Anda di halaman 1dari 65

ISSN : 1829-6327

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol. 8 No. 3, Juli 2011


Jurnal Penelitian Hutan Tanaman adalah media resmi publikasi ilmiah hasil penelitian dalam bidang hutan tanaman dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan dengan frekuensi terbit lima kali setahun Penanggung Jawab Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota Dr. Dra. Tati Rostiwati, M.Si (Silvikultur, Ekofisiologi dan Perbenihan Tanaman Hutan) Anggota Prof. Ris. Dr. Ir. Hendi Suhaendi, MS (Pemuliaan Pohon) Dr. Ir. Cahyono Agus D., M.Agr.Sc (Ilmu Tanah dan Silvikultur) Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc (Rehabilitasi dan Mikoriza) Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS (Hama dan Penyakit Tanaman Hutan) Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc (Genetika dan Pemuliaan Tanaman Hutan) Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. (Statistik dan Biometrika) Dr. Tukirin Partomihardjo (Ekologi dan Pengelolaan Lingkungan Hutan) Dr. Ir. Lailan Syaufina, MS (Perlindungan Hutan dan Kebakaran Hutan) Dr. Ir. Tania June, M.Sc (Pengelolaan Lingkungan dan Perubahan Iklim) Dr. Ir. Nasrullah, M.Sc (Statistik) Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS (Penilaian Hutan) Mitra Bestari Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA (lnstitut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero S., M.Agr.Sc (Kebakaran Hutan) Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS (lnstitut Pertanian Bogor) Dr. Ir. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc (SEAMEO - BIOTROP) Dr. Ir. Endang Murniati, MS (Institut Pertanian Bogor) Ir. Nina Mindawati, M.Si (Silvikultur) Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS (Hidrologi dan Konservasi Tanah dan Air) Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr. (lnstitut Pertanian Bogor) Dr. Ir. Supriyanto, M.Sc (lnstitut Pertanian Bogor, SEAMEO-BIOTROP) Sekretariat Redaksi Ketua Merangkap Anggota Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Anggota Kepala Sub Bidang Data, Informasi dan Diseminasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Kristina Yuniati, S.Hut Rohmah Pari, S.Hut Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Terbit pertama kali September 1996 dengan judul Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon (ISSN 1410-1165), sejak April 2003 berganti judul menjadi Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan (ISSN 1693-7147), dan sejak April 2004 berganti judul menjadi Jurnal Penelitian Hutan Tanaman (ISSN 1829-6327) Alamat Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor Po. Box. 331 Telp. (0251) 8631238 Fax. (0251) 7520005 E-mail: pp_p3ht@yahoo.co.id, Website: www.forplan.or.id

PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN

1. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman adalah publikasi ilmiah resmi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Jurnal ini menerbitkan tulisan hasil penelitian berbagai aspek hutan tanaman seperti perbenihan, pembibitan, teknik silvikultur, pemuliaan pohon, perlindungan hutan tanaman (hama/penyakit, gulma, kebakaran), biometrika, silvikultur, sosial ekonomi, dan pengelolaan lingkungan hutan tanaman. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 12 dan jarak 2 (dua) spasi pada kertas A4 putih pada satu permukaan dan disertai file elektroniknya. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm. Naskah sebanyak 2 (dua) rangkap dikirimkan kepada Sekretariat Redaksi Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. File elektronik dikirim ke Sekretariat Redaksi dalam bentuk CD atau dikirim melalui email ke alamat : pp_p3ht@yahoo.co.id atau pusprohut@gmail.com. 3. Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan belum pernah dimuat/diterbitkan dalam publikasi manapun, dengan cara mengisi blanko pernyataan yang dapat diperoleh di Sekretariat Redaksi Publikasi Pusprohut, atau download di website Pusprohut : www.forplan.or.id. Pengajuan naskah oleh penulis yang berasal dari instansi/institusi (bukan perorangan) di luar Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan harus disertai dengan surat pengantar dari instansi/institusinya. 4. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dan diusahakan tidak lebih dari 10 kata serta harus mencerminkan isi tulisan. Di bawah judul ditulis terjemahannya dalam bahasa Inggris yang tercetak dengan huruf kecil dan miring. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap instansi/institusi. 5. Isi Naskah terdiri atas: ABSTRACT dengan Keywords dan ABSTRAK dengan Kata Kunci, PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, PERSANTUNAN (kalau ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (kalau ada). 5. ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, masing-masing tidak lebih dari 200 kata dalam satu paragraf. Isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan secara kuantitatif. Bahasa Inggris ditulis dengan huruf kecil miring dan bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 5 kata. 7. PENDAHULUAN berisi : latar belakang/masalah, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada). 8. BAHAN DAN METODE berisi : Waktu dan Tempat, Bahan dan Alat, Metode, Rancangan Penelitian (kalau ada),Analisa Data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas. 9. HASILDAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan Pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu. 10. Tabel diberi nomor, judul tabel dan keterangan yang diperlukan. Judul, isi dan keterangan tabel ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris secara jelas dan singkat. Judul tabel diletakkan di atas tabel. 11. Gambar, Grafik dan Foto harus jelas dan dibuat kontras, diberi judul dan keterangan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Judul gambar diberi nomor dan diletakkan di bawah gambar. Foto renik atau peta harus diberi skala. 12. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas (dalam bentuk pointers bernomor), padat, serta diusahakan dinyatakan secara kuantitatif. 13. PERSANTUNAN berupa ucapan terima kasih kepada orang /instansi/organisasi yang benar-benar membantu. 14. DAFTAR PUSTAKA (minimal 15 pustaka, dengan referensi yang berkualitas, dan dianjurkan 10 tahun terakhir), disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun terbit, seperti contoh berikut :
Departemen Kehutanan. 2005. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing Co. Belmont. U.S. Census Bureau. American Factfinder : Facts About My Community. [Online]17 Agustus 2001.http://factfinder.census.gov/servlet/Basicfactervlet>

Terakreditasi dengan nilai A Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 816/D/2009 (182/AU1/P2MBI/08/2009) Accredited A by the Indonesian Institute of Sciences No. 816/D/2009 (182/AU1/P2MBI/08/2009)

15. Dewan Redaksi dan Sekretariat Redaksi berhak mengubah dan memperbaiki isi naskah sepanjang tidak mengubah substansi tulisan. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis.

ISSN : 1829-6327

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN


Vol. 8 No. 3, Juli 2011
DAFTAR ISI

1.

STUDI EKOLOGI TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp) DALAM KOMUNITAS ALAMI DI PULAU SERAM, MALUKU Ecology Study of Sago Palm (Metroxylon spp) in the Natural Communityat the Seram Island, Maluku Samin Botanri, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim, dan/and Lilik B. Prasetyo 135-145 TEKNIK PENYIMPANAN SEMAI KAYU BAWANG (Dysoxylum moliscimum) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGHAMBAT TUMBUH DAN PENGATURAN NAUNGAN Storage Techniques of Kayu Bawang (Dysoxylum moliscimum) Seedlings Through Growth Inhibitor Treatments and Shield Prerequisites 147-153 Dida Syamsuwida dan/and AamAminah TIPOLOGI DESABERDASARKAN VARIABELPENCIRI HUTAN RAKYAT Village Typologies Analysis Based on Characteristic Variables of Private Forest Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya, Hardjanto, dan/and Herry 155-168 Purnomo HUBUNGAN ANTAR ORGANISASI DALAM SISTEM PENGORGANISASIAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI INDONESIA Interorganizational Relationships in the Organizing System of Forest/Land Fire Control in Indonesia 169-177 Erly Sukrismanto, Hadi S.Alikodra, Bambang H. Saharjo, dan/and Priyadi Kardono PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KLON JATI (Tectona Grandis L.F) UMUR 3 TAHUN DI KHDTK KEMAMPO, SUMATERASELATAN Genetic Gains on Clonal Test of Teak (Tectona grandis L. f) at 3 Years Old in KHDTK Kemampo, South Sumaterat 179-186 Agus Sofyan, Mohammad Na'iem, Sapto Indrioko KAJIAN WATER TABLE PADA SEMAI PEREPAT (Combretocarpus rotundatus Miq dan JELUTUNG (Dyera lowii Hook) DIINOKULASI Glomus sp 3 DI TANAH GAMBUT Study Of Water Table In Seedlings Of Perepat (Combretocarpus rotundatus Miq) and Jelutung (Dyera lowii Hook) Inoculated Glomus sp 3 In Peat Soil 187-196 Burhanuddin, Siti Kabirun, Bostang Radjagukguk, dan Sumardi

2.

3.

4.

5.

6.

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN ISSN 1829-6327 Vol. VIII No. 3, 2011

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF) 630*181 Samin Botanri (Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon), Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim (Departemen Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor) dan Lilik B. Prasetyo (Departemen KSH dan Ekowisata Fak. Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Studi Ekologi Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) dalam KomunitasAlami di Pulau Seram, Maluku J. Pen. Htn Tnm Vol. VIII No. 3, 2011 p:135-145 Sagu (Metroxylon spp) merupakan tumbuhan palem tropika basah, memiliki adaptasi kuat untuk tumbuh pada lahan marjinal seperti lahan tergenang air tawar, lahan gambut, dan air payau. Penelitian bertujuan : (1) melakukan analisis untuk menjelaskan sifat pertumbuhan sagu dalam komunitas alami, (2) mengungkapkan preferensi habitat tumbuhan sagu, (3) melakukan analisis untuk menjelaskan interaksi tumbuhan sagu dengan faktor lingkungan, dan (4) mengungkapkan potensi tegakan dan produksi pati sagu di Pulau Seram, Maluku. Penelitian berlangsung pada bulan Maret-Nopember 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur populasi sagu dalam komunitas alami mengikuti pola pertumbuhan muda dengan tingkat kematian pada fase semai sekitar 85 %. Di Pulau Seram terdapat lima jenis sagu yaitu tuni, makanaro, sylvestre, rotang, dan molat. Sagu tuni merupakan spesies dominan dengan penguasaan habitat mencapai 43,3 %. Spesies ini juga memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai tipe habitat. Dalam beradaptasi dengan kondisi habitat tergenang, perakaran sagu mengalami modifikasi arah pertumbuhan menuju permukaan air dengan jumlah yang lebih banyak. Dalam komunitas sagu terjadi asosiasi antarspesifik secara negatif dengan Jaccard indeks < 0,2. Variabel iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang memiliki peran kuat dalam pertumbuhan sagu masing-masing adalah intensitas cahaya surya mikro, kapasistas tukar kation (KTK), dan kandungan kalsium air. Di Pulau Seram terdapat potensi populasi rumpun sagu sekitar 3,2 juta rumpun dengan jumlah tegakan fase pohon mencapai 1,5 juta batang. Jenis sagu tuni dan sylvestre merupakan jenis sagu potensial dengan kapasitas produksi masing-masing 566,04 kg dan 560,68 kg/batang.. Kata kunci: Adaptasi, faktor lingkungan, Pulau Seram, tipe habitat, tumbuhan sagu UDC(OXDCF) 630*232.32 Dida Syamsuwida dan Aam Aminah (Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor) Teknik Penyimpanan Semai Kayu Bawang (Dysoxylum moliscimum) Melalui Pemberian Zat Penghambat Tumbuh dan Pengaturan Naungan J. Pen. Htn Tnm Vol. VIII No. 3, 2011 p:147-153 Kayu bawang (Dysoxylum moliscimum) adalah salah satu jenis pohon hutan yang dikenal memiliki benih dengan viabilitas yang cepat menurun dalam beberapa hari, sehingga penyimpanan benih untuk jenis ini masih menjadi kendala. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian penyimpanan semai dengan menggunakan metode 'pertumbuhan lambat' (slow growth). Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh beberapa bahan pengatur tumbuh, kondisi simpan dan umur semai pada saat penyemprotan terhadap pertumbuhan semai jenis kayu bawang selama penyimpanan. Bahan pengatur tumbuh yang digunakan adalah paklobutrazol, NaCl dan akuades sebagai kontrol. Kondisi tempat simpan terdiri dari naungan berat, naungan sedang dan naungan ringan. Sedangkan umur semai pada saat penyemprotan adalah 1, 2 dan 3 bulan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menghambat pertumbuhan semai secara efektif sehubungan dengan upaya penyimpanan selama 6 bulan adalah penyemprotan semai umur 3 bulan dibawah kondisi naungan berat (T 25 0C, RH 96 %, intensitas cahaya 650 lux) dan penerapan larutan NaCl 0,5%. Kondisi ini dapat menekan pertumbuhan tinggi dan diameter rata-rata sebesar 59,13 % serta memberikan persen hidup sebesar 95%. Kata kunci: Bahan pengatur tumbuh, kayu bawang (Dysoxylum moliscimum), larutan NaCl, paklobutrazol, umur semai

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN ISSN 1829-6327 Vol. VIII No. 3, 2011

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF) 630*922.2 Tien Lastini (Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB), Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya, Hardjanto, dan Herry Purnomo (Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor) Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat J. Pen. Htn Tnm Vol. VIII No. 3, 2011 p:155-168 Penelitian ini menguji penggunaan faktor biofisik dan sosial ekonomi dalam mengklasifikasi desa dengan variabel penciri hutan rakyat. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan variabel yang paling signifikan yang mempengaruhi tipologi desa yang terkait dengan luas hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis menggunakan data 336 desa. Dasar pembuatan tipologi pada penelitian ini adalah faktor biofisik dan sosial ekonomi. Terdapat 6 variabel biofisik yaitu: penggunaan lahan non sawah, kelerengan lahan, jarak ke kawasan hutan negara, jarak ke jalan besar, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan dan dan 3 variabel sosial ekonomi yaitu: kepadatan penduduk, rumah permanen, dan umur produktif penduduk yang diteliti. Hasil penelitian menemukan terdapat delapan variabel yang berkorelasi, dan satu variabel yang tidak berkorelasi dengan luas hutan rakyat yaitu jarak ke jalan besar. Berdasarkan analisis gerombol, penelitian berhasil menemukan 2 tipologi hutan rakyat, yaitu wilayah yang berpotensi tinggi dan berpotensi rendah untuk berkembangnya hutan rakyat. Variabel yang terpilih untuk penggerombolan adalah berdasarkan desain hasil analisis komponen utama terhadap 8 variabel yang berkorelasi, dengan nilai akurasi umum sebesar 64%. Kata kunci: Biofisik, analisis gerombol, hutan rakyat, sosial ekonomi, tipologi desa

UDC(OXDCF) 630*432.1 Erly Sukrismanto (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan), Hadi S. Alikodra (Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB), Bambang H. Saharjo (Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor), dan Priyadi Kardono (Deputi Bidang Survei Dasar dan Sumber Daya Alam, Bakosurtanal) HubunganAntar Organisasi dalam Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan/lahan di Indonesia J. Pen. Htn Tnm Vol. VIII No. 3, 2011 p:169-177 Kebakaran hutan/lahan merupakan salah satu sumber penyebab utama perubahan iklim global. Sampai sekarang kebakaran hutan/lahan di Indonesia belum dapat diatasi secara optimal, disebabkan salah satunya oleh sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang masih lemah. Studi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antar organisasi di dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis jejaring koordinasi dengan kajian terhadap tiga aspek yaitu bantuan layanan, administratif, dan perencanaan pada 42 organisasi tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Hasil analisis menemukan bahwa koordinasi antar organisasi pada tingkat nasional relatif baik, sedangkan koordinasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih lemah. Koordinasi secara horizontal pada satu tingkatan maupun secara vertikal antar tingkatan di Riau telah terjalin di antara lebih banyak organisasi dibandingkan dengan di Kalimantan Barat, di mana koordinasi secara horizontal maupun secara vertikal belum terjalin. Penelitian ini membuktikan secara empirik bahwa koordinasi antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia masih lemah, sehingga kebakaran hutan/lahan belum dapat terkelola dengan baik. Kata kunci: Koordinasi, pengendalian kebakaran, institusi

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN ISSN 1829-6327 Vol. VIII No. 3, 2011

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya UDC(OXDCF) 630*165.4 Agus Sofyan (Balai Penelitian Kehutanan Palembang), Mohammad Na'iem dan Sapto Indrioko (Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada) Perolehan Genetik Pada Uji Klon Jati (Tectona Grandis L.F) Umur 3 Tahun Di Khdtk Kemampo, Sumatera Selatan J. Pen. Htn Tnm Vol. VIII No. 3, 2011 p:179-186 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, taksiran nilai heritabilitas serta peluang perolehan peningkatan genetik dari masing-masing karakter tinggi, diameter dan bentuk batang. Hipotesis yang diajukan adalah : (1) Adanya variasi genetik yang nyata antar klon yang diuji; (2) Adanya korelasi yang tinggi antar karakter; (3) melalui tindakan seleksi akan diperoleh peningkatan genetik. Penelitian dilakukan pada tanaman umur 3 tahun, di lokasi KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan. Pertanaman menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok, dengan 4 blok, 3 treeplot dengan jarak tanam 3 x 3 meter. Jumlah klon yang diuji sebanyak 35 klon. Hasil menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik antar klon, namun variasinya relatif rendah jika dibandingkan dengan sumber variasi lainnya yaitu blok dan interaksi antara klon dengan blok. Sumbangan variasi genetik terhadap total variasi relatif rendah yaitu 2,49 % untuk karakter tinggi dan 1,73 % untuk diameter. Untuk karakter bentuk batang relatif lebih tinggi yaitu sebesar 9,15 %. Taksiran peningkatan genetik pada umur 3 tahun relatif rendah, karena taksiran nilai heritabilitas yang diperoleh relatif rendah yaitu sebesar 0,026 (individu) dan 0,16 (klon) untuk karakter tinggi, sebesar 0,02 (individu) dan 0,13 (klon) untuk karakter diameter. Heritabilitas bentuk batang relatif lebih tinggi masing-masing sebesar 0.09 dan 0,39. Dengan asumsi menggunakan 5 klon terbaik, taksiran perolehan genetik yang dapat dicapai pada umur 3 tahun adalah sebesar 1,28 % untuk karakter tinggi, 1,16 % diameter, 3,43 % bentuk batang serta 8,40 % untuk volume. Korelasi genetik antar karakter tinggi dengan diameter adalah sebesar 1,01 (overestimate), sementara korelasi genetik antara diameter dengan bentuk batang sangat tinggi yaitu sebesar 0,88, karakter tinggi dengan bentuk batang sebesar 0,67. Hasil ini akan memudahkan pekerjaan seleksi, karena seleksi dapat didasarkan atas satu karakter saja yaitu diameter. Hasil perhitungan berdasarkan indeks seleksi menunjukkan 5 nomor klon terbaik, berturut-turut nomor 24 (3,073), 36 (1,7210), 14 (1,574), 35 (1,430) dan 11 (1,306). Kata kunci: Heritabilitas, jati, korelasi genetik, perolehan genetik, uji klon, variasi genetik UDC(OXDCF) 630*232.3 Burhanuddin (Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura Pontianak), Siti Kabirun, Bostang Radjagukguk (Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), dan Sumardi (Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) Kajian Water Table Pada Semai Perepat (Combretocarpus rotundatus Miq dan Jelutung (Dyera lowii Hook) Diinokulasi Glomus sp 3 Di Tanah Gambut J. Pen. Htn Tnm Vol. VIII No. 3, 2011 p:187-196 PPenelitian pengaruh water table (jeluk muka air tanah) terhadap pertumbuhan perepat (Combretocarpus rotundatus Miq) dan jelutung (Dyera lowii Hook) dengan inokulasi jamur mikoriza arbuskula (JMA) dan pemupukan SP 36 di tanah gambut dilaksankan di rumah kaca laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universeitas Gadjah Mada Yogyakarta selama 14 minggu. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh jeluk muka air tanah, pemupukan P dan inokulasi JMA terhadap pertumbuhan semai perepat dan jelutung. Percobaan persemaian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga ulangan. Pengamatan dilakukan pada umur semai perepat dan jelutung 14 minggu setelah penyapihan yang meliputi: tinggi, diameter, jumlah daun, dan untuk berat kering pucuk dan serapan P tanaman dilakukan setelah panen. Percobaan pengujian jeluk muka air tanah pada semai perepat dan jelutung yang dipupuk SP 36 takaran 100 ppm dan diinokulasi dengan Glomus sp 3 membuktikan bahwa jeluk muka air tanah terbaik adalah 20 cm. Pada jeluk muka air tanah 20 cm peningkatan pertumbuhan untuk perepat tinggi 324,86 %, diameter 366,67 %, jumlah daun 437,50 %, berat kering pucuk 630,00 % dan serapan P 835,80 %. Untuk jelutung tinggi 107,61 %, diameter 136,05 %, jumlah daun 42,01 %, berat kering pucuk 643,83 % dan serapan P 851,56 %. Disimpulkan bahwa inokulasi dengan JMA jenis Glomus sp 3 yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk P takaran 100 ppm dan penanaman pada jeluk muka air tanah 20 cm dan 10 cm dapat dimanfaatkan secara luas untuk meningkatkan pertumbuhan bibit perepat (C. rotundatus Miq) dan jelutung (D.lowii Hook) di persemaian. Kata kunci: ex-PLG, gambut, Glomus sp 3, Water table

STUDI EKOLOGI TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp) DALAM KOMUNITAS ALAMI DI PULAU SERAM, MALUKU Ecology Study of Sago Palm (Metroxylon spp) in the Natural Community at the Seram Island, Maluku
Samin Botanri , Dede Setiadi , Edi Guhardja , Ibnul Qayim , dan/and Lilik B. Prasetyo3)
Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon Jln. Raya Tulehu Km. 24, Ambon 97582 2) Departemen Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Jln. Agatis Gedung Fapet Wing 1 Lt. 5. Telp/Fax. (0251) 8622833 3) Departemen KSH dan Ekowisata Fak. Kehutanan Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Jln. Lingkar Akademik Telp. (0251) 8621947. Fax. (0251) 8621947 Naskah masuk : 1 Juli 2010; Naskah diterima : 22 Mei 2011
1)

1)

2)

2)

2)

ABSTRACT

Sago palm (Metroxylon spp) is a tropical plant adapted to marginal land such as fresh water swamp, peat swamp or brackish water. The aim of this research were to : (1) analys conducted to describe of sago palm characteristic in the nature community, (2) identify habitat preference of sago palm, (3) to describe interaction between sago palm and environmental factors, and (4) identify the sago palm trees potential and sago flour production at three areas in the Seram Island, Maluku. The research was conducted in March to November 2009. The result of research showed that population structure of sago palm in the nature community follows young growth pattern with seedling death of about 85 %. It was found that there are five of the sago palm species namely tuni, makanaro, sylvestre, rotang, and molat. Tuni species is the most dominant vegetation which cover 43.3 % of habitat. Swamp condition as adaptation strategy more amount of sago palm roots directed out to water surface. In sago palm community there was negative interspecific association with Jaccard index < 0.2. Among the environmental condition, sun light intensity, cation exchange capasity (CEC), and calcium in water were the most factor. The potential clump population at the Seram Island is about 3,2 million clumps, which of about 1.5 million trunk of trees. Tuni and sylvestre are the most potential species with production capacity of about 566.04/kg by 560.68 kg/trunk.
Keywords: Adaptation, environmental factor, Seram Island, habitat type, sago palm ABSTRAK

Sagu (Metroxylon spp) merupakan tumbuhan palem tropika basah, memiliki adaptasi kuat untuk tumbuh pada lahan marjinal seperti lahan tergenang air tawar, lahan gambut, dan air payau. Penelitian bertujuan : (1) melakukan analisis untuk menjelaskan sifat pertumbuhan sagu dalam komunitas alami, (2) mengungkapkan preferensi habitat tumbuhan sagu, (3) melakukan analisis interaksi tumbuhan sagu dengan faktor lingkungan, dan (4) mengungkapkan potensi tegakan dan produksi pati sagu. Penelitian berlangsung di tiga wilayah di pulau Seram, Maluku secara keseluruhan, tentu dengan menggunakan sampling, bukan menggunakan metode sensus pada bulan Maret-Nopember 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur populasi sagu dalam komunitas alami mengikuti pola pertumbuhan muda dengan tingkat kematian pada fase semai sekitar 85 %. Di Pulau Seram terdapat lima jenis sagu yaitu tuni, makanaro, sylvestre, rotang, dan molat. Sagu tuni merupakan spesies dominan dengan penguasaan habitat mencapai 43,3 %. Serta memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai tipe habitat. Dalam beradaptasi dengan kondisi habitat tergenang, perakaran sagu mengalami modifikasi arah

135

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 135 - 145

pertumbuhan menuju permukaan air dengan jumlah yang lebih banyak. Dalam komunitas sagu terjadi asosiasi antarspesifik secara negatif dengan Jaccard indeks < 0,2. Variabel iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang memiliki peran kuat dalam pertumbuhan sagu masing-masing adalah intensitas cahaya surya mikro, kapasistas tukar kation (KTK), dan kandungan kalsium air. Di Pulau Seram terdapat potensi populasi rumpun sagu sekitar 3,2 juta rumpun dengan jumlah tegakan fase pohon mencapai 1,5 juta batang. Jenis sagu tuni dan sylvestre merupakan jenis sagu potensial dengan kapasitas produksi masingmasing 566,04 kg dan 560,68 kg/batang.
Kata kunci : Adaptasi, faktor lingkungan, Pulau Seram, tipe habitat, tumbuhan sagu I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sagu ( Metroxylon spp) salah satu tumbuhan dari keluarga palmae wilayah tropik basah. Secara ekologi, sagu tumbuh pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Habitat tumbuh sagu dicirikan oleh sifat tanah, air, mikro iklim, dan spesies vegetasi dalam habitat itu. Berdasarkan informasi tempat tumbuh sagu yang cukup bervariasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu mempunyai daya adaptasi yang tinggi (Suryana, 2007). Secara umum terdapat lima jenis sagu yang tumbuh dalam komunitas alami maupun budidaya yaitu sagu tuni, makanaro, ihur, duri rotang, dan molat (Louhenapessy, 2006). Studi ekologi sagu yang selama ini telah dilakukan masih memerlukan suatu penelitian tentang autekologinya yaitu struktur populasi, kelimpahan spesies, penentuan preferensi ekologi seperti tipe habitat, interaksi spesies dengan tipe habitat, mekanisme adaptasi, interaksi dengan parameter ingkungan, dan potensi tumbuhan sagu. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kajian permasalahan dalam penelitian ini adalah : (1) bagaimana sifat pertumbuhan sagu dalam

komunitas sagu alami?, (2) bagaimana preferensi habitat tumbuhan sagu?, dan (3) bagaimana interaksi antara tumbuhan sagu dengan faktor lingkungan?. B. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan studi ekologi tumbuhan sagu dalam komunitas sagu alami di Pulau Seram. Tujuan khususnya yaiu : (1) melakukan analisis untuk menjelaskan sifat pertumbuhan sagu dalam komunitas alami, (2) mengungkapkan preferensi habitat tumbuhan sagu, (3) melakukan analisis untuk menjelaskan interaksi tumbuhan sagu dengan faktor lingkungan, dan (4) mengetahui potensi tegakan dan produksi pati sagu di Pulau Seram (Wilayah Luhu Kabupaten Seram Bagian Barat, Wilayah Sawai Kabupaten Maluku Tengah, dan Wilayah Werinama Kabupaten Seram Bagian Timur), Maluku.
II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi Penelitian berlangsung pada bulan Maret Nopember 2009, berlangsung di Pulau Seram, Maluku, antara lain Wilayah Luhu Kabupaten

Keterangan (Remarks) :

Lokasi sampling (Sampling location)

Gambar (Figure) 1. Peta lokasi penelitian Pulau Seram (Map of site research at the Seram Island)

136

Studi Ekologi Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) dalam Komunitas Alami di Pulau Seram, Maluku Samin Botanri, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim, dan Lilik B. Prasetyo

Seram Bagian Barat, Wilayah Sawai Kabupaten Maluku Tengah, dan Wilayah Werinama Kabupaten Seram Bagian Timur. Analisis tanah dan air dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor. Spesies tumbuhan yang tidak diketahui, diidentifikasi oleh ahli taksonomi dari Herbarium Bogoriense. B. Bahan dan Peralatan Penelitian menggunakan potensi tumbuhan sagu yang tersebar pada tiga wilayah di Pulau Seram, Maluku, yang merupakan ulangan yakni Wilayah Luhu Kabupaten Seram Bagian Barat, Wilayah Sawai Kabupaten Maluku Tengah, dan Wilayah Werinama Kabupaten Seram Bagian Timur. Suhu dan kelembaban relatif diukur menggunakan thermohigrometer, intensitas cahaya di bawah tegakan diukur menggunakan lux meter (light meter). Data iklim lokal diperoleh dari stasiun klimatologi Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah (MT). Analisis data menggunakan perangkat lunak Ecological Methodology, SPSS ver. 15 dan Minitab ver. 15. C. Metode Penelitian 1. Penentuan Contoh a. Plot Penelitian Wilayah sampel ditetapkan meng-gunakan metode judgement sampling/ purposive random sampling. Wilayah sampel terpilih yaitu Wilayah Luhu Kabupaten Seram Bagian Barat, Wilayah Sawai Kabupaten Maluku Tengah, dan Wilayah Werinama Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Pengamatan vegetasi bawah (seedling) dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m, sapling 5 m x 5 m, tiang 10 m x 10 m, dan pohon 20 m x 20 m. Jumlah petak pengamatan sebanyak 131 plot. Pada setiap plot dibuat petak sesuai ukuran masing-masing. Petak pengamatan ditetapkan menggunakan metode garis berpetak (Kusmana, 1997). b. Lingkungan dan Tanah Suhu dan kelembaban udara relatif diukur pada pukul 07.30, 13.00, dan 17.00. Intensitas cahaya surya di bawah tegakan sagu, diukur antara pukul 11.00 - 14.00. Sampel tanah diambil pada kedalaman 0 - 30 cm dan 30 - 60 cm. Sampel air rawa diambil dari habitat tergenang kemudian dianalisis kualitasnya. Salinitas ditetapkan menggunakan refraktometer.

2. Parameter yang Diamati Pengamatan sagu dan vegetasi lain meliputi : jumlah rumpun, jumlah individu sagu menurut fase pertumbuhan, jenis vegetasi, jumlah individu spesies yang kedapatan pada setiap unit contoh, dan luas tutupan (coverage). Berdasarkan parameter tersebut, maka dilakukan : a. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan formula Cox (2002) : INP = KR + FR + DR. Kemudian ditetapkan Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau SDR summed dominanced ratio) = INP/3 (%). b. AnalisisAsosiasi Interspesifik Asosiasi interspesifik ditentukan menggunakan formula menurut Ludwig & Reynolds (1988) dengan tahapan : (1) analisis Variance Ratio (VR) menggunakan rumus : VR = ST 2 / T 2 ; (2) analisis asosiasi spesies menggunakan rumus Chi-square, (3) tingkat asosiasi ditetapkan menggunakan indeks Jaccard (JI) : JI = a/a+b+c c. Analisis Komponen Utama Interaksi tumbuhan sagu dengan komponen abiotis, didekati dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA) (Supranto, 2004).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Struktur Populasi

Secara umum struktur populasi tumbuhan sagu di Pulau Seram mengikuti pola pertumbuhan muda yaitu populasi dengan jumlah individu paling banyak terdapat pada fase semai, berkurang secara drastis pada fase berikutnya (Gambar 2). Dalam populasi tersebut jumlah individu fase semai yang berhasil tumbuh ke fase pertumbuhan berikutnya hanya sebesar 15,34 %. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kematian individu fase semai, gagal tumbuh ke fase berikutnya mencapai 84,66 %. Tingginya tingkat kematian ini dapat disebabkan karena : (1) sifat pertumbuhan anakan sagu, sebagian tunas anakan yang muncul dari pangkal batang tidak bersentuhan dengan tanah, (2) terjadi persaingan di antara masing-masing individu dalam rumpunnya. Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas permukaan tanah seperti udara, cahaya, ruang, dan komponen di bawah tanah seperti air, oksigen, dan unsur hara. Hasil pengukuran intensitas cahaya surya di dekat rumpun sagu hanya sekitar 12,33 % (206,53 lux,

137

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 135 - 145

ruang terbuka 1675,29 lux). Rendahnya intensitas ini karena terdapat hambatan oleh tajuk rumpun sagu itu sendiri, (3) rentan terhadap pH rendah, tunas anakan yang masih muda memiliki daya adaptasi yang rendah terhadap kondisi lahan tergenang (tereduksi). Hasil pengukuran kemasam-

an tanah menunjuk-kan bahwa pH tanah dapat mencapai 4,31 (pH KCl), dan (4) mengalami keracunan karena kandungan Fe (3,08) dan Al (4,99) tanah, nilai kekurangan Fe dan Al tersebut termasuk kategori sangat tinggi berdasarkan kriteria (Balai Penelitian Tanah, 2005).

Semai

Sapihan

Tiang

BMT

MT

LMT

Keterangan (Remarks) : BMT = Belum Masak Tebang (Immature Trunks), MT = Masak Tebang (Mature Trees - Harvestable), LMT = Lewat Masak Tebang (Mature Trees- Not Harvestable)

Gambar (Figure) 2. Struktur populasi sagu di Pulau Seram (Population structure of sago palm at the Seram Island).

Gambar (Figure) 3. Perbandingan NJD sagu dan non-sagu di plot penelitian (SDR camparison of sago palm and non sago palm at the research plot).

138

Studi Ekologi Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) dalam Komunitas Alami di Pulau Seram, Maluku Samin Botanri, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim, dan Lilik B. Prasetyo

B. Kelimpahan Spesies Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan nisbah jumlah dominasi (NJD) dalam komunitas sagu menunjukkan bahwa spesies sagu merupakan jenis vegetasi yang menguasai sebagian besar areal lahan di plot penelitian. Kondisi tersebut dapat terlihat dengan bertambahnya fase pertumbuhan, maka dominasi spesies sagu juga meningkat (Gambar 3). Fenomena seperti ini merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada tipe vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Mueller & Ellenberg (1974 dalam Setiadi 2005) mengemukakan bahwa komposisi bervegetasi alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan fisiognomi, fenologi, dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap, sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dan menyolok. Jika kondisi ini terjadi maka regenerasi spesies seakan-akan tidak tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu lama. Berdasarkan penelitian tersebut jumlah individu masing-masing spesies sagu, diperoleh hasil ditemukan bahwa sagu tuni memiliki jumlah individu paling banyak (99,93 ind/ha) dan NJD paling tinggi (43,3%). Jumlah tersebut menunjukkan bahwa sagu tuni merupakan spesies tumbuhan yang memiliki kerapatan, dominasi, dan frekwensi yang melampaui spesies yang lain dengan penguasaan habitat mencapai 43,3 %.

C. Habitat danAdaptasi Tumbuhan Sagu Secara umum tipe habitat sagu di Pulau Seram dapat dipisahkan menjadi dua kategori yaitu (1) habitat lahan kering dan (2) habitat lahan tergenang, berupa rawa-rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Dua tipe habitat itu dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi empat tipe yaitu : (1) habitat tergenang temporer air payau yaitu tipe habitat yang dicirikan oleh adanya pasangsurut, (2) habitat tergenang temporer oleh air tawar yaitu tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan, (3) habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat yang mengalami genangan pada periode waktu relatif cukup lama, biasanya lebih dari satu bulan, dan (4) habitat lahan kering, artinya kondisi habitatnya tidak pernah tergenang. Kondisi tersebut ditemukan pada setiap sempel dan masih perlu riset lebih lanjut untuk memetakan luasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua jenis sagu dapat tumbuh pada setiap tipe habitat. Jenis sagu yang dapat tumbuh dan berkembang pada semua tipe habitat adalah jenis sagu tuni, makanaro, dan sylvestre (Tabel 1). Dua jenis sagu yang lain yakni rotang dan molat tumbuh pada habitat terbatas. Jenis sagu rotang hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat lahan kering (TTG), sedangkan jenis sagu molat ditemukan tumbuh pada dua tipe habitat yaitu tergenang temporer air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasinya, maka

Tabel (Table) 1. Populasi rumpun sagu pada tipe habitat berbeda di Pulau Seram (Clumps population of sago palm of the habitat type at the Seram Island))
No. Jenis sagu (Sago species) Tuni Makanaro Sylvestre Rotang Molat Jumlah TTG ind/ha 103,26 28,37 37,95 4,27 0,00 173,85 % 58,86 15,80 22,87 2,47 0,00 100,0 Tipe Habitat (Habitat Type) T2AT T2AP ind/ha 124,33 26,01 85,10 0,00 12,50 274,94 % 50,14 10,49 34,32 0,00 5,04 100,0 ind/ha 62,08 20,00 14,58 0,00 0,00 96,66 % 64,22 20,69 15,09 0,00 0,00 100,0 TPN ind/ha 61,20 36,04 11,58 0,00 55,19 164,01 % 37,31 21,97 7,06 0,00 33,65 100,0 Rataan (Average) ind/ha 87,72 27,60 37,30 1,07 16,92 % 52,64 17,24 19,83 0,62 9,67

1. 2. 3. 4. 5.

170,61 100,0

Keterangan (Remarks) : TTG = tidak tergenang (dry land), T2AT = tergenang temporer air tawar (temporery inundated fresh water swamp), T2AP = tergenang temporer air payau (temporery inundated brackish water swamp), TPN = tergenang permanen (permanent inundated fresh weter swamp), ind = individu (individual).

139

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 135 - 145

dapat dikatakan bahwa jenis sagu tuni memiliki kemampuan adaptasi yang luas (eury tolerance). Hal tersebut ditunjukkan dari jumlah rumpun dan jumlah populasi semua fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sagu yang lain. Jenis sagu makanaro dan sylvestre tumbuh pada semua tipe habitat, namun memiliki populasi yang rendah. Molat ditemukan pada habitat T2AT dan TPN. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tiga jenis sagu tersebut memiliki daya adaptasi sedang (meso tolerance). Sagu rotang merupakan jenis sagu yang memiliki daya adaptasi paling terbatas karena hanya tumbuh pada habitat lahan kering (steno tolerance). D. MekanismeAdaptasi Sagu Sebagian besar sagu tumbuh pada lahan tergenang, baik yang sifatnya temporer maupun permanen, dan tiga (3) dari empat (4) tipe plot penelitian termasuk kategori tergenang. Kondisi plot yang senantiasa tergenang cenderung merupakan kondisi tanah masam. Berdasarkan hasil penelitian pH tanah menunjukkan kisaran pH tanah (pH H2O) 4,47 - 5,63 dan pH KCl 4,31. Tanah-tanah masam dengan kandungan logam tinggi seperti Fe dan Al dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan perakaran. Syekhfani (1997) mengemukakan bahwa logam memiliki kemampuan untuk melisis air sehingga pH tanah dapat semakin masam. Ketika pH rendah, Fe dan Al akan larut sehingga konsentrasinya meningkat dan dapat bersifat meracun (toxic) (Brady 1990). Habitat tergenang identik dengan kondisi tereduksi, artinya keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen di dalam tanah. Levitt (1980) menyebutnya sebagai cekaman defisit oksigen. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, maka adaptasi sagu ditunjukkan melalui sistem perakarannya yang mengalami modifikasi arah pertumbuhan (Gambar 4). Pada habitat tergenang biasanya muncul akar berukuran kecil dalam jumlah banyak dengan arah pertumbuhan menuju permukaan air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas. Mekanisme perubahan ini agar penyerapan oksigen oleh perakaran dapat berlangsung dengan baik. Berbeda dengan jenis lain, maka pada kondisi lahan dengan aerase jelek, tumbuhan melakukan mekanisme adaptasi morfologi dengan membentuk sistem perakaran dangkal (Daubenmire, 1974).

Gambar (Figure) 4. Modifikasi arah pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang (Roots growth modification of sago palm af the swamp condition) E. Interaksi dengan Faktor Lingkungan 1. Komponen Biologis Hasil analisis asosiasi interspesifik menunjukkan bahwa secara simultan (keseluruhan) terjadi asosiasi antar spesies dalam komunitas sagu alami di Pulau Seram dengan nilai VR sebesar 0,83. Nilai VR < 1 mengandung makna bahwa asosiasi antara spesies bersifat negatif. Hasil analisis asosiasi spesies berpasangan menunjukkan bahwa terdapat asosiasi diantara spesies sagu dan antara sagu dengan non sagu dengan nilai chi-square berkisar dari 4,35-21,03 dengan indeks Jaccard rata-rata 0,14 (termasuk kategori rendah) (Tabel 2). Asosiasi antar spesies yang bersifat negatif menunjukkan bahwa terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies lain (Soegianto, 1994). Interaksi yang bersifat negatif meberikan petunjuk pula bahwa tidak terdapat toleransi untuk hidup secara bersama atau tidak ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, terutama dalam pembagian ruang hidup. Barbour et al. (1999 dalam Kurniawan et al. 2008) mengemukakan bahwa asosiasi yang bersifat negatif memberikan petunjuk bahwa setiap tumbuhan dalam suatu komunitas terjadi saling memberi tempat hidup pada suatu area habitat yang sama. Menurut Krivan & Sirot (2002) dikemukakan bahwa dalam asosiasi interspesifik dapat memunculkan kompetisi interspesifik. Pada kondisi dimana asosiasi bersifat negatif ekstrim, suatu spesies dapat muncul sebagai kompetitor yang mendominasi spesies lain.

140

Studi Ekologi Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) dalam Komunitas Alami di Pulau Seram, Maluku Samin Botanri, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim, dan Lilik B. Prasetyo

Tabel (Table) 2. Chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan penyusun utama komunitas sagu pada plot penelitian di Pulau Seram (Chi-square for interspecific association testtopair dominantspecies inthesagopalm communityatresearchplottheSeram Island)
No. Nama spesies (Species name) Chi-square (X2) Tipe Asosiasi Indeks Jaccard (Association type) (Jaccard index) Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 0,43 0,47 0,16 0,06 0,15 0,05 0,15 0,20 0,08 0,04 0,14 0,04 0,04 0,10 0,02

1. M. rumphii Mart subvar tuni (Becc) 1.1 M. rumphii subvar makanaro 1.2 M. rumphii var sylvestre 1.3 M. sagu var molat 1.4 Pandanus furcatus Roxb. 1.5 Homalomena sp. 1.6 Nephrolepis sp. 2. M. rumphii Mart subvar makanaro (Becc) 2.1. M. rumphii var sylvestre 2.2. M. sagu var molat 2.3. Homalomena sp. 2.4. Nephrolepis sp. 3. M. rumphii Mart var sylvestre (Becc) 3.1 M. sagu var molat 3.2 Homalomena sp. 3.3 Nephrolepis sp. 4. M. sagu Rottb var molat (Becc) 4.1 Pandanus furcatus Roxb. 4.2 Nephrolepis sp.

6,53* 5,12* 16,74* 6,76* 9,28* 21,03* 20,73* 5,69* 4,35* 4,76* 5,31* 4,45* 4,96* 4,56* 4,48*

Keterangan (Remarks): * signifikan pada taraf 0,05 (significant of the 0,05)

2. KomponenAbiotis a. Variabel Iklim Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA ) untuk menjelaskan interaksi variabel iklim menggunakan loading plot menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara variabel sinaran surya lokal dan mikro (Gambar 5). Hal ini ditunjukkan dengan sudut lancip yang dibentuk garis loading plot kedua variabel tersebut (Setiadi, 1998). Korelasi yang bersifat positif mengandung pengertian bahwa apabila sinaran surya lokal meningkat, maka diikuti dengan peningkatan sinaran surya mikro. Korelasi yang sama terjadi pula antara variabel sinaran surya dengan temperatur mikro, sinaran surya lokal dan curah hujan dengan kelembaban mikro. Sedangkan variabel temperatur mikro, sinaran surya lokal, dan sinaran surya mikro memiliki korelasi negatif dengan curah hujan (ditunjukkan oleh sudut tumpul garis loading plotnya). Hal ini berarti bahwa apabila curah hujan bertambah, maka sinaran surya (lokal & mikro), dan temperatur mikro akan menurun. Korelasi negatif terjadi pula antara variabel temperatur mikro dengan kelembaban mikro.
0,75

LoadingPlot of T_m ikro; ...; CH


RH_mikr o

0,50 Second Component

S ry _ l okal

0,25

0,00
CH

S ry _mik ro

-0,25

-0,50 -0,50 -0,25 0,00 0,25 F irst Com ponent

T_mikr o

0,50

0,75

Gambar (Figure) 5. Diagram loading plot korelasi variabel iklim habitat sagu di Pulau Seram (Loading plot diagram of climate variable correlation of the sago palm habitat at the Seram Island) Dengan mempertimbangkan akar ciri (eigenvalues) dan vektor ciri (eigenvector) terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi relatif masing-masing variabel (Dewi, 2005 & Marzuki, 2007). Dalam konteks ini besarnya kontribusi terhadap pertumbuhan sagu (PS). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor iklim terhadap PS di Pulau Seram sebesar 3,38%. Model indeksnya sebagai berikut :

141

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 135 - 145

PS(F-iklim) = (0,78T-mikro) + (1,47RH-mikro) + (1,10Sry-lokal) + (1,66Sry-mikro) (1,63C-hujan) dimana : PS = pertumbuhan sagu terkait dengan faktor iklim; T-mikro = temperatur mikro; RH-mikro = kelembaban mikro; Syr-lokal = sinaran surya lokal; Srymikro = sinaran surya mikro; C-hujan = curan hujan. Pada model indeks PS di atas, tampak bahwa pertumbuhan sagu di Pulau Seram sangat ditentukan oleh variabel intensitas cahaya surya mikro. Fakta ini semakin memperkuat argumen bahwa kematian tunas anakan sagu antara lain dipengaruhi oleh banyaknya intensitas cahaya surya yang masuk sampai ke bagian bawah tajuk rumpun sagu. Banyak tunas anakan sagu mengalami kematian karena terjadi kompetisi yang kuat diantara individu setiap rumpun dalam mendapatkan sinaran surya. Cahaya surya yang masuk sampai dekat rumpun sagu hanya mencapai 12,40%. b. Interaksi dengan Variabel Tanah Hasil analisis PCA faktor tanah menunjukkan bahwa variabel C-organik berkorelasi positif dengan pH, kalsium, KTK, magnesium, dan kalium (Gambar 6). Korelasi positif terjadi pula antara KTK dengan kalsium, magnesium, dan kalium. Partikel liat berkorelasi positif dengan bulk density (BD). Hal ini berarti bahwa jika terjadi peningkatan suatu variabel, maka akan diikuti dengan variabel yang lain. Sedangkan pH berkorelasi negatif dengan Fe, artinya apabila Fe meningkat, maka pH akan berkurang (semakin masam).
Loading Plot of pH (KCl); ...; Liat
0,4
0,4 0,3

Dengan mempertimbangkan eigenvalues dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya kontribusi relatif masingmasing variabel tanah terhadap pertumbuhan sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor tanah terhadap PS di Pulau Seram sebesar 10,15%. Variabel tanah yang memiliki kontribusi tertinggi adalah KTK (1,90%). Model indeksnya sbb : PS(F-tanah) = (1,60pH-KCl) + (0,83C-org) + (1,90KTK) + (1,17K) + (1,64Ca) + (0,85Mg) + (1,07Fe) + (0,27BD) + (0,82Liat) dimana : PS(F-tanah) = pertumbuhan sagu terkait dengan faktor tanah; pH-KCl = kemasaman tanah potensial; C-org = karbon organik; KTK = kapasitas tukar kation; K = Kalium; Ca = Kalsium; Mg = Magnesium; Fe = Ferrum; BD = bulk density; Liat = partikel liat. Pada model di atas, tampak bahwa pertumbuhan sagu di Pulau Seram dalam kaitannya dengan sifat tanah sangat ditentukan oleh kapasitas tukar kation (KTK). Hal ini berarti bahwa sagu menghendaki tanah dengan kesuburan yang memadai. Argumen ini dikemukakan karena KTK merupakan parameter tanah yang berkaitan dengan kesuburan tanah (Hardjowigeno 1992). Tanah dengan KTK tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut subur, dan sebaliknya apabila KTK rendah termasuk kurang subur. c. Interaksi dengan Variabel Kualitas Air Rawa Hasil analisis PCA kualitas air rawa menunjukkan bahwa pH air memiliki korelasi positif dengan kalium, kalsium, dan magnesium (Gambar 7). Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa dengan makin bertambah kandungan kalium, kalsium, dan magnesium, maka pH air akan meningkat. Kalium, kalsium, dan magnesium merupakan kation basa yang memainkan peranan dalam meningkatkan pH. Selain itu kation-kation basa yang meningkat, dengan sendirinya akan meningkatkan kadar salinitas. Dengan mempertimbangkan eigenvalues dan nilai eigenvector terbesar, maka ditentukan besarnya kontribusi relatif variabel kualitas air rawa terhadap PS. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor kualitas air rawa terhadap PS di plot penelitian sebesar 10,15%. Variabel kualitas air rawa yang memiliki

C_organik Load in gPlot ofp H(KC l);...;C _org an ik


C _organik

0,3 0,2Fe 0,1 0,0

Fe
pH(KCl ) Kal si um KTK

pH(KCl) Kalsium KTK

Second Component

0,2 0,1 0,0

Sec ond Component

-0,1

M agnes ium

-0,1 -0,2
-0,3 -0,2 -0,4 -0,5
Kal ium

Magnesium

-0,3
-0,1 0 ,0

BD

L iat

-0,4 -0 ,2 -0,5

0 ,1 0,2 F irst C om p one nt

0 ,3

0 ,4

0,5

Kalium Liat

BD

-0,2

-0,1

0,0

0,1 0,2 F irst C om ponent

0,3

0,4

0,5

Gambar (Figure) 6. Diagram loading plot korelasi variabel tanah habitat sagu di Pulau Seram (Loading plot diagram of soil variable correlation of the sago palm habitat at the Seram Island).

142

Studi Ekologi Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) dalam Komunitas Alami di Pulau Seram, Maluku Samin Botanri, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim, dan Lilik B. Prasetyo

kontribusi tertinggi adalah kalsium (1,73%). Model indeks PS terkait dengan peran faktor kualitas air rawa di Pulau Seram sebagai berikut : PS(F-KAR) = (1,61pH) + (1,18K) + (1,73Ca) + (1,10Mg + (0,50NO3) + (0,14Salinitas) dimana : PS(F-KAR) = pertumbuhan sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa; pH = kemasaman air; K = Kalium; Ca = Kalsium; Mg = Magnesium; NO3 = Nitrat
Loading Plot of pH; ...; Salinitas
Kalium

merupakan unsur hara esensial makro, artinya diperlukan oleh tumbuhan dalam jumlah yang relatif banyak. Kalsium juga merupakan kation basa yang berperan dalam memperbaiki kemasaman air. d. Potensi Populasi dan Produksi Pati Sagu di P. Seram Di Pulau Seram Maluku terdapat potensi luas areal sagu sekitar 18.239 ha. Pada luas areal tersebut tumbuh dan berkembang sekitar 3,22 juta rumpun sagu, terdiri dari sagu fase semai 6,14 juta individu, sapihan 1,59 individu, tiang 0,55 juta individu, pohon 1,47 juta individu, pohon masak tebang 0,35 juta individu, dan pohon lewat masak tebang 0,12 juta individu (Tabel 3). Atas dasar jumlah individu yang dimiliki, dapat dikatakan bahwa sagu tuni merupakan jenis sagu yang sangat potensial karena memiliki jumlah individu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis sagu yang lain (1,714 juta rumpun). Hasil perhitungan potensi produksi pati sagu basah di plot penelitian wilayah Pulau Seram diperoleh bahwa jenis sagu tuni dan sylvestre memiliki potensi produksi paling tinggi. Berdasarkan tipe habitat, pada habitat tidak tergenang (lahan kering) potensi produksi sagu basah tuni rata-rata mencapai 685,50 kg/batang, sylvestre 726,22 kg/batang (Tabel 4). Potensi produksi kedua jenis sagu ini hampir sama pada semua tipe habitat. Pada tabel 4 tampak bahwa tipe habitat berperan dalam mempengaruhi produksi pati sagu. Pada tipe habitat TTG dan T2AT produksi pati sagu hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan tipe habitat T2AP dan TPN.

0,6

Magnesium

Second Component

0,4
NO3

0,2

0,0

Kalsium

-0,2
Salinitas

pH

-0,4 -0,50 -0,25 0,00 First Component 0,25 0,50

Gambar (Figure) 7. Diagram loading plot korelasi variabel kualitas air rawa habitat sagu di Pulau Seram (Loading plot diagram of water swamp quality variable correlation of the sago palm habitat at the Seram Island) Pada model indeks di atas, tampak bahwa pertumbuhan sagu di Pulau Seram dalam kaitannya dengan kualitas air rawa sangat ditentukan oleh kandungan kalsium. Hal ini berarti bahwa untuk pertumbuhan sagu diperlukan kalsium yang memadai. Kalsium

Tabel (Table) 3. Potensi populasi tumbuhan sagu di P. Seram (Population potential of sago palm at the Seram Island)
Jenis Sagu (Sago Species) Jumlah Rumpun Semai (Seedling) (Numbers of Clump) 1.714,3 543,8 629,8 27,5 304,8 3.220,2 2.991,9 1.025,6 1.745,8 57,3 315,2 6.135,8 Sapihan (Sapling) Fase Pertumbuhan Tiang Pohon (Pole) (trees) x 1000 ind. 279,3 95,9 118,4 3,2 55,3 552,1
Phn. Masak Phn. Lewat Tebang Masak Tebang (Mature trees (Mature trees Harvestabe) Non Harvestabe)

Tuni Makanaro Sylvestre Rotang Molat Jumlah

775,8 277,6 378,7 13,7 142,7 1.588,6

678,3 276,2 331,0 20,1 162,8 1.468,2

114,8 104,5 67,0 0,0 61,8 348,0

12,8 58,6 9,6 0,0 37,1 118,1

Keterangan (Remarks) : Data primer tahun 2009 (Primery data in 2009 year), Phn = pohon (trees), ind = individu (individual).

143

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 135 - 145

Tabel (Table) 4. Potensi produksi pati sagu pada tipe habitat berbeda di P. Seram (Yield potential of sago palm starch of the habitat type at the Seram Island)
No. 1. 2. 3. 4. Jenis Sagu (Sago Species) Tuni Makanaro Sylvestre Molat Rataan TTG 685,50 324,50 726,22 578,74 Tipe Habitat (Habitat Types) T2AT T2AP TPN kg/batang 721,50 479,17 378,00 287,11 708,00 348,44 516,26 186,00 460,50 353,06 183,22 348,00 126,00 258,81 Rataan (Average) 566,04 245,21 560,68 237,22 393,13

Keterangan (Remarks) : TTG = tidak tergenang (dry land), T2AT = tergenang temporer air tawar (temporery inundated fresh water swamp), T2AP = tergenang temporer air payau (temporery inundated brackish water swamp), TPN = tergenang permanen (permanent inundated fresh weter swamp).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan


1. Struktur populasi sagu di plot penelitian wilayah Pulau Seram mengikuti pola pertumbuhan muda, didominasi oleh fase semai dengan tingkat kegagalan untuk tumbuh ke fase berikutnya sangat tinggi mencapai 85%. 2. Dalam komunitas sagu alami di plot penelitian wilayah Pulau Seram, spesies sagu telah berkembang mendominasi sebagian besar habitatnya, tumbuh dan berkembang mengarah kepada kondisi vegetasi yang bersifat klimaks dan stabil. Dalam komunitas tersebut terjadi asosiasi interspesifik bersifat negatif, baik secara kolektif maupun antara spesies berpasangan, dengan tingkat asosiasi secara umum rendah (JI < 0,2). 3. Sagu tuni merupakan jenis yang memiliki daya adaptasi luas (eury tolerance), sedangkan rotang merupakan jenis yang memiliki daya adaptasi sempit (steno tolerance). Tiga jenis sagu yang lain yaitu makanaro, sylvestre, dan molat dikategorikan sebagai jenis sagu yang memiliki daya adaptasi sedang (meso tolerance). 4. Terdapat interaksi antara tumbuhan sagu dengan faktor lingkungan (iklim, tanah, kualitas air rawa, dan vegetasi non sagu). Variabel iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang paling berperan terhadap pertumbuhan sagu di Pulau Seram masing-masing adalah intensitas cahaya surya mikro, kapasistas tukar kation, dan kandungan kalsium air. 5. Sagu tuni dan sylvestre merupakan jenis sagu yang memiliki kapasitas produksi pati sagu

yang cukup tinggi, masing-masing mencapai 566,04 dan 560,68 kg/batang, sedangkan kapasistas produksi sagu basah jenis sagu makanaro dan molat masing-masing sekitar 245,21 dan 237,22 kg/batang. B. Saran 1. Upaya diversifikasi pangan sumber karbohidrat dari jenis sagu bagi masyarakat di pedesaan Maluku dan Papua, maupun pemenuhan kebutuhan berbagai industri (makanan, minuman, bioetanol atau industri lainnya), dapat dilakukan dengan mengembangkan jenis sagu tuni serta sagu sylvestre baik pada tipe habitat lahan kering maupun tipe lahan tergenang temporer air tawar. 2. Upaya peningkatan produksi pati sagu di habitat alam dapat dilakukan dengan penyatuan pola pertumbuhan individu dalam rumpun yang stabil melalui upaya sortasi anakan dan pengaturan jarak tumbuh antar individu rumpun. DAFTAR PUSTAKA [BPT] Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soils. MacMillian Publishing Company. New York.

144

Studi Ekologi Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp) dalam Komunitas Alami di Pulau Seram, Maluku Samin Botanri, Dede Setiadi, Edi Guhardja, Ibnul Qayim, dan Lilik B. Prasetyo

Cox, G.W. 2002. General Ecology, Laboratory Manual. Eigth edition. McGraw Hill. New York. Daubenmire, R.F. 1974. Plant and Environment, a Textbook of Autecology. Third edition. John Wiley & Sons. New York Flach, M. 1997. Promoting the Conservation and Use of Underutilized and Neglected Crops. Sago Palm, Metroxylon sagu Rottb. Wageningen Agriculture University, Netherlands. International Plant Genetic Resources Institute, Rome. pp 76. http://www.ipgri.cgiar.org/Publications/ pdf/238.pdf. Diakses tanggal 11 Agustus 2008. Hardjowigeno, S. 1992. Putra. Jakarta Ilmu Tanah. Melton

tema sagu dalam revitalisasi pertanian Maluku.Ambon 29-31 Mei 2006. Ludwig, A.J., and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology, a Primer on Methods and Computing. John Willey & Sons. New York. Marzuki, I. 2007. Studi Morfo-Ekotipe dan Karakterisasi Minyak Atsiri, Isozim, dan DNA Pala Banda (Myristica fragrans Houtt) Maluku [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Setiadi, D. 1998. Keterkaitan Profil Vegetasi Sistem Agroforestri Kebun Campur dengan Lingkungannya. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. ________. 2005. Keanekaragaman Spesies Tingkat Pohon di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur. J Biodiversitas 6 (2) : 118-122. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interpretasi. : PT. Rineka Cipta. Jakarta. Suryana, A. 2007. Arah dan Strategi Pengembangan Sagu di Indonesia. Makalah disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu Indonesia. Batam, 25-26 Juli 2007. Syekhfani. 1997. Hara-Air-Tanah-Tanaman. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.

Krivan, V., and E. Sirot. 2002. Habitat Selection by to Competing Species in a Two-Habitat Environment. J The American Naturalist 160 (2) 214-234. Kurniawan, A., K.E.Undaharta Ni, dan I Made R. Pendit. 2008. Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. J Biodiversitas 8 (3) : 199-203. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Levitt, J. 1980. Responses of Plant to Environmental Stresses. Second edition. Academic Press. New York Louhenapessy, J.E. 2006. Potensi dan pengelolaan sagu di Maluku. Makalah disampaikan pada lokakarya sagu dengan

145

TEKNIK PENYIMPANAN SEMAI KAYU BAWANG (Dysoxylum moliscimum) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGHAMBAT TUMBUH DAN PENGATURAN NAUNGAN Storage Techniques of Kayu Bawang (Dysoxylum moliscimum) Seedlings Through Growth Inhibitor Treatments and Shield Prerequisites
Dida Syamsuwida dan/and Aam Aminah
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor Jalan Pakuan-Ciheuleut, PO Box 105, Bogor - 16001 Telp./Fax. (0251) 8327768 Naskah masuk : 14 Juli 2010; Naskah diterima : 1 Juni 2011

ABSTRACT

Kayu bawang (Dysoxylum moliscimum) is one of forest tree species that known to have seeds with rapidly loss their viability in several days, so as storage of the seed for this species is still becoming a question. Therefore, there should be an attemption to carry out a research on storing seedlings other than seeds by using slow growth method. The aim of the research was to determine the influence of growth inhibitors, environment conditions and seedling ages on the growth of kayu bawang seedlings during storage. The growth regulators were consisted of paclobutrazol, NaCl and aquadest as the control. The environment conditions were arranged by placing the seedlings under heavy, moderate and light shading. Meanwhile, the age of seedlings at the time of spraying were 1, 2 and 3 months olds. Statistically, the research was proposed by using factorial random complete design. The results revealed that factors inhibiting the growth rate of kayu bawang seedlings effectively in term of storing for 6 months were the placement of 3 months old seedlings under heavy shading (T 25 0C, RH 96 %, light intensity of 650 lux) and application of NaCl 0.5% solution. Such treatments could supress the height and diameter growth of the seedlings up to 59.13 % in average and gave 95% of seedling survival.
Keywords: Growth regulators, NaCl solution, kayu bawang (Dysoxylum moliscimum), paclobutrazol, seedling ages ABSTRAK

Kayu bawang (Dysoxylum moliscimum) adalah salah satu jenis pohon hutan yang dikenal memiliki benih dengan viabilitas yang cepat menurun dalam beberapa hari, sehingga penyimpanan benih untuk jenis ini masih menjadi kendala. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian penyimpanan semai dengan menggunakan metode 'pertumbuhan lambat' (slow growth). Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh beberapa bahan pengatur tumbuh, kondisi simpan dan umur semai pada saat penyemprotan terhadap pertumbuhan semai jenis kayu bawang selama penyimpanan. Bahan pengatur tumbuh yang digunakan adalah paklobutrazol, NaCl dan akuades sebagai kontrol. Kondisi tempat simpan terdiri dari naungan berat, naungan sedang dan naungan ringan. Sedangkan umur semai pada saat penyemprotan adalah 1, 2 dan 3 bulan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang menghambat pertumbuhan semai secara efektif sehubungan dengan upaya penyimpanan selama 6 bulan adalah penyemprotan semai umur 3 bulan dibawah kondisi naungan berat (T 25 0C, RH 96 %, intensitas cahaya 650 lux) dan penerapan larutan NaCl 0,5%. Kondisi ini dapat menekan pertumbuhan tinggi dan diameter rata-rata sebesar 59,13 % serta memberikan persen hidup sebesar 95%.
Kata kunci : Bahan pengatur tumbuh, kayu bawang (Dysoxylum moliscimum), larutan NaCl, paklobutrazol, umur semai

147

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 147 - 153

I. PENDAHULUAN

II. BAHAN DAN METODE

A. Latar Belakang Kayu bawang (Dysoxylum moliscimum) merupakan jenis andalan Kabupaten Bengkulu Utara yang mempunyai pertumbuhan cepat dan kualitas yang baik, terutama untuk kayu pertukangan. Kayu bawang berkembang secara alami di hutan - hutan sekunder terutama daerah Bengkulu Utara. Kayu bawang dikembangbiakkan oleh masyarakat secara generatif/dengan biji. Musim bunga dimulai sekitar bulan Pebruari dan saat pengunduhan biji pada bulan Mei - Juli. Jumlah biji per kilogramnya adalah 200 - 300 biji. Biji kayu bawang segar mempunyai persen tumbuh 80 %, dengan masa dormansi singkat kurang lebih 10 hari. Lewat masa tersebut persentase tumbuh menurun menjadi 50% (Riyanto, 2001). Jenis kayu bawang adalah satu di antara sekian banyak jenis pohon hutan yang dikenal memiliki benih dengan viabilitas yang cepat menurun dalam beberapa hari, sehingga penyimpanan benih untuk jenis tanaman ini masih menjadi kendala. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian penyimpanan semai dengan menggunakan metode 'pertumbuhan lambat' (slow growth) yang diadopsi dari teknik penyimpanan Hawkes (1980). Metode pertumbuhan lambat pada prinsipnya adalah menekan pertumbuhan semai selama dalam penyimpanan dengan memanipulasi kondisi lingkungan tempat simpan atau menambahkan bahan pengatur tumbuh dengan tetap mempertahankan daya hidupnya (Krishnapillay et al., 1999). Setiap jenis tanaman akan memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan yang diberikan demikian juga umur tanaman saat diberi perlakuan. Sehubungan dengan upaya penyimpanan semai kayu bawang, maka telah dilakukan penelitian penyimpanan dengan melibatkan faktor kondisi lingkungan tempat simpan, bahan pengatur tumbuh dan umur semai saat penyemprotan yang efektif untuk disimpan. B. Tujuan dan Sasaran Tu j u a n p e n e l i t i a n a d a l a h u n t u k mendapatkan teknik penyimpanan semai kayu bawang melalui aplikasi bahan penghambat tumbuh dan pengaturan naungan pada umur semai yang berbeda.

A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan Stasiun Penelitian Nagrak yang berjarak 10 km dari Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor. Lokasi pengumpulan buah dilakukan di Kabupaten Bengkulu Utara.Waktu kegiatan dimulai bulanPebruarihinggabulanDesember2008. B. Bahan danAlat Penelitian Bahan yang digunakan adalah benih-benih kayu bawang. Alat-alat yang digunakan adalah alat gelas, timbangan analitis, oven, kaliper, rumah tumbuh, bedeng semai, bak perkecambahan, shading net, pasir, tanah, label, termometer, higrometer, dan luxmeter. C. Metode Penelitian 1. Tahapan Pelaksanaan a. Pengecambahan benih Benih dikecambahkan dalam bak kecambah berisi media pasir-tanah dengan perbandingan 1:1, kemudian diletakkan di rumah kaca dan dilakukan penyiraman setiap hari. Kecambah dibiarkan tumbuh hingga berumur kurang lebih 4-5 minggu. b. Perlakuan Semai yang telah berumur 5 minggu dipindahkan (disapih) ke dalam polybag ukuran 10 cm x 20 cm yang masing-masing berisi media pasir. Setelah semai berumur 1,2,3 bulan setelah penyapihan, semai diletakkan di bawah naungan berat (T = 25 OC; RH = 96 %; intensitas cahaya 650 lux), sebagian lagi diletakkan di bedeng bernaung sedang (T = 280C; RH = 80 %, intensitas cahaya 8935 lux) dan naungan ringan (T = 300C, RH = 40%, intensitas cahaya 17593 lux), kemudian tanaman disemprot dengan bahan penghambat tumbuh paklobutrazol (250 ppm), NaCl (0,5%) dan akuades sebagai kontrol. Larutan paklobutrazol 250 ppm dipersiapkan dengan cara melarutkan 1 mm paclobutrazol 250 gr/l bahan aktif ke dalam 999 ml akuades. Kedua larutan tersebut kemudian diaduk sehingga menghasilkan 1000 ml (1 liter) larutan paclobutrazol 250 ppm. Untuk mendapatkan larutan NaCl 0,5% dilakukan dengan cara melarutkan NaCl 5 gr ke dalam 999 ml akuades, sehingga menghasilkan 1 liter larutan NaCl 0,5%. Semai pada masing-masing kondisi perlakuan, disimpan selama 6 bulan dan setiap

148

Teknik Penyimpanan Semai Kayu Bawang (Dysoxylum moliscimum) melalui Pemberian Zat Penghambat Tumbuh dan Pengaturan Naungan Dida Syamsuwida dan Aam Aminah

interval 1 bulan diamati dan diukur respon pertumbuhannya. 2. Rancangan Penelitian Percobaan terdiri dari 3 faktor perlakuan yaitu A: bahan penghambat pertumbuhan (aquades, paclobutrazol dan NaCl); B: kondisi simpan (naungan berat, naungan sedang dan naungan ringan; serta C: umur semai pada saat penyemprotan (1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan). Rancangan percobaan didekati dengan rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3 x 3 dengan ulangan 3 kali sehingga diperoleh 27 kombinasi perlakuan dan 81 satuan percobaan. Satu satuan perlakuan terdiri dari 12 semai. Perlakuan yang berbeda selanjutnya diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Penyimpanan dilakukan selama 6 bulan, setiap bulan sebanyak 12 contoh uji tanaman diamati dan diukur pertumbuhannya. Ke-12 contoh uji adalah banyaknya satuan perlakuan untuk semai kayu bawang.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil

Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap parameter pertambahan tinggi, diameter dan persen hidup semai kayu bawang selama penyimpanan disajikan dalam Tabel 1.

Hasil pengukuran pertumbuhan tinggi semai kayu bawang selama penyimpanan dalam berbagai kondisi ruang simpan, perlakuan bahan pengatur tumbuh dan umur semai setelah dilakukan analisis secara statistik, menunjukkan bahwa bahan pengatur tumbuh dan kondisi ruang simpan berpengaruh sangat nyata pada pertumbuhan tinggi semai kayu bawang, sedangkan interaksi antara kondisi ruang simpan, bahan pengatur tumbuh dan umur semai berpengaruh nyata pada pertumbuhan tinggi semai kayu bawang. Hasil pengamatan terhadap diameter semai kayu bawang menunjukkan bahwa kondisi ruang simpan dan umur semai berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan diameter kayu bawang. Hasil pengukuran persen hidup semai kayu bawang selama penyimpanan dalam berbagai kondisi ruang simpan, perlakuan bahan pengatur tumbuh dan umur semai setelah dilakukan analisis sidik ragam, menunjukkan bahwa kondisi ruang simpan, umur semai, interaksi antara bahan pengatur tumbuh dan umur semai, interaksi antara kondisi ruang simpan dan umur semai berpengaruh sangat nyata pada persen hidup semai kayu bawang, sedangkan interaksi antara kondisi ruang simpan, bahan pengatur tumbuh dan umur semai berpengaruh nyata pada persen hidup semai kayu bawang.

Tabel (Table) 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam (Kuadrat Tengah) pengaruh perlakuan terhadap tinggi, diameter dan persentase hidup semai kayu bawang (The summary of analysis of variances for height, diameter, and survival percentage of kayu bawang)
Perlakuan (Treatments ) A B AXB C AxC BxC AxBxC PertumbuhanTinggi (Height growth ) (cm) 8,14 ** 12,49 ** 2,22 2,42 3,68 3,69 3,74 *
= = = = = =

Pertumbuhan diameter (Diameter growth ) (mm) 0,26 9,47** 0,28 12,74** 0,78 1,51 1,44

Persen hidup (Survival percentage ) (%) 1,04 33,89** 2,49 41,64** 11,14** 19,81** 3,28*

Keterangan (Remarks): ** * tn A B C

Nyata pada taraf 1% (significant at 1% level) Nyata pada taraf 5% (significant at 5% level) tidak nyata (non-significant) Bahan pengatur tumbuh (growth regulators) Kondisi tempat simpan (storage site condition) umur semai ( seedling ages)

149

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 147 - 153

Hasil uji beda rata-rata interaksi antara bahan pengatur tumbuh, kondisi tempat simpan dan umur semai disajikan dalam Tabel 2. Hasil uji beda rata-rata interaksi antara penyemprotan dengan aquades di bawah naungan sedang dan umur penyemprotan 1 bulan

mempunyai nilai pertambahan tinggi terbesar yaitu sebesar 8,68 cm. Sedangkan hasil uji beda rata-rata interaksi antara bahan pengatur NaCl, kondisi tempat simpan naungan berat dan umur semai 3 bulan menghasilkan nilai pertambahan tinggi paling rendah yaitu sebesar 0,49 cm.

Tabel (Table) 2. Uji beda nyata pengaruh interaksi antara bahan pengatur tumbuh, kondisi tempat simpan dan umur semai terhadap pertambahan tinggi semai kayu bawang (Result of the Duncan multiple range test of the effect of interaction between growth inhibitors, site conditions and seedling ages on the increment height of kayu bawang)

Bahan (Material) Aquades

Paclobutrazol

NaCl

Naungan (Shade) Berat Sedang Ringan Berat Sedang Ringan Berat Sedang Ringan

1 1.79ab 8.68a 3.58ab 2.63ab 4.60ab 4.72ab 0.97ab 1.15ab 3.28ab

Umur (Age) (Bulan (Month)) 2 3.12ab 3.22ab 4.88ab 1.71ab 3.30ab 3.58ab 1.99ab 3.52ab 4.12ab

3 2.99ab 2.16ab 3.19ab 3.40ab 2.99ab 3.28ab 0.49b 1.50ab 3.91ab

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada taraf 1% menurut uji Duncan (These numbers are followed by the same letter showed no significant differences at 1% level according to Duncan's test)

Hasil uji beda rata-rata pengaruh kondisi tempat simpan terhadap pertambahan diameter semai kayu bawang dapat dilihat pada Tabel 3. Penyimpanan pada kondisi naungan berat menghasilkan pertumbuhan diameter yang nyata lebih lambat (1,16 mm) dibandingkan kondisi naungan ringan (1,70 mm) namun tidak berbeda nyata dengan naungan sedang (1,38 mm)

Hasil uji beda rata-rata pengaruh umur semai terhadap diameter semai dapat dilihat pada Tabel 4. Semai dengan perlakuan umur bibit 3 bulan menghasilkan nilai pertambahan diameter terendah yaitu (1,07 mm) dibandingkan umur bibit 2 bulan (1,45 mm) dan umur 1 bulan (1,71 mm). Masing-masing umur semai memiliki nilai pertambahan diameter yang berbeda satu sama lain menurut uji Duncan.

Tabel (Table) 3. Uji beda nyata pengaruh kondisi tempat simpan terhadap pertambahan diameter kayu bawang (Result of the Duncan multiple range test of the effect of site conditions on the increment diameter of kayu bawang)
Perlakuan (Treatments ) Naungan ringan Naungan sedang Naungan berat

Rata rata (mean)


1,70 1,38 1,16

Pengelompokan Duncan (Duncan Grouping) A B B

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada taraf 1% menurut uji Duncan (These numbers followed the same letter showed no significant differences at 1% level according to Duncan test)

150

Teknik Penyimpanan Semai Kayu Bawang (Dysoxylum moliscimum) melalui Pemberian Zat Penghambat Tumbuh dan Pengaturan Naungan Dida Syamsuwida dan Aam Aminah

Tabel (Table) 4. Uji beda nyata pengaruh umur semai terhadap pertambahan diameter kayu bawang (Result of the Duncan multiple range test of the effect of seedling ages on the increment diameter of kayu bawang)

Perlakuan (Treatments ) Umur 1 bln Umur 2 bln Umur 3 bln

Rata rata (Mean) 1,71 1,45 1,07

Pengelompokan Duncan (Duncan Grouping) A B C

Keterangan (Remarks): Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada taraf 1% menurut uji Duncan (These numbers are followed by the same letter showed no significant differences at 1% level according to Duncan test)

Hasil interaksi antara bahan penghambat tumbuh, kondisi tempat simpan dan umur semai pada saat penyemprotan terhadap persen hidup semai kayu bawang disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. menunjukkan bahwa pada umumnya semai yang disemprot dengan paclobutrazol 250 ppm, ditempatkan di

bawah naungan ringan pada umur 1 dan 2 bulan mempunyai persen hidup yang tinggi yaitu sebesar 100 %, sedangkan semai yang disemprot dengan akuades pada umur 1 bulan dan disimpan pada naungan berat mempunyai persen hidup terendah dengan nilai 44,4 %.

Tabel (Table) 5. Uji beda rata-rata pengaruh interaksi antara bahan penghambat tumbuh, kondisi tempat simpan dan umur semai terhadap persen hidup semai kayu bawang (Result of the Duncan multiple range test of the effect of interaction between growth inhibitors, site conditions and seedling ages on seedling survival of kayu bawang)
Bahan (Material) Aquades Naungan (Shade) Berat Sedang Ringan Berat Sedang Ringan Berat Sedang Ringan 1 44.4i 50.0i 80.6ef 50.0i 83.2de 100.0a 47.2i 72.2g 100.0a Umur (Age) (Bulan (Month)) 2 88.9cd 88.9cd 88.9cd 100.0a 97.2ab 100.0a 91.7bc 88.9cd 94.4abc 3 97.2ab 97.2ab 97.2ab 75.0fg 61.1h 97.2ab 94.4abc 50.0i 97.2ab

Paclobutrazol

NaCl

Keterangan (Remarks) : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada taraf 1% menurut uji Duncan (These numbers followed the same letter showed no significant differences at 1% level according to Duncan test)

B. Pembahasan Hasil pengukuran pertumbuhan tinggi semai kayu bawang selama penyimpanan menunjukkan bahwa secara keseluruhan tinggi semai setelah penyimpanan memperlihatkan kecenderungan meningkat. Dengan demikian selama penyimpanan pertumbuhan tanaman tetap berjalan, namun dengan pertambahan yang relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil

perlakuan bahan penghambat tumbuh ataupun manipulasi kondisi tempat simpan yang kurang cahaya terhadap pertumbuhan tinggi semai kayu bawang. Bahan penghambat tumbuh NaCl dapat menekan pertumbuhan tinggi semai seperti halnya Paclobutrazol. NaCl tidak termasuk ke dalam golongan zat penghambat tumbuh, namun demikian bahan kimia yang berupa garam ini

151

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 147 - 153

dapat menjadi bahan untuk menghambat pertumbuhan tanaman. Menurut Soepardi (1983) semakin tinggi konsentrasi kandungan garam dalam tanah, pertumbuhan tanaman akan semakin terhambat. Hal ini terjadi karena ion-ion sudah dalam jumlah yang tidak seimbang sehingga menjadi racun bagi tanaman. Meningkatnya konsentrasi garam dalam air pada tanaman mengakibatkan ketersediaan air bagi tanaman menurun, oleh karena itu konsentrasi garam tinggi dapat menghambat pertumbuhan tanaman, tidak hanya dikarenakan oleh keracunan pada akar tanaman tapi juga berkurangnya air bagi tanaman. Mekanisme penyerapan yang serupa terjadi pada larutan garam yang disemprotkan kearah daun (pupuk daun) dimana garam yang terlarut dalam air dapat masuk ke ruang interselular melalui lubang stomata. Menurut Kozlowsky dan Pallardy (1979) penyerapan hara melalui daun tergantung dari : cahaya, suhu, kelembaban relatif, umur daun, status nutrisi dalam tanaman, formulasi dan konsentrasi nutrisi (pupuk). Garam menghambat pertumbuhan melalui pengaruh Na + dan Cl yang terserap tanaman dan kurang tersedianya air bagi tanaman, yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan akar tunggang (Hendromono, 2001). Menurut Hawley (1981) NaCl tersusun dari unsur Na + dan Cl yang mana ion Cl nya secara analogis mempunyai sifat mekanisme yang sama dengan ion Cl yang terdapat dalam paklobutrazol. Karena Cl merupakan elektrolit kuat sehingga dapat menimbulkan stress pada biosintesa giberellin. Penekanan pertumbuhan tinggi semai kayu bawang juga terjadi pada perlakuan kondisi tempat simpan dimana pada kondisi naungan berat yang mempunyai intensitas cahaya paling sedikit (650 lux) dibandingkan tempat dengan naungan sedang (8935 lux) maupun ringan (17593 lux). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman memerlukan cahaya untuk pertumbuhannya, sehingga selama penyimpanan dalam naungan berat, semai mengalami penghambatan dalam pertumbuhan tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh Lakitan (1996) bahwa salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah intensitas cahaya. Menurut Lakitan perpanjangan batang adalah berbanding terbalik dengan intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang masuk pada rumah tumbuh (650 lux) masih cukup bagi tanaman untuk melakukan fotosintesa sehingga metabolisme masih berjalan baik walaupun tidak

maksimal yang menyebabkan penghambatan terhadap pertumbuhan tinggi. Terjadinya etiolase pada tanaman yang ternaungi, perpanjangan batang, pengurangan ketebalan daun tampaknya lebih disebabkan oleh perubahan dalam kualitas cahaya ke arah merah-jauh (far red) daripada pengurangan intensitas cahaya itu sendiri (Fisher, 1996). Umur semai saat perlakuan pada penelitian ini sangat berpengaruh terhadap laju pertambahan tinggi dan diameter tanaman. Pada penelitian ini umur semai 3 bulan sangat efektif digunakan untuk tujuan penyimpanan dibandingkan umur semai yang lebih muda (1 dan 2 bulan). Hal ini diduga terjadi karena tanaman yang lebih tua telah mengalami penurunan aktifitas metabolisme untuk menghasilkan energi bagi pertumbuhannya, sehingga sangat responsif terhadap cekaman lingkungan yang diberikan. Menurut Fisher (1996) penurunan aktifitas metabolisme pada tanaman utuh, biasanya terjadi karena pengaruh kondisi lingkungan yang menyebabkan meningkatnya zat penghambat dan akibatnya terjadi perlambatan dalam pertumbuhan primordia daun dan batang. Namun apabila cekaman lingkungan (dormansi) berakhir, maka akan terjadi kenaikan dalam pertumbuhan. Sedangkan menurut Kamaluddin (1999) respon tanaman yang tahan naungan seperti pada jenis Dipterocarpaceae, cukup peka terhadap manipulasi kondisi lingkungan. Namun demikian perlu memperhitungkan waktu penggunaan semai untuk bibit ketika akan ditanam di lapang agar umur tanaman tidak terlalu tua. Secara keseluruhan pengaruh bahan penghambat pertumbuhan berkaitan dengan naungan yang diberikan terhadap penekanan pertumbuhan tinggi. Seperti misalnya NaCl dalam penelitian ini pada umur berapapun dapat menghambat pertumbuhan tinggi apabila diberikan pada kondisi naungan berat. Dalam kasus ini tampaknya gabungan perlakuan intensitas cahaya dan salinitas (kadar garam) merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan tinggi semai kayu bawang dimana kombinasi antara pencahayaan yang sedikit (650 lux) menyebabkan proses fotosintesa tidak berjalan dengan baik dan diperparah dengan adanya larutan garam 0,5% yang disemprotkan, yang menyebabkan kerusakan membran sel daun dan penutupan stomata daun, sehingga metabolisme terganggu dan pertumbuhan terhambat. Cahaya diyakini berpengaruh tidak langsung melalui

152

Teknik Penyimpanan Semai Kayu Bawang (Dysoxylum moliscimum) melalui Pemberian Zat Penghambat Tumbuh dan Pengaturan Naungan Dida Syamsuwida dan Aam Aminah

penurunan konsentrasi CO2 oleh fotosintesis, namun sejumlah kajian juga menyebutkan bahwa cahaya mempunyai pengaruh kuat terhadap stomata, terlepas dari peranannya dalam fotosintesis (Salisburry and Ross, 1995). Ketika semai masih berumur 1 bulan dan disimpan pada kondisi intensitas cahaya sedang (8935 lux), maka pertumbuhan tinggipun masih terhambat. Hal ini terjadi mungkin karena umur semai yang masih muda memiliki jumlah klorofil yang relatif sedikit sehingga kekuatan dalam menangkap energi cahaya yang diberikan sangat terbatas dan akibatnya pertumbuhan tidak optimal. Kondisi ini terjadi juga pada semai yang diberi bahan penghambat paklobutrazol dimana efektivitas dalam penekanan pertumbuhan tinggi terjadi pada semai umur 1 bulan dan intensitas cahaya yang sedang. IV. KESIMPULAN Faktor yang menghambat pertumbuhan semai kayu bawang selama penyimpanan 6 bulan adalah penerapan larutan NaCl 0,5% pada semai umur 3 bulan dibawah kondisi naungan berat (T 25 0C, RH 96 %, intensitas cahaya 650 lux). Kondisi ini dapat menekan pertumbuhan tinggi dan diameter rata-rata sebesar 59,13 % serta mempertahankan persen hidup hingga 95%. DAFTAR PUSTAKA Fisher, N.M. 1996. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman: Fase Vegetatif. Ed. Goldsworthy, P.R and N.M Fisher. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropika. Gadjah Mada University Press. Hal. 156213. Hawkes, J.G. 1980. Genetic Conservation of Recalcitrant Species: an Overview. In Whithers, L.A & William, J.T (Eds). Crop Genetic Resources. The Conservation of Difficult Materials. IPGR, Rome.

Hendromono. 2001. Batas Toleransi Bibit Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dan Mahoni (Swietenia macrophylla King) terhadap Kandungan Garam Air Penyiraman. Buletin Penelitian Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hal. 1-8 Kozlowsky, T.T dan S.G Physiology of Woody Academic Press. San Boston, New York, Toronto. P.411 Pallardy. 1979. Plants. 2 nd Ed. Diego, London, Sydney, Tokyo,

Krishnapillay, B, F.Y. Tsan, M.Marzalina, N.Jayanthi and N.A Nashatul Zaimah. 1999. Slow Growth as a Method to Ensure Continuous Supply of Planting materials for recalcitrant seed species. Marzalina, In M; K.C Khoo; N. Jayanthi; F.Y Tsan and B. Krishnapillay (Eds). Proc. IUFRO Seed Symposium 1998 'Recalcitrant Seeds'. Kualalumpur. Malaysia. Pp. 280285. Kamaluddin, M. 1999. Manipulation of Growth Light Environment for Storage of Seedlings of Shade-Tolerant Forest Tree Species in nursery. In Marzalina, M; K.C Khoo; N. Jayanthi; F.Y Tsan and B. Krishnapillay (Eds). Proc. IUFRO Seed Symposium 1998 ' Recalcitrant Seeds'. Kualalumpur. Malaysia.Pp.286-295. Lakitan, B. 1996. Fisiologi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. P.T Raja Grafindo Persada. Jakarta. Riyanto, H.D. 2001. Kayu Bawang (Dysoxylum sp) Berpotensi untuk Kayu Pertukangan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang, 12 Nopember 2001. Palembang. Salisbury, FB and CW Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1. Penerbit ITB Bandung. Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Jurusan Ilmu-ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

153

TIPOLOGI DESA BERDASARKAN VARIABEL PENCIRI HUTAN RAKYAT Village Typologies Analysis Based on Characteristic Variables of Private Forest
Tien Lastini , Endang Suhendang , I Nengah Surati Jaya , Hardjanto2, dan/and Herry Purnomo2
1 2 2

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB. Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat Telp. (0251) 8622642, email : tien_unw@yahoo.com 2 Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Darmaga Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Jawa Barat-Indonesia Telp (0251)8622642 Naskah masuk : 11 Februari 2011; Naskah diterima : 10 Juni 2011

ABSTRACT

The study examined the use of biophysical and socio-economic factors to classify village as characteristic variables of private forest. The main objective of this study is to determine the most significant variables that affect the village typologies related to private forest area. This study was conducted in Kabupaten Ciamis covering 363 villages. There are six of biophysical factors i.e., non rice field-land use, road density, distance to state forest area, distance to main road, land capacity, land configuration; and three of socio-economic factors i.e., population density, permanent home, and productive age population were investigated. The study found that most of those factors has close correlation with the existence of private forest. The only factor that has no correlation with private forest area is distance to main road. Clustering analysis of the study found two typologies of private forest development, namely high potential area and low potential area types. Selected variables for clustering are based on the principle component analysis design of eight correlated variables, with having overall accuracy of 64%.
Keywords: Biophysical, clustering analysis, private forest, socio-economic, village typologies ABSTRAK

Penelitian ini menguji penggunaan faktor biofisik dan sosial ekonomi dalam mengklasifikasi desa dengan variabel penciri hutan rakyat. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan variabel yang paling signifikan yang mempengaruhi tipologi desa yang terkait dengan luas hutan rakyat. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis menggunakan data 336 desa. Dasar pembuatan tipologi pada penelitian ini adalah faktor biofisik dan sosial ekonomi. Terdapat 6 variabel biofisik yaitu: penggunaan lahan non sawah, kelerengan lahan, jarak ke kawasan hutan negara, jarak ke jalan besar, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan dan dan 3 variabel sosial ekonomi yaitu: kepadatan penduduk, rumah permanen, dan umur produktif penduduk yang diteliti. Hasil penelitian menemukan terdapat delapan variabel yang berkorelasi, dan satu variabel yang tidak berkorelasi dengan luas hutan rakyat yaitu jarak ke jalan besar. Berdasarkan analisis gerombol, penelitian berhasil menemukan 2 tipologi hutan rakyat, yaitu wilayah yang berpotensi tinggi dan berpotensi rendah untuk berkembangnya hutan rakyat. Variabel yang terpilih untuk penggerombolan adalah berdasarkan desain hasil analisis komponen utama terhadap 8 variabel yang berkorelasi, dengan nilai akurasi umum sebesar 64%.
Kata kunci : Biofisik, analisis gerombol, hutan rakyat, sosial ekonomi, tipologi desa

155

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 155 - 168

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki karakteristik yang unik. Secara spasial hutan rakyat umumnya tidak tersebar dalam suatu hamparan yang kompak. Luasan kepemilikan relatif kecil sehingga untuk mencapai luasan yang besar maka perlu penggabungan beberapa kepemilikan lahan. Di Pulau Jawa rata-rata kepemilikan dalam satu hamparan sempit kurang dari 1 ha, sehingga sulit untuk mencapai luasan minimum 0,25 ha (Suharjito 2000 dan Haeruman et al. 1991). Luas 0,25 ha sampai saat ini dipakai sebagai syarat untuk dikategorikan sebagai hutan. Sangat berbeda dengan kondisi di luar Indonesia seperti negara-negara Eropa Utara (Filandia, Swedia, dan Norwegia), dimana luasan lahan kepemilikan berkisar antara 5-40 ha per keluarga (Harrison et al. 2002). Pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara individual (pada tingkat keluarga) pada lahan miliknya, yang menyebabkan hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani yang akan berpengaruh terhadap jumlah pohon pada setiap kepemilikan. Segala keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga (Mindawati et al., 2006). Kondisi petani di Indonesia umumnya subsisten, menyebabkan keadaan tersebut menjadikan petani dalam posisi lemah, seperti posisi tawar yang lemah dan informasi yang kurang. Sistem pengelolaan hutan rakyat dengan berdasarkan komponen-komponen yang

mendukung dapat menjamin kelestariannya. Dengan demikian untuk menerapkan dan menganalisis komponen-komponen kelangsungan pelestarian itu perlu dibuat suatu perencanaan wilayah berbentuk suatu wadah atau unit pengelolaan. Perencanaan wilayah tersebut sebaiknya bersifat spesifik dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi. Pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat memerlukan penggalian karakteristikkarakteristik wilayah yang ingin dikelola, pengelompokan berdasarkan karakteristik tertentu disebut dengan tipologi. Dengan terbentuknya tipologi hutan rakyat diharapkan dapat menentukan arah pengembangan pengelolaan hutan rakyat suatu wilayah yang unik berdasarkan karakteristik masingmasing wilayahnya. Selain itu, tipologi ini dapat membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menemukan faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi yang membentuk tipologi untuk menduga potensi hutan rakyat.
II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat yang mencakup sebanyak 336 desa, dimulai bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011. Kabupaten Ciamis memiliki potensi hutan rakyat yang besar di Jawa Barat.

Gambar (Figure) 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Ciamis ( Research areas in Kabupaten Ciamis)

156

Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya,Hardjanto, dan Herry Purnomo

B. Bahan danAlat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : peta digital administrasi Kabupaten Ciamis, peta digital kontur, peta digital jaringan jalan, peta digital jenis tanah, peta digital kawasan hutan negara (sumber RBI tahun 2006 dan Baplan 2011), data profil desa Kabupaten Ciamis tahun 2006. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Arc View versi 3.2, SPSS versi 17, Minitab versi 14, dan alat pendukung lainnya. C. Metode 1. Pengumpulan Data a. Data sekunder diperoleh dari publikasi lembaga pemerintahan seperti Dinas Kehutanan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Peternakan dan Kehutanan (BP4K), Kementerian Kehutanan, BPS, lembaga penelitian, perguruan tinggi, serta literatur publikasi ilmiah lainnya. b. Data dan informasi atas hasil analisis pengolahan spasial peta dijital lokasi penelitian dibantu dengan beberapa layer yang mendukung, yaitu peta kontur, peta jaringan jalan, peta kawasan hutan negara, peta tanah, dan peta batas administrasi. 2. Analisis Data 2.1. Identifikasi Variabel-Variabel Pendukung Keberadaan Hutan Rakyat Dalam penelitian ini dicari variabelvariabel yang sangat mempengaruhi keberadaan hutan rakyat di suatu lokasi, dengan unit analisisnya adalah desa. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang terkait dengan hutan rakyat dan pengaruh biofisik terhadap perkembangan suatu wilayah (Suharjito 2000; Awang et al., 2007; Haeruman et al., 1991; Hardjanto 2003) ditemui variabel-variabel sebagai berikut :

a. Jarak Terdekat Desa ke Jalan Besar Jarak terdekat ini didefinisikan sebagai jarak lurus (km) dari batas desa terhadap jalan besar terdekat. Pada penelitian ini yang dimaksud jalan besar adalah jalan kolektor. Jalan kolektor yaitu jalan yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten atau kotamadya terhadap kepentingan provinsi. Perhitungan jarak dilakukan dengan analisis spasial. b. Jarak Terdekat Desa ke Kawasan Hutan Negara Terdekat. Jarak terdekat ini didefinisikan sebagai jarak lurus (km) dari batas desa terhadap kawasan batas hutan negara terdekat. Kedekatan terhadap kawasan hutan negara memiliki peluang untuk berkembangnya hutan rakyat baik secara alam maupun budaya. Perhitungan jarak terdekat tersebut menggunakan analisis spasial terhadap 2 layer, yaitu layer batas administrasi desa dengan batas kawasan hutan negara di Kabupaten Ciamis. c. Rasio Kelerengan Lahan Menurut Awang et al., (2001) menyatakan salah satu areal yang menjadi sasaran pembangunan hutan rakyat adalah areal kritis dengan keadaaan lapangan berjurang dan bertebing. Sehingga variabel yang perlu diperhatikan adalah perbandingan (rasio) antar luas areal dengan kelas kelerengan lahan yang lebih besar sama dengan 15% terhadap total luas desa. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelas lereng yang sudah umum digunakan dalam penatagunaan hutan. Kelas-kelas kelerengan dalam suatu wilayah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel (Table) 1. Klasifikasi kelas lereng ( Clasification of slope classes)

No. 1 2 3 4 5

Kelas lereng (Slope classes) Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam

Kisaran (Intervals) (%) 08 8 15 15 25 25 40 > 40

157

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 155 - 168

d. Penggunaan Lahan Bukan Sawah (Non Sawah) Penggunaan lahan bukan sawah adalah perbandingan (rasio) areal lahan pertanian non sawah dengan luas total desa. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas). e. Kerapatan Jalan Kerapatan jalan adalah rasio antara luas jalan (m) dengan luas desa(ha). Rumusnya dapat dilihat sebagai berikut: Panjang jalan (m) Kerapatan Jalan Luas desa (ha) f. Kemampuan Lahan Hutan rakyat di Jawa umumnya banyak ditanam di wilayah lahan kritis yang tidak subur, sehingga diduga ada hubungan antara potensi hutan rakyat dengan kondisi kemampuan lahannya. Kemampuan lahan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk membuat modifikasi kelas kemampuan lahan adalah kelerengan, kepekaan erosi, kedalaman tanah, tekstur tanah permeabilitas, dan drainase di suatu wilayah desa. Adapun variabel kemampuan lahan di suatu desa (KL) (Arsyad, 1989):
8

Luas Total Desa Dimana : Li = Luas kemampuan lahan kelas ke- i (i=1, 2,3....8) NTi = Nilai Tengah kelas ke- i (i=1, 2,3....8)

KL =

i = 1 Li

Nti

g. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk didefinisikan sebagai rasio antara jumlah penduduk di setiap desa (orang) dengan luas administratif desa (ha). Umumnya hutan rakyat timbul pada wilayah-wilayah yang masih kurang padat penduduknya. H. Rasio Umur Produktif Rasio umur produktif adalah perbandingan antara jumlah penduduk berusia produktif (15 - 64 tahun) dengan luas total desa. Pengelolaan hutan rakyat masih dianggap kegiatan sampingan yang bersifat tidak intensif, sehingga diduga beberapa wilayah yang berkembang hutan rakyatnya ketika jumlah umur produktif sedikit dan didominasi umur non produktif. f. Rasio Rumah Permanen Rasio rumah permanen merupakan pendekatan terhadap informasi pendapatan penduduk. Diasumsikan bahwa ketika pendapatan penduduk semakin meningkat maka kondisi rumahnya akan semakin permanen. Untuk data pendapatan dilakukan dengan pendekatan terhadap kondisi perumahan, yaitu dari rasio antara jumlah rumah permanen dengan total rumah di desa bersangkutan. Semakin besar rasio maka diasumsikan pendapatan penduduk setempat semakin tinggi. Sehingga secara keseluruhan ada 9 (sembilan) variabel yang diuji untuk mengetahui yang berpengaruh terhadp pembagian tipologi. Secara ringkas variabel-variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel (Table) 2. Variabel-variabel tipologi hutan rakyat (Typology Variables of private forest)
No. 1. Indikator (Indicators) Karakteristik Bio-Fisik Peubah-Peubah (Variables ) - Jarak ke kawasan hutan hutan negara - Jarak ke jalan besar - Kemampuan Lahan - Rasio kelerengan lahan - Penggunaan Lahan ( land use) - Kerapatan jaringan jalan - Kepadatan penduduk - Tingkat rumah permanen - Rasio Umur produktif penduduk

2.

Karakteristik Sosial dan Ekonomi

158

Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya,Hardjanto, dan Herry Purnomo

2.2. Penentuan Variabel Dominan Dari 9 (sembilan) variabel akan dianalisis hubungannya dengan hutan rakyat di suatu desa. Potensi hutan rakyat dalam penelitian ini adalah luas hutan rakyat di suatu desa. Untuk menganalisis hal tersebut digunakan 2 cara, yaitu : a. Analisis Korelasi Pada penelitian ini, analisi korelasi menghubungkan 2 variabel yaitu masing-masing 9 variabel biofisik dan sosial ekonomi yang diuji dengan luas hutan rakyat di suatu desa. Analisis korelasi yang di-gunakan adalah korelasi Spearman. Nilai -1 atau +1 menunjukkan adanya hubungan yang sempurna antara X dan Y, sehingga semakin mendekati nilai tersebut semakin erat hubungan X dan Y. b. Analisis Komponen Utama ( Principal Component Analysis/PCA) Tujuan dari analisis komponen utama dalam penelitian ini , yaitu: (1) untuk mendapatkan variabel-variabel baru yang saling orthogonal/bebas, dan mereduksi objek dalam dimensi yang lebih kecil. (2) mengelompokkan variabel-variabel penting dari satu bundel variabel besar untuk menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antar variabel. Ada tiga karakteristik komponen utama: informasi data asal yang dijelaskan maksimum (memiliki ragam maksimum), antar komponen utama saling original/bebas, merupakan konbinasi linier dari variabel asal: Yi = ai1X1+ai2X2++aipXp Hasil analisis komponenkomponen utama antara lain nilai akar ciri, proporsi, dan kumulatif akar ciri. 2.3. Pembentukan Tipologi a. Penggunaan Analisis Gerombol (Clustering Analysis) Dasar pembuatan tipologi adalah variabelvariabel yang dianggap dominan dalam menentukan potensi hutan rakyat. Potensi hutan rakyat dalam penelitian ini adalah luas hutan rakyat di suatu desa. Diasumsikan bahwa potensi tersebut dapat mewakili karakteristik lokal hutan rakyat di suatu tempat. Untuk melakukan pengelompokan tipologi digunakan analisis

gerombol (clustering analysis). Penelitian ini menggunakan analisis gerombol ini dengan metode K-Means, metode ini menetapkan terlebih dahulu jumlah kelompok yang akan dibuat sehingga metode ini cocok jika data yang diolah banyak. Penggunaan metode ini banyak digunakan untuk beberapa tujuan penelitian (Rahmalia 2003). b. Pengujian Tipologi Untuk mengetahui kelompok-kelompok yang terbentuk sudah memiliki gambaran yang mirip terhadap potensi hutan rakyat, maka dilakukan pengujian sebagai berikut : (1) Uji keragaman Kelompok yang terbentuk dikatakan baik jika keragaman dalam satu kelompok kecil, tetapi keragaman antar kelompok besar. Sehingga dilakukan pengujian pada setiap kelompok yang sudah terbentuk. Keragaman dapat diketahui dengan rumus : Ragam rata-rata dalam kelompok adalah :
n m i 1 n 2

yi y
2 i i 1

i 1

n 1 m

s2 y

Keterangan : yi = luas hutan rakyat pada desa ke-i n = jumlah desa pada kelompok ke-i m = jumlah kelompok Ragam antar kelompok yang distandarkan :

Keputusan yang terbaik jika: memiliki ragam dalam kelompok yang terkecil dan ragam antar kelompok yang terbesar. Sehingga jika mencari gabungan yang terbaik adalah yang memiliki selisih ragam antar kelompok dengan ragam dalam kelompok yang terbesar. (2) Evaluasi akurasi Untuk menguji akurasi kelompok yang terbentuk menggunakan prinsip matrik kesalahan ( confusion m atrix ). Sebagai

159

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 155 - 168

standar adalah kelompok yang dibentuk berdasarkan data luas hutan rakyat. Dari confusion matrix dapat menghitung akurasi rata-rata umum (overall accuracy) dan akurasi kappa accuracy. Akurasi rata-rata umum dihitung menggunakan rumus (Jaya, 2006) sebagai berikut :

Keterangan (Remarks) : K = Akurasi Kappa (Kappa Accuracy) Xii = Coincided Value atau luasan kelas tingkat keberhasilan yang sama antara hasil tipologi dan kelas variabel yang dijadikan acuan untuk verifikasi. X+1 = Luas kolom dalam baris ke-i X1+ = Luasan dalam kolom ke-j N = Total area verifikasi III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Variabel Dominan Pembentuk Tipologi Berdasarkan korelasi Spearman terdapat hubungan yang sangat nyata antara beberapa variabel terhadap keberadaan luas hutan rakyat di suatu desa, dapat dilihat pada Tabel 3. Korelasi sangat nyata yang bersifat positif saling menguatkan adalah : rasio penggunaan lahan bukan sawah (non sawah), dan rasio kelerengan lahan. Sedangkan korelasi sangat nyata yang bersifat negatif adalah kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, umur produktif, jarak ke hutan, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. Dari 9 peubah tersebut yang memiliki nilai tiga terbesar korelasinya adalah rasio kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan rasio lahan bukan sawah. Sedangkan yang tidak berkorelasi adalah jarak desa ke jalan besar terdekat.

Keterangan (Remarks) : OA = Nilai akurasi rata-rata umum (Overall Accuracy) Xii = Coincided Value atau luasan kelas tingkat keberhasilan yang sama antar kelompok atau kelompok variabel yang dijadikan acuan untuk verifikasi. N = Total area verifikasi. Akurasi kappa pada umumnya mempunyai nilai akurasi lebih kecil dari akurasi rata-rata umum karena pada akurasi kappa dihitung tidak hanya berdasarkan jumlah desa yang dikelaskan masuk secara benar pada kelas acuan, tetapi juga menghitung jumlah desa yang dikelaskan pada tipologi tidak tepat masuk dalam kelas acuan. Akurasi kappa dihitung menggunakan rumus (Jaya, 2006) sebagai berikut :

Tabel (Table) 3. Korelasi antar variabel biofisik, sosial ekonomi, dan luas hutan rakyat (The correlation between biophysical and socio-economic variables and private forest area)
Variabel (Variables ) Luas Hutan rakyat (Private forest area) 1.000 -.357** -.197** -.380** .441** .529** -.426** Kepadatan Penduduk (Population density) -.357** 1.000 .208** .932** -.297** -.277** .225** -.154** Rumah Permanenen (Permanent home) -.197** .208** Umur Produktif (Productive age population) -.380** .932** .245** 1.000 -.265** -.264** .216** -.178** Non Sawah (Non rice field) .441** -.297** -.111 * -.265** Kelerengan lahan (Land slope) .529** -.277** Jarak Hutan (Distance to state forest area) -.426** .225** Jarak Jalan (Distance to main road) .099 -.154** Kemampuan Lahan (Land capacity) -.233** .058 KerapatnJ alan (Road density)

Luas Hutan Rakyat (Private forest area) Kepadatan Pendudu (population density) Rumah Permanen (Permanent home) Umur Prod uktif (Productive age population) Non Swh (Non rice field) Kelerengan lahan(Land slope) Jarak hutan (Distance to state forest area) Jarak Jalan (Distance to main road) KmampuanLahan (Land capacity) Kerapatan J alan (Road density)

-.496** .453** .234** .447** -.367** -.382** .320** -.198** .127* 1.000

1.000 .245** -.111 * -.050 .101

-.050 -.264** .486** 1.000 -.565** .139* -.433** -.382**

.101 .216** -.215** -.565** 1.000 -.108* .276** .320**

-.072 -.178** .167** .139* -.108*

-.045 .072 -.266** -.433** .276** -.145**

1.000 .486** -.215** .167** -.266** -.367**

.099 -.233** -.496**

-.072

1.000 -.145** -.198**

.058 .453**

-.045 .234**

.072 .447**

1.000 .127*

Keterangan (Remarks): ** Berkorelasi nyata pada level 0,01 (Correlated at 0,01 level) * Berkorelasi nyata pada level 0,05 (Correlated at 0,05 level)

160

Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya,Hardjanto, dan Herry Purnomo

Penjelasan lebih terperinci mengenai kondisi antara variabel-variabel tersebut sebagai berikut: a. Kepadatan Penduduk Merupakan variabel yang berhubungan negatif dengan luas hutan rakyat. Hutan rakyat umumnya ditemukan pada wilayah berpenduduk rendah. Secara logis hal ini tentu demikian, kerena semakin sedikit penduduk berpeluang areal digunakan dengan penggunaan lain selain pemukiman seperti perkebunan dan lainnya. Kepadatan penduduk juga berkorelasi positif dengan variabel rasio umur produktif, sehingga semakin padat penduduk kemungkinan besar jumlah umur produktif juga ikut bertambah di suatu wilayah desa. b. Rasio rumah permanen Keberadaaan rumah permanen dalam penelitian ini diasumsikan dengan pendapatan penduduk. Hubungan antar pendapatan penduduk dengan potensi keberadaan hutan rakyat di suatu desa berkorelasi negatif. Hutan rakyat umumnya banyak ditemukan pada kondisi desa yang memiliki rata-rata pendapatan yang rendah. Hal ini disebabkan timbulnya hutan rakyat pada kondisi lahan marginal yang tidak memiliki banyak alternatif kegiatan pertanian yang lebih produktif. c. Rasio Umur Produktif Pengelolaan hutan rakyat tidak seintensif pengelolaaan pertanian dan perkebunan. Sehingga ketika terjadi urbanisasi yang besar, banyak penduduk desa yang berada dalam usia produktif bekerja di kota. Akhirnya kebanyakan penduduk yang tinggal di desa adalah orang-orang usia lanjut. Kondisi ini mendorong pemilihan menanam kayukayuan dibanding dengan pertanian intensif. Sehingga hubungan korelasi antara rasio umur produktif dengan luas hutan rakyat bersifat negatif. d. Kerapatan Jalan Variabel ini berkorelasi dominan kedua setelah rasio kelerengan lahan terhadap keberadaan hutan rakyat di suatu desa. Ketika desa memiliki kerapatan jalan yang besar cenderung memiliki hutan rakyat yang sedikit. Kerapatan jalan berhubungan dengan kemajuan transportasi di suatu wilayah desa. Semakin maju desa memungkinkan banyaknya alternatif penggunaan lahan lain yang lebih produktif.

e. Rasio Penggunaan Lahan Bukan Sawah (Non sawah) Berdasarkan penelitian Suharjito (2000), menyatakan umumnya lokasi hutan rakyat berada di wilayah areal lahan kering daerah atas ( upland areas ). Daerah tersebut merupakan daerah pertanian non sawah, yang biasa disebut dengan tegalan atau kebun. Lahan ini dalam pendataan statistik disebut dengan lahan pertanian non sawah. Dari hasil korelasi menunjukkan bahwa variabel ini berhubungan positif dengan keberadaan hutan rakyat dan sangat nyata hubungannya. Ini menenjukkan bahwa variabel rasio non sawah bisa menjadi penanda untuk menduga potensi pengembangan hutan rakyat di suatu desa atau wilayah. Semakin luas penggunaan lahan pertanian non sawah berarti semakin besar pula potensi pengembangan hutan rakyatnya. f. Kemampuan lahan Berdasarkan pengalaman sejarah dimulainya hutan rakyat karena gerakan penghijauan pada daerah-daerah kritis (Hardjanto 2003). Sehingga sekarang diduga tumbuhnya hutan rakyat dominan di wilayah-wilayah tidak subur. Hasil korelasi dengan luas hutan rakyat menunjukkan adanya korelasi negatif berarti hutan rakyat memang cenderung berkembang pada wilayah-wilayah dengan kemampuan lahan yang rendah. g. Rasio kelerengan lahan Variabel ini memiliki korelasi tertinggi diantara variabel lainnya. Ini menunjukkan bahwa hutan rakyat dominan berada di wilayah yang tidak datar, yakni berada di wilayah landai sampai curam. Hutan rakyat merupakan alternatif berikutnya ketika lahan tidak memungkinkan untuk ditanam tanaman pertanian atau budidaya lain yang lebih cepat menghasilkan. Wilayah yang tidak memperoleh pengairan untuk sawah berada di wilayah-wilayah atas (upland areas) yang tentunya memiliki topografi lebih curam, di sinilah hutan rakyat berkembang. h. Jarak ke Hutan Negara Keberadaan hutan negara di dalam atau sekitar desa ternyata berpengaruh dengan keberadaaan hutan rakyat. Semakin dekat areal hutan negara dengan suatu desa, maka umumnya semakin besar potensi hutan rakyat. Kondisi ini diduga karena Variabel biofisik dan budaya. Wilayah hutan negara di Kabupaten Ciamis umumnya berada di lokasi topografi curam di daerah-daerah pegunung-

161

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 155 - 168

an dengan kondisi assesibilitas yang sulit. Memperhatikan kondisi biofisik tersebut, maka alternatif penggunaan lahan untuk penanaman tidak banyak dengan demikian menanam kayu yang bersifat tidak intensif menjadi pilihan, sedangkan dipandang dari sudut budaya, diduga karena berdekatan dengan hutan sejak dulu, maka masyarakat sekitar hutan sudah terbiasa dengan pengelolaan hutan dan malah juga terlibat langsung sebagai penggarap jika hutan tersebut hutan produksi. Sebagai penggarap di areal tumpangsari PT Perhutani, maka petani sudah terbiasa dengan cara-cara menanam, memelihara, dan bahkan terlibat dalam ke-giatan pemanenan sebagai buruh tebang. Dengan demikian kebiasaan ini dapat tertular di lahan milik pribadi mereka. Ditambah dengan seringkali penyebaran bibit secara alam dari hutan negara ke lahan milik melalui angin dan binatang-binatang hutan. Sehingga tumbuhlah jenis-jenis tanaman yang biasa ada di hutan negara seperti jati, mahoni, dan pinus di lahan milik pribadi petani. i. Jarak ke jalan Analisis korelasi jarak terdekat antar batas desa ke jalan besar (jalan kolektor) ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap kondisi

hutan rakyat di suatu desa dibanding variabel lainnya. Jalan besar merupakan jalur transportasi pengangkutan kayu ke luar wilayah. Ketika variabel ini tidak nyata berpengaruh terhadap luas hutan rakyat, kemungkinan setiap lokasi memiliki keuntungan yang seimbang terhadap perkembangan hutan rakyat. Wilayah dekat jalan besar memiliki keuntungan biaya pengangkutan menjadi murah tetapi tentu harga tanah yang lebih mahal, sedangkan wilayah jauh dari jalan besar sebaiknya. Berdasarkan analisis komponen utama (PCA) yaitu variabel-variabel yang berhubungan nyata dengan luas hutan rakyat di suatu desa. Dari hasil korelasi pada Tabel 3 diketahui bahwa dari 9 variabel yang dianalisis, hanya satu variabel yaitu jarak ke jalan besar yang tidak signifikan berkorelasi nyata. Sehingga untuk analisis komponen utama dimasukkan 8 variabel pendukung. Untuk mengetahui berapa banyak komponen utama (KU) yang diambil, maka dapat dilihat dari nilai kumulatif proporsi lebih dari 70% dan nilai akar ciri lebih besar dari 0,7, sehingga dari delapan komponen utama yang dihasilkan dapat dipotong sampai KU empat saja karena sudah cukup mewakili proporsi keragaman.

Tabel (Table) 4 . Nilai analisis komponen utama variabel (Value of principal component analysis)
No 1. 2. 3. Variabel (Variables) Kepadatan Penduduk (Population density) Rumah permanen (Permanent home) Umur Produktif (Productive age population) Non Sawah (Non rice field) Kelerengan lahan (Land slope) Jarak ke hutan (Distance to state forest area ) Kemampuan Lahan (Land capacity) Kerapatan Jalan (Road density) Akar ciri (eigenvalue) Proporsi (proportion ) Kumulatif Proporsi (Proportion cumulative) PC1 0,340 0,146 0,371 PC2 0,389 0,340 0,479 0,185 0,295 0,293 PC3 0,523 0,603 0,284 0,018 0,100 0,212 PC4 0,115 -0,108 0,107 PC5 -0,056 -0,669 -0,133 PC6 0,033 0,056 -0,083 PC7 -0,627 -0,114 0,668 PC8 0,223 0,156 -0,264

4 5. 6.

0,441 0,491 0,337

0,457 -0,168 0,715

-0,080 -0,149 -0,074

-0,661 -0,084 -0,056

0,068 -0,281 -0,199

0,338 -0,725 -0,443

7. 8.

0,185 0,377 2,407 0,301 0,301

0,520 0,164 1,323 0,165 0,466

0,333 0,341 1,069 0,134 0,600

-0,325 -0,331 0,904 0,113 0,713

-0,523 0,475 0,8463 0,106 0,819

-0,450 -0,582 0,5602 0,070 0,889

-0,001 -0,157 0,4969 0,062 0,951

-0,055 -0,128 0,3929 0,049 1,000

162

Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya,Hardjanto, dan Herry Purnomo

Berdasarkan analisis komponen utama yang menggunakan 4 KU pada Tabel 4 dapat diketahui empat karakteristik desa di Kabupaten Ciamis yang didekati dari 8 Variabel. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari variabel dominan yang membentuk komponen utamanya sebagai berikut : - Pada PC1 menggambarkan indeks kelerengan lahan dan non sawah. Nilai ini menunjukkan dominan kelerengan lahan yang datar dengan kegiatan non persawahan yang rendah. - Pada Pc2 merupakan indeks kondisi kemampuan lahan. Dimana menujukkan kemampuan lahan yang tinggi. - Wilayah Pc3 merupakan indeks rumah permanen dan kepadatan penduduk yang merupakan variabel sosial ekonomi. - Pada wilayah PC4 merupakan indeks jarak desa ke kawasan hutan negara. Dimana menujukkan nilai tinggi pada jarak yang ke kawasan hutan

B. Pembentukan Tipologi 1. Jumlah tipologi Hasil klustering dengan menggunakan semua alternatif variabel yang bisa diterapkan, yaitu dari penggunaan 8 variabel sampai 2 variabel ditambah dengan penggunaan data analisis komponen utama (AKU) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 dapat diketahui bahwa penggunaan 5 kelompok dan 4 kelompok menghasilkan jumlah tipologi yang kurang efisien karena jumlah anggota sangat kecil dibawah 10 desa, kecuali satu yang menggunakan desain PC123 dengan 4 Kelompok. Sedangkan untuk 3 kelompok dan 2 kelompok terdapat 4 desain jumlah variabel yang menghasilkan jumlah kelompok yang efisien, yaitu yang menggunakan desain 2 variabel, 4 variabel, PC1234, dan Pc123.

Tabel (Table) 5. Banyaknya anggota setiap desain dan kelompok (Number of villages each design and cluster)
JUMLAH ANGGOTA TIAP KELOMPOK (Number of villages of each cluster) 7 6 5 4 3 Variabel Variabel Variabel Variabel Variabel

8 Desain Variabel Jmh Variabel 5 Kelompok (5 clusters) 1 183 2 86 3 62 4 2 5 3 4 Kelompok (4 clusters) 1 185 2 60 3 86 4 5 3 Kelompok (3 clusters) 1 228 2 103 3 5 2 Kelompok (2 clusters) 1 239 2 97

2 Variabel

PC1234

PC123

183 86 62 2 3

183 86 62 2 3

183 86 62 2 3

183 86 62 2 3

161 124 45 5 1

161 124 45 5 1

176 68 53 43 5

149 72 70 40 5

185 60 86 5

185 60 86 5

185 60 86 5

185 60 86 5

171 115 44 6

171 115 44 6

185 86 60 5

153 85 61 37

228 103 5

228 103 5

228 103 5

228 103 5

202 99 35

202 99 35

196 80 60

195 78 63

239 97

239 97

239 97

239 97

249 87

249 87

235 101

234 102

163

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 155 - 168

Tabel (Table) 6. Jumlah desa setiap kelompok terpilih (Number of villages for each selected cluster)
Desain Jumlah Variabel (Number of variables Design)
2 Variabel 2 Kelp

Kelompok 1 (cluster 1) 249 202 239 235 196 153 195 234

Jumlah Desa (Number of Villages ) Kelompok 2 Kelompok 3 (cluster 2) (cluster 3) 87 99 97 101 80 85 78 102 53 60 61 63 -

Kelompok 4 (cluster 4) 37 -

2 Variabel 3 Kelp 4 Variabel 2 Kelp PC1234 - 2 Kelp PC1234 - 3 Kelp PC1234 - 4 Kelp PC1234 - 3 Kelp PC1234 - 2 Kelp

Semua desain yang telah dicoba (Tabel 5), hanya 8 desain jumlah variabel yang dapat diterapkan selanjutnya. Desain jumlah variabel yang menghasilkan jumlah kelompok yang sama maka dipilih yang paling sederhana. Daftar desain terpilih tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. 2. Pengujian Hasil Tipologi Hasil tipologi yang telah terbentuk dengan berbagai desain peubah diuji ketepatannya untuk menduga luas rakyat setiap desa. Dibandingkan dengan standar/acuan pengelompokan yang sudah dibuat, maka dapat diukur berapa besar akurasinya. Hasil tipologi terpilih dilakukan pengujian dengan uji ragam dan evaluasi akurasi menggunakan prinsip matrik kesalahan (confusion matrix). Uji ragam terhadap luas hutan rakyat dilakukan melalui uji dalam kelompok dan antar

kelompok. Dimana yang dianggap baik jika ragam dalam kelompok kecil dan ragam antar kelompok besar. Dapat terlihat grafik pada Gambar 2 menunjukkan kedua uji tersebut. Pada Gambar 2a dapat dilihat bahwa uji ragam antar kelompok desain 1 sampai 4 relatif memiliki ragam dalam kelompok yang kecil dibanding desain 5 sampai 8. Sedangkan untuk uji ragam antar kelompok pada Gambar 2b, ragam yang terbesar adalah desain ke 2, 5, 7, dan 8. Dalam rangka menentukan desain yang teruji dengan baik dari ke delapan desain lewat dua uji ragam tersebut, maka dilakukan pengurangan antara uji ragam antar kelompok dengan uji ragam dalam kelompok, nilai selisih terbesar adalah yang memiliki nilai uji yang baik. Pada Tabel 7 diketahui selisih terbesar uji ini adalah pada desain jumlah 2 variabel dengan tiga kelompok, selanjutnya desain 2 variabel dengan

Keterangan (Remarks) :

Gambar (Figure ) 2. Perbandingan Ragam dalam Kelompok dengan Ragam Antar Kelompok. (Comparison of whitin cluster and inter cluster variant)

164

Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya,Hardjanto, dan Herry Purnomo

2 kelompok, dan yang ketiga desain dengan mengunakan analisis komponen utama dengan 4 KU yang membagi 2 kelompok. Berdasarkan variabel yang digunakan maka, delapan desain yang dianalisis tiga desain menggunakan peubah asli sedangkan lima desain sudah menggunakan peubah PC yang diubah melalui analisis komponen utama (AKU). Metode gerombol (clustering analysis) menggunakan asumsi tidak ada multikolinieritas antar peubah yang digunakan. Dengan menggunakan peubah yang sudah melalui AKU dapat menghilangkan multikolinieritas tersebut. Tetapi menurut Santoso (2010), menyatakan batas kolinieritas

tersebut masih dapat ditolerir untuk nilai korelasi dibawah 0,5. Pada Tabel 8 dapat diketahui hasil evaluasi akurasi pada kedelapan desain terpilih. Diperoleh nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa terbesar terdapat pada perlakuan desain PC1234 dengan 2 kelompok dengan nilai masing-masing 64% dan 27%. Desain kedua yang terbaik adalah 2 variabel dengan 2 kelompok dengan nilai akuarasi umum sebesar 63% dan akurasi Kappa sebesar 26%. Ini menandakan bahwa desain tersebut yang paling akurat dalam menduga kelompok desa berdasarkan luas hutan rakyat.

Tabel (Table ) 7. Ragam rata-rata antar kelompok dan dalam kelompok (Average variety of inter and within clusters)
Desain Jumlah Variabel (Design of number of variables) Ragam Rata-Rata (Average variant) Antar Kelompok (Betweencluster) (A) Dalam Kelompok (Within cluster) (B) Selisih (differen-ce) (A-B) Rangking 2 Variabel -2 Kelp PC1234 3 Kelp PC123 2 Kelp PC123 3 Kelp PC123 4Kelp

2 Variabel -3 Kelp

4 Variabel -2 Kelp

PC1234 2 Kelp

1,485

3,971

1,196

1,532

3,963

0,940

3,846

6,632

12798,24 3 12796,75 7 2

10971,44 4 10967,47 3 1

14097,17 6 14095,98 0 4

13171,59 0 13170,05 7 3

19388,301 19384,338 5

22740,072

20972,55 20968,706 6

22500,55 22493,920 7

-22739,132 8

Tabel (Table) 8. Nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa (Value of overall accuracy and Kappa accuracy) No. Desain jumlah Variabel Akurasi (Accuracy) ( number of variables design) Rata-Rata Umum Kappa (Overall) (Kappa) 1. 2 Variabel-2 kelompok 63,393 26,363 2. 2 Variabel - 3 kelompok 46,429 17,482 3. 4 Variabel-2 kelompok 60,714 21,026 4. PC1234-2 kelompok 63,988 27,633 5 PC1234-3 kelompok 40,179 13,932 6 PC123-2 kelompok 50,595 1,650 7 PC123- 3 kelompok 40,476 14,271 8 PC123- 4 kelompok 27,083 6,015

165

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 155 - 168

3. Karakteristik dan Arah Pengembangan Tipologi Pada proses akurasi terdapat dua desain yang memiliki akurasi yang baik, yaitu desain dengan mengunakan PC1234 dengan nilai akurasi sebesar 64% dan desain dengan 2 variabel (rasio kelerengan dan kerapatan jalan) dengan nilai akurasi sebesar 63%. Sebaran pengelom-pokan desa berdasarkan desain tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan desain PC1234 terlihat dugaan wilayah Kabupaten Ciamis memiliki 70%

daerah yang memiliki potensi pengembangan hutan rakyat yang besar. Sedangkan berdasarkan desain 2 variabel menduga sebanyak 74% wilayah Kabupaten Ciamis merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan yang besar. Potensi pengem-bangan hutan rakyat disini dilihat dari besarnya luasan hutan rakyat di dalam suatu desa. Diharapkan dengan memiliki luas hutan rakyat yang besar merupakan salah suatu peluang untuk mencapai pengelolaan hutan rakyat yang menguntungkan dan efisien.

(a) Pc1234- 2 kelompok Gambar (Figure) 3.

(b) 2 variabel-2 kelompok

Pengelompokan berdasarkan desain (a) PC1234 dan (b) 2 variabel (Grouping based on design (a) PC1234 and (b) 2 variable) ketika wilayah yang akan digabungkan berdekatan secara spasial. Tetapi jika unit pengelolaan tersebut berupa desa tentunya dapat berdiri sendiri secara individual ketika potensinya besar .

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa sebaran yang dihasilkan dengan desain PC1234 terlihat lebih kompak dan sehamparan dibanding sebaran yang dihasilkan desain 2 variabel. Untuk membentuk satu unit pengelolaan lebih mudah Tabel (Table ) 9.
Tipologi Wilayah

Karakteristik dan arah pengembangan setiap tipologi (Characteristics and direction of development of each typology)
Karakteristik (Characteristic) Arah Pengembangan (Development direction)
Jumlah Desa (Village numbe) Desain Desain 2 PC1234 Variabel 101 87

Merupakan wilayah-wilayah desa dimana penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat. Terdapat kondisi-kondisi yang kurang memungkinkan untuk berkembangnya hutan rakyat

Pengembangan lebih mengarah ke bidang di luar hutan rakyat. Bila tetap bertahan untuk kegiatan hutan rakyat sebaiknya perlu penggabungan wilayah yang lebih besar untuk menjadikan

166

Tipologi Desa Berdasarkan Variabel Penciri Hutan Rakyat Tien Lastini, Endang Suhendang, I Nengah Surati Jaya,Hardjanto, dan Herry Purnomo

Tabel (Table) 9. Lanjutan (Continued)


Tipologi Wilayah Karakteristik (Characteristic) secara biofisik ditambah aspek sosial ekonomi. Merupakan wilayah-wilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Faktor-faktor biofisik dan ditambah dengan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaaan hutan rakyat di wilayah ini. Arah Pengembangan (Development direction) suatu unit pengelolaan yang lestari. Perlu penanganan yang lebih profesional untuk mengelola potensi hutan rakyat dari berbagai pihak, baik petani, kelompok tani, pemerintah, lembaga masyarakat dan lainnya. Perlu dibentuk wadah / unit pengelolaan hutan rakyat agar terjadi sistem yang menjamin kelestarian.
Jumlah Desa (Village numbe)

Desain PC1234

Desain 2 Variabel

II

235

249

Desa yang dianggap berpotensi tinggi adalah yang mempunyai nilai lebih besar dari rata-rata luas hutan rakyat di Ciamis, yaitu berkisar 58 Ha setiap desa. Jumlah desa berpotensi tinggi hasil dugaan desain penelitian ini lebih besar dari nilai acuan sebenarnya. Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perbedaaan ini, salah satunya karena secara fakta kondisi biofisik dan sosial ekonomi mendukung untuk berkembangnya hutan rakyat, tetapi saat ini bisa jadi yang berkembang adalah tanaman non kehutananan seperti kelapa, cengkeh, dan lainnya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Tipologi yang terbentuk ada dua, yaitu tipologi wilayah yang berpotensi untuk berkembangnya hutan rakyat dan wilayah yang tidak berpotensi berkembang hutan rakyat. Desain metode yang digunakan menggunakan desain 4 komponen utama (Pc1234). Hasil pengujian memiliki keragaman dalam kelompok dan antar kelompok yang baik dan nilai akurasi yang lebih besar dari yang lain, yaitu akurasi ratarata umum sebesar 64%. Selain itu desain kedua yang teruji adalah menggunakan desain 2 variabel, yaitu rasio kelerengan lahan dan kerapatan jalan dengan akurasi rata-rata 63%.

2. Terdapat delapan variabel yang berkorelasi nyata dengan luas hutan rakyat di suatu desa, tiga variabel terbesar adalah rasio kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan rasio penggunaan lahan bukan sawah. Kelima variabel lainnya berurutan berdasarkan besarnya korelasi dengan luas hutan rakyat adalah jarak ke hutan negara, rasio umur produktif, kepadatan penduduk, kemampuan lahan, dan rasio rumah permanen. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan untuk menentukan arah pengembangan pengelolaan hutan rakyat suatu wilayah perlu pertimbangkan variabel-variabel yang berpengaruh dalam pengembangan potensi hutan rakyat seperti di penelitian ini. Agar perencanaan pengelolaan yang diterapkan dapat mewakili karakteristik masing-masing wilayahnya. V. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB. Bogor. Awang, S.A, H Santosa, W.T Widayanti, Y Nugroho, Kustomo, Sapardiono. 2001. Gurat Hutan Rakyat. Debut Press, Yogyakarta. Awang, S.A, E.B Wiyono, dan S. Sadiyo. 2007. Unit Manajemen Hutan Rakyat: Proses

167

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 155 - 168

Konstruksi Pengetahuan Lokal. Banyumili Art Network bekerjasama dengan Pusat Kajian Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Bliss, J.C. 2003. Sustaining Family Forest in Rural Landscapes: Rationale, Chalenges, and an Illustration from Oregon, USA . Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 2(1): 1-8, 2003. Davis, L.S, K.N .Johnson, P.S. Bettinger, and T.E. Howard. 2001. Forest Management : To Sustain Ecological, Economic, and Social Values. Fourth Edition. McGrawHill Companies, Inc. New York. Dillon, W.R dan M. Goldstein. 1984. Multivariate Analysis, Method and Applications. John Wiley & Sons, New York. Haeruman, H., R. Abidin, Hardjanto, dan E. Suhendang. 1991. Studi Kemungkinan Pengembangan Konservasi Lahan melalui Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Hardjanto, 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Harrison, S., J. Herbohn, dan A. Niskanen. 2002. Non Industrial, Smallholder, Small-scale and Family Forestry : What's in a Name? Small-scale Forest Economic, Management and Policy, 1(1): 1-11. Jaya, I.N.S. 2006. Analisis Citra Digital : Perspektif Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mindawati, N., A.Widiarti, dan B. Rustaman. 2006. Review Hasil Penelitian : Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan PengembanganKehutanan. Bogor. Rahmadia, E. 2003. Analisis Tipologi dan Pengembangan Desa-Desa Pesisisr Kota Bandar Lampung. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat, Konsep dan aplikasi dengan SPSS. PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia. Jakarta Suharjito, D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

168

HUBUNGAN ANTAR ORGANISASI DALAM SISTEM PENGORGANISASIAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI INDONESIA Study on Interorganizational Relationships in the Organizing System of Forest/Land Fire Control in Indonesia
Erly Sukrismanto , Hadi S. Alikodra , Bambang H. Saharjo , dan/and Priyadi Kardono4)
1) 2) 3)

Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Gedung Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 13, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270, HP: +62818161166, e-mail: erlyskm@yahoo.com 2) Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor, HP: +6281210494949, e-mail: halikodra@wwf.or.id 3) Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. HP: +628161948064, e-mail: bhsaharjo@gmail.com 4) Deputi Bidang Survei Dasar dan Sumber Daya Alam, Bakosurtanal, Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911 HP: +62816731777, e-mail: priyadi.kardono@gmail.com Naskah masuk : 3 Januari 2011; Naskah diterima : 7 Juni 2011

1)

ABSTRACT

Forest/land fire is one of the main causes of global climate change. Until recently the management of forest/land fire control in Indonesia is still ineffective due among others to the weakness of its fire control organization system. The coordination among the involved organizations is considered ineffectual. This research aims at finding empirical evidences to prove the opinion. An analysis method using the three aspects of integrative coordination including service delivery, administrative and planning is employed. The results of study on 42 organizations at national, provincial, and district levels indicate that a relatively good coordination has been existent among the national level organizations. While at provincial and district levels, although the coordination in the research sites is still insubstantial, Riau demonstrates a better situation than West Kalimantan in the coordination. The relationships among Riau's organizations at each of the provincial and district levels and vertically between those levels as well as with the national one have been existent. While in West Kalimantan such relationships present in only among a few organizations at the same level and absent in between levels. The difference in the basis of departmentation seems to be the reason. The study thus provides evidence that the coordination among the organizations involved in forest/land fire control has been inadequate so that management of forest/land fires is still ineffective.
Keywords: Coordination, fire control organization, institution ABSTRAK

Kebakaran hutan/lahan merupakan salah satu sumber penyebab utama perubahan iklim global. Sampai sekarang kebakaran hutan/lahan di Indonesia belum dapat diatasi secara optimal, disebabkan salah satunya oleh sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan yang masih lemah. Studi ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antar organisasi di dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis jejaring koordinasi dengan kajian terhadap tiga aspek yaitu bantuan layanan, administratif, dan perencanaan pada 42 organisasi tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Hasil analisis menemukan bahwa koordinasi antar organisasi pada tingkat nasional relatif baik, sedangkan koordinasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih lemah. Koordinasi secara horizontal pada satu tingkatan maupun secara vertikal antar tingkatan di Riau telah terjalin di antara lebih banyak organisasi dibandingkan dengan di Kalimantan Barat, di mana

169

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 169 - 177

koordinasi secara horizontal maupun secara vertikal belum terjalin. Penelitian ini membuktikan secara empirik bahwa koordinasi antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia masih lemah, sehingga kebakaran hutan/lahan belum dapat terkelola dengan baik.
Kata kunci : Koordinasi, pengendalian kebakaran, institusi I. PENDAHULUAN

Kebakaran hutan/lahan di Indonesia berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek, baik ekologi dan lingkungan maupun ekonomi, sosial, dan politik. DFID dan World Bank (2007) menyatakan bahwa kebakaran hutan/lahan di Idonesia telah melepaskan sekitar 1400 metrik ton karbon dioksida per tahun, jauh di atas emisi dari sektor energi yang hanya sekitar 275 metrik ton. Bappenas (1999) mencatat kerugian akibat dari kebakaran hutan/lahan tahun 1997-1998 sekitar US$ 9.3 milyar atau Rp 5,96 trilyun yang setara dengan 70% dari nilai PDB sektor Kehutanan tahun 1997. Berbagai studi menunjukkan bahwa masalah kebakaran hutan/lahan di Indonesia tidak hanya bersifat teknis yang berkaitan dengan penyebab fisik di lapangan yang berkaitan dengan ketersediaan unsur-unsur segitiga api (bahan bakar, oksigen, dan panas) yang berlimpah (Chandrasekharan, 1999), melainkan juga berkaitan dengan sosial politik (Doscemascolo, 2004) dan kelembagaan pengendalian kebakarannya (Simorangkir, 2001; Kartodihardjo, 2006). Kajian terhadap aspek sosial politik dan kelembagaan lebih banyak menyoroti lemahnya aturan main dalam pelaksanaan serta penegakan sanksi, sementara peran masing-masing organisasi/institusi pengendalian kebakaran kurang mendapat perhatian. Data besarnya jumlah akumulasi titik panas (hotspot) merupakan indikator tingginya frekuensi terjadinya kebakaran hutan/lahan (Hiroki dan Prabowo, 2003; Suprayitno dan Syaufina, 2008). Selama 10 tahun terakhir jumlah rata-rata titik panas per tahun masih di atas 50 ribu titik. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa belum efektifnya organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan dalam menangani kebakaran hutan/lahan dan faktor-faktor penyebabnya selama ini. Organisasi pengendalian kebakaran hutan/lahan melibatkan banyak instansi atau organisasi pemerintah, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Pelibatan di antara pihak-pihak tersebut memerlukan suatu

sistem pengorganisasian yang bekerja secara integratif dan harmonis agar efektif dan efisien (Siswanto, 2009). Kelemahan pengorganisasian dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain (1) belum jelasnya peranan dalam pengorganisasian (Wehmeyer et al., 2001; Colman dan Han, 2005), (2) belum optimalnya hubungan antara organisasi-organisasi yang terlibat (Mulford dan Klonglan, 1982; Bolland dan Wilson, 1994; Malone et al., 1999; Wehmeyer et al., 2001) dan (3) belum efektifnya organisasi yang terlibat (Young Lee dan Whitford, 2008). Tulisan ini menguraikan hasil studi terhadap faktor kedua, yakni hubungan antar organisasi. Hubungan antar organisasi dapat berupa kerja sama, kompetisi, atau perseteruan (Mooi, 2007; Faerman et al., 2001; Mulford dan Klonglan, 1982). Hubungan dalam pengorganisasian kebakaran hutan/lahan di Indonesia adalah kerja sama dalam bentuk koordinasi, baik pada satu level maupun antar level pemerintahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat keharmonisan hubungan antar para pihak atau institusi dalam upaya merancang model sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/lahan di Indonesia.
II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap organisasi-organisasi di tingkat nasional di Jakarta dan sekitarnya, di tingkat provinsi di Riau dan Kalimantan Barat, dan di tingkat kabupaten/kota di Kota Dumai dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau dan Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juli 2010. B. Teknik Pengambilan Contoh Hasil identifikasi mendapati sebanyak 42 organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan dari semua tingkatan.

170

Kajian Hubungan antar Organisasi dalam Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan di Indonesia Erly Sukrismanto, Hadi S. Alikodra, Bambang H. Saharjo, dan Priyadi Kardono

Pengambilan contoh dilakukan secara purposif di mana responden yang dipilih terdiri dari para pejabat di tingkat eselon IV sampai dengan eselon II yang sering ditugasi atau bidang tugasnya berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan/lahan pada setiap organisasi tersebut. Jumlah responden adalah 282 orang terdiri dari 42 pejabat eselon II, 84 pejabat eselon III, dan 156 pejabat eselon IV. C. Pengumpulan danAnalisis Data Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa pendapat responden yang merupakan parameter yang dapat menunjukkan persepsi para pimpinan organisasi/instansi mengenai hubungan antara organisasinya dengan organisasi-organisasi lain. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket yang diadopsi dan dimodifikasi dari Bolland dan Wilson (1994). Pertanyaan angket tersebut berupa: (1) Client referrals (rujukan klien) yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara institusi dalam memberikan dan menerima bantuan layanan; (2) Hubungan administrasi yang melibatkan transaksi sumber daya dianalogikan dengan bantuan organisasi lain dalam mencapai tujuan, dan (3) Perkenalan untuk mengetahui hubungan daari aspek perencanaan. Data sekunder diperoleh dari tiap organisasi yang diamati berupa dokumen profil organisasi yang berkenaan dengan hubungan dan kerja sama organisasi tersebut dengan organisasiorganisasi lain dan data keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan. Di tingkat provinsi, organisasi yang menangani kebakaran hutan/lahan adalah Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdalkarhutlada), sedangkan di kabupaten/kota adalah Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Satlakdalkarhutla). Pengolahan dan analisis data menggunakan prosedur yang diadopsi dari coordination network analysis (Bolland dan Wilson, 1994) sebagai berikut: 1. Bantuan Layanan. Analisis ini menggunakan kombinasi jawaban responden atas pertanyaan apakah organisasinya (a) memberi bantuan layanan kepada dan/atau (b) menerima bantuan layanan dari organisasi lain. Analisis ini adalah untuk memperoleh sebuah ukuran dari bantuan layanan yang terkonfirmasi. 2. Administratif. Analisis ini menggunakan jawaban atas pertanyaan tentang sejauh mana

organisasi lain telah membantu organisasi responden dalam mencapai tujuan. 3. Planning. Analisis ini melihat kaitan antara orang-orang dari dua organisasi dengan cara meminta responden menuliskan nama orangorang yang ia kenal dari organisasi lain. Jika sedikitnya satu orang dari organisasi tersebut mengenal sedikitnya satu orang dari organisasi lain, maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara kedua organisasi tersebut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bantuan Layanan

Hasil analisis menunjukkan bahwa organisasi yang saling berhubungan di dalam memberikan bantuan layanan di tingkat nasional hanya 9 organisasi dari 22 organisasi yang terbentuk. Salah satu di antara contoh matrik hubungan bantuan layanan di antara organisasi tertera pada Gambar 1. Walaupun banyak organisasi yang saling berhubungan dalam aspek pelayanan, namun bantuan yang diberikan atau diterima tidak terkonfirmasi oleh organisasi lain. Ada dua institusi yang memiliki hubungan layanan terkonfirmasi terbanyak yaitu LAPAN dan Bakosurtanal seperti terlihat pada Gambar 2. Kedua organisasi tersebut lebih banyak memberikan layanan dalam bentuk informasi. Gambar 2 juga memperlihatkan bahwa di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, hubungan dalam aspek bantuan layanan masih relatif terbatas. Sebagai contoh, Dishut Provinsi Riau yang dalam struktur Pusdalkarhutla memegang peranan penting sebagai koordinator bidang pemadaman justru tidak memiliki hubungan bantuan layanan yang terkonfirmasi dari manapun kecuali dari Dishutbun Kab. Inhu. Kondisi ini menunjukkan lemahnya koordinasi oleh Dishut Provinsi Riau dalam menggalang bantuan dari berbagai pihak, padahal dengan kapasitas organisasi yang masih lemah, upaya pemadaman masih sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak. Kondisi serupa juga terjadi di Kalbar, bahkan di daerah tersebut tidak ada satupun hubungan bantuan layanan yang terkonfirmasi di antara organisasi-organisasi di tingkat provinsi dan juga di tingkat kabupaten/ kota serta antar tingkatan. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab masih tingginya frekuensi kebakaran hutan/lahan di daerah tersebut seperti digambarkan oleh jumlah akumulasi titik panas

171

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 169 - 177

(hotspot) yang masih relatif tinggi. Di Riau, misalnya, jumlah hotspot rata-rata per tahun selama 10 tahun terakhir masih 7.897 titik, sedangkan Kalbar sebanyak 9.221 titik/tahun. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh sistem pengorganisasian yang diterapkan dalam Pusdalkarhutla di mana departementasi didasarkan pada wilayah pemangkuan kawasan. Sistem pengorganisasian yang ada saat ini mengandalkan keterlibatan banyak pihak, tetapi hubungan perbantuan layanan masih kurang. Hal ini terjadi karena peranan-peranan dalam koordinasi (Wehmeyer et al., 2001; Malone et al., 1999) belum terdefinisikan dengan jelas. Di samping itu, konsep kerja sama (Mulford dan Klonglan, 1982) dan concept of capability (Ulrich, 1997) belum diterapkan dengan benar. Menurut konsep tersebut organisasi seharusnya lebih fokus membangun kapabilitasnya sendiri, tetapi yang terjadi justru organisasi-organisasi tersebut lebih mengandalkan bantuan sumber daya dari organisasi lain. Kondisi tersebut membuat kinerja dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan selama ini relatif masih rendah di semua tingkatan. Untuk itu, penetapan tugas (Malone et al., 1999) harus diperjelas di dalam struktur dan uraian tugas organisasi yang akan dibangun.

Gambar (Figure) 2. Diagram hubungan antar organisasi dari aspek bantuan layanan di Riau (Inter-organizational relationships on the aspect of service delivery in Riau)

Gambar (Figure) 1. Contoh sebagian matriks hubungan antar organisasi dalam bantuan layanan di tingkat nasional (A part of the matrix indicating the interorganizational relationships in service delivery at National level)
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Nama Organisasi Dit. PKH Dit. Lintan Dit. Linbun Asdep PKHL BNPB Bappenas BMKG Basarnas Bakosurtanal LAPAN Depdagri Deplu Depsos Depkes Dephub Depkeu Mabes TNI 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 4 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 5 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 10 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0

Keterangan (Remarks) : Angka 1 = hubungan terkonfirmasi (confirmed relation), 0 = hubungan tidak terkonfirmasi (unconfirmed relation)

172

Kajian Hubungan antar Organisasi dalam Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan di Indonesia Erly Sukrismanto, Hadi S. Alikodra, Bambang H. Saharjo, dan Priyadi Kardono

B. Administratif Hubungan administratif antar organisasi biasanya melibatkan transaksi sumber daya yang memungkinkan organisasi tersebut lebih efektif dalam mencapai tujuannya (Bolland dan Wilson, 1994). Hasil analisis pada aspek ini melihat seberapa jauh organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan saling membantu dalam pencapaian tujuan. Di tingkat nasional, dari 22 organisasi yang diamati terdapat 15 organisasi yang saling membantu dalam pencapaian tujuan. AsdepPKHL dan Dit.PKH memiliki hubungan terbanyak dalam aspek tersebut. Di daerah, hubungan administratif dalam satu tingkatan baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota sudah lebih terjalin di Riau daripada di Kalbar. Di Riau, organisasi-organisasi yang diamati telah memiliki hubungan administratif antar tingkatan mulai dari tingkat tingkat kabupaten/ kota sampai dengan tingkat nasional. Sementara itu, di Kalbar hubungan administratif terjadi hanya antara tingkat nasional dengan tingkat provinsi dan tingkat nasional dengan kabupaten/kota, sedangkan antara tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota serta di antara organisasi-organisasi di satu tingkatan tidak ada hubungan (Gambar 3). Kondisi tersebut menegaskan kembali pengaruh sistem pengorganisasian yang diterapkan di masing-masing daerah tersebut. Hal ini juga dapat menggambarkan fakta di mana sering terjadi organisasi di tingkat kabupaten/ kota berhubungan langsung dengan organisasi di tingkat nasional tanpa melalui organisasi di tingkat provinsi, misalnya ketika terjadi kebakaran hutan/lahan atau bencana alam. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa organisasi yang menangani kehutanan yang selama ini dipandang sebagai penanggung jawab atau pengelola kebakaran hutan/lahan ternyata tidak memiliki hubungan dengan organisasi-organisasi lain baik bantuan layanan maupun administratif. Dit. PKH Kementerian Kehutanan, Dishut Prov dan Dinas yang menangani kehutanan baik di Riau maupun di Kalbar ternyata tidak saling terhubungkan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa koordinasi yang merupakan pengelolaan saling ketergantungan (Malone et al., 1999) dan transaksi sumber daya (Bolland dan Wilson, 1994) untuk mencapai tujuan belum terjalin. Dengan perkataan lain, organisasi-organisasi tersebut belum saling mendukung dalam

pencapaian tujuan atau masih berjalan sendirisendiri. Hal ini dapat memberikan jawaban mengenai masih rendahnya kinerja pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan/ lahan sampai sekarang. Kondisi demikian sebenarnya ditangani dengan melakukan aktivitas tambahan yang disebut coordination mechanisms (Malone dan Crowston, 1994). Pertama adalah menyepakati tujuan bersama, kemudian membagi tugas, mengidentifikasi sumber daya untuk menjalankan tugas, mengidentifikasi sumber daya yang harus dimiliki atau disediakan oleh organisasi mana, dan prosedur mobilisasinya.

Gambar (Figure) 3. Hubungan administratif antar organisasi antar tingkatan di Kalimantan Barat (Relationships on administrative aspect among levels in West Kalimantan) C. Perencanaan Hasil analisis terhadap aspek perencanaan (planning/agenda setting) menunjukkan bahwa di tingkat nasional hampir seluruh organisasi yang diamati, sedikitnya satu pimpinannya telah saling mengenal. Hal ini berarti dari aspek pertukaran gagasan, penetapan isu (agenda setting)

173

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 169 - 177

maupun perencanaan telah terjadi hubungan yang relatif baik. Di tingkat provinsi, hubungan para pihak di Riau relatif lebih baik, yang diindikasikan dengan lebih banyaknya pihak yang saling mengenal daripada yang terjadi di Kalbar. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, baik di Kab. Inhu, Kota Dumai, Kab. Kubu Raya maupun Kab. Ketapang, secara umum instansiinstansinya kurang saling mengenal. Hubungan antar organisasi antar tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota di Riau juga relatif lebih baik daripada di Kalbar. Meskipun hubungan berjalan satu arah, para pimpinan organisasi di tingkat kabupaten/kota di Kota Dumai dan Kab. Inhu, Provinsi Riau telah mengenal para pimpinan organisasi di tingkat provinsi maupun tingkat nasional (Gambar 4). Hal tersebut tidak terjadi di Kalbar. Menurut Janssen, 2005), rendahnya tingkat perkenalan di antara organisasi akan menimbulkan kurangnya komunikasi dan keterlibatan secara emosional yang pada dasarnya berdampak pada rendahnya produktivitas organisasi (Janssen, 2005).

Gambar (Figure) 4. Hubungan antar organisasi dalam perencanaan di Riau (Interorganizational relationships on planning aspect in Riau) Satu lagi hal penting dari kajian terhadap ketiga aspek tersebut di atas yaitu fakta bahwa

ternyata tidak ada hubungan yang terjadi antar kabupaten/kota meskipun dalam satu provinsi. Hasil analisis terhadap ketiga aspek tersebut di atas menunjukkan bahwa koordinasi terpadu (Bolland dan Wilson, 1994) di antara organisasiorganisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan masih relatif kurang erat. Di sisi lain, keterpaduan kebijakan atau policy integration (Meijers dan Stead, 2004) juga sulit dibangun karena konsep keterpaduan dan kemenyeluruhan (comprehensiveness) belum menjadi acuan. Kondisi demikian menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan penanganan kebakaran hutan/lahan belum optimal. Beberapa hal yang menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan adalah: 1. Di tingkat nasional belum terbentuk secara formal organisasi yang menangani pengendalian kebakaran hutan/lahan. Organisasi yang pernah ada, yakni Pusdalkarhutnas dan TKN-PKHL (Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan), sudah tidak berlaku lagi sejak era Reformasi. Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berdasarkan Undang-undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang memasukkan kebakaran hutan/lahan sebagai jenis bencana, belum secara eksplisit mengakomodasikan kepentingan pengendalian kebakaran hutan/ lahan. 2. Di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/ kota, organisasi yang menangani kebakaran hutan/lahan (Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutlada) tidak termasuk sebagai SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang menurut UU No. 33/2004 tidak dapat mengelola anggaran, sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. 3. Anggaran untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan berada pada SKPD, tetapi pada setiap SKPD terjadi pembatasan jumlah jabatan yang mendorong penetapan prioritas masalah yang lebih tajam, dan kebakaran hutan/lahan belum menjadi masalah prioritas, sehingga hanya beberapa SKPD yang memasukkan kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu jabatan dalam strukturnya atau dalam kegiatannya. 4. Pergantian pimpinan yang relatif cepat atau jangka waktunya pendek baik di dalam masing-masing organisasi maupun antar

174

Kajian Hubungan antar Organisasi dalam Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan di Indonesia Erly Sukrismanto, Hadi S. Alikodra, Bambang H. Saharjo, dan Priyadi Kardono

organisasi membuat para pimpinan organisasi kurang berkesempatan untuk saling mengenal dan bersama-sama menyusun dan menyepakati serta memahami tata hubungan kerja atar organisasi. 5. Kurangnya komunikasi dan pertemuanpertemuan antar organisasi. Komunikasi atau pertemuan biasanya bersifat responsif ketika terjadi situasi darurat kebakaran hutan/lahan. 6. Kurang jelasnya uraian tugas dan tidak ditetapkannya pejabat tertentu untuk menangani kebakaran hutan/lahan di tiap organisasi serta kebiasaan mewakilkan pada staf untuk menghadiri pertemuan antar organisasi membuat penanganan masalah kebakaran hutan/lahan di tiap organisasi tidak fokus dan para pejabat/pimpinan organisasi tidak saling mengenal. D. Implikasi Terhadap Kebakaran Hutan/ Lahan Kondisi hubungan antar organisasi yang masih kurang harmonis baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan tersebut di atas berimplikasi terhadap penanganan kebakaran hutan/lahan. Penanganan kebakaran hampir tidak mungkin dilakukan sendirian oleh masingmasing organisasi karena masih sangat lemahnya kapasitas organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya (manusia dan sarpras) pada instansi-instansi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran pada umumnya tidak tersedia secara memadai, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Berdasarkan kondisi sumber daya yang terbatas tersebut maka perlu adanya kerja sama antar organisasi yang efektif dan efisien, karena sebuah organisasi tunggal tidak dapat mengatasi permasalahan masa kini yang kompleks, sekalipun memiliki sumber daya yang mencukupi (Mulford dan Klonglan, 1982). Organisasiorganisasi tersebut perlu membentuk jejaring yang kuat dengan peranan-peranan koordinasi (coordination roles) yang jelas (Wehmeyer et al., 2001). Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla memang sudah ada, tetapi belum menjadi jejaring yang kuat karena koordinasi yang masih lemah. Koordinasi adalah suatu upaya untuk mengelola ketergantungan di antara berbagai pihak, dan salah satu bentuknya adalah berbagi sumber daya (Malone et al., 1999). Koordinasi di antara organisasi yang terlibat dalam Pusdalkarhutlada atau Satlakdalkarhutla lemah karena hampir tidak ada sumber daya untuk berbagi.

Di samping SDM dan sarpras yang masih sangat kurang, dana atau anggaran untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan juga belum tersedia. Pusdalkarhutlada maupun Satlakdal-karhutla di lokasi penelitian belum termasuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sehingga tidak dapat memperoleh dan mengelola anggaran dan akibatnya operasionalnya sangat bergantung pada ketersediaan anggaran di instansi-instansi anggotanya. Sementara itu, hanya beberapa instansi anggota yang memiliki anggaran untuk kebakaran hutan/lahan dalam jumlah yang relatif sangat kecil, apalagi untuk digunakan berbagi dengan instansi-instansi lain. Kondisi inilah yang menyebabkan penanganan kebakaran hutan/lahan menjadi kurang optimal sehingga frekuensi kejadian kebakaran tetap relatif tinggi. Prosedur kerja sama antar organisasi untuk pengendalian kebakaran hutan/lahan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebenarnya juga sudah ada di Riau dan Kalimantan Barat (Kalbar) yang ditetapkan masing-masing dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No. 91/2009 dan Pergub Kalbar No. 103/2009. Sayangnya, kedua Pergub tersebut tidak menjelaskan mekanisme pendanaan bagi kerja sama tersebut sehingga kerja sama tetap sulit untuk dilaksanakan. IV. KESIMPULAN Berdasarkan kajian terhadap hubungan antar organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan, maka dapat disimpulkan: 1. Bantuan layanan di antara organisasi dalam pengendalian kebakaran belum efektif baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/ kota. 2. Pada aspek administratif, hubungan antar organisasi telah terjalin cukup baik di tingkat nasional, tetapi masih lemah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota maupun antar tingkatan. 3. Hubungan antar organisasi pada aspek perencanaan juga terjalin baik di tingkat nasional, namun masih lemah di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. 4. Rendahnya tingkat jejaring kerja dan sumber daya (manusia, sarana dan prasarana, serta anggaran) di setiap organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutan/lahan berimplikasi besar pada penanganan kebakaran hutan/lahan.

175

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 169 - 177

DAFTAR PUSTAKA Bakry, L. 2009. Pengaturan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Dalam: Ramses AM. dan Bakry L, editor. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. hlm 264-277. [Bappenas] National Development Planning Agency. 1999. Planning for Fire Prevention and Drought Management in Indonesia, Final Report Volume 1. Jakarta: Bappenas. Bolland, J.M. dan J.V. Wilson. 1994. Three Faces of Integrative Coordination: A Model of I n t e ro rg a n i z a t i o n a l R e l a t i o n s i n Communit-Based Heath and Human Services. Dalam Health Services Research 1994; 29-3:341-366. Chandrasekharan, C. 1999. The Mission on Forest Fire Prevention and Management to Indonesia and Malaysia (Serawak): Tropical forest fire: prevention, control, rehabilitation and trans-bundary issues. (Nugroho, A. et al. editor). Proceedings International Cross Sectoral Forum on Forest Fire Management in South East Asia. National Development Planning Agency, Republic of Indonesia/JICA and ITTO. Jakarta, pp 204-282 Colman, A.W. dan J. Han. 2010. Organizational Roles and Players. http://www.ict.swin. Edu.au/personal/acolman/pub/ColmanA AAI_FS05.pdf. Diakses tanggal 29 Okt 2010. [DFID] Department for International Development and World Bank. 2007. Working Paper: Indonesia and Climate Change Current Status and Policies. www.peace.co.id [27 Jan 2009] Doscemascolo, G.P. 2004. Burning Issues: Control of Fire Management in Central Kalimantan, Indonesia. Disertasi. Hawaii, AS: The Graduate Division on the University of Hawaii. Faerman, S.R., D.P. McCaffrey dan D.M.A. Slyke. 2001. Understanding Interorganizational Cooperation: Public-Private Collaboration in Regulating Financial Market Innovation (abstrack). Organization Science 2001; 12(3):372-388. http:// www.jstor.org/pss/3086014 [28 Jan 2009].

Hiroki, I dan D. Prabowo. 2003. Hasil Penggunaan Citra Satelit NOAA-AVHRR dan Himawari untuk deteksi Hot Spot di Stasiun Bumi Satelit NOAA-AVHRR/ Himawari FFPMP. Di dalam: Suratmo F.G, Husaeni EA, dan Surati Jaya N, editor. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 259-270 Hoessein, B. 2009. Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Konteks Pemerintahan Umum. Dalam: Ramses AM, Bakry L, editor. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. hlm 218-222. Janssen, M.A. 2005. Evolution of Instutional Rules: An Immune System Perspective. Willey Periodicals, Inc., 11(1):16-23 Kartodihardjo, H. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Malone, T.W., K. Crowston., J. Lee., B. Pentland., C. Dellarocas., G. Wyner., J. Quimby., C.S. Osborn., A. Bernstein., G. Herman., M. Klein., dan E. O'Donnell. 1999. Tools for Inventing Organizations: Toward a Handbook of Organizational Processes. Management Science 1999; 45-3:425-443. Malone, T.W. dan K. Crowston. 1994. The Interdisciplinary Study of Coordination. Computing Surveys 26(1):87-119. Meijers, E. dan D. Stead. 2004. Policy integration: what does it mean and how can it be achieved? A multi-disciplinary review. 2004 Berlin Conference on the Human Dimensions of Global Environmental Change: Greening og Policies - Interlinkages and Policy Integration. http:// web.fu-berlin.de/ffu/akumwelt/bc2004/ download/meijers_stead_f.pdf. Diakses tanggal 22 Jan 2009. Mooi, E.A. 2007. Inter-organizational Cooperation, Conflict, and Change. Disertasi. Vrije Universiteit Amsterdam. Http://dare.ubvu. Vu.nl/bitstream/1871/ 12681/5/7725.pdf, Diakses tanggal 28 Jan 2009.

176

Kajian Hubungan antar Organisasi dalam Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan/Lahan di Indonesia Erly Sukrismanto, Hadi S. Alikodra, Bambang H. Saharjo, dan Priyadi Kardono

Mulford, C.L. and G.E. Klonglan. 1982. Creating Coordination Among Organizations:an orientation and planning guide North Central Regional Extension Publication 80. [Ames, Iowa : Cooperative Extension Service, Iowa State University]. Simorangkir, D. 2001. Tinjauan Singkat Kerangka Hukum dan Kelembagaan dalam Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Dalam Suyanto S., Permana R. P., Applegate G., dan Setijono D. (editor). 2001. Prosiding Seminar Sehari Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktivitas Sosial Ekonomi dalam Kaitannya dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Bogor: Proyek Penelitian Kebakaran Hutan dan Lahan ICRAF dan CIFOR. Siswanto, H.B. 2009. Pengantar Manajemen. Jakarta: PT. BumiAksara Suprayitno dan L. Syaufina. 2008. Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Pusat

Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Korea International Cooperation Agency. Ulrich, D. 1997. Organizing Around Capabilities. Dalam: Hesselbein F. Goldsmith M. dan Bechard R., editor. 1997. The Organization of the Future. San Francisco: Jossey-Bass Pusblishers. hlm 189-196 Wehmeyer, K., K. Reimer. dan B. Schneider. 2001. Roles and Trust in Interorganizational Systems. Proceedings of the Eight Research Symposium on Emerging Electronic Markets (RSEEM 01), Maastricht, The Netherlands. Http:// www-i5.informatik.rwth-aachen.de/ conf/ rseem2001/. Diakses tanggal 29 Okt 2010. Young Lee, S. dan A.B. Whitford. 2008. Government Effectiveness in Comparative Perspective . http://ssrn.com/abstract= 1081642. Diakses tanggal 08 Mei 2008.

177

PEROLEHAN GENETIK PADA UJI KLON JATI (Tectona Grandis L.F) UMUR 3 TAHUN DI KHDTK KEMAMPO, SUMATERA SELATAN Genetic Gains on Clonal Test of Teak (Tectona grandis L. f) at 3 Years Old in KHDTK Kemampo, South Sumaterat
Agus Sofyan Mohammad Na'iem Sapto Indrioko
1)

Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian KM. 6,5 Puntikayu, Po. Box 179, Palembang, Sumatera Selatan Telp./Fax. (0711) 414864 2) Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Naskah masuk : 5 Agustus 2010; Naskah diterima : 13 Juni 2011

ABSTRACT

The objective of research were to determine the level of genetic variation, heritability and expected genetic gains based on tree height, diameter and stem form characters. The research was conducted in 3 years old teak plantation, located at KHDTK Kemampo, South Sumatera. Randomized Complete Block Design was applied using 35 clones, 4 blocks and 3 treeplots in a spacing of 3 3 m. The result of the research showed that there were genetic variation among clones, but the variation was relatively low in comparison to other variation sources, i.e. block and interaction between clone and block. The contribution of the genetic component to total variation was relatively low, i.e. 2.49 % for height and 1.73 % for diameter, while the contribution of stem form was relatively higher, i.e. 9.15 %. Genetic gain estimation at the age of 3 years was relatively low, because the heritability value was relatively low, i.e. 0.026 (individual) and 0.16 (clone) for height character and 0.02 (individual) and 0.13 (clone) for diameter. But for stem form were relatively high, i.e. 0.09 and 0.39, respectively. Based on an assumption of using the best five clones, the estimation of expected genetic gain at the age of 3 years for a height, diameter, stem form and volume were 1.28 %, 1.16 %, 3.43 % and 8.40 %, respectively. Genetic correlation between height and diameter was 1.01 (overestimate), while between diameter and stem form was very high, i.e. 0.88, and between height and stem form was 0.67. These results could be applicable for selection purpose, because it may done based on just one character, i.e. diameter. Selection index of the best five clones of 24, 36, 14, 35 and 11 were 3.073, 1.721, 1.574, 1.430 and 1.306 respectively.
Keywords: Heritability, teak, genetic correlation, genetic gain, clone, genetic variation, ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, taksiran nilai heritabilitas serta peluang perolehan peningkatan genetik dari masing-masing karakter tinggi, diameter dan bentuk batang. Hipotesis yang diajukan adalah : (1) Adanya variasi genetik yang nyata antar klon yang diuji; (2) Adanya korelasi yang tinggi antar karakter; (3) melalui tindakan seleksi akan diperoleh peningkatan genetik. Penelitian dilakukan pada tanaman umur 3 tahun, di lokasi KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan. Pertanaman menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok, dengan 4 blok, 3 treeplot dengan jarak tanam 3 x 3 meter. Jumlah klon yang diuji sebanyak 35 klon. Hasil menunjukkan bahwa terdapat variasi genetik antar klon, namun variasinya relatif rendah jika dibandingkan dengan sumber variasi lainnya yaitu blok dan interaksi antara klon dengan blok. Sumbangan variasi genetik terhadap total variasi relatif rendah yaitu 2,49 % untuk karakter tinggi dan 1,73 % untuk diameter. Untuk karakter bentuk batang relatif lebih tinggi yaitu sebesar 9,15 %. Taksiran peningkatan genetik pada umur 3 tahun relatif rendah, karena taksiran nilai heritabilitas yang diperoleh relatif rendah yaitu sebesar 0,026 (individu) dan 0,16 (klon) untuk karakter tinggi, sebesar 0,02 (individu) dan 0,13 (klon) untuk karakter diameter. Heritabilitas bentuk batang relatif lebih tinggi masing-masing sebesar 0.09 dan 0,39. Dengan asumsi menggunakan 5 klon terbaik, taksiran perolehan genetik yang dapat dicapai pada umur 3 tahun adalah sebesar 1,28 %

179

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 179 - 186

untuk karakter tinggi, 1,16 % diameter, 3,43 % bentuk batang serta 8,40 % untuk volume. Korelasi genetik antar karakter tinggi dengan diameter adalah sebesar 1,01 (overestimate), sementara korelasi genetik antara diameter dengan bentuk batang sangat tinggi yaitu sebesar 0,88, karakter tinggi dengan bentuk batang sebesar 0,67. Hasil ini akan memudahkan pekerjaan seleksi, karena seleksi dapat didasarkan atas satu karakter saja yaitu diameter. Hasil perhitungan berdasarkan indeks seleksi menunjukkan 5 nomor klon terbaik, berturut-turut nomor 24 (3,073), 36 (1,7210), 14 (1,574), 35 (1,430) dan 11 (1,306).
Kata kunci : Heritabilitas, jati, korelasi genetik, perolehan genetik, uji klon, variasi genetik

I. PENDAHULUAN

Pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan taraf hidup manusia telah menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan baku kayu, sementara potensi sumber daya alam semakin menurun, sehingga terjadi kesenjangan antara produksi dengan tingkat kebutuhan. Upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu telah dilakukan pemerintah melalui program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang dalam perkembangannya lebih mengarah kepada pemenuhan kebutuhan industri kertas atau pulp. Sementara untuk kebutuhan kayu pertukangan maupun mebeler masih mengandalkan hutan alam. Sebagaimana halnya jenis-jenis yang berasal dari hutan alam, potensi jenis jati yang dikelola oleh Perum Perhutani juga sudah sangat menurun. Menurut Iskak (2005), kebutuhan kayu 3 jati pada tahun 2005 sebesar 2,4 juta m , hanya 3 dapat dipenuhi sebesar 400 ribu m , sehingga masih terdapat kekurangan pasokan sebesar lebih 3 kurang 2 juta m . Dengan tingkat kebutuhan bahan baku kayu yang demikian tinggi, pembangunan dan pengembangan hutan tanaman sesungguhnya mempunyai prospek yang cerah, terlebih jenis jati yang sangat populer serta risetnya yang sudah sangat maju (Bhat, 2003), jati merupakan salah satu jenis yang dikembangkan sebagai hutan tanaman yang cukup luas di dunia dan telah ditanam pada lebih dari 36 negara tropis di Asia, Afrika maupun Amerika. Indonesia merupakan negara terbesar kedua yang mempunyai luasan hutan tanaman jati setelah India (ITTO, 2004 dalam Bramasto dan Suita, 2005). Menurut Na'iem (2000), begitu banyak negara yang tertarik mengembangkan jati dikarenakan kualitas kayunya yang bagus, awet serta bernilai ekonomi tinggi, serta sifat silvikulturnya secara umum telah dikuasai. Saat ini, dengan menggunakan benih atau klon unggul hasil seleksi, telah dikembangkan

pengelolaan hutan tanaman dengan daur yang lebih singkat. Beberapa negara yang memproduksi kayu jati berdaur pendek adalah Bangladesh, India, Thailand, Ghana, Myanmar, Nigeria, Brazil dan Indonesia (Siregar dan Mansur, 2004). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendukung upaya pengembangan perhutanan klon berdaur pendek dengan produktivitas tinggi. Adapun tujuan khususnya adalah untuk mengetahui variasi genetik antar klon, heritabilitas, korelasi genetik serta peningkatan genetik masing-masing karakter pertumbuhan.
II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada pertanaman uji klon jati berumur 3 tahun dengan jumlah seedlot sebanyak 35 klon yang berasal dari 6 populasi (Gunung Kidul, Wono giri, Madiun, Cepu, Muna dan Thailand), di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari - Desember 2008. B. Metode Penelitian 1. Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam uji klon jati adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD) dengan 4 blok sebagai ulangan, masing-masing unit terdiri atas 3 treeplot, dengan jumlah seedlot sebanyak 35 klon yang berasal dari 6 populasi (Gunung Kidul, Wonogiri, Madiun, Cepu, Muna dan Thailand). Jarak tanam 3 m x 3 m. 2. Variabel yang diukur Tanaman diukur pada umur 3 tahun. Variabel yang diukur adalah sifat atau karakter pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, diameter batang setinggi dada), volume kayu serta bentuk batang (Cotterill dan Dean, 1990).

180

Perolehan Genetik Pada Uji Klon Jati (Tectona Grandis L.F) Umur 3 Tahun Di Khdtk Kemampo, Sumatera Selatan Agus Sofyan, Mohammad Na'iem, Sapto Indrioko

3.Analisis data Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis varians, dengan model analisis varians (linear model) yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel and Torrie, 1991) : Yijkl = +Bi + Pj + Kk(Pj) + BK ik + Eijkl Keterangan : Yijkl = Pengamatan pohon pada blok ke i, Populasi ke j, klon ke k, individual ke l = Rerata umum Bi = Efek blok ke i Pj = Efek Populasi ke j Kk(Pj) = Efek klon ke k dalam populasi ke j BK ik = Efek interaksi blok ke i dan klon ke k Eijkl = Random error pada pengamatan ke ijkl Untuk mengetahui parameter genetik dilakukan melalui penaksiran terhadap nilai heritabilitas, perolehan genetik serta korelasi genetik antar sifat pertumbuhan. Nilai heritabilitas yang dihitung adalah nilai heritabilitas individu atau klon, yang ditaksir melalui komponen varians yang diperoleh dari hasil analisis varians. Wright (1976) dan Zobel dan Talbert (1984), menggunakan rumusan taksiran nilai heritabilitas dengan materi vegetatif (klon), sebagai berikut :
2

S = diferensial seleksi i = intensitas seleksi (Becker, 1992) p = standart deviasi phenotipe Analisis korelasi genetik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara sifat tinggi dan diameter secara genetis, yang dilakukan deengan menggunakan rumus menurut Zobel and Talbert (1984) : k ( xy )

rG (
2 k(x)

k ( y)

Keterangan : rG = korelasi genetik 2 k(xy) = komponen kovarians untuk sifat x dan y 2 k(x) = komponen varians untuk sifat x 2 k(y) = komponen varians untuk sifat y Selanjutnya besarnya komponen kovarian untuk dua sifat tersebut ( x dan y) dapat dihitung dengan rumus (Fins et, al. 1982) yaitu sebagai berikut : 2 2 2 k(xy) = 0,5 ( k (x+y )kx ky) Keterangan :
2 k (x+y )

= komponen varians untuk sifat x dan y.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persen Hidup dan Pertumbuhan

h= H2k=

2 i

k 2
2 k

, dan
e

kb

kb

/ B)

/ NB )

Keterangan : h2i = Nilai heritabilitas individu (ramet) H2k = Nilai heritabilitas klon 2 k = Komponen varians klon 2 e = Komponen varians error 2 kb = komponen varians interaksi klon-blok B = Jumlah blok N = jumlah ramet per plot Untuk menduga besarnya perolehan genetik digunakan rumus menurut Zobel dan Talbert (1984) : G = H2 x S atau G = H2 x i x Keterangan : G = taksiran perolehan genetik H2 = heritabilitas
p

Daya adaptasi keseluruhan klon pada umur 3 tahun nampak menunjukkan hasil yang sangat baik, hal ini ditandai dengan tingginya nilai rerata persen hidup yaitu sebesar 84,52% serta pertumbuhan tanaman yang sangat baik dibandingkan dengan rerata pertumbuhan pada beberapa uji klon jati lainnya, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Perbedaan pertumbuhan selain disebabkan oleh perbedaan materi (klon), juga dapat disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan tempat tumbuh (edafis) yang terkait jenis dan kesuburan tanah, intensitas pemeliharaan serta faktor iklim (klimatis) terutama curah hujan. Menurut Sheldbourne (1972) dan Goddart (1979) dalam Zobel dan Talbert (1984), faktor lingkungan edafis memberikan pengaruh yang lebih kuat terhadap pertumbuhan dibanding dengan faktor iklim atau klimatis.

181

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 179 - 186

Tabel (Table) 1. Rerata pertumbuhan uji klon jati di KHDTK Kemampo serta beberapa hasil uji klon pada lokasi lainnya (Average of growth clonal test of teak in KHDTK Kemampo and others location) Pertumbuhan (Growth) Umur (Age) Tinggi Diameter Sumber (Literature) Lokasi (location) Tahun (year) ( Height) (Diameter) (m) (cm) Sofyandan Syaiful Kemampo, Sumsel 3 7,76+1,75 7,41+1,36 (2008) Bojonegoro, Jawa Timur 5 6,20 6,10 Siswamartana dan Ngawi, Jawa Timur 5 6,00 8,60 Wibawa (2005) Ciamis, Jawa Barat 5 8,20 10,10 Cepu, Jawa Tengah 5 6,65 7,05 B. Variasi Genetik Hasil analisis varians, sebagaimana disajikan pada Tabel 2, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada sumber variasi klon, hasil ini mengindikasikan adanya variasi genetik antar klon. Adanya variasi genetik akan memberikan peluang dalam meningkatkan perolehan genetik melalui tindakan seleksi terhadap klon-klon terbaik. Hasil pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa sumber variasi blok dan interaksi mempunyai pengaruh yang sangat nyata bagi pertumbuhan. Hasil interaksi yang sangat nyata mengindikasikan bahwa hasil pertumbuhan tanaman bukan hasil dari kinerja klon atau genetik semata, namun merupakan hasil dari interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungannya (Kramer & Kozlowski, 1979). Menurut Matheson dan Raymond (1984) penelitian yang menggunakan bahan atau materi vegetatif (klon) seringkali dihasilkan interaksi yang sangat kuat antara klon dengan faktor lingkungannya. Hal tersebut terjadi karena materi klon bersifat sangat reaktif terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuh, terutama unsur phosfor, boron dan sulfur (Windsor dan Kelly, 1971 dalam Matheson dan Raymond, 1984). Dengan adanya variasi antar klon, maka terbuka peluang untuk memperoleh peningkatan genetik pada generasi berikutmya. Namun demikian seberapa besar peningkatan yang dapat diperoleh, sangat tergantung pada besarnya proporsi sumbangan variasi faktor genetik terhadap variasi total. Untuk mengetahui besarnya proporsi variasi yang disebabkan oleh faktor genetik serta faktor lainnya, perlu dilakukan analisis komponen varians. Hasil perhitungan taksiran komponen varians selengkapnya disajikan dalam Tabel 3. Besarnya taksiran komponen varians menggambarkan besarnya proporsi sumbangan (kontribusi) setiap sumber variasi terhadap variasi total.

Tabel (Table) 2. Hasil analisis varian pertumbuhan uji klon jati pada umur 3 tahun (analysis of variance for growth on 3 years measurement in clonal test of teak)
Umur (Age) Sumber Variasi (Source of variance) Blok Populasi Klon Klon x Blok Error Derajat Bebas (df) 3 5 29 101 206 Nilai rerata kuadrat tengah (Mean square) Tinggi (Height ) 14,5295** 1,3971ns 2,7896** 2,2789** 1,2016 Diameter (Diameter) 27,3177** 1,4923 ns 2,5148** 2,1296** 1,2969 Volume (Volume) 0,001308** 0,000135** 0,000165** 0,000112 Bentuk Batang (Stem form) 0,7911 ns 3,0574 * 1,7826** 0,8293**

3 Tahun (3 Years)

Keterangan (Remarks) : * = berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (Significant at 0,05 level) **= berbeda nyata pada taraf uji 0,01 (Significant at 0,01 level) ns = berbeda tidak nyata (Non-significant)

182

Perolehan Genetik Pada Uji Klon Jati (Tectona Grandis L.F) Umur 3 Tahun Di Khdtk Kemampo, Sumatera Selatan Agus Sofyan, Mohammad Na'iem, Sapto Indrioko

Tabel (Table) 3. Taksiran komponen varians dan proporsi sumbangan (%) sumber variasi terhadap variasi total pada umur 3 tahun (The estimated of proportion and variance component of source of variance on 3 years)
Sumber Variasi (Source of variance) Umur
2 b 2 p 2 k(sb) 2 kb 2 e 2 total

Karakter tinggi (Height) Tkv 0,1408 -0,0326 0,0448 0,4441 1,2016 1,7988 % 7,83 -1,80 2,49 24,69 66,80 100,00

Karakter diameter (Diameter) Tkv 0,2914 -0,0240 0,0337 0,3435 1,2960 1,9410 % 15,01 -1,24 1,73 17,69 66,79 99,98

Kombinasi tinggi x diameter (Combination of height x diameter) Tkv % 0,8465 -0,1431 0,1577 1,5330 4,1300 6,5238 12,97 -2,19 2,42 23,50 63,30 100,00

Bentuk batang (stem form) Tkv 0,0129 0,0 0,1218 0,3929 0,8293 1,3310 % 0,97 0,0 9,15 29,52 62,30 100,00

Keterangan (Remarks) : Tkv = taksiran komponen varians (variances component estimate), 2 = komponen varian, b = blok (block), p = populasi (population), k = klon (clon), kb = interkasi klon x blok (interaction clon x block), e = error, % = persentase dari total variasi (presntation of variation total)

Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa komponen varians klon (komponen varians genetik) memberikan sumbangan (kontribusi) sangat kecil terhadap variasi total, yaitu masing-masing sebesar 2,49 %, 1,73 % dan 9,15 % untuk karakter tinggi, diameter dan bentuk batang. Hasil ini menggambaran bahwa pada umur 3 tahun, pengaruh faktor genetik terhadap pertumbuhan relatif masih sangat kecil. Sementara komponen varians interaksi masingmasing sebesar 24,69 %, 17,50 % dan 23,50 untuk karakter tinggi, diameter dan kombinasi kedua sifat tersebut. Hasil ini memberikan gambaran bahwa pada umur 3 tahun pengaruh faktor genetik dalam pertumbuhan tanaman masih relatif sangat kecil. C. Heritabilitas Heritabilitas merupakan parameter yang mengambarkan seberapa besar sifat-sifat induk diwariskan kepada keturunannya dan Tabel (Table) 4.

merupakan suatu hal sangat penting, karena terkait erat dengan perolehan genetik serta strategi pemuliaan pohon dalam memperoleh peningkatan genetik (Zobel dan Talbert, 1984). Heritabilitas yang tinggi menunjukkan adanya peluang perolehan genetik yang besar. Besarnya nilai heritabilitas yang diperoleh berdasarkan nilai-nilai komponen varians dari masing-masing karakter, selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Dari hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk semua variabel/karekter yang diukur, secara umum dapat dikatakan mepunyai nilai heritabilitas yang relatif rendah, baik heritabilitas individu maupun famili. Menurut Hardiyanto (1994) dalam Leksono (1994) nilai heritabilitas untuk famili (klon) sebesar 0,40 - 0,60 dikategorikan sedang, kurang dari 0,40 adalah rendah dan lebih dari 0,60 termasuk dalam kategori tinggi.

Taksiran nilai heritabilitas untuk semua karakter pada umur 3 tahun (The estimated of heritability of all character's on 3 year's).
Tinggi (Height) h2i h2k 0,03 0,16 Karakter (Character) Diameter Volume (Diameter) (Volume) h2i h2i h2k h2k 0,02 0,13 0,05 0,30 Bentuk batang (Stem form) h2i h2k 0,09 0,39

Umur (Age)

3 Tahun (3 years)

Keterangan (Remarks) : h2i =heritabilitas individu (Individual heritability) 2 h k =heritabilitas klon (Clones heritability)

183

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 179 - 186

Rendahnya nilai heritabilitas pada uji klon ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena rendahnya nilai komponen varians 2 genetik ( k), dibanding dengan nilai komponen 2 varians interaksi ( kb). Menurut Shelbourne (1972) bahwa pengaruh interaksi yang 2 menghasilkan komponen varians ( kb) yang jauh lebih besar daripada komponen varians genetiknya, dapat menjadi masalah serius dalam perolehan genetiknya, karena pada kondisi tersebut nilai heritabilitasnya menjadi sangat rendah. Sementara menurut Russel dan Libby (1986), jumlah unit percobaan (ramet per klon) serta jumlah replikasi (blok) juga sangat berpengaruh terhadap nilai heritabilitas, semakin banyak jumlah unit percobaan dan replikasi, maka nilai heritabilitas akan semakin besar. Hasil penelitian yang dilaporkan Russel dan Libby (1986) menunjukkan bahwa penambahan jumlah unit percobaan pada uji klon Pinus radiata, telah meningkatkan nilai heritabilitas yang signifikan. Dalam uji klon ini jumlah unit percobaan yang relatif sedikit yaitu 3 treeplot dengan 4 blok sebagai ulangan, dapat menyebabkan nilai heritabilitasnya menjadi rendah. Hal lain yang dapat menyebabkan rendahnya heritabilitas menurut Kuntiyati (1995) dalam Wibowo (2002) adalah karena sifat-sifat kuantitatif (tinggi, panjang, lebar) banyak dikendalikan oleh gen minor yang porsi pengaruhnya sangat kecil dan berbeda-beda, sehingga sifat-sifat tersebut lebih mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

D. Perolehan Genetik Taksiran perolehan genetik merupakan suatu nilai kuantitatif dari respon populasi atas adanya seleksi pada populasi tersebut. Seberapa besar perolehan genetik dapat dicapai, sangat erat kaitannya dengan nilai heritabilitas masingmasing karakter atau sifat. Taksiran nilai heritabilitas yang tinggi akan menghasilkan perolehan genetik yang tinggi (besar), jika nilai heritabilitasnya rendah, maka perolehan genetik juga relatif rendah. Perolehan genetik juga dipengaruhi oleh intensitas seleksi. Dalam penelitian ini perolehan genetik dihitung dengan asumsi bahwa dari 35 klon yang diuji, akan diseleksi sebesar 30 % (10 klon), 20 % (7 klon) dan 15 % (5 klon), dengan nilai intensitas seleksi masing-masing sebesar 1,527, 1,360 dan 1,160 sesuai tabel intensitas seleksi menurut Becker (1992). Dengan intensitas seleksi tersebut, diperoleh hasil perhitungan taksiran perolehan genetik sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Hasil di atas menunjukkan bahwa perolehan genetik untuk karakter tinggi (0,981,28 %) dan diameter (0,81-1,16 %), relatif rendah dibanding bentuk batang (3,03-3,43 %) dan volume (3,55-8,40 %). Hal ini disebabkan karena nilai komponen varians bentuk batang yang cukup besar, yaitu hampir 4 kali lebih besar dibanding nilai komponen varians genetik (klon) untuk karakter tinggi dan 5 kali lebih besar dibanding nilai komponen varians genetik untuk karakter diameternya (Tabel 3), begitu pula

Tabel (Table) 5. Taksiran perolehan genetik dan peningkatan sifat pada Uji Klon Jati pada umur 36 bulan, di KHDTK Kemampo. Sumsel (The estimated of genetic gain on clonal test of teak at KHDTK Kemapo, South Sumatera)
Karakter (Character) Tinggi (height) Rerata (Average) 7,764 (m) Jumlah klon (Number of clone) 5 7 10 5 7 10 5 7 10 5 7 10 Perolehan genetik (%) (Genetic gain) 1,28 1,14 0,98 1,16 0,89 0,81 3,43 3,40 3,03 8,40 6,00 3,55 Peningkatan sifat (Improve of character) 7,86 (m) 7,85 (m) 7,84 (m) 7,49 (cm) 7,48 (cm) 7,47 (cm) 4,044 4,043 4,028 0,0271 m3/phn 0,0265 m3/phn 0,0258 m3/phn

Diameter (diameter)

7,412 (cm)

Bentuk batang (stem form) Volume (volume)

3,91

0,025 m3/phn

184

Perolehan Genetik Pada Uji Klon Jati (Tectona Grandis L.F) Umur 3 Tahun Di Khdtk Kemampo, Sumatera Selatan Agus Sofyan, Mohammad Na'iem, Sapto Indrioko

halnya dengan nilai heritabilitasnya yang jauh lebih besar yaitu 0,30 untuk bentuk batang dan 0,39 untuk volume, sementara untuk karakter tinggi dan diameter masing-masing sebesar 0,16 dan 0,13 (Tabel 4). Dari hasil tersebut nampak bahwa dengan nilai komponen varians genetik serta heritabilitas yang lebih besar, maka peluang peningkatan genetik yang dapat diperoleh akan menjadi lebih besar. Peningkatan genetik juga menjadi semakin tinggi dengan semakin tingginya tingkat intensitas seleksi (Tabel 5). Mengingat bahwa umur tanaman masih relatif sangat muda yaitu 3 tahun, dimana pertumbuhan tanaman masih sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, maka kemungkinan terjadinya perubahan pada koefisien komponen varians genetik serta heritabilitasnya pada saat umur tanaman bertambah (lebih tua) masih sangat dimungkinkan dapat berubah, dengan demikian peluang perolehan genetik yang lebih besar tetap bisa diharapkan. E. Korelasi Genetik Korelasi genetik mempunyai arti yang sangat penting dalam program pemuliaan pohon, terutama untuk mengembangkan dua karakter atau sifat yang berbeda dengan berdasarkan pada penerapan seleksi atas satu karakter, dengan harapan secara tidak langsung akan dapat memperbaiki karakter yang lainnya (Zobel dan Talbert, 1984). Koefisien korelasi genetik menggambarkan seberapa besar sesungguhnya hubungan keeratan antar karakter secara genetik. Hasil perhitungan korelasi genetik antar karakter

(diameter dan tinggi) selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Korelasi genetik antar sifat tinggi dengan diameter sebesar 1,01 merupakan nilai yang bersifat overestimate, hal ini disebabkan karena tidak seimbangnya rasio antara komponen varians genetik dengan komponen varians interaksinya (Matheson dan Raymond,1984 ; Isik dan Kleinschmidt, 2005). Korelasi antar karakter tinggi dengan bentuk bantang menunjukkan hubungan korelasi yang cukup kuat, yaitu sebesar 0,67. Sementara korelasi antar karakter diameter dengan bentuk batang sebesar 0,88. Hasil ini menggambarkan bahwa karakter diameter mempunyai pengaruh positif yang kuat terhadap karakter tinggi maupun bentuk batang. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa apabila hendak melakukan seleksi, maka seleksi cukup didasarkan pada satu karakter yaitu diameter, karena dengan hanya memprioritaskan pada karakter diameter sesungguhnya akan diikuti dengan perbaikan karakter tinggi dan bentuk batangnya. Dengan demikian pelaksanaan seleksi akan menjadi lebih efisien, baik dari sisi anggaran maupun waktu. Namun demikian untuk uji klon ini, karena korelasi genetik yang diperoleh dari tanaman yang masih sangat muda dimana kinerja genetik masih relatif labil (belum cukup stabil), maka masih perlu untuk dikaji hubungan korelasinya dalam beberapa tahun ke depan saat umur tanaman relatif lebih tua, saat kinerja genetik tanaman sudah relatif stabil. Hal tersebut sangat penting guna diperolehan peningkatan genetik sebagaimana yang diharapkan.

Tabel (Table) 6. Korelasi genetik antar sifat pada uji klon jati umur 3 tahun di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan (genetic correlation on clonal test of teak at KHDTK Kemampo, South Sumatera)
Umur (Age) Tinggi (Height) 3 Tahun (3 Years ) Diameter (Diameter) Karakter/sifat (Character) Tinggi (Height) -

Bentuk batang (stem form) 0,67

1,01

0,88

IV. KESIMPULAN 1. Dari 35 klon yang diuji terdapat variasi genetik antar klon, namun sumbangan variasinya terhadap total variasi relatif sangat

rendah yaitu 2,49 %, untuk karakter tinggi, 1,73 % diameter dan 9,15 % untuk karakter bentuk batang. 2. Korelasi genetik antara karakter tinggi dengan diameter sebesar 1,01 ( overestimate ),

185

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 179 - 186

sementara korelasi antar karakter tinggi dengan bentuk batang serta diameter dengan bentuk batang, masing-masing sebesar 0,67 untuk dan 0,88. 3. Taksiran peningkatan genetik yang diperoleh adalah sebesar 1,28 % dan 1,16 % untuk karakter tinggi dan diameter, 3,43 % dan 8,40 % untuk bentuk batang dan volume, dengan asumsi menggunakan 5 klon terbaik. DAFTAR PUSTAKA Becker, W. A. 1992. Manual of Quantitative Genetics. Academic Enterprise. Pullman. USA. Fifth Edition. Bhat, K.M. 2003. Quality Concerns of Sustainable Teak Wood Chain. Quality Timber Product of Teak From Sustainable Forest Management. Proceeding of The International Conference on Quality Timber of Teak From Sustainable Forest Management. Peechi, India 2-5 Desember 2003. Bramasto, Y. dan Suita, E. 2005. Variasi Pertumbuhan Tanaman Jati dari Berbagai Klon di Kebun Percobaan Rumpin. Prosiding Seminar Nasinal. Dengan IPTEK Membangun Hutan Tanaman Demi Kemakmuran Bangsa dan Terciptanya Kelestarian Lingkungann. P u s a t L i t b a n g H u t a n Ta n a m a n . Yogjakarta, 2005. Cotterill, P.P. dan C.A. Dean. 1990. Successful Tree Breeding With Index Selection. CSIRO Division of Forestry and Forest Product.Australia. Isik, K. dan Kleinschmit, J. 2005. Similarties and effectiveness of tes eninvironments in selecting and deploying desirable genotypes. Theor Appl Genet (2005) 110 : 311-322. Iskak, M. 2005. Produktivitas Tegakan Jati JPP Intensif sampai dengan Umur 20 Tahun ke Depan. Seperempat Abad Pemuliaan Jati Perum Perhutani. Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani. Kramer, P.J and T.T. Kozlowsky, 1979. Physiology of Woody Plant. Academic Press. New York. Sanfransisco. London. Leksono, B. 1994. Variasi Genetik Produksi Getah Pinus merkusii Jungh et.de Vriese.

Tesis. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. tidak dipublikasikan. Matheson, A. C. dan Raymond, C. A. 1984. The Impact of Genotype x Environment Interactions on Australian Pinus radiata Breeding Program. Na'iem, M. 2000. Prospek Perhutanan Klon Jati di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur di Indonesia Saat ini. Wanagama, Yogjakarta. 2000. Shelbourne, C.J.A. 1972. Genotype-environment Interaction : Its Study and its Implications i n F o re s t r y I m p ro v e m e n t . P r o c . IUFRO Genetics-Sabrao Joint Symposia. Tokyo. Siregar, I.Z. dan Mansur, I. 2004. Posisi Benih Unggul Versus Silvikultur Intensif Dalam Pembangunan Hutan Rakyat Jati. Makalah disampaikan dalam pertemuan Forum Komunikasi Jati, Tema Menjawab Tantangan Pengembangan Jati Rakyat dan Pemasarannya. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogjakarta, 2004. Siswamartana, S. dan Wibawa, A. 2005. Early Performance Clonal Test of Teak in Perum Perhutani. International Forestry Review. Vol 7 (5). 2005. Sofyan, A. dan Syaiful, I. 2008. Pemeliharaan Jati (Tectona grandis) di KHDTK Kemampo. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang (tidak dipubikasikan). Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Russell, J.H. dan Libby, W.J. 1986. Clonal Testing Efficiency : The Trade-off Between Clone Tested and Ramet per Clone. Canadian Juornal of Forestry Research. Vol. 16. 1986. Wibowo, A. 2002. Evaluasi Uji Klon Jati Pada Umur 15 bulan. Buletin Penelitian Pusbanghut. Vol V. No 03. 2002. Perum PERHUTANI. Pusat Pengembangan Sumberdaya Hutan Cepu. Zobel, B.J. and. J. Talbert., 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons. New York.

186

KAJIAN WATER TABLE PADA SEMAI PEREPAT (Combretocarpus rotundatus Miq dan JELUTUNG (Dyera lowii Hook) DIINOKULASI Glomus sp 3 DI TANAH GAMBUT Study Of Water Table In Seedlings Of Perepat (Combretocarpus rotundatus Miq) and Jelutung (Dyera lowii Hook) Inoculated Glomus sp 3 In Peat Soil
Burhanuddin , Siti Kabirun , Bostang Radjagukguk , dan Sumardi
Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura Pontianak Jl. Jend. A. Yani Kompleks Untan Benua Melayu Darat Pontianak Selatan 2 Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta* 3 Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta* *Kampus UGM Bulak Sumur - Yogyakarta 55281 E-mail : hans_borneo@yahoo.co.id *Penulis untuk korespondensi Naskah masuk : 26 Oktober 2010; Naskah diterima : 31 Mei 2011
1

1*

ABSTRACT

A study on the influence of water table on the growth Combretocarpus rotundatus Miq and Dyera lowii Hook inoculation with arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and fertilization SP 36 in peat soils was conducted in greenhouse Soil Sience Laboratory Faculty of Agriculture, is Gadjah Mada University in Yogyakarta for 14 weeks. The goal of research purpose wa to determine the effect of water table, P fertilization and inoculation with AMF on the growth of C.rotundatus Miq and D.lowii Hook seedlings. Nursery experiments were conducted using Completely Randomized Factorial Design with three replications. Observations made on C.rotundatus Miq and D.lowii Hook seedlings 14 weeksof age after weaning include: height, diameter, number of leaves, shoot dry weight, and P uptake of plants after harvest. Experiments of water table, fertilized of 100 ppm SP 36 and inoculated with Glomus sp 3 resulted in the best water table is 20 cm in C.rotundatus Miq and D.lowii Hook seedlings. In the water table 20 cm increase in growth of C.rotundatus Miq are 324.86% high, 366.67% diameter, 437.50 % number of leaves, 630.00% shoot dry weight and P uptake of 835.80%. For D.lowii Hook are 107.61% high, 136.05% diameter, 42.01 % number of leaves, shoot dry weight of 643.83% and 851.56% P uptake. It was concluded that inoculation with the AMF type of Glomus sp 3 combined with the provision of P fertilizer dosage of 100 ppm SP 36 and planting on water table level 20 cm and 10 cm can be used widely to improve growth of C. rotundatus Miq and D. lowii Hook seedling in the nursery.
Keywords: ex-PLG, peat,Water table, Glomus sp 3 ABSTRAK

Penelitian pengaruh water table (jeluk muka air tanah) terhadap pertumbuhan perepat (Combretocarpus rotundatus Miq) dan jelutung (Dyera lowii Hook) dengan inokulasi jamur mikoriza arbuskula (JMA) dan pemupukan SP 36 di tanah gambut dilaksankan di rumah kaca laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universeitas Gadjah Mada Yogyakarta selama 14 minggu. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh jeluk muka air tanah, pemupukan P dan inokulasi JMA terhadap pertumbuhan semai perepat dan jelutung. Percobaan persemaian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga ulangan. Pengamatan dilakukan pada umur semai perepat dan jelutung 14 minggu setelah penyapihan yang meliputi: tinggi, diameter, jumlah daun, dan untuk berat kering pucuk dan serapan P tanaman dilakukan setelah panen. Percobaan pengujian jeluk muka air tanah pada semai perepat dan jelutung yang dipupuk SP 36 takaran 100 ppm dan diinokulasi dengan Glomus sp 3 membuktikan bahwa jeluk muka air tanah terbaik adalah 20 cm. Pada jeluk muka air tanah 20 cm peningkatan pertumbuhan untuk perepat tinggi 324,86 %, diameter 366,67 %, jumlah daun 437,50 %, berat kering pucuk 630,00 % dan serapan P 835,80 %. Untuk jelutung tinggi 107,61 %, diameter 136,05 %, jumlah daun 42,01 %, berat kering pucuk

187

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 187 - 196

643,83 % dan serapan P 851,56 %. Disimpulkan bahwa inokulasi dengan JMA jenis Glomus sp 3 yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk P takaran 100 ppm dan penanaman pada jeluk muka air tanah 20 cm dan 10 cm dapat dimanfaatkan secara luas untuk meningkatkan pertumbuhan bibit perepat (C. rotundatus Miq) dan jelutung (D.lowii Hook) di persemaian.
Kata kunci : ex-PLG, gambut, Glomus sp 3, Water table I. PENDAHULUAN

Pada tahun 1995 telah dilakukan pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah yang dikenal dengan Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG atau Mega Rice ProjectMRP) yang luas totalnya 1.457.100 hektar. Pembukaan lahan ini disertai dengan pembuatan kanal. Akibat pembuatan kanal dengan total panjang 2.008,7 km dengan berbagai ukuran lebar dan kedalaman, telah terjadi kerusakan status hidrologi kawasan secara drastis yaitu terjadi pengatusan sangat berlebihan serta rendahnya retensi air dan jeluk muka air tanah. Takahashi et al. (2002) memaparkan perubahan yang terjadi pada jeluk muka air tanah di blok C ex-PLG, di musim penghujan saja jeluk muka air tanah bisa mencapai 5 cm - 50 cm yang seharusnya pada kondisi normal pada musim penghujan bisa tergenang dengan ketinggian 100 cm dari atas permukaan tanah. Pada tahun 2005 Centre for International Co-operation in Sustainable Management of Tropical Peatlands (CIMTROP) Universitas Palangkaraya, bekerjasama dengan masyarakat Uni Eropa melakukan restorasi hidrologi dengan pembuatan dam atau pembendungan kanal-kanal yang mengering di blok C Kelampangan. Menurut Limin et al. (2008) perubahan yang terjadi pada jeluk muka air tanah sebelum dan sesudah pembendungan kanal di blok C ex-PLG, pada bulan-bulan tertentu terjadi perubahan jeluk muka air tanah yang meningkat, seperti yang terjadi pada bulan Agustus 2005 (sebelum pembendungan pada bulan Nopember 2004 jeluk muka air tanah mencapai 112 cm, setelah pembendungan pada bulan Agustus 2005 jeluk muka air tanah hanya 9 cm). Menurut Ritzema et al. (2008) jeluk muka air tanah gambut pada musim kemarau bisa mencapai 40 cm di bawah permukaan, sedangkan pada musim hujan mencapai 100 cm dari atas permukaan tanah. Selanjutnya menurut Ritzema et al. (2008) meskipun restorasi hidrologi dengan pembendungan kanal tidak menunjukkan perubahan jeluk muka air tanah yang signifikan,

tetapi pembendungan kanal sangat berperan penting dalam proses rehabilitasi lahan gambut seperti mengurangi subsiden, mengurangi emisi karbon, mengurangi kebakaran dan dalam jangka panjang dapat memulihkan hutan rawa gambut secara alami. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka dipandang sangat penting untuk dilakukan perbaikan melalui suatu upaya konservasi yaitu dengan melakukan pemulihan pada lahan gambut tersebut dengan campur tangan manusia. Namun demikian, kegiatan pemulihan ini akan selalu berhadapan dengan masalah yang disebabkan oleh pembukaan lahan gambut tersebut diantaranya: (1) permukaan air tanah menyusut, (2) terjadi kekeringan, (3) pH tanah asam, (4) miskin unsur hara dan (5) aktivitas mikroorganisme rendah. Untuk mengatasi kendalakendala tersebut, perlu diusahakan suatu teknologi alternatif yang tepat yaitu dengan pupuk hayati (biofertilizer). Pupuk hayati telah berhasil dikembangkan di negara-negara maju sebagai pupuk yang potensial dan aman bagi lingkungan, salah satu diantaranya adalah Jamur Mikoriza Arbuskula (JMA) (Gumbira-Said, 1996; Mendoza et al. 2005; Leigh et al. 2008; Garcia & Mendoza, 2008; Cornejo et al. 2008; Cardoso et al. 2009). Penelitian yang mengungkap peranan JMA dalam meningkatkan pertumbuhan telah banyak dilakukan pada berbagai tanaman hutan, yaitu pulai, bungur, mangium, dan sungkai (Martin et al. 2004), Shorea balangeran (Turjaman et al. 2007), ramin (Muin, 2003), jati (Faridah, 1999), Aquilaria microcarpa (Santoso et al. 2007), Acacia crassicarpa (Pidjath et al. 2007), dan Vitex cofassus (Prayudyaningsih & Santoso, 2007). Pada perepat (Combretocarpus rotundatus Miq) dan jelutung (Dyera lowii Hook), penelitian JMA ini belum banyak dilakukan. Perepat adalah salah satu jenis asli hutan rawa gambut yang dapat tumbuh baik pada kondisi terbuka. Sebagaimana yang dijelaskan Saito et al. (2002) bahwa jenis perepat, gerunggang (Cratoxylon arborescen) dan asam-

188

Kajian Water Table Pada Semai Perepat (combretocarpus Rotundatus Miq Dan Jelutung (Dyera lowii Hook) diinokulasi Glomus sp 3 di Tanah Gambut Burhanuddin, Siti Kabirun, Bostang Radjagukguk, dan Sumardi

asam (Mangifera sp) dapat tumbuh baik pada tempat-tempat terbuka, tahan kekeringan dan tahan terhadap suhu tanah yang tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa jenis perepat, gerunggang dan asam-asam merupakan jenis cepat tumbuh di hutan rawa gambut (Saito et al. 2002). Jelutung juga merupakan jenis asli yang tumbuh di hutan rawa gambut. Jenis ini merupakan jenis pohon dwiguna, yang cocok untuk ditanam pada lahan gambut yang akan dikonservasi. Jelutung hanya akan dimanfaatkan dari hasil ikutannya saja berupa getah jelutung. Hasil penelitian Burhanuddin et al. (2010) membuktikan bahwa jenis JMA Glomus sp 3 yang terbaik meningkatakan pertumbuhan semai perepat dari beberapa jenis JMA yang diuji pada media gambut. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tanaman perepat yang dipupuk dengan pupuk SP 36 takaran 100 ppm dan diinokulasi Glomus sp 3 adalah takaran pupuk terbaik meningkatkan pertumbuhan semai perepat pada media gambut (Buranuddin, 2011). Demikian juga pada tanaman jelutung yang dipupuk dengan batuan fosfat takaran 100 ppm dan diinokulasi Glomus sp 3 adalah yang terbaik meningkatkan pertumbuhan jelutung pada media gambut (Burhanuddin, 2001). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jeluk muka air tanah, pemupukan P dan inokulasi JMA terhadap pertumbuhan semai perepat dan jelutung pada tanah gambut.
II. BAHAN DAN METODE

40 cm dengan interval 10 cm. Tanah dengan berbagai jeluk muka air tanah tersebut dipupuk dengan 100 gram SP 36 dan diinokulasi JMA jenis Glomus sp 3. Selain itu disertakan pula tanah dalam kondisi tergenang air 1 cm tanpa dipupuk dan tidak diinokulasi JMA sebagai kontrol. C. Tahapan PelaksanaanPenelitian Benih perepat dan jelutung dikecambahkan dalam bak kecambah yang berisi media gambut yang sudah steril. Setelah semai berumur satu bulan, dilakukan penyapihan. Selanjutnya semai ditanam dalam kantong plastik hitam ukuran 2,5 kg yang telah diisi media gambut steril. Pupuk basal diberikan dalam bentuk larutan yang terdiri dari 70 ppm NH4NO3, 35 ppm KH2PO4, 70 ppm K2SO4, 70 ppm CaCl2, 22 ppm CuSO4.5H2O, 5 ppm ZnSO4.7H2O 10 ppm MnSO4.7H2O, 0,33 ppm CoSO4.7H2O, 0,20 ppm NaMoO4.2H2O, dan 20 ppm MgSO4.7H2O. Tanaman ditumbuhkan selama 14 minggu setelah penyapihan, di rumah kaca Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Data yang dikumpulkan terdiri dari tinggi (cm), diameter pangkal batang (mm), jumlah daun (helai), berat kering pucuk (gram), dan serapan hara P tanaman. D. Analisis Data Data tinggi, diameter, jumlah daun, berat kering pucuk dan serapan hara P tanaman dianalisis menurut analisis keragaman (ANOVA) rancangan acak kelompok menggunakan metoda SAS X3. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pertumbuhan semai perepat dan jelutung dinilai berdasarkan pengamatan terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, berat kering pucuk dan serapan P tanaman. Hasil analisis keragaman pengaruh faktor perlakuan disajikan dalam Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5. Tabel 1. Hasil sidik ragam pengaruh jeluk muka air tanah dengan pemupukan SP 36 dan inokulasi JMA terhadap tinggi semai perepat dan jelutung (The results of analysis variance of influence of water table with SP 36 fertilization and AMF inoculation for hight C. rotundatus and D.lowii seedling).

A. Bahan Penelitian Penelitian yang dilaksanakan pada bulan April 2009 Agustus 2009, di rumah kaca Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada menggunakan; a). benih perepat (C. rotundatus) dan jelutung (D. lowii) rawa yang berasal dari tegakan alam blok C exPLG Kalampangan Palangkaraya, b). Pupuk Sp 36 dan c). JMAjenis Glomus sp 3. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimen murni dengan rancangan perlakuan faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok ( 2 x 7 ) dengan perlakuan jenis pohon dan jeluk muka air tanah (water table) dan ulangan sebanyak 3 kali. Jeluk muka air tanah (water table) diatur bervariasi dari 0 cm sampai

189

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 187 - 196

Tabel (Table)1. Hasil sidik ragam pengaruh jeluk muka air tanah dengan pemupukan SP 36 dan inokulasi JMA terhadap tinggi semai perepat dan jelutung (The results of analysis variance of influence of water table with SP 36 fertilization and AMF inoculation for hight C. rotundatus and D.lowii seedling)
Sumber keragaman (Source of variance) Ulangan Pohon (J) Jeluk (W) J*W Galat Total
CV = 12,22

Derajat bebas Jumlah kuadrat (Degrees of (Sum of Squares) freedom) 18,18 2 9223,37 1 4172,17 6 2192,19 6 321,61 26 41 15927,53

Kuadrat tengah (Mean Squares) 9,09 9223,37 695,36 365,36 12,36

F hitung (F cale) 0,73tn 745,64* 56,21* 29,54*

Pr > F 0,4893 0,0001 0,0001 0,0001

Keterangan (Remarks) * = Signifikan (Significant) tn = tidak berbeda nyata (Non-significant)

Tabel (Table) 2. Hasil sidik ragam pengaruh jeluk muka air tanah dengan pemupukan SP 36 dan inokulasi JMA terhadap diameter semai perepat dan jelutung (The results of analysis variance of influence of water table with SP 36 fertilization and AMF inoculation for diameter C. rotundatus and D.lowii seedling)
Sumber keragaman
Derajat bebas Jumlah kuadrat (Degrees of (Sum of Squares) freedom) 3,25 2 0,21 1 98,05 6 18,36 6 9,25 26 41 129,14

Kuadrat tengah (Mean Squares) 1,62 0,21 16,34 3,06 0,35

F hitung (F cale) 4,57* 0,60* 45,94* 8,61*

Pr > F 0,0100 0,0001 0,0001 0,0001

Ulangan Pohon (J) Jeluk (W) J*W Galat Total


CV = 13,68

Keterangan (Remarks) * = Signifikan (Significant)

Tabel (Table) 3. Hasil sidik ragam pengaruh jeluk muka air tanah dengan pemupukan SP 36 dan inokulasi JMA terhadap jumlah daun semai perepat dan jelutung (The results of analysis variance of influence of water table with SP 36 fertilization and AMF inoculation for number of leaves C. rotundatus and D.lowii seedling)
Sumber keragaman
Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah (Degrees of (Sum of Squares) (Mean Squares) freedom) 34,92 69,85 2 1303,71 1303,71 1 270,59 1623,57 6 220,65 1323,95 6 24,36 633,47 26 41 4954,57

F hitung (F cale) 1,43tn 53,51* 11,11* 9,06*

Pr > F 0,2567 0,0001 0,0001 0,0001

Ulangan Pohon (J) Jeluk (W) J*W Galat Total


CV = 26,37

Keterangan (Remarks) * = Signifikan (Significant) tn = tidak berbeda nyata (Non-significant)

Pada Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5 memperlihatkan bahwa perlakuan water table dengan pemupukan SP 36 dan inokulasi dengan jenis JMA mem-berikan pengaruh yang sangat nyata terhadap semua parameter yang diuji yaitu; tinggi, diameter, jumlah daun, berat kering pucuk dan serapan P tanaman. Secara umum, perlakuan water table dengan pemberian pupuk SP 36 dan inokulasi jenis JMA mempengaruhi

pertumbuhan semai perepat dan jelutung di persemaian. Perbedaan tanggap tinggi semai perepat dan jelutung terhadap tiap jeluk muka air tanah umur 14 minggu setelah penyapihan disajikan dalam Gambar 1. Tinggi semai perepat berbeda nyata terhadap jeluk muka air tanah 10 cm, 40 cm, 0 cm, 30 cm dan 20 cm dibandingkan dengan tanaman kontrol. Peningkatan tinggi semai perepat pada jeluk muka air tanah 10 cm,

190

Kajian Water Table Pada Semai Perepat (combretocarpus Rotundatus Miq Dan Jelutung (Dyera lowii Hook) diinokulasi Glomus sp 3 di Tanah Gambut Burhanuddin, Siti Kabirun, Bostang Radjagukguk, dan Sumardi

40 cm, 0 cm, 30 cm, dan 20 cm berturut-turut lebih besar 132,35 %, 162,22 %, 182,67 %, 237,83 %, dan 324,86 % dibandingkan dengan tanaman kontrol. Tinggi semai jelutung berbeda nyata terhadap jeluk muka air tanah 30 cm, 0 cm, 10 cm dan 20 cm dibandingkan dengan tanaman Tabel (Table) 4.

kontrol. Peningkatan tinggi semai jelutung pada jeluk muka air tanah 30 cm, 0 cm, 10 cm, dan 20 cm berturut-turut lebih besar 77,61 %, 83,75 %, 102,27 %, dan 107,61 % dibandingkan dengan tanaman kontrol.

Hasil Hasil sidik ragam pengaruh jeluk muka air tanah dengan pemupukan SP 36 dan inokulasi JMA terhadap berat kering pucuk semai perepat dan jelutung (The results of analysis variance of influence of water table with SP 36 fertilization and AMF inoculation for shoot dry weight C. rotundatus and D.lowii seedling)
Derajat bebas Jumlah kuadrat (Degrees of (Sum of Squares) freedom) 22,75 2 224,02 1 314,05 6 216,26 6 120,31 26 41 897,40

Sumber keragaman

Kuadrat tengah (Mean Squares) 11,37 224,02 52,34 36,04 4,62

F hitung (F cale) 2,46tn 48,41* 11,31* 7,79*

Pr > F 0,1052 0,0001 0,0001 0,0001

Ulangan Pohon (J) Jeluk (W) J*W Galat Total


CV = 45.08

Keterangan (Remarks) * = Signifikan (Significant) tn = tidak berbeda nyata (Non-significant)

Tabel (Table) 5. Hasil sidik ragam pengaruh jeluk muka air tanah dengan pemupukan SP 36 dan inokulasi JMA terhadap serapan P semai perepat dan jelutung (The results of analysis variance of influence of water table with SP 36 fertilization and AMF inoculation for P uptake C. rotundatus and D.lowii seedling)
Sumber keragaman
Derajat bebas Jumlah kuadrat (Degrees of (Sum of Squares) freedom) 3044,53 1 4392,59 6 2533,68 6 2295,85 26

Kuadrat tengah (Mean Squares) 3044,53 732,09 422,28

F hitung (F cale) 37,13* 8,93* 5,15*

Pr > F 0,0001 0,0001 0,0011

Ulangan Pohon (J) Jeluk (W) J*W Galat Total


80 70 60 50 40 30 20 10 0 Tin gg i s em a i ( cm )

41

12266,67
a b c d cd f

e i fgh f fgh hi

Kontrol

10 Water table Perepat

20

30

40

Jelutung

Keterangan (Remarks):Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05)

Gambar (Figure) 1. Pengaruh water table, pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap tinggi semai perepat dan jelutung (Effect of water table, SP 36 fertilization and AMF inoculation for height on C.rotundatus and D.lowii seedling)

191

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 187 - 196

Diameter semai perepat berbeda nyata terhadap jeluk muka air tanah 40 cm, 10 cm, 0 cm30 cm dan 20 cm dibandingkan dengan tanaman kontrol (Gambar 2). Peningkatan diameter semai perepat pada jeluk muka air tanah 40 cm, 10 cm, 0 cm, 30 cm, dan 20 cm berturut-turut lebih besar 166,67 %, 188,67 %, 244,67 %, 311,33 % dan 366,67 % dibandingkan dengan
Dia m e te r b at a ng (m m ) 8 7 6 5 4 3 2 1 0

tanaman kontrol. Diameter semai jelutung berbeda nyata terhadap jeluk muka air tanah 30 cm, 0 cm, 20 cm, dan 10 cm dibandingkan dengan tanaman kontrol. Peningkatan diameter semai jelutung pada jeluk muka air tanah 30 cm, 0 cm, 20 cm, dan 10 cm berturut-turut lebih besar 93,13 %, 136,05 %, 136,05 %, dan 186,26 % dibandingkan dengan tanaman kontrol.
a ab bc cde ef fg

a bcd bc de g gh

Kontrol

10 Water table Perepat

20

30

40

Jelutung

Keterangan (Remarks) : Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05)

Gambar (Figure) 2. Pengaruh water table, pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap diameter semai perepat dan jelutung (Effect of water table, SP 36 fertilization and AMF inoculation
50 40 30 20 10 0 Kontrol 0 10 20 30 40 cdecde bcd cde bc cde cde cde a

Jumlah daun (he lai)

a b cde

Water table Perepat Jelutung

Keterangan (Remarks): Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05)

Gambar (Figure) 3. Pengaruh water table, pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap jumlah daun semai perepat dan jelutung (Effect of water table, SP 36 fertilization and AMF inoculation for number of leaves on C.rotundatus and D.lowii seedling) Perbedaan tanggap berat kering pucuk semai perepat dan jelutung terhadap tiap jeluk muka air tanah umur 14 minggu setelah penyapihan disajikan dalam Gambar 4. Berat kering pucuk semai perepat berbeda nyata terhadap jeluk muka air tanah 30 cm dan 20 cm dibandingkan dengan tanaman kontrol. Peningkatan berat kering pucuk semai perepat pada jeluk muka air tanah 30 cm dan 20 cm berturut-turut lebih besar 534,76 % dan 630,00 %

192

Kajian Water Table Pada Semai Perepat (combretocarpus Rotundatus Miq Dan Jelutung (Dyera lowii Hook) diinokulasi Glomus sp 3 di Tanah Gambut Burhanuddin, Siti Kabirun, Bostang Radjagukguk, dan Sumardi

dibandingkan dengan tanaman kontrol. Berat kering pucuk semai jelutung berbeda nyata terhadap jeluk muka air tanah 20 cm
B e ra t ke rin g p u cu k (g )

dibandingkan dengan tanaman kontrol. Peningkatan berat kering pucuk semai jelutung pada jeluk muka air tanah 20 cm sebesar 643,83

20 a 15 10 b 5 0 Kontrol 0 10 Water table Perepat Jelutung 20 30 40 bc c bc bc b bc bc b c a

Keterangan (Remark): Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen

(Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05)

Gambar (Figure) 4. Pengaruh water table, pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap berat kering pucuk semai perepat dan jelutung (Effect of water table, SP 36 fertilization and AMF inoculation for shoot dry weight on C.rotundatus and D.lowii seedling)
Serapan P (mg/tan) 60 50 40 30 20 10 0 b bcd bcd cd 0 10 20 30 b bcd bcd bcd bcd 40 b a a

Kontrol

Water table Perepat Jelutung

Keterangan (Remark): Huruf yang sama pada histogram tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan taraf 5 persen (Bars with the same letter are not significantly different based on Duncan's multiple range test (0,05).

Gambar (Figure) 5. Pengaruh water table, pupuk SP 36 dan inokulasi JMA terhadap serapan P semai perepa dan jelutung (Effect of water table, SP 36 fertilization and AMF inoculation for P uptake on C.rotundatus and D.lowii seedling)

Serapan P tanaman perepat berbeda nyata terhadap jeluk muka air tanah 30 cm dan 20 cm dibandingkan dengan tanaman kontrol (Gambar 5). Peningkatan serapan P tanaman perepat pada jeluk muka air tanah 30 cm dan 20 cm berturutturut sebesar 761,19 % dan 835,80 % dibandingkan dengan tanaman kontrol. Serapan P tanaman jelutung tidak berbeda nyata, akan tetapi pada jeluk muka air tanah 10 cm cenderung meningkat sebesar 851,56 % dibandingkan dengan tanaman kontrol.

B. Pembahasan Hasil penelitian ini membuktikan bahwa semai perepat dan jelutung meningkat pertumbuhannya dengan pengatuan water table dan pemupukan SP 36 takaran 100 ppm yang diinokulasi dengan jenis JMA. Hal ini diduga adanya asosiasi JMA endemik pada tanaman lokal gambut dapat meningkatkan pertumbuhan perepat dan jelutung. Hal ini sesuai dengan pendapat Maki et al. (2008) jenis JMA endemik

193

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 187 - 196

setempat dapat memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal pada tanah sulfat masam pH 3,4. Hasil pengujian jeluk muka air tanah gambut membuktikan bahwa untuk pemulihan hidrologi dengan melakukan pembendungan kanal tidak harus dengan penggenangan, karena sifat tanah gambut yang tidak bisa balik (irreversible) akan menyebabkan lapisan atas tanah gambut akan hanyut terbawa air yang menyebabkan cepatnya penurunan tanah gambut (subsidence). Hasil penelitian membuktikan bahwa jika akan memulihkan lahan gambut dengan melakukan penanaman dengan tanaman perepat bisa dilakukan dengan pengaturan jeluk muka air tanah mulai dari 40 cm, 30 cm, 20 cm, dan 10 cm, namun jeluk muka air tanah terbaik untuk tanaman perepat adalah jeluk muka air tanah 20 cm. Jika lahan gambut akan ditanami dengan tanaman jelutung dapat dilakukan dengan pengaturan jeluk muka air tanah mulai dari 20 cm, 10 cm, dan tergenang 1 cm, dan yang terbaik pada jeluk muka air tanah 10 cm. Hal ini sesuai dengan sifat alami dari tanaman jelutung yang tumbuh baik pada kondisi dibawah naungan dan merupakan jenis yang masuk pada tahap sesudah jenis-jenis dalam kelompok tipe hutan riverine forest (Page et al. 1999). Lebih lanjut menurut Shepherd et al. (1995), dan Page et al. (1999) jenis jelutung ada pada tipe hutan mixed swamp forest, tipe hutan transition forest, dan tipe hutan tall interior forest. Dengan mengetahui jeluk muka air tanah yang sesuai untuk tanaman perepat dan jelutung dapat dimanfaatkan untuk memulihkan tanah gambut dengan jenis-jenis lain yang satu kelompok dengan perepat misalnya Cratoxylon arborescens, Campnosperma auriculata, dan Palaquium leiocarpum, serta yang satu kelompok dengan jelutung isalnya Shorea balangreran, Shorea teysmanniana, dan Gonystylus bancanus (Page et al. 1999). Hasil penelitian jeluk muka air tanah juga dapat digunakan untuk pemanfaatan lahan gambut ex-PLG secara optimal, yaitu dengan mengatur jeluk muka air tanah 30 cm untuk penanaman perepat, lahan gambut ex-PLG bisa ditanami dengan tanaman campuran tanaman pertanian. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil percobaan membuktikan bahwa pengujian jeluk muka air tanah pada semai

perepat dan jelutung yang dipupuk SP 36 takaran 100 ppm dan diinokulasi JMA jenis Glomus sp 3 membuktikan jeluk muka air tanah terbaik 20 cm, kemudian diikuti jeluk muka air tanah 30 cm. B. Saran Secara umum dapat disarankan bahwa; 1. JMA jenis Glomus sp 3 yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk P takaran 100 ppm dan ditanam pada jeluk muka air tanah 20 cm dapat dimanfaatkan secara luas meningkatkan bibit perepat (C. rotundatus Miq) dan jelutung (D.lowii Hook) di persemaian. 2. Guna pemulihan lahan gambut khususnya EX-PLG Palangkaraya disarankan untuk memanfaatkan pupuk hayati JMA jenis Glomus sp 3 diinokulasikan pada perepat dan ditanam pada jeluk muka air tanah 20 cm atau 30 cm di lapanagn. 3. Untuk tanaman jelutung disarankan ditanamn pada jeluk muka air tanah mulai dari 20 cm, 10 cm dan tergenang 1 cm di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Burhanuddin., S. Kabirun., B. Radjagukguk. & Sumardi. 2010. Effect of AMF Inoculation on the Growth of Combretocarpus rotundatus Miq on a Peat Soil from Central Kalimantan (For Restoration Ex-Mega Rice Project Central Kalimantan). Jurnal Biota Vol.15 (1): 63-71. Burhanuddin. 2011. Kajian Takaran Pupuk SP 36 pada Perepat ( Combretocarpus rotundatus Miq) dengan Inokulasi Mikoriza di Tanah Gambut. Jurnal VOKASI. VOL. 7 (2): 166-178. Burhanuddin. 2011. Mycorrhizal Symbioses with Jelutung (Dyera lowii Hook) under Increasing Phosphate Rock Levels in Peat Soil. Jurnal BELIAN. VOL. 10 (2): 135144. Cardoso, JA., de Lemos., EEP., dos Santos, TMC., Caetano, LC. & Nogueira, MA. 2009. Mycorrhizal Dependency of Mangaba Tree under Increaing Phosphorus Levels. Pesquisa Agropecuaria Brasileira. 43(7): 887-892. Cornejo, P., R. Rubio., C. Castillo., R. Azeon. & F. Borie. 2008. Mycorrhizal Effectiveness on Wheat Nutrient Acquisition in an Acidic Soil from Southern Chile as Affected by

194

Kajian Water Table Pada Semai Perepat (combretocarpus Rotundatus Miq Dan Jelutung (Dyera lowii Hook) diinokulasi Glomus sp 3 di Tanah Gambut Burhanuddin, Siti Kabirun, Bostang Radjagukguk, dan Sumardi

Nitrogen Sources. From journal of plant Nutrition. 31: 1555-1569. Faridah, E. 1999. Endomikoriza, Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Tingkat Ketahanan terhadap Kekeringan pada Semai Jati. Dalam Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Hal: 243-247. Garcia, I.V. & R. E. Mendoza. 2008. Relationships among Soil Properties, Plant Nutrition and Arbuscular Mycorrhizal Fungi-Plant Symbiosis in a Temperate Grassland along Hydrologic, Saline and Sodic Gradients. In FEMS Microbiol Ecol 63: 359-371. Gumbira-Said,E. 1996. Prospek Pemanfaatan Bioteknologi untuk Penyediaan Pangan. 27 (VII). 30-36. Leigh, J., A. Hodge. & A.H. Fitter. 2008. Arbuscular Mycorrhizal Fungi can Transfer Substantial Amounts of Nitrogen to Their Host Plant from Organic Material. In Journal compilation. New Phytologist. 181: 199-207. Limin, S. H., J.O. Rieley., H. Ritzema & H. Vasander. 2008. Some Requirement for Restoration of Peatland in the Former Mega Rice Project in Central Kalimantan, Indonesia: Blocking Channels, Increasing Livelihoods and Controlling Fires. Dalam Proceedings of the 13th International Peat Congress: After Wise Use-The Future of Peatlands. Volume 1. Edited by Catherine F and John Feehan. Tullamore, Ireland. Hal: 222-225. Martin,E., Syaiful,I & Teten,R.S. 2004. Pengaruh Endomikoriza dan Media Semai terhadap Pertumbuhan Pulai, Bungur, Mangium dan Sungkai di Persemaian. BPPK DEP Kehutanan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol 1. no 3. 87-131. Maki, T., M. Nomachi., S. Yoshida. & T. Ezawa. 2008. Plants Symbiotic Microorganisms in Acid Sulaft Soil: Significance in the Growth of Pioneer Plants. Jurnal Plant Soil. 310: 55-65. Mendoza, R., V. Escudero. & I. Garcia. 2005. Plant Growth, Nutrient Acquisition and Mycorrhizal Symbioses of a Waterlogging Tolerant Legume (Lotus glaber Mill) in a

Saline-Sodic Soil. In Plant and Soil 275: 305-315. Mendoza, R., del Carmen, LM. & I, Garcia. 2009. How do Soil P Tests, Plant Yield and P Acquisition by Lotus Tenuis Plants Reflect the Availability of Added P from Different Phosphate Source. Nutr Cycl Agroecosyst. DOI. 10.1007/s10705-0089245-4. Muin. A. 2003. Penanaman Ramin (Gonystylus bancanus Miq. Kurz) pada Areal Bekas Tebangan dengan Inokulasi CMA dan Pemupukan Fosfat Alam terhadap Bibit di Persemaian. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing XI . Lemlit. (Tidak dipublikasi). Page, S.E., Rieley, J.O., Shotyk, O.W. & Wiess, D. 1999. Interdependence of Peat and Vegetation in a Tropical Peat Swamp Forest. Phil. Trans. Royal Soc. London. Hal: 18885-1897 Pidjath, C., Y. Setiadi., E. Santoso. & M. Turjaman. 2007. Kualitas Bibit Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth Hasil Sinergi Bio-organik dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Ultisol. Dalam Prosiding Kongres Nasional Mikoriza II. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan. Bogor. 17-21 Juli 2007. Prayudyaningsih, R. & B. Santoso. 2007. Efektivitas Mikoriza Arbuskula terhadap Pertumbuhan Semai Bitti (Vitex cofassus Reinw). Dalam Prosiding Kongres Nasional Mikoriza II. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan. Bogor. 17-21 Juli 2007. Ritzema, H., Limin, S.H., Kitso, KSN. & Jyrki Jauhiainen. 2008. Canal Blocking Strategies to Restore Hydrology in Degraded Tropical Peatlands in the Former Mega Rice Project in Central Kalimantan, Indonesia. Dalam Proceeding International Symposium and Workshop on Tropical Peatland. Peatland Development: Wise Use and Impact Management. Kuching, Sarawak, Malaysia. Hal: 260-269.

195

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No.3, Juli 2011, 187 - 196

Saito.H., Shibuya. M., Tuah. S.J., Takahashi. K., Jamal.Y., Segah.h., Putir. P.E. & Limin. S.H. 2002. Preliminary Selection of Fastgrowing Tree Species with Tolerance to an Open and Dry Peat Land in Central Kalimantan: To Develop a Preceding Planting Method. Dalam Proceedings of the International Symposium on Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. Bali. Indonesia.Hal: 7579. Santoso, E., Indry., A.W. Gunawan., K. Tawaraya. & M. Turjaman. 2007. Early Colonization of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Tree Producing Gaharu Aquilaria microcarpa seedlings. Dalam Prosiding Kongres Nasional Mikoriza II. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan. Bogor. 17-21 Juli 2007.

Shepherd, P.A., Rieley, J.O. & Page, S.E. 1995. The Realitionship between Forest Vegetation and Peat Characteristics in the Upper Catchment of Sungai Sebangau, Central Kalimantan. Dalam; Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proc. Of the Int. Symp on Biodiversity, Environmental Importance of Trop. Peat and Peatlands. Editor: Rieley, J.O and Page, S.E, Samara publ. UK. Hal: 191210. Turjaman, M., Saito. H., Santoso. E., Susanto. A., Sampang.G., Limin. S.H., Shibuya. M., Takahashi. K., Tamai. Y., Osaki. M. & Effect of Tawaraya. K 2007. Ectomycorrhizal Fungi Inoculated on Shorea balangeran under Field Condition in Peat-Swamp Forest. Dalam Proceeding International Symposium and Workshop on Tropical Peatland. Carbon-ClimateHuman interaction- Carbon Pools, Fire, Mitigation, Restoration and Wise Use. Yogyakarta. Indonesia.

196

Anda mungkin juga menyukai