Tenurial
dipersawahan
menggambar-kan antitesis terhadap
tesis dari marxisme, upah tenaga kerja
pemanenan yang tidak eksploitatif
terhadap buruh tani pada persiapan
lahan, pemeliharaan tanaman padi
dan kacang tanah, serta
massaro
dipersawahan,
tetapi
justru
memberatkan petani pemilik lahan,
karena biaya tenaga kerja yang tinggi
dengan upah sebesar Rp 15.000 per
setengah hari. Sehingga budidaya di
persawahan dengan adopsi input dari
luar daerah berupa pupuk dan
pestisida/herbisida
menurunkan
pendapatan bersih dan rente ekonomi
petani pada lahan persawahan.
Meminjam teori rasionalitas dari
Weber
dalam Shaleh(2006)
dan
(Skousen, 2001 alih bahasa Santoso,
2006)), rasionalitas tenurial petani
pada seluruh lahan wanatani dan
lahan persawahan adalah rasionalitas
tradisional nilai yang tidak mengalami
pergeseran sejak periode Belanda
sampai sekarang.
Rasionalitas
tradisonal nilai
tersebut juga
mendukung tesis dari Scott (1981),
bahwa tindakan petani dalam tenurial
sanra, teseng, dan massaro yang
diterapkan mempunyai moral untuk
subsistensi pangan
kollektifitas

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

masyarakat kampung. Sedang pada


tenurial paje Merupakan tenurial
bersifat tindakan rasionalitas ekonomi
untuk efisiensi faktor produksi dan
maksimasisasi hasil untuk tujuan
produksi komoditi komersial dan
kapitalis.
Desa Batupute
Sistem tenur yang berkembang
pada wanatani sejak penjajahan
Belanda sampai sekarang
tidak
terjadi
peminggiran,
meskipun
dinamika
wanatani
mengalami
perkembangan dari ladang berpindah,
atau kemiri monokultur atau hutan
jati monokultur dan menjadi wanatani
ladang menetap, wanatani kebun
campuran dominan coklat, dan atau
wanatani pekarangan dominan coklat.
Struktur sosial dan sistem sosial
sangat
berperan
terhadap
berkembangnya tipe tenurial pada
wilayah
tersebut
yang
kondisi
kepadatan demografisnya rendah.
demikian
pula
sistem
tenurial
(hubungan produksi) yang simetris
(resiprositas)
terhadap
dinamika
penggunaan lahan (cara produksi)
berperan terhadap inovasi teknologi
komoditas
pada suatu wilayah.
Gambaran dinamika tenurial di Desa
batupute, diperlihatkan pada Tabel 5.

161

Tabel 5. Dinamika Sistem Tenure yang terdapat pada Wanatani di Desa Batupute
No

1.

Tenurial
pengelolaan
lahan

2
3.
4
5
6

Nama
Tenurial

Madumme
(Ronda
kelompok)
Makkampiri
Mabali
Makkallice
Madeppa
Mallolo

Periode ter- Periode


lembaganya terpinggi
tenurial
rkan
tenurial

Tenurial
pemilikan
dan hak
kelola lahan

1.

Lakara

Sanra

3.

Teseng dan
mallolo

pengendalian hama babi dan


monyet pada kelompok
peladang/kebun campuran
------

1940 - 1970

1970-1980
BelandaJepang
1970sekarang

Lahan kemiri luas/ KK


kepadatan penduduk rendah
Peremajaan kemiri
------------- keberlangsungan hak
kepemilikan
-penanda kepemilikan

---------

----2000sekarang

faktor penyebab munculnya


Tenurial

------

Distribusi lahan
Kebutuhan uang tunai pemilik
lahan
Distribusi hak kelola lahan
Patron-klien
konversi kemiri monokultur
menjadi kebun campuran coklat
Distribusi (bagi lahan) pada tuan
tanah dengan kaum ata
(patron-klien)

Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007


Berdasarkan Tabel 5 di atas,
periode tahun 1940 -1970 pola tenurial
yang berkembang di Desa Batupute
mempunyai kesamaan tipe
feodal
Amerika latin dibanding tipe feodal
Asia (world Bank, 1975) dengan ciri
yang
dominan:
a)
Konsentrasi
pemilikan
yang
tinggi,
(b)
ketidakmerataan sosial yang tinggi, (c)
ketidakmerataan ekonomi yang tinggi,
(d) produktifitas tanah yang rendah,
(e) tingkat teknologi yang rendah, (g)
tenaga
kerja
disediakan
oleh
penduduk yang migrasi, atau pemilik
tanah-tanah berlahan tidak cukup
untuk resistensi subsisten
selama
setahun, (h) dioperasikan oleh tenaga
kerja perhambaan (serfs) berpola
patron-klien . Pola ini berkembang,
karena pengaruh sistem sosial,
struktur ekonomi, situasi demografis,
sistem pertanian dan kondisi basis
sumberdaya lokal, serta belum adanya
pengaruh sistem ekonomi dari wilayah
yang lebih luas (regional, nasional dan
global), sistem ekonomi skala lokal.
Pada periode 1970 -1980 pola
tenurial yang berkembang tipenya

bipolar tipe feodal Amerika latin dan


tipe komunal tradisional. Tipe feodal
Amerika latin berkembang pada
lapisan sosial bangsawan dengan
golonga ata pada lahan ongko,
sedangkan tipe komunal tradisional
berkembang
pada
golongan
masyarakat menengah pada lahan
tanah negara bebas melalui tenurial
lakara dan
wanatani ladang
berpindah sebagai proses awal
pembentukan hutan kemiri monokultur
dan hutan jati.
Periode tahun 1990 sekarang,
pola tenurial yang berkembang
bersifat tipe pasar ekonomi, karena
pengaruh (1) sistem politik dan situasi
politik, (2) struktur ekonomi yang lebih
luas (regional, nasional, dan global),
(3) sistem hukum yang sentralisasi, (4)
dan situasi demografis, dimana jumlah
penduduk mengalami peningkatan.
Faktor dan variabel yang berpungsi
terjadinya Dinamika Tenurial
Hasil
analisis
diskriminan
menunjuk-kan
faktorfaktor
yang
berperan terhadap
terjadinya

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

162

dinamika tenurial pada Sub DAS


masing faktor tersebut dan variabel
Minraleng Hulu, yaitu faktor demografi,
penyusunnya dalam membedakan
teknologi,
biofisik
lahan,
akses
kelompok tenurial komunal, individuterhadap infrastruktur wilayah, dan
komunal, dan individual ditunjukkan
faktor kelembagaan. Hasil Uji statistik
pada Tabel 6.
Wilks Lamda dan Univariated F ratio
menggambarkan Konstribusi masing
Tabel 6. Faktor Pembeda Kelompok Petani Subsisten, Komersil dan Kapitalis di
Sub DAS Minraleng Hulu
N faktor
o
1 Demografi

2 Teknologi

4 Biofisik

5 Infrastrukt
ur

Variabel

X1
X2
X5
X6
X7
X8
X9
X11

Wilks SignifiLamda cance


0.951 0.011
0.963 0.034
0.912 0.000
0.892 0.000
0.863 0.000
0.895 0.000
0.950 0.010
0.943 0.005

X13

0.949

0.010

X17
X19
X21
X26
X27
X28
X29

0.960
0.947
0.873
0.894
0.946
0.939
0.937

0.026
0.008
0.000
0.000
0.007
0.004
0.003

Notasi

imigrasi keluar desa


Jumlah Anggota keluarga membantu Wanatani
Luas lahan wanatani
total luas lahan milik dan sakap
Jumlah komoditas tanaman yang diusahakan
Jenis pupuk dan pestisida yang digunakan
Jumlah pupuk yang di gunakan
Jenis dan jumlah peralatan yang digunakan pada
budidaya wanatani
Jenis dan jumlah Mesin pengolah hasil pertanian yang
dimiliki
Iklim
Topografi
Jumlah bulan Ketersediaan air untuk lahan
Jarak lahan dengan pasar
Jumlah Jenis angkutan hasil wanatani
Akses responden ke pedagang untuk pemasaran hasil
Akses responden ke pedagang untuk penyediaan saprodi

Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007


Peran masing-masing faktor
beserta variabelnya pada Tabel 38
di atas terhadap dinamika katagori
tenurial
wanatani di Sub DAS
Minraleng Hulu diuraikan berikut ini.
Demografi
Diferensiasi pemilikan lahan akibat
pertambahan
penduduk
dan
berkembangnya sistem teknologi
pertanian
persawahan
bercorak
komersil atau kapitalis di Desa
Timpuseng , berimplikasi pada
perubahan tenurial ke arah individual
yang sebelumnya individu-komunal
pada saat masih menggunakan
tenaga ternak sapi kombinasi tenaga
manusia.
Berkembangnya tenurial
individualis
dipersawahan
menyebabkan petani gurem yang
luas lahan sawahnya < 0,5 ha dan
tidak punya lahan kering tidak
tertampung dalam penyediaan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167

lapangan kerja untuk resistensi


subsistensi
pangan pokoknya
selama setahun, terpaksa
harus
melakukan migrasi ke provinsi lain.
Tenaga kerja petani gurem hanya
tertampung potensi tenaga kerjanya
pada saat pengelolaan lahan sawah
dan panen padi yang merupakan
puncak keterbatasan ketersediaan
tenaga kerja bagi lapisan petani
berlahan luas ( > 1 ha). Migrasi
petani tersebut terjadi di desa
Timpuseng Kecamatan camba
Petani gurem dan tidak punya
lahan persawahan di Kampung baru
tidak
melakukan
migrasi
dikarenakan adanya wanatani gula
aren
sebagai
matapencaharian
untuk mempertahankan resistensi
subsistensi pangan pokoknya dari
menjual arennya pada
pasar
kecamatan setempat dua kali dalam
seminggu, disamping dari sawah
dan ladang sebagai tambahan

163

jaminan subsistensi pada saat


puncak paceklik menjelang musim
panen padi dipersawahan. Sistem
tenurial yang berkembang pada gula
aren, yaitu sistem bagi hasil secara
rata produksi gula aren (50%:50%)
antara pemilik pohon aren sekaligus
juga pemilik tungku pembuatan gula
aren
dengan buruh tani pembuat
gula aren. Kelebihan potensi tenaga
kerja dari lapisan petani tdk punya
lahan sawah yang terdapat pada
Kampung Baru Desa Limampoccoe,
juga tertampung pada tenurial ladang
berpindah secara kelompok dan
tenurial usahatani persawahan tadah
hujan
menggunakan
peralatan
tenaga hewan kombinasi tenaga
manusia.
Pada
petani
persawahan
berwatak
komersilkapitalis
terintegrasi dengan sistem wanatani
ladang bero, dan hutan rakyat
campuran juga berwatak komersil
kapitalis yang terdapat di desa
Limampoccoe, sistem tenurial yang
berkembang bersifat individu, seperti
paje lahan, memarginalkan sistem
teseng dan sanra yang dulunya
berlaku saat belum digunakannya
teknologi traktor tangan.
Petani wanatani di Desa
Batupute yang tidak punya lahan
persawahan melakukan ladang bero
pada
lahan
miliknya
atau
meremajakan/mengkonversi
lahan
kemiri monokultur dan atau lahan jati
monokultur
menjadi
kebun
campuran dominan coklat dengan
sistem tenurial bagi lahan secara
rata (50% pemilik lahan dan 50 %
pula petani pekebun) terhadap lahan
yang diremajakan saat coklatnya
telah berproduksi. Hasil tanaman
semusim saat diladangi menjadi milik
peladang bero untuk resistensi
subsistensi
pangannya
dengan
menjual hasil ladangnya (Cabe,
tomat, kacang tanah, jahe, jagung, )
dan uang hasil penjualannya untuk
membeli
pangan
pokok
dan
kebutuhan primer lainnya.
Sistem
wanatani
kebun
campuran dan wanatani pekarang

yang keduanya dominan coklat


dengan watak komersil kapitalis,
tenurial yang berkembang juga
individu.
Kedua Wanatani yang
terdapat di Desa batupute ini juga
menciptakan
diferensiasi
sosial,
hanya saja distribusi lahan diantara
penduduk belum terjadi ketimpangan
(rata-rata luas lahan penduduk >
1ha/KK)
dikarenakan
ratio
pertumbuhan penduduk terhadap
luas desa masih rendah.
Teknologi
Komoditas yang diusahakan
penduduk pada lahan persawahan,
ladang bero, ladang berpindah,
kebun campuran dan pekarangan
dan untuk tujuan komersil sampai
kapitalis,
maka
tenurial
yang
berkembang
dominan
berciri
individualis.
Sedang pada lahan
yang diusahakan untuk tujuan pokok
subsistensi pada lahan sawah dan
ladang berpindah, maka tenurial
yang berkembang adalah komunal individu. Pengecualian pada hutan
kemiri monokultur, maka meskipun
rumah tangga petani mengusahakan
kemiri untuk tujuan subsistensi,
komersil ataupun kapitalis, sistem
tenurialnya tetap bercirikan individukomunal. Hanya saja prodsuktifitas
hutan kemiri
sangat
menurun
sehingga terjadi konversi lahan ke
wanatani atau sistem pertanian
lainnya.
Sarana produksi pupuk dan
pestisida, serta peralatan mekanis
traktor tangan, mesin pengolah hasil
pertanian dan sarana transportasi,
mengarahkan dinamika tenurial ke
individualis
pada
tahapan
pengelolaan lahan dan pemeliharaan
lahan, tetapi pada saat panenan
masih terdapat tenurial individukomunal, yaitu tenunan massaro
ase dengan pembagian hasil dapat
dilihat pada Tabel Ms . Hal ini
terjadi pada lahan persawahan yang
didukung
kesuburan biofisik (
topografi
yang
datar
dan
ketersediaan air yang memadai ) di

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-165

164

desa Timpuseng dan sebagian besar


dusun dan perkampungan di Desa
Limampoccoe.
Pada wanatani
ladang
(menetap/bero
dan
berpindah), hutan jati dan hutan
kemiri monokultur yang masih
menggunakan peralatan sederhana
parang, cangkul dan kampak , serta
persawahan
tanpa
peralatan
mekanis (menggunakan tenaga kerja
ternak sapi dan tenaga manusia),
maka
Tenurial yang berkembang
berciri individidual - komunal atau
komunal -individual. Pengecualian
pada kebun campuran dominan
coklat dan wanatani pekarangan
dominan coklat dengan peralatan
manual, tenurial yang berkembang
berciri individualis pada seluruh
tahapan pengelolaan wanatani.
Infrastruktur
Makin rendah akses jalan,
perumahan dan pasar, maka sistem
tenure makin ke arah individu,
sedang
makin
tidak
tersedia
infrastruktur, seperti jalan, pasar dan
dekat perumahan tersebut, tenurial
yang berkembang ke arah komunal.
Lahan persawahan dan wanatani
yang tidak terdapat akses jalan, jauh
dari permukiman dan pasar , tenurial
yang berkembang adalah komunalindividu.
Fungsi Diskriminan Dinamika
Tenurial
Berdasarkan struktur matriks
dan summary of
canonical
discriminant fungtions (Lampiran 4)
dari
hasil
analisis
statistika
diskrimanan, diperoleh suatu fungsi
diskriminan yang dapat digunakan
dalam mengklasifikasikan sistem
tenurial yang dianut petani apakah
komunal, individu-komunal, Individuindividu atau individu penyakapan.
Persamaan
Fungsi
diskriminan
dinamika tenurial sebagai berikut :

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-165

Z Score-1 = 0.477X4 -0.569X6


0.191X7 0.771X8
0.225X11 +
0.778X15 + 0.665X18
+
0.966X26
1.413X27 + 0.990X30
........(3)
Z Score- 2 = 0.832X4 - 0.788X6 +
0.858X7 0.271X8
0.850X11
+ 0.17X15 - 0.419X18 +
0.128X26 + 1.340X27
- 0.670X30...........(4)
Fungsi persamaan (3) di atas
dapat mengklasifikasikan sistem
tenurial wanatani komunal sampai
individu-komunal, sedang fungsi
persamaan
(4)
dapat
mengklasifikasi-kan sistem tenurial
wanatani individu-komunal sampai
tenurial individu -penyakapan.
KESIMPULAN
1. Faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya dinamika tenurial, yaitu
demografi, teknologi, biofisik
lahan, akses terhadap infrstruktur
dan
kelembagaan.
Variabel
imigrasi penduduk, luas lahan
penduduk, luas lahan sawah, dan
luas lahan sakap dan milik
variabel yang melingkupi faktor
demografi ; Variabel jumlah
komoditas
tanaman
yang
diusahakan, jenis dan jumlah
vestisida yang digunakan, Jenis
dan jumlah peralatan budidaya,
jenis dan variabel jenis dan
jumlah peralatan pengolah hasil
pertanian yang melingkupi faktor
teknologi ; dan jumlah sistem
penguasaan
lahan
yang
dilakukan yang melingkupi faktor
kelembagaan.
2. Tahap awal (penjajahan Belanda
1970) tenurial bersifat komunal
tradisional
dipengaruhi
oleh
sistem ekonomi skala lokal,
sistem
pertanian
tradisional
berbasis sumberdaya lokal dan
demografi penduduk yang rendah

165

dengan
ketersediaan
lahan
pertanian yang luas.
Tahap
pertengahan sampai sekarang
(1980 sekarang), tenurial yang
berkembang
bertipe
pasar
ekonomi, pengaruh sistem politik
otoritarian,
struktur
ekonomi
mengglobal,
sistem
hukum
sentralisasi
dan
demografi
penduduk
tinggi
dengan
ketersediaan lahan pertanian
terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Amaluddin .1987. Kemiskinan dan
Polarisasi Sosial. Studi Kasus
di Desa Bulugede, Kendal,
Jawa Tengah.
Penerbit UI
Press. Jakarta.
Cohran. G.W. 1977.
Sampling
Techniques. Penerbit John
Wiley and Sons. New York.
Fausi.
N. 1999.
Petani dan
Penguasa.
Dinamika
Perjalanan
Politik
Agraria
Indonesia. Penerbit Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Hayami, Y dan Kikuchi, M. 1987.
Dilema Ekonomi Desa, Suatu
Pendekatan Ekonomi Terhadap

Perubahan Kelembagaan di
Asia. Terjemahan oleh Sahara,
D. Noer.
Penerbit yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Sumaryanto,
Siregar,
M.
dan
Wahida. 2002. Penguasaan
tanah, Sistem Usahatani dan
Pendapatan
Rumahtangga
Petani
di Daerah Beririgasi
DAS
Brantas.
Laporan
Penelitian
Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian IPB Bogor
bekerjasama dengan IFPRI .
Bogor.
Skousen, D. 2001. Sang Maestro
Teori-Teori Ekonomi Modern:
Sejarah Pemikiran Ekonomi.
Terjemahan
oleh
Santoso,
B.W.T. 2006. Prenada media
Group. jakarta
Scott. J. C. 1976. Moral Ekonomi
Petani.
Pergolakan
dan
Subsistensi di Asia Tenggara.
Penerbit LP3ES. Jakarta.
Wiradi, G. 1999. Reforma Agraria
Perjalanan
Yang
Belum
Berakhir.
Penerbit Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta.

.
Diterima 22 Mei 2007
Muh. Dassir
Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia.Alamat Rumah : Kompleks Perumhan Antang,
Makassar HP :08524992337

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-165

166

KOMPOSISI LIMBAH PENEBANGAN


DI AREL HPH PT. TELUK BINTUNI MINA AGRO KARYA
The Composition of Cutting Waste
at PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya Concession
A. Mujetahid, M.
Abstract

The study aims to investigate the composition of cutting waste and the percentage
value of the logging waste against the realization of log production, and the
prospective utilization of the existing cutting waste. The result of the study is
expected to become a reference for the forestry department to conduct
supervision on the validity of the annual work plan proposed by the investor of the
cutting waste utilization.The study is conducted in two groups of wood, Meranti
wood and Mixed species. A grouping is also made based on the tree diameter,
with range of diameter between 50-79 and 80 cm up. A three time replication is
conducted to each tree group, which make 24 tree samples. Data processing in
analysis to determine composition and percentage value of waste woods on
realization of log production was conducted by tabulation method.The study
reveals that the cutting waste, which can be utilized, is located at clear bole stem,
above clear bole stem and stumps with average percentage of 14.565% for single
tree. Reference value to estimate the potential of cutting waste which are based
on the realization of the log production, is 14.520% for Meranti and 14.610% for
Mixed species.
Keyword : composition, waste, cutting.

PENDAHULUAN
Pemanfaatan limbah kayu
telah berkembang pesat dengan
semakin terbatasnya sumber daya
hutan kayu yang ada. Beberapa
industri kayu lapis bahkan telah
dilengkapi dengan unit pengelolaan
limbah seperti briket arang, papan
blok (blok board), papan partikel
(partikel board) serta finir (veneer)
untuk bagian tengah (coor) kayu
lapis (plywood). Produk seperti ini
tidak memerlukan ukuran bahan
baku kayu yang besar, sehingga
cukup dengan limbah pemanenan
atau sisa pengelolaan kayu di
industri kayu gergajian atau kayu
lapis
Produk yang dihasilkan
tersebut memiliki pangsa pasar,

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

bahkan produk yang bersifat ekspor.


Direktorat Jenderal Pengusahaan
Hutan (1990), menyatakan bahwa
limbah
pemanenan
dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku
finir (veneer), kayu gergajian (sawn
timber), papan blok (blok board),
papan paartikel (partikel board), dan
peti pengemas.
Pemanfaatan limbah kayu sampai
saat ini masih terbatas pada sisa
kayu bulat hasil pengolahaan kayu
di industri yang jumlahnya masih
terbatas.
Terbatasnya limbah
industri ini disebabkan kayu bulat
yang telah berada di industri
pengolahan,
hampir
seluruhnya

167

dipergunakan untuk memproduksi


sortimen utama. Dengan kata lain,
pemanfaatan
kayu
di
industri
pengolahan kayu telah diupayakan
semaksimal mungkin karena kayu
bulat yang telah berada di industri
tersebut
telah
dicatat
untuk
pembayaran provisi sumber daya
hutan dan dana reboisasi sehingga
harus dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Lempang dkk, (1995)
melaporkan hasil penelitian faktor
eksploitasi pada pemungutan kayu
dengan sistim mekanik di Sulawesi
Selatan, yang intinya menyatakan
bahwa faktor eksploitasi rata-rata di
daerah
tersebut
adalah
0,83.
Selanjutnya, dilaporkan pula bahwa
rata-rata limbah per pohon yang
terjadi akibat pemanenan di daerah
tersebut adalah 1,09 meter kubik.
Pusat Informasi Kehutanan,
(2004) dalam siaran pers nomor
S.664/II/PIK-1/2004
tanggal
10
Nopember 2004 menyatakan bahwa
saat ini terdapat limbah kayu yang
ditinggalkan di hutan alam sebanyak
40-70% dari produksi kayu bulat.
Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa
limbah kayu yang sangat besar
tersebut dapat dimanfaatkan secara
ekonomis dalam bentuk chips.
Pemanfaatan limbah tersebut dapat
menggunakan mesin yang mudah
dipindah
(portable)
dengan
memanfaatkan
kelompok
masyarakat.
Sanusi, (1991) menyatakan
bahwa limbah pemanenan, berupa
tunggak kayu atau cabang besar
biasanya
memiliki
serat
yang
arahnya berpuntir atau arah serat
tidak teratur. Dinyatakan pula bahwa
kondisi limbah demikian justru dapat
bernilai tinggi bila dimanfaatkan
untuk pembuatan finir (veneer)
karena akan menghasilkan pola
gambar yang indah.
Kayu limbah bukan saja
terjadi di lokasi industri pengolahan,
tetapi juga pada proses pemanenan.
Kayu limbah yang terjadi pada
proses pemanenan terutama pada

tahapan
kegiatan
penebangan
dengan jumlahnya yang sangat
besar. Oleh karena itu, diperlukan
suatu penelitian untuk mengetahui
secara pasti besarnya limbah yang
terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui komposisi kayu limbah
penebangan di areal HPH PT. Teluk
Bintuni Mina Agro Karya dan nilai
persentase yang harus digunakan
sebagai pedoman dalam taksasi
potensi kayu limbah. Hasil penelitian
ini diharapkan menjadi masukan bagi
pemerintah daerah terutama instansi
yang menangani kehutanan dalam
rangka pembinaan dan pengawasan
pengusahaan
hutan
khususnya
pemanfaatan kayu limbah dan
bermanfaat bagi para investor yang
akan memanfaatkan kayu limbah
penebangan.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan
di Areal HPH PT. Teluk Bintuni Mina
Agro Karya. Secara administrasi
pemerintahan, terletak pada Distrik
Babo Kabupaten Teluk Bintuni
Provinsi Irian Jaya Barat. Penelitian
dilaksanakan pada Bulan April - Juni
2006
Populasi
dan
Sampel
Penelitian
Populasi penelitian ini adalah
semua
pohon
siap
tebang
(berdiameter 50 cm.
Populasi
dikelompokan dalam dua kelas
diameter, yaitu diameter 50-79 cm
dan 80 cm. Pemilihan sample
dilakukan secara purposive yang
terdiri dari dua kelompok yaitu
meranti
dan rimba campuran.
Masing-masing jenis kayu yang
mewakili dua kelas diameter dengan
ulangan sebanyak tiga kali. Dengan
demikian, pohon sample yang
dibutuhkan adalah sebanyak dua

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

168

puluh empat pohon atau setiap jenis


terdiri dari enam pohon.
1. Kelompok kayu meranti:
a. Merbau (instia bijuga OK),
enam pohon
b. Kenari (Canarium inicum
L.), enam pohon
2. Kelompok kayu rimba
a. Kedondong
(Koordersiodenron pinnatum
Merr) enam pohon
b. Jabon
(Anthocephallus
cadamba Miq) enam pohon
Peralatan yang digunakan untuk
menebang dan mengukur volume
kayu sebagai berikut :
1. Gergaji rantai (chain saw)
2. Pita ukur merk ESLON yang
panjangnya 20 m.
3. Tongkat ukur (scale stik)
yang panjangnya 1,20 m.

terpendek
(d1)
dan
diameter terpanjang (d2)
melalui pusat bontos juga.
Du= diameter rata-rata bontos
ujung dalam kelipatan satu
cm penuh, yang diperoleh
dari diameter terpendek
(d3) dan terpanjang (d4)
melalui pusat bontos juga.
Perhitungan volume limbah:
Perhitungan
volume
limbah
menggunakan rumus Brereton
metric, sesuai petunjuk cara
pengukuran dan penetapan isi
kayu bulat Indonesia ( Direktorat
Jenderal
Bina
Produksi
Kehutanan, 2004) berikut ini:
Rumus : I = 0,7854 x D2 x L

Pengumpulan dan Analisis


Data
Pengumpulan data dilakukan
dengan mengukur keliling dan
panjang setiap potongan batang
kayu limbah, baik pada bagian
batang bebas cabang, di atas
batang bebas cabang, dan
tunggak.
Kemudian
dikelompokan
berdasarkan
diameter
dan
jenis
kayu.
Diameter
kayu
limbah
dikelompokkan
dalam
tiga
golongan, yaitu 10-19 cm, 20-29
cm, dan 30 ke atas.

Dimana : I = Volume atau isi


kayu bulat rimba (m3)

Pengukuran diameter adalah


sebagai berikut :

PL =

Dp Du
=
2
1 / 2(d1 d 2) 1 / 2(d 3 d 4)
2

Dimana :

D=

D= Diameter kayu bulat


3

(m )
L= Panjang kayu bulat
(m3)
0,7854
merupakan
angka dari
= x 3.1416
Perhitungan prosentase kayu
limbah:

VLk
100 %
TL Vp

PL = Prosentase kayu limbah


dalam satuan persen (%)
VLk

= Volume kayu limbah


(m3)

TL

= Volume total kayu


limbah per pohon
(m3)

Vp

= Volume produksi
kayu bulat yang
sampai di TPK (m3)

Dimana :
D = diameter kayu bulat rimba
Dp= diameter rata-rata bontos
pangkal dalam kelipatan
satu cm penuh, yang
diperoleh dari diameter

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

169

= Panjang (m)

Komposisi limbah pemanenan


dianalisis dengan menggunakan
tabulasi sederhana.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN

Komposisi
limbah
pemanenan berdasarkan sumber
limbah, baik dari kelompok kayu
meranti maupun rimba campuran
pada berbagai kelas diameter di
areal PH PT. Teluk Bintuni Mina
Agro Karya dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi dan Rata-rata Volume Limbah Penebangan Kelompok Kayu


Meranti dan Rimba Campuran
3

N
o.

Jenis
Kayu

Volum
e Log
3
(m )

1.

Merbau

8,670

2.

Kenari

Rata-rata-A

11,40
0
10,03
5

1.

Kedond
ong

5,730

2.

Jabon

6,300

Rata-rata-B

6,020

Rata-rata
Total

8,028

Volume Limbah (m )
Di atas Bebas Cabang (cm)
Beb
as
Tung
10 20
Jumla
Cab
gak
-19
29
30
h
ang
A. Kelompok Meranti
0,09
0,4
0,31
0,160
0,700
0,610
0
50
0
0,07
0,5
0,45
0.180
0,820
0,520
0
70
0
0.08
0,5
0,38
0.170
0,760
0,565
0
10
0
B. Kelompok Rimba Campuran
0,06
0,2
0,18
0,120
0,430
0,420
0
50
0
0,06
0,2
0,23
0,160
0,450
0,350
0
30
0
0,06
0,2
0,20
0,140
0,440
0,385
0
40
5
0,00
0,3
0,29
0,155
0,600
0,475
7
75
3

Total
Limb
ah

1,620
1,790
1,705

1,030
1,030
1,030
1,368

Volu
me
Tota
l
3
(m )
10,2
9
13,1
9
11,7
4
6,76
0
7,33
0
7,05
0
9,39
5

Persent
ase
Limbah
(%)

15,740
13,570
14,520

15,240
14,050
14,610
14,565

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007


Kelompok Kayu Meranti
Pada Tabel 1 di atas dapat
dilihat bahwa rata-rata volume log
per
pohon
yang
dapat
dimanfaatkan
adalah
sebesar
11,740 m3. Jumlah volume kayu
tersebut terdiri dari 10,035 m3 atau
85,48% yang dapat dimanfaatkan
dan 1,705 m3 atau 14,52 % yang
dapat dimanfaatkan tetapi tidak
dimanfaatkan (limbah). Sumber
limbah tersebut terdiri dari limbah
yang berasal dari tunggak, batang
utama (bebas cabang) dan di atas
bebas cabang.
Limbah terbesar berasal
dari bagian kayu di atas bebas
cabang pertama yaitu sebesar
0,760 m3 (6,47%) dari total kayu
yang dapat dimanfaatkan pada
setiap pohonnya. Limbah tersebut

berasal
dari
batang
yang
berdiameter 30 cm ke atas sebesar
0,510 m3 (67,11%), 20 29 cm
sebesar 0,17 m3 (22,37%) dan
diameter 10-19 cm sebesar 0,08
m3 (10,52%). Besarnya persentase
limbah tersebut karena kayu yang
terletak di atas bebas cabang
pertama tidak dimanfaatkan lagi
walaupun jumlah potongan dan
diameter berkisar antara 10-30 cm
masih memiliki potensi untuk
dimanfaatkan dan volumenya yang
besar. Perusahaan kayu berupa
HPH
yang
belum
mampu
mengolah kayu ukuran kecil, akan
ditinggalkan di petak tebangan
berupa limbah karena hanya
memanfaatkan
kayu
dengan
ukuran diameter tertentu.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

170

Persentase kayu limbah


terbesar kedua bersumber dari
bagian tunggak dengan persentase
limbah rata-rata sebesar 4,81%
dari total kayu yang dapat
dimanfaatkan atau 0,565 m3 per
pohon. Tinggi tunggak yang masih
dapat dimanfaatkan berkisar antara
80-90 cm dengan diameter antara
72 130 cm untuk jenis Merbau
(Instia bijuga OK) dan jenis Kenari
(Canarium inicum L.,)
tinggi
tunggak berkisar antara 50-70 cm
dengan diameter 78-140 cm. Hal
ini
terjadi
karena
operator
penebang melakukan penebangan
tanpa mempertimbangkan besar
kecilnya
limbah,
namun
berdasarkan posisi tebang yang
memudahkan
kegiatan
penebangan, waktu tebang yang
lebih cepat karena upah tebang
berdasarkan besarnya volume
kayu yang ditebang. Apabila
menerapkan
penebangan
serendah mungkin, maka waktu
yang digunakan lebih lama,
sehingga upah yang diperoleh lebih
rendah.
Sumber limbah yang ketiga
adalah
kayu
limbah
yang
bersumber
dari batang bebas
cabang dengan persentase ratarata sebesar 3,24% dari total kayu
yang dapat dimanfaatkan atau
0,380 m3 per pohon. Persentase
tersebut lebih kecil dibandingkan
dengan sumber lainnya. Limbah ini
dapat terjadi akibat besarnya mulut
takik rebah, sehingga pada saat
pemotongan pangkal batang dalam
rangka perataan ujung dan pangkal
log, maka terjadilah limbah, batang
pecah akibat terbentur pada batu,
atau tidak terputusnya serat kayu
antara takik rebah dengan takik
balas. Panjangnya batang berkisar
antara 50-70 cm dan diameter
berkisar antara 72-134 cm.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

Kelompok Rimba Campuran


Pada Tabel 1 di atas dapat
dilihat bahwa rata-rata volume log
per
pohon
yang
dapat
dimanfaatkan adalah sebesar 7,05
m3. Jumlah volume kayu tersebut
terdiri dari 6,02 m3 atau 85,39%
yang dapat dimanfaatkan dan 1,03
m3 atau 14,610% yang dapat
dimanfaatkan
tetapi
tidak
dimanfaatkan (limbah). Sumber
limbah tersebut sama dengan
kelompok rimba campuran yaitu
terdiri dari limbah yang berasal dari
tunggak, batang utama (bebas
cabang) dan di atas bebas cabang.
Volume kayu tersebut lebih kecil
dari kelompok meranti, jenis ini
terutama Jabon (Anthocephallus
cadamba Miq) merupakan tanaman
pioneer yang tumbuh setelah areal
tersebut terbuka.
Persentase limbah terbesar
berasal dari bagian kayu di atas
batang bebas cabang pertama
yaitu sebesar 0,44 m3 (6,241%)
dari total kayu yang dapat
dimanfaatkan
pada
setiap
pohonnya. %). Limbah tersebut
berasal
dari
batang
yang
berdiameter 30 cm ke atas sebesar
0,24 m3 (54,545%), 20 29 cm
sebesar 0,14 m3 (31,819%) dan
diameter 10-19 cm sebesar 0,06
m3
(13,636%).
Besarnya
persentase limbah tersebut pada
dasarnya sama dengan kelompok
meranti karena kayu yang terletak
di atas bebas cabang pertama
tidak dimanfaatkan lagi walaupun
panjangnya antara 0,5 -1,2 m dan
diameter berkisar antara 10-30 cm
masih memiliki potensi volume
yang besar. Perusahaan kayu
berupa HPH yang belum mampu
mengolah kayu ukuran kecil, akan
ditinggalkan di petak tebangan
karena hanya memanfaatkan kayu
dengan ukuran diameter tertentu.
Persentase kayu limbah
terbesar kedua bersumber dari
bagian tunggak dengan persentase
limbah rata-rata sebesar 5,461%

171

dari total kayu yang dapat


dimanfaatkan atau 0,385 m3 per
pohon. Tinggi tunggak yang masih
dapat dimanfaatkan berkisar antara
70-80 cm dengan diameter antara
58-101 cm untuk jenis Kedondong
(Koordersiodenron pinnatum Merr)
dan jenis Jabon (Anthocephallus
cadamba Miq)
tinggi tunggak
berkisar antara 60-80 cm dengan
diameter 60-101 cm. Hal ini terjadi
karena
operator
penebang
melakukan penebangan tanpa
mempertimbangkan besar kecilnya
limbah, namun berdasarkan posisi
tebang
yang
memudahkan
kegiatan
penebangan,
waktu
tebang yang lebih cepat karena
upah tebang berdasarkan besarnya
volume kayu yang ditebang.
Apabila menerapkan penebangan
serendah mungkin, maka waktu
yang digunakan lebih lama,
sehingga upah yang diperoleh lebih
rendah.
Sumber limbah yang ketiga
adalah
kayu
limbah
yang
bersumber
dari batang bebas
cabang dengan persentase ratarata sebesar 2,907% dari total kayu

yang dapat dimanfaatkan atau


0,205 m3 per pohon. Persentase
tersebut lebih kecil dibandingkan
dengan sumber lainnya. Limbah ini
dapat terjadi akibat besarnya mulut
takik rebah terlalu lebar, sehingga
pada saat pemotongan pangkal
batang dalam rangka perataan
terjadilah limbah disamping karena
batang pecah akibat terbentur pada
batu, atau tidak terputusnya serat
kayu antara takik rebah dengan
takik balas. Panjangnya batang
berkisar antara 50-60 cm dan
diameter berkisar antara 46-86 cm.
Disamping itu disebabkan oleh
kegiatan topping, penebangan
cenderung melakukan pemotongan
ujung kayu pada batas dimana
ukuran diameternya relative masih
mendekati
diameter
pangkal
sehingga
mendekati
bentuk
silindris. Akibatnya terdapat sisa
kayu bulat antara batas topping
dengan cabang pertama berupa
kayu
limbah
yang
akan
ditinggalkan di hutan. Untuk lebih
jelasnya
dapat
dilihat
pada
Gambar 1.

0.9

Volume Limbah (m3)

0.8
0.7
0.6
> bebas cabang

0.5

bebas cabang

0.4

tunggak

0.3
0.2
0.1
0
Merbau

Kenari

Kedondong

Jabon

Gambar 1. Volume limbah berdasarkan sumber limbah setiap jenis kayu

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

172

Total Volume Limbah


Besarnya volume limbah
terbesar berdasarkan kelompok
jenis diperoleh bahwa kelompok
jenis kayu meranti limbahnya lebih
besar
dibandingkan
dengan
kelompok rimba campuran yaitu
masing-masing 1,705 m3 dan 1,030
m3 per pohon, sehingga terdapat
perbedaan sebesar 0,675 m3 per
pohon. Namun demikian apabila
besarnya limbah dihitung secara
proporsional
dengan
membandingan antara besarnya
volume dengan besarnya limbah
per pohon, maka kelompok jenis
rimba
campuran
(14,610%)
limbahnya
lebih
besar
dibandingkan dengan kelompok
jenis meranti (14,520%), namun
perbedaan tersebut sangat kecil
yaitu 0,09%.
Besarnya volume limbah
berdasarkan jenis kayu secara
berturut-turut dari yang terbesar
sampai terkecil adalah jenis Kenari

(Canarium inicum L.,) yaitu sebesar


1,790 m3, Merbau (Instia bijuga
OK) sebesar 1,620 m3, Kedondong
(Koordersiodenron pinnatum Merr)
dan
Jabon
(Anthocephallus
cadamba Miq)
masing-masing
1.030 m3. Sedangkan besarnya
persentase limbah yang diperoleh
berdasarkan perbandingan antara
volume limbah dengan volume total
secara berturut-turut dari yang
terbesar sampai terkecil adalah
jenis Merbau (Instia bijuga OK)
sebesar
15,74%,
Kedondong
(Koordersiodenron pinnatum Merr)
sebesar
15,240%,
Jabon
(Anthocephallus cadamba Miq)
sebesar 14,050% dan Kenari
(Canarium inicum L.,) sebesar
13,507%.
Volume kayu rata-rata per
pohon sebanyak 9,395 m3 dengan
limbah rata-rata adalah sebesar
1,368 m3 atau sebesar 14,565%
per pohon. Besarnya volume
limbah total berdasarkan jenis kayu
disajikan pada Gambar 2.

Volume Limbah (m3)

1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Merbau

Kenari

Kedondong

Gambar 2. Total volume limbah berdasarkan jenis kayu

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

Jabon

173

Departemen
Jakarta.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah diuraikan pada bagian
terdahulu, maka dapat disimpulkan
bahwa
komposisi
kayu
limbah
penebangan di areal HPH PT. Teluk
Bintuni Mina Agro Karya tersebar pada
bagian atas batang bebas cabang,
batas bebas cabang, dan tunggak
dengan persentase sebesar 14,565%
dari volume kayu yang dapat
dimanfaatkan
per
pohon.
Nilai
pedoman untuk menduga potensi
limbah
berdasarkan
pendekatan
realisasi produksi adalah 14,520%
untuk kelompok kayu meranti dan
14,610 % untuk kelompok kayu rimba
campuran atau rata-rata 14,565% dari
realisasi kayu produksi.
Dalam
pemberian
ijin
pemanfaatan limbah, sebaiknya Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Bintuni
menggunakan nilai prosentase limbah
berdasarkan hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan,
2002.
Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor
6886/Kpts-II/2002
tentang Pedoman dan Tata
Cara
Pemberian
Ijin
Pemungutan
Hasil
Hutan
(IPHH) pada Hutan Produksi.

Kehutanan.

Direktorat
Jenderal
Pengusahaan
Hutan, 1990. Pedoman Teknis
Penekanan dan Pemanfaatan
Kayu Limbah Pembalakan.
Departemen
Kehutanan.
Jakarta.
Pusat

Informasi Kehutanan, 2004.


Siaran Pers No. S.664/II/PIK1/2004 tentang Revitalisasi
Industri
Kehutanan
Dayagunakan Hasil Hutan Non
Kayu dan Hutan Tanaman
(http://www.dephut.go.id/INFOR
MASI/HUMAS/2004/66404.htm, diakses 18 April 2005.

Pusat

Bahasa
Departemen.
Pendidikan Nasional, 2003.
Kampus
Besar
Bahasa
Indonesia. Edisi Ketiga. Balai
Pustaka Jakarta.

Sanusi,
D.,
1991.
Opimasi
pemanfaatan Jenis-Jenis Kayu
Tropis Melalui
pengolahan
Kayu Terpadu. GFG-report
No.18 Jan, 1991. Halaman 160.
Suwasa S., 1991. Suatu Pemikiran
Tentang Pemanfaatan JenisJenis Kayu Hutan Tropis
Secara
Maksimal
dalam
Kaitannya dengan kelestarian
Sumber. GFG-report No.18
Jan, 1991. Halaman 79.

Diterima : 23 April 2007


A. Mujetahid
Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Jl Perumdos Unhas, Blok B HP

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173

174

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEBIT


SUNGAI MAMASA
Analysis of Factors Influencing the River Discharge of Mamasa
Asikin Muchtar dan Nurdin Abdullah
Abstract
The research was conducted in the watershed area of Mamasa. Data was taken
for 11 months starting from December 2006 to October 2007.The research aimed
to identify the influencing factors of the river discharge which were decreasing
from time to time. Data was collected through the application of direct field
observation and literature study. Data on precipitation were gained from 4 stations.
The stations were located in Sumarorong, Mamasa, Minake, and Pana. Data
regarding the river discharge were taken from the office of The Water Source
Management in south Sulawesi Province. Meanwhile, data of land cover were
gained from GIS mapping taken in 1999 and 2003 as well as from Spot 4 in 2007.
Data were analyzed by regression linear model to identify the effect of
independent variable to dependent variable.The results of the research show that
the changes in river discharge fluctuation were influenced by precipitation and land
cover factor. The dominant factor that influenced river discharge fluctuation were
conifers and wide leaf type of vegetations.
Key words: watershed, influencing, fluctuation
PENDAHULUAN
Daerah
aliran
sungai
merupakan daerah yang dibatasi
oleh
pemisah
topografi
yang
merupakan daerah tangkapan air
(catchment area) memiliki fungsi
menerima,
menampung
dan
mengalirkan air ke laut melalui
sungai utama. Daerah aliran sungai
mempunyai manfaat sangat penting
bagi kelangsungan hidup manusia,
tumbuhan dan hewan di sekitarnya.
Bertambahnya
jumlah
penduduk mempengaruhi kondisi
sumberdaya hutan, tanah, dan air di
daerah aliran sungai (DAS). Kondisi
ini menunjukkan kecenderungan
yang semakin menurun disebabkan
terjadinya perusakan hutan oleh
adanya
aktivitas
perladangan
berpindah,
perambahan
hutan,
konversi
lahan menjadi
lahan
pertanian,
permukiman,
dan
perusakan-perusakan hutan lainnya.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187

Akibat adanya degradasi


hutan dan lahan ini, maka luas
vegetasi hutan efektif menjadi
semakin kecil, sehingga tidak dapat
lagi berfungsi sebagai sub sistem
perlindungan dalam sistem DAS
secara
keseluruhan.
Terjadinya
perubahan luas vegetasi hutan
sebagai akibat aktivitas tersebut di
atas membuat tanah hutan terbuka
yang
diperparah
dengan
penggembalaan liar sehingga tanah
memadat oleh adanya sedimen
menutupi pori-pori tanah akan
memperbesar limpasan permukaan,
memperkecil infiltrasi sehingga banjir
terjadi pada hampir setiap musim
hujan dan kekeringan terjadi pada
setiap musim kemarau. Limpasan
permukaan
yang
besar
menghanyutkan butir-butiran tanah
dan pencucian hara tanah lapisan
permukaan atas akibatnya tanah
menjadi kritis baik kimia maupun fisik
sehingga
daya
dukung
lahan
terhadap pertumbuhan di atasnya
menurun. Proses penghanyutan

175

butiran
tanah
oleh
limpasan
permukaan
menyebabkan
pendangkalan pada alur sungai,
bendung, bendungan, waduk, dan
saluran-saluran irigasi lainnya serta
muara-muara sungai bagian hilir.
Hilangnya luas vegetasi hutan
yang efektif
dapat menurunkan
evapotranspirasi, kelembaban tanah,
infiltrasi, dan memperbesar limpasan
permukaan.
Akibat
hal
itu
mempengaruhi kondisi hidrologi di
suatu DAS sehingga menimbulkan
pengaruh
kepada
karakteristik
fluktuasi debit aliran sungai yang
besar.
Akibat menurunnya kondisi
penutupan lahan vegetasi hutan
pada bagian hulu DAS Mamasa yang
saat ini perambahan hutan masih
berlangsung
hingga
penelitian
dilaksanakan telah menyebabkan
perubahan iklim terutama curah
hujan yang selama beberapa tahun
terakhir
nampak
cenderung
berfluktuasi.
Disamping
itu,
perubahan temperatur pada DAS
Mamasa
cukup
signifikan,
menyebabkan kondisi iklim mulai
terganggu.
Beberapa tahun terakhir ini
fungsi hidrologis DAS Mamasa
bagian hulu cenderung menurun.
Pertambahan
luas
keberhasilan
upaya reboisasi dan rehabilitasi
lahan tidak dapat mengimbangi
pertambahan luas kerusakan lahan
yang menjadi lahan kritis. Tingginya
laju erosi dan sedimentasi dari
daerah
bagian
hulu
telah
menyebabkan berkurangnya umur
pakai berbagai bangunan pengendali
sedimen karena telah penuh dengan
sedimen.
Berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka masalah penelitian ini
dapat dirumuskan
: Faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi debit
sungai Mamasa yang cenderung
menurun dari tahun ke tahun ?

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
DAS Mamasa Kabupaten Mamasa
Sulawesi Barat. Pengambilan data
berlangsung selama 11 bulan yaitu
mulai bulan Desember 2006 sampai
dengan Oktober 2007.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
1. Kertas/tally sheet untuk tempat
mencatat data primer dan data
sekunder
2. Ring sampel untuk mengambil
sampel tanah
3. Pulpen dan pencil untuk alat tulis
menulis
4. Dan lain-lain
Sedangkan peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Komputer + Soft Ware Sig (Arc
Info, Arcview) 1 unit
1. Peta Digital Citra Landsat Path
Row 114-61 dan 114-62 tahun
1999, 2000, 2003, dan Peta
Digital Spot 4 tahun 2007
2. Peta Digital RBI (Rupa Bumi
Indonesia) Lembar
2012-22
Mamasa, 2012-54 Sumarorong,
2012-52
Polewali,
2012-61
Karawa
Dan
2012-33
Kassa/Lampa
3. Peta Kelas Lereng Propinsi
Sulawesi Selatan
4. Peta Paduserasi TGHK dengan
RTRWP
6.
Peta Jenis Tanah, Lembaga
Penelitian Bogor
7. Current meter untuk mengukur
debit aliran sungai
8. Laboratorium tanah Fakultas
Pertanian dan Kehutanan Unhas
9. Camera digital untuk dokumentasi.
10.GPS untuk mengukur posisi
koordinat di lapangan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187

176

Metode Pengambilan Data


Curah Hujan
Data curah hujan diperoleh dari
4 stasiun pengukur curah hujan
tersebar pada Stasiun penakar curah
hujan Sumarorong, Stasiun Mamasa,
Stasiun Minake dan Stasiun Pana.
Data curah hujan yang telah
diukur oleh Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) Kabupaten Maros
(2007). Stasiun pengukur curah
hujan ditempatkan dengan metode
Polygon Tiessen yaitu masingmasing stasiun ditarik garis lurus
menghubungkan
antara
stasiun
terdekat satu terhadap yang lain.
Setelah
menarik
garis
lurus
kemudian membagi dua garis lurus
tersebut menjadi dua yang sama
jaraknya, dan demikian pula pada
stasiun yang lainnya. Sehingga
stasiun
Sumarorong
mewakili
mewakili
Sungai
Sumarorong,
stasiun Mamasa mewakili Sungai
Bue dan Sungai Tetean, stasiun
Minake mewakili Sungai Miwah.
Penutupan Lahan
Penafsiran Peta Citra Landsat
Pengumpulan
data
luas
penutupan lahan diperoleh dari hasil
penafsiran peta citra landsat 1999
dan 2002 sebagai dasar kemudian
diinterpolasi ke tahun 1993 dan
2005. Mekanisme interpolasi peta
adalah penafsiran peta citra landsat
1999 dan 2002 sebagai dasar
kemudian dioverlay dengan peta land
use DAS Mamasa, peta rupa bumi,
peta topografi, peta tanah, dan peta
curah hujan. Teknik interpolasi
adalah mendeliniasi batas kawasan
hutan dengan bantuan komputer
program arcview.
Observasi Lapangan
1Pengamatan Penutupan Lahan
Observasi lapangan dilakukan
di Kecamatan Mamasa, Kecamatan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187

Sumarorong, Kecamatan Messawa,


dan PLTA Bakaru. Kegiatan pada
observasi lapangan ini adalah
mengamati
keadaan
penutupan
lahan, topografi (panjang dan
kelerengan), kondisi fisik tanah,
pengambilan
sampel
tanah,
pengukuran debit aliran sungai dan
pengambilan posisi koordinat pada
beberapa bagian vegetasi hutan
bagian
hulu
DAS
Mamasa.
Kemudian
menghitung
indeks
penutupan
lahan
dengan
membandingkan
luas
lahan
bervegetasi permanen dengan luas
DAS Mamasa.
Analisis Data
Curah Hujan
Jumlah Curah Hujan
Data jumlah curah hujan yang
diperoleh dari stasiun penakar curah
hujan Sumarorong, stasiun Mamasa,
stasiun Minake, dan Pana, kemudian
dianalisis pengaruhnya terhadap
fluktuasi
debit
sungai
dengan
menggunakan
regresi
linier
sederhana yaitu :
Y=a+bX+ e
Penutupan Lahan
Faktor penutupan lahan yang
dipertimbangkan adalah perubahan
luas penutupan lahan akibat alih
guna lahan dari lahan hutan menjadi
lahan pertanian, perkebunan dan
lahan lainnya yang terjadi selama 10
tahun. Data perubahan luas tutupan
lahan diperoleh dari data empiris
selama 10 tahun yaitu dari tahun
1996-2005.
Data luas vegetasi hutan yang
diperoleh dari penafsiran peta Citra
Landsat 1999 dan 2002 yang telah
diinterpolasi selama 10 tahun
kemudian dianalisis pengaruhnya
terhadap fluktuasi debit sungai
dengan menggunakan regeresi linier
sederhana yaitu :
Y=a+bX+ e

177

HASILPENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Mempelajari ekosistem DAS,
dapat diklasifikasikan menjadi daerah
hulu, tengah dan hilir. DAS bagian
hulu dicirikan sebagai daerah
konservasi,
DAS
bagian
hilir
merupakan daerah pemanfaatan.
DAS bagian hulu mempunyai arti
penting
terutama
dari
segi
perlindungan fungsi tata air, karena
itu setiap terjadinya kegiatan di
daerah hulu akan menimbulkan
dampak di daerah hilir dalam bentuk
perubahan fluktuasi debit dan
transport sedimen serta material
terlarut dalam sistem aliran airnya.
Dengan perkataan lain ekosistem
DAS, bagian hulu mempunyai fungsi
perlindungan terhadap keseluruhan
DAS. Gambaran keterkaitan secara
menyeluruh dalam pengelolaan DAS,
terlebih dahulu diperlukan batasanbatasan mengenai DAS berdasarkan
fungsi, yaitu pertama DAS bagian
hulu
didasarkan
pada
fungsi
konservasi yang dikelola untuk
mempertahankan kondisi lingkungan
DAS agar tidak terdegradasi, yang
antara lain dapat diindikasikan dari
kondisi tutupan vegetasi lahan DAS,
kualitas air, kemampuan menyimpan
air (debit), dan curah hujan. Kedua
DAS bagian tengah didasarkan pada
fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan
manfaat bagi kepentingan sosial dan
ekonomi, yang antara lain dapat
diindikasikan dari kuantitas air,
kualitas
air,
kemampuan
menyalurkan air, dan ketinggian
muka air tanah, serta terkait pada
prasarana
pengairan
seperti
pengelolaan sungai, waduk, dan
danau. Ketiga DAS bagian hilir
didasarkan pada fungsi pemanfaatan
air sungai yang dikelola untuk dapat
memberikan
manfaat
bagi
kepentingan sosial dan ekonomi,
yang diindikasikan melalui kuantitas
dan
kualitas
air,
kemampuan
menyalurkan air, ketinggian curah
hujan, dan terkait untuk kebutuhan

pertanian,
air
bersih,
serta
pengelolaan air limbah (Direktorat
Kehutanan dan Sumberdaya Air,
2006).
Karakteristik
DAS
dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu 1) faktor lahan (ground factor),
yang meliputi topografi, tanah,
geologi, geomorfologi, 2) vegetasi
dan penggunaan lahan (Haeruman,
1994).
Topografi permukaan atau
bentuk lahan mempengaruhi aliran
permukaan (run off) dan aliran air
bumi. Aliran permukaan (surface
runoff)
meningkat
dengan
meningkatnya
lereng.
Tanah,
geologi, geomorfologi dari suatu
DAS, berfungsi sebagai kontrol
terhadap besar kecilnya infiltrasi dan
kapasitas menahan air permukaan
(Haeruman, 1994).
Menurut
Seyhan
(1997),
sistem DAS (watershed system)
dapat diamati melalui tiga tahap
utama yaitu : 1) input (curah hujan),
2) sistem struktur kerja dalam DAS,
3) output (limpasan/runoff). Dalam
hubungannya
dengan
sistem
hidrologi,
DAS
mempunyai
karakteristik
spesifik
yang
berhubungan
dengan
keadaan
faktor-faktor fisik biologisnya seperti
curah
hujan,
evapotranspirasi,
infiltrasi,
perkolasi,
limpasan
permukaan, kandungan air tanah,
dan aliran sungai.
Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas, penulis tertarik
melakukan
penelitian
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi debit aliran sungai
Mamasa
yang
cenderung
berfluktuasi menuun dari tahun ke
tahun.
Curah Hujan
Berdasarkan hasil pengamatan
curah hujan dan debit sungai di
lapangan serta hasil pengukuran
curah hujan serta debit sungai
tahunan oleh Dinas Pengelolaan
Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187

178

Selatan, curah hujan dan debit


sungai diperoleh sebagai data
empiris (time series) selama 32
tahun pada stasiun penakar curah
hujan Sumarorong disajikan pada
Tabel 1.
Daerah Aliran Sungai (DAS)
secara umum didefinisikan sebagai
suatu hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pembatas topografi
berupa
punggung
bukit
yang
menerima, mengumpulkan air hujan,
sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak
sungai dan keluar pada sungai
utama ke laut atau danau. Linsley
(1980) menyebut DAS sebagai A
river of drainage basin in the entire
area drained by a stream or system
of connecting streams such that all
stream flow originating in the area
discharged through a single outlet
Definisi
di
atas,
dapat
dikemukakan
bahwa
DAS
merupakan ekosistem, dimana unsur
organisme dan lingkungan biofisik
serta unsur kimia berinteraksi secara
dinamis dan di dalamnya terdapat
keseimbangan inflow dan outflow
dari material dan energi. Selain itu
pengelolaan DAS dapat disebutkan
merupakan
suatu
bentuk

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187

pengembangan
wilayah
yang
menempatkan DAS sebagai suatu
unit pengelolaan sumber daya alam
(SDA) yang secara umum untuk
mencapai
tujuan
peningkatan
produksi pertanian dan kehutanan
yang optimum dan berkelanjutan
(lestari) dengan upaya menekan
kerusakan seminimum mungkin agar
distribusi aliran air sungai yang
berasal dari DAS dapat merata
sepanjang tahun.
Data
debit
sungai
yang
diperoleh
selain
dari
hasil
pengukuran oleh Dinas Pengelolaan
Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi
Selatan yang diukur pada stasiun
AWLR
Sikuku
Kecamatan
Sumarorong,
dilakukan
pula
pengukuran debit secara langsung di
lapangan terutama pada setiap anak
sungai yang mengalir ke sungai
utama
Mamasa
sebagai
perbandingan. Data curah hujan dan
debit tahunan dipasangkan untuk
dianalisis hubungan curah hujan
tersebut dengan fluktuasi debit
sungai selama masa periode 32
tahun mulai tahun 1975 sampai
dengan tahun 2006 sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.

179

Tabel 1. Data curah hujan dan debit sungai Mamasa


Tahun

C.Hujan Rata-rata (mm/Thn)

Debit Rata-rata/Thn (m3/dtk)

1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006

168,8
68,8
247,89
168,64
92,82
98,27
81,80
140,75
80,20
159,20
61,00
56,83
145,83
55,00
218,83
258,75
380,82
60,50
291,42
299,50
312,83
301,45
178,50
351,25
302,42
264,08
257,58
223,45
96,17
282,00
179,88
119,00

45,20
23,34
60,12
44,08
26,23
27,60
25,40
39,23
23,10
40,12
17,50
10,20
54,00
24,30
98,00
73,12
112,00
21,20
24,30
56,70
39,80
45,50
23,00
56,00
49,69
24,30
44,94
41,96
27,21
52,41
22,47
35,41

Sumber : Dinas PSDA Sul-Sel, 2007


Tabel 1 di atas menunjukkan
bahwa curah hujan terendah pada
periode tahun 1975 - 1988, dan
periode waktu curah hujan tertinggi
pada 1991-2004. Dan curah hujan
menurun pada periode tahun 20042006. Debit sungai cenderung

mengikuti dinamika curah


Debit sungai tertinggi pada
1991 dan terendah tahun
Untuk lebih jelas, hubungan
hujan dan debit sungai dapat
Anova pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Curah Hujan dan Debit


Model
Sum of
Mean
Squares
Df
Square
1
Regression
6548,831
1
6548,831
Residual
8945,134
30
298,171
Total
15493,965
31
Sumber : Pengolahan data primer, 2007.
Tabel 2 di atas menunjukkan
bahwa F hitung 21,963 lebih besar
dari F tabel 4,17 pada taraf
kepercayaan 95%. Hal ini berarti

hujan.
tahun
1986.
curah
dilihat

F
21,963

Sig.
,000(a)

bahwa curah hujan mempunyai


hubungan
yang
signifikan
berpengaruh terhadap perubahan
fluktuasi debit sungai Mamasa.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187

180

Curah Hujan dan Debit Tahunan


400,000
350,000

C.Hjn/Debit

300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
0,000
75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06

Tahun

Gambar 1. Hubungan Curah Hujan dengan Debit


Gambar 1 di atas menunjukkan
bahwa curah hujan berfluktuasi mulai
tahun 1975 kemudian menurun tahun
1976 selanjutnya naik lagi tahun
1977 dan 1978, kemudian turun lagi
hingga tahun 1980 dan 1981. Tahun
1991 curah hujan meningkat drastis
hingga tahun 1998. Grafik bagian
atas menunjukkan curah hujan yang

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187

semakin meningkat dari tahun ke


tahun, demikian pula grafik bagian
bawah menunjukkan debit yang
cenderung mengikuti grafik hidrograf
curah hujan. Untuk lebih jelas,
penyebaran curah hujan dan debit
sungai disajikan pada Gambar 2 di
bawah ini.

181

Sebaran Curah Hujan dan Debit Tahunan

Curah Hujan

450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0,000

y = 13,55409+0,147951X
R2 = 0,650139

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

Debit Sungai

Gambar 2. Hubungan curah hujan dengan debit sungai


Penutupan Lahan

literatur, luas penutupan lahan dan


debit sungai diperoleh sebagai data
empiris selama 10 tahun disajikan
pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil analisis peta


Citra Landsat, Spot 4, dan debit
sungai di lapangan serta studi
Tabel 3. Data luas penutupan lahan dan debit sungai di DAS Mamasa
Tahun

Debit Rata2 (m3/dtk)

Vegetasi Hutan (Ha)

1996
50.191,20
1997
54.154,85
1998
55.917,37
1999
57.959,66
2000
58.070,16
2001
56.070,16
2002
54.983,72
2003
59.805,33
2004
49.941,94
2005
59.986,10
2006
49.153,11
Rt-rt
55.113,62
Sumber : Analisis Peta Citra Landsat dan Spot 4, 2007
Tabel 3 di atas menunjukkan
adanya
fluktuasi
debit
sungai
mengikuti perubahan luas penutupan
lahan. Debit sungai tertinggi 63,33
m3/detik pada tahun 1996 dengan

63,33
41,78
44,62
49,67
33,67
44,97
41,94
27,21
52,39
22,57
35,41
42,21

penutupan lahan vegetasi hutan


seluas 50.191,20 ha. Dan debit
sungai terendah 22,57 m3/detik pada
luas penutupan lahan vegetasi hutan
59.986,10 ha tahun 2005.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187

182

Secara umum debit sungai


terlihat berfluktuasi menurun selama
10 tahun dari tahun 1996 hingga
2006. Dan rata-rata debit sungai
nampak
menurun
ketika
luas
penutupan lahan meningkat, dan
sebaliknya debit sungai meningkat
ketika
luas
penutupan
lahan
menurun.
Menurut
Soebarkah
(1978),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
besarnya
debit
sungai adalah:
a. Hujan, Intensitas hujan dan
lamanya
hujan
sangat
mempengaruhi besarnya infiltrasi,
aliran air tanah dan aliran permukaan
tanah. Lama waktu hujan sangat
penting dalam hubungannya dengan
lama waktu pengaliran air hujan
menuju ke sungai.
b. Topografi, terutama bentuk
dan
kemiringan
lereng
mempengaruhi
lama
waktu
mengalirnya air hujan melalui
permukaan tanah ke sungai dan
intensitas
banjirnya.
Daerah
permukaan
yang
miring
akan
menyebabkan aliran permukaan
yang
deras
dan
besar
bila
dibandingkan dengan daerah yang
agak datar.
c. Geologi,
karakteristik
geologi terutama jenis dan struktur
tanah sangat mempengaruhi bentuk
dan kepadatan drainase, sedangkan
karakteristik tanah mempengaruhi
kapasitas infiltrasi dan perkolasi.
Kepadatan drainase yang rendah
menunjukkan
secara
relatif
pengaliran melalui permukaan tanah
yang panjang menuju sungai,
kehilangan air yang besar sehingga
meningkat air sungai menjadi lambat.
d. Keadaan
TumbuhTumbuhan, akan mempengaruhi
besarnya
intersepsi,
transpirasi,
infiltrasi, dan perkolasi. Makin banyak
pohon akan menyebabkan makin
banyaknya air yang lenyap, baik
melalui evapotranspirasi maupun
melalui infiltrasi sehingga akan
mengurangi run off yang dapat
mempengaruhi debit sungai.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187

e. Manusia,
dengan
pembuatan
bangunan-bangunan
pembukaan
tanah
pertanian,
urbanisasi dapat merubah keadaan
sifat Daerah Aliran Sungai.
Menurut Kittredge dalam
Manan (1978), pengelolaan Daerah
Aliran Sungai adalah pengelolaan
sumberdaya alam yang dapat pulih
(renewable), seperti air, tanah dan
vegetasi dalam sebuah Daerah
Aliran
Sungai,
agar
dapat
mengalirkan air (water yield) untuk
kepentingan pertanian, perkebunan,
peternakan,
perikanan
dan
masyarakat yaitu air minum, industri,
irigasi dan tenaga listrik.
Menurut
Manan
dalam
Paembonan (1980), pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai
adalah
merupakan bagian dari manajemen
sumberdaya alam yang meliputi
pengurusan dan pengembangan dari
semua sumberdaya alam dari suatu
daerah aliran yang ditujukan kepada
produksi
dan
perlindungan
sumberdaya
air
termasuk
pengendalian erosi dan banjir serta
pemeliharaan nilai-nilai perairan.
Pengelolaan DAS adalah
upaya
manusia
dalam
mengendalikan hubungan timbal
balik antara sumberdaya alam
dengan manusia di dalam DAS dan
segala aktivitasnya, dengan tujuan
membina kelestarian dan keserasian
ekosistem
serta
meningkatkan
pemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia
secara
berkelanjutan
(Anonim, 2002).
Tujuan
utama
dari
pengelolaan daerah aliran sungai
adalah untuk mencapai suatu
keadaan daerah aliran sungai yang
menciptakan fungsi hutan sebagai
sistem
perlindungan
yang
memungkinkan terlaksananya tata air
yang baik, dalam hal ini hasil air yang
optimum
dipandang
dari
segi
kuantitas dan kualitas (Manan dalam
Paembonan (1980).
Agar tujuan dari pengelolaan
daerah aliran sungai dapat tercapai,
maka perlu diperhatikan komponen-

183

komponen yang mendukung daerah


aliran sungai terutama komponen
fisiknya (Manan dalam Paembonan
(1980).
Curah Hujan
Jumlah curah hujan yang
terdapat
pada
DAS
Mamasa
berdasarkan stasiun penakar curah
hujan wilayah yang terdiri dari 4
stasiun penakar curah hujan. Curah
hujan wilayah pada stasiun Mamasa
selama 10 tahun sebesar 1.790,47
mm/tahun dan stasiun penakar
Sumarorong selama 32 tahun
sebesar 2.962,37 mm/tahun dengan
rata-rata debit sungai 42,26 m3/dtk.
Berdasarkan jumlah curah hujan
wilayah tersebut dapat dikatakan
bahwa hampir setiap tahun curah
hujan di DAS Mamasa mengalami
fluktuasi dimana curah hujan tertinggi
pada periode tahun 1991-998, curah
hujan terendah pada periode tahun
1999-2005.
Debit sungai Mamasa terlihat
mengalami fluktuasi yang seiring dan
sejalan dengan curah hujan. Debit
tertinggi
pada
periode
tahun
1991-1999, dan debit terendah pada
periode
tahun
2000-2005.
Berdasarkan periode tahun tersebut
terlihat
bahwa
debit
sungai
berfluktuasi berdasarkan fluktuasi
besarnya curah hujan. Semakin
tinggi curah hujan, maka debit sungai
semakin tinggi pula yang cenderung
mengikuti dinamika curah hujan, dan
semakin rendah curah hujan, debit
sungai juga mengalami penurunan.
Hubungan curah hujan dengan
debit sungai berdasarkan analisis
regresi linear ditunjukkan oleh
analisis sidik ragam (Tabel 1) dengan
nilai F hitung 21,63 lebih besar
daripada F tabel 4,17 pada taraf
kepercayaan 95%. Berdasarkan nilai
F hitung tersebut menunjukkan
bahwa respon debit sungai terhadap
curah hujan sangat peka. Dari hasil
analisis grafik diperoleh kisaran
fluktuasi curah hujan identik fluktuasi

debit sungai. Dimana debit sungai


cenderung seiring dengan kurva
curah hujan.
Curah hujan wilayah yang
terdapat pada stasiun penakar
Sumarorong berdasarkan polygon
Thiessen
mewakili
daerah
Sumarorong dan sekitarnya. Debit
sungai tahunan diperoleh dari hasil
pengukuran oleh Dinas Pengelolaan
Sumberdaya Air (PSDA) Propinsi
Sulawesi Selatan pada daerah
Sikuku dimana terdapat Automatic
Water Level Record (AWLR) yang
mencatat tinggi muka air secara
automatis.
Curah hujan rata-rata bulanan
dan debit sungai rata-rata bulanan
periode
tahun
1975-2006
sebagaimana ditunjukkan Gambar 2,
memperlihatkan bahwa curah hujan
tinggi
pada
bulan
Nopember,
Desember, Januari, Februari, Maret,
April, Mei, dan Juni dengan curah
hujan tertinggi pada bulan April.
Sedangkan curah hujan rendah pada
bulan Agustus dan September, dan
curah hujan terendah pada bulan
Agustus. Debit sungai tampak
mengiringi fluktuasi curah hujan yang
seiring dengan kurva hidrograf curah
hujan. Curah hujan tinggi diikuti
dengan debit sungai yang tinggi, dan
curah hujan rendah diikuti dengan
debit yang rendah.
Curah
hujan
berhubungan
dengan karakteristik daerah aliran
sungai.
Lama
waktu
hujan,
intensitas, dan penyebaran hujan
mempengaruhi laju dan volume debit
sungai. Debit sungai total untuk
suatu
hujan
secara
langsung
berhubungan dengan lama waktu
hujan untuk intensitas hujan tertentu.
Infiltrasi akan berkurang pada tingkat
awal suatu kejadian hujan. Karena itu
hujan dengan waktu yang singkat
tidak banyak menghasilkan debit.
Pada hujan dengan intensitas yang
sama dan dengan waktu yang lebih
lama, akan menghasikan debit yang
lebih besar.
Intensitas
hujan
akan
mempengaruhi laju dan volume

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187

184

debit. Pada hujan dengan intensitas


tinggi, kapasitas infiltrasi akan
terlampaui dengan beda yang cukup
besar dibandingkan dengan hujan
yang kurang intensif. Total debit akan
lebih besar pada hujan intensif
meskipun curah hujan total untuk
kedua
hujan
tersebut
sama
besarnya. Namun demikian hujan
dengan intensitas tinggi dapat
menurunkan
infiltrasi
akibat
kerusakan struktur permukaan tanah
yang ditimbulkan oleh tenaga kinetis
hujan dan debit yang dihasilkan.
Laju dan volume debit sungai
dipengaruhi oleh penyebaran dan
intensitas curah hujan di DAS
Mamasa. Umumnya laju volume
terbesar debit terjadi ketika seluruh
DAS Mamasa turut berperan. Hujan
turun merata di seluruh wilayah DAS
Mamasa.
Debit sungai dapat berubahubah tergantung pada dua keadaan,
yaitu pertama adanya curah hujan,
dan kedua adanya evapotranspirasi.
Debit dapat berubah jika adanya
presipitasi
(curah
hujan)
dan
terjadinya
evapotranspirasi
dari
badan air, tanah, dan tanaman. Debit
sungai tidak pernah konstan namun
selalu berubah menurut iklim dan
keadaan biofisik DAS. Termasuk
sistem penggunaan lahan bagian
hulu dan jenis penutupan lahan
lainnya.
Penutupan Lahan
Berdasarkan hasil penelitian
melalui analisis peta citra landsat
tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000,
2001, 2002, 2003, 2004, 2005 dan
spot 4 tahun 2006 menunjukkan
terjadinya perubahan penutupan
lahan di DAS Mamasa.. Dan Tabel 3
menunjukkan adanya debit sungai
berfluktuasi menurut perbedaan luas
penutupan lahan vegetasi hutan.
Debit sungai tinggi pada periode
tahun 1996-2000 dan debit sungai
menurun pada periode tahun 20012006.

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187

Perubahan luas penutupan


lahan selama 10 tahun di DAS
Mamasa, yaitu sejak tahun 1996
berdasarkan analisis peta Citra
Landsat 1999 dan peta Spot 4 2006
setelah diinterpolasi, luas hutan
diketahui 50.191,20 ha yang terdiri
dari areal penggunaan lain 8.096 ha,
hutan lindung 26.661 ha dan hutan
produksi terbatas 8.897 ha, kebun
6,536 ha, Dan pada tahun 2006, luas
hutan 49.153 ha, telah terjadi
perubahan luas hutan dari 50.191 ha
menjadi 49.153 ha atau telah terjadi
penurunan luas sekitar 1.038 ha.
Luas areal semak belukar pada
tahun 1996 sekitar 258,83 ha dan
luas areal semak belukar pada tahun
2006
seluas 4.706,64 ha, telah
terjadi penambahan luas sekitar
4.447,81 ha. Areal kebun tahun 1996
seluas
6.536,22
ha
menjadi
5.032,42 ha, terjadi pengurangan
luas areal kebun seluas 1.503,80 ha.
Sebaliknya terjadi perubahan luas
areal sawah tahun 1996 seluas
5.050,39 ha menjadi 5.338,97 ha
atau terjadi penambahan luas areal
sawah 288,58 ha.
Areal pertanian lahan kering
mengalami perubahan luas yaitu
tahun
1996
seluas
29.048,77
menjadi 31.619,94 ha pada tahun
2006 atau telah terjadi penambahan
areal seluas 4.517,34 ha.
Adanya
perubahan
luas
penutupan lahan pada masingmasing type penutup lahan di atas
mempengaruhi fluktuasi debit sungai
DAS Mamasa. Berdasarkan hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
terdapat tiga periode waktu fluktuasi
debit sungai yaitu tahun 1975 -1991,
periode 1991-1999, dan 1999
2006. Pada tahun 1975 hingga 1990
debit sungai masih normal yaitu ratarata 48,63 m3/detik, namun tahun
1991 debit sungai meningkat 115,23
m3/detik hingga tahun 1999 debit
sebesar
102,78 m3/detik.
Kemudian debit sungai menurun 35
m3/detik pada
tahun 2006.
Penurunan luas kawasan hutan
terjadi sebagai akibat adanya

185

perambahan hutan dan perladangan


berpindah untuk dijadikan lahan
perkebunan kopi dan coklat, sawah,
pemukiman, serta lahan untuk
pembangunan daerah Kabupaten
Mamasa sebagai daerah kabupaten
yang baru lahir dan sedang
membangun daerahnya. Disamping
pembangunan daerah kabupaten
yang
umumnya
pengembangan
daerah
terkonsentrasi
pada
sepanjang daerah aliran Sungai
Mamasa karena daerah ibukota
Mamasa terletak pada bagian tengah
DAS Mamasa dan pengembangan
daerah
serta
pelebaran
jalan
kabupaten umumnya menggusur
bukit di sepanjang aliran sungai.
Sehingga sangat rawan terhadap
terjadinya erosi yang mengalir ke
badan sungai. Adanya sistem
pengolahan lahan pada daerah hulu
DAS yang tidak mengindahkan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan
air seperti pada daerah hulu
sebagian petani mengolah tanah
tidak disertai dengan tindakan
konservasi
lahan
menyebabkan
terjadinya erosi dan mengalir ke
Sungai Mamasa.
KESIMPULAN

1. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
debit
sungai
Mamasa adalah faktor curah
hujan dan penutupan lahan.
2. Perubahan luas vegetasi hutan
mempengaruhi debit sungai,
semakin luas vegetasi hutan,
debit sungai berkurang, dan
semakin sempit luas vegetasi
hutan, debit sungai meningkat.
3. Dalam pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Mamasa agar debit
sungai tidak banyak mengalami
penurunan
sebaiknya
perlu
pengaturan penutupan lahan
yang ada sekarang dengan jalan
mengurangi dan menambah luas
vegetasi hutan terutama memilih
jenis vegetasi daun lebar seperti
Cempaka, Tumaku, dan Liasa.

4. Perlu penelitian lanjutan tentang


kajian
faktor
lain
yang
mempengaruhi
debit
sungai
Mamasa seperti kebijakan dalam
rehabilitasi hutan dan lahan agar
disesuaikan dengan kondisi iklim
dan tempat tumbuh setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S., 1979. Pengawetan Tanah


dan Air. Departemen Ilmu
Tanah, Fakultas Pertanian,
Insitut Pertanian Bogor.
Asdak,

C., 2002. Hidrologi dan


Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai.
Gadjah
Mada
University
Press.
Yogyakarta.

Bermanakusumah, R., 1978. Erosi,


Penyebab
dan
Pengendaliannya. Fakultas
Pertanian
Universitas
Pajajaran, Bandung.
Badan

Penelitian
dan
Pengembangan
Daerah,
2005. Kondisi Eksisting DAM
Bakaru
Terhadap
Ketersediaan Energi Listrik di
Sulawesi Selatan. Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan.

Departemen
Kehutanan.
2006.
Glossary
Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kehutanan.
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan Teknologi
Pengelolaan DAS Indonesia
Bagian Timur
Haeruman, H. 1994. Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Lokakarya Pengelolaan DAS
Terpadu, Cisarua. Bogor.
Hairiah, K, ;Suprayogo, D, ;Widianto ;
Berlian
;
Suhara,

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187

186

E.;Mardiastuning,
A.;Widodo, H.R,;Prayogo, C.
dan S.Rahayu. 2004. Alih
Guna Lahan Hutan Menjadi
Lahan Agroforestry Berbasis
Kopi.
Lee, R., 1980. Forest Hidrology.
Columbia University Press,
New
York/
Guildford,
Survey.
Linsley, Ray K.et.all. 1980. Applied
Hydrology. New Delhi: Tata
McGraw Hill Publication.
Co.
Manan, 1977. Pengaruh Hutan dan
Manajemen Daerah Aliran
Sungai.
Departemen
Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Paembonan, 1978. Kaidah dan
Pengertian
Dasar
Manajemen Daerah Aliran
Sungai.
Proceeding
Pertemuan
Diskusi
Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai, Direktorat Reboisasi
dan Rehabilitasi Lahan,
Jakarta.
_______, 1980. Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai . Sekolah
Pasca
Sarjana,
Insitut
Pertanian Bogor.
_______, 1983. Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai dan Pengaruh
Hutan. Fakultas Pertanian
Jurusan
Kehutanan,
Universitas
Hasanuddin,
Ujung Pandang.
Prasetyo,
L.B.
1999.
Modul
Praktikum Aplikasi Sistem
Informasi Geografis. Jurusan
Konservasi
Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan,
Institut
Pertanian
Bogor.
Bogor.
Soeranggadjiwa, M.H., M.R. Achlil,
A.
Mangundikoro,
dan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187

Djumrah,
1978.
Aspek
Institusi dalam Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Proceeding
Pertemuan
Diskusi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai, Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan, Jakarta.
Soerjono, 1978. Modus Pengelolaan
Daerah
Aliran
Sungai.
Lembaga Penelitian Hutan
Bogor, Bogot
Soerianegara, I. Dan A. Indrawan.
1978.
Pengelolaan
Sumberdaya Alam Bagian II.
FPS-IPB. Bogor.
Sosrodarsono, S., dan Takeda, 1978.
Hidrologi untuk Pengairan.
PT.
Pradnya
Paramita,
Jakarta.
Subarkah, I. 1978. Hidrologi untuk
Perencanaan Bangunan Air.
Penerbit
Idea
Dharma,
Bandung.
Soedarma, 1986. Elements of
Watershed
Management,
Direktorat
Penggunaan
Tanah. Jakarta.
Stalling,

J.H. 1957. Soil and


Improvetment. Practice Hall
Inc. Englawood Cliff. New
York.

Soenarmo, H. 1994. Penginderaan


Jarak Jauh untuk Metodologi
Oceanografi-Geofisika. Diktat
Kuliah Jurusan Geofisika dan
Meteorologi
Fakultas
Matematika
dan
Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut
Teknologi
Bandung.
Bandung.
Seyhan,
1997.
Dasar-Dasar
Hidrologi.
Translation
Copyright 1990 by Gadjah
Mada University Press P.O.
Box
14,
Bulaksumur,
Yogyakarta.

187

Diterima 23 Mei 2007


Asikin Muctar

Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan


Universitas Satria Makassar
Makassar/Indonesia. Alamat Rumah :
Nurdin Abdullah
Laboratorium Konservasi Tanah dan Air,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Kompleks Perumahan
Dosen Unhas, Blok HP : 0411-512255

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187

188

ANALISIS PEMBERDAYAAN RESORT CINTA RAJA


SEKSI KONSERVASI WILAYAH IV BESITANG
TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
The analysis of empowering the Cinta Raja Resort of Conservation Section IV,
Besitang, Leuser Mountain National Park
Sukardi
Abstract
Mount Leuser National Park (TN G. LEUSER-TNGL) is the oldest and the widest
national park in Indonesia. Nowadays, many problems such as illegal logging,
land enrichment by Acehs conflict refugees, have deteriorated most conservation
areas significantly. Social problems were identified as the impacts that need to be
specifically handled. Therefore, it is a need for TNGL office as the manager of the
site to re- plans its previous policies and programs which have been inapplicable
for present condition. One of the programs planned by TNGL was to establish a
mechanism where the resorts become a basis for future development of TNGL.
This was because the resorts had an important in communicating problems
occurred in the field due to its closeness to the area of problems. Cinta Raja
Resort is one of the resorts found in TNGL that needs to be reviewed related with
its problem complexities that could represent the situation of TNGL
Key words : Resort, Cinta Raja, TNGL, Empowerment, Supporting Capacity

PENDAHULUAN
Taman
Nasional
Gunung
Leuser adalah salah satu taman
nasional
terluas
di
Indonesia
sehingga tidak mungkin Balai Taman
Nasional Gunung Leuser sebagai
pengelola
melaksanakan
pemantauan secara menyeluruh
terhadap wilayah kerjanya. Oleh
karena itu di bentuk beberapa Seksi
Konservasi Wilayah yang menjadi
perpanjangan tangan Balai Taman
Nasional
Gunung
Leuser
dikeseluruhan
wilayahnya.
Agar
jangkauan Balai Taman Nasional
Gunung Leuser lebih nayata di
lapangan, maka dibentuk Resort
yang bertanggung jawab kepada
Seksi Konservasi Wilayah masingmasing. Keberadaan Resort juga
sebagai wakil Balai Taman Nasional
Gunung Leuser di lapangan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-198

diharapkan
mampu
mengatasi
kesenjangan dan menjadi jembatan
Balai dalam menyikapi persoalanpersoalan di lapangan. Diharapakan
keberadaan Resort akan membuat
kinerja Balai Taman Nasional
Gunung Leuser lebih efektif dan
efisien
Kinerja Resort yang baik akan
ditentukan oleh sejauh mana resort
itu sendiri mengejawantahkan tugas
dan fungsi pokok Balai Taman
Nasional Gunung Leuser. Jadi,
keberhasilan balai Taman Nasional
Gunung Leuser akan tercermin dari
keberhasilan
resort-resortnya.
Namun, resort-resort di Taman
Nasional Gunung Leuser belum
semuanya berfungsi sebagaimana
mestinya. Kalaupun ada hanya
beberapa saja dan itupun hanya
spesifik pada pengelolaan wisatanya.
Agar pemberdayaan resort bisa
berjalan sebagaimana mestinya, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan

189

sebagai daya dukung keberadaan


suatu resort. Daya dukung ini saling
bersinergi dimana satu dengan
lainnya saling terkait dan merupakan
suatu kesatuan. Adapun daya
dukung tersebut adalah lahan dan
hutan, masyarakat, sumber daya
manusia dan fasilitas di resort,
pranata sosial, kelembagaan serta
kebijakan yang ada. Keenam daya
dukung ini secara garis besar terbagi
atas tiga komponen utama yaitu
sumber daya alam, manusia dan
peraturan.
Berdasarkan
hal
tersebut,
keberadaan resort di Balai Taman
Nasional Gunung Leuser perlu dikaji
kembali guna membuat arah kerja
yang lebih baik melalui suatu
analisas pemberdayaan resort. Agar
kegiatan ini lebih efektif, resort yang
dikaji dibatasi pada satu resort saja
dan rencananya akan dilakukan di
Resort Cinta Raja Seksi Konservasi
Wilayah IV Besitang Taman Nasional
Gunung Leuser. Analisis ini akan
didasarkan pada enam daya dukung
yang telah disebutkan sebelumnya.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengetahui berbagai kendala dalam
daya dukung Pemberdayaan Resort
Cinta Raja sebagai salah satu resort
di Seksi Konservasi Wilayah IV
Besitang Taman Nasional Gunung
Leuser. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui berbagai daya dukung
bagi pemeberdayaan Resort Cinta
Raja di Seksi Konservasi Wilayah IV
Besitang Taman Nasional Gunung
Leuser. Hasil analisis ini diharapkan
menjadi bahan acuan analisis dan
informasi
untuk
pengembangan
resort-resort lain di wilayah Taman
Nasional Gunung Leuser.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Kegiatan ini dilaksanakan mulai
tanggal 24 Nopember 2005 sampai
18 Februari 2006 di Taman Nasional
Gunung Lauser.

Alat dan Bahan


Adapun alat yang akan
digunakan dalam kegiatan ini adalah
alat tulis menulis, tape recorder,
komputer dan kamera. Sedangkan
bahan-bahan berupa buku, kertas,
jurna, makalah dan data-data
sekunder lainnya yang berhubungan
dengan
kegiatan
yang
akan
dilakukan
Analisis Hasil
Pengamatan
dilakukan
terhadap berbagai aktifitas dan
keadaan di lokasi penelitian baik
lingkungan
perkampungan
dan
penduduk di sekitar kawasan TNGL.
Pengamatan
dilakukan
dengan
mengidentifikasi
potensi,
daya
dukung dan kegiatan Resort Cinta
Raja.
Setelah itu dilakukan
wawancara secara semi terstruktur
terhadap beberapa informan kunci
serta
beberapa
masyarakat
setempat.
Hasil
observasi
dan
wawancara merupakan data primer
yang
selanjutnya
diolah
dan
dianalisis untuk melihat seberapa
besar daya dukung yang ada bagi
pengembangan Resort Cinta Raja..
Hasil ini kemudian akan dibuat dalam
bentuk rancangan pemberdayaan
resort.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Resort Cinta Raja dan Wilayah
Kerja
Keberadaan wilayah kerja
yang jelas bagi suatu lembaga
seperti resort tentunya sangat
penting agar tumpang tindih dalam
pelaksanaan tugas di lapangan bisa
dihindari. Selain itu itu bisa
menghindarkan
konflik
intern
maupun
ekstern.
Namun,
berdasarkan hasil yang ditemukan di
lapangan
keberadaan
resort
Tangkahan
sebagai
pemekaran
wilayah resort Cinta Raja bisa
menjadi masalah apabila pihak

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193

190

TNGL tidak segera menetapkan


wilayah kerja di kedua resort
tersebut. Hal ini disebabkan batas
wilayah kerja keduanya belum jelas.
Resort Cinta Raja SKW IV
Besitang TNGL di tetapkan oleh
Kepala Balai TNGL dengan batas
wilayah kerja didasarkan pada batas
alam yaitu sungai serdang di bagian
utara dan sungai musam di bagian
selatan atau Patok TN 500 sampai
TN 1000 setelah di perbaharui.
Secara batas administrasi terdapat
tiga desa yang masuk wilayah kerja
resort yaitu Desa Sei Serdang, Desa
Namo Sialang dan Desa Sei Musam.
Ketiga desa tersebut
berbatasan
secara langsung dengan Taman
Nasional Gunung Leuser tanpa
adanya kawasan penyangga yang
memadai sehingga dapat menjadi
ancaman serius di masa sekarang
maupun masa datang apabila tidak
dikelola secara baik.
Beberapa Daya Dukung
Pemberdayaan Resort
Suatu lembaga atau organisasi
yang baik tentunya memerlukan daya
dukung dari berbagai aspek agar
kinerja bisa lebih efektif dan efisien.
Begitupula
dengan
keberadaan
resort Cinta Raja sebagai salah satu
resort di TNGL yang akan menjadi
salah satu resort base dengan
arahan
pengembangan
keparawisataan
bersama
resort
Tangkahan dan Bukit Lawang. Agar
Keberadaan resort bisa berfungsi
sebagamana
mestinya,
maka
beberapa daya dukung berikut ini
perlu diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan bagi pemberdayaan
resort Cinta Raja di masa datang.
Daya Dukung Lahan dan Hutan
Perkebunan kelapa sawit yang
telah berkembang sejak tahun 70-an
juga berpengaruh besar terhadap
laju kerusakan hutan di TNGL karena
banyak masyarakat pada saat itu
yang
menjual
tanahnya
ke
pengusaha sehingga lahan mereka

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193

semakin
sempit.
Kondisi
ini
diperparah oleh tidak berhasilnya
pengusaha-pengusaha
tersebut
mengangkat
perekonomian
masyarakat
setempat.
Otomatis
masyarakat sekitar resort Cinta Raja
memanfaatkan lahan-lahan yang
tersisa.
Keberadaan PTPN II sebagai
BUMN yang memiliki sebagian besar
lahan perkebunan di sekitar TNGL
termasuk di resort cinta raja tidak
banyak memberi kontribusi kepada
masyarakat. Asumsi awal sebelum
masuk ke resort Cinta Raja
masyarakat di sana dilibatkan dalam
pengelolaan perkebunan terutama
dalam pemanenan hasil perkebunan,
ternyata asumsi ini terbantahkan oleh
hasil
wawancara
dengan
masyarakat. Pihak PTPN memiliki
karyawan sendiri yang didatangkan
dari luar pada saat pemanenan,
bukan masyarakat yang bermukim
disekitar perkebunan tersebut.
Sebenarnya lahan perkebunan
PTPN II bisa dijadikan daya dukung
dalam mensejahterakan masyarakat
di wilayah resort Cinta Raja sehingga
mereka tidak berpikiran untuk
membuka lahan di hutan di mana
TNGL satu-satunya harapan mereka.
Pelibatan
masyarakat
dalam
pengelolaan perkebunan seperti
pemeliharaan dan pemanenan hasil
bisa
dijadikan
solusi
dalam
mengatasi
sempitnya
lahan
masyarakat yang terjepit oleh PTPN
II dan TNGL
Daya Dukung Masyarakat
Masyarakat di wilayah resort
Cinta Raja pada prinsipnya dari dulu
mengetahui
keberadaan
TNGL.
Kesadaran
ini
muncul
seiring
antusiasme para pengunjung akan
keaslian alam di sekitar mereka.
Selain itu, bencana yang melanda
berbagai daerah akibat kerusakan
hutannya hampir setiap saat mereka
saksikan dimedia televisi
dan
tentunya
mereka
tidak
ingin
mengalami
hal
yang
sama.

191

Kesadaran mereka untuk menjaga


keberadaan
hutan
disekitarnya
merupakan sinyal positif yang harus
disambut baik oleh pihak resort. Hal
ini menjadi daya dukung bagi
pemberdayaan resort Cinta Raja ke
depan.
Resort
harus
memiliki
program-program yang sifatnya lebih
partisipatif terutama dalam membina
masyarakat
agar
tetap
mempertahankan kebiasaan mereka
menjaga hutan.

Kondisi seperti itu merupakan


gambaran umum kinerja di resort
Cinta Raja. Keberadaan pegawai
yang tidak jelas membuat jalannya
roda organisasi di resort tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Bagaimana mungkin mengharapkan
resort bisa menjadi base bagi TNGL
bila orang-orang di resort sendiri
tidak mendukung secara aktif. Hal ini
bisa menjadi citra buruk bagi
masyarakat sekitar TNGL akan
kinerja TNGL secara keseluruhan.

Daya Dukung Pranata Sosial


Mengenai aturan pengelolaan
hutan secara tradisional tidak
ditemukan diwilayah resort Cinta
Raja,
namun
pengetahuan
masyarakat terhadap manfaat hutan
secara fisik seperti hutan sebagai
tempat mengambil kayu, sumber
bahan makanan terutama buah,
obat-obatan dan lainnya sudah ada
sejak dulu. Bahkan ada sebagian
masyarakat yang punya budaya
koleksi lahan untuk kepentingan
warisan bagi anak cucunya. Hal ini
tentunya bisa menjadi ancaman
tersendiri bagi pihak resort di masa
datang.
Daya Dukung Sumber Daya
Manusia dan Fasilitas di Resort
SDM di resort Cinta Raja masih
tergolong minim baik dari segi
kuantitas
maupun
kualitas.
Berdasarkan SK Kepala Balai No PT
840 M/IV-T.1/Peg/2005 saat ini
hanya terdapat empat orang yang
ditempatkan di resort Cinta Raja
dengan spesifikasi masing-masing.
Jumlah ini tentunya belum cukup bila
dibandingkan dengan luasan wilayah
kerja, sementara mobilitas mereka
sangat diperlukan dalam memantau
keadaan kawasan hutan di wilayah
kerjanya yang setiap saat bisa
berubah Namun, sampai laporan ini
di buat penulis belum pernah
bertemu langsung dengan para
pegawai resort yang tercantum
dalam SK tersebut.

Daya Dukung Kelembagaan lain


Sebagai bagian dari TNGL,
resort
Cinta
Raja seharusnya
memiliki lembaga mitra baik dari
dalam wilayah kerja maupun dari
luar. Mitra tersebut dapat diajak
bekerjasama dalam memajukan dan
memberdayakan resort yang akan
diarahkan
menjadi
kawasan
ekowisata.
Lembaga-lembaga
kepariwisataan baik di pemerintahan
daerah, pusat maupun LSM-LSM
bisa memberi dukungan dalam
mengembangkan potensi-potensi di
wilayah kerjanya. Lembaga-lembaga
ini sangat penting baik sebagai alat
promosi maupun dalam melakukan
pendampingan pengelolaan suatu
kawasan wisata dengan konsep
pemberdayaan
masyarakat
sekitarnya.
Sementara
itu
keterlibatan
lembaga-lembaga
lain
secara
ekstern belum banyak di resort Cinta
Raja, padahal dulunya kawasan
ekowisata tangkahan sebagai bagian
resort Cinta Raja saat ini banyak
mendapat perhatian dari berbagai
lembaga lokal, nasional maupun
internasional baik pada tingkat
pemerintah
maupun
lembaga
swadaya masyarakat. Tentunya ini
menjadi sebuah tantangan bagi
resort Cinta Raja di masa datang
dalam mewujudkan suatu kawasan
wisata yang bisa diperhitungkan

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193

192

Daya Dukung Kebijakan


Kebijakan
TNGL
untuk
menjadikan resortnya sebagai basis
di
lapangan
dalam
menyelenggarakan tugas pokok dan
fungsinya merupakan salah satu
kebijakan khusus. Kebijakan ini
dibuat sebagai upaya menguatkan
kembali eksistensi resort sebagai unit
terkecil di TNGL. Sebagaimana
diketahui keberadaan resort di
berbagai wilayah di TNGL belum
semuanya berfungsi sebagaimana
mestinya, sehingga dianggap perlu
membuat
kebijakan
dengan
penekanan
penguatan
dan
pemberdayaan resort
Kebijakan
tersebut
harus
disusun
secara
aspiratif
dan
partisipatif agar bisa dijalankan
dengan baik di tingkat resort sebagai
pelaksana. Proses pembuatannya
tentunya melibatkan berbagai pihak
yang
berkepentingan
terutama
masyarakat sekitar sebagai penerima
dampak langsung suatu kebijakan.
Kebijkan juga nantinya disesuaikan
dengan kondisi terkini resort di mana
kebijakan
tersebut
akan
dilaksanakan.
Meskipun demikian, isu atas
rencana resort based telah menjadi
wacana di TNGL, namun di tingkat
resort sendiri belum tersosialisasi
dengan baik. Hal ini diketahui
berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara beberapa informan kunci
di resort Cinta Raja merasa belum
mengetahui sehingga kesiapan untuk
menyongsongnya belum ada sama
sekali.
KESIMPULAN
1. Belum ada penetapan batas
wilayah kerja resort Cinta Raja
secara resmi. Hal ini sangat
penting
setelah
adanya
penetapan resort Tangkahan di
mana resort tersebut sebelumnya
merupakan wilayah kerja resort
Cinta Raja, apalagi selama ini
wilayah kerja di resort hanya

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193

didasarkan pada pal batas


tertentu
di
lapangan
dan
diketahui secara tersirat saja.
2. Beberapa daya dukung yang
diharapkan menjadi pilar
pemberdayaan resort belum
semua berjalan sebagaimana
mestinya.
Adapun
daya
dukung tersebut adalah:
a. Lahan kurang mendukung
karena berada diantara
PTPN II dan kawasan
TNGL sehingga tidak ada
jalan bagi masyarakat
untuk
menambah
lahannya. Sementara itu
hutan yang berada di
kawasan TNGL sebagian
sudah rusak dan sebagian
lain masih baik dimana
kondisi alamnya dapat
dimanfaatkan
menjadi
Kawasan Ekowisata
b. Kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
arti
hutan telah ada, namun
mereka
bisa
menjadi
ancaman apabila kondisi
kesejahteraannya minim.
c. Tidak ada pranata sosial
secara spesifik dalam
pengelolaan hutan di
wilayah resort Cinta Raja,
namun pranata sosial
tentang tata pergaulan
akan sangat bermanfaat
apabila resort ini dijadikan
Kawasan Ekowisata.
d. Sumber Daya Manusia
masih kurang baik secara
kualitas dan kuantitas
dengan luasan wilayah
kerja resort. Fasilitas di
resort Cinta Raja juga
masih kurang memadai,
sehingga perlu perhatian
serius.
e. lembaga
lain
belum
banyak berperan di resort
Cinta Raja.
f. Rencana Balai TNGL
untuk menjadikan resort
sebagai basis TNGL di
lapangan menjadi salah

193

satu
kebijakan
yang
sangat mendukung untuk
penguatan
dan
pemberdayaan
resort
Cinta Raja di masa
datang
3. Pihak TNGL agar segera
menetapkan batas wilayah
resort Cinta Raja secara
resmi
4. Perlu adanya upaya nyata
dari berbagai pihak terutama
pihak pengambil kebijakan di
TNGL agar daya dukung di
atas bisa disempurnakan dan
dimanfaatkan
secara
masksimal sebagai bagian
yang tidak terpisah satu
dengan lainnya

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad., Sayed Muhadar., 1999.
Berjuang
Mempertahankan
Hutan : Kearifan Tradisional
Masyarakat Aceh Melestarikan
Ekosistem Leuser. Madani
Press, Jakarta.
PPL,

2001.
Sekilas
Tentang
Kawasan Ekosistem Leuser.
Unit
Manajemen
Leuser,
Medan
Susmianto.,
A.
,2000.
Sistem
Perlindungan
Kawasan
Konservasi Contoh Masalah
Taman
Nasional
Gunung
Leuser) Prosiding Seminar :
Peranan Kehutanan dalam
Penyelenggaraan
Otonomi
Daerah di Sumatera Utara.
Balai
Penelitian
dan
Pengembangan
Kehutanan
Pematang Siantar, Siantar.
Wiratno, dkk. 2001. Berkaca di
Cermin Retak. Forest Press,
The
Gibbon
Foundation
Indonesia,
Departemen
Kehutanan,
PILI-NGO
Movement. Jakarta.

Diterima 10 April 2007


Sukardi
BP DAS Wampu Seipular Sumatera Utara
Alamat Rumah : Jl. Sisisngamaharaja Km 5.5
N0 14 Marindal/Indonesia. HP : 08192704035

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193

146

Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193

Anda mungkin juga menyukai