Anda di halaman 1dari 134

p-ISSN 0216-0897

e-ISSN 2502-6267
TERAKREDITASI
No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

JURNAL
ANALISIS KEBIJAKAN
KEHUTANAN
Journal of Forestry Policy Analysis
Vol.15 No.1, Mei 2018

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


Ministry of Environment and Forestry
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
Research, Development and Innovation Agency
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Journal of Forestry Policy Analysis
Volume 15 Nomor 1, Mei Tahun 2018
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No.
1221/E/2016. Jurnal ini memuat karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, pemikiran/tinjauan ilmiah mengenai kebijakan kehutanan atau bahan
masukan bagi kebijakan kehutanan. Terbit pertama kali tahun 2004, terakreditasi tahun 2008 dengan nomor 124/Akred-LIPI/P2MBI/06/2008.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan terbit dengan frekuensi dua kali setahun (Mei dan November).

Journal of Forestry Policy Analysis is an accredited journal, based on decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 1221/E/2016.
This Journal is a scientific publication reporting research finding and forestry policy review of forestry policy recommendation. First published
in 2004, accredited by LIPI in 2008 with number 124/Akred-LIPI/P2MBI/06.2008. Journal of Forestry Policy Analysis publish two times
annually (May and November).
Penanggung Jawab (Advisory Editor) : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim
DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD) :
Ketua (Editor in Chief) : Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si (P3SEKPI)
Redaktur (Managing Editor) : Gatot Ritanto, SH., MM (P3SEKPI)
Initial Reviewer : Yanto Rochmayanto, S.Hut., M.Si (P3SEKPI)
Editor Bagian (Section Editors) : 1. Surati, S.Hut, M.Si (P3SEKPI)
2. Fentie J Salaka, S.Hut,M.Si (P3SEKPI)
3. Galih Kartika Sari, S.Hut.,M.Si (P3SEKPI)
4. Fulki Hendrawan, S.Hut (P3SEKPI)
Mitra Bebestari (Peer Reviewers) : 1. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc (Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)
2. Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS (Kelembagaan Ekonomi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)
3. Prof. Dr. Ir. Herry Purnomo,M.Comp. (Kebijakan Kehutanan, Mitigasi REDD+, Adaptasi Perubahan Iklim
dan Furniture Value Chain, CIFOR)
4. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman,M.Sc(Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)
5. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc (Ekonomi dan Sumber Daya Hutan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
6. Prof. Ir. Yonariza, M.Sc., Ph.D (Manajemen Sumber Daya Hutan, Universitas Andalas)
7. Prof. Dr.Ir. Hadi Susilo Arifin, M.Sc. (Ekologi dan Manajemen Lanskap, Institut Pertanian Bogor)
8. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. (Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, Kebijakan Publik, Perubahan Iklim
dan Konservasi Sumber Daya Alam, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan)
9. Dr. Ir. I Wayan Susi Dharmawan,S.Hut, M.Si. (Hidrologi dan Kesuburan Tanah, Pusat Litbang Hutan)
10. Prof. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat,M.Sc. (Politik Ekonomi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)
11. Frida Sidik, B.Sc., M.Sc., PhD. (Mangrove, Konservasi Sumber Daya Pesisir, Perubahan Iklim,
Kementerian Kelautan dan Perikanan)
12. Dr. Nurul Laksmi Winarni (Climate Change Adaptation, Universitas Indonesia)
13. Ir. Hunggul Yudhoyono, M.Sc (Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Litbang LHK Makasar)
Anggota Dewan Redaksi (Reviewers) : 1. Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS (Konservasi Tanah dan Air, MKTI)
2. Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)
3. Dr. Tuti Herawati,S.Hut,M.Si (Analisis Kebijakan, P3SEKPI)
4. Dr. Virni Budi Arifanti, S.Hut.,M.Sc (Penginderaan Jauh Geografi dan Informasi, P3SEKPI)
5. Ir. Ari Wibowo, M.Sc (Perlindungan Hutan, P3SEKPI)
6. Dr. Fitri Nurfatriani,S.Hut,M.Si (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)
7. Dr Gamin,A.Md.,S.Sos.,MP (Pemetaan dan Analisis untuk Konflik dan Spasial, Balai Diklat LHK
Kadipaten)
8. R. Deden Djaenudin,S.Si,M.Si (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)
9. Dr. Ir. Subarudi,M.Wood.Sc (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)
10. Dr. Ir. Niken Sakuntaladewi,M.Sc (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)
REDAKSI PELAKSANA (EDITORIAL TEAM) :
Penyunying Bahasa (Copy Editors) : 1. Dra. Wahyuning Hanurawati (P3SEKPI)
2. Tri Winarni, B.Sc.For (Honour) (Ditjen KSDAE)
Penyunting Tata Letak (Layout Editor) : Suhardi Mardiansyah (Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi)
Administrasi Laman E-journal (Web : Ratna Widyaningsih,S.Kom (P3SEKPI)
Admin)
Koreksi Naskah (Proofreader) : Prof.Dr.Ir. Djaban Tinambunan, MS.
Sekretariat (Secretariat) : 1. Dra. Wahyuning Hanurawati (P3SEKPI)
2. Parulian Pangaribuan,S.Sos (P3SEKPI)
3. Ratna Widyaningsih,S.Kom (P3SEKPI)

Diterbitkan oleh (Published by):


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim
(Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change)
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
(Research, Development and Innovation Agency)
Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16118, Indonesia
Telepon (Phone) : +62-251-8633944 Email : publikasipuspijak@yahoo.co.id;
jurnal.kebijakan.kehutanan@gmail.com
Fax (Fax) : +62-251-8634924 Laman (web) : www. puspijak.org
p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
TERAKREDITASI
No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

JURNAL
ANALISIS KEBIJAKAN
KEHUTANAN
Journal of Forestry Policy Analysis
Vol.15 No.1, Mei 2018

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


Ministry of Environment and Forestry
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
Research, Development and Innovation Agency
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA
Ucapan Terima Kasih

Dewan Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada Mitra Bebestari (Peer Reviewers) yang telah menelaah naskah-
naskah yang dimuat pada edisi Vol. 15 No.1 Mei tahun 2018. Mitra Bebestari (Peer Reviewers)
dimaksud adalah:

1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman,M.Sc


2. Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS
3. Prof. Dr. Ir. Herry Purnomo,M.Comp
4. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc
5. Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si
6. Dr. Tuti Herawati, S.Hut., M.Si
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN p-ISSN 0216-0897
Vol. 15 No.1, Mei 2018 e-ISSN 2502-6267

TERAKREDITASI
No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

DAFTAR ISI (CONTENTS)

ANALISIS KESIAPAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN


YOGYAKARTA SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
(Analysis on Readiness of Yogyakarta Forest Management Unit as Sub-National Public
Service Agencies)
Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih ........................... 1-18

UPAYA PENURUNAN EMISI KARBON BERBASIS MASYARAKAT DI


HUTAN BERFUNGSI LINDUNG
(Community-Based Carbon Emission Reduction Program in Protection Forest)
Iis Alviya, Muhammad Zahrul Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat
Uhib Hamdani ....................................................................................................... 19-37

PERAN ILMUWAN DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN FISKAL HIJAU:


STUDI KASUS PROVINSI JAMBI
(The Role of Scientists in Green Fiscal Policy Formulation: Case Study in Jambi)
Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho Nurrochmat, Ahmad Erani
Yustika, & Fentie Salaka ........................................................................................ 39-54

KEBERHASILAN SVLK DALAM MENDUKUNG PERBAIKAN TATA


KELOLA KEHUTANAN
(The Success of SVLK in Supporting the Improvement of Forest Governance)
Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana, & Chairil Abdini ......................................... 55-66

SINKRONISASI KEBIJAKAN DI BIDANG IZIN PERTAMBANGAN


DALAM KAWASAN HUTAN
(Policy Synchronization in Mining Licenses in Forest Areas)
Epi Syahadat, Subarudi dan Andri Setiadi Kurniawan ......................................... 67-86

ANALISIS PERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS KEMENTERIAN


LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DALAM DESENTRALISASI
KEHUTANAN
(Analysis of the Role of Technical Implementing Unit of The Ministry of Environment
and Forestry in Forestry Decentraliztion Implementation)
Handoyo dan Andri Setiadi Kurniawan ................................................................. 87-112
JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN
ABSTRAK
p-ISSN 0216-0897 Vol. 15 No.1, Mei 2018
e-ISSN 2502-6267
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh
diperbanyak tanpa izin dan biaya.
UDC (OSDCF) 630*61 UDC (OSDCF) 630*914
Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, & Kushartati Budiningsih Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho Nurrochmat,
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta sebagai Ahmad Erani Yustika, & Fentie Salaka
Badan Layanan Umum Daerah Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau: Studi
Kasus Provinsi Jambi
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No. 1, hal. 1-18
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No. 1, hal. 39-54
Lembaga KPH Yogyakarta masih bersifat birokratis dan tidak
dapat merespon dengan cepat permasalahan di lapangan terkait Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran dan
pengelolaan keuangan. Masih ada keraguan bagi KPH Yogyakarta pengaruh ilmuwan dalam pembuatan kebijakan fiskal hijau.
untuk menerapkan BLUD. Penelitian bertujuan menganalisis Data dianalisis menggunakan matriks klasifikasi scientist yang
beberapa peraturan perundang-undangan, merumuskan perangkat memengaruhi proses pembuatan kebijakan berdasarkan tingkat
hukum pendukung kemandirian manajemen keuangan dan independensi dan pengaruhnya. Hasil penelitian menunjukkan
memberikan pilihan kelembagaan untuk mendukung kemandirian bahwa peran dan posisi ilmuwan dalam pembuatan kebijakan
KPH. Dengan menggunakan paradigma critical legal theory dan fiskal hijau terbagi atas honest broker of policy alternative berupa
analisis kualitatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa ada tim ahli yang dibentuk untuk menyusun dan merevisi peraturan
kesamaan prinsip pengelolaan hutan oleh KPH dan pengelolaan perundangan serta issue advocate berupa Tim Asistensi Gubernur
keuangan oleh BLUD, yaitu prinsip efeisiensi dan efektivitas. Jambi. Pengaruh para ilmuwan sebatas dalam perjalanan akademik
Lembaga pengelolaan keuangan sebagai BLUD yang sesuai untuk saja yaitu ketika penyusunan naskah akademik.
KPH adalah hybrid public organization.
Kata kunci: Peran ilmuwan; pembuatan kebijakan; fiskal hijau.
Kata kunci: KPH; kelembagaan; peraturan; pengelolaan hutan;
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

UDC (OSDCF) 630*111.83 UDC (OSDCF) 630*93


Iis Alviya, Muhammad Zahrul Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana, & Chairil Abdini
Almuhayat Uhib Hamdani Keberhasilan SVLK dalam Mendukung Perbaikan Tata Kelola
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Kehutanan
Berfungsi Lindung
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No. 1, hal. 55-66
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No. 1, hal. 19-37
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) ditetapkan sejak
Kajian ini meliputi persepsi masyarakat terhadap REDD+, tahun 2009 untuk mendukung perbaikan tata kelola kehutanan.
kesiapan kelembagaan REDD+ di tingkat tapak, potensi dan Namun demikian, sampai dengan saat ini belum ada upaya evaluasi
kendala pemanfaatan jasa lingkungan, dan alternatif skema untuk mengukur keberhasilan kebijakan tersebut. Penelitian ini
REDD+ berbasis masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas SVLK kebijakan untuk
masyarakat di lokasi penelitian memiliki persepsi terhadap REDD+ mendukung perbaikan tata kelola kehutanan terutama terkait
dengan tingkat variasi tinggi hingga sedang. Persepsi yang tinggi dengan pemanfaatan dan peredaran hasil hutan kayu. Metode
dipengaruhi oleh adanya dukungan kegiatan REDD+ oleh lembaga analisis yang digunakan adalah metode evaluasi formal deskriptif.
swadaya masyarakat. Sementara itu, kesiapan kelembagaan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan SVLK saat ini
REDD+ berbasis masyarakat di ketiga lokasi telah terbangun cukup cukup berhasil mendukung perbaikan tata kelola kehutanan.
baik. Skema Plan Vivo dinilai cocok untuk mendukung mekanisme
Kata kunci: SVLK; tata kelola kehutanan; evaluasi kebijakan.
pembayaran jasa karbon di hutan Adat Rumbio dan Yapase,
sedangkan hutan desa Katimpun dinilai lebih tepat menerapkan
skema Verified Carbon Standard (VCS).
Kata kunci: Pengelolaan hutan berbasis masyarakat; REDD+; jasa
lingkungan.
UDC (OSDCF) 630*907 UDC (OSDCF) 630*903
Epi Syahadat, Subarudi dan Andri Setiadi Kurniawan Handoyo dan Andri Setiadi Kurniawan
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan
Kawasan Hutan Hidup dan Kehutanan dalam Desentralisasi Kehutanan
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No. 1, hal. 67-86 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No. 1, hal. 87-112
Pengelolaan sistem perizinan pertambangan sangat kompleks Hasil kajian menunjukkan peran BKSDA, BTN, BPA,
karena keterkaitan hukum lintas sektor. Hasil penelitian BPKH, dan Balai Diklat LHK masih diperlukan, sementara BPHP,
menunjukan kebijakan IPPKH melibatkan 36 jenis peraturan yang BPDASHL, BPTH dan Balai Litbang LHK tidak diperlukan karena
terdiri 11 unit UU, 13 unit PP, sembilan unit Perpres, dan tiga unit fungsi dan kewenangannya dapat dilimpahkan kepada provinsi
Permen LHK. Proses IPPKH dinilai kurang efektif disamping dan kabupaten/kota. Isu desentralisasi di Jawa Timur adalah
melibatkan Kementerian ESDM untuk IUP dan Kementerian LHK penempatan personil pejabat daerah tidak sesuai kompetensi,
untuk IPPKH yang dikelola melalui PTSP juga masih bersifat pendanaan pembangunan kehutanan sedikit, pelibatan masyarakat
administratif. Sinkronisasi kebijakan IPPKH diperlukan untuk dalam pengelolaan hutan, tumpang tindih kewenangan. Sedangkan
mengakomodir peraturan perundangan yang diterbitkan oleh di Sulawesi Selatan adalah pelemahan kapasitas instansi kehutanan
kementerian teknis lainnya. daerah, penyalahgunaan wewenang, tertundanya pemantapan
kawasan, ego instansi vertikal, koordinasi. Berdasarkan indikator
Kata kunci: Sinkronisasi Kebijakan; IUP; IPPKH; PTSP. GFG dan kapasitas organisasi. Sikap pemangku kepentingan di
Jawa adalah netral, sementara di Sulawesi Selatan baik.

Kata kunci: Desentralisasi kehutanan; unit pelaksana teknis; good


forest governance.
JOURNAL OF FORESTRY POLICY ANALYSIS
ABSTRACT
p-ISSN 0216-0897 Vol. 15 No.1, Mei 2018
e-ISSN 2502-6267
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without
permission or charge.
UDC (OSDCF) 630*61 UDC (OSDCF) 630*914
Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, & Kushartati Budiningsih Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho Nurrochmat,
Ahmad Erani Yustika, & Fentie Salaka
Analysis on Readiness of Yogyakarta Forest Management Unit as
Sub-National Public Service Agencies The Role of Scientists in Green Fiscal Policy Formulation: Case
Study in Jambi
Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 15 No. 1, p. 1-18
Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 15 No. 1, p. 39-54
The institution of Yogyakarta FMU is considered still
bureaucratic, which makes it difficult to respond quickly to problems The purpose of this study is to analyze the role and influence
related with financial management. The FMU is not confident yet of scientists in green fiscal policy making.Data were analyzed using
to perform an independent financial management scheme, known scientist classification matrix that influenced the policy making
as SNPSA. A research was conducted to analyze some legislation, process based on the level of independence and its influence. Results
formulate supporting legal and provide institutional options for indicated that the role and position of scientists in green fiscal
financial management independence needed by FMU. By using policy making is divided into the honest broker of policy alternative,
qualitative research, the results showed that FMU needs to be in the form of experts team to draft and revise legislation as well
self-sufficient through the synchronization and revision of several as advocate issues, namely the Assistance Team of the Governor
regulations related with it. The research suggested that a hybrid of Jambi.The influence of scientists is limited to the preparation of
public organization called as SNPSA is matched for the FMU. academic texts.
Keywords: FMU; institutional;regulation;forest management; Sub Keywords: The role of scientists; policy making; green fiscal.
National Public Service Agencies (SNPSA).

UDC (OSDCF) 630*111.83 UDC (OSDCF) 630*93


Iis Alviya, Muhammad Zahrul Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana, & Chairil Abdini
Almuhayat Uhib Hamdani
The Success of SVLK in Supporting the Improvement of Forest
Community-Based Carbon Emission Reduction Program in Governance
Protection Forest
Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 15 No. 1, p. 55-66
Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 15 No. 1, p. 19-37
The Timber Legality Verification System (SVLK) has been
This analysis includes community’s perception to REDD+, established since 2009 to support the improvement of forestry
institutional preparedness in site level, potentials and impediments governance. However, no evaluation has been done yet since its
in utilising environmental services, as well as schemes for establishment to measure the success of the policy. A study was
community-based REDD+. The study shows the community’s carried out to evaluate the effectiveness of the SVLK policy for
perception to REDD+ is varied from high to moderate. The improving forestry governance within the context of utilization
perception categorized “high” is stimulated by support from and distribution of timber forest products. The analytical method
NGOs. Meanwhile, preparedness of the community to implement used is a descriptive formal evaluation. The result of the study
REDD+ has been well developed through an established REDD+ indicated that the current SVLK policy quite successfully supports
institution. Plan Vivo scheme is likely to be appropriate in the the improvement of forestry governance.
customary forests of Rumbio and Yapase, while  Verified Carbon
Standard is appropriate to support the Katimpun Village forest in Keywords: SVLK; forest governance; policy evaluation.
developing incentive for REDD+.

Keywords: Community based forest management; REDD+;


environmental services.
UDC (OSDCF) 630*907 UDC (OSDCF) 630*903
Epi Syahadat, Subarudi dan Andri Setiadi Kurniawan Handoyo dan Andri Setiadi Kurniawan
Policy Synchronization in Mining Licenses in Forest Areas Analysis of the Role of Technical Implementing Unit of The
Ministry of Environment and Forestry in Forestry Decentraliztion
Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 15 No.1, p. 67-86 Implementation
The management of mining licensing system is complex due to Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 15 No. 1, p. 87-112
the inter-sectoral legal linkages. IPPKH permit involves 36 types
of regulations consisting of 11 Acts, 13 Government Regulations, This study shows that the role of BKSDA, BTN, BPA, BPKH,
nine Presidential Regulations and three Environment and Forestry and Balai Diklat LHK are still perceived, while BPHP, BPDASHL,
Ministerial Regulations. IPPKH process is considered less effective BPTH and Balai Litbang LHK are not required since their
due to the involvement the Ministry of ESDM and Ministry of LHK functions and authorities may be delegated to provinces and regent/
to proceed IUP and IPPKH managed through PTSP which handles city governments.. The issue of decentralization in East Java is
administrative issues only. Synchronization on IPPKH policy incompetency of the deployment of personnel of regional officials,
is required to accommodate other legislations issued by other little forest development funding, community involvement in forest
technical ministries. management, and overlapping authority. In South Sulawesi is a
weakening capacity of local forestry agencies, abuse of authority,
Keywords: Policy synchronization; IUP; IPPKH; PTSP. delays in regional stabilization, vertical agency ego, coordination.
Based on GFG indicators and organizational capacity, attitudes
of stakeholders in East Java is neutral, while in South Sulawesi is
good.

Kata kunci: Forestry decentralization; technical implementating


unit; good forest governance (GFG).
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18
p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

ANALISIS KESIAPAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN


YOGYAKARTA SEBAGAI BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
(Analysis on Readiness of Yogyakarta Forest Management Unit
as Sub-National Public Service Agencies)

Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka & Kushartati Budiningsih


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesia
E-mail: sulistya.ekawati@yahoo.co.id; fentiesalaka@gmail.com; k.budiningsih@yahoo.com

Diterima 21 Agustus 2017, direvisi 9 Januari 2018, disetujui 1 Februari 2018.

ABSTRACT

The institution of Yogyakarta Forest Management Unit (FMU) is considered still bureaucratic which makes it
difficult to respond quickly to problems related with financial management. Although Sub-National Public Service
Agencies (SNPSA) is an independent financial management institution, but Yogyakarta FMU is not confident yet to
perform this scheme. This study aims to analyze some legislation related with independent financial management,
formulate supporting legal instruments and provide institutional options for independent financial management
that would be matched for Yogyakarta FMU. By using a qualitative analyse approach with a paradigm of critical
legal theory the study showed that there was similiarity regarding principles of effeciency and effectiveness in
forest and financial management carried out by FMU and SNPSA . However, in order to be independent, FMU
needs to be self-sufficient through synchronization and revision of several regulations related with it. It is suggested
that hybrid public organization as an independent financial management for FMU to gain political support from
local governments, strong leadership, preparation of capable human resources and improvement on accounting
management.

Keywords: FMU; institutional; regulation; forest management; Sub National Public Service Agencies (SNPSA).

ABSTRAK
Bentuk kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta yang ada saat ini sangat birokratis,
sehingga tidak dapat merespon permasalahan dengan cepat terkait pengelolaan keuangan. Selama ini ada
keraguan KPH Yogyakarta untuk menerapkan skema Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dalam pengelolaan
keuangannya. Penelitian bertujuan menganalisis beberapa peraturan perundangan terkait kelembagaan kemandirian
KPH, merumuskan perangkat hukum pendukung kemandirian manajemen keuangan, dan memberikan pilihan
kelembagaan untuk mendukung kemandirian KPH. Penelitian ini menggunakan paradigma critical legal theory
dan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kesamaan prinsip pengelolaan hutan oleh KPH
dan pengelolaan keuangan oleh BLUD, yaitu prinsip efisiensi dan efektivitas. Kemandirian KPH perlu dilakukan
melalui sinkronisasi dan revisi beberapa peraturan yang terkait dengan KPH. Bentuk kelembagaan KPH hybrid
public organization dalam bentuk BLUD perlu mendapat dukungan politik dari pemerintah daerah, kepemimpinan
yang kuat, penyiapan sumber daya manusia yang kapabel dan perbaikan manajemen akuntansi.

Kata kunci: KPH; kelembagaan; peraturan; pengelolaan hutan; Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.1.1-18 1
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

I. PENDAHULUAN secara finansial (self-financing management


Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) unit) yang secara profesional mampu
adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai mengakomodisasi aspek ekologi, sosial, serta
fungsi pokok dan peruntukannya yang ekonomi (Suwarno, 2015). Lembaga KPH
dapat dikelola secara efisien dan lestari mempunyai ciri publik dan privat sekaligus
(Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/ yang lazim disebut sebagai lembaga quasi
Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, pemerintah atau quasi publik. Lembaga KPH
Prosedur, dan Kriteria Pengelolaan Hutan harus mampu memberi respon cepat terhadap
pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung kebutuhan lapangan dengan menekan
dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi; proses yang terlalu birokratis. Pembentukan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. lembaga quasi pemerintah adalah untuk
6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan meningkatkan enterpreneurship dari
Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan; lembaga yang bersangkutan (Nugroho et al.,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 2013). Efektivitas pengelolaan KPH sangat
Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan terkait dengan tujuan pembentukan KPH
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, (produksi, konservasi, lindung) dan proses
serta Pemanfaatan Hutan, KPH telah menjadi pengelolaan KPH (tata hutan, pemanfaatan,
inti dari kebijakan pengelolaan hutan di rehabilitasi, perlindungan dan konservasi)
Indonesia. KPH telah ditunjuk secara khusus (Karsudi, Soekmadi, & Kartodihardjo, 2010).
sebagai instrumen utama untuk mereformasi Sedangkan efisiensi organisasi KPH sangat
sektor kehutanan dalam negeri (Sahide, terkait dengan model kelembagaan yang
Maryudi, Supratman, & Geissen, 2016) dan dibangun serta dukungan sumber daya yang
memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia tersedia (Karsudi et al., 2010).
(Ekawati, 2014; Kartodihardjo, Nugroho, & KPH Yogyakarta merupakan salah satu
Putro, 2011). KPH dengan perkembangan kemajuan yang
Secara konseptual pembangunan terdepan di Indonesia sehingga menjadi
KPH diyakini sebagai salah satu cara rujukan KPH-KPH lainnya untuk belajar
memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia. cara pengelolaan hutan. Berdasarkan
Namun kebijakan KPH belum sepenuhnya Rencana Pengelolaan (RP) KPH Yogyakarta
diakui oleh semua stakeholders sehingga Tahun 2013-2022, skema kelola unit bisnis
berimplikasi terhadap operasionalisasi di meliputi strategi pengelolaan produk-produk
lapangan (Julijanti, Nugroho, Kartodihardjo, kayu, minyak kayu putih, getah pinus dan
& Nurrochmat, 2015). Kelembagaan KPH wisata alam. Hasil kajian bisnis pengelolaan
diharapkan mampu menyelenggarakan sumber daya hutan oleh KPH Yogyakarta,
fungsi-fungsi publik dan sekaligus fungsi menunjukkan pengelolan hutan KPH
privat (bisnis) (Nugroho & Soedomo, 2016). Yogyakarta memiliki prospek cukup baik
Sementara ini bentuk kelembagaan keuangan yang ditunjukkan oleh beberapa parameter
KPH diarahkan pada Pola Pengelolaan kelayakan finansial, yaitu Net Present Value
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Internal
(PPK-BLUD) (KPH Yogyakarta, 2013). Rate of Return (IRR) pada tingkat suku bunga
Sampai saat ini baru ada dua KPH yang sudah sebesar 14%. Meskipun payback period baru
menginisiasi BLUD dalam pengelolaan dapat direalisasi pada tahun ke-15 (KPH
keuangannya, yaitu KPH Lakitan (Sumatera Yogyakarta, 2013). Menurut Budiningsih et
Selatan) dan KPH Konawe Selatan (Sulawesi al. (2015) berdasarkan kriteria karakteristik
Tenggara). pengelola KPH, partisipasi para pihak dan
KPH di masa mendatang diharapkan potensi usaha, KPH Yogyakarta termasuk
menjadi sebuah institusi yang semi mandiri dalam KPH tipe A dengan pemahaman konsep

2
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

KPH yang baik, sumber daya manusia cukup (APBD) ke bentuk institusi lain yang
dan kapabel, dukungan para pihak tinggi, dan bersifat semi publik, yaitu BLUD, perlu
memiliki potensi usaha baik. diuji implikasinya dari sisi kebijakan publik.
Menurut Nugroho & Soedomo (2016) dan Dalam tulisan ini disajikan hasil penelitian
Pandriadi (2014), terdapat beberapa pilihan beberapa peraturan perundangan yang ada
bentuk pengelolaan keuangan yang dapat terkait dengan kelembagaan kemandirian
diterapkan pada KPH, yaitu Unit Pelaksana KPH, rumusan perangkat hukum pendukung
Teknis Daerah (UPTD) sebagai Kuasa untuk kemandirian KPH Yogyakarta, dan opsi
Pengguna Anggaran (UPTD­KPA) atau Satuan kelembagaan untuk mendukung kemandirian
Kerja Perangkat Daerah sebagai Pengguna KPH.
Anggaran (SKPD-PA), selain itu dapat pula
UPTD/SKPD mengelola keuangan sebagai II. METODE PENELITIAN
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Pilihan lain adalah menjadi Badan Usaha A. Kerangka Pikir Penelitian
Milik Daerah (BUMD). Dari pilihan-pilihan Setiap kebijakan negara harus selalu
itu, pola pengelolaan keuangan yang paling bertujuan pada kepentingan publik (public
mendukung tujuan KPH adalah BLUD. interest). Pengertian kebijakan (policy) punya
Dengan organisasi yang menerapkan BLUD, arti yang bermacam-macam. Mengadopsi
KPH tidak hanya memperhatikan aspek bisnis pendapat James Anderson, kebijakan
pengelolaan hutan tetapi juga memberikan didefinisikan sebagai arah tindakan yang
peluang keterlibatan masyarakat dalam ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah
pengelolaan hutan lestari. Peraturan legal aktor dalam mengatasi sejumlah persoalan
yang menaungi PPK-BLUD adalah Peraturan (Nugroho, 2008). Kebijakan merupakan
Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor taktik dan strategi yang diarahkan untuk
P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma Standar mencapai suatu tujuan, oleh karena itu suatu
Kriteria Prosedur Pengelolaan Hutan oleh kebijakan memuat 3 (tiga) elemen yaitu: (a)
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (b) Taktik atau strategi dari berbagai langkah
(KPHP) dan Peraturan Menteri Lingkungan untuk mencapai tujuan yang diinginkan;
Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) dan (c) Penyediaan berbagai input untuk
Nomor P.49/Menlhk/Setjenkum.1/2017 memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari
tentang Kerja Sama Pemanfaatan Hutan pada taktik atau strategi.
KPH. Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemilihan kebijakan sangat tergantung
Kehutanan menyebutkan dua skema pilihan dari karakteristik sumber daya alam.
dalam pendanaan KPH, yaitu melalui BLUD Secara ekstrem terdapat dua jenis barang
atau pola pengelolaan keuangan lainnya. Oleh yaitu barang publik (public good) dan
karena itu, skema pola pengelolaan lain juga barang swasta/privat (private good). KPH
perlu dikaji, misalnya dengan membentuk Yogyakarta memproduksi barang publik
Perusahaan Umum (Perum) atau BUMD. dan barang privat sekaligus. Berdasarkan
Regulasi diharapkan mampu bersifat insentif karakteristik barang dan jasa yang dihasilkan
bagi pengelolaan KPH sebagai unit mandiri. KPH dirumuskan bentuk kelembagaan KPH.
Pergeseran kebijakan bentuk kelembagaan Selain itu, rekomendasi kelembagaan KPH
pengelolaan hutan yang selama ini murni juga dirumuskan berdasarkan hasil analisis
merupakan perangkat daerah yang sumber peraturan perundangan yang ada (normative)
pendanaannya murni berasal dari Anggaran dan praktek sosial (implementasi) peraturan
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/ tersebut di lapangan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

3
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

B. Paradigma Penelitian berita terkait KPH dan pendanaan organisasi


Penelitian ini menggunakan paradigma publik.
critical legal theory. Paradigma ini menilai Analisis data kualitatif dilakukan secara
obyek atau realitas secara kritis (critical interaktif yang terdiri terdiri dari 4 (empat)
realism) yang tidak dapat dilihat secara benar tahapan kegiatan yaitu pengumpulan data,
oleh pengamatan manusia (Salim, 2001). reduksi data, pengujian data, dan verifikasi
Alasan penggunaan paradigma ini adalah data/ menarik kesimpulan.
untuk mengkritisi kebijakan pemerintah
terhadap kelembagaan KPH, pendanaan KPH, III. HASIL DAN PEMBAHASAN
bagaimana permasalahan yang ada, serta A. Analisis Peraturan Perundangan yang
kesesuaiannya dengan karakteristik barang Terkait Pengelolaan Hutan untuk
dan jasa di KPH. Kemandirian KPH
Metode pendekatan yang digunakan pada
penelitian ini adalah socio legal research Selama ini banyak diwacanakan bahwa
dengan metode kualitatif. Pendekatan ke depan KPH dituntut untuk bisa mandiri.
ini bermaksud melakukan penjelasan Kemandirian menurut Verhagen (1996) adalah
atas permasalahan yang diteliti dalam suatu suasana atau kondisi tertentu yang
hubungannya dengan aspek-aspek hukum membuat seorang individu atau kelompok
serta mencoba menjelajahi realitas empirik manusia mencapai kondisi yang tidak lagi
dalam masyarakat. Hukum tidak hanya dilihat tergantung pada bantuan atau kedermawanan
sebagai suatu entitas normatif yang mandiri pihak ketiga untuk mengamankan
atau teoritik, melainkan juga dilihat sebagai kepentingan individu atau kelompok. Kata
bagian riil dari sistem sosial yang berkaitan kemandirian tidak ditemukan dalam naskah
dengan variabel sosial yang lain. Dengan peraturan perundangan yang terkait dengan
metode kualitatif diharapkan akan ditemukan KPH, tetapi beberapa dokumen peraturan
makna-makna yang tersembunyi di balik perundang-undangan yang terkait KPH
obyek maupun subyek yang diteliti. Metode menyebutkan beberapa prinsip pengelolaan
kualitatif memungkinkan kita memahami hutan oleh KPH seperti yang tertera pada
masyarakat secara personal sehingga Tabel 1, yaitu kompetensi (23%), kelestarian
kepentingan pemilihan bentuk BLUD di KPH (22%), efisiensi (19%), produktivitas
dapat diketahui (Pujirahayu, 1999). (18%) dan sisanya kesatuan pengelolaan
hutan terkecil, membuka peluang investasi,
C. Pengumpulan dan Analisis Data kesatuan wilayah daerah aliran sungai (DAS),
Pengumpulan data primer dilakukan pada keseimbangan nilai ekonomi, konservasi dan
bulan Mei sampai dengan Desember 2016, sosial. Prinsip di sini dimaknai sebagai suatu
dengan cara wawancara mendalam dan kebenaran atau hukum pokok sebagai dasar
diskusi kelompok. Wawancara mendalam suatu pertimbangan atau tindakan.
dengan informan kunci menggunakan metode Walaupun secara eksplisit kata
snow ball. Informan kunci ditemui dan dipilih kemandirian tidak ada dalam dokumen
berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya peraturan perundang-undangan, tetapi dalam
di bidang KPH dan pendanaan organisasi pengelolaan hutan juga dibuka peluang
publik. Diskusi kelompok dilakukan investasi guna mendukung tercapainya tujuan
untuk menjaring masukan dari beberapa pengelolaan hutan. Pengaturan pengelolaan
stakeholders terkait. Sementara pengumpulan hutan pada KPHL dan KPHP dilakukan untuk
data sekunder dikumpulkan dari peraturan menjamin terselenggaranya pengelolaan hutan
perundangan-undangan, buku, laporan dan yang bermanfaat dan lestari. Prinsip-prinsip

4
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

Tabel 1. Prinsip pengelolaan hutan oleh KPH


Table 1. Principles of forest management by FMU
No. Prinsip pengelolaan hutan Frekuensi - kali Persentase, %
(No.) (Principles of forest management) (Frequency, times) (Percentage, %)
1. Efisien (Efficient) 14 19
2. Produktivitas (Productivity) 13 18
3. Efektivitas (Effectivity) 2 3
4. Lestari (Sustainability) 16 22
5. Satu wilayah DAS (Within catchment area) 1 1
6. Membuka peluang investasi (Investment opportunities) 4 6
7. Kesatuan pengelolaan hutan terkecil (Smallest forest 5 7
management unit)
8. Kompetensi (Competency) 17 23
9. Keseimbangan nilai ekonomi, konservasi dan sosial 1 1
(Balance in economic value, conservation and social)
Jumlah (Total) 73 100
Keterangan (Remarks): Dianalisis dari 25 peraturan perundangan yang terkait dengan KPH (Analyzed from 25
regulations related to KPH).
Sumber (Source): Analisis data primer, 2016 (Analysis of primary data, 2016).

pengelolaan hutan tersebut selaras dengan plan tersebut melalui prinsip 5M (money,
prinsip-prinsip BLUD yang kegiatannya manpower, material, methods, machine)
didasarkan pada efisiensi dan produktivitas. atau 6M (5M tambah marketing) (Ekawati,
Untuk mengarahkan KPH sebagai 2014). Dibukanya peluang investasi dalam
organisasi mandiri perlu ada terobosan dari pengelolaan hutan bertujuan untuk membuat
sistem birokrasi weberian dan administrasi KPH mandiri secara finansial.
publik tradisional. Menurut Lukman (2013), Sebelumnya Kementerian Kehutanan
birokrasi yang kaku dan berdasarkan aturan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup
yang ketat perlu dilakukan deregulasi. Instansi dan Kehutanan) hanya menerapkan satu
pemerintah yang menyelenggarakan layanan skema pola pengelolaan keuangan seperti
publik harus dipecah ke dalam dua bentuk, yang tertulis pada pasal 18 Permenhut
yaitu instansi pembuatan kebijakan/regulasi Nomor P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma
dan instansi pelaksana kebijakan (policy- Standar Kriteria Prosedur Pengelolaan Hutan
operation split). oleh KPHL dan KPHP, disebutkan bahwa
KPH merupakan organisasi yang memiliki KPHL dan KPHP yang dapat melakukan
kemampuan manajerial untuk memanfaatkan aktivitas pemanfaatan wilayah tertentu
secara optimal aset yang dimilikinya. Seorang adalah Organisasi KPHL dan KPHP yang
Kepala KPH harus tahu potensi sumber daya telah menerapkan pola pengelolaan Badan
hutan yang ada di wilayahnya dan punya Layanan Umum. Peraturan tersebut kemudian
kemampuan memasarkan potensi tersebut diperbaiki dengan memberikan alternatif pola
untuk mencapai kemandiriannya, oleh sebab pengelolaan keuangan lainnya selain BLUD
itu maka inventarisasi aset atau sumber yang diatur dalam pasal 8 PermenLHK
daya hutan merupakan hal kritikal yang Nomor P.49/Menlhk/Setjenkum.1/2017
harus ada. Berdasarkan inventarisasi aset/ tentang Kerja Sama Pemanfaatan Hutan pada
sumber daya hutan itulah maka tujuan dan KPH. Pemilihan bentuk kelembagaan untuk
sasaran organisasi KPH ditentukan, kebijakan kemandirian KPH melalui skema PPK-BLUD
dan program (business plan) didesain, sebenarnya perlu kehati-hatian, mengingat
serta bagaimana mewujudkan business skema tersebut banyak diimplementasikan

5
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

pada lembaga pelayanan umum (bidang konsep kemandirian yang dibangun, sehingga
kesehatan, pendidikan dan latihan). Evaluasi ke depan menjadi hambatan bagi KPH-KPH
terhadap pelaksanaan BLUD di rumah sakit di hulu DAS yang tingkat aksesibilitasnya
sebagai contoh di Rumah Sakit UNDATA sulit dan jauh. KPH dengan kondisi
di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan demikian sebenarnya masih perlu bantuan
bahwa peran Dewan Pengawas dalam hal dari Pemerintah Pusat atau KPH lain dalam
ini Dinas Kesehatan masih kurang padahal cakupan DAS yang sama untuk bisa mandiri
lembaga tersebut lebih mengetahui kondisi (Ekawati, 2014).
dan karakteristik daerah sehingga lebih mudah Pemisahan KPH sebagai operator
mengarahkan kebijakan rumah sakit tersebut pengelolaan hutan dan Dinas Kehutanan
(Surianto &Trisnantoro, 2013). Di Kabupaten sebagai administrator/regulator sesungguhnya
Gianyar, empat pusat kesehatan masyarakat merupakan upaya deregulasi dalam rangka
(Puskesmas) perlu difasilitasi input seperti menerapkan new public management.
dana, tenaga dan sarana-prasarana (sarpras) Pengelolaan hutan perlu meniru sektor swasta
serta peraturan pendukung pengelolaan dengan tetap mengutamakan kepentingan
BLUD oleh Dinas Kesehatan setempat agar publik. Otonomi dan diskresi pengambilan
Puskemas siap menerapkan BLUD dalam keputusan dan pengelolaan keuangan perlu
pengelolaan keuangannya (Indrayathi, dilakukan untuk mengurangi hambatan
Listyowati, Nopiyani, & Ulandari, 2014) struktural, manajerial dan regulasi. Organisasi
Sektor kehutanan berbeda dengan sektor publik yang diberikan otonomi dan kebebasan
lainnya karena menghasilkan produk (product) tata kelola sebagaimana organisasi bisnis
dan jasa (services) seperti kayu, hasil hutan dalam ranah kebijakan dan administrasi publik
bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan. disebut organisasi publik yang semi otonom
Sebagian besar produk yang dihasilkan hutan (semi autonomous public organization) atau
mempunyai jangka waktu pengembalian (pay organisasi publik campuran (hybrid public
back period) yang cukup lama. Selain itu organization). KPH dengan pengelolaan
jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan keuangan BLU atau BLUD adalah salah
sebagian belum bisa dinilai secara ekonomi satu bentuk pengelolaan keuangan dalam
(intangible value). Sebagai pembelajaran, pengelolaan hutan.
KPH Yogyakarta melakukan pengumpulan Tabel 2 menampilkan beberapa peraturan
dana pada KPH melalui Retribusi Penjualan perundang-undangan terkait BLU/BLUD,
Produksi Usaha Daerah yang diatur dalam mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dengan Pemerintah (PP), dan Peraturan Menteri
menggunakan payung hukum Undang- (Permen) untuk melihat penerapan BLUD
Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang pada masing-masing sektor.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Nugroho, Sedikitnya ada 75 peraturan perundang-
2014). undangan terkait BLUD. Sebagian besar
Ada hal mendasar dalam konsep peraturan tersebut dikeluarkan oleh
kemandirian KPH yang selama ini dibangun. Kementerian Keuangan sebagai lembaga
Kementerian LHK selama ini menyerahkan yang mengatur tentang keuangan Negara,
usulan penetapan wilayah KPH pada beberapa kementerian yang sudah menerapkan
pemerintah provinsi dan pemerintah BLUD juga sudah menerbitkan beberapa
kabupaten. Data yang ada menunjukkan peraturan di lingkup kementeriannya, seperti
ada berbagai variasi KPH yang saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
ditetapkan. Masalah muncul ketika konsep Kementerian Kesehatan, dan Kementerian
kemandirian ditetapkan pada masing-masing Dalam Negeri sebagaimana yang tercantum
KPH. Tidak ada keterkaitan antar KPH dalam dalam Tabel 2. Di Kementerian Lingkungan

6
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

Tabel 2. Beberapa Peraturan terkait BLU/BLUD


Table 2. Regulations related with BLU/BLUD
No Jenis Peraturan Jumlah Prosentase, %
(No) (Type of regulation) (Total) (Percentage, %)
1. Undang-Undang (Law) 3 4
2 Peraturan Pemerintah (Government Regulation) 6 8
4. Peraturan di Kementerian Keuangan (Regulation 35 47
under Ministry of Finance)
5. Peraturan di Kementerian Pendidikan dan 17 23
Kebudayaan (Regulation under Ministry of
Education and Culture)
6. Peraturandi Kementerian Kesehatan (Regulation 9 12
under Ministry of Health)
7. Peraturan di Kementerian Dalam Negeri 2 2
(Regulation under Ministry of Internal Affair)
8. Peraturan di Kementerian Lingkungan Hidup 3 4
dan Kehutanan (Regulation under Ministry of
Environment and Forestry)
Jumlah (Total) 75 100
Sumber (Source): Analisis data primer, 2016 (Analysis of primary data, 2016).

Hidup dan Kehutanan ada tiga peraturan Menurut pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 2004
yang terkait BLU, yaitu Peraturan Menteri tentang Perbendaharaan Negara, BLUD
Keuangan Nomor 112/PMK.05/2015 adalah instansi di lingkungan Pemerintah
tentang Tarif Layanan BLU Pusat P2H pada yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
Kementerian LHK, PermenLHK Nomor P.18/ kepada masyarakat berupa penyediaan barang
MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup mencari keuntungan, dan dalam melakukan
dan Kehutanan, dan PermenLHK Nomor kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi
P.59/MENLHK-Setjen/2015 tentang Tata dan produktivitas. BLUD merupakan upaya
Cara Penyaluran dan Pengembalian Dana pengagenan aktivitas yang tidak harus
Bergulir untuk Kegiatan Rehabilitasi Hutan dilakukan oleh lembaga birokrasi murni,
dan Lahan. Sedangkan panduan bagi KPH tetapi oleh instansi pemerintah dengan
untuk menerapkan BLUD belum diatur secara pengelolaan ala bisnis, sehingga pemberian
rinci. Kementerian LHK hanya mengeluarkan layanan kepada masyarakat menjadi lebih
sebuah buku Panduan Pola Pengelolaan efisien dan efektif.
Keuangan BLUD Menuju Kemandirian KPH. Menurut Pandriadi (2014), terdapat lima
Hal ini menimbulkan kebingungan di daerah. keuntungan penerapan PPK-BLUD pada
Sebenarnya sudah banyak peraturan yang KPH yaitu:
disusun untuk mendukung implementasi 1. Aspek fleksibilitas penggunan dana,
BLUD, tetapi hasil kajian Gustini (2011) 2. Aspek orientasi fungsi sosial ekonomi dan
menyatakan bahwa isi peraturan terkait lingkungan,
BLUD cukup mengakomodasi kepentingan 3. Aspek pengumpulan dana masyarakat,
pihak-pihak terkait serta kemudahan 4. Aspek penganggaran, dan
penerapan kebijakan pada sebagian aturan, 5. Aspek keuntungan dimana surplus
namun sebagian lain sulit diterapkan karena dapat digunakan untuk tahun anggaran
tidak disertai pedoman teknis pelaksanaannya berikutnya untuk memperkuat posisi
dan mengandung potensi konflik. likuiditas BLUD.

7
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

Menurut Lukman (2013), filosofi BLUD goods). Pelayanan publik meliputi penyediaan
adalah kemandirian, kebebasan, otonomi dan barang publik murni, semi publik, dan semi
kekayaan yang tidak bisa dipisahkan. BLUD privat (Fatmawati, 2011).
dibentuk untuk memberikan pelayanan Bentuk pelayanan umum yang diberikan
umum yang prima tanpa mengutamakan oleh BLUD kepada masyarakat dapat
pencarian keuntungan. Misi sosial yang dikelompokkan menjadi tiga rumpun, yaitu
diemban oleh BLUD lebih besar daripada 1) Pelayanan jasa dan barang, misalnya
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan bidang pendidikan, kesehatan, penelitian,
Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga dan sebagainya; 2) Pengelolaan dana,
pengembangan BLUD banyak beroperasi pada misalnya dana bergulir, kredit perumahan,
pengembangan sumber daya manusia (SDM), pembangunan hutan, dan sebagainya; dan 3)
seperti rumah sakit, lembaga pendidikan dan Pengelolaan kawasan atau wilayah, contoh
lembaga penelitian. Sebaliknya misi ekonomi pengelolaan Kawasan atau Wilayah Ekonomi
BUMN/BUMD lebih besar daripada BLUD. Terpadu, Otorita Batam, Kawasan Subang,
BUMN/BUMD lebih mandiri dan lebih Gelora Bung Karno dan sebagainya.
otonom dibanding BLUD. BUMN/BUMD Tabel 3 menjelaskan bentuk pelayanan
merupakan entitas publik dimana segala asset publik yang disediakan oleh KPH Yogyakarta,
dan kekayaannya merupakan kekayaan yang sebagai syarat substantif untuk menjadi
dipisahkan – investasi pemerintah dalam BLUD.
bentuk penyertaan modal Negara, sedangkan Pengembangan PPK-BLUD dalam
BLUD merupakan instansi pemerintah yang pengelolaan hutan oleh KPH diarahkan
kekayaannya tidak dipisahkan (Lukman, untuk mendukung pengelolaan hutan yang
2013). optimal dan mampu memberikan manfaat
Restrukturisasi penyelenggaraan layanan bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai
publik yang lebih berorientasi pada bisnis/ konsekuensi dari upaya melaksanakan
korporat dan otonomi manajerial merupakan kegiatan pengelolaan hutan yang optimal
pengejawantahan new public management. maka organisasi KPH yang menetapkan
Ruled based system, top down decision PPK-BLUD akan bersifat semi pemerintah,
making, input/process-based performance diharapkan berorientasi efisiensi dan
dianggap sebagai salah satu kelemahan dan produktivitas dan mempunyai keleluasaan
tidak majunya pelayanan publik. Reformasi dalam menerapkan kegiatan bisnisnya.
sektor publik harus berorientasi hasil (result Kelebihan SKPD yang menerapkan sistem
based performance), kepuasan pelanggan, PPK-BLUD adalah fleksibilitas dalam aspek
efisiensi, efektivitas dan produktivitas (Ferlie kewenangan penerapan tarif barang dan jasa
et al., 1996 dalam Indrawati, 2010). Tujuan yang disediakan; Perencanaan, penganggaran
keseluruhan reformasi pelayanan publik dan pelaksanaan anggaran; Pengelolaan
adalah untuk merangsang pertumbuhan pendapatan, kas, aset tetap, utang, piutang
ekonomi yang cepat (Ashaver & Teryima, dan investasi; Pengadaan barang dan jasa;
2013). Penyusunan akuntansi, pelaporan dan
Mengacu pada teori barang publik pertanggungjawaban; Pengelolaan surplus
pelayanan publik merupakan tanggung dan defisit; Tata kelola dan remunerasi;
jawab pemerintah dalam menyediakannya, Kerja sama dengan pihak lain; Dapat
sedangkan untuk barang privat, sektor memperkerjakan tenaga non Pegawai Negeri
swastalah yang menyediakan. Namun dalam Sipil (PNS); Pengelolaan dana pendapatan
kenyataannya terdapat beberapa barang secara langsung; Perumusan standar,
campuran, yaitu barang semi publik (quasi kebijakan sistem dan prosedur pengelolaan
public goods) dan semi privat (quasi private keuangan.

8
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

Tabel 3. Bentuk pelayanan di KPHP Yogyakarta


Table 3. Form of services provided by KPHP Yogyakarta
No Bentuk Pelayanan Keterangan
(No) (Forms of service) (Remark)
1. Penyediaan barang dan jasa layanan Barang quasi public goods (semi barang publik):
umum (Provision of goods and services of • Air
public services) • Udara bersih
• Keindahan alam (wisata kalibiru, watu payung, mata
air bengkung)
Barang privat:
• Kayu jati, mahoni, akasia, sonokeling
• Minyak kayu putih (40.000- 60.000 liter per tahun)
• Getah pinus 75.000 kg per tahun
2. Pengelolaan kawasan atau wilayah (Forest • Izin Hutan Tanaman Rakyat (327,73 Hektar)
management area) • Izin Hutan Kemasyarakatan (1.284 Hektar)
• Izin Hutan Desa (627 Hektar)
3. Pengelola dana khusus/dana bergulir -
(Management of special fund/revolving
fund)
Sumber (Source): Dianalisis dari BPKH XI, 2015; Dishutbun Yogyakarta, 2013.

Bagi SKPD atau unit kerja pada SKPD dan manfaat bagi masyarakat; (2) Pola tata
di lingkungan pemerintah daerah yang kelola; (3) Rencana strategis bisnis; (4)
ingin menerapkan PPK-BLUD harus Standar pelayanan minimal; (5) Laporan
memenuhi persyaratan subtantif, teknis dan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi
administratif. Persyaratan substantif SKPD laporan keuangan; dan (6) Laporan audit
yang menyelenggarakan layanan umum terakhir atau pernyataan bersedia untuk
berupa (1) Penyediaan barang dan/atau diaudit secara independen.
jasa layanan umum untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat; B.
Deregulasi Peraturan Perundang-
(2) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu Undangan untuk Mendukung
untuk tujuan meningkatkan perekonomian Operasionalisasi KPH
masyarakat atau layanan umum; dan/atau KPH sampai saat ini menemui beberapa
(3) Pengelolaan dana khusus dalam rangka kendala dalam menjalankan tugas operasional
meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan pengelolaan hutan, oleh karena itu diperlukan
kepada masyarakat. Persyaratan teknis deregulasi beberapa peraturan untuk
antara lain (1) Kinerja pelayanan di bidang mempersiapkan KPH menerapkan BLUD.
tugas dan fungsinya layak dikelola dan Belum semua peraturan perundang-
ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD undangan yang menyangkut pengelolaan
atas rekomendasi Sekretaris Daerah untuk hutan melibatkan KPH, sebagai contoh UU
SKPD atau kepala SKPD untuk unit kerja; Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan (2) Kinerja keuangan SKPD atau unit dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU
kerja yang sehat. Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi
Sementara itu persyaratan administratif Tanah dan Air, PP Nomor 6 Tahun 1999
apabila SKPD atau unit kerja membuat dan tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan
menyampaikan dokumen yang meliputi Hasil Hutan pada Hutan Produksi, PP Nomor
(1) Surat pernyataan kesanggupan untuk 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam
meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA),

9
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

PP Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Kayu (IUPHHBK) dari Hutan Alam atau
DAS, PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi,
Penggunaan Kawasan Hutan. Tetapi ada juga seharunya cukup oleh kepala KPH atas nama
beberapa peraturan yang sudah melibatkan Gubernur. PermenLHK Nomor P.9/Menlhk-
KPH, seperti PP Nomor 45 Tahun 2004 II/2015 tentang Tata Cara Pemberian,
tentang Perlindungan Hutan, yang melibatkan Perluasan Areal Kerja dan Perpanjangan
KPH dalam kegiatan perlindungan hutan dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pengendalian kebakaran hutan. PP Nomor 28 pada Hutan Alam (IUPHHK-HA), Izin
Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
KPA, sudah menyebutkan KPH sebagai salah Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), dan
satu unit pengelola. PP Nomor 76 Tahun 2008 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-
melibatkan KPH dalam pemeliharaan tanaman HTI) pada Hutan Produksi, seharusnya KPH
rehabilitasi. Jika pemerintah berkomitmen dilibatkan dalam penyiapan areal kerja untuk
untuk memperbaiki tata kelola kehutanan perpanjangan izin. Permenhut Nomor P. 36/
melalui pembangunan KPH maka perlu Menhut-II/2009 jo Permenhut Nomor P.11/
sinkronisasi dan revisi beberapa peraturan Menhut-II/2013 jo PermenLHK Nomor P.8/
yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi Menlhk-II/2015 tentang Tata Cara Perizinan
KPH, sehingga ada peran KPH di dalamnya. Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan atau
Penetapan posisi-posisi di dalam peraturan Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi
seyogyanya dirancang dengan baik dan dan Hutan Lindung belum mengakomodir
dipadukan dengan penataan aturan otoritas keberadaan KPH, seharunya KPH dilibatkan
yang diarahkan kepada lebih dominannya dalam penyiapan areal kerja (Tim Fakultas
posisi-posisi pro-KPH dibanding posisi- Kehutanan IPB, 2017).
posisi yang resisten (Suwarno, Kartodihardjo, Berikut ini beberapa peraturan yang
Kolopaking & Soedomo, 2015). menghambat operasionalisasi KPH dan perlu
Beberapa peraturan menteri terkait direvisi.
tupoksi KPH belum mengatur dan/atau 1. Belum ada aturan terkait evaluasi
tidak secara eksplisit menyebutkan peran IUPHHK. Selama ini kegiatan yang
KPH sebagai operator pengelolaan hutan dilakukan hanya pemantauan, padahal
di tingkat tapak. Misalnya PermenLHK banyak IUPHHK yang tidak memenuhi
Nomor P.93/Menlhk/Setjen/kum.1/12/2016 target penanaman, sehingga areal
tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan, yang tidak tertanami menjadi open
PermenLHK Nomor P.14/Menlhk-II/2015 access. Kewajiban untuk melaksanakan
tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha penanaman atau pengayaan tanaman
Pemanfaatan Kawasan Silvopastura pada bagi IUPHHK dalam Peraturan Direktur
Hutan Produksi, PermenLHK Nomor P.29/ Jenderal (Perdirjen) Bina Produksi
Menlhk-Setjen/2015 tentang Pedoman Kehutanan Nomor P.9/VI-BPHA/2009
Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat, tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem
seharusnya KPH perlu dilibatkan dalam Silvikultur dalam Areal Izin Usaha
pembentukan kelompok sebagai bagian dari Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
pemberdayaan masyarakat dan kemitraan Produksi dilaksanakan tiga tahun setelah
dengan masyarakat. PermenLHK Nomor penebangan di areal bekas tebangan.
P.66/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2016 tentang Selain itu, belum ada peraturan yang
Tata Cara Pemberian dan Perpanjangan Izin mengatur kewenangan KPH pada areal-
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan areal yang telah dibebani izin sehingga

10
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

pihak KPH tidak berani mengambil atau hutan lindung yang belum dibebani
tindakan jika terjadi perambahan pada izin; b) Hutan lindung yang dikelola oleh
areal-areal open access. Perum Perhutani; c). Wilayah tertentu
2. Belum ada peraturan terkait pemanenan di dalam KPH; dan d) Mengacu pada PIAPS
areal rehabilitasi. Pemanfaatan tanaman (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial).
hasil rehabilitasi sebenarnya bisa dilakukan 5. Peraturan Daerah ataupun Peraturan
dengan mekanisme HTHR (Hutan Gubernur terkait retribusi wisata alam
Tanaman Hasil Rehabilitasi) sebagaimana di KPH Yogyakarta belum ada, sehingga
diatur dalam Permenhut Nomor P.59/ pungutan untuk wisata alam belum
Menhut-II/2011 tentang Hutan Tanaman ditetapkan. Selama ini dasar hukum untuk
Hasil Rehabilitasi. Dalam aturan tersebut memungut wisata alam lebih banyak di
KPH tidak diberi kewenangan terkait hutan konservasi, sementara di hutan
pemanfaatan HTHR. Padahal HTHR lindung dan hutan produksi belum ada.
merupakan sumber pendapatan yang dapat 6. Belum ada peraturan yang mengatur
dimanfaatkan KPH pada saat beroperasi tata hubungan kerja antara KPH dan
nanti. Jika HTHR nantinya bisa dilakukan pemegang izin (IPPKH, IUPHHK, dan
perorangan, koperasi, Badan Usaha Milik sebagainya). Dalam Permenhut Nomor
Swasta (BUMS) Indonesia, BUMN, P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara
BUMD, maka bagaimana kewenanganan Pemberian dan Perluasan Areal Kerja
KPH pada HTHR tersebut juga belum Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
diatur dalam suatu peraturan perundangan- Kayu dalam Hutan Alam, Izin Usaha
perundangan. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi
3. Penetapan lokasi rehabilitasi DAS Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan
memakan waktu yang cukup lama. Dalam Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri
Permenhut Nomor P.87/Menhut-II/2014 pada Hutan Produksi, belum diatur tata
tentang Pedoman Penanaman bagi hubungan kerja antara pihak pemegang
Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan IUPHHK dengan KPH. Sementara itu
Hutan dalam rangka Rehabilitasi Daerah dalam Permenhut Nomor P.16/Menhut-
Aliran Sungai, total waktu yang dibutuhkan II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai
sejak areal diusulkan oleh pemegang Izin Kawasan Hutan ada ketentuan pada pasal
Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) 30 bahwa pemegang izin pinjam pakai
sampai penetapan lokasi rehabilitasi wajib berkoordinasi dengan Kepala KPH
adalah 55 hari kerja. Kenyataan di untuk mengamankan kawasan hutan
lapangan menunjukan bahwa lokasi untuk konservasi dan hutan lindung jika areal
rehabilitasi sudah siap tetapi penetapan pinjam pakai kawasan hutan berbatasan
areal/kawasan rehabilitasi oleh Menteri dengan kawasan hutan konservasi dan
memakan waktu yang cukup lama. hutan lindung. Akan tetapi tidak diatur
4. Kegiatan penetapan Perhutanan Sosial peran KPH ataupun tata hubungan kerja
(Hutan Tanaman Rakyat/HTR, Hutan antara KPH dengan pemegang izin.
Desa/HD dan Hutan Kemasyarakatan/ 7. Belum ada peran KPH dalam Rencana
HKm) dilakukan pada wilayah tertentu Kerja Tahuan (RKT) pemegang izin.
KPH. PermenLHK Nomor P.83/ Dalam Permenhut Nomor P.33/Menhut-
Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang II/2014 tentang Inventarisasi Hutan
Perhutanan Sosial mengatur kawasan Menyeluruh Berkala dan Rencana Kerja
hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
kerja HKm adalah a) Hutan produksi dan/ Hutan Kayu dalam Hutan Alam, yang

11
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

memiliki kewenangan untuk menilai 10. Posisi Polisi Hutan (Polhut) jika
dan menyetujui Rencana Kerja Tahunan melakukan penindakan, akan gugur demi
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu hukum sejak munculnya UU Nomor
pada Hutan Alam (RKTUPHHK- 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
HA) adalah Kepala Dinas Kehutanan Daerah. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun
Provinsi (bagi IUPHHK yang belum 2014, kewenangan penyelenggaraan
self-approval). Peran KPH pada urusan pemerintahan bidang kehutanan
pengurusan RKTUPPHK-HA hanyalah merupakan urusan bersama antara
sebatas sebagai (1) Salah satu penerima pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.
tembusan/laporan usulan RKTUPPHK- Pemerintah kabupaten hanya mempunyai
HA; (2) Salah satu penerima laporan atau kewenangan yang berkaitan dengan
dokumen RKTUPPHK-HA dari IUPHHK pengelolaan taman hutan raya (Tahura)
yang belum self-approval; dan (3) Salah dan hutan rakyat.
satu penerima tembusan/laporan usulan 11. Eselonisasi KPH dan cakupan luas wilayah
revisi RKTUPPHK-HA. kerja. Bentuk kelembagaan (organisasi)
8. KPH belum dilibatkan dalam monitoring KPH menurut Peraturan Menteri Dalam
dan evaluasi IPPKH. Pelaksanaan Negeri Nomor 61 Tahun 2010 adalah
monitoring IPPKH sesuai Permenhut SKPD dengan dua tipe, yaitu KPH tipe A
Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang yang dipimpin oleh Kepala KPH setingkat
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan eselon III/a dan KPH tipe B yang dipimpin
Hutan dilakukan oleh dinas kehutanan oleh Kepala KPH setingkat eselon IV/a.
kabupaten/kota dan dikoordinasikan oleh Nama kepala organisasi dan tingkat eselon
dinas kehutanan provinsi. Pelaksanaan yang ada di peraturan tersebut menjadi
evaluasi persetujuan prinsip penggunaan kendala psikologis ketika kepala KPH
kawasan hutan dan izin pinjam pakai melakukan koordinasi dengan lembaga
kawasan dilaksanakan oleh gubernur lain yang tingkat eselonnya lebih tinggi.
yang merupakan pelimpahan dari Menteri 12. Rencana penggabungan beberapa KPH
Kehutanan. Pemegang IPPKH juga wajib oleh Dinas Provinsi paska UU Nomor
membuat laporan rencana dan realisasi dari 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
setiap kegiatan yang dilakukan (termasuk Daerah. Beberapa dinas yang mengurusi
rehabilitasi DAS) setiap enam bulan sekali kehutanan di provinsi saat ini sedang
kepada Menteri dengan tembusan kepada melakukan restrukturisasi organisasi
beberapa instansi terkait. Tetapi dalam paska keluarnya UU Nomor 23 Tahun
aturan tersebut, Kepala KPH bukanlah 2014. Jika KPH yang selama ini ada
salah satu dari delapan pimpinan instansi di kabupaten akan ditarik ke provinsi
yang tercatat menerima tembusan laporan sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014, maka
kegiatan IPPKH. kemungkinan besar KPH-KPH tersebut
9. Belum ada peraturan untuk membuat akan digabung, sesuai PP Nomor 18
jalan inspeksi hutan. Jalan ini akan sangat Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
dibutuhkan ketika nanti KPH mulai 13. Tumpang tindih kawasan hutan. Selama
beroperasi untuk pelaksanaan kegiatan ini sebagian besar konflik terjadi karena
sesusai dengan Rencana Pengelolaan tumpang tindih penguasaan (klaim
Hutan Jangka Panjang (RPH-JP) maupun kepemilikan lahan) dan pemanfaatan
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka lahan (land use). Namun penanganan
Pendek (RPH-JPd). Jalan inspeksi pada masalah klaim lahan masih sulit dilakukan
dasarnya merupakan jalan yang dibangun dibandingkan dengan penanganan
untuk keperluan operasi atau pemantauan. masalah perambahan. Program-

12
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

program pemerintah yang bertujuan kompetensi untuk melindungi kepentingan


untuk menyelesaikan masalah konflik hutan (termasuk kepentingan publik dari
lahan seperti melalui kemitraan dengan hutan); e) Mampu menjawab jangkauan
pemegang izin, HTR, HKm, hutan desa, dampak pengelolaan hutan yang bersifat
dan lain-lain tidak selalu berjalan baik. lokal, nasional dan sekaligus global; dan f)
Berbasis pada profesionalisme kehutanan.
C. Beberapa Opsi Kelembagaan KPH 2. Organisasi yang merupakan cerminan
Pemerintah membuat banyak harapan integrasi (kolaborasi/sinergi) dari Pusat,
terhadap organisasi KPH, seperti tertuang provinsi dan kabupaten/kota.
dalam penjelasan pasal 8 ayat 1 PP Nomor 3. Pembentukan organisasi KPH tetap
3 Tahun 2008 disebutkan bahwa organisasi menghormati keberadaan unit-unit (izin-
KPH yang ditetapkan mempunyai bentuk: izin) pemanfaatan hutan yang telah ada.
1. Sebuah organisasi pengelola hutan 4. Struktur organisasi dan rincian tugas
yang: a) Mampu menyelenggarakan dan fungsinya memberikan jaminan
pengelolaan yang dapat menghasilkan dapat memfasilitasi terselenggaranya
nilai ekonomi dari pemanfaatan hutan pengelolaan hutan secara lestari.
dalam keseimbangan dengan fungsi 5. Organisasi yang memiliki kelenturan
konservasi, perlindungan, dan sosial (fleksibel) untuk menyesuaikan dengan
dari hutan; b) Mampu mengembangkan kondisi/tipologi setempat serta perubahan
investasi dan menggerakkan lapangan lingkungan strategis yang berpengaruh
kerja; c) Mempunyai kompetensi terhadap pengelolaan hutan.
menyusun perencanaan dan monitoring/
evaluasi berbasis spasial; d) Mempunyai

Tabel 4. Perbedaan antara Institusi Birokrasi, BLU/BLUD dan BUMN/BUMD


Table 4. The difference between the bureaucracy of Institutions, BLU/BLUD and BUMN/BUMD
Ragam Institusi
Harapan Bentuk
No. Perbedaan Birokrasi
BLU/BLUD BUMN/BUMD Kelembagaan
No. Aspect of Bureaucracy
KPH
differences Institutions
1. Status hukum Bukan badan Bukan badan hukum Badan hukum atau Bukan badan
Legal status hukum atau atau subyek hukum subyek hukum hukum atau
subyek hukum subyek hukum
2. Kekayaan Tidak dipisahkan Tidak dipisahkan Dipisahkan Tidak dipisahkan
Wealth
3. Motif Institution Nirlaba Pelayanan Pengejaran Tujuan utama
goals masyarakat berupa keuntungan, tapi bukan mencari
penyediaan barang mengutamakan keuntungan,
dan/atau jasa pelayanan publik tetapi dituntut
yang dijual tanpa untuk
mengutamakan kemandirian
mencari keuntungan
4. Kemandirian Tidak otonom Semi otonom Otonom Semi otonom
Independence
5. Pola pengelolaan Tidak fleksibel Fleksibel Sanga/t fleksibel Fleksibel
keuangan Type
of financial
management

13
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

Ragam Institusi
Harapan Bentuk
No. Perbedaan Birokrasi
BLU/BLUD BUMN/BUMD Kelembagaan
No. Aspect of Bureaucracy
KPH
differences Institutions
6. Sumber Dana APBN/APBD APBN/APBD dan Dana operasional APBN/APBD
financial dana operasional sendiri dan dana
resources sendiri operasional
sendiri
7. SDM Human PNS PNS dan Non PNS Non PNS PNS dan
resources Non PNS
(professional)
8. Kontrol dan Sangat kuat Kurang kuat Tidak kuat Masih di
campur tangan bawah kontrol
pemerintah pemerintah
Government
control and
intervention
9. Perpajakan Bukan subyek Bukan subyek pajak Bukan subyek Bukan subyek
Taxation pajak pajak pajak
10. Penggunaan Standar Standar Akuntansi Standar akuntansi Standar
standar Akuntansi pemerintah dan keuangan Akuntansi
akuntansi Use pemerintah standar akuntansi pemerintah
of accounting keuangan dan standar
standards akuntansi
keuangan
11. Tipologi barang Public goods, Public goods, quasi Public goods, Public goods,
dan jasa yang quasi public public goods quasi public quasi public
dihasilkan goods goods, private goods, private
Typology of goods goods
goods and
services
produced
Sumber (Source):Data primer, 2016 (analysis of primary data, 2016).
Tabel diadaptasi dari Lukman, 2013 (Table adapted from Lukman, 2013).

Dilihat dari sisi kelembagaan dengan jasa yang dihasilkan antara lain wisata alam
menggunakan konsep pengagenan (pemandangan alam, gua, air terjun), air,
(agencification), institusi penyelenggara pengendali tata air (banjir, kekeringan),
layanan publik dikelompokkan menjadi tiga kesuburan tanah, petani magersari,
yaitu institusi birokrasi, BLU/BLUD dan penyerapan tenaga kerja penyulingan minyak
BUMN/BUMD. Masing-masing mempunyai kayu putih 186 orang per hari, dan tumpang
karakter yang berbeda. Perbedaan ketiga sari minyak kayu putih 9.000 kepala keluarga
institusi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. (KK) masing-masing seluas 4.000 hektar.
Bentuk organisasi KPH tidak terlepas dari Menurut teori, penyediaan barang publik
bentuk barang dan jasa yang dihasilkan KPH. merupakan tanggung jawab pemerintah,
Barang yang dihasilkan KPH Yogyakarta sedangkan penyediaan barang privat menjadi
antara lain kayu jati, akasia, pinus, bambu, tanggung jawab sektor swasta. Namun dalam
sono, getah pinus, minyak kayu putih, kenyataannya terdapat beberapa barang
kemiri, kesambi, dan murbei. Sedangkan campuran, yaitu barang semi publik (quasi

14
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

public goods) dan semi privat (quasi private Bentuk organisasi BLUD tujuan utamanya
goods). Pelayanan publik meliputi penyediaan bukan mencari keuntungan, tetapi bentuk
barang publik murni, semi publik, dan semi organisasi BLUD memiliki kewenangan
privat (Mahmudi, 2007). Senada dengan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis
hal tersebut Nugroho & Soedomo (2016) yang sehat seperti organisasi yang berorientasi
menyatakan bahwa KPH sebagai lembaga pada keuntungan (Suroso, 2015).
yang mempunyai ciri quasi publik harus Berdasarkan karakteristik pada Tabel
mampu menjalankan layanan publik secara 4, jika dibandingkan dengan tiga bentuk
mandiri, baik dalam hal pengelolaan operasi organisasi yang ada (institusi birokrasi yaitu
maupun dalam hal pendanaan. Dinas/UPTD, BLUD, dan BUMN/BUMD),
Berdasarkan karakteristik barang dan jasa maka bentuk kelembagaan KPH yang paling
yang dihasilkan KPH, dapat disimpulkan sesuai adalah KPH dengan bentuk pengelolaan
bahwa barang dan jasa bukan hanya private keuangan BLUD. Hal ini sesuai dengan hasil
goods tetapi juga public goods, sehinga barang temuan Nugroho et al. (2013).
jasa yang dihasilnya merupakan quasi public BUMN memiliki keterbatasan informasi
goods. Barang publik adalah barang yang karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya
penggunaannya memiliki ciri non-rivalry, masyarakat, sehingga secara psikologis
seperti udara, air, dan sebagainya. Adapun keeratan hubungan dengan komunitas
barang privat dicirikan oleh adanya rivalitas, masyarakat adat dan pengambil keputusan
seperti kayu, rumah dan lain-lain. Baik barang politisi daerah kurang signifikan terhadap
publik dan barang privat di sektor permintaan aspek legalitas, legitimasi, kemampuan
(demand) ditentukan oleh selera konsumen. mengatasi konflik, serta kemampuan dalam
Barang privat persediaan ditentukan oleh menentukan lokasi pengelolaan kawasan
produsen yang bertujuan mencari untung dengan konsep KPH (Karsudi et al., 2010).
(profit motive), sedangkan barang publik Institusi birokrasi seperti Dinas Kehutanan
ditentukan melalui proses politik. Oleh karena lebih diposisikan sebagai instansi yang
itu institusi yang cocok untuk mengelolanya menghasilkan berbagai kebijakan untuk
adalah institusi yang bersifat hybrid public hutan yang ada di wilayahnya, sedangkan
organization. KPH bertanggung jawab secara penuh
Identifikasi karakteristik KPH sangat atas kegiatan operasional dengan panduan
penting untuk menentukan bentuk organisasi kebijakan-kebijakan yang telah disusun oleh
KPH. Aset KPH merupakan kekayaan Dinas Kehutanan (Maryudi, 2016). Dalam
negara yang tidak dapat dipisahkan yang tataran praktis, KPH akan menjadi lembaga
memproduksi barang privat dan barang otonom (dalam konteks manajerial hutan),
publik, bertujuan tidak sepenuhnya mencari namun akan bertanggungjawab kepada dinas
laba, menjalankan pelayanan publik dan kehutanan. Hal ini membawa implikasi
diharapkan untuk mandiri. Pola pengelolaan bahwa KPH nantinya akan mempunyai ruang
keuangan fleksibel, dengan sumber pendanaan berkreasi yang cukup luas terkait dengan
dari APBN, APBD dan lain-lain pendapatan penentuan opsi pengelolaan hutan (Maryudi,
yang sah. Bentuk organisasi BLUD tujuan 2016).
utamanya bukan mencari keuntungan, BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat
tetapi bentuk organisasi BLUD memiliki Daerah atau unit kerja pada Satuan Kerja
kewenangan untuk menerapkan praktek- Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah
praktek bisnis yang sehat seperti organisasi daerah yang dibentuk untuk memberikan
yang berorientasi pada keuntungan (Suroso, pelayanan kepada masyarakat berupa
2015). penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual

15
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

tanpa mengutamakan mencari keuntungan, (2011) menunjukkan faktor yang menentukan


dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan keberhasilan implementasi BLUD antara lain
pada prinsip efisiensi dan produktivitas 1) Dukungan elit politik di Pemda setempat;
(Putra & Farida, 2014). Prinsip efisiensi dan 2) Komunikasi internal dalam tubuh BLUD,
produktivitas juga ditemukan dalam dokumen komunikasi antara pimpinan BLUD dengan
peraturan perundangan yang terkait dengan kepala daerah, dan komunikasi pimpinan
KPH, ditemukan kesamaan prinsip pada BLUD dengan stakeholders lainnya; 3) Belum
pengelolaan hutan oleh KPH dan BLUD. lengkapnya isi dari kebijakan BLUD sehingga
Berdasarkan pasal 60 Permendagri Nomor sulit diterapkan karena tidak disertai pedoman
61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis teknis pelaksanaannya dan mengandung
Pengelolaan Keuangan BLUD, pendapatan potensi konflik. Sedangkan menurut
BLUD dapat bersumber dari jasa layanan, Chalidyanto (2015), aspek yang mendukung
hibah, hasil kerja sama dengan pihak lain, perubahan SKPD menjadi BLUD adalah
APBD, APBN dan lain-lain pendapatan kepemimpinan, SDM (mindset, pengetahuan,
BLUD yang sah. Yang dimaksud dengan lain- komitmen, kesadaran dan ketersediaan SDM
lain pendapatan BLUD yang sah sebagaimana keuangan), dukungan Pemda dan DPRD serta
dimaksud dalam Pasal 60 huruf f, antara sinkronisasi sistem keuangan pemerintah
lain hasil penjualan kekayaan yang tidak daerah dan BLU.
dipisahkan, hasil pemanfaatan kekayaan, jasa Oleh karena itu dorongan KPH untuk
giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih menerapkan BLUD perlu diperkuat untuk
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, meningkatkan kinerja pengelolaan hutan
komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai melalui beberapa langkah seperti kuatnya
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan dukungan politik dari Pemda setempat,
barang dan/atau jasa oleh BLUD, dan hasil penyiapan manajemen dan prosedur
investasi. Penggalian potensi yang ada di KPH pengelolaan keuangan dan pengelolaan hutan
Yogyakarta seperti peningkatan produktivitas yang baik, penyiapan sumber daya manusia
kayu putih, pengembangan wisata alam, dan komitmen dari semua pihak.
pengembangan sylvopasture, sutera alam
dan penanaman pinus serta jati unggul perlu IV. KESIMPULAN DAN SARAN
diintensifkan untuk memandirikan KPH.
Hasil analisis Jahra (2013) menunjukkan A. Kesimpulan
bahwa secara keseluruhan PPK BLUD Secara eksplisit kata kemandirian tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap ada dalam dokumen peraturan perundang-
kinerja keuangan, kinerja pelayanan serta undangan, tetapi dalam pengelolaan hutan
kinerja mutu dan manfaat bagi masyarakat. dibuka peluang investasi guna mendukung
Namun demikian tidak dapat dipungkiri tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
bahwa penerapan BLUD di beberapa Ada kesamaan prinsip antara pengelolaan
lembaga pendidikan dan rumah sakit masih hutan oleh KPH dan pengelolaan keuangan
menemui beberapa kendala yang dihadapi dengan BLUD yaitu prinsip efisiensi dan
antara lain kesulitan dalam prosedur kerja produktivitas.
(SOP) dan menyajikan informasi akuntansi, Masih terdapat peraturan yang
terbatasnya sumber daya manusia yang menghambat operasionalisasi KPH, sehingga
memiliki kapabilitas yang mumpuni dan perlu direvisi. Peraturan yang perlu direvisi
kurangnya komitmen manajemen untuk terkait evaluasi IUPHHK, pemanenan di areal
menerapkan konsep BLUD sebagai entitas rehabilitasi, izin pinjam pakai kawasan hutan,
bisnis (Nadilla, Basri, & Fahlevi, 2016; Putra pemanfaatan hutan, retribusi wisata alam
& Farida, 2014). Hasil penelitian Gustini, di hutan lindung dan hutan produksi, tata

16
Analisis Kesiapan Kesatuan Pengelolaan Hutan Yogyakarta.........(Sulistya Ekawati, Fentie J. Salaka, dan Kushartati Budiningsih)

hubungan kerja antara KPH dan pemegang DAFTAR PUSTAKA


izin, peran KPH dalam RKT yang disusun
pemegang izin; peraturan jalan inspeksi Ashaver, & Teryima, B. (2013). Globalization and
public sector reform in third world countries :
hutan; belum jelasnya posisi polhut paska UU
The Nigerian experience. IOSR Journal Of
Nomor 23 Tahun 2014; rencana penggabungan Humanities And Social Science, 14(2), 13–22.
beberapa KPH oleh dinas provinsi paska UU Budiningsih, K., Ekawati, S., Gamin, Sylviani,
Nomor 23 Tahun 2014; dan eselonisasi KPH Suryandari, E. Y., & Salaka, F. (2015).
dan cakupan wilayah kerja dan penyelesaian Tipologi dan strategi pengembangan kesatuan
pengelolaan hutan di Indonesia. Jurnal
tumpang tindih kawasan hutan.
Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(3), 283–
Berdasarkan karakteristik kelembagaan 298.
KPH, ke depan KPH diarahkan menerapkan Chalidyanto, D. (2015). Rumah sakit pemerintah
pola BLUD dalam pengelolaan keuangannya. sebagai badan layanan umum (BLU), apakah
BLUD merupakan bentuk terobosan dari mendukung universal coverage ? Surabaya:
Departemen Administrasi dan Kebijakan
sistem birokrasi weberian dan administrasi
Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
publik tradisional menuju ke hybrid public Universitas Airlangga..
organization. Ekawati, S. (2014). Apakah yang dimaksud dengan
kesatuan pengelolaan hutan (KPH).
B. Saran Dalam B. Hernowo & S. Ekawati (Eds.)
Beberapa daftar revisi peraturan yang Operasionalisasi kesatuan pengelolaan hutan
(KPH): Langkah awal menuju kemandirian.
terkait dengan tupoksi KPH perlu didiskusikan
Yogyakarta: PT Kanisius.
dengan stakeholders terkait untuk Fatmawati. (2011). Kemitraan dalam pelayanan publik
ditindaklanjuti oleh Biro Hukum Kementerian sebuah penjelajahan teoritik. Jurnal Otoritas,
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 1(2), 91–101.
Perlu ada pendekatan di Pemda Yogyakarta Gustini, S. (2011). Implementasi kebijakan pengelolaan
keuangan badan layanan umum daerah. Studi
dan Dinas Kehutanan Provinsi untuk tidak
kasus pada RSUD Tidar Kota Magelang.
ragu-ragu memilih BLUD sebagai salah satu Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
bentuk lembaga pengelolaan keuangan di KPH. Indrawati, N. (2010). Penyusunan anggaran dalam era
Beberapa potensi yang ada di KPH Yogyakarta new public management: Implementasinya di
perlu diintensifkan pengembangannya seperti Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi dan Bisnis,
10(2), 176–193.
peningkatan produktivitas kayu putih,
Indrayathi, P., Listyowati, R., Nopiyani, N.M.S., &
pengembangan wisata alam, pengembangan Ulandari, L.P.S. (2014). Mutu pelayanan
sylvopasture, sutera alam dan penanaman puskesmas perawatan yang berstatus BLUD.
pinus serta jati unggul perlu diintensifkan Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9(2).
untuk memandirikan KPH. Jahra, N. (2013). Analisis implementasi pola
pengelolaan badan layanan umum pada
Rumah Sakit Daerah Kalisat–Jember.
UCAPAN TERIMA KASIH (Artikel Ilmiah Mahasiswa). Jember: Jurusan
(ACKNOWLEDGEMENT) Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas
Jember (UNEJ).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Julijanti, Nugroho, B., Kartodihardjo, H., & Nurrochmat,
KPH Yogyakarta dan semua pihak yang telah D. R. (2015). Proses operasionalisasi
membantu dan berpartisipasi dalam proses kebijakan kesatuan pengelolaan hutan:
pengumpulan data dan informasi dalam Perspektif teori difusi inovasi. Jurnal Analisis
penelitian ini. Kebijakan Kehutanan, 12(1), 67–88.
Karsudi, Soekmadi, R., & Kartodihardjo, H. (2010).
Model pengembangan kelembagaan
pembentukan wilayah kesatuan pengelolaan
hutan di Provinsi Papua. JMHT, XVI(2), 92–
100.

17
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 1-18

Kartodihardjo, H., Nogroho, B., & Putro, H. R. (2011). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-
Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan II/2009 tentang Pembentukan Wilayah
(KPH). Konsep, praturan perundangan Kesatuan Pengelolaan Hutan.
dan implementasi. Jakarta: Direktorat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Pemanfaatan Kawasan Hutan. Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
KPH Yogyakarta. (2013). Laporan kajian BLUD serta Pemanfaatan Hutan.
KPH Yogyakarta dalam rangka tata hutan Pujirahayu, E.W. (1999). Metodologi penelitian bidang
dan rencana pengelolaan KPH Yogyakarta. humaniora dalam metodologi penelitian ilmu
Yogyakarta: KPH Yogyakarta. sosial (dengan orientasi penelitian bidang
Lukman, M. (2013). Badan layanan umum. Dari hukum). (Materi Pelatihan Metodologi Ilmu
birokrasi menuju korporasi. Jakarta: Bumi Sosial). Semarang: Bagian Humas Fakultas
Aksara. Hukum Universitas Diponegoro.
Mahmudi. (2007). Kemitraan pemerintah daerah dan Putra, J., & Farida, L. (2014). Implementasi badan
efektivitas pelayanan publik. Jurnal Sinergi layanan umum daerah. Jurnal Administrasi
Kajian Bisnis dan Manajemen, 9(1), 53–67. Pembangunan, 2(2), 115–226.
Maryudi, A. (2016). Arahan tata hubungan Sahide, M., Maryudi, A., Supratman, & Geissen.
kelembagaan kesatuan pengelolaan hutan (2016). Is Indonesia utilising its international
(KPH) di Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan, partners? The driving forces behind forest
10(1), 57–64. management units. Forest Policy and
Nadilla, T., Basri, H., & Fahlevi, H. (2016). Identifikasi Economics, 69, 11–20.
permasalahan penerapan pola pengelolaan Salim, A. (2001). Teori dan pradigma penelitian
keuangan badan layanan umum daerah (PPK sosial (Denzim guba dan penerapannya).
BLUD). Studi kasus pada Rumah Sakit Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Permata dan Rumah Sakit Berlian. Jurnal Surianto, & Trisnantoro, L. (2013). Evaluasi penerapan
Magister Akuntansi Pascasarjana Universitas kebijakan BLUD di RSUD UNDATA
Syiah Kuala, 88–99. Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Kebijakan
Nugroho, B. (2014). Menuju KPH mandiri: Apa Kesehatan Indonesia, 2(Maret).
yang harus dilakukan ? In Sugiharto (Ed.). Suroso. (2015). Optimasi pelayanan dan pendapatan
Strategi pengembangan KPH dan perubahan negara dengan BLU. Retrieved July 20, 2017,
struktur kehutanan di Indonesia. Jakarta: from http://www.bppk.kemenkeu.go.id
Direktorat Planologi Kehutanan, Kementerian Suwarno, E. (2015). Apakah KPH dapat memperbaiki
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. tata kelola hutan Indonesia. Wahana Forestra:
Nugroho, B., & Soedomo, S. (2016). Panduan pola Jurnal Kehutanan, 10(2), 1–15.
pengelolaan keuangan badan layanan umum Suwarno, E., Kartodihardjo, H., Kolopaking, L. M.,
daerah menuju kemandirian KPH. (2nd ed.). & Soedomo, S. (2015). Penggunaan konsep
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan rules-in-use ostrom dalam analisis peraturan
Kehutanan. pembentukan organisasi kesatuan pengelolaan
Nugroho, N., Kartodihardjo, H., Soedomo, S., Handra, hutan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
H., Setyarso, A., & Djajono, A. (2013). 12(1), 13–26.
Pola pengelolaan keuangan BLUD menuju Tim Fakultas kehutanan IPB. (2017, Mei).
kemandirian KPH. Jakarta: Debut Wahana Mewujudkan pengelolaan hutan produksi
Sinergi. lestari (PHPL) melalui pembangunan KPH.
Nugroho, R. (2008). Public policy. Jakarta: PT Elex Seminar Nasional TNC-IPB: Percepatan
Media Komputindo. Operasionalisasi KPH. Jakarta: TNC-IPB.
Pandriadi. (2014, Juni). Upaya optimalisasi peran Verhagen, K. (1996). Pengembangan keswadayaan :
KPHP dalam rangka menuju perbaikan Pengalaman LSM di tiga negara. Cimanggis:
tata kelola hutan dan lahan melalui pola Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara
pengelolaan keuangan BLUD : Studi kasus (PUSPA SWARA).
KPHP model Lakitan. Workshop Penyebaran
Policy Brief: KPHP Lakitan Menuju PPK-
BLUD. Musi Rawas: KPHP Lakitan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor  P.6/Menhut-
II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan
Kriteria Pengelolaan Hutan pada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi.

18
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37
p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

UPAYA PENURUNAN EMISI KARBON BERBASIS MASYARAKAT DI


HUTAN BERFUNGSI LINDUNG
(Community-Based Carbon Emission Reduction Program in Protection Forest)

Iis Alviya, Muhammad Zahrul Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Gunung Batu No.5, Bogor 16118, Indonesia
E-mail: iis_alviya@yahoo.com, zahrul2005@yahoo.com.au, mimiaruman@yahoo.com.sg,
faridhalmuhayatuhib@yahoo.co.id

Diterima 16 Oktober 2017, direvisi 12 Februari 2018, disetujui 13 Februari 2018.

ABSTRACT

Protection forests have the potential to contribute to reducing emission. Management of a protection forest
would be effective when local community gets involved in decision-making process. This paper aims to investigate
roles of the local community in forest emission reduction program. The analysis includes community’s perception
to REDD+, institutional preparedness in site level, potentials and impediments in utilising environmental services,
as well as schemes for community-based REDD+. The study shows that the community’s perception to REDD+ is
varied from high to moderate. The perception categorized “high” is stimulated by support from NGOs. Meanwhile,
preparedness of the community to implement REDD+ has been well developed since they have developed a
particular institution including a strategic plan to manage the forest. Nevertheless, the implementation has not been
optimum due to complexity of institutional challenges. For instance, carbon, ecotourism and water are potential to
be developed but funding has become a major handicap so that it is necessary to find an incentive scheme to support
their development. Considering such condition, Plan Vivo scheme is likely to be appropriate in the Customary
Forests of Rumbio and Yapase, while  Verified Carbon Standard  is appropriate to support the Katimpun Village
Forest in developing incentive for REDD+.

Keywords: Community based forest management; REDD+; environmental services.

ABSTRAK
Hutan yang berfungsi lindung berpotensi untuk berkontribusi terhadap upaya penurunan emisi. Pengelolaan
hutan berfungsi lindung untuk penurunan emisi dinilai akan lebih efektif jika masyarakat sekitar terlibat dalam
mekanisme pengambilan keputusan. Tulisan ini bertujuan menganalisis peran masyarakat pengelola hutan dalam
upaya penurunan emisi. Kajian ini meliputi persepsi masyarakat terhadap REDD+, kesiapan kelembagaan di tingkat
tapak, potensi dan kendala pemanfaatan jasa lingkungan, dan alternatif skema REDD+ berbasis masyarakat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi penelitian memiliki persepsi terhadap REDD+ dengan tingkat
variasi dari tinggi hingga sedang. Persepsi yang tinggi dipengaruhi oleh adanya dukungan kegiatan terkait REDD+
oleh lembaga swadaya masyarakat. Sementara itu, kesiapan kelembagaan masyarakat di ketiga lokasi untuk
mendukung REDD+ telah terbangun cukup baik. Masyarakat di semua lokasi telah memiliki lembaga khusus
pengelolaan hutan termasuk rencana pengelolaannya. Meskipun demikian, pelaksanaannya belum optimal karena
kompleksitas masalah yang dihadapi. Contohnya, jasa lingkungan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah
wisata alam, jasa air dan karbon, tetapi pendanaan menjadi kendala utama sehingga perlu dicari mekanisme insentif
yang dapat mendukung pengembangannya. Mempertimbangkan kondisi yang ada, skema Plan Vivo dinilai cocok
untuk mendukung mekanisme pembayaran jasa karbon di Hutan Adat Rumbio dan Yapase, sedangkan Hutan Desa
Katimpun dinilai lebih tepat menerapkan skema Verified Carbon Standard (VCS).

Kata kunci: Pengelolaan hutan berbasis masyarakat; REDD+; jasa lingkungan.

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.1.19-37 19
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

I. PENDAHULUAN Mekanisme REDD+ diharapkan tidak


Mengurangi emisi dari deforestasi dan hanya untuk mengurangi tingkat deforestasi
degradasi hutan (REDD+) merupakan strategi semata, namun juga dapat memberikan
untuk melibatkan negara-negara berkembang dukungan ekonomi melalui pengelolaan
yang memiliki hutan, yang signifikan dalam hutan lestari, sehingga dapat melestarikan
upaya mitigasi perubahan iklim dunia atau meningkatkan cadangan karbon hutan
(Resosudarmo, Admadja, Ekaputri, Intarini, yang ada (Bottazzi, Cattaneo, Rocha, & Rist,
& Indriatmoko, 2014). Indonesia dengan luas 2013). Pengelolaan hutan lestari memberikan
hutan tropis ke-3 terbesar setelah Brasil dan manfaat ekologis yang penting baik untuk
Congo, ditambah dengan tingkat deforestasi mengurangi dampak perubahan iklim dan
yang tinggi, merupakan negara penting menghasilkan tambahan pendapatan bagi
terkait dengan REDD+ tersebut. Terlebih masyarakat pemilik lahan (Zhou, 2015).
sekitar 60% emisi Indonesia saat ini berasal Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam
dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi Perjanjian Cancun (Cancun Agreement)
lahan gambut (Brockhaus, Obidzinski, yang menuntut agar masyarakat memperoleh
Dermawan, Laumonier, & Luttrell, 2012). manfaat dari REDD+ (Leventon, Kalaba,
Terkait dengan gagasan mekanisme global Dyer, Stringer, & Dougill, 2014). Lebih
tersebut, sejak tahun 2005, REDD+ telah jauh Bottazzi et al. (2013) menyatakan
mendapat momentum yang cukup besar bahwa gagasan untuk melakukan re-orientasi
termasuk di Indonesia dengan munculnya skema REDD+ dengan pelibatan masyarakat
banyak kebijakan, kerangka institutional dan banyak menjadi perhatian, khususnya pada
kegiatan percontohan terkait REDD+ (Luttrell, negara-negara hutan tropis, terutama tentang
Resosudarmo, Muharrom, Brockhaus, & bagaimana mekanisme REDD+ menjadi
Seymour, 2014). instrumen untuk meningkatkan hutan
Indonesia telah berkomitmen untuk masyarakat dan bagaimana memanfaatkan
mengurangi emisi gas rumah kaca dari insentif dalam pengelolaan hutan lestari untuk
skenario business as usual (BAU) sebesar mengurangi deforestasi.
1,33 GtCO2e per tahun sebesar 26% tanpa Terkait dengan insentif dalam pengelolaan
dukungan dan 41% dengan dukungan hutan, pembayaran jasa lingkungan
internasional pada tahun 2020 (Resosudarmo (payments for environmental services/
et al., 2014). Kebijakan tersebut diperbaharui PES) telah diterapkan secara luas di seluruh
pasca Perjanjian Paris (Paris Agreement) dunia sebagai inisiatif berbasis pasar untuk
dengan meningkatnya target penurunan konservasi dan pengelolaan lingkungan (Fauzi
emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri & Anna, 2013). Skema PES dapat dianggap
dan 41% dengan bantuan internasional pada sebagai metode alternatif yang menjanjikan
tahun 2030 (Ridha et al., 2016). Dengan untuk mengelola sumber daya alam. Selain
demikian, REDD+ dipertimbangkan sebagai itu, di tingkat lokal, penerapan mekanisme
salah satu elemen kunci dalam mewujudkan PES juga relatif lebih dapat diterima oleh
komitmen Indonesia dalam menurunkan masyarakat karena melibatkan masyarakat
target pengurangan emisi, bahkan beberapa lokal. Pengelolaan hutan dengan pelibatan
donor telah menyatakan dukungannya seperti masyarakat lokal sebagai pendekatan
Pemerintah Norwegia yang pada bulan Mei konservasi telah banyak digunakan secara
2010 telah menandatagani Letter of Intent luas di daerah tropis (Rasolofoson, Ferraro,
(LOI) dengan Indonesia untuk membentuk Jenkins, & Jones, 2015).
sebuah perjanjian bilateral yang terkait Bedasarkan hal tersebut terlihat bahwa
dengan REDD+ (Luttrell et al., 2014). keterlibatan masyarakat lokal memiliki

20
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

arti penting dalam upaya mengurangi lingkungan,dan alternatif skema REDD+


emisi. Masyarakat juga memiliki potensi berbasis masyarakat di hutan lindung.
pengetahuan yang berperan dalam memantau
dan melaporkan berbagai aktivitas kegiatan II. METODE PENELITIAN
yang dilaksanakan. Hal tersebut sangat
penting untuk mendukung pengelolaan hutan A. Kerangka Penelitian
berbasis masyarakat, terutama bagi mereka Kerangka penelitian kegiatan ini tersaji
yang sangat bergantung pada hutan sebagai pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1 dapat
sumber mata pencaharian. Pengelolaan hutan dijelaskan bahwa sebagian besar kehidupan
lestari mengandung arti tidak hanya sekedar masyarakat di sekitar hutan sangat bergantung
kompensasi untuk pengurangan emisi, namun pada hutan. Hal tersebut menyebabkan
juga memikirkan kegiatan ekonomi dan hutan terdeforestasi/terdegradasi, termasuk
manfaat tambahan yang dapat menghubungkan di hutan lindung (batasan dalam kajian ini).
strategi konservasi dengan mata pencaharian Sementara Indonesia sedang berupaya untuk
lokal yang baik (Bottazzi et al., 2013). Hal menurunkan tingkat emisi sesuai dengan
tersebut menunjukkan bahwa REDD+ dapat komitmennya dengan dunia internasional.
dipandang sebagai suatu kesempatan untuk Di sisi lain, dari beberapa tipe bentuk
meningkakan jasa lingkungan secara global pengelolaan hutan, terdapat pengelolaan
(seperti karbon dan keanekaragaman hayati) hutan berbasis masyarakat yang melibatkan
dan skala lokal (seperti air). REDD+ juga masyarakat sekitar hutan untuk berperan aktif
merupakan kesempatan untuk memperbaiki dalam pengelolaan hutan. Terkait dengan hal
tata kelola hutan secara lebih baik dan juga tersebut, pemanfaatan jasa lingkungan dengan
meningkatkan mata pencaharian lokal (Kim berbagai potensi yang terdapat pada tiap-tiap
et al., 2016) wilayah menjadi penting untuk digali dan
Dalam tulisan ini disajikan hasil penelitian kembangkan untuk menentukan mekanisme
tentang peran masyarakat pengelola hutan insentif yang tepat untuk dikembangkan pada
lindung dalam upaya penurunan emisi masing-masing wilayah tersebut. Diharapkan,
dengan melihat persepsi masyarakat terhadap jika sudah ada mekanisme insentif untuk
REDD+, kesiapan kelembagaan di tingkat potensi jasa lingkungan yang berjalan, maka
tapak, potensi dan kendala pemanfaatan jasa akan berdampak positif dalam meningkatkan

Sumber (Source): Data primer (Primary data)

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian


Figure 1. Research logical framework

21
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan (PermenLHK) Nomor P.83/Menlhk/Setjen/


juga kelestarian hutannya sehingga akan Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial
mengurangi tingkat deforestasi/degradasi yang mengatur pemberian hak pengelolaan
hutan, dan turut serta berperan dalam upaya dan perizinan hutan kemasyarakatan (HKm),
penurunan emisi karbon. hutan kemitraan, hutan desa, hutan tanaman
rakyat (HTR), dan hutan adat sebagai
B. Kerangka Teori: Pembayaran Jasa
bentuk perhutanan sosial di kawasan hutan
Lingkungan, REDD+ dan Peningkatan
lindung. PermenLHK ini bertujuan untuk
Mata Pencaharian Masyarakat
menyelesaikan permasalahan tenurial dan
1. Pengelolaan hutan lindung berbasis keadilan bagi masyarakat setempat dan
masyarakat masyarakat hukum adat yang berada di dalam
The International Union for Conservation atau di sekitar kawasan hutan.
of Nature (IUCN) pada tahun 1962 Meskipun sudah ada upaya pelibatan
mendefinisikan kawasan lindung sebagai masyarakat dalam pengelolaan hutan
kawasan daratan dan perairan yang ditujukan lindung, pada kenyataannya ancaman
untuk perlindungan dan pemeliharaan terhadap kerusakan hutan lindung semakin
keanekaragaman hayati, sumber daya alam meningkat bahkan lebih tinggi dibandingkan
dan budaya, yang dikelola melalui cara-cara di hutan produksi yang disebabkan oleh
yang legal atau efektif (UNEP-WCMC, 2004). konversi lahan dan penebangan liar (Ginoga,
Definisi tersebut kemudian berkembang Djaenudin, & Lugina, 2005). Kondisi
dengan mengedepankan fungsi kawasan tersebut pada umumnya terjadi di hampir
lindung untuk menjaga siklus organisme, seluruh negara tropis di dunia (DeFries,
air, rantai makanan dan energi dalam sebuah Hansen, Newton, & hansen, 2005; Joppa,
ekosistem (DeFries, Karanth, & Sajid, 2010). Loaria, & Pimm, 2008). Kenyataan tersebut
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor mengindikasikan bahwa sistem pengelolaan
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan hutan lindung saat ini belum efektif. Konsep
lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan pengelolaan kawasan lindung yang ada sering
yang mempunyai fungsi pokok sebagai dipertanyakan keefektifannya dalam konteks
perlindungan sistem penyangga kehidupan konservasi lingkungan jika dibandingkan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir, dengan sistem pengelolaan lainnya (Barber,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air Cochrane, Souza, & Verissimo, 2011; Hayes,
laut, dan memelihara kesuburan tanah. 2006). Beberapa penelitian mempertanyakan
Pengelolaan hutan lindung di Indonesia tingkat keterlibatan masyarakat lokal dalam
lebih menekankan pada upaya proteksi pengelolaan kawasan lindung (Brandon
kawasan hutan, sedangkan upaya pelibatan & Wells, 1992; Hayes, 2006; Redford &
masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung Richter, 1999; Terborgh, 1999). Western
masih terbatas. Berdasarkan Peraturan (1997) menyatakan bahwa mengesampingkan
Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan
bentuk pemanfaatan hutan lindung yang lindung termasuk proses pengambilan
dapat dilakukan oleh masyarakat adalah keputusan akan mengakibatkan perselisihan
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa antara pengelola kawasan lindung dengan
lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan masyarakat lokal yang pada akhirnya akan
kayu. Kategori pemanfaatan jasa lingkungan meningkatkan biaya monitoring dan resiko
termasuk air, energi, geothermal, dan kegagalan untuk memanfaatkan sistem
wisata. Salah satu peraturan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam yang tumbuh
pemanfaatan hutan lindung adalah Peraturan dari pengetahuan masyarakat lokal. Hansen
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan and DeFries (2007) menyimpulkan bahwa

22
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

pengelolaan kawasan lindung akan lebih dana dari berbagai negara donor yang
efektif jika masyarakat sekitar terlibat memiliki perhatian besar terhadap perubahan
secara aktif dalam mekanisme pengambilan iklim. Selain itu sumber-sumber pembiayaan
keputusan. Nepstad et al. (2006) mengajurkan untuk pelaksanaan kegiatan penyerapan dan/
untuk menjadikan masyarakat sekitar sebagai atau penyimpanan karbon di hutan lindung
salah satu aktor pengelolaan hutan lindung. juga dapat diperoleh dari dana swadaya atau
Konsep pengelolaan hutan bersama dana corporate social responsibility (CSR)
masyarakat atau community based forest baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
management yang muncul sekitar tahun
2. Pembayaran jasa lingkungan dan
1980-an saat ini dipromosikan sebagai suatu
REDD+
pendekatan pengelolaan hutan yang memiliki
potensi menguntungkan dan memberikan Skema pembayaran jasa lingkungan
manfaat sosial dan ekologi di tingkat lokal, (PJL) secara umum didefinisikan sebagai
seperti peningkatan mata pencaharian transaksi sukarela dimana jasa lingkungan
pedesaan, konservasi keanekaragaman hayati yang terdefinisi dengan baik atau penggunaan
dan pemberdayaan masyarakat (Chomba, lahan yang sudah memenuhi standar dibeli
Treue, & Sinclair, 2015; Rasolofoson et oleh minimal satu pembeli karena penyedia
al., 2015). Rasolofoson et al. (2015) juga jasa lingkungan telah mengelola sesuai
menyatakan bahwa pengelolaan hutan dengan ketentuan persyaratan jasa lingkungan
berbasis masyarakat tetap merupakan bagian (Mahanty, Suich, & Tacconi, 2013). PJL
penting dari alat pengelolaan hutan di merupakan salah satu cara alternatif untuk
banyak negara berkembang. Sebagai contoh mencapai keberhasilan konservasi yang lebih
di Madagascar, pengelolaan hutan berbasis baik dengan mekanisme pembayaran dari
masyarakat telah berhasil menurunkan tingkat penerima manfaat jasa ekosistem kepada
deforestasi dibandingkan dengan pengelolaan rumah tangga pengelola sumber daya yang
yang tidak ada pelibatan masyarakat. Moktan, menyediakan jasa (Mudaca, Tsuchiya,
Norbu, and Choden (2016) menambahkan Yamada, & Onwona-Agyeman, 2015).
bahwa pelibatan peran serta masyarakat Sementara, REDD+ adalah mekanisme
dalam pengelolaan hutan adalah salah transfer keuangan internasional untuk
satu pendekatan yang dianggap berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor
dalam meningkatkan mata pencaharian dan kehutanan di negara-negara berkembang.
konservasi hutan. Pendekatan semacam Mekanisme tersebut mengarahkan
ini telah banyak dipraktikkan di negara- pembayaran kepada pemilik dan pengguna
negara Asia Selatan seperti Nepal dan lahan, baik melalui pemerintah nasional
India. Pendekatan ini juga dipromosikan ataupun secara langsung untuk mengurangi
sebagai sarana untuk mengimplementasikan deforestasi dan memperbaiki pengelolaan
pembayaran jasa lingkungan (PJL) hutan (Angelsen, 2008; Mahanty et al., 2013).
(Rasolofoson et al., 2015). Terdapat hubungan penting antara REDD+
Pengelolaan jasa lingkungan di hutan dan PJL, karena REDD+ dalam hal tertentu
lindung khususnya karbon semakin populer merupakan salah satu bentuk PJL (Kim et
dengan adanya program REDD+. Tata cara al., 2016), di mana negara-negara maju
perizinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/ memberi kompensasi kepada negara-negara
atau penyimpanan karbon pada hutan lindung berkembang yang melakukan konservasi
kemudian diatur melalui Peraturan Menteri karbon.
Kehutanan (Permenhut) Nomor P.11/Menhut- Sebagai tanggapan atas pertanyaan
II/2013. Pengelolaan jasa lingkungan karbon tentang ekuitas distributif dalam REDD+,
di hutan lindung banyak mendapat dukungan PJL telah muncul sebagai mekanisme yang

23
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

menghubungkan pembayaran REDD+ tingkat mempertahankan kelestarian lingkungan.


nasional ke kegiatan pengelolaan sumber Skema ini dapat memberi manfaat bagi
daya sub-nasional. PJL dipandang sebagai masyarakat berupa tambahan pendapatan
sarana yang efisien untuk memberikan untuk rumah tangga. Menurut Mahanty et
insentif yang bermanfaat bagi pengguna dan al. (2013) dalam pembahasan internasional
pengelola hutan di negara-negara berkembang tentang perubahan iklim, PJL dianggap
(Angelsen, 2008; Mahanty et al., 2013). PJL sebagai mekanisme penting yang berpotensi
telah menjadi ‘fashion’ terbaru dalam upaya dapat memberikan insentif kepada masyarakat
untuk mengurangi deforestasi (Rasolofoson lokal untuk mengurangi emisi dari deforestasi
et al., 2015). Pemerintah dapat menggunakan dan degradasi hutan dan untuk melestarikan
mekanisme PJL untuk memberikan insentif dan meningkatkan cadangan karbon. Akses
finansial untuk mengurangi emisi di lahan terhadap skema PJL merupakan penentu
swasta, masyarakat atau bahkan negara, sesuai utama dari dampak mata pencaharian
dengan jumlah karbon yang dilestarikan yang memengaruhi hasil penghidupan. Di
oleh pemangku kepentingan ini (Mahanty seluruh dunia, berbagai inisiatif PES sedang
et al., 2013) Namun demikian, sangat dilaksanakan pada berbagai skala, mulai dari
penting dalam pelaksanaan skema REDD+ inisiatif lokal untuk melestarikan daerah aliran
untuk memperhatikan hak dan masalah sungai (DAS), melestarikan keanekaragaman
mata pencaharian masyarakat. Hal tersebut hayati, penyerapan karbon dan keindahan
didukung oleh penelitian Mahanty et al. lanskap (Wunder, 2008). Mayoritas inisiatif
(2013) bahwa masyarakat dapat terlibat dalam PES sebagian besar berada di negara-negara
PJL untuk REDD+ dalam kondisi tertentu. berkembang dan diyakini dapat membantu
meningkatkan mata pencaharian masyarakat
3. Pembayaran jasa lingkungan dan mata
lokal dan mengurangi kemiskinan terutama
pencaharian masyarakat
pada masyarakat miskin yang terlibat
Banyak penelitian yang menyatakan dalam penjualan jasa ekosistemnya (Pagiola,
bahwa rumah tangga dapat memperoleh Arcenas, & Platais, 2005). Hal tersebut
keuntungan dari skema PJL sesuai dengan menunjukkan bahwa keberhasilan PES
desain kontrak dan kondisi kelembagaan yang di negara berkembang sangat tergantung
menguntungkan asalkan mereka memiliki aset pada partisipasi aktif dan kontribusi rumah
yang cukup untuk berpartisipasi secara efektif tangga pedesaan. Di Indonesia, terdapat
dalam skema tersebut (Mahanty et al., 2013). sembilan skema PJL yang teridentifikasi telah
Menurut Mudaca et al. (2015) PJL merupakan beroperasi. Dari sembilan skema tersebut
salah satu cara alternatif untuk mencapai empat di antaranya adalah pemanfaatan
keberhasilan konservasi yang lebih baik jasa air dan lima karbon. Faktor-faktor yang
dengan mekanisme pembayaran dari penerima menghambat berkembangnya mekanisme
manfaat jasa ekosistem kepada rumah tangga PES di Indonesia antara lain adalah selain
pengelola sumber daya yang menyediakan kurangnya regulasi khusus yang terkait dengan
jasa. Skema PJL tersebut dapat menjadi daya PES, juga disebabkan oleh permasalahan hak
tarik pengelolaan sumberdaya, mengadopsi dan kepemilikan lahan masyarakat setempat
praktik penggunaan lahan berkelanjutan (Suich, Lugina, Muttaqin, Alviya, & Sari,
sekaligus meningkatkan pendapatan dan 2016).
meningkatkan kualitas lingkungan hidup (Lee
& Mahanty, 2009). C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam skema PJL, penyedia jasa Penelitian dilakukan di tiga lokasi yaitu (1)
lingkungan atau pengelola lahan Hutan Adat Larangan Rumbio di Kabupaten
menerima pembayaran atas jasanya dalam Kampar, Provinsi Riau; (2) Hutan Desa

24
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

Katimpun di Kabupaten Kapuas, Provinsi kajian ini terdiri atas lembaga pemerintahan,
Kalimantan Tengah; dan (3) Hutan Adat lembaga swadaya masyarakat (LSM), kepala
Yapase di Kabupaten Jayapura Provinsi desa, tokoh masyarakat dan warga. Ketiga,
Papua. Penelitian dilakukan selama empat focused group discussion (FGD) yang
tahun yaitu sejak Mei 2013 sampai dengan dilakukan 2 (dua) tahap pada setiap provinsi
Mei 2016. pada tingkat provinsi dan tingkat desa
untuk menyampaikan rencana dan progress
D. Metode Pengumpulan Data dan
kegiatan, mewawancarai stakeholder dan
Analisis Data
mengumpulkan berbagai informasi yang
Tulisan ini merupakan hasil penelitian belum diperoleh pada pendekatan pertama
yang dilakukan selama empat tahun dalam dan kedua. FGD di tingkat desa melibatkan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat sekitar 15–20 peserta warga desa, sementara
dalam upaya mereduksi emisi pada hutan FGD di tingkat provinsi melibatkan lebih
lindung (meliputi kawasan hutan dan non banyak peserta dengan melibatkan tokoh
kawasan hutan). Analisis deskriptif kualitatif masyarakat, institusi pemerintah (dinas
digunakan dalam penelitian ini. Penilaian kehutanan provinsi, badan perencanaan
kualitatif terhadap persepsi masyarakat pembangunan daerah (Bappeda), balai
terhadap REDD+ dan kesiapan kelembagaan konservasi sumber daya alam (BKSDA),
di tingkat tapak didasarkan pada kriteria balai pengelolaan daerah aliran sungai dan
sebagaimana tersaji pada Tabel 1. hutan lindung (BPDAS-HL, d/h BPDAS),
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dinas perkebunan), dan universitas.
tiga pendekatan. Pertama, review terhadap
studi literatur terkait dengan pengelolaan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
hutan berbasis masyarakat, pembayaran jasa
lingkungan, dan REDD+. Kedua, interview Karakteristik sosial ekonomi ketiga lokasi
mendalam (in-depth interview) terhadap penelitian dijabarkan sebagai berikut.
stakeholder kunci. Menurut Reed et al. (2009), Pertama, Hutan Adat Rumbio secara
stakeholder merupakan orang yang bisa administrasi terletak di empat desa, yaitu
memberi pengaruh atau terpengaruh akibat Desa Koto Tibun, Desa Padang Mutung, Desa
suatu kebijakan. Stakeholder kunci dalam Rumbio dan Desa Pulo Sarak, Kecamatan

Tabel 1. Ukuran kualitatif persepsi masyarakat terhadap REDD+ dan kelembagaan di tingkat tapak.
Table 1.Qualitative measure of communities’ perception on REDD+ and institutional at the site level

Kriteria (Citeria) Keterangan (Description)

Persepsi masyarakat terhadap REDD+ (Community Perceptions of REDD+)


Tinggi (High) Masyarakat mendukung berbagai kegiatan yang terkait dengan REDD+
Sedang (Medium) Masyarakat cukup mendukung berbagai kegiatan yang terkait dengan REDD+
Rendah (Low) Masyarakat tidak mendukung berbagai kegiatan yang terkait dengan REDD+
Kesiapan kelembagaan di tingkat tapak (Institutional readiness at the site level)
Tinggi (High) Tersedia lembaga khusus yang berperan dalam kegiatan pengelolaan, memiliki
program kerja dan sudah berjalan, dan tersedia lembaga pendamping
Sedang (Medium) Tersedia lembaga khusus yang berperan dalam kegiatan pengelolaan, memiliki
program kerja namun belum berjalan, dan tersedia lembaga pendamping
Rendah (Low) Tersedia lembaga khusus yang berperan dalam kegiatan pengelolaan namun belum
memiliki program kerja, dan belum ada lembaga pendamping
Sumber (Source): Data primer (Primary data).

25
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. areal tanah garapan yang berbatasan langsung
Hutan adat yang terdiri atas suku Domo dan dengan hutan (Ritonga, Mardhiansyah, &
suku Putopang ini memiliki jumlah penduduk Kausar, 2014).
9.608 jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas Kedua, Hutan Desa Katimpun yang
penduduk Desa Koto Tibun 2.148 jiwa, Desa diberikan izin oleh Menteri Kehutanan
Padang Mutung 3.338 jiwa, Desa Rumbio berdasarkan Surat Keputusan Menteri
3.043 jiwa, dan Desa Pulo Sarak 1.079 Kehutanan (SK Menhut) Nomor 212/
jiwa. Secara umum, masyarakat di keempat Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal
desa ini memiliki mata pencaharian bertani Kerja Hutan Desa Katimpun seluas 3.230
dengan komoditi utama yaitu sawit dan karet ha pada kawasan hutan lindung. Hutan desa
(Bappeda Kabupaten Kampar, 2013). ini terletak di Desa Katimpun, Kecamatan
Hutan Adat Rumbio merupakan salah Mentangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi
satu hutan adat yang memiliki penerapan Kalimantan Tengah. Desa seluas 70 km² ini
kearifan lokal. Konon pada awalnya, yaitu memiliki jumlah penduduk sebanyak 844
sekitar abad ke-15 hutan adat ini ditetapkan jiwa yang terdiri atas 240 kepala keluarga,
seluas 1.000 hektar. Namun luasan tersebut dengan kepadatan penduduk sebesar 11,97
terus mengalami penyusutan, dan saat ini, orang per km2. Masyarakat Desa Katimpun
berdasarkan interpretasi Citra SPOT6 tahun sangat bergantung pada sumber daya alam
2013 luas Hutan Adat Rumbio hanya tinggal dan mengandalkan pendapatan dari hasil
separuhnya, yaitu 499,30 hektar (Bappeda pertanian seperti karet, padi, rotan, pisang,
Kabupaten Kampar, 2015). cabai serta memanfaatkan kayu bakar sebagai
Secara hukum adat, hutan adat Rumbio tidak penopang kehidupan sehari-hari. Hutan desa
boleh dialihfungsikan ke bentuk penggunaan di wilayah Katimpun merupakan bagian dari
yang lain. Keberadaannya harus tetap sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Lindung
kawasan hutan dan dinyatakan sebagai Model Kabupaten Kapuas. KPH ini terletak di
kawasan terlarang yang tidak boleh digarap, dua kecamatan yaitu Kecamatan Mentangai
diwariskan, atau dihibahkan. Terdapat dua dan Kecamatan Timpah (SK Menhut Nomor
bentuk kearifan lokal pada masyarakat hutan 212/Menhut-II/2014).
adat ini, yaitu kearifan lokal dalam bentuk Ketiga, Hutan Adat Yapase seluas 987
larangan dan kearifan lokal dalam bentuk hektar, terletak di Kampung Yapase dengan
ajakan. Kearifan lokal dalam bentuk larangan ketinggian 60-90 m dpl. Secara administrasi
adalah kebiasaan masyarakat berupa bentuk Kampung Yapase berada di Distrik Depapre,
kegiatan yang dilarang untuk dilakukan Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Bagi
karena dampaknya dapat merusak kelestarian masyarakat setempat Yapase merupakan
hutan dan fungsi hutan sebagai sumber air. wilayah adat, namun berdasarkan statusnya
Beberapa contoh bentuk larangan tersebut wilayah tersebut merupakan kawasan hutan
antara lain adalah (1) tidak boleh menebang lindung. Pengakuan wilayah adat didasarkan
pohon, (2) tidak boleh memanfaatkan hasil pada siapa yang pertama kali membuka
hutan tanpa seizin ninik mamak, dan (3) dan mengerjakan areal hutan yang belum
tidak boleh menjual hasil hutan adat Rumbio. dikuasai oleh orang lain. Penguasaan wilayah
Sementara itu, kearifan lokal dalam bentuk adat Yapase yaitu ketika mereka melakukan
ajakan antara lain adalah (1) ajakan untuk perburuan binatang di hutan yang belum
saling menjaga kelestarian hutan dan menjaga pernah dikuasai oleh suku lain. Hingga saat
satwa serta tanaman langka, (2) ajakan untuk ini masyarakat kampung Yapase sangat
tetap bertanggung jawab dalam hidup ini, dan memegang erat aturan adat termasuk aturan
(3) ajakan agar masyarakat menanam tanaman adat dalam hal memanfaatkan sumber daya
yang dapat menjaga dan mengatur debit air di alam agar tetap lestari. Mata pencarian

26
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

sebagian besar masyarakat Kampung Yapase skema insentif dalam upaya penurunan emisi
adalah bertani dengan rata-rata pendapatan seperti tersaji pada Tabel 2.
antara Rp500.000,00 - Rp1.500.000,00 per
bulan. A. Persepsi Masyarakat terhadap REDD+:
Terkait dengan upaya penurunan emisi Belajar dari Lokasi Penelitian
pada ketiga lokasi penelitian, diperoleh Isu terkait dengan insentif dari REDD+
informasi tentang persepsi masyarakat telah bergulir sejak Perjanjian Cancun tahun
terhadap REDD+, kelembagaan, potensi jasa 2010 (Rochmayanto, 2013). Bagi masyarakat
lingkungan dan kendalanya, serta alternatif di ketiga provinsi ini, istilah tersebut sudah

Tabel 2. Tingkat kesiapan masyarakat dalam upaya penurunan emisi


Table 2. Preparedness level of local community in emission reduction efforts
Lokasi/ Persepsi Kelembagaan Potensi Jasa Kendala Alternatif
Location Masyarakat di Tingkat lingkungan Pemanfaatan Skema Insentif
terhadap Tapak (Potential of Jasa Lingkungan Penurunan
REDD+ (Institutional Environmental (Constraints on Emisi (Incentive
(Community Arrangement Services) the Untilization Scheme
Perception on on Site Level) of Environmental Alternative
REDD+) Services) of Reduction
Emissions)

Hutan Tinggi Sedang Keindahan Belum memiliki -Mekanisme


Larangan lansekap & legalitas hutan adat Insentif karbon
Adat Rumbio keanekaragaman dari pemerintah hutan dengan
(Rumbio hayati daerah Plan Vivo
Customary Jasa air Lemahnya -Mekanisme
Forest) Jasa karbon hutan kelembagaan hutan insentif jasa air
adat
Hutan Desa Sedang Rendah Jasa Karbon dari Sangat bergantung Mekanisme
Katimpun lahan gambut pada dana yang Insentifkarbon
(Katimpun wisata alam bersumber dari hutan dengan
Village dengan donor, karena Verified Carbon
Forest) transportasi air APBN/APBD Standard(VCS)
belum bisa
digunakan untuk
membiayai
kegiatan di HD
secara maksimal
Hutan Adat Sedang Sedang Keindahan Aturan-aturan Mekanisme
Yapase lansekap & adat yang terkait insentif karbon
(Yapase keanekaragaman dengan pengelolaan hutan dengan
Customary hayati sumber daya alam Plan Vivo
Forest) Jasa air tidak tercatat dan
Jasa karbon hutan terdokumentasikan
dengan baik
belum ada legalitas
masyarakat adat
beserta aturan-
aturan adatnya
Keterangan (Remarks): APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; APBD= Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Sumber (Source): Data primer (Primary data).

27
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

sangat tidak asing, karena lokasi tersebut Kalimantan Forest Climate Partnership
seringkali dijadikan lokasi target penurunan (KFCP). Walaupun sudah memiliki legalitas
emisi oleh beberapa proyek kerja sama terkait resmi berdasarkan SK Menhut Nomor 212/
dengan REDD+. Akibat proses negosiasi Menhut-II/2014 tentang Penetapan Areal
REDD+ yang sangat panjang dalam dunia Kerja Hutan Desa Katimpun Seluas ±3.230
internasional, berdampak munculnya hektar pada Kawasan Hutan Lindung
keraguan akan implementasi REDD+ mulai Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas
dari para pelaku REDD+ hingga masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah, dan struktur
yang katanya akan memperoleh insentif dari organisasi untuk mengelola wilayah hutan
upaya pengurangan emisi karbon. desa, namun lembaga hutan desa ini belum
Hasil analisis pada ketiga lokasi penelitian memiliki rencana pengelolaan ke depan terkait
dinyatakan bahwa pada Hutan Adat Rumbio kegiatan yang akan dilakukan. Masyarakat
tingkat ketertarikan masyarakat terhadap dan pengurus Hutan Desa Katimpun masih
REDD+ masih relatif tinggi. Hal tersebut memiliki ketertarikan dalam upaya penurunan
ditunjukkan dengan adanya respon positif emisi. Mereka ingin merehabilitasi lahan
dari masyarakat agar Hutan Adat Rumbio gambut yang saat ini kondisinya rusak dan
dijadikan sebagai area inisiasi REDD+ di memperoleh manfaat dari penetapan Hutan
Provinsi Riau. Adanya kepedulian masyarakat Desa Katimpun yang berada di Kawasan
terhadap upaya penurunan emisi tersebut tak Lindung tersebut.
lepas dari peranan Yayasan Pelopor Sehati, Sejauh ini masyarakat Desa Katimpun
yaitu LSM yang sejak tahun 2000 memiliki belum banyak memanfaatkan Hutan Desa
komitmen untuk melestarikan keberadaan secara langsung kecuali untuk berburu bagi
Hutan Adat Rumbio dan memberdayakan beberapa orang. Masyarakat menyadari bahwa
masyarakatnya terkait dengan kegiatan sosial Hutan Desa Katimpun dapat memberikan
ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan. manfaat bila dikelola dengan baik seperti
Bentuk komitmen masyarakat Hutan Adat sumber oksigen dan pengatur tata air.
Rumbio juga terlihat dengan adanya dokumen Sama halnya dengan Hutan Adat Rumbio
Masterplan Rencana Pengelolaan Hutan Adat dan Hutan Desa Katimpun, pada Hutan Adat
Rumbio yang merupakan rencana pengelolaan Yapase, masyarakat cukup memahami bahwa
untuk jangka waktu sepuluh tahun ke depan. keberadaan hutan memiliki peranan yang
Dalam Masterplan tersebut tertuang rencana penting terkait dengan perubahan iklim dan
pengelolaan untuk menjadikan Hutan Adat berpotensi dalam mengurangi emisi. Mereka
Rumbio sebagai model pengelolaan hutan adat antusias untuk berperan dalam pengurangan
berbasis jasa lingkungan dengan indikator emisi dari deforestasi dan degradasi
antara lain berkembangnya program jasa hutan. Beberapa anggota masyarakat telah
lingkungan sehingga membuat para pengelola melakukan pelatihan penghitungan dan
hutan menjadi mandiri dan memajukan pengukuran karbon yang diinisiasi oleh
kenegerian, meningkatnya kesejahteraan Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon
masyarakat khusus para pengelola berbasis (IPRE) yang diselenggarakan oleh Dinas
jasa lingkungan, berkembangnya perdagangan Kehutanan Kabupaten Jayapura.
karbon baik sukarela maupun melalui skema Hinga saat ini kondisi hutan di Hutan
yang lain. Adat Yapase masih terjaga dengan baik
Relatif sama dengan kondisi Hutan Adat karena keberadaan masyarakat adat beserta
Rumbio, masyarakat Hutan Desa Katimpun aturannya. Pengelolaan hutan didasarkan pada
juga cukup banyak mengetahui isu terkait klan atau marga. Bagi masyarakat kampung
REDD+ dan sudah memiliki pengalaman Yapase, Hutan Lindung Yapase merupakan
dengan proyek penurunan emisi karbon seperti salah satu wilayah adat yang digunakan

28
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

untuk menopang keberlanjutan hidup suku- teori Ostrom (1999) & Ostrom (2001) tentang
suku mereka. Menurut mereka hutan lindung tujuh komponen kondisi masyarakat yang
merupakan aset besar yang diwariskan dari memiliki potensi keberhasilan yang tinggi
leluhur yang harus digunakan untuk kemajuan melaksanakan program community based
wilayah Yapase. Dengan kearifan lokal yang forest management (CBFM). Teori tersebut
ada, masyarakat sudah memiliki kesadaran telah banyak dirujuk oleh berbagai penelitian
sendiri untuk menjaga dan melestarikan hutan dan dibuktikan keefektifannya (Cox, Arnold,
walaupun manfaat langsung seperti kayu tidak & Tomas, 2010; Ostrom, 1999). Untuk menilai
banyak dinikmati oleh mereka namun mereka kesiapan kelembagaan, maka hanya dua
banyak menerima manfaat dalam bentuk komponen terkait kelembagaan yang dirujuk
yang lain. Meskipun demikian, kelestarian yaitu 1) Autonomy: yaitu masyarakat secara
hutan Yapase masih menghadapi ancaman mandiri mampu untuk merumuskan aturan
baik dari dalam maupun dari masyarakat terkait pengelolaan hutan lestari; 2) Prior
luar daerah. Masyarakat pada umumnya akan Organizational Experience: yaitu di mana
menebang kayu di Hutan Lindung Yapase masyarakat telah memiliki pengetahuan dan
untuk keperluan pembangunan rumah. Hal kemampuan berorganisasi. Kedua indikator
ini memiliki implikasi bahwa ketika jumlah tersebut juga sesuai dengan pendapat Gibson,
masyarakat atau klan semakin bertambah Lehoucq, & Wlliams (2002) yang menyatakan
maka potensi anacaman deforestasi juga bahwa proyek-proyek masyarakat dan
menjadi semakin tinggi. Di sisi lain, ancaman REDD+ juga membutuhkan kemampuan
dari luar berasal dari kegiatan penebangan liar untuk menegakkan peraturan untuk mengelola
yang dilakukan oleh masyarakat luar Yapase hutan secara efektif.
di beberapa area Hutan Lindung Yapase. Berdasarkan hasil pengamatan di
Selain itu, adanya potensi tambang nikel lapangan, kesiapan kelembagaan masyarakat
juga mengancam keberadaan Hutan Lindung di ketiga lokasi untuk melaksanakan kegiatan
Yapase. REDD+ telah terbangun cukup baik. Hutan
Adat Rumbio, sebagai salah satu area inisiasi
B. Kesiapan Kelembagaan di Tingkat REDD+ di Provinsi Riau telah memiliki
Tapak suatu lembaga yang khusus berperan untuk
Mengingat REDD+ dilaksanakan pada mengelola Hutan Adat Rumbio yaitu Badan
tingkat tapak, maka kesiapan masyarakat di Pengelola Hutan Larangan Adat Rumbio.
tingkat tapak untuk melaksanakan program Lembaga yang dibentuk pada tahun 2014
REDD+ merupakan faktor kunci dari atas prakarsa Yayasan Pelopor Sehati ini
keberhasilan program tersebut (Apriwan & secara umum bertugas untuk melestarikan
Afriani, 2015). Salah satu indikator penting keberadaan Hutan Adat Rumbio dan sekaligus
kesiapan masyarakat di tingkat tapak adalah dapat meningkatkan kesejahteraan warga adat
adanya kelembagaan masyarakat yang Rumbio. Upaya tersebut diakomodir dalam
kuat yang dapat mengikat dan mengatur empat bidang pengelolaan yaitu (1) bidang
mekanisme pelaksanaan suatu program, yang penelitian dan pengembangan dan kerja
dalam hal ini adalah REDD+. Hal tersebut sama antar lembaga, (2) bidang advokasi dan
sesuai dengan pernyataan Gbedomon et al. kebijakan strategis, (3) bidang pembangunan
(2016) bahwa desain kelembagaan sangat ekonomi kreatif dan kegiatan, dan (4) bidang
penting dalam pemberdayaan masyarakat publikasi dan pemasaran.
lokal, mengurangi ancaman dan memperbaiki Masyarakat Hutan Adat Rumbio juga telah
kondisi sumber daya hutan. memiliki Masterplan rencana pengelolaan
Untuk menilai kesiapan masyarakat di untuk jangka waktu 10 tahun yang diantaranya
tingkat tapak, penelitian ini merujuk pada telah memasukkan pemanfaatan jasa

29
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

lingkungan dan perdagangan karbon dalam dengan pemerintah daerah mengembangkan


program kegiatannya. Namun demikian, konsep REDD+ di tingkat tapak. Meskipun
sejauh ini kegiatan yang baru berjalan adalah pada prakteknya program tersebut tidak
dijadikannya Hutan Adat Rumbio sebagai secara nyata disebut REDD+, tetapi pada
lokasi penelitian oleh berbagai lembaga prinsipnya tujuan program tersebut adalah
penelitian dan akademisi. Sementara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
kegiatan pengembangan jasa lingkungan baik kelestarian hutan. Sebagai hasilnya, sebagian
jasa air, wisata alam dan karbon hutan belum besar masyarakat di lokasi penelitian telah
dapat dilaksanakan karena keterbatasan memiliki kesadaran yang cukup tinggi
lembaga pengelola yang belum berperan terhadap pentingnya kelestarian hutan untuk
secara maksimal. menjaga kelangsungan hidup mereka. Hanya
Sama halnya dengan Hutan Adat saja, program belum menyentuh kepada
Rumbio, pada Hutan Desa Katimpun juga seluruh masyarakat, sehingga masih terdapat
telah terdapat lembaga pengelola khusus penebangan liar di Hutan Lindung Yapase
yang disebut Lembaga Pengelola Hutan yang dilakukan masyarakat yang tidak terlibat
Desa (LPHD). LPHD ini diangkat dan dalam program tersebut.
diberhentikan oleh Kepala Desa selaku Dengan bantuan dari berbagai LSM,
penasehat dan pelindung. Beberapa hak pemerintah daerah kemudian membentuk
dan kewajiban LPHD antara lain adalah (1) lembaga khusus yang menangani program
Pemanfaatan kawasan melalui kegiatan usaha REDD+, seperti Low Carbon Development
budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, Task Force (LCDTF) di tingkat provinsi,
lebah, penangkaran satwa liar, dan budidaya dan Inisiatif Pembangunan Rendah Emisi
hijauan makanan ternak; (2) Pemanfaatan (IPRE) di tingkat Kabupaten. Pada tingkat
jasa lingkungan melalui kegiatan usaha tapak, masyarakat Yapase telah membentuk
pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, Kelompok Kerja (Pokja) Yapase dengan
wisata alam, perlindungan keanekaragaman jumlah anggota utama 5 (lima) orang tokoh
hayati, penyelamatan dan perlindungan masyarakat untuk melaksanakan program
lingkungan, dan penyerapan dan/atau kelestarian hutan yang dikembangkan oleh
penyimpanan karbon, dan pemungutan hasil IPRE. Melalui Pokja tersebut, masyarakat
hutan bukan kayu (HHBK) melalui kegiatan secara kolaboratif mendiskusikan program
usaha pemungutan rotan, madu, getah, buah, kerja yang diperlukan untuk menjaga
jamur dan sarang walet. Dalam praktiknya, kelestarian hutan sekaligus sumber
tidak berbeda dengan Hutan Adat Rumbio, penghidupan masyarakat. Selain program
kelembagaan pada Hutan Desa Katimpun kerja, Pokja tersebut juga telah merumuskan
juga belum berperan secara optimal. Hal peraturan termasuk sangsi dalam pengelolaan
tersebut disebabkan antara lain (1) kurangnya hutan lestari. Melalui IPRE, sebagian tokoh
koordinasi antar pengurus LPHD, (2) belum masyarakat Yapase telah diberikan pelatihan
memiliki perencanaan baik jangka panjang tentang pengukuran karbon. Program yang
maupun jangka pendek, (3) tidak memiliki dilaksanakan adalah meningkatkan kesadaran
pendamping dalam mengelola hutan desa, (4) masyarakat terhadap keberadaan hutan serta
terkendala masalah dana, dan (5) pengurus penanaman di hutan yang gundul dan areal
LPHD belum terlatih dalam pengembangan kawasan lindung di sekitar pemukiman
jaringan untuk mengelola hutan desa. masyarakat. Masyarakat diberikan bantuan
Sementara itu, program REDD+ di Papua bibit pohon buah-buahan dan diberikan insentif
khususnya di lokasi penelitian mendapat sebagai upah kerja untuk menanam pohon
banyak bantuan dari LSM baik nasional tersebut. Insentif rencananya akan diberikan
maupun internasional, yang bekerja sama kepada masyarakat jika program penanaman

30
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

pohon telah berhasil. Meskipun demikian, baik di dalam maupun pinggir hutan, shelter,
sampai awal tahun 2017, mekanisme insentif bangku, pos jaga dan lahan parkir.
tersebut belum berjalan. Dari sisi pemanfaatan air, sumber air pada
Dengan demikian, berdasarkan kondisi hutan adat ini merupakan sumber daya yang
kelembagaan pada ketiga lokasi tersebut, pemanfaatannya paling besar digunakan oleh
maka diperlukan penguatan lembaga yang warga adat. Air yang berlimpah, jernih dan
ada sehingga kedepan dapat melakukan bersih merupakan potensi nyata yang bisa
perencanaan dan pengelolaan secara optimal. dikembangkan ke arah pemanfaatan jasa
Dalam hal ini, juga diperlukan dukungan lingkungan. Sejak tahun 2005, telah dilakukan
pemerintah daerah agar kelembagaan di transaksi jual beli air oleh masyarakat yang
tingkat tapak menjadi lebih terarah dan dapat dijual untuk air minum kepada masyarakat
mendukung rencana pembangunan daerah. luar Kota Bangkinang (Ibukota Kabupaten
Menurut Fauzi &Anna (2013), pemerintah dan Kampar). Transaksi jual beli air paling
pengaturan kelembagaan lainnya memainkan banyak terdapat di Desa Pulau Sarak, yaitu
peranan penting dalam pelaksanaan PJL di sekitar 160 dirigen per hari (volume dirigen
negara-negara berkembang seperti Indoneia, 30 liter). Setiap dirigen air dibeli dengan
dan kompleksitas kelembagaan harus harga Rp500,00 dan kemudian dijual lagi
ditangani sebelum skema PES diadopsi. dengan harga Rp5.000,00 - Rp8.000,00
per dirigen. Dari Rp500,00 yang diterima
C. Potensi Jasa Lingkungan pengelola air, sebesar Rp200,00 diserahkan
Hutan Larangan Adat Rumbio, selain ke kas desa. Selain dari pengelola air, kas desa
memiliki fungsi sosial dengan nilai-nilai juga memperoleh retribusi dari setiap mobil
dan aturan adat setempat, hutan adat ini juga yang mengangkut air yaitu sekitar Rp140.000
memiliki fungsi lingkungan dan ekonomi ,00 per hari. Dana tersebut digunakan untuk
yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. kepentingan umum seperti pembangunan
Beberapa potensi yang dapat dikembangkan jalan dan infrastruktur lainnya. Masyarakat
ke arah pemanfaatan jasa lingkungan meyakini bahwa beberapa sumber mata air
ke depannya pada hutan adat ini adalah yang terdapat di kawasan pemukiman warga
pemanfaatan wisata alam, jasa air, dan jasa di sekitar hutan merupakan mata air yang
karbon hutan. bersumber dari hutan adat. Hal tersebut
Potensi hutan adat sebagai sarana rekreasi menambah keyakinan dan motivasi warga
didukung dengan kondisi hutan yang masih untuk menjaga kelestarian hutan secara
terjaga dengan baik, pohon kayu dengan terus menerus agar bisa tetap memanfaatkan
diameter besar, pemandangan yang hijau, air bersih baik untuk keperluan sehari-hari
kontur tanah yang berbukit, udara yang sejuk, maupun sumber pendapatan melalui transaksi
keanekaragaman hayati yang unik (seperti jual beli. Di sisi lain, terkait dengan jasa karbon
kantung semar, periuk-periuk, pasak bumi dan hutan, Hutan Adat Rumbio merupakan salah
kura-kura berduri), dan adanya sumber mata satu dari 8 (delapan) lokasi inisiasi REDD+ di
air dan sungai-sungai kecil, menjadi daya Provinsi Riau. Namun demikian, hingga saat
tarik bagi para pengunjung. Selain itu, dari ini belum ada upaya untuk menindaklanjuti
sisi sejarah dan budaya masyarakat adat, pada lebih jauh meskipun telah memiliki dokumen
hutan adat ini diyakini terdapat makam tua/ Masterplan Rencana Pengelolaan dan
keramat yang konon selalu berpindah-pindah Pemetaan Batas Hutan Larangan Adat
posisinya dengan bentuk yang berubah- Rumbio sebagai arah pembangunan.
ubah. Guna mendukung sarana rekreasi, pada Pada Hutan Desa Katimpun, potensi jasa
sebagian hutan adat ini juga telah dibangun lingkungan yang tersedia adalah jasa karbon
infrastruktur berupa gerbang, jalan setapak dari lahan gambut dan wisata dengan akses

31
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

perairan. Namun demikian, untuk pemanfaatan LSM (Yayasan Pelopor Sehati) yang selalu
jasa lingkungan tersebut diperlukan upaya mendampingi, sudah terbentuknya lembaga
yang lebih keras untuk merehabilitasi lahan pengelola hutan adat yang dikhususkan untuk
gambut karena kondisi kawasan hutan desa mengelola hutan adat, telah tersusunnya
yang rusak. Akses menuju hutan desa yang dokumen Masterplan Rencana Pengelolaan
berupa sungai dan kanal merupakan salah dan Pembagian Blok/Zona Pemanfaatan
satu daya tarik dalam mengembangkan jasa Hutan Adat Rumbio. Namun demikian
wisata wilayah hutan desa. Dengan sarana sejauh ini belum ada aksi nyata dalam upaya
transportasi berupa boat atau perahu dayung pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan
para wisatawan dapat melakukan petualangan pada hutan adat tersebut karena lembaga
dan menikmati pemandangan lahan gambut pengelola hutan adat yang sudah terbentuk
yang terhampar luas. belum berfungsi secara maksimal.
Di Hutan Adat Yapase, potensi jasa Pada Hutan Desa Katimpun, secara
lingkungan yang tersedia relatif sama legalitas, hutan desa ini telah mendapat
dengan Hutan Adat Rumbio. Namun yang pengakuan yang resmi dari pemerintah.
membedakan adalah pada hutan adat ini sama Sama halnya dengan Hutan Adat Rumbio,
sekali belum ada upaya untuk pemanfaatan hutan desa ini pun telah dibentuk lembaga
secara komersial. Kehidupan masyarakat pengelola yang bertanggung jawab dan
Yapase sangat bergantung pada hutan adat berperan dalam pengelolaan Hutan Desa
yang berada di kawasan lindung untuk Katimpun. Namun hingga saat ini lembaga
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tersebut belum berperan aktif dan belum
mengambil berbagai manfaat dari hutan memiliki rencana pengelolaan, sehingga
seperti berburu, sumber mata air, dan mencari belum ada kegiatan yang dilakukan dalam
kayu bakar. Pada hutan adat ini belum ada hutan desa tersebut. Selain akses yang cukup
upaya pemanfaatan jasa lingkungan. Sejauh jauh dengan transportasi air, kendala yang
ini, upaya perlindungan terhadap hutan yang dihadapi dalam pengelolaan Hutan Desa
dilakukan masyarakat didasarkan pada aturan Katimpun adalah terkait dengan sumber dana.
adat yaitu berupa larangan menebang pohon Untuk mengembangkan kegiatan di hutan
terutama yang berada di pinggir sungai dan desa tersebut hanya mengandalkan sumber
membuang sampah ke sungai. dana dari donor. Sementara fasilitas dana
bergulir dari Pusat Pembiayaan Pembangunan
D. Kendala Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan (P3H) belum terakses oleh masyarakat
Terkait dengan potensi pengembangan Desa Katimpun.
jasa lingkungan dalam upaya pengurangan Pada Hutan Adat Yapase, kendala yang
emisi, terdapat beberapa kendala yang dihadapi selain belum memiliki legalitas
berbeda pada ketiga lokasi. Pada Hutan adat dari pemerintah daerah setempat, secara
Rumbio, permasalahan utama adalah belum internal hutan adat ini juga belum memiliki
adanya legalitas hukum yang dikeluarkan lembaga pengelola yang khusus menangani
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten pengelolaan hutan adat. Akibat belum
Kampar sebagai bentuk pengakuan tertulis terbentuknya lembaga pengelola, maka
akan keberadaan Hutan Adat Rumbio. belum ada rencana pengelolaan yang dapat
Permasalahan kedua adalah terkait dengan dijadikan dasar kegiatan pembangunan.
permasalahan kelembagaan pada hutan adat Bahkan, berbeda dengan Hutan Adat Rumbio
itu sendiri. Dibandingkan dengan dua lokasi yang sudah membukukan aturan-aturan
yang lain, Hutan Adat Rumbio memiliki lokal terkait dengan pengelolaan hutan
tingkat kesiapan yang lebih baik dibandingkan adat, pada Hutan Adat Yapase ini aturan-
dua lokasi yang lain seperti tersedianya aturan lokal masyarakat belum tercatat

32
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

dan terdokumentasikan dengan baik. Hal Menurut Nurtjahjawilasa, Duryat, Yasman,


ini berpotensi lunturnya aturan-aturan dan Septiani, & Lasmini (2013), terdapat dua
kearifan lokal pada generasi mendatang prinsip dalam koonsep REDD+ yaitu (1)
yang bisa mengancam kelestarian hutan adat Memberi insentif pada negara-negara
tersebut. berkembang yang mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradsi hutan, konservasi,
E. Alternatif Skema Insentif REDD+ di sustainable forest management (SFM),
Hutan Lindung aforestasi dan reforestasi; dan (2) Membantu
Berdasarkan karakteristik lokasi, persepsi negara-negara berkembang untuk mulai
masyarakat terhadap REDD+, dan beberapa berpartisipasi dalam mekanisme REDD+. Isu
potensi jasa lingkungan yang diuraikan di atas, utama lain dalam REDD+ adalah pembagian
maka sangat penting untuk mencari alternatif manfaat (benefit sharing), yaitu skema
skema insentif dalam upaya penurunan pembagian manfaat sebagaimana yang sudah
emisi pada ketiga lokasi. Hal tersebut sesuai diberlakukan dalam pembayaran untuk jasa
dengan ide dasar REDD+ yaitu memberikan lingkungan atau payments for environmental
insentif untuk mengurangi emisi gas rumah services (PES) bertingkat ganda (internasional
kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan nasional) seperti pada Gambar 2.
dibandingkan skenario business as usual Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa
(BAU). Bentuk kegiatan tersebut termasuk masyarakat yang hidup berdampingan
mendukung konservasi, peningkatan stok dengan hutan merupakan salah satu pelaku
karbon hutan dan pengelolaan hutan lestari penting dalam konteks REDD+ dan memiliki
(Angelsen, 2008; Corbera & Schroeder, peran yang besar dalam mitigasi perubahan
2011). Upaya tersebut memiliki kemiripan iklim dan salah satunya dengan PJL berbasis
dengan cara tradisional untuk memperbaiki masyarakat. REDD+ Indonesia memposisikan
pengelolaan hutan, namun dengan tujuan masyarkat adat dan masyarakat lokal sebagai
baru yaitu mitigasi perubaha iklim dan cita- posisi kunci dalam implementasinya. Dengan
cita ideal insentif berbasis kinerja (Sunderlin demikian keterlibatan masyarakat merupakan
& Atmadja, 2004).

Sumber (Source): Nurtjahjawilasa et al., 2013.


Gambar 2. Konsep skema pembayaran jasa lingkungan bertingkat ganda untuk REDD+.
Figure 2. The concept of double-tier PES schemes for REDD+.

33
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

salah satu penentu keberhasilan REDD+ di Rentang harga VCU adalah antara USD0,2
Indonesia. sampai USD112 per VCU. VCU yang memiliki
Berdasarkan potensi pemanfaatan jasa harga tinggi biasanya dari proyek-proyek
lingkungan yang ada pada ketiga lokasi dengan manfaat dampingan (co-benefit)
penelitian, maka ketiga lokasi tersebut yang kuat, misalnya dapat meningkatkan
memiliki peluang untuk dikembangkan pendapatan masyarakat di sekitar proyek. Di
mekanisme pembayaran jasa lingkungan Indonesia, VCS sudah dikembangkan pada
karbon hutan dengan skema Plan Vivo pada 11 proyek, dan 9 proyek diantaranya sudah
Hutan Adat Rumbio dan Hutan Adat Yapase, menghasilkan 2,9 juta VCU (DNPI, 2011).
dan Verified Carbon Standard (VCS) pada
Hutan Desa Katimpun. IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Plan Vivo adalah skema insentif sukarela
berbasis masyarakat yang bisa diterapkan A. Kesimpulan
dalam pengelolaan lahan berkelanjutan Peran masyarakat pengelola hutan
melalui upaya pencegahan deforestasi berfungsi lindung sangat penting dalam
dan degradasi hutan. Skema ini bertujuan upaya penurunan emisi di wilayahnya.
untuk meningkatkan mata pencaharian Persepsi masyarakat di lokasi penelitian
masyarakat di pedesaan pada negara-negara sangat positif terhadap kegiatan penurunan
berkembang dengan menyediakan standar emisi. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan
pengurangan emisi pada tingkat masyarakat dasar yang mereka peroleh dari kegiatan-
skala kecil. Di Indonesia skema ini telah kegiatan yang telah diinisiasi oleh pemerintah
berhasil diimplementasikan di beberapa maupun lembaga non pemerintah dalam
lokasi, yaiu Hutan Desa Laman Satong, upaya sosialisasi dan persiapan program
Ketapang Kalimantan Barat; Hutan Desa pengurangan emisi di tingkat daerah.
Durian Rumbun, Merangin, Jambi; dan Hutan Kesiapan kelembagaan masyarakat di
Kemasyarakatan Aik Bual, Lombok Tengah, ketiga lokasi penelitian untuk melaksanakan
Nusa Tenggara Barat. Namun demikian kegiatan REDD+ telah terbangun cukup
skema Plan Vivo tidak mengakomodir upaya baik. Namun demikian diperlukan penguatan
penurunan emisi pada lahan gambut seperti lembaga yang ada sehingga kedepan dapat
Hutan Desa Katimpun. Dengan demikian melakukan perencanaan dan pengelolaan
pada Hutan Desa Katimpun perlu diupayakan secara optimal.
alternatif skema lain seperti Verified Carbon Selain di Hutan Desa Katimpun, di dua
Standard (VCS), yaitu skema yang memiliki hutan lainnya potensi jasa lingkungan berupa
tujuan yang sama seperti Plan Vivo namun air dan wisata alam cukup besar. Hal ini
bisa diterapkan pada lahan gambut. dapat membantu program pengurangan emisi
VCS adalah program gas rumah kaca berbasis wisata alam dan pemanfaatan air.
yang bisa digunakan oleh suatu proyek untuk Lain halnya di Hutan Desa Katimpun potensi
memperoleh sertifikasi bahwa proyek tersebut wisata alamnya relatif kurang.
berdampak terhadap penurunan emisi gas Alternatif skema REDD+ berbasis
rumah kaca secara aktif. Mekanisme VCS masyarakat di hutan berfungsi lindung di
relatif lebih sederhana dan biaya transaksi Rumbio dan Yapase dapat dilakukan dengan
yang lebih murah. Hingga saat ini, proyek- skema Plan Vivo Standard, sementara di
proyek dalam VCS telah menghasilkan kredit Hutan Desa Katimpun dengan karakteristik
karbon (dinamakan Verified Carbon Unit atau gambut penurunan emisi melalui upaya
VCU) sejumlah lebih dari 130 juta ton-setara- pembahasan gambut dengan Verified Carbon
CO2. Pembeli pasar sukarela tidak tergantung Standard.
pada harga dalam kesepakatan Pasar Kyoto.

34
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

B. Saran Brandon, K., & Wells, M. (1992). Planning for


people and parks: Design dilemmas. World
Untuk mengoperasionalkan pelaksanaan Development, 20(4), 557-570.
penurunan emisi di ketiga lokasi, maka Brockhaus, M., Obidzinski, K., Dermawan, A.,
diperlukan tindak lanjut berupa pendampingan Laumonier, Y., & Luttrell, C. (2012). An
dari para pihak terkait untuk menyusun overview of forest and land allocation policies
project idea note (PIN) hingga project design in Indonesia: Is the current framework
sufficient to meet the needs of REDD+?
document (PDD). Forest Policy and Economics, 18, 30-37.
Chomba, S., Treue, T., & Sinclair, F. (2015). The
UCAPAN TERIMA KASIH political economy of forest entitlements: Can
(ACKNOWLEDGEMENT) community based forest management reduce
vulnerability at the forest margin? Forest
Penulis megucapkan terima kasih kepada Policy and Economics, 58, 37--46.
Proyek Kerja Sama Penelitian ACIAR Corbera, E., & Schroeder, H. (2011). Governing and
FST/2012/040 yang berjudul Enhancing implementating REDD+. Environmental
Science & Policy, 14(2), 89-99..
Smallholder Benefits from Reduced Emissions
Cox, M., Arnold, G., & Tomas, S. V. (2010). A review
from Deforestation and Forest Degradation of design principles for community-based
in Indonesia yang telah mendanai kegiatan natural resource managemet. Ecology and
penelitian ini.Terima kasih juga diucapkan Society, 15(4), 38.
kepada semua pihak yang membantu proses DeFries, R., Hansen, A. J., Newton, A. C., & Hansen,
M. C. (2005). Increasing isolation of protected
pelaksanaan penelitian dan penulisan jurnal
areas in tropical forests over the past twenty
ini. years. Ecological Applications, 15, 19-26.
DeFries, R., Karanth, K. K., & Sajid, P. (2010).
Interactions between protected areas and their
DAFTAR PUSTAKA surroundings in human-dominated tropical
landscapes. Biological Conservation, 143,
2870-2880.
Angelsen, A. (2008). Moving ahead with REDD+: DNPI. (2011). Mari berdagang karbon! Pengantar
Issues options and implications. Bogor pasar karbon untuk pengendalian perubahan
Indonesia: CIFOR. iklim. Jakarta: DNPI.
Apriwan, & Afriani, S. A. (2015). Local readiness Fauzi, A., & Anna, Z. (2013). The complexity of the
towards REDD+ UNFCCC scheme (Study institution of payment for environmental
in Province of West Sumatera Indonesia). services: A case study of two Indonesian PES
Procedia - Environmental Sciences, 28, 649- schemes. Ecosystem Services, 6, 54-64.
656. Gbedomon, R. A., Floquet, A., Mongbo, R., Salako,
Bappeda Kabupaten Kampar. (2013). Masterplan V. K., Fandohan, A. B., Assogbadjo, A. E.,
Hutan Adat Kenegerian Rumbio dan Hutan & Kakai, R. G. (2016). Socio-economic and
Adat Buluh Cina Kabupaten Kampar Provinsi ecological outcomes of community based
Riau. (Laporan). Bogor: Institut Pertanian forest management: A case study from Tobe-
Bogor. Kpbidon forest in Benin, Western Africa.
Bappeda Kabupaten Kampar. (2015). Pemetaan batas Forest Policy and Economics, 64, 46-55.
Hutan Larangan Adat Kenegerian Rumbio. Gibson, C., Lehoucq, F., & Wlliams, J. (2002). Does
(Laporan). Bogor: Institut Pertanian Bogor. privatization protect natural resources?
Barber, C. P., Cochrane, M. A., Souza, C. J., & Property rights and forests in Guatemala.
Verissimo, A. (2011). Dynamic performance Social Science Quarterly, 83(1), 206-225.
assessment of protected areas. Biological Ginoga, K. L., Djaenudin, D., & Lugina, M. (2005).
Conservation, 149, 6-14. Analisis kebijakan pengelolaan hutan lindung.
Bottazzi, P., Cattaneo, A., Rocha, D. C., & Rist, Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan, 2(2), 203-
S. (2013). Assessing sustainable forest 231.
management under REDD+: A community- Hansen, A. J., & DeFries, R. (2007). Ecological
based labour perspective. Ecological mechanisms linking protected areas to
Economics, 93, 94--103. surrounding lands. Ecological Applications,
17, 974-988.

35
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 19-37

Hayes, T. M. (2006). Parks, people, and forest the environment. (pp 131-154). New Delhi,
protection: An institutional assessment of Academic Foundation in Association with
the effectiveness of protected areas. World Centre for Civil Society.
Development, 34(12), 2064-2075. Ostrom, E. (2002). Reformulating the commons.
Ambiente & Sociedade - Ano V - No 10, 1-22
Joppa, L. N., Loaria, S. R., & Pimm, S. L. (2008). Pagiola, S., Arcenas, A., & Platais, G. (2005). Can
On the protection of "protected areas". payments for environmental services help
Paper presented at the National Academy of reduce poverty? An exploration of the issues
Sciences. and the evidence to date from Latin America.
Kim, Y. S., Bae, J. S., Fisher, L. A., Latifah, S., Afifi, World Development, 33(2), 237-253.
M., Lee, S. M., & Kim, I. (2016). Indonesia's Rasolofoson, R. A., Ferraro, P. J., Jenkins, C. N.,
forest management units: Effective & Jones, J. P. G. (2015). Effectiveness of
intermediaries in REDD+ implementation. community forest management at reducing
Forest Policy and Economics, 62, 69-77. deforestation in Madagascar. Biological
Lee, E., & Mahanty, S. (2009). Payments for Conservation, 184, 271-277.
environmental services and poverty reduction: Redford, K., & Richter, B. (1999). Conservation of
Risk and opportunities. Bangkok: The Center biodiversity in a world of use. Conservation
for People and Forest. Biology, 13(6), 1246-1256.
Leventon, J., Kalaba, F. K., Dyer, J. C., Stringer, L. C., Reed, M. S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H.,
& Dougill, A. J. (2014). Delivering community Hubacek, K., Morris, J., . . . Quinn, C. H.
benefits through REDD +: Lessons from joint (2009 ). Who’s in and why? A typology
forest management in Zambia. Forest Policy of stakeholder analysis methods for
and Economics, 44 (July), 10-17. natural resource management. Journal of
Luttrell, C., Resosudarmo, I. A. P., Muharrom, E., Environmental Management, 90, 1933–1949.
Brockhaus, M., & Seymour, F. (2014). The Resosudarmo, I. A. P., Admadja, S., Ekaputri, A. D.,
political context of REDD+ in Indonesia: Intarini, D. Y., & Indriatmoko, Y. (2014).
Constituencies for change. Environmental Does tenure security lead to REDD+ project
Science & Policy, 35, 67-75. effectiveness? Reflections from five emerging
Mahanty, S., Suich, H., & Tacconi, L. (2013). Acces sites in Indonesia. World Development, 55,
and benefits in payments for environmental 68-83.
services and implications for REDD+: Ridha, D. M., Purbo, A., Wibowo, A., Tobing, L. B.,
Lessons from seven PES schemes. Land Use Widyaningtyas, N., Widayati, T., . . . Farid, M.
Policy, 31, 38-47. (2016). Perubahan iklim, perjanjian Paris,
Moktan, M. R., Norbu, L., & Choden, K. (2016). Can dan nationally determined contribution.
community forestry contribute to household Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian
income and sustainable forstry practices in Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan
rural area? A case study from Tshaoey and Hidup dan Kehutanan.
Zariphenum in Bhutan. Forest Policy and Ritonga, A., Mardhiansyah, M., & Kausar. (2014).
Economics, 62, 149-157. Identifikasi kearifan lokal masyarakat hutan
Mudaca, J. D., Tsuchiya, T., Yamada, M., & Onwona- larangan adat Rumbio, Kabupaten Kampar
Agyeman, S. (2015). Household participation terhadap perlindungan hutan. (Laporan).
in payments for ecosystem services: A case Pekanbaru: Departement of Forestry, Faculty
study from Mozambique. Forest Policy and of Agriculture, University of Riau.
Economics, 55, 21 - 27. Rochmayanto, Y. (2013). Analisis risiko kegagalan
Nepstad, D., Schwartzman, S., Bamberger, B., Santili, implementasi REDD+ di Provinsi Riau.
M., Ray, D., Schlesinger, P., . . . Rolla, A. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 10(2),
(2006). Inhibition of Amazon deforestation 149-165.
and fire by parks and indigenous lands. Suich, H., Lugina, M., Muttaqin, M. Z., Alviya, I., &
Conservation Biology, 20, 65-73. Sari, G. K. (2016). Payments for ecosystem
Nurtjahjawilasa, Duryat, K., Yasman, I., Septiani, ervices in Indonesia. Oryx International
Y., & Lasmini. (2013). Konsep REDD+ dan Journal of Conservation, 1,1-9.
implementasinya. (Modul). Jakarta: The Natur Sunderlin, W. D., & Atmadja, S. (2004). Is REDD+
Conservacy Program Terestrial Indonesia. an idea whose time has come, or gone? In A.
Ostrom, E. (1999). Self-governance and forest Angelsen. Realising REDD+ national stratey
resources. In P.J. Shah & V. Maitra. (Eds.). and policy option (pp 45-53). Bogor: CIFOR.
Terracotta reader. A market approach to

36
Upaya Penurunan Emisi Karbon Berbasis Masyarakat di Hutan Berfungsi Lindung .............(Iis Alviya, Muhammad Zahrul
Muttaqin, Mimi Salminah & Faridh Almuhayat Uhib Hamdani)

Terborgh, J. (1999). Requiem for nature. Washington Wunder, S. (2008). Payments for environmental
DC: Island Press. services and the poor: Concepts and
UNEP-WCMC. (2004). Defining protected area preliminary evidence. Environmental
management categories. Retrieved 20 Development Economic, 13(3), 279-297.
September 2017 from http://www.unep-cmc. Zhou, M. (2015). Adapting sustainable forest
org/index.html? http://www.unep-wcmc.org/ management to climate policy uncertainty:
protected_areas/categories/~main. A conceptual framework. Forest Policy and
Western, D. (1997). In the dust of Kilimanjaro. Economics, 59, 66-74.
Washington DC: Island Press.

37
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018

38
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54
p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

PERAN ILMUWAN DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN FISKAL


HIJAU: STUDI KASUS PROVINSI JAMBI
(The Role of Scientists in Green Fiscal Policy Formulation: Case Study in Jambi)

Fitri Nurfatriani1, Dudung Darusman2, Dodik Ridho Nurrochmat2, Ahmad Erani Yustika3,
& Fentie Salaka1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim.
Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16118 Indonesia,
E-mail: nurfatriani@yahoo.com; fentiesalaka@gmail.com
2
Fakultas Kehutanan IPB, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Dramaga, Bogor, Indonesia
E-mail: dudungdarusman@gmail.com; dnrochmat@yahoo.com
3
Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya,
Jl. MT. Haryono 165 Malang, Indonesia
E-mail: ahmaderani@gmail.com

Diterima 5 Juli 2017, direvisi 23 Maret 2018, disetujui 27 Maret 2018.

ABSTRACT

Forest functions as a provider of environmental services and non-timber forest products (NTFP) should be
considered in the fiscal transfer mechanism of central and local governments. Thus, it is necessary to shift the
direction of fiscal policy in the forestry sector from timber revenue to green fiscal policy. The preparation of the
green fiscal policy framework requires a series of stages analysis: policy instruments, stakeholder and the role of
scientists in the formulation of green fiscal policy. The objective of this study is to analyze the role and influence
of scientists in green fiscal policy making. Scientists are expected to be a bridge so that the concept of green fiscal
funding policy can be formulated and implemented based on scientific theories. This research was conducted in
Jambi Province. Data collection and information was done through interview, observation and literature study.
Data were analyzed using scientist classification matrix that influenced the policy making process based on the level
of independence and its influence. The results showed that the role and position of scientists in green fiscal policy
making is divided into the honest broker of policy alternative and advocate issues,. The influence of scientists is
limited to the preparation of academic texts.

Keywords: Scientists role; policy making; green fiscal.

ABSTRAK

Fungsi hutan sebagai penghasil jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) perlu dipertimbangkan
dalam mekanisme transfer fiskal pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian perlu adanya pergeseran arah
kebijakan fiskal di sektor kehutanan dari hanya berlandaskan pada penerimaan dari pemanfaatan kayu ke arah
kebijakan fiskal hijau. Penyiapan kerangka kerja kebijakan fiskal hijau memerlukan serangkaian tahapan analisis
yaitu instrumen kebijakan, analisis para pihak dan analisis peran ilmuwan dalam perumusan kebijakan fiskal hijau.
Tujuan penilitian ini adalah untuk menganalisis peran dan pengaruh ilmuwan dalam penyusunan kebijakan fiskal
hijau. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Provinsi Jambi. Pengumpulan data dan informasi
dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara, observasi dan studi literatur. Peran ilmuwan dalam proses
pembuatan kebijakan dianalisis menggunakan matriks klasifikasi scientist yang memengaruhi proses pembuatan
kebijakan berdasarkan tingkat independensi dan pengaruhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran dan
posisi ilmuwan dalam pembuatan kebijakan fiskal hijau terbagi atas honest broker of policy alternative serta
issue advocate. Pengaruh para ilmuwan sebatas dalam perjalanan akademik saja yaitu ketika penyusunan naskah
akademi.

Kata kunci: Peran ilmuwan; pembuatan kebijakan; fiskal hijau.

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2017.14.2.39-54 39
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

I. PENDAHULUAN tetapi termasuk di dalamnya fungsi lingkungan


Kebijakan fiskal kehutanan saat ini masih sebagai pencegah erosi, sedimentasi, tata air,
bersifat eksploitatif dengan menitikberatkan keanekaragaman hayati, dan kemampuan
pada fungsi produksi hutan, hal ini tergambar penyerapan karbon (Nurfatriani, Darusman,
dalam mekanisme dana bagi hasil kehutanan Nurrochmat, & Yustika, 2015b).
sebagai sistem fiskal antara pemerintah Kebijakan fiskal hijau diartikan sebagai
pusat dan daerah. Penyebab tingginya serangkaian instrumen fiskal yang dapat
tingkat kerusakan hutan Indonesia salah meningkatkan pendapatan sekaligus juga
satunya dipicu oleh diberlakukannya mencapai tujuan pemeliharaan lingkungan.
kebijakan desentralisasi di Indonesia dengan Kebijakan fiskal hijau dapat menjadi
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 instrumen penting dalam model pembangunan
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah rendah karbon sektor kehutanan. Menurut
yang disertai dengan Undang-Undang Nomor Nurrochmat, Solihin, Ekayani, & Hadianto
25 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti (2009) secara makro, nilai Produk Domestik
menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun Bruto (PDB) hijau diperkirakan akan lebih
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara tinggi dibandingkan PDB konvensional
Pemerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan jika seluruh nilai jasa lingkungan
desentralisasi ini memicu pemerintah daerah diperhitungkan dalam neraca pembangunan.
untuk meningkatkan penerimaan daerah Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk
khususnya bagi daerah yang memiliki sumber menjamin terselenggaranya pembangunan
daya hutan melalui kegiatan eksploitasi berkelanjutan, diperlukan adopsi kebijakan
sumber daya hutan yang masif (Nurfatriani, PDB hijau sebagai neraca pendamping dari
Darusman, Nurrochmat, Yustika, & Muttaqin, PDB konvensional (Nurrochmat et al., 2009).
2015b). Fungsi hutan sebagai penghasil Arah pergeseran kebijakan fiskal
jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu kehutanan menuju terwujudnya kebijakan
(HHBK) perlu dipertimbangkan dalam fiskal hijau membutuhkan kajian mendalam
mekanisme transfer fiskal pemerintah atas kerangka infrastruktur kebijakan dan
pusat dan daerah. Dengan demikian perlu penyiapan instrumen-instrumen kebijakannya,
adanya pergeseran arah kebijakan fiskal di para aktor dan perannya dalam perumusan
sektor kehutanan dari hanya berlandaskan kerangka kebijakan fiskal hijau dan skema
pada penerimaan dari pemanfaatan kayu kebijakan pemungkin agar kebijakan fiskal
dengan mempertimbangkan fungsi jasa hijau dapat berjalan. Hal tersebut diperlukan
lingkungan dan HHBK hutan. Hal ini perlu agar kerangka infrastruktur kebijakan fiskal
dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi hijau memenuhi kaidah keadilan dan tidak
kerusakan sumber daya hutan sehingga mematikan kegiatan pembangunan yang
upaya peningkatan penerimaan daerah dari masih dibutuhkan oleh banyak daerah.
perluasan pemanfaatan hutan selain kayu Dengan demikian perlu penyiapan kerangka
akan sesuai dengan rasionalitas prinsip infrastruktur kebijakan fiskal hijau melalui
keadilan dari aturan dana perimbangan serangkaian tahap, salah satunya yaitu analisis
sekaligus mempertahankan keberadaan hutan. peran ilmuwan dalam perumusan kebijakan
Pergeseran arah kebijakan fiskal menuju fiskal hijau. Diharapkan peran ilmuwan
terwujudnya kebijakan fiskal hijau (OECD, dapat menjembatani agar konsep kebijakan
2005; UNEP, 2010; World Bank, 2005) pendanaan fiskal hijau dapat dirumuskan dan
diharapkan dapat mengatur optimalisasi diimplementasikan berbasiskan teori-teori
manfaat hutan secara menyeluruh, tidak hanya ilmiah. Kesenjangan atau kekurangan yang
manfaat sebagai penghasil produk kayu akan saat ini terjadi dalam implementasi kebijakan

40
Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau.....................(Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho
Nurrochmat, Ahmad Erani Yustika, dan Fentie Salaka)

fiskal kehutanan diharapkan dapat diwarnai yang khusus. Model stakeholder merupakan
dengan adanya peran ilmuwan dalam proses alternatif model selain model linear
pembuatan kebijakan. dalam menguraikan hubungan antara ilmu
Dalam tulisan ini disajikan hasil kajian pengetahuan dengan pengambilan keputusan.
tentang peran ilmuwan dalam mendukung Model stakeholder menyatakan bahwa
proses perumusan kebijakan fiskal hijau tidak hanya pengguna ilmu pengetahuan
sehingga kebijakan yang disusun dapat harus terlibat dalam menghasilkan ilmu
berbasiskan keilmuan (Pielke, 2007). Dari pengetahuan, tetapi juga pertimbangan bahwa
tulisan ini diharapkan dapat diperoleh bagaimana ilmu pengetahuan digunakan
gambaran perumusan kebijakan fiskal hijau dalam pengambilan kebijakan adalah aspek
yang tepat antara opsi pemanfaatan sumber penting dalam pemahaman efektifitas ilmu
daya hutan yang berorientasi ekonomis versus pengetahuan dalam pengambilan kebijakan.
manfaat ekologis dengan berdasarkan pada Pielke (2007) menguraikan klasifikasi
masukan dari ilmuwan. peran scientist dalam proses pembuatan
kebijakan berdasarkan kombinasi dari empat
II. METODE PENELITIAN konsep diatas, sebagaimana berikut:
A. Kerangka Pikir Penelitian 1. Pure scientist: yaitu ilmuwan yang hanya
Dalam proses pembuatan kebijakan, memfokuskan pada penelitian ilmiah
pengambil kebijakan seringkali didukung saja tanpa mempertimbangkan kegunaan
oleh scientist untuk menyiapkan naskah nyata dari hasil penelitian ilmiah tersebut.
akademik yang mendukung suatu kebijakan. Sebagai contoh ilmuwan menghasilkan
Mengutip Pielke (2007) ilmu pengetahuan karya ilmiah hanya untuk kepentingan
memiliki keterkaitan yang erat dengan publikasi ilmiah saja tanpa berpengaruh
kebijakan dan berperan sebagai sumber terhadap proses perumusan kebijakan.
daya kunci untuk memfasilitasi keputusan Pure scientist tidak memiliki pengaruh
sulit yang melibatkan berbagai kepentingan terhadap proses perumusan kebijakan.
di masyarakat dan ilmuwan yang bekerja di 2. Science arbiter: yaitu ilmuwan yang
ranah ilmu pengetahuan perlu memposisikan menjadi narasumber ilmiah bagi para
dirinya dalam proses perumusan kebijakan pengambil kebijakan. Science arbiter
dan politik. fokus pada issue atau masalah yang dapat
Dalam mengklasifikasi peran para ilmuwan dipecahkan oleh ilmu pengetahuan, yang
tersebut Pielke (2007) mendasarkan pada berasal dari pertanyaan-pertanyaan para
dua pandangan prinsip yaitu 1) peran ilmu pengambil kebijakan. Jenis pertanyaan
pengetahuan dalam masyarakat, dan 2) peran yang akan dijawab secara keilmuan
para ahli dalam demokrasi. oleh science arbiter hanya pertanyaan
Prinsip lain yang digunakan (Pielke, positif, dan menghindari pertanyaan
2007) adalah peran ilmu pengetahuan dalam normatif. Dengan demikian science
masyarakat. Berdasarkan pandangan ini arbiter terhindar dari konflik politik, lebih
Pielke (2007) menggunakan dua konsep yaitu mengarah kepada penyedia informasi bagi
model linear dan model stakeholder. Model pengambil kebijakan melalui penelitian
linear terdiri atas dua bentuk utama yaitu 1) atau penilaian terkait tapi tidak terikat
model umum mengenai bagaimana membuat dengan para stakeholder yang terlibat
keputusan terkait ilmu pengetahuan dengan dalam perumusan kebijakan.
menekankan pentingnya penelitian dasar, 3. Issue advocate: yaitu scientist yang fokus
dan 2) sebagai petunjuk khusus untuk peran pada implikasi hasil penelitian untuk
ilmu pengetahuan dalam konteks keputusan agenda politik tertentu. Policy advocate

41
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

akan menyatu dengan kelompok yang Untuk menggambarkan klasifikasi


memperjuangkan kepentingannya melalui peran scientist dalam perumusan kebijakan
perumusan kebijakan. Di samping itu berdasarkan pandangan peran ilmu
policy advocate mengakui bahwa ilmu pengetahuan dalam masyarakat dan peran
pengetahuan harus dikaitkan dengan para ahli dalam demokrasi dapat dilihat pada
para pengambil kebijakan sehingga Gambar 1.
mereka turut ambil bagian dalam proses Masing-masing kategori scientist
perumusan kebijakan. Policy advocate dapat berperan sesuai karakteristiknya.
akan mempersempit cakupan pilihan Issue advocate dapat membantu proses
alternatif kebijakan yang ditawarkan. perumusan kebijakan melalui advokasi yang
4. Honest broker of policy alternatives: intensif atas suatu issue tertentu. Dalam
yaitu scientist yang terlibat secara melakukan advokasinya issue advocate
langsung dalam pengambilan kebijakan harus berlandaskan pada argumentasi ilmiah
dengan tugas untuk mengklarifikasi dan yang dihasilkan oleh pure scientist sehingga
memperluas cakupan pilihan kebijakan advokasi yang dilakukan bersifat ilmiah.
untuk para pengambil kebijakan. Honest Seringkali ada kesenjangan dimana issue
broker of policy alternatives bertujuan advocate melakukan advokasi tanpa dasar-
mengintegrasikan ilmu pengetahuan dasar ilmiah yang kuat, sedangkan pure
dengan pemikiran stakeholder dalam scientist seringkali menghasilkan hasil-hasil
bentuk pilihan serangkaian tindakan penelitian ilmiah tetapi tidak berkeinginan
yang memungkinkan. Karena meliputi untuk memengaruhi pembuatan kebijakan.
serangkaian tindakan yang diusulkan Dengan demikian perlu peran honest broker
maka honest broker of policy alternatives yang bisa menjembatani untuk mengisi
umumnya merupakan suatu tim atau kesenjangan tersebut.
kelompok berwenang yang anggotanya Berikutnya, Pielke (2007) mengemukakan
memiliki beragam disiplin ilmu. kriteria untuk menentukan peran ilmuwan

View of Science
Linear Model Stakeholder Model
Madison

Pure scientist Issue advocate


View of democracy

Schattschneider

Honest broker of
Science arbiter
policy alternatives

Sumber (Source): Pielke, 2007

Gambar 1. Peran scientist dalam perumusan kebijakan


Figure 1. The role of scientists in policy formulation.

42
Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau.....................(Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho
Nurrochmat, Ahmad Erani Yustika, dan Fentie Salaka)

Sumber (Source): Pielke, 2007


Gambar 2. Diagram alir kerangka logis peran ilmuwan dalam pengambilan kebijakan (Pielke, 2007).
Figure 2. Diagram on the logical framework of the role of scientists in policy making(Pielke, 2007)

dalam pengambilan kebijakan dan politik. Dua seperti ini ilmuwan akan lebih efektif berperan
faktor penting yang perlu dipertimbangkan sebagai issue advocate dan honest broker.
ketika ilmuwan atau organisasi keilmuan Dengan melihat uraian mengenai tim ahli
menghadapi pilihan bagaimana melibatkan yang dibentuk dalam perumusan kebijakan
diri dalam kebijakan dan politik, yang atau revisi peraturan perundangan, dapat
pertama adalah tingkat kesepakatan atas diketahui bahwa terdapat beberapa peran
suatu issue tertentu, sedangkan faktor kedua yang dimainkan oleh para ilmuwan dalam
adalah tingkat ketidakpastian pada konteks perumusan kebijakan fiskal hijau. Beberapa
keputusan tertentu. Kerangka logis untuk revisi peraturan perundangan tersebut
menentukan peran ilmuwan dalam kebijakan bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan
dan politik dapat dilihat pada Gambar 2. Dari hutan dan pengelolaan penerimaan dari
bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa kehutanan agar dapat berfungsi secara optimal
ketidakpastian ilmiah mempersulit peran bagi kelestarian hutan.
ilmuwan dalam pengambilan kebijakan.
Pada kasus dimana nilai-nilai disebarkan dan B. Pengumpulan dan Analisis Data
ketidakpastian secara ilmiah dapat dikurangi Penelitian ini merupakan suatu studi
atau setidaknya dapat diketahui, ilmuwan dapat kasus yang dilakukan di Kabupaten Tanjung
berperan sebagai pure scientist atau science Jabung Timur, Provinsi Jambi pada bulan Juli
arbiter. Tetapi ketika nilai-nilai dibagikan 2013 sampai dengan Desember tahun 2014.
secara luas dan ketidakpastian ilmiah sangat Lokasi tersebut dipilih karena Kabupaten
tinggi maka fokus lebih pada ketidakpastian Tanjung Jabung Timur memiliki potensi hasil
ilmiah daripada proses pengambilan jasa lingkungan tinggi dari Taman Nasional
kebijakan karena faktor-faktor di luar ilmu (TN) Berbak, hutan lindung gambut, dan
pengetahuan akan menjadi faktor terpenting Cagar Alam (CA) Bakau Pantai Timur.
dalam pengambilan kebijakan. Dalam situasi Di samping itu masih terdapat kawasan

43
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

hutan produksi dan areal perkebunan seluas Lingkungan Hidup (sekarang Kementerian
26% dari total area kabupaten sehingga Lingkungan hidup dan Kehutanan), dinas
terbuka pilihan-pilihan untuk pemanfaatan kehutanan provinsi dan kabupaten, badan
hasil hutan yang berorientasi kayu atau perencanaan dan pembangunan daerah
jasa lingkungan. Saat ini TN Berbak juga (Bappeda), badan pengelola keuangan
menjadi salah satu demonstration activity dan asset daerah. Sementara itu, data
untuk kegiatan REDD+, dan menjadi model primer dikumpulkan melalui observasi dan
untuk implementasi skema debt for nature wawancara dengan beberapa narasumber/
swaps yaitu penghapusan hutang pemerintah informan kunci. Data dan informasi yang
Indonesia kepada pemerintah Amerika Serikat dikumpulkan terkait para aktor dan perannya
melalui kegiatan konservasi hutan melalui dalam pembuatan kebijakan fiskal adalah
program "Tropical Forest Conservation Action aktor yang terlibat, kepentingan para aktor
for Sumatra" (TFCA-Sumatra). Dengan tersebut dan pengaruhnya serta mekanisme
demikian Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam memengaruhi perancangan kebijakan
menjadi relevan sebagai lokasi penelitian, fiskal hijau, dan output yang dihasilkan.
mengingat beberapa skema pendanaan jasa Untuk menganalisis peran scientist
lingkungan telah diinisiasi di kabupaten ini. dalam proses pembuatan kebijakan
Data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan matriks klasifikasi scientist yang
terdiri atas data primer dan data sekunder. memengaruhi proses pembuatan kebijakan
Data sekunder tentang kebijakan fiskal berdasarkan tingkat independensi dan
berupa dokumen-dokumen dikumpulkan pengaruhnya (Nurrochmat, Darusman, &
dari Kementerian Keuangan, Kementerian Ekayani, 2010). Matriks klasifikasi scientist
Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan ini diadopsi dan dimodifikasi dari Pielke
hidup dan Kehutanan), Kementerian (2007). Matriks ini dibagi menjadi empat

Sumber (Source): Dimodifikasi dari Nurrochmat et al., 2010


Gambar 3. Matriks peran scientist dalam perumusan kebijakan berdasarkan tingkat independensi dan
pengaruhnya.
Figure 3. Matrix of scientist role in the formulation of policies based on the level of independence and influence.

44
Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau.....................(Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho
Nurrochmat, Ahmad Erani Yustika, dan Fentie Salaka)

kuadran berdasarkan tingkat pengaruh dan hijau maka untuk merumuskan kebijakan
independensi. Berdasarkan klasifikasi peran fiskal hijau selanjutnya perlu peningkatan
scientist dalam proses pembuatan kebijakan peran scientist menjadi honest broker sehingga
sebagaimana ditulis di bagian kerangka berpengaruh tinggi dalam proses perumusan
pemikiran di atas menurutPielke (2007), maka kebijakan fiskal hijau. Untuk membawa ranah
posisi peran scientist berdasarkan tingkat akademis dalam pembuatan kebijakan salah
independensi dan pengaruhnya adalah sebagai satunya adalah dengan menjadikan scientist
berikut: kuadran I untuk kategori honest sebagai salah satu aktor dalam pembuatan
broker of policy alternative, kuadran II adalah kebijakan. Karena selama ini scientist
untuk science arbiter, kuadran III untuk issue memiliki interest yang tinggi terhadap suatu
advocate dan kuadran IV adalah untuk pure masalah tetapi memiliki power yang rendah
scientist. Secara lebih lengkap matriks peran dalam memengaruhi pembuatan kebijakan.
scientist dalam perumusan kebijakan dapat Scientist yang berperan sebagai honest
digambarkan pada Gambar 3. broker sebagaimana dijelaskan Pielke (2007)
Dalam tulisan ini disajikan hasil kajian akan menjadi narasumber utama pengambil
peran dan posisi ilmuwan dalam pembuatan kebijakan yang umumnya dalam bentuk tim
kebijakan fiksal hijau berdasarkan tingkat ahli di tiap kementerian.
independensi dan pengaruh ilmuwan yang
diukur dari seberapa jauh keterlibatan III. HASIL DAN PEMBAHASAN
ilmuwan dalam perumusan kebijakan yaitu A. Keterlibatan Ilmuwan dalam
keterlibatannya dalam tim penyusunan/ Penyusunan Kebijakan Fiskal
revisi undang-undang/peraturan pemerintah/ Kehutanan
peraturan menteri/peraturan direktur jenderal Dari hasil analisis pemangku kepentingan
(Dirjen). diketahui peran akademisi atau ilmuwan dalam
Derajat pengaruh dan independensi perumusan kebijakan fiskal hijau memiliki
ilmuwan dalam perumusan kebijakan fiskal pengaruh yang rendah tetapi memiliki
hijau dinilai secara kualitatif dari hasil kepentingan yang tinggi untuk mendukung
wawancara, focus group discussion (FGD) tersusunnya kebijakan fiskal kehutanan
dan data sekunder. Pendekatan penilaian dan terimplementasinya pengaturan Dana
secara kualitatif ini telah dilakukan oleh Bagi Hasil (DBH) kehutanan dan pungutan
Muttaqin (2012) dan Hero (2012). Tingkat kehutanan yang mendukung kelestarian
pengaruh dan independensi ilmuwan hutan serta kesejahteraan masyarakat. Hal
diklasifikasikan menjadi rendah, sedang dan ini disebabkan karena lembaga Zoological
tinggi menggunakan kriteria yang diadopsi Society of London (ZSL) dan Universitas Jambi
dari Overseas Development Administration sebagai perwakilan dari akademisi di Provinsi
(1995), Grimble (1998) serta Eden & Jambi hanya berperan sebagai advokator
Ackermann (1998) sebagaimana ditulis dalam dan fasilitator agar terwujud pengelolaan
Nurfatriani et al., (2015a). hutan dan pengelolaan fiskal kehutanan
Setelah diketahui dimana posisi ilmuwan yang lebih mengarah kepada kelestarian
dalam pembuatan kebijakan fiskal hijau hutan, pemanfaatan jasa lingkungan,
berdasarkan teori Pielke maka ditransformasi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK)
dalam bentuk matriks peran scientist dalam dan menyejahterakan masyarakat sekitar
perumusan kebijakan. Menurut Pielke (2007) hutan (Nurfatriani, Darusman, Nurrochmat,
scientist berperan dalam pembuatan kebijakan, & Yustika, 2015).
untuk itu jika peran scientist masih sebatas pure Ilmu pengetahuan memiliki keterkaitan
scientist dalam pembuatan kebijakan fiskal yang erat dengan kebijakan dan berperan

45
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

sebagai sumber daya kunci untuk memfasilitasi pertimbangan ilmiah atas substansi dalam
keputusan sulit yang melibatkan berbagai RUU. Di samping itu terdapat pula anggota
kepentingan di masyarakat (Pielke, 2007). legislatif yang merupakan ilmuwan atau
Untuk itu, ilmuwan perlu berpartisipasi akademisi. Akan tetapi ketika mereka telah
secara aktif dalam debat kebijakan, proses menjadi anggota legislatif mereka otomatis
pengambilan kebijakan yang membutuhkan telah mewakili partai politik tempat mereka
informasi ilmiah di tingkat nasional, lokal bernaung. Dengan demikian teori-teori
maupun internasional sebagai contoh dalam ilmiah yang menjadi landasan dalam naskah
kebijakan lingkungan (Boehlert, 2007). Hal akademik juga ditelaah dalam pembahasan
ini mencoba menjawab fenomena yang RUU di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR.)
diungkapkan oleh Jones, Jones, & Walsh Dari hasil analisis dan pengamatan di lapangan,
(2008) mengenai penyebab ilmu pengetahuan di bawah ini terdapat beberapa contoh tim ahli
gagal memengaruhi kebijakan. Menurut yang dibentuk dalam perumusan kebijakan
Jones et al. (2008) penyebab yang memiliki atau revisi peraturan perundangan fiskal hijau:
persentase tertinggi adalah pemahaman 1. Tim ahli yang dibentuk oleh Kementerian
keilmuan dari pembuat kebijakan masih rendah Kehutanan (sekarang Kementerian
(64%). Dengan demikian peran ilmuwan Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk
sangat diperlukan untuk menjembatani agar merevisi beberapa peraturan perundangan
konsep kebijakan dapat dirumuskan dan
diimplementasikan berbasiskan teori-teori Kementerian Kehutanan telah membentuk
ilmiah. tim revisi beberapa peraturan perundangan
Dalam perumusan kebijakan atau seperti revisi Peraturan Pemerintah (PP)
revisi peraturan perundangan diperlukan Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif Jasa Jenis
keterlibatan ilmuwan sebagai tim ahli Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku
penyusun naskah akademik. Hal ini sesuai pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun sehingga direvisi menjadi PP Nomor 12
2011 tentang Pembentukan Peraturan Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas
Perundang-undangan. Dalam undang-undang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
itu diatur bahwa selain perancang peraturan Berlaku pada Kementerian Kehutanan, PP
perundang-undangan tahapan pembentukan Nomor 35/2002 tentang Dana Reboisasi dan
undang-undang, peraturan daerah provinsi, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
dan peraturan daerah kabupaten/kota Nomor P.18/Menhut-II/2007 tentang Petunjuk
mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli. Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, dan
Umumnya tim ahli tersebut terdiri dari Pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan, dan
akademisi dari universitas, para expert dari Dana Reboisasi. Dalam merevisi PP Nomor
kalangan mantan birokrat maupun umum, 59 Tahun 1998 dan PP Nomor 35 Tahun 2002
peneliti dari lembaga penelitian pemerintah, ini, Kementerian Kehutanan menjadi institusi
dan peneliti dari lembaga penelitian non teknis yang bertanggungjawab dalam revisi
pemerintah. Mereka dibentuk sebagai tim substansi PP tersebut. Tim revisi ini bersifat
pakar yang memberikan saran dan masukan ad hoc dan dibentuk untuk mendukung proses
ilmiah terkait kebijakan yang sedang dibuat. revisi peraturan pemerintah. Anggota dari tim
Berdasarkan hasil wawancara dengan revisi ini umumnya terdiri dari para akademisi
narsumber dari anggota legislatif, dalam dari Universitas Gajah Mada, Institut
pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanian Bogor, Universitas lainnya, peneliti
(RUU) mengenai kebijakan fiskal didatangkan dan perwakilan dari direktorat jenderal terkait.
pula para akademisi dan ilmuwan dari Dalam mereview peraturan pemerintah juga
beberapa institusi sebagai pakar yang memberi dilibatkan tim pereview antar kementerian.

46
Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau.....................(Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho
Nurrochmat, Ahmad Erani Yustika, dan Fentie Salaka)

Sebagai contoh dalam revisi PP Nomor 35 juga menentukan revisi substansi peraturan
Tahun 2002 Sekretaris Jenderal Kementerian perundangan tersebut.
Kehutanan meminta kepada Sekretaris 2. Tim ahli yang dibentuk Kemenkeu untuk
Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dan merevisi UU Nomor 33 Tahun 2004
Kementerian Keuangan untuk memberikan
nama anggota tim pereview setingkat eselon Sejak tahun 2003 Kementerian Keuangan
dua atau direktur. telah membentuk Tim Asistensi Kementerian
Umumnya dalam revisi PP atau Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal
Permenhut, direktorat jenderal teknis diminta (TADF), yang terdiri dari para akademisi
untuk melakukan kajian mengenai substansi perguruan tinggi terkemuka seperti
isi aturan-aturan tersebut. Sebagai contoh Universitas Indonesia, Institut Pertanian
dalam proses revisi PP Nomor 35 Tahun Bogor, Universitas Gajah Mada, Universitas
2002 tentang Dana Reboisasi, Direktorat Brawijaya, Universitas Tanjungpura,
Jenderal Bina Usaha Kehutanan diminta Universitas Andalas, Universitas Hasanudin,
untuk mengkaji pemungutan Dana Reboisasi Universitas Syahkuala, Universitas
(DR) sementara Direktorat Jenderal Bina Cendrawasih dan pakar desentralisasi fiskal.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Tim ini bersifat independen dan dibentuk
Perhutanan Sosial mengkaji penggunaannya. dengan tujuan untuk dapat memberikan
Bahan untuk kajian dan revisi berasal dari rekomendasi dan second opinion kepada
input-input setiap daerah yang mempunyai Kementerian Keuangan atas berbagai
persoalan dalam penggunaan DR, kemudian permasalahan di bidang desentralisasi fiskal.
setiap penanggungjawab memberikan draft Dengan demikian ditinjau dari aspek normatif
revisi dan dibahas di masing-masing direktorat dan akademis tim ini diperlukan untuk menjaga
jenderal yang difasilitasi oleh bagian hukum agar dinamika kebijakan yang berkembang
masing-masing. Setelah pembahasan disetiap tidak jauh menyimpang dari jalur norma, teori
direktorat jenderal teknis, kemudian dibahas dan best practice yang berlaku umum (Ditjen
di tingkat kementerian yang difasilitasi oleh Perimbangan Keuangan, 2013).
Biro Hukum Kementerian Kehutanan sampai Peran utama TADF sendiri seperti
dengan selesai. dipaparkan oleh Ditjen Perimbangan
Tahapan pembahasan revisi peraturan di Keuangan adalah sebagai berikut:
atas adalah di tingkat internal Kemenhut, 1) Memberikan rekomendasi (second
selanjutnya dalam proses konsultasi publik opinion) kepada Menteri Keuangan atas
dilibatkan para akademisi/ilmuwan. Peran berbagai kebijakan di bidang desentralisasi
para akademisi/ilmuwan adalah sebagai fiskal yg telah dan akan diambil oleh
narasumber dan pakar yang memberikan Kemenkeu ataupun isu strategis lain yg
masukan ilmiah terkait naskah akademis terkait dengan desentralisasi fiskal.
revisi peraturan perundangan tersebut. Tim 2) Mendorong aspek partisipatif dalam
revisi ini menjalankan tugasnya dalam rapat- penyusunan kebijakan desentralisasi
rapat pembahasan, konsultasi publik dan fiskal.
pembahasan di Kementerian Hukum dan 3) Meningkatkan kapasitas SDM internal
HAM. Tim ini bersifat independen, akan tetapi Kementerian Keuangan (transfer of
tidak semua masukan ilmiah dari tim pakar knowledge).
diakomodasi dalam proses revisi peraturan Salah satu keluaran yang dihasilkan TADF
perundangan ini. Hal ini disebabkan karena adalah berperan dalam penyusunan naskah
dalam pembahasannya banyak juga masukan akademis UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
dari praktisi yaitu para pelaksana kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
di tiap direktorat jenderal yang berperan Pusat dan Daerah dan naskah akademis revisi

47
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

UU Nomor 33 Tahun 2004. Keluaran lainnya khususnya untuk pembuatan UU kepentingan


berupa rekomendasi kebijakan di bidang politik yg dominan. Hal ini akan dibicarakan
desentralisasi fiskal. Naskah akademik dan lebih lanjut dalam bab berikut.
rekomendasi kebijakan yang dihasilkan 4. Tim asistensi Gubernur Jambi
menggunakan metode yang berdasarkan
kepada scientific judgment. Dengan demikian Pemerintah Provinsi Jambi telah
peran TADF ini sudah mewarnai proses membentuk Tim Asistensi Gubernur Jambi
pembuatan kebijakan yang bernuansa ilmiah. yang bertugas untuk menyediakan data dan
Meskipun demikian dari hasil wawancara informasi yang menjadi landasan Gubernur
dengan narasumber, tidak selamanya apa dalam mengambil kebijakan. Tim asistensi
yang direkomendasikan TADF ini diambil gubernur ini bersifat independen dan sudah
dan dilaksanakan oleh pengambil kebijakan berperan dalam merekomendasikan beberapa
di Kemenkeu, dan apabila ada penyimpangan kebijakan seperti Rencana Pengelolaan Jangka
atau kesalahan dari kebijakan yang Menengah Daerah (RPJMD), Strategi Rencana
diambil tidak semua berasal dari kesalahan Aksi Provinsi reduction emission deforestation
rekomendasi kebijakan TADF. Terlebih and degradation (SRAP REDD+), Kebijakan
apabila rumusan kebijakan tersebut telah Lingkungan Hidup Strategis (KLHS),
dibahas di parlemen. Pada dasarnya TADF Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
bersifat independen. Menkeu yang lebih pembangunan pelabuhan samudra. Tim
bersifat terikat dengan Kemenkeu, TADF asistensi gubernur ini terdiri atas akademisi
tidak terikat untuk selalu mempertimbangkan dari Universitas Jambi, dan mantan birokrat
preferensi Kemenkeu dalam menghasilkan sesuai keahliannya (Bappeda, hukum,
rekomendasi kebijakannya. pemerintahan, infrastruktur, ekonomi). Akan
tetapi tim asistensi gubernur ini hanya sebatas
3. Tim ahli yang dibentuk Kemendagri untuk memberikan masukan ilmiah terkait kebijakan
merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang akan diambil Gubernur. Keputusan akhir
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang yang diambil tetap di tangan Gubernur.
Pemerintahan Daerah telah direvisi menjadi Untuk beberapa kebijakan tertentu
UU Nomor 23 Tahun 2014. Proses revisi seperti penyiapan Provinsi Jambi dalam
UU tersebut melibatkan tim ahli yang terdiri implementasi REDD+ dibantu oleh para
dari akademisi dari UI, UGM, Universitas ilmuwan dari beberapa NGO (Non-
Brawijaya dan pakar desentralisasi Governmental Organization) dan lembaga
pemerintahan. Para akademisi mengawal penelitian seperti Warsi, ZSL, Flora Fauna
penyusunan naskah akademik dari revisi UU Indonesia, dan World Agroforestry Center
Nomor 32 Tahun 2004 ini sehingga revisi UU (ICRAF). Beberapa lembaga tersebut
Nomor 32 Tahun 2004 itu memiliki scientific berperan dalam pembentukan Komisi
judgement. Tim revisi UU Nomor 32 Tahun Daerah REDD+ Jambi dan penyiapan SRAP
2004 ini bersifat independen dan tidak terikat REDD+.Berdasarkan penjelasan narasumber,
pada institusi khusus. Pada saat proses ilmuwan dari lembaga-lembaga ini memiliki
awal penyusunan draft revisi UU Nomor 32 kelebihan dibandingkan dengan akademisi
Tahun 2004 dalam bentuk naskah akademis dari perguruan tinggi yang dianggap terlalu
masih berupa produk akademis karena masih teoritis dan terkadang terbatas pengetahuan
bersifat netral dan berlandaskan pada scientific lapangnya. Dengan menggabungkan unsur
judgement. Akan tetapi UU yang dikeluarkan akademisi dari perguruan tinggi dan NGO
setelah melalui proses pembahasan di lembaga ini secara keseluruhan sudah melibatkan
legislatif adalah produk politik. Dengan unsur civil society dalam penyusunan
demikian pada saat pengambilan keputusan kebijakan. Dengan melibatkan akademisi dan

48
Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau.....................(Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho
Nurrochmat, Ahmad Erani Yustika, dan Fentie Salaka)

ilmuwan untuk memberikan masukan kepada B. Peran Ilmuwan dalam Penyusunan


Gubernur, pengambilan kebijakan Gubernur Kebijakan Fiskal Hijau
menjadi lebih terintegrasi dan komprehensif Berdasarkan hasil analisis penelitian
dibandingkan jika kebijakan tersebut disusun dengan mengikuti kerangka logis Pielke
oleh Pemda saja karena hanya bersifat parsial. (2007) maka peran ilmuwan dalam perumusan
Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa kebijakan fiskal hijau bisa dilihat dari
ilmuwan dapat terlibat dalam serangkaian kesepakatan nilai dan tingkat ketidakpastian
pengambilan kebijakan khususnya yang secara ilmiah, sebagai berikut:
membutuhkan informasi ilmiah seperti 1. Honest Broker of Policy Alternative
kebijakan lingkungan, kesehatan, dan Para ilmuwan yang tergabung dalam
sebagainya (Boehlert, 2007). Hal ini dikuatkan tim-tim revisi dan penyusun peraturan
oleh Powers (2003) bahwa ilmuwan dapat perundangan termasuk dalam kategori honest
berkontribusi besar terhadap berbagai bidang broker of policy alternative. Peran ilmuwan
penelitian yang membahas masalah lingkungan yang terlibat dalam tim ini dibutuhkan untuk
sehingga dapat membantu memastikan memberi masukan secara ilmiah atas adanya
bahwa kebijakan akan berdasarkan pada ketidakpastian yang tinggi. Dengan kata lain
strategi berbasis ilmiah. Sementara itu Likens faktor-faktor di luar ilmu pengetahuan lebih
(2010) menyatakan bahwa untuk memandu mendominasi dalam perumusan kebijakan.
kebijakan terkait lingkungan secara efektif, Tim-tim revisi dan penyusun peraturan
ilmuwan berhadapan dengan tugas yang sulit perundangan ini memberikan masukan ilmiah
dan sangat krusial yaitu mengkomunikasikan berupa serangkaian pilihan kebijakan yang
informasi berdasarkan data ilmiah ke publik cakupannya diperluas untuk para pengambil
dan pengambil kebijakan. Bahkan Sarewitz kebijakan. Dalam menghasilkan masukan
& Pielke (1999) menyampaikan bahwa para ilmiahnya, mereka mengintegrasikan ilmu
pengambil kebijakan seringkali meminta pengetahuan dengan pemikiran stakeholder
ilmuwan untuk memprediksi kejadian, dalam bentuk pilihan serangkaian tindakan
dampak dan tingkat kerusakan yang terjadi yang memungkinkan. Meskipun terkait
pada peristiwa alam dan dampaknya pada langsung dalam proses pengambilan
manusia. Dalam masyarakat modern prediksi kebijakan akan tetapi keputusan akhir atas
ini berusaha mencapai dua tujuan yaitu kebijakan yang dikeluarkan tetap di tangan
menguji pemahaman ilmiah dan menempati pengambil kebijakan. Dalam hal ini untuk
posisi kewenangan dan legitimasi serta kebijakan berbentuk UU maka keputusan
berfungsi sebagai petunjuk potensial untuk akhir didominasi kepentingan politik di
pengambilan kebijakan (Sarewitz & Pielke, lembaga legislatif, sedangkan untuk kebijakan
1999). berbentuk PP dan peraturan menteri kebijakan
Lebih lanjut lagi Boehlert (2007) akhir didominasi oleh kepentingan sektor dan
menyatakan bahwa dalam pengambilan birokrasi terkait.
kebijakan, para pengambil kebijakan ingin
2. Issue Advocate
mendengar masukan dari ilmuwan karena
mereka menghadapi berbagai keputusan Untuk tim perumus kebijakan yang
secara teknis dan karena ilmu pengetahuan beranggotakan ilmuwan dari lembaga non
memiliki kekuatan dan cara untuk profit ataupun lembaga penelitian internasional
membentuk pertanyaan kebijakan. Fenomena seperti dalam Tim Asistensi Gubernur Jambi
ini menjadikan ilmu pengetahuan sebagai berperan sebagai issue advocate karena
senjata sebagaimana sebuah alat pengambilan fokus memperjuangkan suatu issue tertentu
kebijakan. sebagai contoh memberikan masukan ilmiah
terkait penyiapan implementasi REDD+ di

49
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

Jambi sebagai upaya pengurangan emisi dari kepentingan dan pemikiran stakeholder
deforestasi dan degradasi. Issue advocate akan yang digabungkan dengan pemikiran ilmiah
mempersempit cakupan pilihan alternatif dalam masukan-masukan ilmiahnya untuk
kebijakan yang ditawarkan dalam hal ini itu tingkat independensinya lebih rendah
mereka memperjuangkan agar REDD+ bisa daripada science arbiter. Science arbiter
berjalan di Jambi melalui proses penyiapan sangat independen karena tidak terikat
infrastrukturnya terlebih dahulu. Salah satu dalam interaksi yang mendalam dengan para
karakteristik lain dari issue advocate adalah stakeholder yang terlibat dalam perumusan
mereka akan menyatu dengan kelompok yang kebijakan. Science arbiter hanya memberikan
memperjuangkan kepentingannya melalui masukan berdasarkan pertanyaan positif dan
perumusan kebijakan. menghindari pertanyaan normatif sehingga
Jika dianalisis berdasarkan tingkat terhindar dari konflik politik.
pengaruh dan independensinya maka honest Sementera itu issue advocate memiliki
broker of policy alternatives memiliki indepensi dan pengaruh yang rendah dalam
tingkat independensi yang lebih rendah memengaruhi kebijakan karena mereka
daripada science arbiter dan tingkat pengaruh terikat pada kepentingan tertentu. Sebagai
yang tinggi dalam perumusan kebijakan contoh NGO yang terlibat dalam perumusan
sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 4. kebijakan terkait penyiapan implementasi
Hal ini disebabkan karena honest broker of REDD+ di Provinsi Jambi sangat intensif
policy alternatives terlibat langsung dalam menyuarakan pentingnya implementasi
perumusan kebijakan dengan memberikan REDD+ melalui serangkaian kegiatan yang
serangkaian pilihan kebijakan bagi pengambil telah dirancang oleh penyandang dana
keputusan. Mereka masih mempertimbangkan lembaga tersebut. Hal ini menjadikan mereka

Sumber (Source): Dimodifikasi dari Nurrochmat et al., 2010.

Gambar 4. Posisi peran ilmuwan dalam pembuatan kebijakan fiskal hijau.


Figure 4.Position of scientists role in green fiscal policy making.

50
Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau.....................(Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho
Nurrochmat, Ahmad Erani Yustika, dan Fentie Salaka)

mempersempit pilihan kebijakan yang peraturan tersebut adalah aparat pemerintah.


ditawarkan sehingga cenderung menjadi satu Maka masuklah unsur birokrasi, sehingga
pilihan kebijakan. Dari sisi pengaruh terhadap akademisi sudah tidak bisa melakukan apa-
kebijakan yang dihasilkan, mereka bisa apa lagi. Sehingga ada perjalanan akademik,
mewarnai keputusan yang akan diambil akan perjalanan birokrasi dan perjalanan politik”
tetapi keputusan terakhir sangat tergantung
kepada keputusan pimpinan daerah dan jajaran “Tidak semua masukan ilmiah dari
birokratnya sehingga pengaruhnya tidak akademisi kita terima dalam merevisi
terlalu nyata. Sebagai penutup dari bahasan peraturan pemerintah ataupun peraturan
mengenai peran dan posisi ilmuwan dalam menteri. Karena ada masukan-masukan
perumusan kebijakan fiskal hijau ini, dapat juga dari birokrat di setiap direktorat
dilihat bahwa pengaruh para ilmuwan sebatas jenderal sebagai praktisi di lapangan yang
dalam perjalanan akademik saja yaitu pada kadang tidak sejalan dengan masukan dari
pembahasan awal ketika penyusunan naskah akademisi”
akademik. Keputusan akhir yang dibuat Keterangan narasumber di atas diperkuat
pengambil kebijakan sangat dipengaruhi oleh oleh Pielke (2004) bahwa dalam banyak
unsur di luar ilmu pengetahuan seperti politik kasus ilmu pengetahuan tidak dapat memaksa
dan birokrasi. Hal ini dinyatakan oleh tiga keluaran politik tertentu seperti peraturan
narasumber sebagai berikut: perundangan. Hal itu dikarenakan pemahaman
ilmiah pada hakikatnya penuh ketidakpastian
“Undang-Undang itu produk politik bukan
atau cukup beragam untuk digunakan sebagai
produk akademis. Ketika awal membuat
pembenaran atas berbagai agenda politik yang
draft UU, itu merupakan produk akademis,
saling bersaing. Menurut Kartodihardjo (2008)
ada naskah akademisnya. Pemikirannya
perumusan kebijakan sangat jauh dari sekedar
netral. Begitu masuk ke lembaga legislatif itu
isu teknis, informasi akurat atas suatu sasaran
jadi produk politik. Disitulah debat antara
yang cukup jelas, melainkan melibatkan
akademisi dan politisi. Ketika kepentingan
pertentangan aktor-aktor yang terlibat.
politis dan argument akademis sejalan maka
Pielke menolak keterlibatan ilmuwan yang
diterimalah argument akademis itu. Tetapi
mempolitisasi ilmu pengetahuan. Menurutnya
jika saling berlawanan, maka kepentingan
meskipun pemahaman penggunaan ilmu
politik yg menang”
pengetahuan oleh para ilmuwan sebagai
“Sebuah kebijakan itu mempunyai sarana negosiasi untuk keluaran politik yang
perjalanan, yaitu perjalanan akademik, diinginkan - politisasi ilmu oleh para ilmuwan
perjalanan birokrasi kemudian perjalanan - mengancam pengembangan kebijakan yang
politik. Akademisi mengawal kebijakan efektif dalam beberapa isu tertentu.
pada tataran akademik, dari mulai membuat Untuk menekankan pentingnya
naskah akademik, setelah itu selesai tahapan ilmu pengetahuan dalam pengambilan
berikutnya bukan persoalan akademisi. keputusan membutuhkan kemampuan untuk
Karena setelah itu ada persoalan birokrasi membedakan dengan jelas antara kebijakan
dan persoalan politik. Pengaruh akademisi dan politik. Suatu kebijakan tertentu
tidak sampai ke situ. Jadi akademisi itu dibangun oleh peran aktif dari berbagai aktor–
membahas hal-hal ideal berdasarkan teori- akademisi, lembaga donor, politisi, NGO, dan
teori, kemudian tugas akademisi adalah lain-lain–serta jaringan yang dapat mereka
menjaga agar hal-hal ideal tersebut tertulis bangun, sehingga dapat memanfaatkan ruang
dalam draft kebijakan/UU/peraturan. yang tersedia dalam konteks, situasi, dan
Akademisi punya intervensi di situ. Tetapi waktu tertentu (Kartodihardjo, 2008). Dalam
yang bertanggungjawab dalam merevisi ilmu pengetahuan, perspektif kebijakan

51
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

menyiratkan peningkatan berbagai alternatif Hal senada juga diungkapkan oleh Khan,
kebijakan yang tersedia bagi para pengambil Kartodihardjo, Soedomo, & Darusman
kebijakan dengan menghubungkan status (2010) bahwa peran pengetahuan dan
pengetahuan ilmiah saat ini dengan berbagai ilmuwan hampir tidak bisa teridentifikasi
pilihan kebijakan. Tujuannya adalah untuk dalam proses konstruksi kebijakan usaha
meningkatkan kebebasan memilih bagi kehutanan, terutama untuk periode sebelum
pengambil kebijakan. Sebaliknya, dalam 1998. Menurut (Khan et al., 2010) proses
perspektif politik berusaha untuk mengurangi konstruksi kebijakan usaha kehutanan
berbagai alternatif kebijakan (seringkali selama ini tidak ditunjang secara memadai
pilihan kebijakan tunggal) yang tersedia untuk setidaknya oleh empat hal berupa (1) eratnya
para pembuat kebijakan, untuk membatasi keterkaitan ilmu/pengetahuan, dan keahlian
ruang lingkup pilihan kebijakan. Sebagai dengan kebijakan itu sendiri, (2) kepentingan
contoh mendukung atau menentang Protokol politik yang kondusif, (3) partisipasi publik
Kyoto (Pielke, 2004). yang suportif, dan (4) jaringan aktor dan
Hal ini juga bisa dijelaskan dalam teori mekanisme jejaringnya.
public choice yaitu teori yang menggambarkan Para aktor politik di lembaga legislatif
bagaimana pemerintah bekerja dalam tidak selalu sejalan dengan masukan ilmiah
penyusunan peraturan atau hukum publik dari para ilmuwan/akademisi yang disebabkan
dan bagaimana mengaplikasikannya. Teori karena berdasarkan teori public choice para
public choice memiliki asumsi dasar bahwa aktor politik cenderung bertindak berdasarkan
para aktor politik baik itu individu maupun kepentingan pribadi. Di sisi lain, para peneliti
kelompok dan lembaga-lembaga hukum juga mengalami kesulitan untuk dapat
yang membuat peraturan-peraturan publik berkomunikasi dan menyebarkan temuan
selalu bertindak berdasarkan kepentingan mereka kepada para pembuat kebijakan dalam
pribadi (Mashaw, 2009). Menurut Mashaw format dan bahasa yang mudah (Kartodihardjo,
(2009) para aktor politik ini dalam membuat 2013). Meskipun demikian berdasarkan hasil
keputusan atau peraturan didasarkan pada wawancara dengan narasumber anggota
hasil interaksi individu atau pereferensi secara DPR menyatakan bahwa “semua keputusan
organisasi dan pengaturan kelembagaan yang dihasilkan DPR merupakan keputusan
tertentu. Aktor-aktor politik ini cenderung politik karena dikeluarkan berlandaskan
memaksimalkan kepuasan pribadi yang pada undang-undang. Keputusan politik
dimotivasi oleh faktor-faktor seperti gaji, tersebut tidak mungkin dikeluarkan tanpa
reputasi publik, kekuasaan dan ruang untuk didasarkan pada kajian ilmiah”. Akan tetapi
mengontrol birokrasi (Pipitone, 2001). lamanya waktu pengesahan RUU di DPR
Walaupun pembuat kebijakan dipengaruhi menunjukkan bahwa telah terjadi benturan
oleh faktor-faktor kelembagan dan politik, kepentingan antar berbagai pemangku
tetapi cara mereka berpikir dan bertindak kepentingan sehingga RUU perimbangan
sebagai individu juga memengaruhi keputusan keuangan dan Penerimaan Negara Bukan
yang mereka buat dan mencerminkan kembali Pajak (PNBP) belum disahkan. Kepentingan
sikap lembaganya (Kartodihardjo, 2013). tersebut dapat berupa kepentingan ilmiah
Dengan demikian dalam proses revisi atau versus kepentingan masing-masing kelompok
penyusunan peraturan perundangan, peran dan atau pemerintah.
akademis hanya sebagai pemberi masukan
ilmiah khususnya dalam pembuatan naskah
akademis akan tetapi keputusan akhir dari
revisi atau penyusunan peraturan perundangan
tersebut tetap di tangan legislatif.

52
Peran Ilmuwan dalam Pembuatan Kebijakan Fiskal Hijau.....................(Fitri Nurfatriani, Dudung Darusman, Dodik Ridho
Nurrochmat, Ahmad Erani Yustika, dan Fentie Salaka)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Juga kepada Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan, Kementerian Riset
A. Kesimpulan
Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta the
Peran ilmuwan dalam perumusan Southeast Asian Regional Centre for Tropical
kebijakan fiskal hijau sangat diharapkan Biology (SEAMEO-BIOTROP) yang telah
untuk menjembatani agar konsep kebijakan memberikan bantuan pendanaan untuk
pendanaan fiskal hijau dapat dirumuskan penelitian ini.
dan diimplementasikan berbasiskan teori-
teori ilmiah. Peran dan posisi ilmuwan dalam
perumusan kebijakan fiskal hijau terbagi atas DAFTAR PUSTAKA
honest broker of policy alternative berupa
tim ahli yang dibentuk untuk menyusun dan Boehlert, S. L. (2007). The role of scientists in policy
merevisi peraturan perundangan serta issue making. AAAS-CSPO S&T Policy Review:
advocate berupa Tim Asistensi Gubernur Highlights of the 2007 Forum on S&T Policy.
Jambi. Pengaruh para ilmuwan sebatas Ditjen Perimbangan Keuangan. (2013). Tim asistensi
Kementerian Keuangan bidang desentralisasi
dalam perjalanan akademik saja yaitu ketika fiskal.
penyusunan naskah akademik. Keputusan Eden, C., & Ackermann, F. (1998). Making strategy:
akhir yang dibuat pengambil kebijakan The journey of strategic management.
sangat dipengaruhi oleh unsur di luar ilmu London: Sage Publications.
pengetahuan seperti politik dan birokrasi. Grimble, R. (1998). Stakeholder methodologies in
natural resource management. Chatam, UK:
Hal ini berimplikasi terhadap peran ilmuwan Natural Resource Institute.
yang umumnya masih banyak sebagai pure Hero, Y. (2012). Peran kelembagaan dalam proses
scientist dan kurang memiliki pengaruh dalam pem- buatan kebijakan pengelolaan Hutan
pengambilan kebijakan. Pendidikan Gunung Walat berdasarkan
pendekatan diskursus dan sejarah. Bogor:
B. Saran Institut Pertanian Bogor.
Jones, N., Jones, H., & Walsh, C. (2008). Political
Setiap intitusi pemerintah yang
science? Strengthening science-policy
bertanggungjawab dalam penyusunan dan dialogue in developing countries. London:
revisi peraturan perundangan agar melibatkan Overseas Development Institute.
ilmuwan dalam proses perjalanan akademik Kartodihardjo, H. (2008). Diskursus dan aktor dalam
bila perlu sampai dengan proses politik di pembuatan dan implementasi kebijakan
kehutanan: Masalah kerangka pendekatan
parlemen dengan cara memberikan justifikasi
rasional. JMHT, XIV(1), 19–27.
ilmiah atas setiap pilihan kebijakan yang Kartodihardjo, H. (2013). Memahami politik
ditawarkan. Di samping itu kontrol publik adopsi hasil penelitian sebagai strategi
terhadap keputusan yang dibuat pemerintah pengembangan KPH: Studi literatur
perlu ditingkatkan dimulai dari proses dan pengalaman empiris. Materi diskusi
dalam acara Ekspose Hasil Penelitian,
konsultasi publik dalam proses awal sampai
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru,
dengan proses pengambilan keputusan akhir 19 September 2013. Retrieved November
di parlemen. 14, 2017 from https://kartodihardjo.files.
wordpress.com
Khan, A., Kartodihardjo, H., Soedomo, S., & Darusman,
UCAPAN TERIMA KASIH D. (2010). Kebijakan usaha kehutanan
(ACKNOWLEDGEMENT) Indonesia : Sebuah analisis diskursus. JMHT,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada XVI(2), 101–111.
semua pihak yang telah membantu dan Likens, G. (2010). The role of science in decision
making: Does evidence-based science drive
berpartisipasi dalam proses pengumpulan environmental policy? Frontiers in Ecology
data dan informasi dalam penelitian ini. and the Environment, 8(6).

53
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 39-54

Mashaw, J. (2009). Public law and public choice: OECD. (2005). DAC guidelines and reference series:
Critique and rapprochment. Public law & Environmental fiscal reform for poverty
legal theory research paper series No. 161. reduction (DAC Reference Document). Paris:
Connecticut. OECD Publishing.
Muttaqin, M. Z. (2012). Designing payments for Overseas Development Administration. (1995).
environmental services (PES) to reduce Guidance note on how to do stakeholder
emissions from deforestation and forest analysis of aid projects and programmes.
degradation (REDD+) in Indonesia. (Thesis). Bonn: Social Development Departement,
Canberra: The Australian National University. Overseas Development Administration.
Nurfatriani, F., Darusman, D., Nurrochmat, D. R., & Pielke, R. A. (2004). When scientists politicize
Yustika, A. E. (2015). Analisis pemangku science: Making sense of controversy over
kepentingan dalam transformasi kebijakan the skeptical environmentalist. Environmental
fiskal hijau. Jurnal Analisis Kebijakan Science & Policy, 7, 405–417.
Kehutanan, 12(2), 105–124. Pielke, R. A. (2007). The honest broker: Making sense
Nurfatriani, F., Darusman, D., Nurrochmat, D. R., of science in policy and politics. New York:
Yustika, A. E., & Muttaqin, M. Z. (2015). Cambridge University Press.
Redesigning Indonesian forest fiscal policy to Pipitone, R. (2001). Lobbying: A new approach for
support forest conservation. Forest Policy and agricultural policies. Palermo: CIRMET.
Economics, 61, 39–50. Powers, W. (2003). Keeping science in environmental
Nurrochmat, D. R., Darusman, D., & Ekayani, M. regulations: The role of the animal scientist.
(2010). The role of forestry scientists in Journal of Dairy Science, 86(4), 1045–1051.
policy-making process in Indonesia. Paper Sarewitz, D., & Pielke, R. (1999). Prediction in science
complemented to the poster presentation at and policy. Technology in Society, 21(2), 121–
the XXIII IUFRO World Congress, 23-28 133.
August 2010, Seoul, Republic of Korea. UNEP. (2010). Driving a green economy through
Nurrochmat, D. R., Solihin, I., Ekayani, M., & public finance and fiscal policy reform. St-
Hadianto, A. (2009). Formulasi kebijakan Martin-Bellevue: 100 Watt.
fiskal hijau: Mengintegrasikan nilai ekonomi World Bank. (2005). Environmental fiscal reform–
jasa lingkungan hutan dalam neraca What should be done and how to achieve it?
pembangunan. In Prosiding Seminar Hasil Washington DC: The World Bank.
– Hasil Penelitian IPB 2009. Retrieved
November 14, 2017 from http://repository.
ipb.ac.id

54
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 55-66
p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

KEBERHASILAN SVLK DALAM MENDUKUNG PERBAIKAN TATA


KELOLA KEHUTANAN
(The Success of SVLK in Supporting the Improvement of Forest Governance)
Yuli Miniartiˡ, Yuki M.A. Wardhana², & Chairil Abdini2
ˡSekretariat Direktorat Jenderal PHPL, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt.5. Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia
Email: yminiarti@gmail.com
²Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia
Ged. Sekolah Ilmu Lingkungan, Jl. Salemba Raya No.4 Jakarta, Indonesia

Diterima 28 April 2017, direvisi 19 April 2018, disetujui 9 Mei 2018.

ABSTRACT

The Timber Legality Verification System (SVLK) is an instrument stipulated by the Government of Indonesia
to build legitimacy on Indonesian forestry governance policies, especially those related to the utilization and
distribution of timber forest products. The objective of SVLK is to cut the supply chain of illegal timber from
the forest management unit to the market, through timber legality assurance. Since the enactment of SVLK in
2009, there has been no evaluation of the SVLK policy to measure its effectiveness. This study aimed to evaluate
the success of SVLK in supporting the improvement of forestry governance. The analytical method used by this
study is a descriptive formal evaluation. Interviews were conducted to representatives of four related stakeholder
groups: six persons from timber forest product associations, five persons from three government agencies, one
person from NGO, and one person from academia. The results of the study indicated that SVLK policy has quite
successfully supported the improvement of forestry governance. In this regard, improvement is figured as 46% of
law enforcement, 45% of accountability, 43% of participation, 42% of transparency, and 31% of coordination. It
can be concluded that the SVLK policy has been quite successful in improving foresty governance.

Keywords: SVLK; forest governance; policy evaluation.

ABSTRAK

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah instrumen yang ditetapkan Pemerintah Indonesia dalam
upaya membangun legitimasi atas kebijakan tata kelola kehutanan Indonesia, khususnya yang terkait dengan
pemanfaatan dan peredaran hasil hutan kayu. Tujuannya adalah untuk memutus rantai pasokan kayu ilegal dari
hutan (forest management unit) hingga ke pasar, melalui jaminan legalitas kayu. Sejak SVLK diberlakukan pada
tahun 2009, belum ada evaluasi kebijakan SVLK yang dapat mengukur efektivitasnya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi keberhasilan SVLK dalam mendukung perbaikan tata kelola kehutanan. Metode analisis
yang digunakan adalah evaluasi formal deskriptif. Wawancara dilakukan kepada 13 narasumber yang dari empat
kelompok pemangku kepentingan, yaitu enam orang perwakilan dari enam asosiasi usaha hasil hutan kayu, lima
orang perwakilan dari tiga instansi pemerintah, satu orang perwakilan dari LSM, dan satu orang dari akademisi.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan SVLK mendukung perbaikan tata kelola kehutanan dengan persentase
perbaikan penegakan hukum sebesar 46%, akuntabilitas 45%, partisipasi 43%, transparansi 42%, dan koordinasi
31%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan SVLK cukup berhasil.

Kata kunci: SVLK; tata kelola kehutanan; evaluasi kebijakan.

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.1. 55-66 55
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 55-66

I. PENDAHULUAN tata kelola kehutanan Indonesia. Terbukti


Hutan hujan tropis Indonesia kondisinya Indonesia mengalami laju deforestasi hutan
semakin memprihatinkan dengan laju yang tinggi, namun industri kayu mengalami
deforestasi yang masih tinggi. Indonesia kekurangan pasokan bahan baku (Effendi,
memiliki sekitar 162 juta hektar tutupan 2007; Hakim, Dwiprabowo & Effendi, 2009;
hutan alam tahun 1950, yang mana lebih dari Purba et al., 2014). Oleh karenanya, ekspor
40% telah ditebang dalam kurun waktu 50 produk kayu terus menurun (Nurrochmat &
tahun berikutnya (Achmaliadi et al., 2001). Tiryana, 2000; Dwiprabowo, 2009; Lubis,
Berdasarkan data tutupan hutan alam 2000- 2013) dan masyarakat pun tidak menjadi
2012, Indonesia menjadi negara dengan laju lebih sejahtera dengan kondisi tesebut karena
deforestasi tertinggi di dunia, yaitu dengan laju berdampak negatif terhadap perekonomian
deforestasi rata-rata sebesar 0,8 juta hektar per nasional. Hal ini dibuktikan dari menurunnya
tahun (Margono, Potapov, Turubanova, Stolle, kontribusi subsektor kehutanan khususnya
& Hansen, 2014). Penyebab utama deforestasi hasil hutan kayu terhadap Produk Domestik
di negara tropis salah satunya disebabkan oleh Bruto (PDB) Nasional dari 1,26% pada
pembalakan liar (Lee, Sigmund, Dieckmann tahun 1999 menjadi 0,7% pada tahun 2011
& Iwasa, 2015). (Bappenas, 2012).
Tingginya laju deforestasi di Indonesia Beberapa hal yang telah dipaparkan pada
berhubungan erat dengan kondisi politik dan alinea sebelumnya menunjukkan bahwa
ekonomi yang sedang terjadi. Peningkatan kebijakan pembangunan kehutanan khususnya
jumlah pemekaran wilayah administrasi dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu
pemerintahan kabupaten di beberapa belum mencapai kemampanan. Belum adanya
provinsi memicu percepatan laju deforestasi. kelestarian hutan (Syahadat & Subarudi, 2014),
Sebagaimana pembalakan liar di kawasan dan belum mendukung pertumbuhan ekonomi
hutan konservasi dan kawasan hutan lindung bangsa melalui industri hasil hutan kayu
meningkat tajam pada dua tahun menjelang yang mampu bersaing di pasar internasional.
pemilihan kepala daerah (pilkada) (Burgess, Diperlukan upaya yang komperhensif untuk
Hansen, Olken, Potapov & Sieber, 2012). mewujudkan pembangunan kehutanan
Deforestasi di Indonesia terjadi karena berkelanjutan melalui perbaikan tata kelola
buruknya tata kelola kehutanan yang ada kehutanan. Salah satu perbaikan tata kelola
sehingga memberi celah terjadinya praktek kehutanan yang harus dilakukan adalah
pembalakan liar. Semakin rendah indeks tata pada tahun 2009, Kementerian Kehutanan
kelola hutan suatu daerah, maka semakin luas (saat ini Kementerian Lingkungan Hidup
deforestasi yang terjadi di daerah tersebut dan Kehutanan/LHK) berupaya untuk
(Rahman, Hartati, Maulana, Subagiyo memperbaiki tata kelola kehutanan dalam
& Putra, 2013). Tata pemerintahan yang hal pemanfaatan dan peredaran kayu melalui
baik termasuk pada tata kelola kehutanan, ditetapkannya kebijakan sistem verifikasi
menuntut keseimbangan pada tiga pilar utama legalitas kayu (SVLK).
yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat SVLK berkembang di tengah tren dunia
(Sedarmayanti, 2011). dalam perdagangan kayu legal. Beberapa
Keseimbangan tersebut sangat penting negara maju seperti Amerika Seriat (AS),
karena baik pemerintah, masyarakat dan Uni Eropa (EU), Australia dan Jepang, telah
swasta memiliki peran penting, yang saling memberlakukan kebijakan serupa guna
terkait satu dengan yang lainnya dalam menjamin legalitas produk kayu yang beredar
menentukan kondisi hutan Indonesia ke di negaranya. Sejalan dengan hal tersebut,
depan. Keseimbangan pada tiga pilar tersebut, Indonesia menerapkan SVLK selain untuk
saat ini belum terbangun dengan baik pada memberantas pembalakan liar dan peredaran

56
Keberhasilan SVLK dalam Mendukung Perbaikan Tata Kelola Kehutanan.........( Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana &
Chairil Abdini )

kayu ilegal juga untuk meningkatkan yaitu aksesibilitas informasi mengenai


pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan dokumen kebijakan dan lacak balak kayu,
produk kayu legal ke luar negeri. Akan tetapi keterbukaan dalam proses kebijakan, perizinan
sejak ditetapkan kebijakan SVLK pada tahun dan administrasi lainnya dalam pemanfaatan
2009 belum ada evaluasi kebijakan SVLK hasil hutan kayu, serta adanya pedoman
untuk mengetahui efektivitas SVLK dalam dalam penyebaran informasi. Akuntabilitas
upaya mendukung perbaikan tata kelola berdasarkan kriteria pertanggungjawaban
kehutanan. Meskipun kajian mengenai pemerintah kepada publik baik yang terkena
implikasi biaya manfaat SVLK bagi industri dampak kebijakan maupun masyarakat umum.
skala kecil telah dilakukan, dan ditemukan Partisipasi berdasarkan kriteria keterlibatan
bahwa SVLK signifikan menambah biaya para pihak dalam proses kebijakan. Koordinasi
produksi namun tidak memberi manfaat baik berdasarkan kriteria pemahaman dan tujuan
kemudahan akses maupun premium price bersama dalam mencapai pembangunan
(Astana et al., 2014). Oleh karenanya, penting berkelanjutan di antara Kementerian LHK,
untuk mengetahui efektivitas kebijakan Kementerian Perindustrian, dan Kementerian
SVLK guna mengukur keberhasilan kebijakan Perdagangan, serta kebijakan yang sinergis
dalam perbaikan tata kelola kehutanan dan saling mendukung di antara Kementerian
sehingga kebijakan SVLK dapat dilihat lebih LHK, Kementerian Perindustrian, dan
menyeluruh. Kementerian Perdagangan demi tercapainya
pembangunan berkelanjutan. Penegakan
II. METODE PENELITIAN hukum berdasarkan kriteria adanya upaya
Penelitian ini dilakukan dengan untuk mempertahankan berjalannya aturan
menggunakan metode analisis evaluasi pemanfaatan dan tata usaha kayu secara nyata
formal desktiptif, yaitu ukuran penilaian yang sebagai pedoman perilaku/bertindak dalam
digunakan dalam evaluasi kebijakan adalah usaha pemanfaatan dan peredaran hasil hutan
berdasarkan tujuan formal yang tercantum kayu.
dalam dokumen kebijakan (Dunn, 2013). Pengambilan data dilakukan pada
Parameter penilaian yang digunakan dalam tanggal 5 Desember 2016 sampai dengan 30
evaluasi adalah sejauh mana SVLK berhasil Maret 2017 dengan wawancara kepada 13
mendukung perbaikan tata kelola kehutanan narasumber yang berasal dari para pemangku
sebagaimana tercantum pada pasal 2 Peraturan kepentingan yaitu Ketua Asosiasi Pelaku
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Usaha Hasil Hutan Kayu (enam orang),
(PermenLHK) Nomor: P.30/Menlhk/Setjen/ pemerintah (lima orang), masyarakat/lembaga
PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja swadaya masyarakat (LSM) (satu orang), dan
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan akademisi (satu orang). Mengukur indeks
Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang tata kelola kehutanan dengan menggunakan
Izin, Hak Pengelolaan atau pada Hutan Hak. kuesioner berdasarkan skala likert, skor 3
Penilaian efektivitas SVLK dilakukan (tiga) untuk jawaban setuju, 2 (dua) untuk
dengan mengukur indeks tata kelola kehutanan kurang setuju, 1 (satu) untuk tidak setuju. Hasil
sebelum dan setelah diberlakukannya SVLK jawaban narasumber kemudian dijumlah dan
dengan menggunakan lima prinsip tata kelola, dicari reratanya sehingga diperoleh indeks tata
yang dinilai penting untuk mewujudkan tata kelola kehutanan berupa indeks transparansi,
kelola kehutanan yang baik dalam lingkup akuntabilitas, partisipasi, koordinasi, dan
pemanfaatan dan peredaran kayu, yaitu penegakan hukum sebelum dan setelah
transparansi, akuntabilitas, partisipasi, diberlakukan SVLK. Kategorisasi untuk
koordinasi, dan penegakan hukum. menentukan tingkat tata kelola kehutanan
Transparansi diukur berdasarkan tiga kriteria disajikan pada Tabel 1.

57
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 55-66

Tabel 1. Kategorisasi tingkat tata kelola kehutanan


Tabel 1 Categorization level of forest governance

Skor rerata (Average score)


Kategori
(Categorization) Transparansi Akuntabilitas Partisipasi Koordinasi Penegakan Hukum
(Transparency) (Accountability) (Participation) (Coordination) (Law Enforcement)
Baik (High) 18,8-24 14,1-18 14,1-18 11,8-15 11,8-15
Sedang 13,4-18,7 10,1-14 10,1-14 8,4-11,7 8,4-11,7
(Medium)
Buruk (Low) 8-13,3 6-10 6-10 5-8,3 5-8,3

Sumber (Source): Miniarti, 2017.

Efektivitas Kebijakan SVLK diperoleh transparansi sehingga hasilnya belum dapat


dengan menghitung selisih antara indeks tata dirasakan signifikan.
kelola setelah diberlakukan SVLK dengan Aksesibilitas informasi dinilai masih kurang
indeks tata kelola sebelum diberlakukan atau masih terbatas baik informasi mengenai
SVLK, kemudian dibagi dengan indeks dokumen kebijakan, sumber bahan baku,
sebelum diberlakukan SVLK. maupun kinerja unit manajemen, sedangkan
Nilai yang diperoleh kemudian informasi mengenai lacak balak kayu belum
diinterpretasi dengan kategorisasi: tersedia sehingga tidak dapat diakses. Website
1. Tidak efektif (×≤0) yang dijadikan sebagai sarana penyampai
2. Efektif rendah (0<×≤0,33) informasi dinilai belum informatif. Begitu pula
3. Efektif sedang (0,33<×≤0,67) dengan keterbukaan dalam proses kebijakan,
4. Efektif tinggi (×>0,67) perizinan, dan administrasi, dinilai masih
kurang. Ditambah belum adanya pedoman
III. HASIL DAN PEMBAHASAN pelayanan publik yang menjadi acuan dalam
penyampaian informasi bagi pemerintah
A. Transparansi maupun masyarakat. Pedoman pelayanan
Transparansi adalah upaya pemerintah publik mengenai penyampaian informasi
pusat dalam menyediakan dan membuka menjadi sangat penting karena dengan
akses informasi pada setiap tahap dalam adanya pedoman tersebut akan meningkatkan
pemanfaatan dan peredaran hasil hutan pemahaman masyarakat mengenai informasi
kayu. Kriteria dalam prinsip transparansi apa saja yang dapat diakses dan informasi apa
meliputi aksesibilitas informasi, keterbukaan yang tidak dapat diakses.
dalam proses kebijakan, dan perizinan dalam Indeks transparansi penyelenggaraan
pemanfaatan dan peredaran hasil kayu, dan pemerintah pusat dalam pemanfaatan dan
pedoman pelayanan publik. peredaran hasil hutan setelah diberlakukan
Secara umum indeks transparansi dalam kebijakan SVLK adalah baik dengan nilai
pemanfaatan dan peredaran hasil hutan kayu 19,6. Terjadi peningkatan indeks transparansi
sebelum adanya SVLK termasuk dalam sebesar 42% (0,42) dari indeks sebelum
kategori sedang dengan nilai indeks 13,8 (nilai diberlakukan SVLK, maka kebijakan SVLK
maksimal 24). Nilai tersebut menunjukan dinilai efektif sedang atau dapat dikatakan
bahwa telah ada upaya pemerintah untuk cukup berhasil mendukung perbaikan prinsip
menyelenggarakan pemerintahan yang transparansi dalam tata kelola kehutanan
transparan namun upaya yang dilakukan khususnya yang mengenai pemanfaatan dan
belum sepenuhnya memenuhi tiga kriteria peedaran hasil hutan kayu. Hal ini menunjukan

58
Keberhasilan SVLK dalam Mendukung Perbaikan Tata Kelola Kehutanan.........( Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana &
Chairil Abdini )

bahwa upaya yang dilakukan pemerintah kebijakan dalam pemanfaatan dan peredaran
pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan hasil hutan kayu seperti adanya ruang
yang transparan sudah mulai terlihat hasilnya komunikasi dalam perumusan kebijakan
meskipun upaya perbaikan masih harus terus dan ruang komunikasi dalam penyelesaian
dilakukan agar tiga kriteria transparansi dapat masalah tata usaha kayu. Akan tetapi, upaya
terpenuhi maksimal. tersebut dinilai kurang dan masih perlu
Berdasarkan hasil wawancara dengan ditingkatkan atau diupayakan secara serius
narasumber, peningkatan indeks transparansi dengan adanya pelibatan para pemangku
tersebut karena adanya kemudahan akses kepentingan baik dari kalangan pemerintah,
informasi, adanya keterbukaan dalam proses swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat.
kebijakan, perizinan, dan kelengkapan Upaya pemerintah untuk menciptakan proses
administrasi lainnya. Namun demikian, untuk perizinan dan tata usaha kayu yang akuntabel
pedoman pelayanan publik masih dinilai juga dinilai perlu ditingkatkan karena dinilai
kurang lengkap karena belum sepenuhnya agak tertutup dan masih ditemui banyaknya
mengatur mekanisme dan penyebaran pelanggaran dalam proses perizinan dan tata
informasi yang terkait dengan kebijakan dan usaha kayu di daerah.
program SVLK/pemanfaatan dan peredaran Setelah diberlakukan kebijakan SVLK,
kayu. indeks akuntabilitas kebijakan dalam
B. Akuntabilitas pemanfaatan dan peredaran hasil hutan
kayu termasuk dalam kategori baik dengan
Akuntabilitas dalam pemanfaatan dan nilai indeks 15,5 (indeks maksimal 18).
peredaran kayu adalah prinsip yang menjamin Berdasarkan penilaian tersebut, terjadi
bahwa kegiatan dalam pemanfaatan dan peningkatan indeks akuntabilitas sebesar
peredaran kayu dapat dipertangungjawabkan 45% (0,45) dari indeks akuntabilitas sebelum
secara terbuka kepada publik. Kriteria prinsip diberlakukan kebijakan SVLK. Indeks
akuntabilitas dalam penelitian ini adalah akuntabilitas baik artinya penyelenggaraan
pertanggungjawaban pemerintah kepada kegiatan pemanfaatan dan peredaran hasil
publik baik yang terkena dampak kebijakan hutan kayu dapat dipertanggungjawabkan
maupun masyarakat umum. meskipun masih perlu perbaikan untuk
Indeks Akuntabilitas seutuhnya dapat dipertanggungjawabkan
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepada publik.
narasumber diperoleh hasil secara umum Indeks akuntabilitas baik diperoleh
indeks akuntabilitas kebijakan dalam berdasarkan penilaian narasumber bahwa
pemanfaatan dan peredaran hasil hutan kayu telah ada ruang komunikasi dalam perumusan
sebelum adanya SVLK termasuk dalam kebijakan di antara para pemangku
kategori sedang dengan nilai indeks 10,7 kepentingan (pemerintah, swasta, dan LSM)
(nilai maksimal 18). Indeks akuntabilitas yang terbangun cukup baik, telah ada ruang
sedang artinya implementasi kebijakan dalam komunikasi dalam penyelesaian masalah tata
pemanfaatan dan peredaran hasil hutan kayu usaha kayu di antara pemangku kepentingan
mulai dapat dipertanggungjawabkan kepada yang terbangun dengan baik, kesesuaian antara
publik meskipun masih banyak dijumpai kebijakan dengan implementasi di lapangan
pelanggaran dan ketidaksesuaian antara sudah jauh lebih baik meskipun masih
kebijakan dan implementasi. ditemukan pelanggaran atau ketidaksesuaian
Indeks akuntabilitas sedang diperoleh antara kebijakan pemanfaatan dan peredaran
berdasarkan penilaian narasumber hasil hutan kayu dengan implementasinya
bahwa telah ada upaya pemerintah untuk di lapangan, terjadi pengurangan kasus
mempertanggungjawabkan implementasi pembalakan liar meskipun pengurangan

59
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 55-66

tersebut bukan hanya disebabkan oleh keterlibatan semua pemangku kepentingan,


kebijakan SVLK, telah ada standar dan maka data yang akan digunakan dalam
kriteria untuk menilai unit manajemen dari perumusan kebijakan akan lebih lengkap
hulu sampai hilir. dan kebijakan yang dibuat ditetapkan lebih
C. Partisipasi tepat sasaran, dan menghindari adaya konflik
dikemudian hari.
Partisipasi dalam penelitian ini adalah Penilaian narasumber terhadap indeks
prinsip bahwa para pemangku kepentingan partisipasi kebijakan setelah diterapkannya
baik pemerintah, swasta, dan masyarakat SVLK adalah baik dengan nilai 16,9
yang terkena dampak kebijakan, memiliki (dari indeks maksimal 18). Nilai tersebut
hak untuk terlibat dalam proses kebijakan. menunjukan bahwa ada pelibatan para pihak
Pelibatan berbagai pihak dalam proses baik dari kalangan akademisi, pemerintah,
pembuatan kebijakan akan membantu swasta, dan LSM yang berjalan cukup baik
pemerintah melihat suatu permasalahan dalam dalam proses kebijakan.
secara lebih komprehensif, mengintegrasikan Indeks partisipasi baik diperoleh
harapan publik dan mengantisipasi terjadinya berdasarkan penilaian narasumber bahwa
konflik sosial yang mungkin timbul. telah ada peningkatan upaya pemerintah dalam
Indeks Partisipasi perbaikan partisipasi. Menurut narasumber,
Berdasarkan hasil wawancara dengan perbaikan tersebut berupa adanya jaminan
narasumber, diperoleh hasil secara umum pelibatan para pemangku kepentingan yang
indeks partisipasi pemangku kepentingan diatur dalam dokumen kebijakan SVLK.
dalam proses kebijakan pemanfaatan Keterlibatan Kementerian Perindustrian dan
dan peredaran hasil hutan kayu sebelum Kementerian Perdagangan jauh lebih baik
diberlakukan SVLK adalah masuk kategori dalam kebijakan SVLK. Pelaku usaha melalui
sedang dengan nilai 11,8 (indeks maksimal 18). asosiasi terlibat sejak awal dirumuskannnya
Nilai tersebut menunjukan bahwa pemerintah kebijakan SVLK. Begitu pula dengan
telah berupaya mewujudkan proses kebijakan akademisi, terlibat sejak perumusan kebijakan
yang partisipatif dalam pemanfaatan dan sampai dengan monitoring evaluasi.
peredaran hasil hutan kayu. Akan tetapi, upaya Walaupun demikian, usulan yang diajukan
yang dilakukan dinilai kurang memenuhi akademisi seringkali bertentangan dengan
indikator prinsip transparansi karena hanya kebijakan SVLK karena sebagian akademisi
berhasil memenuhi 50% (indeks 6 dari 12) menilai bahwa dalam memperbaiki tata kelola
dari upaya yang seharusnya dilakukan. kehutanan bukan dengan SVLK melainkan
Indeks partisipasi sedang diperoleh dengan memperbaiki kebijakan tata usaha
berdasarkan penilaian bahwa pemerintah kayu yang telah ada.
telah mengupayakan adanya keterlibatan Perbedaan yang mendasar antara
para pemangku kepentingan dalam proses sebelum dan setelah diberlakukannya
kebijakan. Akan tetapi, keterlibatan para kebijakan SVLK adalah adanya pelibatan
pemangku kepentingan tersebut tidak diatur LSM dalam perumusan kebijakan sampai
dalam dokumen kebijakan sehingga tidak ada dengan moitoring evaluasi kebijakan, porsi
jaminan hukum. Para pemangku kepentingan pelibatan LSM tersebut paling besar diantara
yang terlibat berasal dari kalangan pelaku pemangku kepentingan lainnya. Akan tetapi
usaha, pemerintah terkait, dan akademisi, perbedaan yang sangat terlihat adalah adanya
sedangkan LSM belum pernah dilibatkan. keterlibatan LSM yang sangat besar, baik
Keterlibatan LSM dalam proses kebijakan dalam rancangan kebijakan sampai dengan
sama pentingnya dengan pemangku monitoring evaluasi, bahkan ada anggapan
kepentingan lainnya. Dengan adanya LSM sebagai designer kebijakan SVLK

60
Keberhasilan SVLK dalam Mendukung Perbaikan Tata Kelola Kehutanan.........( Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana &
Chairil Abdini )

yang sesungguhnya, atau menjadi pemain Kehutanan (saat ini Kementerian LHK),
utama yang paling berpengaruh dalam proses Kementerian Perindustrian, dan Kementerian
kebijakan. Perdagangan.
Partisipasi adalah upaya agar kebijakan Indeks koordinasi sedang diperoleh
yang akan ditetapkan lebih tepat sasaran berdasarkan penilaian narasumber bahwa
sehingga pelibatan semua pemangku kurang adanya pemahaman dan tujuan bersama
kepentingan sangat penting. Selain itu, dalam mencapai pembangunan berkelanjutan
partisipasi diperlukan pemahaman bersama melalui perbaikan tata kelola kehutanan di
bahwa partisipasi tidak harus memuaskan antara tiga kementerian tersebut. Ditambah,
semua pihak, tetapi partisipasi adalah upaya masih kurangnya kebijakan yang sinergis dan
untuk mencari solusi dari permasalahan yang saling mendukung diantara ketiga kementerian
ada dengan lebih komprehensif dan untuk tersebut. Sementara itu, koordinasi akan
kemanfaatan yang lebih luas. Oleh karenanya berjalan baik apabila terjadi pemahaman dan
dibutuhkan aturan yang jelas dan tegas agar tujuan yang sama mengenai pembangunan
masing-masing peran dapat berjalan optimal, berkelanjutan melalui tata kelola kehutanan.
hal ini sejalan dengan hasil penelitian Selanjutnya, wujud terciptanya koordinasi
Kartodihardjo, Nurrochmat, & Justianto yang baik adalah dengan adanya kebijakan
(2015). yang sinergis dan saling mendukung di antara
D. Koordinasi Kementerian Kehutanan (saat ini Kementerian
LHK), Perindustrian dan Perdagangan dalam
Koordinasi adalah prinsip yang perbaikan tata kelola kehutanan. Kedua
mengedepankan proses penyatupaduan hal tersebut yang dinilai narasumber masih
unit organisasi yang terpisah dan berbeda kurang.
fungsi agar tercapainya tujuan pembagunan Setelah diterapkannya SVLK indeks
berkelanjutan melalui perbaikan tata kelola koordinasi meningkat menjadi baik dengan
kehutanan. Kriteria prinsip koordinasi dalam nilai 12,6 (dari nilai maksimal 15) atau
penelitian ini adalah: terjadi peningkatan sebesar 31% dari sebelum
1. Adanya pemahaman dan tujuan diberlakukan SVLK. Setelah diberlakukan
bersama dalam mencapai pembangunan SVLK terlihat adanya upaya keselarasan
berkelanjutan melalui perbaikan tata kebijakan dan program kerja di antara
kelola kehutanan di antara Kementerian Kementerian Kehutanan (saat ini Kementerian
LHK, Kementerian Perindustrian, dan LHK), Kementerian Perindustrian, dan
Kementerian Perdagangan; Kementerian Perdagangan guna tercapainya
2. Adanya kebijakan yang sinergis dan tujuan pembagunan berkelanjutan melalui
saling mendukung di antara Kementerian perbaikan tata kelola kehutanan.
LHK, Kementerian Perindustrian, Indeks koordinasi baik diperoleh
dan Kementerian Perdagangan demi berdasarkan penilaian narasumber bahwa
tercapainya pembangunan berkelanjutan. telah adanya pemahaman dan tujuan bersama
Indeks Koordinasi dalam pembangunan di antara ketiga
Secara umum indeks koordinasi antara kementerian tersebut melalui perbaikan tata
Kementerian LHK, Perindustrian dan kelola kehutanan. Selain itu, adanya sinergitas
Perdagangan dalam pemanfaatan dan kebijakan yang saling mendukung di antara
peredaran hasil hutan kayu sebelum adanya ketiga kementerian tersebut dalam perbaikan
SVLK adalah sedang dengan nilai 9,6 (dari tata kelola kehutanan. Hal ini dibuktikan dengan
nilai maksimal 15). Nilai tersebut menunjukan adanya peraturan Kementerian Perdagangan
bahwa sebelum adanya SVLK sebenarnya yang mendukung keberhasilan kebijakan
sudah ada koordinasi di antara Kementerian SVLK yaitu Peraturan Menteri Perdagangan

61
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 55-66

Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 jo. Nomor kurang berjalan dengan baik, meskipun


25/M-DAG/PER/4/2016 tentang ketentuan dalam dokumen kebijakan pemanfaatan dan
ekspor produk kehutanan. Peraturan tersebut peredaran kayu dijelaskan mengenai adanya
memberlakukan semua produk hasil hutan fungsi pengawasan tetapi bentuk pengawasan
kayu yang akan diekspor wajib dilengkapi secara teknis tidak diatur. Oleh sebab itu,
dengan dokumen V-legal untuk setiap kali implementasinya di lapangan juga dinilai
pengiriman. Selain itu, untuk Kementerian belum berjalan dengan baik. Selain itu, untuk
Perindustrian wujud dukungannya terhadap tindakan penegakan hukum juga dinilai masih
perbaikan tata kelola kehutanan adalah adanya kurang. Hal ini disebabkan karena secara
dukungan terhadap SVLK yang dijelaskan umum aturan pemanfaatan dan peredaran
dalam Rencana Induk Pembangunan Industri kayu dinilai cukup tegas secara isi, tetapi
Nasional 2015-2035, yaitu dengan melakukan tidak tegas secara implementasi sehingga
pendampingan dan mentoring terhadap masih banyaknya kasus pelanggaran hukum
industri kecil dan menengah dalam rangka mengenai pemanfaatan dan tata usaha kayu
mendapatkan sertifikat legalitas kayu. yang terjadi di lapangan baik yang dilakukan
E. Penegakan Hukum oleh pelaku usaha maupun pemerintah.
Indeks penegakan hukum setelah
Penegakan hukum dalam pemanfaatan dan diberlakukan SVLK termasuk dalam kategori
peredaran kayu adalah upaya pengawasan dan baik dengan nilai indeks 13 (dari indeks
tindakan untuk mempertahankan berjalannya maksimal 15), terjadi peningkatan sebesar
aturan pemanfaatan dan tata usaha kayu secara 46% dari nilai indeks penegakan hukum
nyata sebagai pedoman perilaku/bertindak sebelum adanya SVLK. Nilai tersebut
dalam usaha pemanfaatan dan peredaran menunjukan bahwa telah ada upaya penegakan
hasil hutan kayu di Indonesia. Pengawasan hukum yang dilakukan Kementerian LHK
sangat penting dilakukan jika ingin tata dan hasilnya mulai dapat dirasakan.
kelola yang baik dapat tercapai sebagaimana Indeks penegakan hukum baik diperoleh
Muttaqin (2008) dan Budiningsih & Ekawati berdasarkan penilaian narasumber bahwa
(2016). Pengawasan yang dimaksud sama fungsi pengawasan di lapangan sudah mulai
yaitu menentukan apa yang telah dicapai, berjalan dengan baik (Terry, 2012). Fungsi
mengevaluasi dan menerapkan tindakan pengawasan telah diatur dalam dokumen
korektif untuk memastikan agar implementasi kebijakan, serta fungsi pengawasan dan
kebijakan sesuai dengan rencana. pemantauan telah melekat di dalam sistem
Indeks Penegakan Hukum VLK dengan melibatkan masyarakat atau
Indeks penegakan hukum sebelum LSM sebagai pemantau independen. Selain
diberlakukan SVLK termasuk dalam kategori itu, untuk tindakan penegakan hukum dinilai
sedang dengan nilai indeks 8,9 (dari indeks mulai berjalan dengan baik karena mulai
maksimal 15). Kategori sedang maksudnya adanya aturan hukum yang tegas tidak
adalah bahwa mulai ada upaya penegakan hanya dalam dokumen kebijakan melainkan
hukum yang dilakukan Kementerian pula adanya komitmen dalam penegakan
Kehutanan (saat ini Kementerian LHK) hukum. Hal tersebut didukung pula dengan
meskipun hasilnya belum dapat dirasakan berkurangnya kasus pelanggaran hukum
secara signifikan karena belum sepenuhnya mengenai pemanfaatan dan tata usaha
memenuhi kriteria penegakan hukum. kayu meskipun untuk berkurangnya kasus
Indeks penegakan hukum sedang diperoleh pembalakan liar tak hanya disebabkan oleh
berdasarkan penilaian narasumber bahwa SVLK.
fungsi pengawasan di lapangan dinilai masih

62
Keberhasilan SVLK dalam Mendukung Perbaikan Tata Kelola Kehutanan..........( Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana &
Chairil Abdini )

F. Efektivitas Kebijakan SVLK dalam seperti industri lanjutan, TDI (Tanda Daftar
Perbaikan Tata Kelola Kehutanan Industri), dan IRT (Industri Rumah Tangga),
Sementara itu, untuk koordinasi dinilai perlunya pedoman dalam pelayanan informasi
masih kurang karena masih masuk dalam yang mengatur penyebaran informasi oleh
kategori efektif rendah, dengan nilai 0,31, para pemangku kepentingan.
meskipun terdapat peningkatan indeks Prinsip akuntabilitas dinilai meningkat
koordinasi sebesar 31%, namun kebijakan sebesar 45% dari sebelum diberlakukan
SVLK dinilai masih kurang dapat dirasakan SVLK. Hal tersebut disebabkan karena
keberhasilannya dalam mendukung tata menurut narasumber dengan adanya
kelola kehutanan. SVLK membuka ruang komunikasi dalam
Untuk prinsip transparansi, SVLK perumusan kebijakan dan dalam penyelesaian
berhasil mendukung perbaikan transparansi masalah tata usaha kayu, adanya standar
0,42 atau 42% dari sebelum adanya SVLK. kriteria penilaian unit manajemen dari hulu
Perbaikan transparansi yang terjadi adalah hingga hilir. Selain itu, SVLK juga dinilai
adanya kemudahan akses informasi mengenai berkontribusi dalam menciptakan proses
dokumen kebijakan, dan informasi mengenai perizinan dan penatausahaan kayu yang dapat
kinerja unit manajemen yang didukung dipertanggungjawabkan, meskipun kesesuaian
dengan website yang dinilai cukup informatif, antara kebijakan dengan implementasinya
adanya keterbukaan dalam proses kebijakan, dinilai masih perlu ditingkatkan. Upaya yang
perizinan, dan administrasi karena sistem dapat dilakukan adalah dengan mengadakan
audit dan pemantauan yang dibangun dalam monitoring dan evaluasi secara berkala dengan
SVLK berasal dari pihak ketiga yaitu audit dari melibatkan para pemangku kepentingan.
Lembaga Penilaian Hutan Produksi Lestari Prinsip partisipasi dinilai meningkat
(LPHPL) dan Lembaga Verifikasi Legalitas 43% dari sebelum diberlakukan SVLK.
Kayu (LVLK), serta pemantauan berasal dari Perbaikan partisipasi tersebut terlihat dengan
LSM atau pemantau independen. Akan tetapi dilibatkannya para pemangku kepentingan
yang dinilai kurang dan perlu ditingkatkan termasuk LSM sebagai perwakilan dari
adalah akses informasi mengenai sumber masyarakat dalam proses kebijakan SVLK.
bahan baku dan penelusuran kayu tidak hanya Keterlibatan LSM diatur dan dijamin dalam
ditingakat hulu namun juga pada tingkat hilir, dokumen kebijakan baik dalam Peraturan

Transparansi

Penegakan
hukum Akuntabilitas

Koordinasi Partisipasi

Efektivitas
Sumber (Source): Miniarti, 2017
Gambar 1. Efektivitas SVLK dalam perbaikan tata kelola kehutanan.
Figure 1. Effectiveness of SVLK in improving forestry governance.

63
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 55-66

Menteri LHK Nomor P.30/Menlhk/Setjen/ memberikan ruang kepada masyarakat


PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja untuk menjadi bagian dalam pemantauan
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan dan pengawasan terhadap berjalannya
Verifiaksi Legalitas Kayu pada Pemegang implementasi kebijakan.
Izin, Hak Pengelolaan, atau pada Hutan Hak, Sementara itu, untuk prinsip koordinasi
maupun kebijakan turunannya yaitu Peraturan masih dinilai efektif rendah dengan skor 0,31.
Direktur Jenderal PHPL Nomor P.14/PHPL/ Nilai tersebut menunjukan bahwa meskipun
SET/4/2016 tentang Standar dan Pedoman terjadi peningkatan indeks koordinasi sebesar
Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan 31%, namun kebijakan SVLK dinilai masih
Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi kurang berhasil atau kurang dapat dirasakan
Legalitas Kayu (VLK). telah mendukung perbaikan tata kelola
Akan tetapi, pelibatan LSM dinilai terlalu kehutanan dari sisi koordinasi. Upaya yang
berlebihan, bahkan dinilai sebagai perancang perlu diperbaiki untuk meningkatkan indeks
utama kebijakan. Kedekatan pemerintah koordinasi adalah perlunya kebijakan yang
dengan LSM nasional yang juga memiliki berorientasi pada pengintegrasian program
keterkaitan dengan LSM internasional dinilai kerja antara Kementerian LHK, Kementerian
sebagian besar narasumber dapat berdampak Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
negatif apabila tidak diberikan batasan dalam
keterlibatannya. Selain itu, keterlibatan LSM IV. KESIMPULAN DAN SARAN
yang terlalu jauh dalam proses kebijakan
juga akan berdampak buruk bagi berjalannya A. Kesimpulan
roda pemerintahan, masyarakat dan pelaku Berdasarkan hasil penilaian efektivitas
usaha. LSM sebagai golongan reformis yang kebijakan SVLK terhadap lima prinsip
menginginkan perubahan dengan segera, tata kelola kehutanan, yaitu transparansi,
sehingga ketika ada suatu hal yang tidak tepat akuntabilitas, partisipasi, koordinasi, dan
menurutnya maka harus dengan segera diubah penegakan hukum, maka dapat disimpulkan
(Nurrochmat, Darusman & Ekayani, 2016). bahwa kebijakan SVLK cukup berhasil
Oleh karenanya tak heran jika kebijakan dalam mendukung perbaikan tata kelola
SVLK telah mengalami enam kali perubahan kehutanan dalam pemanfaatan dan peredaran
semenjak pertama kali ditetapkan pada bulan hasil hutan kayu. Prinsip tata kelola yang
September 2009. mengalami peningkatan tertinggi adalah
Prinsip penegakan hukum dinilai penegakan hukum dengan peningkatan 46%,
meningkat 46% dari sebelum diberlakukan kemudian akuntabilitas dengan peningkatan
SVLK. SVLK ditetapkan sebagai soft 45%, partisipasi dengan peningkatan 43%,
approach dalam mitigasi pembalakan liar selanjutnya transparansi degan peningkatan
sehingga SVLK juga menjadi bagian dari 42%, dan yang terakhir koordinasi dengan
penegakan hukum. Peran SVLK dalam peningkatan 31%. Mengingat koordinasi
penegakan hukum menurut narasumber masih dinilai efektif rendah atau kurang
adalah meningkatkan fungsi pengawasan efektif sehingga dibutuhkan upaya lebih
pemerintah dalam kegiatan pemanfaatan dan agar tujuan SVLK untuk mendukung tata
peredaran kayu yang selama ini dinilai belum kelola kehutanan dapat tercapai. Upaya
berjalan dengan baik (Muttaqin, 2008), yang yang diperlukan adalah adanya kebijakan
mana fungsi pengawasan adalah bagian yang yang berorientasi pada pengintegrasian
tak terpisahkan dalam penegakan hukum. program kerja di antara Kementerian LHK,
Kebijakan SVLK mengatur mekanisme Kementerian Perdagangan, dan Kementerian
pemantauan dan pengawasan dengan Perindustrian.

64
Keberhasilan SVLK dalam Mendukung Perbaikan Tata Kelola Kehutanan.........( Yuli Miniarti, Yuki M.A. Wardhana &
Chairil Abdini )

B. Saran DAFTAR PUSTAKA


Kebijakan SVLK dinilai cukup berhasil
Achmaliadi, R., Adi, I. G. M., Hardiono, Y. M.,
dalam mendukung perbaikan tata kelola
Kartodihardjo, H., Malley, F. C., Mampioper,
kehutanan berdasarkan prinsip transparansi, D. A., … & Wardiyono. (2001). Keadaan
akuntabilitas, partisipasi dan penegakan hutan Indonesia. Bogor: Forest Watch
hukum. Akan tetapi untuk prinsip Indonesia.
koordinasi dibutuhkan upaya membangun Astana, S., Obidzinski, K., Riva, W. F., Hardiyanto, G.,
Komarudin, H., & Sukanda. (2014). Implikasi
pemahaman bersama di antara Kementerian
biaya dan manfaat pelaksanaan SVLK
LHK, Kementerian Perindustrian, terhadap sektor perkayuan skala kecil. Jurnal
dan Kementerian Perdagangan dalam Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
mewujudkan pembangunan berkelanjutan 11(3), 175–198.
melalui kebijakan SVLK agar kebijakan Bappenas. (2012). Data kontribusi subsektor
kehutanan terhadap produk domestik bruto
yang diterbitkan pada ketiga kementerian
atas dasar harga tahun 1999-2011. Jakarta:
tersebut dapat saling mendukung dan berjalan Bappenas.
sinergi. Selain itu, suatu kebijakan dikatakan Budiningsih, K., & Ekawati, S. (2016). Dinamika
berkelanjutan apabila menguntungkan secara kebijakan penggunaan kawasan hutan: Sebuah
ekonomi, menguntungkan bagi masyarakat, analisa isi perubahan kebijakan penggunaan
kawasan hutan. Jurnal Analisis Kebijakan
pelaku usaha (mikro) maupun menguntungkan
Kehutanan, 13(1), 13–28.
untuk peningkatan PDB (makro). Kebijakan Burgess, R., Hansen, M., Olken, B. A., Potapov, P., &
yang berkelanjutan sangat penting karena Sieber, S. (2012). The political economy of
akan bertahan lama, namun apabila tidak deforestation in the tropics. Quarterly Journal
berkelanjutan maka akan menimbulkan konflik of Economics, 127(4), 1707–1754. https://doi.
org/10.1093/qje/qjs034.
dikemudian hari. Oleh karenanya, dibutuhkan
Dunn, W. (2013). Pengantar Analisis kebijakan publik
penelitian selanjutnya yaitu menganalisis (2nd ed.). Jogjakarta: Gadjah Mada University
biaya manfaat setelah diterapkannya lisensi Press.
Forest Law Enforcement Governance and Dwiprabowo, H. (2009). Analisis daya asing ekspor
Trade (FLEGT) dan sekaligus merancang panel-panel kayu Indonesia dan Malaysia.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(2),
strategi kebijakan SVLK agar tidak hanya
151–160.
berhasil dalam mendukung perbaikan tata Effendi, R. (2007). Kajian sistem dan kebutuhan bahan
kelola kehutanan namun juga bermanfaat bagi baku industri pengolahan kayu di Kalimantan
pelaku industri kayu baik yang skala besar Selatan. Info Sosial Ekonomi Kehutanan,
maupun kecil. 7(4), 223–231.
George R Terry. (2012). Prinsip-prinsip manajemen
(11th ed.). Jakarta: Bumi Aksara.
UCAPAN TERIMA KASIH Hakim, I., Dwiprabowo, H., & Effendi, R. (2009).
(ACKNOWLEDGEMENT) Kajian peredaran kayu rakyat di Wilayah
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala Jawa bagian Barat. Jurnal Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Kehutanan, 6(1), 15–37.
kemudahan dan kelancaran dalam penelitian
Kartodihardjo, H., Nurrochmat, D. R., & Justianto, A.
ini. Tak lupa pula peneliti haturkan ucapan (2015). Analisis pemangku kepentingan dalam
terimakasih kepada para supervisor atas kebijakan pengelolaan dan pengembangan
segala waktu, masukan dan sarannya. sumber daya manusia kehutanan. Jurnal
Peneliti juga berterima kasih yang sebesar- Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(3), 235–
248.
besarnya kepada Kementerian Lingkungan
Lee, J.-H., Sigmund, K., Dieckmann, U., & Iwasa, Y.
Hidup dan Kehutanan yang secara penuh (2015). Games of corruption: How to suppress
telah membiayai penelitian ini. illegal logging. Journal of Theoretical
Biology, 367(21 February 2015), 1–13.

65
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 55-66

Lubis, A. D. (2013). Analisis faktor yang mempengaruhi Purba, C. P., Nanggara, S., Ratriyono, M., Apriani, I.,
kinerja ekspor Indonesia. Retrieved 15 Rosalina, L., Sari, N., & Meridian, A. (2014).
September 2015 from http://www.kemendag. Potret keadaan hutan Indonesia. Bogor:
go.id/files/pdf/2013/04/25/-1366874912.pdf Forest Watch Indonesia.
Margono, B. A., Potapov, P. V, Turubanova, S., Stolle, Rahman, Y., Hartati, C., Maulana, M., Subagiyo,
F., & Hansen, M. C. (2014). Primary forest H., & Putra, R. S. P. (2013). Indeks kelola
cover loss in Indonesia over 2000–2012. hutan dan lahan daerah, kinerja pemerintah
Nature Climate Change, 4(June), 1–6. https:// daerah dalam pengelolaan hutan dan lahan
doi.org/10.1038/NCLIMATE2277 di Indonesia (studi kasus pada 9 kabupaten).
Miniarti, Y. (2017). Kebijakan Sistem verifikasi Jakarta: ICEL.
legalitas kayu untuk tata kelola kehutanan Sedarmayanti. (2011). Reformasi administrasi publik,
berkelanjutan. (Tesis). Depok: Universitas reformasi administrasi, dan kepemimpinan
Indonesia. masa depan (mewujudkan pelayanan prima
Muttaqin, M. Z. (2008). Good governance dalam 5 dan kepemerintahan yang baik). Bandung:
kebijakan prioritas Departemen Kehutanan. Refika Aditama.
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 5(3), Syahadat, E., & Subarudi. (2014). Kajian kebijakan
143–151. penatausahaan kayu yang berasal dari hutan
Nurrochmat, D. R., Darusman, D., & Ekayani, M. hak. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
(2016). Kebijakan pembangunan kehutanan 11(2), 129–144.
dan lingkungan: Teori dan implementasi.
Bogor: IPB Press.
Nurrochmat, D. R., & Tiryana, T. (2000). Analisa
keseimbangan pasar dan reposisi strategi
pemasaran kayu lapis. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika, 6(2), 15–24.

66
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

SINKRONISASI KEBIJAKAN DI BIDANG IZIN PERTAMBANGAN


DALAM KAWASAN HUTAN
(Policy Synchronization in Mining Licenses in Forest Areas)
Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi Kurniawan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16118, Indonesia
Email: syahadatepi@yahoo.com; rudi.subarudi@yahoo.co.id; respect_andri@yahoo.com

Diterima 8 September 2017, direvisi 26 April 2018, disetujui 26 April 2018.

ABSTRACT

The management of licensing system, especially mining permits, is complex because of the inter-sectoral
legal linkages. Legislation has been regulated in such a way that certained procedures must be passed by permit
applicants to obtain izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) and izin usaha pertambangan (IUP). But there is
always a gap between regulations and their implementation which makes the licensing system more complex. The
aims of the research are (a) to identify mining licensing policies in forest area, (b) to synchronize mining licensing
system, and (c) to improve mining licensing system. This study used a content analysis method with a retrospective
process evaluation approach. The results showed that IPPKH policy involves 36 types of regulations consisting of 11
Acts, 13 Government Regulations, nine Presidential Regulations, and three Environment and Forestry Ministerial
Regulations. The IPPKH process is considered less effective because the applicants must get IUP from the Ministry
of ESDM and IPPKH from the Ministry of Environment and Forestry which is managed under One Stop Integrating
Permits system, which only handles the administrative issues as mandated by President Regulation No 97/2014.
The synchronization of IPPKH policy is necessary to accommodate legislation issued by other technical ministries.

Keywords: Policy synchronization; IUP; IPPKH; PTSP.

ABSTRAK
Pengelolaan sistem perizinan khususnya izin pertambangan sangatlah kompleks karena keterkaitan hukum lintas
sektor. Peraturan perundangan telah mengatur sedemikian rupa prosedur/mekanisme perizinan yang harus dilewati
oleh pemohon izin yang ingin mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan izin usaha pertambangan
(IUP), namun selalu terdapat gap antara peraturan dengan implementasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (a)
mengidentifikasi kebijakan perizinan pertambangan dalam kawasan hutan, (b) menyinkronkan sistem perizinan
pertambangan, dan (c) menyempurnakan sistem perizinan pertambangan. Kajian ini menggunakan metode analisis
isi dengan pendekatan evalusi proses retrospektif. Hasil penelitian menunjukan kebijakan IPPKH melibatkan 36
jenis peraturan yang terdiri dari 11 unit UU, 13 unit PP, sembilan unit Perpres, dan tiga unit PermenLHK. Proses
IPPKH dinilai kurang efektif karena melibatkan dua pintu kementerian, yaitu Kementerian ESDM untuk IUP dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk IPPKH. Kedua izin tersebut dikelola melalui Perizinan
Terpadu Satu Pintu, yang masih bersifat administratif belaka sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 97 Tahun
/2014. Sinkronisasi kebijakan IPPKH sangat diperlukan untuk mengakomodir peraturan perundangan yang
diterbitkan oleh kementerian teknis lainnya.

Kata kunci: Sinkronisasi kebijakan; IUP; IPPKH; PTSP.

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.1.67-86 67
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

I. PENDAHULUAN Subarudi, & Setiadi, 2016). Persoalan


Tantangan kehutanan saat ini dan perizinan pertambangan tidak terlepas
kedepan adalah tekanan yang tinggi terhadap dari sistem birokrasi yang melingkupinya,
kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan karena perizinan pertambangan sangat
pengembangan investasi dan praktek dekat dengan praktek “gratifikasi” yang
pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. menjadi domain para birokrat sebelum
Semua ini belum sepenuhnya mengikuti usaha tersebut berjalan dalam koridor usaha
ketentuan teknis yang seharusnya (Syahadat yang seharusnya (Subarudi, 2014). Majalah
& Dwiprabowo, 2013). Sumberdaya hutan Tempo telah mengungkapan secara jelas dan
memiliki peran sebagai penghasil berbagai transparan praktik-praktik penyimpangan
barang dan jasa sehingga menarik untuk dalam pengurusan IPPKH untuk usaha
semua sektor di luar sektor kehutanan untuk pertambangan di kawasan hutan termasuk
menggunakan kawasan hutan. Oleh karena aktor-aktornya (Subarudi, 2014). Oleh karena
itu, hal ini perlu menjadi perhatian dan itu cita-cita mewujudkan good governance
penanganan yang serius dari pemerintah dan clean government merupakan tuntutan
(Syahadat & Sylviani, 2014). fundamental bagi tatanan masyarakat global,
Pengelolaan dan penanganan sistem maupun lokal (Thantowi, 2014).
perizinan khususnya izin pertambangan Untuk mengatasi hal tersebut, maka
sangatlah kompleks karena melibatkan dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres)
lintas sektor. Sebagai contoh proses IUP di Nomor 97/2014 tentang Pelayanan Terpadu
areal penggunaan lain (APL) diterbitkan Satu Pintu (PTSP), dimana dalam Pasal
oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya 4 dinyatakan bahwa ruang lingkup PTSP
Mineral (ESDM), akan tetapi apabila lahan meliputi seluruh pelayanan perizinan dan
pertambangan yang dimohon tersebut masuk non-perizinan. Dalam upaya mendukung
dalam kawasan hutan maka pemegang IUP perwujudan PTSP diperlukan dukungan dan
harus mengurus IPPKH di Kementerian penanganan yang transparan dan akuntabel
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). oleh semua pihak khususnya terkait sistem
Keberadaan Undang-Undang (UU) di perizinan pertambangan dalam kawasan
Indonesia masih bersifat sektoral yang hutan sebagai upaya percepatan perizinan
lebih mementingkan sektornya karena dan meningkatkan jumlah investor yang
penyusunannya berasal dari kementerian tertarik di bidang usaha LHK. Prosedur
terkait sektor tersebut. Akibatnya proses perizinan dan peraturan yang jelas dan pasti
perizinan pada masing-masing sektor seperti akan menciptakan iklim usaha yang kondusif
kehutanan, pertambangan dan lingkungan (Subarudi, 2008).
hidup diatur oleh UU dan kementerian Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka
tersendiri (Rosadi, 2008). kajian Sinkronisasi Kebijakan Perizinan
Dalam pengurusan izin usaha pertambangan Pertambangan Dalam Kawasan Hutan menjadi
(IUP) masih saja menimbulkan persoalan penting untuk dilaksanakan karena akan
bagi para pemohon izin atau investor yang memberi masukan untuk reformasi kebijakan
akan menanamkan modalnya. Izin Pinjam perizinan di bidang LHK sebagai salah satu
Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk sektor bagian dari agenda reformasi birokrasi di
pertambangan misalnya, masih juga menjadi Kementerian LHK. Pertanyaan penelitian
kendala dengan berbagai prosedur yang ini yang akan dijawab adalah: (i) Apakah
berbelit-belit dan terkadang “bernuansa” sinkronisasi sistem perizinan pertambangan
menimbulkan biaya transaksi yang tinggi dalam kawasan hutan diperlukan? (ii)
untuk setiap IUP di kasawan hutan, (Syahadat, Apakah proses pengurusan IPPKH sudah

68
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Sumber (Source): Data diolah (Data analyzed).


Gambar 1. Alur pikir kajian sinkronisasi kebijakan perizinan pertambangan dalam kawasan hutan.
(Figure 1. Logical framework of the reserach on synchronization of mining permit policy in forest area).

sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik B. Ruang Lingkup Kegiatan
(good governance)?; dan (iii) Sejauhmana Ruang lingkup penelitian Sinkronisasi
penyempurnaan kebijakan IPPKH diperlukan? Kebijakan Perizinan Pertambangan dalam
Maksud dari kajian ini adalah merumuskan Kawasan Hutan, adalah kebijakan yang berlaku
kebijakan perizinan pertambangan dalam saat ini terkait perizinan pertambangan yang
kawasan hutan yang efektif. Adapun tujuan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungam
dari penelitian ini adalah: (a) mengidentifikasi Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian
kebijakan perizinan pertambangan dalam Kehutanan) dan Kementerian ESDM serta
kawasan hutan, (b) menyinkronkan sistem menitik beratkan pada sistem perizinan
perizinan pertambangan, dan (c) menyusun pertambangan yang berada dalam kawasan
upaya penyempurnan kebijakan IPPKH. hutan.
Penelitian sinkronisasi di bidang perizinan
pertambangan di kawasan hutan saat ini masih C. Metode Pengumpulan Data
terbatas dilakukan oleh peneliti lain sehingga Data yang dikumpulkan berupa data
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi primer dan data sekunder yang dilakukan
bahan untuk penyempurnakan kebijakan pada bulan Maret sampai dengan Oktober
perizinan tambang di kawasan hutan yang 2016 sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
sesuai tata kelola kehutanan yang baik. Data primer meliputi persepsi pemangku
kepentingan terhadap ketentuan pengurusan
II. METODE PENELITIAN perizinan (mengenai persyaratan, lama
pengurusan dan biaya yang harus dikeluarkan
A. Pendekatan (Kerangka Pemikiran)
oleh para pemohon izin). Jumlah responden
Alur pikir yang digunakan dalam penelitian yang diwawancarai sebanyak 20 orang yang
ini berfokus pada gap (kesenjangan) antara berasal dari Kementerian LHK; Kementerian
peraturan yang ada dengan implementasinya ESDM; Kementerian Perindustrian,
di lapangan. (Gambar 1). Kementerian Perdagangan; pemerintah

69
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

provinsi dan kabupaten/kota serta pemohon pemerintah daerah serta stakeholder terkait
atau perusahaan yang terkait dalam perizinan untuk mengidentifikasi permasalahan terkait
LHK (Tabel 1). Data primer ini dikumpulkan IPPKH dan upaya solusinya, serta saran dan
melalui wawancara langsung dan focus rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan
group discussion (FGD) dengan para IPPKH di masa datang.
pihak terkait seperti pemerintah pusat dan
Tabel 1. Data dan informasi yang dikumpulkan
Table 1. Data and information collected

Jenis data Sumber data


Data yang dikumpulkan Cara pengumpulan
No. Type of (Data source)
(Data will be collected) (How to collect)
data)
1. Daftar dan Jenis IUP dan IPPKH Sekunder Ditjen PHPL, Ditjen PKTL, Studi laporan
yang sudah dikeluarkan. dan Kementerian ESDM tahunan dan
(List and type of mining and lease website
forest area licenses)
2. Target dan realisasi pelaksanaan Sekunder Dirjen PHPL, Dirjen PKTL, Studi laporan hasil
pemberian IPPKH. dan Kementerian ESDM pemberian pinjam
(Target and realization of pakai kawasan
implementation of lease forest area hutan
license)
3. Peraturan-peraturan yang terkait Sekunder Ditjen PHPL, Ditjen PKTL, Studi laporan
dengan sistem pemberian IPPKH. dan Kementerian ESDM, tahunan dan
(Regulations related to the Pusinfo dan pemerintah website
implementation of lease forest area daerah (pemda) terkait
license)
4. Instansi, lembaga-lembaga terkait Primer Ditjen PHPL, Ditjen PKTL, Wawancara
dengan pemberian IPPKH. dan Kementerian ESDM,
(Institutional related to the Pusinfo dan pemda Terkait
implementation of lease forest area
license)
5. Efektivitas pemberian izin Primer Pejabat kehutanan di Pusat, Wawancara
pertambangan. Provinsi dan Kabupaten
(Efectivity of the implementation of serta pemohon izin
mining licenses)
6. Dampak sosial budaya, ekonomi dan Primer Pejabat dan masyarakat Wawancara
lingkungan dengan terbitnya izin
pertambangan dalam kawasan hutan
(Impacts of socio culture, economy
and environment on the issued
mining license in forest area).
7. Pendapat pejabat dan pemohon Primer Pejabat dan pemohon izin Wawancara
izin tentang tolok ukur efektivitas
pengurusan IPPKH
(Perceptions of government officials
and applicants on indicators for
effective lease forest area license)
Keterangan (Remarks): Ditjen PHPL: Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Directorate
General of Sustainable Production Forest Management), Ditjen PKTL: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan
dan Tata Lingkungan (Directorate General of Forestry and Environmental Planning), Pusinfo: Pusat Informasi
(Information Center).
Sumber (Source): Data diolah (Data analyzed).

70
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Data sekunder terdiri dari jenis dan jumlah yang dialami oleh para pemohon izin. Sebagai
IPPKH yang sudah dikeluarkan, target dan contoh sistem perizinan pertambangan dalam
realisasinya, serta peraturan perundangan kawasan hutan ditetapkan targetnya maksimal
yang mendukungnya. Data sekunder ini 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana diatur dalam
dikumpulkan melalui kunjungan ke lembaga Perpres Nomor 97 Tahun 2014 tentang
penelitian terkait, instansi pemerintah serta Perizinan Terpadu Satu Pintu.
publikasi yang relevan.
D. Analisis Data III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan metode A. Kebijakan Bidang Lingkungan
kualitatif yang bertujuan menjelaskan sesuatu Hidup dan Kehutanan terkait Usaha
seperti apa adanya (as it is) dan secara Pertambangan
lebih mendalam (Irawan, 2007). Analisis Pelaksanaan kebijakan Perpres Nomor
isi dan substansi peraturan perundangan 97 Tahun 2014 harus dijabarkan ke dalam
menggunakan metode content of analysis peraturan dari masing-masing instansi baik
yang dikembangkan oleh Bungin (2001). di tingkat pusat maupun daerah karena
Analisis isi digunakan untuk melihat sejauh Perpres tersebut berlaku dan bersifat umum.
mana perbedaan isi dan substansi dari Sebagai contoh di tingkat pusat, persyaratan
produk kebijakan terkait sistem perizinan dan mekanisme perizinan pertambangan di
pertambangan berupa peraturan perundangan kawasan hutan dituangkan dalam Peraturan
yang diterbitkan oleh kementerian teknis Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
lainnya. Kebijakan tersebut kemudian di (PermenLHK) Nomor P.50/Menlhk/Setjen/
evaluasi dengan pendekatan evalusi proses Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai
retrospektif. Evaluasi proses retrospektif Kawasan Hutan (P3KH). Kemudian di tingkat
adalah evaluasi yang meliputi pemantauan/ provinsi dikeluarkan Peraturan Gubernur
evaluasi program setelah program tersebut (Pergub) Jawa Barat Nomor 92 Tahun 2014,
diterapkan untuk jangka waktu tertentu Pergub Provinsi Kalimantan Timur Nomor
(Cahyadi, Ichwandi, & Nurrochmat, 2015). 48 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Hal tersebut difokuskan pada masalah/kendala Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T). Maksud
yang terjadi selama implementasi berlangsung, dari ditetapkannya peraturan tersebut adalah
evaluasi ini lebih menggantungkan pada sebagai dasar tindak lanjut penyelenggaraan
deskripsi ex post (retrospektif) tentang perizinan dan non-perizinan melalui
aktivitas kebijakan yang selanjutnya penyelenggara PTSP yang telah mendapatkan
berhubungan dengan dampak yang diperoleh, pelimpahan atau pendelegasian kewenangan
dengan kriteria evaluatif yang digunakan dari pemerintah dan gubernur.
adalah efektifitas. Efektifitas berkenaan Pembentukan penyelengaraan P2T pada
dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan
atau tujuan yang diharapkan. Dalam penelitian birokasi pelayanan perizinan dalam berbagai
ini efektifitas sistem perizinan IPPKH diukur bentuk, antara lain mempercepat waktu
dari keberhasilan dalam memperoleh izin pelayanan dengan mengurangi tahapan-
pertambangan sesuai dengan ketentuan yang tahapan kegiatan dalam pelayanan yang
berlaku dalam peraturan, yaitu dengan cara kurang penting (Perpres Nomor 97 Tahun
membandingkan prosedur operasi standar 2014). Diharapkan dengan sistem P2T ini,
(SOP) antara biaya dan lamanya proses yang penyelenggaraan pelayanan perizinan di
terdapat dalam peraturan perundangan yang pusat dan daerah menjadi lebih transparan,
diterbitkan oleh instansi terkait dan/atau akuntabel, mudah, murah dan dapat diakses
Kementerian LHK dengan implementasinya oleh semua pihak yang membutuhkan sebagai

71
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

upaya mencapai good governance. B. Waktu dan Biaya dalam Proses


Dalam mendukung hal tersebut, Perpres Pengurusan IPPKH
Nomor 97 Tahun 2014 ditindaklanjuti oleh Jenis perizinan yang menjadi kewenangan
Kementerian LHK dengan mengeluarkan dari Kementerian LHK terkait perizinan
PermenLHK Nomor P.97/Menhut-II/2014. pertambangan diatur dalam PermenLHK
Jo P.1/Menhut-II/2015 tentang Pendelegasian Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016
Wewenang Pemberian Perizinan dan Non- tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Perizinan di Bidang Lingkungan Hidup (P3KH). Dalam Permen tersebut dijelaskan
dan Kehutanan kepada Badan Koordinasi bahwa pengurusan IPPKH membutuhkan
Penanaman Modal (BKPM). BKPM adalah waktu 31 hari (tidak termasuk perbaikan/
sebuah badan layanan penanaman modal penyempurnaan), dimana permohonan IPPKH
Pemerintah Indonesia yang dibentuk dengan wajib dilengkapi persyaratan administrasi dan
maksud untuk menerapkan secara efektif teknis. Selanjutnya persyaratan administrasi
penegakan hukum terhadap penanaman adalah rekomendasi gubernur dan persyaratan
modal asing maupun dalam negeri. Sebagai teknis harus ada izin lingkungan. Untuk
penghubung antara dunia usaha dan rekomendasi gubernur membutuhkan waktu
pemerintah, BKPM diberi mandat untuk 30 hari dan izin lingkungan 105 hari. Dengan
mendorong investasi langsung, baik dari kata lain dalam pengurusan IPPKH yang
dalam maupun luar negeri, melalui penciptaan sesungguhnya mungkin bisa lebih lama dari
iklim investasi yang kondusif (Destiana, jangka waktu yang tertera diperaturan tersebut.
2011). Hal ini didukung oleh hasil wawancara
Pendelegasian izin LHK ke BPKM dengan pemohon IPPKH yang menyatakan
memudahkan pelayanan perizinan, sehingga bahwa waktu pengurusan IPPKH cukup lama
para investor dapat menghemat biaya antara 6-18 bulan per izin.
pengurusan izin karena tidak perlu lagi Di samping itu, Permen tersebut juga tidak
mendatangi berbagai kementerian/lembaga secara jelas mencantumkan berapa biaya yang
(K/L). Dalam hal ini Kepala BKPM dapat dibutuhkan dalam pengurusan izin. Hanya
menerbitkan izin di bidang LHK, tetapi tinjauan disebutkan dalam pemenuhan persyaratan
atau kajian teknis LHK tetap dilakukan oleh administrasi harus membuat pernyataan
KemenLHK. Perizinan dan non-perizinan di dalam bentuk akta notariil yang menyatakan
Bidang LHK yang didelegasikan ke BKPM kesanggupan untuk memenuhi semua
salah satunya mengenai izin penggunaan kewajiban dan kesanggupan menanggung
kawasan hutan pada hutan produksi dan hutan seluruh biaya sehubungan dengan permohonan
lindung dengan skema IPPKH. Peraturan izinnya. Sebenarnya peraturan perundang-
perundangan yang mendasari penerbitan undangan telah mengatur sedemikian rupa
IPPKH sesuai PermenLHK Nomor P.50/ tentang jangka waktu perizinan yang harus
Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang dilewati oleh perusahaan ataupun masyarakat
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan terdiri yang ingin mendapatkan izin penggunaan
dari 11 unit UU, 13 unit Peraturan Pemerintah kawasan hutan. Namun demikian selalu
(PP), sembilan unit Peraturan Presiden terdapat gap antara apa yang tercantum dalam
(Perpres)/Keputusan Presiden (Kepres), dan peraturan dengan fakta atau kenyataan yang
tiga unit PermenLHK. Sebagian peraturan terjadi selama ini. Tata cara pengurusan
terkait telah dikaji substansinya sebagaimana perizinan IPPKH dapat dilihat pada Gambar
tercantum pada Tabel 2. 2.

72
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Tabel 2. Peraturan perundangan terkait penerbitan IPPKH


Table 2. Regulations related to Lease Forest Area Lincense

Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
1. Undang-Undang (UU) Nomor Penggunaan kawasan hutan untuk Izin pinjam pakai kawasan hutan
41 Tahun 1999 (Kehutanan) kepentingan pembangunan di luar kegiatan (IPPKH) untuk usaha tambang
kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam diterbitkan oleh Menteri dengan
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan mempertimbangkan luas,
lindung dan dilakukan tanpa mengubah jangka waktu dan kelestarian
fungsi pokok kawasan hutan. Khusus lingkungan.
untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai
oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan (Pasal 38).
2. UU Nomor 32 Tahun 2009 Setiap usaha dan/atau kegiatan yang Kegiatan pertambangan
(Perlindungan dan Pengelolaan berdampak penting terhadap lingkungan termasuk kegiatan usaha yang
Lingkungan Hidup) hidup wajib memiliki amdal (Pasal 23). berdampak pada lingkungan
Kriterianya: (a) Pengubahan bentuk lahan karena telah memenuhi empat
dan bentang alam; (b) Eksploitasi sumber kriteria usaha berdampak
daya alam (SDA), baik yang terbarukan penting sehingga wajib
maupun yang tidak terbarukan; (c) Proses memiliki amdal.
dan kegiatan yang secara potensial
dapat menimbulkan pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup serta
pemborosan dan kemerosotan sumber
daya alam dalam pemanfaatannya; dan (d)
Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
memengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
(Pasal 24).
3. UU Nomor 4 Tahun 2009 Mineral dan batubara (Minerba) sebagai Kegiatan usaha pertambangan
(Pertambangan Mineral dan SDA yang tak terbarukan merupakan minerba diselenggarakan oleh
Batubara) kekayaan nasional yang dikuasai oleh Pemerintah dan pemda untuk
negara untuk sebesar-besar kesejahteraan sebesar-besar kesejahteraan
rakyat. Penguasaan minerba oleh negara rakyat.
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah (Pasal 4).
4. UU Nomor 26 Tahun 2007 Rencana pola ruang meliputi peruntukan Patokan kawasan hutan 30%
tentang Penataan Ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya yang digunakan dalam proses
meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan permohonan IPPKH khususnya
pelestarian lingkungan, sosial, budaya, di kawasan budidaya, walaupun
ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Dalam keberadaan tambang secara
rangka pelestarian lingkungan, rencana tata alami tidak dapat ditentukan
ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan keberadaannya baik di kawasan
paling sedikit 30% dari luas daerah aliran lindung atau kawasan budidaya.
sungai (DAS). Penyusunan rencana tata
ruang harus memperhatikan keterkaitan
antar wilayah, antar fungsi kawasan, dan
antar kegiatan kawasan (Pasal 17).
5. Peraturan Pemerintah (PP) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib Izin lingkungan saling berkaitan
Nomor 27 Tahun 2012 (Izin memiliki amdal atau Upaya Pengelolaan dengan Amdal dan UKL-UPL
Lingkungan) Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya untuk suatu kegiatan usaha
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) wajib pertambangan.
memiliki izin lingkungan. Izin llngkungan
tersebut diperoleh melalui tahapan kegiatan
yang meliputi (a) penyusunan amdal
dan UKL- UPL; (b) penilaian amdal dan
pemeriksaan UKL-UPL; dan (c) permohonan
dan penerbitan izinnya.

73
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
6. PP Nomor 6 Tahun 2007 jo Tata hutan dan penyusunan rencana KPH sebaiknya dilibatkan
PP Nomor 3 Tahun 2008 pengelolaan hutan, serta pemanfaatan dalam proses pengurusan IPPKH
(Tata Hutan dan Penyusunan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan di hutan produksi (pengelola
Rencana Pengelolaan Hutan dan kewenangan pemerintah dan pemda. Kesatuan Pengelolaan Hutan
Pemanfaatan Hutan) Kawasan hutan (produksi, konservasi Produksi/ KPHP) dan di hutan
dan lindung) terbagi dalam kesatuan lindung (pengelola Kesatuan
pengelolaan hutan (KPH) yang menjadi Pengelolaan Hutan Lindung/
bagian dari penguatan sistem pengurusan KPHL).
hutan nasional, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota (Pasal 3).
7. PP Nomor 24 Tahun 2012 Keberadaan UU Nomor 4 Tahun 2009 untuk UU Nomor 4 Tahun 2009
(Kegiatan Usaha Pertambangan memberi (i) kesempatan lebih besar kepada menjadi dasar untuk negosiasi
Minerba) peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dan pengalihan saham untuk
dalam kegiatan usaha pertambangan pemegang KK dan PKP2B serta
minerba, perlu mewajibkan modal asing merubahnya menjadi IUP.
untuk mengalihkan sebagian sahamnya
kepada peserta Indonesia, dan (ii) kepastian
hukum bagi pemegang Kontrak Karya
(KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) yang
bermaksud untuk melakukan perpanjangan
dalam bentuk IUP, perlu diatur mengenai
tata cara permohonan IUP dimaksud.
8. PP Nomor 26 Tahun 2008 Penataan ruang wilayah nasional RTRWN menjadi pedoman
(Rencana Tata Ruang Nasional) (RTRWN) bertujuan untuk mewujudkan untuk (i) pewujudan
(a) ruang wilayah nasional yang aman, keterpaduan, keterkaitan, dan
nyaman, produktif, dan berkelanjutan; (b) keseimbangan perkembangan
keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah antar wilayah provinsi, serta
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (c) keserasian antar sektor, (ii)
keterpaduan pengendalian pemanfaatan penetapan lokasi dan fungsi
ruang wilayah nasional, provinsi, dan ruang untuk investasi, dam
kabupaten/kota dalam rangka pelindungan (iii) penataan ruang kawasan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif strategis nasional.
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang; dan (d) pemanfaatan sumber daya
alam secara berkelanjutan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Pasal 2).
9. Perpres Nomor 97 Tahun 2014 Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PTSP ini penting dan
(Pelayanan Terpadu Satu Pintu) adalah pelayanan secara terintegrasi merupakan terobosan untuk
dalam satu kesatuan proses dimulai dari menyediakan proses pelayanan
tahap permohonan sampai dengan tahap yang terintegrasi dalam satu
penyelesaian produk pelayanan melalui pintu yang cepat, mudah,
satu pintu (Pasal 1). PTSP bertujuan: murah, transparan, pasti, dan
(a) memberikan perlindungan dan terjangkau
kepastian hukum kepada masyarakat;
(b) memperpendek proses pelayanan;
(c) mewujudkan proses pelayanan yang
cepat, mudah, murah, transparan, pasti,
dan terjangkau; dan (d) mendekatkan dan
memberikan pelayanan yang lebih luas
kepada masyarakat (Pasal 2).

74
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
10. Peraturan Menteri Lingkungan Ada tujuh bidang LHK yang didelegasikan Proses perizinan yang telah
Hidup dan Kehutanan Nomor ke BKPM, yaitu (i) Pemanfaatan hasil hutan diterbitkan untuk ketujuh
P.97/MENHUT-II/2014 Jo kayu/bukan kayu hutan pada hutan produksi/ bidang LHK dengan jenis
Nomor P.1/Menhut-II/2015 hutan lindung (HP/HL) (enam jenis izin), (ii) izinnya masing-masing perlu
tentang Pendelegasian Pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) pada dibuka aksesnya untuk publik.
Wewenang Pemberian HP/HL (lima jenis izin), (iii) Pemanfaatan
Perizinan dan Non Perizinan kawasan pada HP/HL (dua jenis izin), (iv)
di Bidang Lingkungan Hidup Penggunaan kawasan hutan pada hutan
dan Kehutanan dalam Rangka produksi/lindung, pelepasan, tukar menukar
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu (tiga jenis izin), (v) Pengusahaan pariwisata
Satu Pintu Kepada Kepala alam/ bidang KSDA (16 jenis izin), (vi)
Badan Koordinasi Penanaman Perbenihan tanaman hutan (dua jenis izin),
Modal dan (viii) lingkungan (satu jenis izin).
11. Peraturan Menteri Lingkungan Rekomendasi Dirjen PHPL untuk IPPKH Perlu informasi yang jelas
Hidup dan Kehutanan di hutan produksi dihilangkan dan diganti terkait perubahan skema
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/ dengan Dirjen Minerba, Kementerian rekomendasi dari Dirjen PHPL
Kum.1/6/2016 ESDM, namun rekomendasi Perhutani masih (Peraturan Menteri Kehutanan
tentang Pedoman Pinjam Pakai dipertahankan untuk IPPKH di kawasan Nomor P.16/Menhut-II/2014) ke
Kawasan Hutan hutan di Pulau Jawa. Dirjen Minerba (PermenLHK
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/
Kum.1/6/2016 tahun 2016
tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan)
12. Peraturan Menteri Lingkungan Komisi penilai mempunyai tugas (i) menilai Proses pemilihan anggota
Hidup Nomor 5 tahun 2008 kerangka acuan (KA), analisis dampak komisi penilai andal harus
tentang Tata Kerja Komisi lingkungan (ANDAL), rencana kelola dilakukan dengan selektif,
Penilai Analisis Mengenai lingkungan (RKL), dan rencana pengelolaan cermat dan tepat karena sangat
Dampak Lingkungan Hidup lingkungan (RPL); dan (ii) memberikan mempengaruhi hasil keputusan
masukan dan dasar pertimbangan dalam yang dibuatnya.
pengambilan keputusan KA dan kelayakan
lingkungan hidup atas suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan kepada 1. Menteri untuk
komisi penilai pusat; 2. Gubernur untuk
komisi penilai provinsi; 3. Bupati/Walikota
untuk komisi penilai kabupaten/kota. Dalam
melaksanakan tugasnya, komisi penilai
wajib mengacu pada (a) kebijakan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan;
(b) rencana tata ruang wilayah; dan (c)
kepentingan pertahanan keamanan.
Sumber (Source): Dari berbagai sumber peraturan perundangan, diolah (From various sources of legislation,
analyzed).

C. Kebijakan Sistem Perizinan dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya


Pertambangan Dalam Kawasan Hutan perizinan dalam bidang pertambangan belum
Dalam tataran nasional, pemerintah telah dapat dilaksanakan dalam konsep pelayanan
dan sedang mengembangkan suatu sistem satu atap, karena keterkaitannya dengan
perizinan satu atap yang dikenal dengan undang-undang kehutanan (Putra, 2010).
Program Nasional Single Window, sebagai Misalnya, walaupun IUP dari Kementerian
upaya pelayanan terpadu dari pemerintah ESDM, tetap tidak dapat dilaksanakan karena
bagi pelaku usaha dalam mengurus berbagai tidak keluarnya IPPKH dari Kemen LHK.
perizinan terkait kegiatan usaha yang hendak Dengan keterkaitan hukum antar sektor

75
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

Sumber (Source): Permen LHK Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016


Gambar 2. Tata cara permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan.
Figure 2. Procedures for application of forest land use permit.

tersebut, pelaksanaan pengaturan kebijakan pusat dan daerah, sehingga pada akhirnya
pertambangan seharusnya juga menyentuh akan memberikan ketidakpastian berusaha
kebijakan secara lintas sektor yang mencakup bagi kegiatan usaha pertambangan (Silalahi
teknis pelaksanaan maupun pendukung & Kristianto, 2011).
sarana dan prasarananya. Contohnya Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
keterkaitan hukum undang-undang Minerba kebijakan sistem perizinan pertambangan
dalam sistem perizinan, dengan adanya dalam kawasan hutan perlu dikaji dari
ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 berbagai sudut, antara lain (i) Persyaratan
(PPLH) yang mewajibkan izin lingkungan perizinannya; (ii) Tata cara pemberian sistem
sebagai syarat izin kegiatan, termasuk perizinannya, (iii) Permasalahan IUP, (iv)
kegiatan usaha pertambangan. Keharusan Implikasi kelemahan UU Minerba, dan (v)
usaha pertambangan mendapatkan terlebih Aturan pelaksana dan aspek lingkungan dari
dahulu izin lingkungan sebagai pra-syarat UU Minerba.
memperoleh IUP menimbulkan masalah Namun sebelum dibahas lebih lanjut
terhadap gagasan sistem izin satu atap. akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai
Permasalahan lain terkait dengan pengaturan pengaturan penggunaan dan pengusahaan
tata ruang yang dalam pelaksanaan masih pertambangan, karena subtansi ini yang
sering menimbulkan tumpang-tindih antar menjadi parameter mendasar dalam
sektor bertalian dengan beragamnya jenis pengaturan hukum pertambangan yang
pemanfaat ruang kegiatan pertambangan dan berlaku saat ini. Pada masa berlakunya
perbedaan kepentingan antara pemerintah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang

76
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan, yang melakukan usaha pertambangan


sistem pengelolaan pertambangan yang wajib memenuhi persyaratan administratif,
dikembangkan pemerintah sebelumnya teknis, lingkungan dan finansial yang sama
adalah sistem kontrak, sedangkan UU yang dengan persyaratan-persyaratan yang harus
berlaku saat ini adalah UU Nomor 4 Tahun dipenuhi untuk mendapatkan tipe-tipe IUP
2009 tentang Pertambangan Mineral dan yang lain (IPR hanya persyaratan teknis)
Batubara (Minerba) dengan sistem perizinan dan diatur dalam PP sebagai peraturan
sehingga pergantian Undang-Undang pelaksana kegiatan usaha pertambangan (IPR
mengenai pertambangan yang terjadi diikuti oleh Peraturan Daerah/Perda). Peraturan
pula dengan perubahan sistem pengelolaan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 sebagai PP
yang terdapat dalam substansinya (Silalahi & pelaksana UU Minerba tersebut menetapkan
Kristianto, 2011). bahwa persyaratan lingkungan diatur bagi
UU Nomor 4 Tahun 2009 tidak hanya pelaku kegiatan usaha pertambangan untuk
merumuskan IUP dalam satu jenis saja, menyatakan kesanggupannya mematuhi
melainkan mengklasifikasikan sistem peraturan perundang-undangan di bidang
perizinan dalam 3 jenis yang terdiri atas 1) perlindungan dan pengelolaan lingkungan
IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha hidup.
pertambangan; 2) Izin Pertambangan Rakyat 2. Pemberian izin usaha pertambangan
(IPR) merupakan izin untuk melaksanakan
Membahas kembali mengenai subtansi IUP
usaha pertambangan dalam wilayah
pada dasarnya ketentuan yang terdapat pada
pertambangan rakyat dengan luas wilayah
masing-masing jenis izin usaha pertambangan
dan investasi terbatas; dan 3) Izin Usaha
secara umum memuat mengenai pemberian
Pertambangan Khusus (IUPK) merupakan
izinnya. Dalam subtansi IUP, pemberian izin
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan
usaha oleh bupati/walikota, gubernur maupun
di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
menteri didasarkan pada lokasi wilayah IUP
Masing-masing izin usaha pertambangan
bersangkutan dan peruntukan IUP kepada
tersebut selain IPR memiliki 2 tahapan
badan usaha (Penanaman Modal Asing
yaitu pertama, Eksplorasi meliputi kegiatan
(PMA)/Penanaman Modal Dalam Negeri
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
(PMDN)), koperasi dan perseorangan.
kelayakan; dan kedua, Operasi Produksi
Kemudian subtansi IPR diatur untuk
yang meliputi kegiatan konstruksi,
(i) wilayah yang hanya mencakup tingkat
penambangan, pengolahan dan pemurnian,
kabupaten/kota, dan berada dalam
serta pengangkutan dan penjualan.
kewenangan bupati/walikota bersangkutan
Memperhatikan dari ketentuan tersebut dan (ii) izinnya diperuntukkan atau diberikan
diketahui bahwa bentuk izin pertambangan bagi penduduk lokal/setempat dan koperasi,
tidak hanya 1 macam saja sehingga untuk serta (iii) pengusahaan pertambangan rakyat
membahas lebih mendalam mengenai izin ini diatur lebih lanjut lewat Perda.
pertambangan, maka penulis mengambil IUPK hanya diperuntukkan bagi badan
ketentuan yang subtansi ketentuannya usaha yang berbadan hukum Indonesia baik
dianggap mewakili jenis bentuk izin itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
pertambangan lainnya karena hal subtansi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
yang membedakan hanyalah dalam hal maupun Badan Usaha Milik Swasta (BUMS),
peruntukkan dan wilayah pertambangannya. tetapi lebih diprioritaskan kepada BUMN/
1. Persyaratan izin usaha pertambangan BUMD. Pemberian izin ini didasari oleh sifat
UU Nomor 4 Tahun 2009 mengatur bahwa pengusahaan pertambangannya yang khusus,
badan usaha, koperasi dan perseorangan mengenai wilayah pertambangan bahwa

77
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

wilayah pertambangan khusus (WUPK) 5.000 m². Pada kenyatannya persyaratan


itu merupakan wujud perubahan status dari tersebut sudah tidak relevan di berbagai
wilayah pencadangan negara (WPN) yang daerah. Bangka Belitung misalnya, luas
merupakan bagian dari wilayah pertambangan, wilayah 5.000 m² itu sudah tidak ada lagi. Jika
karena kepentingan strategis nasional maka mengacu pada aturan tadi, otomatis di daerah
dibutuhkan WPN tersebut. Satu WUPK tersebut tidak bisa dibuka IUP baru. Aturan
biasanya terdiri dari 1 (satu) atau beberapa mengenai luas wilayah IUP yang 5.000 m²
wilayah izin usaha pertambangan (WIUPK), itu adalah untuk membatasi izin. Berdasarkan
sehingga kegiatan usaha pertambangan di data Kementerian ESDM, mencatat sudah ada
WUPK harus dilakukan dalam bentuk IUPK. lebih dari 10.000 IUP. Kondisi yang demikian
IUP diberikan setelah adanya penetapan perlu diperhatikan secara serius karena
WUP, sedangkan WUP sendiri merupakan kalau tidak memperketat persyaratan izin,
bagian dari tata ruang nasional yang ditetapkan berdampak pada bertambahnya jumlah izin
oleh pemerintah setelah koordinasi dengan yang tidak terkontrol. (Syahadat et al., 2016).
Pemda dan DPR. Oleh karena itu, sebelum Permasalahan lainnya, Pertama, kurangnya
adanya penetapan oleh pemerintah tentang aspek pengawasan dalam pemberian izin.
tata ruang nasional wilayah pertambangan Bisa dibayangkan bahwa di Kabupaten Kutai
dengan ditunjang data geologis secara tepat, Kartanegara sudah menerbitkan ratusan izin
maka pengeluaran izin penambangan belum tapi ternyata tenaga pengawas (inspektur)
boleh dikeluarkan oleh pemerintah daerah. tambangnya hanya dalam hitungan jari.
Sehingga pengeluaran IUP dan semacamnya Misalnya saja luas tambang illegal dikawasan
itu tergantung dari sudah atau belum WUP hutan di Kaltim mencapai dua kali lipat dari
ditetapkan oleh pemerintah yang berupa luasan tambang yang resmi. Jumlah tambang
tata ruang nasional wilayah pertambangan. illegal di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto
IUP yang menjadi substansi pokok dalam (THRBS) sebanyak 41 IUP batubara dengan
UU Nomor 4 Tahun 2009 walaupun telah luas 1.500 hektar yang terkesan adanya
dijabarkan cukup operasional dalam UU “pembiaran” karena keberadaannya sudah
tersebut tetapi klarifikasi untuk beberapa bertahun-tahun dan tidak ada pihak yang
klausul tetap perlu dilakukan guna mendukung menghentikannya, Yulian dalam Subarudi
penerapannya yang relevan dan efektif. et al. (2016). Kasus tambang illegal tersebut
menjadi bukti kuat bahwa kegiatan monitoring
3. Permasalahan izin usaha pertambangan
dan evaluasi tidak dilakukan dengan baik
Kehadiran UU Nomor 4 Tahun 2009 dan benar. Seyogyanya proses pemberian
dilandasi oleh niat untuk memperbaiki tata izin harus diawasi dan setiap daerah sudah
kelola pertambangan minerba di Indonesia. seharusnya memiliki tim pengawas izin
Salah satu esensi perbaikan yang dikandung pertambangan. Kedua, penyesuaian kontrak.
dalam UU Minerba adalah menata ulang izin- Jika berbicara secara hukum penyesuaian
izin yang tumpang tindih. Kendala dalam kontrak seharusnya dilakukan dalam jangka
pelaksanaannya adalah UU tersebut dianggap waktu satu tahun sesuai dengan UU Minerba.
masih terlalu general (bersifat umum). Secara hukum itu akan menimbulkan
Sementara, dalam kasus pertambangan kontradiksi juga, karena di satu sisi pemerintah
minerba terdapat beberapa kondisi yang menghormati asas pacta sun servanda: kontrak
spesifik, dan tidak bisa diakomodir dalam itu harus dihormati sebagai UU. Tapi di sisi lain
UU yang sifatnya general (umum). Misalnya, pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk
di dalam aturan dinyatakan bahwa jika akan mengamandemen kontrak karya (KK) supaya
menambang harus punya IUP eksplorasi dan lebih adil. Sebagai contoh aturan pembayaran
minimal harus mempunyai wilayah seluas royalty (UU Nomor 4 Tahun 2009) disebutkan

78
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

bahwa setiap pengusaha lokal membayar 4. Implikasi kelemahan Undang-Undang


royalti sebesar 3,75%, sedangkan PT. Freeport Minerba
Indonesia berdasarkan KK ditetapkan hanya Sebenarnya kelemahan suatu UU dapat
membayar 1%. Oleh karena itu pemerintah dilakukan yudicial review ke Mahkamah
sedang mengupayakan renegosiasi KK yang Konstitusi (MK) dengan posisi penggugat
sudah ada sebelum aturan baru berlaku. memang merupakan pihak yang paling
Renegoisiasi KK ini hendaknya dapat dirugikan atas keberadaan UU tersebut.
dipahami untuk kepentingan masyarakat Dalam hal ini keputusan MK bersifat final dan
dan tidak dipersepsikan pemerintah tidak mengikat sehingga harus dipatuhi oleh kedua
menghormati KK, namun konteks dan kondisi belah pihak (penggunggat dan tergugat). Hasil
pada saat ini juga sudah jauh berbeda saat KK kajian perbandingan antara UU yang baru (UU
ditandatangani sehingga perlu penyesuaian Nomor 4 Tahun 2009) dengan UU yang lama
dan penyempurnaan atas KK tersebut. (UU Nomor 11 Tahun 1967) menunjukkan
Dalam upaya penataan dan pengelolaan UU yang baru memiliki kekuatan untuk
IUP minerba, salah satu upaya yang harus mengoreksi secara substansial terkait hak
dilakukan pemerintah adalah memperketat kepemilikan, klasifikasi bahan tambang,
masalah perizinannya. Artinya pemerintah sistem perizianan, kewenangan pengelolaan
perlu lebih selektif lagi dalam memberikan dan pelaku usahanya dari UU yang lama
IUP. Walaupun sudah dibuat/ada ketentuan sebagaimana tercantum pada Tabel 3.
pidana, jika pemberi izin menerbitkan IUP Tabel 3 menjelaskan kekuatan UU Nomor
tidak sesuai dengan kewenangannya akan 4 Tahun 2009 atas UU yang digantikannya
dikenakan sanksi pidana, namun prioritas dengan lebih fokus terhadap jenis tambang
pemerintah adalah melakukan penataan yang diaturnya. Pada poin 2 (hak negara atas
dan pengetatan terhadap IUP yang ada agar penguasaan SDA) dinyatakan bahwa pada
aktivitas industri tambang minerba tetap intinya negara yang mempunyai hak untuk
berjalan dan investasi tidak terkendala di mengatur pengelolaan dan pemanfaatan SDA.
masa datang. Hal ini berangkat dari fakta Poin 5 (kewenangan pengelolaan) mengatur
bahwa banyak pemerintah daerah yang pembagian kewenangan atas hak pengelolaan
mengeluarkan IUP yang illegal yang tidak pertambangan antara pemerintah pusat dan
sesuai aturan. Dalam data kementerian ESDM daerah sehingga diharapkan tidak terjadi lagi
tercatat jumlah IUP yang telah teregistrasi di tumpang tindih izin pertambangan. Terkait
Ditjen Minerba per 27 Maret 2013 sejumlah dengan pengaturan WUP (poin 6), penataan
10.809 dengan hasil verifikasi 5.502 IUP ruang wilayah nasional telah diatur sehingga
Clear and Clean (C&C) dan 5.307 tidak C&C diharapkan tidak akan terjadi lagi tumpang
(IUP C&C adalah data IUP yang perizinannya tindih pengelolaan pertambangan. Hal
tidak bermasalah dan tidak termasuk dalam terpenting dalam kajian ini adalah pembinaan
kategori tumpang tindih sama komoditi, dan pengawasan (poin 9) yang mengatur
tidak tumpang tindih beda komoditi, tidak bahwa setiap badan usaha yang akan mengelola
tumpang tindih lintas kewenangan, dokumen pertambangan akan memperoleh IUP (dalam
pendukung sudah lengkap, koordinat sesuai hal ini izin berupa KK, KP, dan KKP2B sudah
dengan SK dan KP yang belum penyesuaian tidak muncul setelah negosiasi kontrak).
menjadi IUP). Seperti yang tertera di atas, Perubahan ini semata-mata dilakukan dalam
50% dari keseluruhan IUP yang dikeluarkan upaya pembenahan izin pertambangan yang
dan tercatat di Ditjen Minerba tidak clear dilakukan oleh Kementerian ESDM sehingga
and clean. Itu artinya, separuhnya adalah IUP apabila pemegang izin yang melanggar aturan
illegal (Nasarudin, 2013). akan diberikan sanksi sesuaikan dengan

79
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

Tabel 3. Perbandingan UU Nomor 11 Tahun 1967 dengan UU Nomor 4 Tahun 2009


Table 3. Comparison of Law Number 11/1967 with Law Number 4/2009

Materi pokok UU Nomor 11Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009


No
(Subject matter) (Law Number 11 of 1967) (Law Number 4 of 2009)

1. Perihal (regarding) Ketentuan pokok pertambangan


Pertambangan mineral dan batubara
2. Hak penguasaan Penguasaan bahan - Penguasaan minerba oleh Negara, yang
negara atas SDA (Rights tambang diselenggarakan penyelenggaraannya dilakukan oleh
of the state for natural Negara (Pasal 1) pemerintah dan/atau pemda (Pasal 4).
resources) - Pemerintah dan DPR menetapkan
kebijakan pengutamaan minerba bagi
kepentingan nasional (Pasal 5).
- Data dan informasi adalah milik
Pemerintah

3. Penggolongan/ Penggolongan bahan galian - Pengelompokan usaha pertambangan:


Pengelompokan strategis, vital, bukan strategis minerba dan batubara
(category/grouping) bukan vital (Pasal 3) - Penggolongan tambang mineral:
radioaktif, logam, bukan logam, batuan
(Pasal 34)

4. Dasar kegiatan Sistem/Rezim Kontrak Terdiri Sistem/Rezim Perizinan, terdiri atas:


usaha (Basic business atas: Kontrak Karya (KK), Kuasa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin
activity) Pertambangan (KP), Surat Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin
Pertambangan Daerah (SIPD) Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
dan Surat Ijin Pertambangan (Pasal 35)
Rakyat (SIPR) (Pasal 10, 15)

5. Kewenangan - Bahan galian strategis (gol. - 21 kewenangan berada di Pusat


pengelolaan A) dan vital (gol. B) oleh - 14 kewenangan berada di provinsi
(Authority of management) Pemerintah - 12 kewenangan berada di Kabupaten/
- Bahan galian non strategis non Kota (Pasal 6-8)
vital (gol. C) oleh PemdaTkt.I/
Provinsi (Pasal 4)

6. Wilayah usaha Secara terinci tidak - Wilayah pertambangan adalah bagian


pertambangan diatur, kecuali bahwa usaha dari tata ruang nasional, yang ditetapkan
(Region of mining pertambangan tidak berlokasi di pemerintah setelah koordinasi dengan
business) tempat suci, kuburan, bangunan, Pemdadan DPR (Pasal 10)
dll (Pasal 16 ayat 3) - Wilayah pertambangan terdiri atas:
Pertambangan (WUP), Pertambangan
rakyat (WPR) dan wilayah penca
dangan nasional (WPN) Pasal 14 s/d 33

7. Pelaku usaha - Investor nasional domestik - IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN),
(Business actors) (PMDN), berupa: KP, SIPD, koperasi, perseorangan (Pasal 38)
PKP2B - IPR bagi penduduk lokal, koperasi
- Investor Asing (PMA), (Pasal 67), dengan luas terperinci (pasal
berupa: KK, PKP2B 68)
- Luas usaha pertambangan - IUPK, bagi badan usaha berbadan
tidak dirinci hukum Indonesia degan prioritas pada
BUMN / BUMD (Pasal 75)

80
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Materi pokok UU Nomor 11Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009


No
(Subject matter) (Law Number 11 of 1967) (Law Number 4 of 2009)

8. Tahapan kegiatan Terdapat 6 tahapan yang Terdiri 2 tahapan, yaitu:


(Activity phase) membagi kuasa pertambangan • Eksplorasi: penyelidikan umum,
atas: Penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan
eksplorasi, eksploitasi, • Operasi Produksi: konstruksi,
pengolahan& pemurnian, penambangan, pengolahan&pemurnian,
pengangkutan, penjualan (Pasal pengangkutan dan penjualan (Pasal 36)
14)

9. Pembinaan & Terpusat di tangan pemerintah - Pusat, provinsi, kabupaten kota sesuai
pengawasan atas pemegang KK, KP, PKP2B kewenangan terhadap pemegang IUP
(Guidance and control) - Kabupaten/Kota terhadap IPR (Pasal
139-142)

10. Penggunaan lahan Penggunaan lahan dilakukan Pembatasan tanah yang dapat diusahakan
(Use of land) pembatasan tanah yang dapat dan sebelum memasuki tahap operasi
diusahakan. produksi pemegang IUP/IUPK wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan
pemegang hak.

11. Tata cara Melalui mekanisme Perizinan dilakukan dengan lelang untuk
perizinan Permohonan mineral logam dan batubara, sedangkan
(License procedure) untuk mineral bukan logam dan batuan
perizinan dilakukan dengan permohonan
wilayah

Sumber (Source): Silalahi & Kristianto, 2011.

jenis pelanggarannya dari mulai sanksi Terkait dengan isu lingkungan, saat
administrasi, pencabutan izin hingga sanksi ini sudah ada PP khusus, yakni Peraturan
pidana. Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang
Reklamasi dan Pasca Tambang untuk wilayah
5. Aturan Pelaksana dan Aspek tambang di APL (diinisiasi oleh Kementeria
Lingkungan dari UU Minerba ESDM) dan Peraturan Pemerintah Nomor
Peraturan pelaksana atas UU Minerba 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan
terus dilengkapi, akan tetapi yang menjadi Reklamasi Hutan untuk wilayah tambang di
masalah adalah ada wilayah pertambangan kawasan hutan (diinisiasi oleh Kementerian
(WP) yang belum keluar. Kalau WP belum Kehutanan). Kedua PP ini menjadi bukti
keluar, maka praktis penerbitan IUP juga bahwa UU Minerba sangat menekankan aspek
tidak bisa dilakukan. Untuk PP, hingga saat kelestarian lingkungan dalam pengelolaan
ini sudah ada empat PP yang menjadi turunan tambang. Untuk aspek pidana lingkungan,
dari UU Minerba dan bahkan ada satu PP (PP sudah ada UU Nomor 32 Tahun 2009 terkait
Nomor 23 Tahun 2010) yang sudah direvisi pelanggaran atas aspek lingkungan dan dalam
menjadi PP Nomor 24 Tahun 2012 tentang konteks apapun, dimana apabila ada pihak
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dengan kegiatan minerba yang melakukan
Minerba. Revisi PP ini diharapkan bisa lebih tindak pidana terkait lingkungan akan dijerat
operasional dan secara umum sudah terlihat dengan UU Lingkungan Hidup dan bukan
adanya kepatuhan dari pemerintah daerah dan dengan UU Minerba.Khusus untuk PP
masyarakat untuk mengikutinya. Nomor 78 Tahun 2010, hal yang diatur adalah
kewajiban perusahaan untuk melakukan

81
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

reklamasi setelah melakukan aktivitas kawasan hutan, dan (iii) langkah-langkah


produksi tambang. Jadi, sebelum sebuah konkrit penyempurnaan sistem perizinan
perusahaan mendapatkan IUP, khususnya pertambangan.
IUP eksplorasi, mereka harus mengurus izin 1. Diskusi perspektif dasar hukum (aturan
lingkungan terlebih dahulu dan dilanjutkan main).
mengurus amdal. Sehingga pada prinsipnya
setiap perusahaan pertambangan harus Pemerintahan telah mencanangkan
punya kelengkapan dokumen lingkungan agar semua perizinan dikelola dalam satu
untuk mendapatkan IUP operasi produksi. pintu atau satu atap yang dikenal dengan
Jika perusahaan tidak memiliki kelengkapan KPT. Harapannya adalah para investor
dokumen lingkungan, maka tentu saja bisa dapat memperoleh kepastian usaha dan
dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang memudahkan pemohon dalam mengurus
diatur dalam UU Minerba. Dalam konteks izinnya terkait persyaratan izin yang harus
reklamasi, pada dasarnya perusahaan dituntut dilaluinya tanpa harus bolak-balik mengurus
bukan hanya sekedar bisa menambang, tapi berbagai perizinanannya. Pengurusan izin satu
juga bisa me-recovery, bisa mengembalikan pintu yang dikenal dengan istilah perizinan
lahan yang sudah rusak. Ada juga yang terpadu diatur dalam Peraturan Presiden
namanya jaminan reklamasi adalah jaminan Nomor 97 Nomor 2014 (PTSP). Tujuan
dalam bentuk deposito yang wajib dibayarkan dibentuk PTSP adalah untuk a) memberikan
pada saat perusahaan mendapatkan IUP. perlindungan dan kepastian hukum kepada
Jika perusahaan tersebut tidak melakukan masyarakat, b) memperpendek proses
reklamasi atau me-recovery kerusakan lahan pelayanan, c) mewujudkan proses pelayanan
dari aktivitas akan mendapatkan sanksi yang, cepat, mudah, murah, transparan,
sesuai dengan aturan yang berlaku. Lahan pasti, dan terjangkau,; d) mendekatkan dan
bekas tambang yang ditinggalkannya akan memberikan pelayanan yang lebih luas kepada
direklamasi oleh pihak ketiga dengan biaya masyarakat. Ruang lingkup PTSP meliputi
dari jaminan reklamasi. Persoalannya adalah seluruh pelayanan perizinan dan non-perizinan
penentuan jumlah nominal jaminan reklamasi yang menjadi kewenangan pemerintah dan
terlalu rendah (hanya 30%) dari jumlah pemerintah daerah. PTSP dilaksanakan oleh
nominal riil reklamasi di lapangan sehingga a) Pemerintah yang dilakukan oleh BKPM
hasil reklamasi tidak sesuai dengan kondisi untuk pelayanan perizinan dan non-perizinan
yang diinginkan. Selain itu, analisis mengenai di bidang penanaman modal yang merupakan
dampak lingkungan tidak diperhatikan secara urusan pemerintah; b) Pemerintah provinsi
serius. Akibatnya, banyak IUP dikeluarkan untuk pelayanan perizinan dan non-perizinan
di area dekat pemukiman warga yang dari urusan wajib dan urusan pilihan yang
mengakibatkan masyarakat menjadi korban menjadi urusan provinsi; dan c) Pemerintah
karena kegiatan pertambangan menggerus kabupaten/kota untuk pelayanan perizinan dan
lingkungan hidup mereka, menyerobot non-perizinan dari urusan wajib dan urusan
perkebunan, hutan, dan sumber daya yang pilihan yang menjadi urusan kabupaten/kota.
menghidupi mereka. Pada prinsipnya, pelaksanaannya PTSP
dilakukan oleh masing-masing daerah sesuai
D. Upaya Penyempurnan Sistem Perizinan dengan kebijakan yang berlaku, baik di
Pertambangan tingkat pusat maupun daerah. Sebagai contoh
Upaya penyempurnaan sistem pelaksanaan kebijakan PTSP di tingkat pusat,
pertambangan dapat dilakukan melalui (i) yaitu Pertama, Perpres Nomor 97 Tahun 2014
diskusi perspektif dasar hukum (aturan main), harus adanya pendelegasian kewenangan
(ii) sinkronisasi perizinan tambang di kawasan untuk menerbitkan izin ke BKPM dan

82
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

ditindaklanjuti oleh Kementerian LHK LHK dan/atau dinas kehutanan). Terkait


dengan menerbitkan PermenLHK Nomor dengan efektivitas kebijakan yang dibuat oleh
P.97/Menhut-II/2014. Jo Nomor P.1/Menhut- pemerintah (Perpres Nomor 97 Tahun 2014)
II/2015 tentang Pendelegasian Wewenang dan mekanisme IPPKH (PermenLHK Nomor.
Pemberian Perizinan Dan Non Perizinan Di P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang
Bidang Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan)
Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan dinyatakan bahwa untuk memperoleh IPPKH
Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan memerlukan waktu selama 31 hari kerja dan
Koordinasi Penanaman Modal, artinya setiap sebenarnya waktu penyelesain perizinannya
permohonan izin bidang LHK, surat izinnya akan lebih lama apabila dikaitkan dengan
harus diterbitkan oleh BKPM pusat sebagai keharusan untuk dilengkapi dengan dokumen
perwakilan dari Menteri LHK; Kedua, kelayakan mengenai izin lingkungan (PP
proses pelaksanaan perizinan, mekanisme, Nomor 27 Tahun 2012), Amdal membutuhkan
persyaratan, jenis izin, lama waktu waktu 105 hari kerja (Permen Lingkungan
penyelesaian izin, dan lain sebagainya harus Hidup Nomor 5 tahun 2008 tentang Tata
sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai
oleh Kementerian LHK, misalnya IPPKH Dampak Lingkungan Hidup), dan UKL-UPL
dituangkan dalam PermenLHK Nomor (Permen Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun
P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang 2010 tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Pelaksanaan PTSP di tingkat Provinsi Hidup dan Surat Peryataan Kesanggupan
Jawa Barat diatur dalam Peraturan Gubernur Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Provinsi Jawa Barat Nomor 92 Tahun 2014, Hidup) yang wajib dimiliki oleh setiap
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Provinsi pemohon izin. Oleh karena itu, jangka waktu
Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2010 tentang pelayanan PTSP paling lama 7 (tujuh) hari
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu, yang kerja terhitung sejak diterimanya dokumen
memuat semua tata cara dalam proses perizinan dan/atau non-perizinan secara
perizinan (jenis izin, lama penyelesaian, biaya, lengkap dan benar, perlu ditambahkan catatan
mekanisme, persyaratan, dan lain sebagainya). atau asumsi bahwa semua persyaratan teknis
Kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan tambahan telah diselesaikan terlebih
dan sarana prasarana yang berbeda antar dahulu. Artinya kebijakan PTSP tidak efektif
daerah membawa konsekuensi pada adanya sepanjang kebijakan yang diterbitkan oleh
perbedaan pelaksanaan PTSP dari satu daerah kementerian teknis terkait izin pertambangan
dengan daerah yang lain, misalnya BKPMPT tidak dirubah atau di revisi.
di Provinsi Jawa Barat dapat menerbitkan
2. Sinkronisasi perizinan pertambangan
sebanyak 265 jenis perizinan, sementara
dalam kawasan hutan
Provinsi Kalimantan Timur hanya mengurus
tujuh jenis perizinan saja. Sinkronisasi dari produk kebijakan terkait
Dalam mekanisme perizinan walaupun sistem perizinan pertambangan dalam kawasan
yang menerbitkan izin merupakan kewenangan hutan sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh
dari BKPM di tingkat pusat, atau BKPMPT ketentuan-ketentuan di dalamnya mampu
di tingkat daerah, akan tetapi sebelum izin mengakomodir peraturan perundangan
tersebut ditandatangani dan diterbitkan harus yang diterbitkan oleh kementerian teknis
ada penelitian yang dilakukan oleh instansi lainnya. Oleh karena itu, dalam mengkaji
teknis. Izin diterbitkan setelah ada rekomendasi persoalan efektivitas sinkronisasi perizinan
teknis dari instansi teknis setempat dalam pertambangan dalam kawasan hutan tidak
hal ini adalah instansi LHK (Kementerian cukup berbicara persoalan proses perizinan

83
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

yang ada di dalam kebijakan yang diterbitkan setelah penelitian Amdal, UKL-UPL
oleh Kementerian LHK atau Kementerian tersebut dilakukan, maka dokumen tersebut
ESDM saja, karena di bawahnya masih ada otomatis menjadi dokumen perizinan.
perizinan dan non-perizinan lain yang harus Keberadaan dokumen tersebut memberi
diurus dan diselesaikan, misalnya dengan kesan terlalu birokratis yang berakibat pada
adanya ketentuan dalam UU Nomor 39 Tahun lambatnya dalam pengurusan izin. Untuk
2009 yang mewajibkan izin lingkungan sebagai lebih mempermudah dalam proses IPPKH
syarat izin kegiatan, termasuk kegiatan usaha harus ada reformasi kebijakan dengan cara
pertambangan. Dalam PermenLHK Nomor mensinkronkan kebijakan penggunaan
P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang kawasan hutan yang diterbitkan oleh
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kementerian LHK dengan kebijakan yang
mengurus IPPKH mungkin lebih singkat dan diterbitkan oleh Kementerian LH terkait
mudah, akan tetapi izin tersebut tidak ada Amdal, UKL-UPL dan Izin Lingkungan
artinya apabila tidak dilengkapi dengan izin mengingat Kementerian Lingkungan
lingkungan. Jika memang dalam pengurusan Hidup dan Kementerian Kehutanan sudah
izin ingin sesuai dengan harapan pemerintah digabungkan.
(Presiden) jangka waktu pegurusan yang lebih (2) Tujuan dari adanya pengurusan perizinan
singkat lagi, maka dalam aturan atau kebijakan terpadu, agar dalam pengurusan izin
IPPKH harus dicantumkan/disebutkan dan/ lebih efisien, cepat, dan sederhana. Oleh
atau dengan catatan bahwa persyaratan izin karena itu, penataan kelembagaan dan
lain yang diterbitkan oleh pemerintah daerah koordinasi antar berbagai pihak yang
yang merupakan persyaratan tambahan yang terkait harus terintegrasi sehingga dapat
harus dipenuhi dalam perizinan tersebut terwujud dalam sistem perizinan satu atap
sudah selesai. Artinya seluruh perizinan lain sebagai gagasan yang dapat membantu
yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
di daerah sudah selesai. Penekanan tersebut di Indonesia. Di samping itu, harus
sangat diperlukan untuk memperlancar dipertimbangkan juga ketimpangan
terbitnya izin atau sesuai dengan ketentuan SDM bidang kehutanan karena tenaga
yang berlaku saat ini (tujuh hari kerja) ahli (expert) di bidang kehutanan sangat
sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor minim di BKPMPT daerah.
97 Tahun 2014. (3) Menata ulang IUP yang tumpang tindih
3. Langkah-langkah konkrit penyempurnaan dengan cara menata status atau mencabut
sistem perizinan pertambangan dalam IUP yang sampai saat ini belum clear and
kawasan hutan clean.
Dari hasil pembahasan sebelumnya, (4) Kurangnya pengawasan ketika IUP telah
setidaknya ada 7 (tujuh) langkah konkrit diterbitkan. Hal ini diperburuk ketika
yang harus dilakukan sebagai upaya nyata daerah yang sudah menerbitkan ratusan
penyempurnaan sistem IPPKH, yaitu: izin tapi ternyata mereka tidak mempunyai
(1) Amdal dan UKL-UPL bukan merupakan tenaga pengawas atau inspektur tambang.
dokumen perizinan tetapi dokumen Seyogyanya proses pemberian izin
penelitian ilmiah tentang sesuatu yang harus diawasi dan setiap daerah sudah
akan terjadi terhadap lingkungan ketika semestinya memiliki jumlah inspektur
kegiatan tersebut akan dilaksanakan. tambang yang cukup memadai kuantitas
Namun keterkaitan erat antar dokumen dan kualitasnya.
Amdal dan UKL-UPL dengan izin (5) Penyesuaian KK. Jika berbicara secara
lingkungan, dimana izin lingkungan terbit hukum penyesuaian KK itu harusnya

84
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sesuai kebijakan Pergub masing-masing
sesuai dengan UU Minerba, namun dalam daerah.
pelaksanaannya mulur waktunya sehingga Permasalahan yang dihadapi oleh Kantor
diperlukan ketegasan pemerintah bahwa BKPMPT daerah sebagai kuasa penerbit
mengamandemen kontrak supaya lebih perizinan daerah adalah kurangnya tenaga
adil dan menguntungkan negara. atau sumber daya manusia yang mengetahui
(6) Pemerintah harus lebih selektif dalam substansi atau teknis terkait dengan
memberikan IUP, mengingat sudah permohonan izin khususnya bidang LHK
banyak perusahaan pertambangan yang (misalnya tenaga Geographic Information
legal (punya IUP) tetapi tidak memenuhi System/GIS).
kewajibannya, misalnya menunggak
B. Saran
pembayaran jaminan reklamasi yang
harus dibayarkan di muka sebelum IUP Sinkronisasi dari produk kebijakan
diterbitkan. terkait sistem perizinan pertambangan dalam
(7) Dengan diterbitkan UU Nomor 4 Tahun kawasan hutan perlu dilakukan dengan
2009, izin lain seperti KK (Kontrak Karya), duduk bersama antara Kementerian ESDM
Kuasa Pertambangan (KP), Perjanjian dan Kementerian LHK. Misalnya kebijakan
Karya Pengusahaan Pertambangan mengenai amdal, UKL-UPL, dan izin
Batubara (PKP2B), dan lainnya sudah lingkungan yang diterbitkan berdasarkan
dihapus dan diganti menjadi IUP, namun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
kelengkapan dokumen lainnya seperti pada waktu itu, seharusnya lebih mudah
amdal, UKL, UPL dan izin lingkungan disinkronkan mengingat Kementerian
harus juga diselesaikan oleh pemegang Kehutanan dan Kementerian Lingkungan
IUP baru tersebut. Hidup sudah bergabung, sehingga birokrasi
dalam mengurus perizinan di bidang LHK
dapat dipangkas.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Penetapan jangka waktu proses perizinan
A. Kesimpulan dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2014 perlu
Kebijakan perizinan pertambangan direvisi karena belum mencantumkan
di kawasan hutan kurang efektif karena persyaratan izin lain yang diterbitkan oleh
melibatkan dua pintu kementerian, yaitu pemerintah daerah. Hal ini penting untuk
Kementerian ESDM untuk IUP dan memperlancar terbitnya izin atau sesuai
Kementerian LHK untuk IPPKH. dengan waktu yang sudah ditetapkannya.
Mekanisme IPPKH berdasarkan Peraturan Terkait perizinan terpadu, pemerintah
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan daerah perlu melakukan kordinasi
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 antar berbagai pihak yang terkait dan
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan mempertimbangkan juga SDM bidang
Hutan diperlukan waktu selama 31 hari kehutanan yang jumlahnya sangat minim di
kerja, namun dalam pelaksanaanya ternyata BKPMPT daerah.
membutuhkan waktu tiga kali lebih lama dari
waktu (31 hari) tersebut sehingga penetapan UCAPAN TERIMA KASIH
waktunya harus dikaji ulang sesuai dengan (ACKNOWLEDGEMENT)
fakta dan kondisi riil lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Pelaksanaan penyelenggaraan PTSP di Kepala Pusat Penelitian Pengembangan
tingkat daerah berbeda-beda karena adanya Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan
perbedaan kebijakan dari satu daerah dengan Iklim atas dukungannya dalam penulisan
daerah yang lain dalam penerbitan perizinan karya tulis ilmiah (KTI) ini. Terima kasih

85
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

kepada pihak manajemen Pusat Penelitian Putra, W. M. (2010). Sinkronisasi peraturan


Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan perundang-undangan mengenai izin usaha
pertambangan dalam rangka mewujudkan
dan Perubahan Iklim yang memfasilitasi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
dana untuk penelitian. Juga diucapkan terima (Skripsi). Solo: Universitas Sebelas Maret.
kasih kepada para narasumber yang telah Rosadi, O. (2008). Pengelolaan sumber daya alam:
memberikan data dan informasi. Best regard, cita hukum, politik hukum dan
realita. UIR. Pekan Baru. Jurnal Makamah, 1.
Silalahi, D., & Kristianto P H. (2011). Perizinan dalam
DAFTAR PUSTAKA kegiatan pertambangan di Indonesia pasca
UU Minerba Nomor 4 tahun 2009. Jurnal
Bungin, B. (2001). Content analysis dan focus group Law Review, XI(1), 1-20.
discussion dalam penelitian sosial di dalam Subarudi. (2008). Tata kelola kehutanan yang baik:
metodologi penelitian kualitatif: Aktualisasi sebuah pembelajaran dari Kabupaten Sragen.
metodologis ke arah ragam varian Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 5(3),
kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo 179 – 192.
Perkasa. Subarudi. (2014, April). Tata kelola ijin pinjam-pakai
Cahyadi, S. A., Ichwandi, I., & Nurrochmat, D. R. kawasan hutan. Makalah disajikan dalam
(2015). Efektifitas pelaksanaan kebijakan Seminar Nasional Reforma Agraria untuk
penggunaan kawasan hutan dengan Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik.
kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, Perubahan Iklim dan Kebijakan.
2, 164. Subarudi, Kartodihardjo, H., Soedomo, S., & Sapardi,
Destiana, L. (2011). Analisis kualitas pelayanan H. (2016). Kebijakan resolusi konflik tambang
perizinan investasi di badan koordinasi batu bara di kawasan hutan di Kalimantan
penanaman modal (BKPM). (Skripsi). Depok: Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
Universitas Indonesia. 13(1), 53-71.
Irawan, P. (2007). Penelitian kulitatif dan kuantitatif Syahadat, E., & Dwiprabowo, H. (2013). Kajian
untuk ilmu-ilmu sosial. Depok: Departemen paduserasi tata ruang daerah (TRD) dengan
Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan tata guna hutan (TGH). Jurnal Analisis
Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Kebijakan Kehutanan, 10(2), 89-117.
Nasarudin, M. (2013). Kegiatan prioritas dan strategis Syahadat, E., Subrudi, & Setiadi, A. (2016). Efisiensi
Ditjen Mineral & Batubara tahun 2013. Warta perizinan bidang LHK (Kehutanan, peti,
Minerba, XV(April), 4-11. pertambangan dalam kawasan hutan, dan
Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat. Nomor 92 jasa lingkungan) (Laporan Hasil Penelitian).
Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bogor: Pusat Penelitian Sosial, Ekonomi,
Peraturan Daeran Nomor 7 Tahun 2010 Kebijakan dan Perubahan Iklim.
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Syahadat, E., & Sylviani. (2014). Analisis kebijakan
Terpadu (2014). peyediaan lahan hutan tanaman industri.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3),
Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca 277-296.
Tambang. Thantowi, J. (2014). Norma hukum pelayanan Publik.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Jurnal Hukum, 4.
Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor
97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

86
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112
p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

ANALISIS PERAN UNIT PELAKSANA TEKNIS KEMENTERIAN


LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DALAM
DESENTRALISASI KEHUTANAN
(Analysis of the Role of Technical Implementing Unit of the Ministry of Environment and
Forestry in Forestry Decentraliztion Implementation)
Handoyo & Andri Setiadi Kurniawan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia
E-mail: handoyoasterian20@yahoo.com; respect_andri@yahoo.com

Diterima 5 April 2017, direvisi 26 Februari 2018, disetujui 27 Februari 2018.

ABSTRACT

The role of Technical Implementing Unit (TIU) is one of prominent issues of decentralization. A study was
carried out to identify decentralization issues in South Sulawesi and East Java Provinces as well as to measure
stakeholder attitudes towards the existence of TIU. The results showed that the existance of BKSDA, BTN, BPA,
BPKH, and Balai Diklat LHK are recognized importantly. Meanwhile, BPHP and BPDASHL are considered to
be less important in the region because their functions and authorities can be delegated to the provincial and
regent/city governments. Similiar recognition applied to BPTH and Balai Litbang LHK. The emerging issue of
decentralization in East Java is the placement of local officials which is inconsistent with their competence, lacking
of funding from APBD for forestry developmentt, high demand from public to be enganged in the management
of the forest, and overlapping authority. Meanwhile in South Sulawesi the capacity of local forestry agencies are
impaired, authority is misused, and consolidation of the region is delayed, ego among vertical instituions ego and
poor coordination. Based on the indicator of good forest governance, it is measured that the attitude of stakeholders
and organizational capacity in East Java and South Sulawesi is neutral and good respectively.

Keywords: Forestry decentralization; technical implementating unit; good forest governance.

ABSTRAK
Peran Unit Pelaksana Teknis (UPT) menjadi salah satu isu desentralisasi. Kajian ini mencoba mengidentifikasi
isu terkait desentralisasi di Provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Timur sekaligus mengukur sikap pemangku
kepentingan di provinsi tersebut tentang keberadaan UPT. Hasil penelitian menunjukkan beberapa UPT seperti
BKSDA, BTN, BPA, BPKH, dan Balai Diklat LHK masih dirasakan perannya oleh pemerintah daerah. Sedangkan
BPHP dan BPDASHL tidak diperlukan di daerah karena fungsi dan kewenangannya dapat dilimpahkan kepada
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Demikian juga dengan BPTH dan Balai Litbang LHK yang oleh daerah
dinilai kurang berperan. Isu desentralisasi di Jawa Timur yang mengemuka adalah penempatan personil pejabat
daerah yang tidak sesuai dengan kompetensi, pendanaan pembangunan kehutanan dari APBD yang sangat kecil,
gencarnya tuntutan masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan hutan dan tumpang tindih kewenangan. Sedangkan di
Sulawesi Selatan adalah pelemahan kapasitas instansi kehutanan daerah, penyalahgunaan wewenang, tertundanya
pemantapan kawasan, ego instansi vertikal dan koordinasi. Sikap pemangku kepentingan di Jawa Timur terhadap
keberadaan UPT dari pengukuran indikator Good Forest Governance (GFG) dan kapasitas organisasi adalah netral
sedangkan di Sulawesi Selatan baik.

Kata kunci: Desentralisasi kehutanan; unit pelaksana teknis; good forest governance.

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.1.87-112 87
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

I. PENDAHULUAN yang ditempatkan di daerah dalam rangka


Desentralisasi bidang kehutanan pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi
terus menuai klaim dari berbagai pihak. dan perbantuan di dalam pengurusan dan
Pemerintah pusat yang telah mendekatkan dan pengelolaan sumber daya hutan. UPT tersebut
mengalihkan keputusan sebagian pengelolaan memiliki peran yang sangat strategis dalam
hutan ke pemerintah daerah melalui kebijakan upaya mensinergikan kebijakan dan program
“desentralisasi” belum berarti membuat Kementerian LHK di dalam pengurusan dan
pengelolaan sumber daya hutan serta merta pengelolaan sumber daya hutan. Peran strategis
memuaskan semua pihak (Larson & Soto, tersebut antara lain dapat diberikan kepada
2008). Perlawanan melalui klaim, opini pemerintah daerah dalam bentuk pelaksanaan
hingga tindakan yang frontal merupakan koordinasi dan pemberian bantuan teknis
akibat dari pembagian wewenang yang dalam rangka sosialisasi dan pelaksanaan
cenderung open ended arrangement mulai program pembangunan nasional di sektor
dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) kehutanan. Posisi strategis UPT Kementerian
Nomor 25 Tahun 2000 pada saat desentralisasi LHK di dalam konteks desentralisasi sektor
kehutanan diberlakukan, di mana pembagian kehutanan dapat dijelaskan seperti terlihat
kewenangan tidak disebutkan secara rinci, pada Gambar 1.
sehingga menimbulkan ketidakjelasan Sebelumnya, pemerintah telah
kewenangan (Ekawati, Kartodiharjo, mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 2007
Hardjanto, Dwiprabowo, & Nurrochmat, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
2011). Kemudian melalui PP Nomor 38 Tahun antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
2007, kewenangan pemerintah kabupaten Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
lebih dirinci. Namun kemudian terbit Undang- Kabupaten/Kota, namun pelaksanaan urusan
Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan masih saling tumpang tindih.
Pemerintahan Daerah yang membatasi Masih belum jelas apakah fungsi kebijakan,
kewenangan pemerintah kabupaten hanya pelaksanaan dan pengawasan sebaiknya
dalam pengelolaan taman hutan raya. dipisahkan atau dibagi antar tingkatan
Tampaknya permasalahan desentralisasi bukan pemerintahan. Selain itu, masih kurang jelas
sekedar masalah terperincinya kewenangan kepada siapa kepala daerah bertanggung
masing-masing pemerintah namun masih jawab. Situasi ini dapat membahayakan tujuan
banyak persoalan lain salah satunya adalah utama desentralisasi (Bappenas & UNDP,
perbedaan cara pandang dan kepentingan di 2009). Kemungkinan, hal ini mendorong
antara para penentu kebijakan, khususnya di Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 23
antara pemerintah dan pemerintahan daerah Tahun 2014 yang menjadikan pemerintah
(provinsi dan kabupaten/kota). Hal tersebut provinsi menjadi wakil Pemerintah di daerah.
sering menimbulkan konflik yang berujung Meskipun UU Nomor 23 Tahun 2014 paling
kepada deforestasi dan degradasi kawasan lama akan diberlakukan dua tahun setelah UU
hutan. disahkan menunggu pengganti PP Nomor 38
Kementerian Lingkungan Hidup dan Tahun 2007, bagaimana implikasi UU Nomor
Kehutanan (LHK) merupakan instansi 23 Tahun 2014 terhadap keberadaan UPT
pemerintah pusat yang memiliki tugas pokok Pusat di daerah.
dan fungsi untuk mengurus dan mengelola Bila melihat fakta empirik bahwa
sumber daya hutan di Indonesia. Di dalam sebenarnya politik desentralisasi di Indonesia
pelaksanaan tugasnya, Kementerian LHK telah ada sejak masa Hindia Belanda di mana
dilengkapi dengan unit pelayanan teknis undang-undangnya lahir tahun 1903 (Henley
(UPT), yaitu instansi-instansi kehutanan & Davidson, 2008; Lee Peluso, Afiff, &

88
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

Sumber (Source): Steni, 2004


Gambar 1. Peran strategis UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam desentralisasi sektor
kehutanan.
Figure 1. The strategic role of the implementing technical unit of the Ministry of Environment and Forestry in
decentraliztion on forestry sector.

Rachman, 2008; Nordholt, 2005). Walaupun pertanyaan penelitian di bawah ini, yaitu 1)
bersifat desentralisasi administratif, Apakah isu dan permasalahan desentralisasi
namun mempunyai tujuan efisiensi di sektor kehutanan sama atau memiliki
birokrasi, mengurangi beban administrasi kemiripan di berbagai daerah di Jawa dan
dan menyertakan elemen rakyat dalam luar Jawa?; 2) Apakah terjadi tumpang tindih
pemerintahan lokal. Namun hal itu dianggap dan atau kekosongan wewenang/tanggung
gagal karena pada prakteknya, menurut jiwa jawab di antara instansi yang mengurusi
UU Tahun 1903 tersebut, desentralisasi tetap sektor kehutanan di tingkat pusat dan daerah,
dilakukan oleh pejabat yang merupakan khususnya untuk menanggulangi berbagai
perpanjangan Pusat. Ternyata hingga saat ini, isu prioritas dalam desentralisasi kehutanan
berbagai studi masih memperlihatkan bahwa tersebut?; dan 3) Apakah kapasitas yang harus
desentralisasi tidak berjalan sebagaimana dikembangkan di tingkat UPT Kementerian
yang diharapkan. LHK agar dapat berperan lebih efektif di
Peningkatan sinergi antara pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi di sektor
pusat dan daerah dalam pelaksanaan kehutanan? Dalam penelitian ini disoroti
desentralisasi kehutanan dapat diupayakan aspek desentralisasi di sektor kehutanan
melalui peningkatan peran koordinasi dan tersebut, khususnya peran-peran yang dapat
bantuan teknis UPT Kementerian LHK diberikan oleh UPT di lingkup Kementerian
terhadap pemerintah daerah. Untuk itu LHK untuk mendukung proses desentralisasi.
diperlukan peningkatan kapasitas UPT Hasilnya adalah: 1) Isu dan permasalahan
lingkup Kementerian LHK dalam memahami utama desentralisasi sektor kehutanan di
dan menanggulangi berbagai permasalahan daerah; 2) Kesenjangan (tumpang tindih
prioritas dalam pelaksanaan desentralisasi dan atau kekosongan) kewenangan lembaga
kehutanan. Upaya untuk meningkatkan pelaksana desentralisasi (UPT) kehutanan di
kapasitas tersebut memerlukan informasi yang daerah; dan 3) Kapasitas organisasi pelaksana
lebih jelas dan kajian analisis atas beberapa desentralisasi (UPT) kehutanan di daerah.

89
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

II. METODE PENELITIAN berkembang dan dipersepsikan oleh pihak-


Penelitian ini berasumsi perspektif, pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
antisipasi dan pemanfaatan peluang kebijakan tersebut atau pihak-pihak yang
desentralisasi oleh pemerintah daerah, terkena dampak dari kebijakan tersebut; b)
memberi karakteristik tersendiri bagi Politik dan kepentingan, yang mencakup
“nyawa” desentralisasi bidang kehutanan di perumusan atas kepentingan-kepentingan
daerah. Sedangkan perubahan watak politik para aktor pelaksana atau yang terkena
sumber daya hutan menyisakan kelembaman dampak dari suatu kebijakan; dan c) Aktor
budaya institusi Pemerintah Pusat khususnya dan jejaring, yang mencakup bagaimana
di Kementerian Lingkungan Hidup dan pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh para
Kehutanan. Karakteristik iklim jalannya aktor dan jejaringnya dalam menginisiasi atau
desentralisasi di daerah dan kelembaman merespon terhadap kebijakan yang ada (IDS,
budaya tersebut terajut kompleks membentuk 2006). Ketiga unsur tersebut di atas dianalisis
perjalanan desentralisasi makin partikular. melalui triangulasi dengan hasil wawancara
Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan dan diskusi kelompok atau focus group
4 (empat) alat analisis yaitu 1) Kategorisasi discussion (FGD) yang dilakukan selama
tema hasil interview. Hasil in-depth interview pelaksanaan kegiatan penelitian. Untuk
dan observasi dikategorisasi ke dalam tema- menyederhanakan proses analisis, topik
tema utama terkait tujuan studi dengan kajian difokuskan pada isu-isu desentralisasi
menggunakan pendekatan kategorisasi tema bidang kehutanan yang dianggap prioritas
Creswell dan Clark (Creswell & Clark, 2007); oleh para responden; 3) Penggunaan beberapa
2) Analisis proses kebijakan dari Institute variabel “Good Corporate Governance”
of Development Studies. Berdasarkan untuk menilai keberadaan UPT. Variabel-
konsepsi tersebut, implementasi dari suatu variabel tersebut merupakan kesimpulan
kebijakan dapat dianalisis berdasarkan parapihak yang tergabung dalam organisasi
tiga unsur yang menentukan dalam proses untuk Kerja Sama dan Pengembangan
perumusan kebijakan. Ketiga unsur tersebut Ekonomi atau Organization for Economic
adalah a) Diskursus atau narasi kebijakan, Co-operation and Development (OECD)
yang mencakup bagaimana suatu kebijakan tentang landasan dalam rangka pelaksanaan

Organisasi dan
persiapan data
Pencarian kesan informasi umum dan
merefleksikannya pada maknanya
secara umum
Kodifikasi
Membangun deskripsi latar
belakang atau informan
Penyajian data deskriptif dan
tema

Interpretasi atau memaknai data

Sumber (Source): Creswell & Clark, 2007

Gambar 2.Langkah analisis data.


Figure 2. Data analysis process.

90
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

tata kelola pemerintahan yang baik dalam organisasi dengan norma-norma yang
(Dwiprabowo, Suwarno, & Kartodihardjo, berlaku di masyarakatnya; dan f) Tingkat
2011). Variabel tersebut mencakup lima eksklusifitas, dalam pengertian intensitas
prinsip utama yang perlu dijadikan sebagai persaingan di antara organisasi yang ada
landasan dalam tata kelola pemerintahan, (Peters, 2000). Dengan kata lain, sejauh mana
yaitu transparansi (keterbukaan informasi kinerja organisasi tersebut di antara lembaga-
dalam proses pengambilan keputusan), lembaga pesaing yang ada.
akuntabilitas (kejelasan fungsi, struktur, Strategi koleksi data yang digunakan dalam
sistem dan pertanggungjawaban lembaga), penelitian ini adalah wawancara, focused
responsiveness (kesigapan lembaga dalam group discussion (FGD) dan pengisian
merespon permasalahan yang berkembang), kuisioner. Wawancara dilakukan oleh tim
kemandirian atau independency (pengelolaan peneliti dengan mendatangi informan pada
lembaga secara profesional) dan kesetaraan beberapa instansi pemerintahan di tingkat
atau fairness (keadilan terhadap para provinsi. Kegiatan wawancara dipandu oleh
pemangku kepentingan); dan 4) Penerapan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka
kriteria penilaian kapasitas organisasi menurut (open ended questions). Pengisian kuesioner
konsep Peters. Pendekatan ini menekankan dilakukan oleh para peserta FGD. Kuesioner
kepada pentingnya proses pelembagaan tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat
(institutionalization) atas berbagai norma kepentingan, serta menilai kondisi ideal
dan perilaku aktor di dalam suatu organisasi. dan kondisi aktual yang terjadi saat ini atas
Kapasitas suatu lembaga dapat dikaji dari beberapa variabel yang berkaitan dengan
beberapa kriteria organisasi yang meliputi tugas pokok dan fungsi lembaga dalam
a) Tingkat otonomi, dalam pengertian sejauh konteks desentralisasi kehutanan.
mana organisasi yang ada memiliki kapasitas Penelitian ini dilaksanakan pada tahun
untuk melaksanakan keputusan-keputusan 2013 di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi
yang telah ditetapkannya sendiri; b) Tingkat Sulawesi Selatan. Pemilihan kedua provinsi
adaptasi, dalam pengertian sejauh mana diharapkan dapat memberikan komparasi
organisasi yang ada mampu menyesuaikan dalam melihat diskursus UPT pada dua iklim
dengan perubahan yang terjadi, atau pengelolaan yang berbeda. Provinsi Jawa
bahkan mampu memberikan arah terhadap Timur dipilih untuk melihat diskursus UPT
perubahan; c) Tingkat kompleksitas, dalam dalam dinamika desentralisasi dan keberadaan
pengertian sejauh mana organisasi yang ada Perhutani sebagai entitas tunggal yang diberi
mempunyai kapasitas untuk membentuk mandat untuk mengelola hutan negara di
struktur organisasinya sendiri dalam rangka Pulau Jawa. Provinsi Sulawesi Selatan dipilih
mencapai tujuan yang telah ditetapkan; d) untuk melihat diskursus UPT dalam dinamika
Tingkat koherensi, dalam pengertian sejauh desentralisasi dengan keberadaan Kesatuan
mana organisasi yang ada mengelola beban Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai entitas
kerjanya dan mengembangkan prosedur atau pengelola hutan yang terintegrasi berbasis
protokol untuk melaksanakan berbagai tugas fungsi hutan.
yang diembannya dengan cara yang efektif Informan dan responden pada penelitian
dan efisien; e) Tingkat kongruensi, dalam ini adalah personil pada Satuan Kerja
pengertian sejauh mana hubungan politik Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Jawa
yang terdapat di dalam organisasi sesuai Timur dan Sulawesi Selatan. Informan dan
dengan hubungan sosial pada kelompok responden di Jawa Timur adalah personil di
masyarakat yang akan diatur atau dibina. Hal SKPD Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur,
ini mencerminkan, sejauh mana perbedaan Badan Perencana dan Pembangunan Daerah
norma-norma di antara para elit politik di (Bappeda) Provinsi Jawa Timur, Perhutani

91
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

Sumber (Source): Data primer, diolah (Primary data, processed)


Gambar 3. Asumsi sosiologis karakteristik desentralisasi bidang kehutanan.
Figure 3. Sociological assumptions characteristics of decentralization in the forestry sector.

Divisi Regional (Divre) II Jawa Timur dan kewenangan bagi kabupaten/kota untuk
Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) menyampaikan pertimbangan dalam
Provinsi Jawa Timur. Untuk informan dan penyusunan rancang bangun dan pengusulan
responden di Sulawasi Selatan merupakan pembentukan wilayah KPH lindung maupun
personil dari SKPD pada Dinas Kehutanan produksi serta institusi pengelolaannya. Hal
Provinsi Sulawesi Selatan, Bappeda Provinsi ini diperkuat oleh PP Nomor 6 Tahun 2007
Sulawesi Selatan, BLHD Provinsi Sulawesi sebagaimana diubah menjadi PP Nomor 3
Selatan, KPH Model Jeneberang, Dinas Tahun 2008 (Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kehutanan Kementerian LHK, 2014). Dalam
Jeneponto, Bappeda Kabupaten Jeneponto, UU Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan
dan BLHD Kabupaten Jeneponto. membentuk KPH tetap ada di Pusat tapi
pengelolaan ditarik ke provinsi. Implikasinya
III. HASIL DAN PEMBAHASAN adalah institusi KPH di tingkat kabupaten
Pada September 2014 terbit UU Nomor akan berada di bawah otoritas provinsi.
23 Tahun 2014 menggantikan UU Nomor Peran kabupaten/kota ke depan akan sangat
32 Tahun 2004. Secara konseptual, Undang- tergantung pada perubahan PP Nomor 41
Undang yang mengatur pemerintah daerah Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
adalah rezim hukum utama yang mengatur Daerah yang sedang disusun Kementerian
pembagian urusan dan kewenangan antara Dalam Negeri. PP ini menentukan apakah
Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten. sebagian kewenangan terkait KPH masih akan
UU Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan melekat pada institusi di tingkat kabupaten/
kewenangan membentuk KPH di tangan kota atau semuanya ditarik ke provinsi. PP
pemerintah pusat. Pada level pengelolaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
KPH, UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan Daerah sebagai pengganti PP Nomor 41

92
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

Tahun 2014 menetapkan bahwa seluruh berkinerja sangat baik 12 (29%), baik 12
manajemen KPH berada di bawah provinsi (29%), cukup baik 11 (26%), dan kurang
maka sehingga implikasinya saat ini dinas baik 7 (17%). Kendala institusi terjadi karena
kehutanan kabupaten/kota dihapus. Staf dinas KPH merupakan institusi baru yang dimaknai
kehutanan kabupaten/kota akan ditempatkan secara beragam di daerah. Sebagaimana
dalam unit-unit KPH yang secara geografis disebutkan dalam laporan tersebut, akhirnya
maupun administratif berada dalam lingkup tidak sedikit daerah yang mendefinisikan
wilayah kabupaten/kota. atau memahami KPH sebagai ‘pelimpahan
Sebagai refleksi awal atas upaya kewenangan’ dari pusat ke daerah (Direktorat
pembentukan KPH, Kementerian Kehutanan Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian
(saat ini menjadi Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014).
Hidup dan Kehutanan) mengeluarkan laporan Belajar dari pengalaman sejak KPH terbentuk,
pada 2011. Sejumlah tantangan implementasi tantangan penerapan kewenangan pengelolaan
yang diangkat oleh pengelola kehutanan di KPH di tingkat provinsi ke depan setidaknya
tingkat tapak yang pada prinsipnya terkait dua hal, yakni perumusan kebijakan dan aksi
dengan persiapan kelembagaan di daerah. di tingkat pemerintah daerah, dalam hal ini
Laporan itu menyebutkan bahwa tidak provinsi, dan pembentukan kelembagaan
semua pemerintah daerah kabupaten/kota yang kuat dengan dukungan pendanaan dan
memberikan dukungan dalam pembentukan kapasitas personil yang memadai.
KPH karena KPH mempunyai implikasi
A. Isu Desentralisasi
pada tersedotnya anggaran daerah untuk
personil dan operasional (Kartodihardjo, Kompleksitas masalah desentralisasi yang
Hariadi, Bramasto, Nugroho, Putro, 2011). berkembang di daerah, merupakan akibat dari
Tiga tahun kemudian, pada tahun 2014, dari banyak faktor. Isu pelemahan kapasitas
Kementerian LHK kembali mengeluarkan instansi sebagai akibat dari konsekuensi
laporan perkembangan implementasi KPH. dinamika politik daerah menjadi yang sama-
Sekali lagi kementerian masih menemukan sama dirasakan oleh beberapa informan di
beberapa kendala institusional (Kartodihardjo Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Sulawesi
et al. dalam Direktorat Jenderal Planologi Selatan. Beberapa informan menyampaikan
Kehutanan Kementerian LHK, 2014). bahwa personalia yang duduk dalam
Hal itu nampak dalam penilaian jajaran pejabat di satuan kerja kehutanan
Kementerian atas kinerja implementasi sebagaian besar tidak berlatar belakang
KPH yang menemukan bahwa meskipun disiplin ilmu kehutanan. Isu lain yang sama-
lebih dari 50% KPH model (120 KPH) sama berkembang di kedua provinsi adalah
dikategorikan baik dan sangat baik, kategori pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
cukup dan kurang baik tetap muncul terutama Daerah (APBD) untuk sektor kehutanan
karena persoalan institusi. Rinciannya yang dirasa relatif kecil dibanding sektor
adalah: sebanyak 27 KPH model (22%) lainnya. Kebijakan daerah lebih banyak
diklasifkasikan sangat baik, 38 KPH (32%) mengalokasikan dana pembangunan untuk
dinyatakan baik, 25 KPH (21%) cukup baik, sektor-sektor yang manfaatnya dapat terlihat
dan sisanya 30 KPH (25%) masih kurang langsung dan dapat langsung dinikmati
baik. Adapun bila ditinjau dari klasifkasinya, masyarakat. Pembangunan sektor kehutanan
untuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi melibatkan jangka waktu yang lama namun
(KPHP) berkinerja sangat baik 15 (19%), mempunyai dampak yang sangat besar
baik 26 (33%); cukup baik 14 (18%), dan terhadap sektor lainnya seperti penyedia air
kurang baik 23 (30%). Sementara Kesatuan bagi sektor pertanian dan tanaman pangan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang lainnya tidak menjadi perhatian oleh pejabat

93
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

daerah tertinggi karena mereka mempunyai sebelum mereka mengusahakan komoditi


masa jabatan yang relatif singkat yaitu lima lain seperti komoditi perkebunan agar tidak
tahun. Isu lain yang berkembang di Provinsi terlalu terlihat mencolok. Isu desentralisasi
Jawa Timur adalah koordinasi dan tumpang yang muncul berdasarkan hasil FGD dan
tindih wewenang. Informan pada penelitian wawancara dengan pejabat pada lembaga
ini dari jajaran pejabat pemerintah daerah pelaksana desentralisasi kehutanan di daerah
bahwa koordinasi di daerahnya tidak efisien (Dinas Kehutanan dan UPT Kementerian
dan “membingungkan”. Mereka berpendapat, LHK – d/h Kementerian Kehutanan) disajikan
dana beberapa kegiatan seperti hutan rakyat pada Tabel 1.
dan penghijauan kenapa tidak langsung B. Kesenjangan Kewenangan
diserahkan dan kewenangannya secara penuh
diberikan kepada pemerintah kabupaten. Dari penelitian, di Provinsi Jawa Timur,
isu kesenjangan kewenangan merupakan hal
Isu lain yang lebih kompleks yang
yang paling sering diungkap oleh informan
berkembang di Provinsi Sulawesi Selatan
terutamanya adalah terkait kewenangan
adalah penyalahgunaan wewenang,
sebagai koordinator dan fasilitator yang
tertundanya pemantapan kawasan, ego
harusnya dijalankan oleh pemerintah
instansi vertikal dan masalah koordinasi.
daerah provinsi namun pada kenyataannya
Menurut hasil penelitian sebelumnya yang
menimbulkan kerancuan. Hal ini menurut
dilakukan oleh Rohadi & Rochmayanto,
informan disebabkan karena pemerintah
(2012) agak sedikit berbeda dengan isu yang
daerah provinsi masih melaksanakan kegiatan
berkembang di Provinsi Nusa Tenggara Barat
yang juga dilakukan oleh pemerintah daerah
(NTB), di mana terjadi politisasi kawasan
kabupaten. Di Provinsi Sulawesi Selatan isu
hutan yang berdampak pada pendudukan
kesenjangan kewenangan banyak disinggung
kawasan hutan oleh masyarakat dengan
oleh informan kaitannya dengan kewenangan
berbagai pemanfaatan, di Provinsi Sulawesi
penanggulangan masalah kehutanan yang
Selatan pendudukan hutan oleh masyarakat
spesifik seperti tumpang tindih kepentingan
terjadi karena beberapa hal. Pertama adalah
di dalam kawasan atau konflik. Isu-isu
penyalahgunaan wewenang oleh pejabat
terkait kesenjangan kewenangan lembaga
pemerintah daerah dimana mereka menguasai
desentralisasi kehutanan di Provinsi Jawa
lahan di dalam kawasan (produksi, lindung
Timur dan Sulawesi Selatan dapat dilihat
bahkan konservasi, khusus di Malino)
pada Tabel 2.
dan yang kedua, patronase yang demikian
memberi legitimasi masyarakat bukan asli C. Kapasitas Organisasi
(pendatang) untuk melakukan hal yang Berdasarkan analisis Model Poin Ideal
sama. Motifnya sangat spesifik yaitu sekadar terhadap kapasitas UPT Kementerian LHK
menguasai dari pada memanfaatkannya (d/h Kementerian Kehutanan) yang ada di
untuk mengembangkan komoditi tertentu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Sulawesi
seperti sawit dan karet. Pengembangan Selatan dapat diketahui atribut-atribut
komoditi tanaman semusim di kawasan hutan penting bagi lembaga dalam pelaksanaan
pun dianggap kurang menarik di Sulawesi desentralisasi kehutanan. Untuk Provinsi Jawa
Selatan. Pengembangan dilakukan hanya di Timur, atribut yang dianggap paling penting
beberapa kabupaten saja seperti di Bantaeng bagi penyelenggaraan desentralisasi adalah
dan Bulukumba. Mereka pada umumnya akuntabilitas (skor 4,90 (skor maksimal = 5))
mengusahakan tanaman keras dan multi berbeda dengan di Provinsi Sulawesi Selatan
purpose tree species (MPTS). Namun menurut dimana transparansi, akuntabilitas dan
informan kunci, modus ini terus dilakukan kesigapan menjadi atribut yg sama pentingnya

94
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

Tabel 1. Resume analisis diskursus, aktor dan kepentingan pada isu desentralisasi kehutanan yang ada di Provinsi
Jawa Timur dan Sulawesi Selatan
Table 1. Resume discourse analysis, actors and interests in forestry decentralization issues that exist in the
province of East Java and South Sulawesi

Isu/ Narasi/ Aktor/ Kepentingan/


Issues Discourses Actors Interests
Provinsi Jawa Timur/ East Java Province
Pelemahan Kapasitas Penempatan personil pejabat daerah Kepala daerah Penempatan personil
Instansi Kehutanan yang tidak sesuai dengan kompetensi berdasarkan kedekatan untuk
Daerah/ pelanggengan kekuasaan
Attenuation capacity Pendanaan pembangunan kehutanan Pemerintah daerah Memaksimalkan
ofthe RegionalForestry dari APBD yang sangat kecil pembangunan kehutanan di
Agency daerah
Partisipasi Masyarakat/ Gencarnya tuntutan masyarakat Perhutani, Memberi lapangan kerja bagi
Public Participation untuk dapat dilibatkan dalam Kementerian masyarakat dan peningkatan
pengelolaan hutan Lingkungan Hidup kesejahteraan masyarakat
dan Kehutanan
(d/h Kementerian
Kehutanan)
Koordinasi dan tumpang Peningkatan peran Badan Kementerian Kemudahan koordinasi dalam
tindih kewenangan/ Koordinasi Wilayah (bakorwil) dan Lingkungan Hidup kondisi posisi geografis
Coordination and over UPT ada di setiap bakorwil dan Kehutanan tertentu (jauh)
lapping of authority (d/h Kementerian
Kehutanan)
Perhutani eksklusif dengan pemda Perhutani Kemudahan kerja sama dan
terkait Pengelolaan Hutan Bersama koordinasi
Masyarakat (PHBM) dan Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
Dalam penghijauan kewenangan ada Pemda dan Mempermudah
di pemda kabupaten, provinsi dan Kementerian penyelenggaraan kegiatan baik
UPT pusat Balai Pengeloaan Daerah Lingkungan Hidup monitoring dan koordinasi
Aliran Sungai (BPDAS) dan Kehutanan
(d/h Kementerian
Kehutanan)
Pengurusan hutan rakyat (HR) Pemda provinsi dan Mempermudah
diserahkan ke pemda kabupaten saja kabupaten penyelenggaraan dan
monitoring HR
Provinsi Sulawesi Selatan/East Sulawesi Province
Pelemahan Penempatan personil pejabat daerah Kepala daerah Penempatan personil
Kapasitas Instansi yang tidak sesuai dengan kompetensi berdasarkan kedekatan untuk
Kehutanan Daerah/ pelanggengan kekuasaan
Attenuationcapacity ofthe Pendanaan pembangunan kehutanan Pemerintah daerah Memaksimalkan dan
RegionalForestry Agency dari APBD yang sangat kecil percepatan pembangunan
kehutanan di daerah
Sistem transparansi pengelolaan di Kementerian
dana di UPT Pusat kurang Lingkungan Hidup
dan Kehutanan
(d/h Kementerian
Kehutanan)
Kurang mampunya (pengetahuan Pemerintah daerah Kapasitas masyarakat tani
dan pendanaan) Pemda untuk hutan meningkat untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat memantapkan keikutsertaan
tani hutan masyarakat dalam
partisipasinya mengelola
hutan.

95
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

Isu/ Narasi/ Aktor/ Kepentingan/


Issues Discourses Actors Interests
Penyalahgunaan Penguasaan kawasaan hutan oleh Pejabat pemerintah Teritorialisasi
wewenang/ pejabat daerah daerah
Authority misused
Penggunaan kawasan hutan sebagai Pejabat pemerintah Pelanggengan kekuasaan
alat politik dan mobilisasi massa daerah

Tertundanya pemantapan Pemerintah Kabupaten diberi Kementerian Memberi tanggung jawab yg


kawasan/ kewenangan yang lebih besar dalam Lingkungan Hidup lebih besar mengenai kawasan
Delay on consolidation of pemantapan kawasan dan Kehutanan terhadap pemerintah daerah
the region (d/h Kementerian
Kehutanan)
Koordinasi/Coordination Ketakutan pemerintah daerah akan SKPD Tupoksi pengelolaan HL dan
tugas pokok dan fungsi (tupoksi) HP harus ada di daerah
pembangunan kehutanan diambil
alih oleh KPH
Pengawasan Peredaran Hasil Hutan Kementerian Daerah diberi kewenangan
(Pemprov ada bidang PH, Pemkab Lingkungan Hidup yang besar dalam mengurusi
ada BPHH (Balai Peredaran Hasil dan Kehutanan hutan produksi
Hutan) dan UPT Pusat ada BP2HP
Beberapa UPT mengadakan kegiatan Kementerian Mempermudah
sendiri-sendiri seperti tidak ada Lingkungan Hidup penyelenggaraan dan
koordinasi (contoh diklat, pengadaan dan Kehutanan koordinasi serta efisiensi biaya
bibit)

Sumber (Source): Hasil wawancara, diolah (Result of interview, analyzed).

Tabel 2. Resume analisis diskursus-aktor-kepentingan pada aspek kesenjangan kewenangan lembaga


desentralisasi kehutanan di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Sulawesi Selatan
Table 2. Resume of discourse analysis-actor-interest on authority gap between decentralization institutions in
forestry sector in East Java and South Sulawesi Provinces

Kewenangan/ Narasi/ Aktor/ Kepentingan/


Authority Discourse Actors Interests
Provinsi Jawa Timur/ East Java Province
Koordinasi/ Dinas provinsi sebagai Pemda provinsi Menjamin substansi
Coordination koordinator dan fasilitator desentralisasi berkaitan
belum maksimal dengan administrasi
kepemerintahan
Provinsi Sulawesi Selatan/ South Sulawesi Province
Penanganan masalah Belum ada yang berwenang Pemda, Kementerian Percepatan pemantapan
kehutanan lokal yg dan bertanggung jawab Lingkungan Hidup kawasan hutan
spesifik (Handling of penyelesaian tumpang tindih dan Kehutanan
local specific forestry kepentingan di kawaan (d/h Kementerian
problems) hutan produksi dan lindung Kehutanan)
(konflik)

Sumber (Source): Hasil wawancara, diolah (Result of interview, analyzed).

96
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

(skor 4,29) bagi pelaksanaan desentralisasi dan kongruensi. Eksklusifitas mengandung


(Tabel 3 dan 4). pengertian sejauh mana kinerja organisasi
Menurut indikator good governance dan tersebut diantara lembaga-lembaga pesaing
kapasitas organisasi di Provinsi Jawa Timur, yang ada sedang kongruensi adalah sejauh
ternyata atribut transparansi dan akuntabilitas mana perbedaan norma-norma di antara para
merupakan atribut yang paling rendah elit politik di dalam organisasi dengan norma-
performanya, yang ditunjukkan dengan nilai norma yang berlaku di masyarakat.
sikap yang paling tinggi yaitu 5,01 untuk Berbeda dengan Provinsi Jawa Timur,
tranparansi, 4,90. Semakin tinggi nilai sikap atribut yang dianggap paling penting dalam
menunjukkan semakin besar gap antara pelaksanaan good governance di Provinsi
kualitas ideal yang diharapkan dengan kondisi Sulawesi Selatan adalah tiga atribut sekaligus
aktual atribut tersebut terimplementasikan karena mempunyai skor yang sama yaitu
dalam organisasi. Untuk Provinsi Sulawesi transparansi, akuntabilitas dan kesigapan.
Selatan atribut yang mempunyai performa Atribut yang telah dianggap paling baik adalah
paling rendah adalah kesigapan dan kapasitas eksklusifitas kemudian dibawahnya
akuntabilitas yang ditunjukkan dengan nilai atribut kongruensi.
sikap atribut yaitu berturut-turut 7,96 dan
D.
Peran UPT di Daerah dan Kesan
6,73.
Pemerintah Daerah terhadap UPT
Terdapat dua atribut di Provinsi Jawa
Kementerian Lingkungan Hidup
Timur yang memiliki nilai sikap terendah
dan Kehutanan (d/h Kementerian
yaitu kapasitas kongruensi dan eksklusifitas
Kehutanan)
dengan nilai sikap atribut masing 0,45 dan
1,03. Hal tersebut menggambarkan bahwa Selain melihat isu yang berkembang dan
dua atribut tersebut dipersepsikan paling baik kapasitas UPT dalam konteks desentralisasi,
implementasinya pada UPT Kementerian penelitian ini juga melihat kegiatan ril UPT
LHK (d/h Kementerian Kehutanan) di Jawa yang krusial terkait Tupoksi-nya. Peneliti
Timur. Sedangkan di Provinsi Sulawesi mendeskripsikan kegiatan riil UPT yang
Selatan dua atribut yang memilki nilai sikap dikaitkan dengan perspektif informan dari
terendah adalah eksklusifitas dan kongruensi jajaran pemerintah daerah terhadap UPT.
dengan nlai sikap berturut-turut 0,45 dan Penyajian dua informasi ini dimaksudkan
1,47. Nilai tingkat kepentingan dan sikap untuk melihat seberapa penting UPT menurut
atribut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Tupoksi dan sentimen kedaerahan terhadap
3 dan Tabel 4. UPT. Hal tersebut kemudian dikaitkan
Kuantifikasi sikap pemerintah daerah dengan besarnya hak dan tanggung jawab
terhadap kapasitas UPT Kementerian LHK serta kewenangan pemerintah daerah pada
(d/h Kementerian Kehutanan) memperlihatkan urusan-urusan yang telah didesentralisasikan.
bahwa interpretasi sikap pemerintah daerah di Informasi tersebut dapat dilihat pada
Provinsi Jawa Timur adalah netral sedangkan Lampiran 1.
sikap pemerintah daerah lingkup Provinsi Beberapa UPT lingkup Kementerian LHK
Sulawesi Selatan adalah baik. Persepsi (d/h Kementerian Kehutanan) yang ada di
Pemda Provinsi Jatim memperlihatkan bahwa daerah antara lain Balai Konservasi Sumber
akuntabilitas merupakan atribut yang paling Daya Alam (BKSDA), Balai Taman Nasional
penting dan disusul oleh atribut kesigapan (BTN), Balai Pengelolaan Daerah Aliran
serta transparansi berturut-turut yang Sungai dan Hutan Lindung (d/h BPDAS),
dianggap penting dalam pelaksanaan good Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH),
governance. Atribut yang dianggap sudah Balai Persuteraan Alam (BPA), Balai
baik adalah kapasitas eksklusifitas organisasi Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP), Balai

97
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

Tabel 3. Sikap responden terhadap kapasitas UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian
Kehutanan) dalam implementasi desentralisasi kehutanan di Provinsi Jawa Timur
Table 3. Attitudes of respondent to the Capacity of Technical Implementing Unit of the Ministry of Environment and
Forestry (before Ministry of Forestry) in implementing forestry decentralizationin in East Java Province

Kualitas Kondisi Kinerja Nilai sikap


Tingkat
ideal/ aktual/ atribut ke-i/ atribut ke-i/
Kepentingan/
Ideal Actual i attribute i attribute
No. Atribut Interest level
quality condition performance attitude values

(Wi) (Ii) (Xi) (Ii – Xi) n (Wi) x [Ii – Xi]

Indikator Tata Kelola Yang Baik/


Good governance indicators
1 Transparansi/Transparancy 4,55 4,60 3,50 1,10 5,01
2 Akuntabilitas/ Accountability 4,90 4,95 3,95 1,00 4,90
3 Kesigapan/ Responsive level 4,60 4,55 3,70 0,85 3,91
4 Kemandirian/Autonomy 4,30 4,50 3,80 0,70 3,01
5 Kesetaraan/Equality 4,40 4,50 3,50 1,00 4,40
Indikator Kapasitas Organisasi/
Organization capacity indicator
6 Kapasitas otonomi /Autonomy 3,95 4,05 3,55 0,50 1,98
capacity
7 Kapasitas adaptasi /Adaptation 4,40 4,05 3,75 0,30 1,32
capacity
8 Kapasitas kompleksitas / 4,10 3,90 3,65 0,25 1,03
Complexity capacity
9 Kapasitas koherensi / 4,05 4,15 3,65 0,50 2,03
Coherence capacity
10 Kapasitas kongruensi / 3,75 3,85 3,75 0,10 0,38
Congruence capacity
11 Kapasitas eksklusifitas / 3,50 3,95 3,50 0,45 0,45
Exclusivity capacity
Sikap/Attitude 28,40
Interpretasi sikap/ Netral
Attitude interpretation

Sumber (Source): Hasil pengisian kuisioner, diolah (The results of the questionnaire, analyzed).

Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai pemerintah daerah kabupaten dan provinsi
Penelitian dan Pengembangan Lingkungan masih menganggap penting UPT ini.
Hidup dan Kehutanan (d/h BPK), Balai Balai TN juga dianggap penting
Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Hidup keberadaannya karena mempunyai tugas
dan Kehutanan (d/h BDK). melakukan penyelenggaraan konservasi
BKSDAmempunyai tugas penyelenggaraan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
konservasi sumber daya alam hayati dan dan pengelolaan kawasan taman nasional
ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar terutama terkait penerapan sistem zonasi yang
alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, mencakup zona tradisonal memungkinkan
dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan masyarakat setempat berperan serta dalam
taman hutan raya dan hutan lindung serta pengelolaan kawasan taman nasional.
konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar Lain halnya dengan BPDASHL yang
kawasan konservasi. Informan dari pejabat mempunyai tugas melaksanakan penyusunan

98
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

Tabel 4. Sikap responden terhadap kapasitas UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian
Kehutanan) dalam implementasi desentralisasi kehutanan di Provinsi Sulawesi Selatan
Table 4. Attitudes of respondent to the Capacity of Technical Implementing Unit of the Ministry of Environment
and Forestry (before Ministry of Forestry) in implementing forestry decentralizationin in South Sulawesi
Province

Kondisi Kinerja Nilai sikap atribut


Tingkat Kualitas
aktual/ atribut ke-i/ ke-i/
Kepentingan/ ideal/
No. Atribut Actual i attribute i attribute attitude
Interest Level ideal quality
condition performance values

(Wi) (Ii) (Xi) (Ii – Xi) n (Wi) x [Ii – Xi]


Indikator Tata Kelola Yang Baik/
Good governance indicators
1 Transparansi/Transparancy 4,29 4,14 2,86 1,29 5,51
2 Akuntabilitas/ Accountability 4,29 4,14 2,57 1,57 6,73
3 Kesigapan/ Responsive level 4,29 3,86 2,00 1,86 7,96
4 Kemandirian/Autonomy 3,43 3,29 2,43 0,86 2,94
5 Kesetaraan/Equality 3,57 3,71 2,43 1,29 4,59
6 Kapasitas otonomi /Autonomy 3,86 3,71 2,86 0,86 3,31
capacity
7 Kapasitas adaptasi /Adaptation 3,86 3,71 2,86 0,86 3,31
capacity
8 Kapasitas kompleksitas / 4,14 3,29 4,14 0,86 3,56
Complexity capacity
9 Kapasitas koherensi / 4,00 3,14 2,71 0,43 1,71
Coherence capacity
10 Kapasitas kongruensi / 3,43 3,43 3,00 0,43 1,47
Congruence capacity
11 Kapasitas eksklusifitas / 3,14 2,71 2,86 0,14 0,45
Exclusivity capacity
Sikap/Attitude 41,54
Interpretasi sikap/
Baik
Attitude interpretation

Sumber (Source): Hasil pengisian kuisioner, diolah (The results of the questionnaire, analyzed)

rencana, pengembangan kelembagaan dan bibit tanaman hutan, penyajian informasi


dan evaluasi pengelolaan DAS dan hutan perbenihan dan pembibitan. Menurut
lindung. Bagi informan, peran UPT tidak informan penelitian, UPT ini dirasa penting
lebih dari pendistribusi dana untuk kegiatan oleh pemerintah daerah, namun kesan yang
penghijauan dan reboisasi. Menurut mereka, dirasakan adalah perannya yang kurang
pemerintah pusat dapat langsung memberikan dalam kegiatan penyediaan benih dan bibit
dana ke daerah melalui pemerintah provinsi oleh BPDASHL berkaitan dengan kegiatan
atau bahkan langsung ke pemerintah penghijauan dan reboisasi.
kabupaten. Demikian pula fungsi koordinasi Balai Persuteraan Alam mempunyai
pembangunan DAS yang lintas kabupaten tugas melaksanakan penyusunan rencana
dapat dipegang oleh pemerintah provinsi. pengembangan persuteraan alam,
BPTH melaksanakan tugas penyusunan pemeliharaan bibit induk ulat sutera, pengujian
rencana, sertifikasi dan akreditasi perbenihan mutu, sertifikasi dan akreditasi lembaga
dan pembibitan, pengelolaan sumber benih, sertifikasi telur ulat sutera, serta pengelolaan
pemantauan peredaran dan distribusi benih sistem informasi persuteraan alam. Informan

99
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

menganggap UPT penting karena banyak permasalahan yang terjadi di daerah. Secara
berkontribusi bagi para kelompok tani. faktual sebenarnya Balai Litbang LHK
BPHP yang mempunyai tugas Makasar telah melakukan penelitian yang
melaksanakan sertifikasi tenaga teknis bidang melahirkan informasi ilmiah, paket ilmu
bina produksi kehutanan, penilaian sarana pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan
dan metode pemanfaatan hutan produksi alternatif kebijakan yang kontekstual daerah
serta pengembangan informasi, pemantauan namun mungkin kurang dalam diseminasinya
dan evaluasi pelaksanaan pemanfaatan hutan kepada pemerintah daerah.
produksi lestari. Informan melihat tupoksi Balai Pendidikan dan Pelatihan
BPHP menganggap cukup penting namun Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Balai
terkesan UPT ini tidak lebih hanya sebagai Diklat LHK) Makassar mempunyai tugas
penyelenggara pelatihan tenaga teknis (ganis) pokok melaksanakan pendidikan dan
bina produksi kehutanan dimana peran pelatihan bagi pegawai dan non pegawai di
tersebut seharusnya dapat dilakukan oleh bidang kehutanan. Informan melihat UPT
BDK atau bahkan oleh pemerintah daerah. penting bagi pemerintah daerah sebagai
BPKH mempunyai tugas melaksanakan penyedia tenaga teknis kehutanan.
pengukuhan kawasan hutan, penyiapan bahan
perencanaan kehutanan wilayah, penyiapan E. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH),
data perubahan fungsi serta perubahan Desentralisasi, Peran UPT dan
status/peruntukan kawasan hutan, penyajian Pemerintah Daerah
data dan informasi pemanfaatan kawasan Pembangunan KPH merupakan satu
hutan, penilaian penggunaan kawasan hutan, dari 18 sasaran strategis Kementerian
dan penyajian data informasi sumber daya Kehutanan 2010–2014. Dengan terwujudnya
hutan. Informan berpendapat UPT ini masih KPH maka asumsi yang utama adalah
sangat berperan dalam desentralisasi terkait terselesaikannya masalah penting terkait
pemantapan wilayah hutan. Selain dukungan tantangan pembangunan kehutanan yaitu
tenaga teknis, UPT ini juga mempunyai 1) Deforestasi dan degradasi akibat status
pendanaan pusat sementara pemerintah daerah open access bagi kawasan hutan produksi;
secara umum mempunyai dana terbatas dalam 2) Minat investasi yang rendah karena terus
hal kegiatan tata batas kawasan lindung dan meningkatnya konflik lahan di kawasan
produksi. hutan; dan 3) hasil pembangunan kehutanan
Balai Penelitian dan Pengembangan yang kurang akuntabel sebagai akibat dari
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Balai tidak optimalnya hasil pelaksanaan kegiatan
Litbang LHK) Makassar mempunyai kehutanan lainnya untuk peningkatan fungsi
tugas melaksanakan penelitian di bidang dan daya dukung DAS, rehabilitasi hutan dan
konservasi dan rehabilitasi, peningkatan lahan serta perlindungan hutan (Direktorat
produktivitas hutan, keteknikan kehutanan Jenderal Planologi, 2013).
dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan Dari Tabel 5 dapat dilihat sebagian
iklim dan kebijakan kehutanan sesuai besar program yang ditawarkan oleh KPH
peraturan perundang-undangan. Informan dapat menjadi solusi permasalahan yang
dari jajaran pemerintah daerah mempunyai berkembang di daerah terkait jalannya
kesan bahwa UPT ini bersifat eksklusif karena desentralisasi. Dari penuturan informan
kurang responsif terhadap permasalahan- penelitian ini dari jajaran pejabat pemerintah
permasalahan di daerah. Peran kelitbangan daerah, kesan yang timbul di mata pemerintah
bagi pembangunan daerah harus ditingkatkan daerah tentang KPH adalah pemerintah
melalui penelitian-penelitian solutif bagi daerah akan menjadi “penonton” kegiatan

100
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

Tabel 5. Asumsi konvergensi program, kegiatan dan jenis kesatuan pengelolaan hutan (KPH)
Table 5. Convergence Program Assumption, activities and type of forest management units (FMU)

KPHK/
Kegiatan di dalam indikator kinerja KPHP/ KPHL/
Program/ CFMU
No kegiatan/ PFMU PFMU
Programs (***)
Activitiesintheactivityperformance indicators (*) (**)
1 Peningkatan Usaha Tersedianya areal calon/ usulan pemanfaatan √
Kehutanan/ hutan produksi dalam bentuk unit usaha 
Forestry Business Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil √
Improvement Hutan Kayu-Hutan Alam/Restorasi Ekosistem
(IUPHHK-HA/RE) pada areal bekas
tebangan (Logged Over Area, LOA)
Penambahan luas areal pencadangan ijin √
usaha pemanfaatan hutan tanaman Hutan
Tanaman Industri/Hutan Tanaman Rakyat
(HTI/HTR)
Penambahan areal tanaman pada hutan √
tanaman (HTI/HTR)
Peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak √
(PNBP) dari investasi pemanfaatan hutan
produksi
2 Konservasi Pengelolaan ekosistem esensial sebagai √ √ √
Keanekaragaman penyangga kehidupan
Hayati dan Penanganan perambahan kawasan hutan √ √ √
Perlindungan Hutan/ Restorasi ekosistem kawasan konservasi √
Biodiversity
Conservation and Pengelolaan kawasan konservasi melalui √
Forest Protection pengelolaan berbasis resor
Pengelolaan kawasan konservasi ekosistem √ √ √
gambut
Peningkatan populasi spesies prioritas utama √ √ √
yang ternacam punah
Peningkatan penangkaran dan pemanfaatan √ √ √
jenis keanekaragaman hayati secara lestari
Peningkatan kapasitas penanganan kasus √ √ √
kejahatan kebakaran hutan
Berkurangnya hot spot √ √ √
Luas kws hutan yang terbakar ditekan √ √ √
Peningkatan kapasitas aparatur & masyarakat √ √ √
dlm penanggulangan bahaya kebakaran hutan
Pengusahaan pariwisata alam √ √ √
Pemanfaatan jasa lingkungan air √ √ √
3 Peningkatan Fungsi Rehabilitasi hutan dan lahan kritis √ √ √
dan Daya Dukung Terbangunnya hutan kemasyarakatan √ √
DAS Berbasis
Terbentuknya sentra hasil hutan bukan kayu √ √
Pemberdayaan
(HHBK) unggulan
Masyarakat/
Community Terbangunnya hutan rakyat kemitraan √ √
Empowerment- Terbangunnya hutan desa √ √
Based Increasing Pembuatan areal sumber benih √ √
Watershed
Functionality and
Capability

101
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

KPHK/
Kegiatan di dalam indikator kinerja KPHP/ KPHL/
Program/ CFMU
No kegiatan/ PFMU PFMU
Programs (***)
Activitiesintheactivityperformance indicators (*) (**)

4 Perencanaan Makro Tata batas kawasan hutan √ √ √


Bidang Kehutanan
dan Pemantapan
Kawasan Hutan/
Macro Planning
Division of Forestry
and Forest Area
Consolidation
*Production forest management unit; **Protectionforest management unit; ***Conservationforest management
unit
Sumber (Source): Direktorat Jendral Planologi, 2013 (DG of Forestry Planning, 2013).

kehutanan di wilayahnya. Hal tersebut terjadi dan dinamika politik di daerah yang khas
karena komunikasi kebijakan yang tidak menyebabkan ruang kreasi tersebut tetap
efektif yang saat itu merupakan tupoksi dari sempit.
Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan
(Pusdalbanhut). Selain komunikasi kebijakan F.
Pentingnya Peran Koordinator
yang tidak baik, kesan pemerintah daerah yang dan Fasilitator untuk Penyelesaian
demikian timbul karena selama ini pemerintah Permasalahan Kehutanan di Daerah
daerah secara psikologis merasakan hegemoni Pada perjalanan pembangunan kehutanan
UPT Kementerian LHK (d/h Kementerian di daerah timbul permasalahan yang kompleks
Kehutanan) atas kegiatan kehutanan di daerah (Andersson & Ostrom, 2008; Duncan,
karena mempunyai anggaran tersendiri yang 2007; Lebel et al., 2006; Persha, Agrawal
besar. & Chhatre, 2011). Departemen Kehutanan
Lebih lanjut, beberapa informan (saat ini Kementerian LHK) pada tahun 2004
mempertanyakan apakah pembentukan KPH mengambil langkah cukup penting dalam
merupakan cerminan dari ketidakpuasan mengendalikan dinamika tersebut dengan
pemerintah pusat atas kinerja pemerintah membentuk Pusdalbanghut. Pembentukan
daerah terkait kewenangan yang diberikan Pusdalbanghut saat itu merupakan langkah
pada konteks desentralisasi? penyelesaian masalah melalui pendekatan
Banyaknya isu dan permasalahan yang institusional.
mengikuti proses desentralisasi sebenarnya Secara faktual, Pusdalbanghut dibentuk
tidak bisa disimplifikasi sebagai akibat sebagai fasilitator untuk penyelesaian beberapa
dari penyalahgunaan dan buruknya kinerja isu strategis yang berkembang saat itu antara
pemerintah daerah dalam melaksanakan lain 1) Belum optimalnya koordinasi antara
kewenangannya, namun secara sosiologis pemerintah pusat dan pemerintah daerah; 2)
harus dipahami bahwa isu dan permasalahan Konversi lahan baik yang terencana, seperti
tersebut sebagai akibat duplikasi patronase tukar menukar, pinjam pakai, maupun tidak
pengelolaan hutan pemerintah pusat oleh terencana, seperti perambahan, penambangan
pemerintah daerah sebagai sumber legitimasi ilegal; 3) Konflik tenurial; 4) Penurunan
pemerintah daerah dan terkikisnya kreativitas kuantitas dan kualitas sumber daya air; 5)
daerah karena politik sentralisasi yang Penurunan luasan lahan kritis belum sesuai
berlangsung cukup lama. Saat ini ruang kreasi dengan yang diharapkan; 6) Masih banyaknya
terbuka lebar namun kendala pendanaan tindak pidana kehutanan; 7) Berkembangnya

102
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam; kerja KPH dan kawasan konservasi; dan 2)
dan 8) Berkembangnya hutan rakyat dan Pengesahan rencana jangka panjang KPH dan
industri hasil hutan (Pusdalbanghut Regional supervisi inventarisasi yang dilakukan KPH.
II, 2012). Pusdalbanghut juga melakukan pembinaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan kelembagaan, menginisiasi business plan KPH
(Permenhut) Nomor P.33/Menhut-II/2012 salah satunya dengan membantu invetarisasi
tentang Perubahan atas Permenhut Nomor potensi usaha KPH. Dengan penambahan
P.40/Menhut-II/2010 tentang Organisasi tupoksi tersebut, makin besar pula peran
dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan, Pusdalbanghut karena KPH dianggap
Pusdalbanghut mempunyai tugas oleh multi pihak sebagai "obat mujarab"
melaksanakan penyusunan dan evaluasi penyembuh carut marutnya pengelolaan
perencanaan kehutanan di tingkat regional. hutan.
Dalam melaksanakan tugas tersebut KPH secara filosofis merupakan proses
Pusdalbanghut menyelenggarakan fungsi, pemfokusan pembangunan kehutanan yang
yaitu sebagai 1) Koordinasi penyusunan selama ini dinilai kabur karena selama ini
rencana kehutanan provinsi berdasarkan pembangunan kehutanan di Indonesia secara
Rencana Kerja Tingkat Nasional (RKTN) umum mangalami pengalihan isu kepada
di tingkat regional; 2) Pemantauan, evaluasi isu-isu perlindungan dan rehabilitasi yang
dan pelaporan pelaksanaan tugas poin 1 bersifat jangka pendek. Apabila hanya dilihat
diatas; 3) Pelaksanaan, supervisi inventarisasi berdasarkan alokasi anggaran, program dan
hutan lingkup kesatuan pengelolaan hutan; kegiatan Departemen Kehutanan periode
4) Pengesahan rencana jangka panjang 2004-2008 lebih memprioritaskan persoalan
pengelolaan hutan kesatuan pengelolaan perlindungan dan rehabilitasi hutan, sehingga
hutan; 5) Pembinaan teknis, penataan cenderung taktis dan jangka pendek, bukan
organisasi pengelolaan hutan; 6) Fasilitasi strategis jangka panjang. Masalah-masalah
dan mediasi penyelesaian masalah tenurial klaim dan tumpang tindih kawasan hutan
kawasan hutan; dan 7) Pelaksanaan urusan tidak mendapat prioritas untuk diselesaikan
tata usaha dan rumah tangga pusat. (Direktorat Jendral Planologi, 2011).
Kegiatan ril Pusdalbanghut dapat Peran Pusdalbanghut pada proses
dikelompokkan menjadi dua kegiatan besar pembentukan KPH adalah sangat besar
yaitu perencanaan dan evaluasi. Perencanaan, yaitu sebagai fasilitator sinkronisasi alokasi
meliputi Rapat Koordinasi Perencanaan anggaran di UPT daerah/dekonsentras/
dan Pengembangan Hutan Regional APBD/Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
(Rakorrenbanghutreg) di mana Pusdalbanghut dapat dilihat dari alur kegiatan sinkronisasi
membantu mengarahkan penyesuaian rencana arah kegiatan dan anggaran KPH, yaitu 1)
kerja (renja) kehutanan dengan rencana Inventarisasi permasalahan; 2) Menyusun
strategis (renstra) seluruh UPT Kementerian rencana kegiatan dan anggaran; 3) Koordinasi
LHK (d/h Kementerian Kehutanan) di dengan penanggung jawab program
lingkup wilayah Pusdalbanghut. Sedangkan Eselon I Kemenhut dan instansi daerah; 4)
kegiatan evaluasi, adalah melakukan Memastikan alokasi dianggarkan di UPT
koordinasi pemangku kepentingan untuk daerah/dekonsentrasi/APBD/DAK dengan
penyelesaian masalah kehutanan yang tematik fasilitasi Pusdalbanghut; dan 5) Evaluasi
yang terjadi wilayah Pusdalbanghut. Pada untuk perencanaan ke depan (Direktorat
Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2012, Jendral Planologi, 2013). Walaupun saat
ada penambahan tupoksi Pusdalbanghut ini Pusdalbanghut telah dibubarkan, namun
antara lain 1) Fasilitasi penyelesaian masalah perannya dalam sejarah pembangunan KPH
tenurial di kawasan yang akan/menjadi areal serta jalannya desentralisasi kehutanan di

103
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

daerah sangat besar. Oleh karena itu penting kehutanan. Atribut kapasitas eksklusivitas
untuk diketahui bersama bahwa dengan melihat UPT dinilai mempunyai performa yang paling
latar belakang pembentukan Pusdalbanghut baik. Di Sulawesi Selatan isu desentralisasi
dan perannya, kegiatan Pusdalbanghut sangat yang paling mengemuka adalah pelemahan
berpotensi sebagai institusionalisasi proses instansi kehutanan, penyalahgunaan
pembelajaran penyelesaian masalah-masalah wewenang, tertundanya pemantapan kawasan,
kompleks di bidang pembangunan kehutanan egosentris instansi vertikal dan koordinasi
yang didominasi oleh masalah koordinasi. yang lemah. Jajaran Pemda di Sulawesi
Pengertian koordinasi sendiri merupakan Selatan menilai kapasitas UPT Kementerian
proses pemaduan sasaran dan kegiatan dari LHK (d/h Kementerian Kehutanan) di daerah
unit-unit kerja yang terpisah untuk dapat secara umum adalah baik dengan indikator
mencapai tujuan organisasi secara efektif transparansi, akuntabilitas dan kesigapan
(Dlabay, Stoner & Wankel, 1986). mempunyai derajat penting yang sama untuk
jalankan dalam proses desentralisasi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Diskursus yang berkembang tentang
kesenjangan kewenangan lembaga
A. Kesimpulan
desentralisasi kehutanan di Provinsi Jawa
Beberapa UPT seperti Balai Konservasi Timur adalah dinas provinsi sebagai
Sumber Daya Alam (BKSDA), Balai Taman koordinator dan fasilitator belum maksimal di
Nasional (BTN), Balai Persuteraan Alam mana seharusnya instansi ini dapat menjamin
(BPA), Balai Pemantapan Kawasan Hutan substansi desentralisasi berkaitan dengan
(BPKH), Balai Diklat LHK masih dirasakan administrasi kepemerintahan. Diskursus
perannya oleh pemerintah daerah karena yang mengemuka di Provinsi Sulawesi
sumber daya manusia dan pendanaan yang Selatan adalah belum ada yang berwenang
dimiliki. Sedangkan informan umumnya dan bertanggung jawab dalam penyelesaian
mempunyai kesan bahwa Balai Pengelolaan tumpang tindih kepentingan di kawaan
Hutan Produksi (BPHP) dan Balai hutan produksi dan lindung (konflik) di
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan mana seharusnya kewenangan ini berada di
Lindung (BPDASHL) merupakan dua UPT pemerintah daerah provinsi dan Kementerian
yang tidak diperlukan di daerah karena fungsi LHK (d/h Kementerian Kehutanan). Hal
dan kewenangannya dapat dilimpahkan tersebut sangat diperlukan untuk percepatan
kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/ pemantapan kawasan hutan.
kota. Demikian juga dengan Balai Perbenihan Berdasarkan tupoksi dan kegiatan ril UPT di
Tanaman Hutan (BPTH) dan Balai Litbang daerah, sebagian besar UPT masih mempunyai
LHK yang dirasa kurang berperan di daerah peran yang penting dalam pengelolaan sumber
sebagai penyedia benih bermutu. daya hutan. Pembangunan KPH merupakan
Isu desentralisasi di Jawa Timur yang pemfokusan pengelolaan hutan di daerah dan
paling menonjol adalah pelemahan instansi proses penyelesaian masalah tematik dalam
kehutanan, mendesaknya pertisipasi konteks desentralisasi kehutanan.
masyarakat dalam kelola hutan dan masih Pusdalbanghut mempunyai peran yang
lemahnya koordinasi serta adanya tumpang penting dalam sejarah pembangunan KPH
tindih wewenang. Informan dari jajaran dan penyelesaian masalah tematik dalam
Pemda di Jawa Timur menilai kapasitas konteks desentralisasi kehutanan di daerah
UPT Kementerian LHK (d/h Kementerian melalui pendekatan koordinatif.
Kehutanan) di daerah secara umum adalah
netral (tidak baik dan tidak buruk) dengan B.Saran
indikator akuntabilitas menjadi atribut penting Perlu strategi budaya untuk merevitalisasi
yang harus dikuatkan pada implementasi nilai-nilai idealistik untuk tercapainya esensi

104
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
Kurniawan)

desentralisasi. Merubah sistem penilaian Bappenas, & UNDP. (2009). Risalah desentralisasi.
capaian kerja pemerintah yang masih Jakarta: Bappenas and UNDP.
Creswell, J. & Clark, V. P. (2007). Designing and
memakai ukuran penyelesaian proyek yang conducting mixed methods research.
belum berorientasi pada hasil. Sebagai Thousand Oaks, CA: Sage.
contoh kawasan hutan yang bermasalah (ada Direktorat Jenderal Planologi. (2013). Data dan
konflik) cenderung tidak diberi prioritas informasi Ditjen Planologi Kehutanan tahun
karena sifat kegiatan kehutanan yang 2013. Jakarta: Ditjen Planologi Kementerian
Kehutanan.
keproyekan mengharuskan pekerjaan selesai Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian
dalam 1 (satu) tahun sehingga permasalahan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
terus menumpuk dan makin sulit untuk (2014). Strategi pengembangan KPH dan
diselsaikan. Perlu studi yang melihat besar perubahan struktur kehutanan Indonesia.
kecilnya kewenangan yang didelegasikan Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan bekerja sama dengan
kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/ Deutsche Gesellschaft für Internationale
kota melalui studi yang detil pada kapasitas Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Forests and
instansi, beban tanggung jawab yang diberikan Climate Change Programme-FORCLIME.
dan iklim politik di daerah. Direktorat Jendral Planologi. (2011). Pembangunan
Perbaikan dan peningkatan kapasitas kesatuan pengelolaan hutan (KPH): Konsep,
peraturan perundangan dan implementasi.
organisasi pelaksana desentralisasi Jakarta: Direktorat Wilayah Pengelolaan
sektor kehutanan di Provinsi Jawa Timur dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan
perlu diarahkan kepada tranparansi dan Hutan.
akuntabilitas, dan di Provinsi Sulawesi Direktorat Jendral Planologi. (2013). Konvergensi
Selatan adalah akuntabilitas dan kesigapan. perencanaan dan anggaran kesatuan
pengeloaan hutan (KPH). Makalah
Permasalahan yang timbul menyusul disampaikan pada Rakornis KPH. Jakarta,
diterapkannya desentralisasi kehutanan dapat Direktorat Jenderal Planologi.
diselesaikan melalui pendekatan koordinatif Dlabay, L. R., Stoner, J. A. F., & Wankel, C. (1986).
seperti pendekatan yang digunakan oleh Study guide and workbook: Management.
Pusdalbanghut. Pusdalbanghut harus Pennsylvania: Prentice Hall.
Duncan, C. R. (2007). Mixed outcomes: The impact
dipandang sebagai instrumen ad hoc dimana of regional autonomy and decentralization
fungsi dan tugas yang dijalankan oleh on indigenous ethnic minorities in Indonesia.
Pusdalbanghut dapat dipandang sebagai Development and Change, 38(4), 711–733.
proses institusionalisasi pembelajaran Dwiprabowo, H., Suwarno, E., & Kartodihardjo, H.
penyelesaian masalah tematik dalam konteks (2011). Good corporate governance di bidang
kehutanan. Siapkah kita? Policy Brief,5
desentralisasi kehutanan. (1) . Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Ikim dan Kebijakan.
UCAPAN TERIMA KASIH Ekawati, S., Kartodiharjo, H., Hardjanto, Dwiprabowo,
H., & Nurrochmat, D. (2011). Proses
Penulis mengucapkan terima kasih atas
pembuatan kebijakan pembagian kewenangan
terselesaikannya penelitian ini kepada Kepala antar tingkat pemerintahan dalam pengelolaan
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dan hutan lindung dan implementasinya di
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi tingkat kabupaten. Jurnal Analisis Kebijakan
Selatan beserta jajarannya. Kehutanan, 8(2), 132–151.
Henley, D., & Davidson, J. S. (2008). In the name
of adat: Regional perspectives on reform,
DAFTAR PUSTAKA tradition, and democracy in Indonesia.
Modern Asian Studies, 42(4), 815–852.
IDS. (2006). Understanding policy process. Brighton:
Andersson, K. P., & Ostrom, E. (2008). Analyzing
Institute of Development Studies, The
decentralized resource regimes from a
University of Sussex.
polycentric perspective. Policy Sciences,
41(1), 71–93.

105
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

Kartodihardjo, H., Nugroho, B., Putro, H. R. (2011). Persha, L., Agrawal, A., & Chhatre, A. (2011). Social
Pembangunan kesatuan pengelolaan and ecological synergy: Local rulemaking,
hutan, konsep, peraturan perundangan forest livelihoods, and biodiversity
dan implementasi. Jakarta: Kementerian conservation. Science, 331(6024), 1606–
Kehutanan bekerja sama dengan 1608.
Deutsche Gesellschaft für Internationale Peters, B. G. (2000). Institutional theory: Problems and
Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Forests and prospects. political science series 69. Wien:
Climate Change Programme. Department of Political Science, Institute for
Larson, A. M., & Soto, F. (2008). Decentralization of Advanced Studies (IHS)), Stumpergasse 56,
natural resource governance regimes. Annual A-1060.
Review of Environment and Resources, 33(1), Pusdalbanghut Regional II. (2012). Penambangan
213–239. tradisional mangan rusak hutan di Jember.
Lebel, L., Anderies, J., Campbell, B., Folke, C., Retrieved April 26, 2014, from http://
Hatfield-Dodds, S., Hughes, T., & Wilson, w w w. p u s d a l h u t r e g 2 . o r g / 9 / c a t e g o r y /
J. (2006). Governance and the capacity pertambangan/1.html.
to manage resilience in regional social- Rohadi, D., & Rochmayanto, Y. (2012). Analisis peran
ecological systems. Ecology and Society, unit pelaksana teknis lingkup Kementerian
11(1). Kehutanan dalam implementasi desentralisasi
Lee Peluso, N., Afiff, S., & Rachman, N. F. (2008). kehutanan. (Laporan Hasil Penelitian,
Claiming the grounds for reform: Agrarian Unpublished). Bogor: Puslitbang Perubahan
and environmental movements in Indonesia. Iklim dan Kebijakan.
Journal of Agrarian Change, 8(2–3), 377– Steni, B. (2004). Desentralisasi, koordinasi dan
407. partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
Nordholt, H. S. (2005). Decentralisation in Indonesia: sumber daya alam pasca otonomi daerah.
Less State, More Democracy? In J. Harriss, http://huma.or.id.
K. Stokke, & O. Törnquist (Eds.). Politicising
democracy: The new local politics of
democratisation (pp. 29–50). London:
Palgrave Macmillan UK.

106
Lampiran 1. Tupoksi UPT lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian Kehutanan), isu dan perspektif pemerintah daerah
Attachement 1. The job of desk of technical implementing unit in the Ministry of Environment and Forestry (before Ministry of Forestry), issue and local government
perspective

UPT/Technical Tupoksi/ Isu di daerah dan perspektif pemerintah daerah/


No.
implementing unit Job desk Issues and local government perspective

1 Balai Besar KSDA UPT BBKSDA mempunyai tugas penyelenggaraan konservasi UPT BBKSDABKSDA di daerah memang dikhususkan mengelola
Sulawesi Selatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan konservasi. UPT ini oleh daerah masih dianggap penting
dan Balai Besar kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, karena tupoksi dan sumber daya manusia (tenaga teknis) yang ada
KSDA Jawa Timur dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan di UPT tersebut.
raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan Isu tentang konservasi sumber daya hutan dan isinya belum
satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan mendapat perhatian khusus di daerah studi. Hal ini menyangkut
perundang-undangan yang berlaku. UPT BBKSDA/BKSDA beberapa hal terkait kondisi faktual dilapangan dan tanggung jawab
menyelenggarakan fungsi : 1) Penataan blok, penyusunan pemerintah daerah yg didesentralisasikan :
rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan Kawasan lindung dan produksi yang diserahkan kewenangan
kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan pengelolaannya oleh daerah bisa jadi memerlukan kegiatan
taman buru, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam konservasi keanekaragaman hayati di dalamnya. Namun pada
dan di luar kawasan konservasi; 2) Pengelolaan kawasan cagar kenyataannya, kegiatan-kegiatan yang menjadi tanggung jawab
alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru, di daerah terkait pengelolaan kawasan lindung dan produksi
serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar saja masih terkendala pendanaan. Kegiatan konservasi
kawasan konservasi; 3) Koordinasi teknis pengelolaan taman keanekaragaman hayati belum menjadi konsen pemerintah
hutan raya dan hutan lindung; 4) Penyidikan, perlindungan daerah.
dan pengamanan hutan, hasil hutan dan tumbuhan dan satwa
liar di dalam dan di luar kawasan konservasi; 5) Pengendalian Pemerintah daerah secara umum belum mempunyai tenaga teknis
kebakaran hutan; 6) Promosi, informasi konservasi sumber yang berkaitan dengan konservasi, terutama konservasi
daya alam hayati dan ekosistemnya; 7) Pengembangan bina keanekaragaman hayati.
cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya; 8) Kerja sama pengembangan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta
pengembangan kemitraan; 9) Pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan konservasi; 10) Pengembangan dan pemanfaatan jasa
lingkungan dan pariwisata alam; 11) Pelaksanaan urusan tata
usaha dan rumah tangga.

107
Kurniawan)
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
108
UPT/Technical Tupoksi/ Isu di daerah dan perspektif pemerintah daerah/
No.
implementing unit Job desk Issues and local government perspective

2 Balai Taman Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/ Keberadaan UPT ini memang dikhususkan mengelola kawasan
Nasional Taka Menhut-II/2007 Organisasi dan Tata Kerja UPT Taman konservasi taman nasional. Keberadaannya masih dianggap penting
Bonerate dan Balai Nasional, UPT taman nasional melakukan penyelenggaraan oleh pemerintah daerah.
Taman Nasional konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan Penerapan sistem zonasi yang mencakup zona tradisonal
Bantimurung pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan memungkinkan masyarakat setempat berperan serta dalam
(Sulawesi Selatan) perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas pengelolaan kawasan taman nasional.
tersebut, UPT balai taman nasional menyelenggarakan fungsi:
Balai Taman 1) Penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan
Nasional Baluran, dan evaluasi; 2) Pengelolaan kawasan taman nasional;
Alas Purwo, Meru 3) Pengelolaan kawasan taman nasional; 4) Penyidikan,
Betiri, Bromo perlindungan, dan pengamanan kawasan taman nasional;
Tengger Semeru 5) Pengendalian kebakaran hutan; 6) Promosi, informasi
(Jawa Timur) konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 7)
Pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi
sumber daya 8) Alam hayati dan ekosistemnya; 9) Kerja
sama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; 10)
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional; 11)


Pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata
alam; 12) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
3 Balai Pengelolaan Menurut P. 15/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Wilayah kerja BPDASHL (d/h BPDAS) secara umum mencakup
DASHL (d/h Kerja UPT Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, UPT BPDAS kawasan hutan dan non kawasan hutan dengan cakupan kegiatan
BPDAS) (sekarang BPDASHL) melaksanakan penyusunan rencana, pembangunan fisik dan kelembagaan. Dalam melaksanakan tugas
Jeneberang pengembangan kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS. dan fungsinya, BPDAS melakukan koordinasi dengan banyak
Walanae dan Sedangkan fungsinya adalah sebagai berikut: 1) Penyusunan instansi baik vertikal maupun horizontal. Dilihat dari cakupan
Balai Pengelolaan rencana pengelolaan daerah aliran sungai; 2) Penyusunan dan wilayah kerja dan kegiatannya serta kemampuan pendanaan,
DASHL (d/h penyajian informasi daerah aliran sungai; 3) Pengembangan BPDASHL (d/h BPDAS) sangat berpotensi untuk menjadi
BPDAS) Saddang model pengelolaan daerah aliran sungai; 4) Pengembangan koordinator kegiatan pembangunan DAS di daerah.
(Sulawesi Selatan) kelembagaan dan kemitraan pengelolaan daerah aliran sungai; Peran UPT ini yang sangat dirasakan pemerintah daerah adalah
Balai Pengelolaan 5) Pemantauan dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai; sebagai pendistribusi dana untuk kegiatan penghijauan dan
DASHL (d/h (6) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga reboisasi. Pemerintah daerah pada dua daerah studi berpendapat
BPDAS) Brantas UPT BPDASHL (d/h BPDAS) dapat ditiadakan karena dana
dan Sampean (Jawa dari pemerintah pusat bisa langsung diberikan ke daerah
Timur) melalui pemerintah provinsi. Demikian pula fungsi koordinasi
pembangunan DAS dapat dipegang oleh pemerintah provinsi.
UPT/Technical Tupoksi/ Isu di daerah dan perspektif pemerintah daerah/
No.
implementing unit Job desk Issues and local government perspective

4 Balai Perbenihan Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 663/ UPT ini mempunyai sejarah yang cukup panjang yaitu berdiri sejak
Tanaman Hutan kpts-II/2002 tanggal 7 Maret 2002, BPTH melaksanakan tugas tahun 1984 dengan beberapa kali mengalami pergantian nama.
(BPTH) Wilayah penyusunan rencana, sertifikasi dan akreditasi perbenihan dan UPT ini dirasa penting oleh pemerintah daerah, namun kesan
Sulawesi pembibitan, pengelolaan sumber benih, pemantauan peredaran dirasakan oleh pemerintah daerah UPT ini kurang berperan dalam
dan distribusi benih dan bibit tanaman hutan, penyajian kegiatan penyediaan benih dan bibit oleh BPDAS berkaitan dengan
informasi perbenihan dan pembibitan. Berdasarkan dengan kegiatan penghijauan dan reboisasi.
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Namun dari tupoksi, UPT ini sangat berpotensi mempunyai
Sosial Nomor P. 1/V-SET/2008, tentang Uraian Kegiatan peran yang penting dalam jalannya desentralisasi dalam konteks
Balai Perbenihan Tanaman Hutan, yaitu 1) Inventarisasi bahan sertifikasi, pengelolaan sumber benih, penyajian informasi benih
perencanaan dalam rangka pengembangan perbenihan tanaman dan pemantauan peredaran dan distribusi benih yang dibutuhkan
hutan; 2) Penyusunan rencana lima tahun/renstra; Penyusunan pemerintah daerah.
rencana kerja/rencana tahunan;  3) Pemetaan (penyusunan data
spasial) / up-dating data spasial perbenihan; 4) Pemantauan
dan evaluasi sumber benih; 5) Up-dating database sumber
benih, Identifikasi, deskripsi, dan penetapan sumber benih; 6)
Inventarisasi dan identifikasi sumber daya genetik (SDG); dan
7) Fasilitasi proses penunjukan sumber benih di dalam kawasan
hutan dan lain-lain.
5 Balai Persuteraan Berdasarkan Keputusan Mentri Kehutanan Nomor 664/Kpts- UPT ini mempunyai tupoksi yang sangat spesifik dan mempunyai
Alam (BPA) II/2002 wilayah kerja yang sangat luas hampir mencakup seluruh wilayah
Makassar Balai Persuteraan Alam mempunyai tugas melaksanakan Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat, dalam kegiatan
penyusunan rencana pengembangan persuteraan alam, seharusnya dapat lebih maksimal walaupun memang selama ini
pemeliharaan bibit induk ulat sutera, pengujian mutu, khususnya di Sulawesi Selatan sendiri UPT ini sudah berperan
sertifikasi dan akreditasi lembaga sertifikasi telur ulat sutera, dalam pembinaan dan pelatihan teknis kepada kelompok-kelompok
serta pengelolaan sistem informasi persuteraan alam. Balai tani hutan. Sangat berpotensi dalam peran pentingnya sebagai UPT
Persuteraan Alam menyelenggarakan fungsi: 1) Penyusunan dalam meningkatkan diversifikasi hasil hutan di daerah.
rencana pengembangan persuteraan alam; 2) Pemeliharaan bibit
induk ulat sutera; 3) Pengujian mutu dan penerapan teknologi
persuteraan alam; 4) Pemantauan produksi, peredaran dan
distribusi bibit telur ulat sutera; 5) Pelaksanaan sertifikasi dan
akreditasi lembaga sertifikasi ulat sutera; 6) Pengelolaan sistem
informasi persuteraan alam; dan 7) Pelaksanaan urusan tata
usaha dan rumah tangga balai.

109
Kurniawan)
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
110
UPT/Technical Tupoksi/ Isu di daerah dan perspektif pemerintah daerah/
No.
implementing unit Job desk Issues and local government perspective

6 Balai Pemantauan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) Kegiatan BP2HP yang paling krusial di lapangan adalah
Pemanfaatan Hutan adalah UPT di bidang pemantauan pemanfaatan hutan produksi menyiapkan tenaga teknis dan pengawas tenaga teknis bidang bina
Produksi (BP2HP) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur produksi. Penyiapan ini juga mencakup pemberian sertifikat, nomor
Wilayah XV Jenderal Bina Produksi Kehutanan (sekarang Ditjen PHPL) register ganis terkait juga masa keberlakuan register tersebut dan
Makassar mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi tenaga teknis pengawasan terhadap ganis itu sendiri.
bidang bina produksi kehutanan, penilaian sarana dan metode Kegiatan BP2HP yang krusial juga adalah mengawasi jalannya
Balai Pemantauan pemanfaatan hutan produksi serta pengembangan informasi, produksi pemanfaatan hutan produksi
Pemanfaatan Hutan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemanfaatan hutan Walaupun dilihat dari tupoksinya UPT ini dirasa cukup penting
Produksi (BP2HP) produksi lestari. Dalam melaksanakan tugas, Balai Pemantauan namun kesan yang ada di mata pemerintah daerah adalah UPT
Wilayah VIII dan Pemanfaatan Hutan Produksi melaksanakan fungsi : ini hanya sebagai penyelenggara pelatihan tenaga teknis bina
Surabaya 1) Penyusunan rencana, program dan evaluasi pelaksanaan produksi kehutanan (ganis dan wasganis) dimana peran tersebut
tugas pokok Balai; 2) Penilaian kinerja dan pengembangan seharusnya dapat dilakukan oleh Balai Diklat LHK atau bahkan
profesi tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan; 3) oleh pemerintah daerah. Tenaga pengajar dapat disediakan oleh
Penyiapan tenaga teknis bidang bina produksi kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian
dan penyiapan rekomendasi pemberian ijin operasional Kehutanan) yang dikoordinasikan melalui Pusdalbanghut.
teknis fungsional; 4) Pemberian perpanjangan atau usulan
pencabutan ijin operasional teknis fungsional; 5) Penilaian
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

sarana dan pengembangan metode pemanfaatan hutan produksi


yang digunakan oleh tenaga teknis bidang bina produksi
kehutanan; 6) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rencana
kerja usaha pemanfaatan hutan produksi jangka panjang,
rencana pemenuhan bahan baku industri, industri primer
kapasitas diatas 6.000 M³/tahun dan dokumen peredaran hasil
hutan;  7) Pelaksanaan pengembangan informasi pemanfaatan
hutan produksi lestari;  8) Pelaksanaan tata usaha dan rumah
tangga.
UPT/Technical Tupoksi/ Isu di daerah dan perspektif pemerintah daerah/
No.
implementing unit Job desk Issues and local government perspective

7 Balai Pemantapan Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor Di Indonesia, desentralisasi hutan lindung dimulai sejak Undang-
Kawasan Hutan P.13/Menhut-II/20011 tanggal 10 Maret 2011 BPKH Undang Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian
(BPKH) Wilayah mempunyai tugas melaksanakan pengkuhan kawasan hutan, Urusan Pemerintahan, Pengelolaan hutan lindung diserahkan
VII Makassar penyiapan bahan perencanaan kehutanan wilayah, penyiapan kepada Kepala Daerah Tingkat II yang mencakup kegiatan
data perubahan fungsi serta perubahan status/peruntukan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan
kawasan hutan, penyajian data dan informasi pemanfaatan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi
kawasan hutan, penilaian penggunaan kawasan hutan, dan lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa
penyajian data informasi sumber daya hutan. lingkungan. Kemudian Pemerintah menerbitkan PP Nomor 25
Dalam melaksanakan tugas yang dimaksud BPKH Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewengan
menyelenggarakan fungsi: 1) Pelaksanaan identifikasi dan Daerah Provinsi sebagai Daerah Otonom yang direvisi menjadi
inventarisasi potensi lokasi yang akan ditunjuk sebagai kawasan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara
hutan; 2) Pelaksanaan penataan batas dan pemetaan kawasan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/
hutan; 3) Pelaksanaan penilaian perubahan status dan fungsi Kota. PP tersebut menyatakan bahwa pengelolaan hutan lindung
kawasan hutan; 4) Pelaksanaan penilaian penggunaan kawasan menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten. Di sisi lain adanya
hutan; 5) Penilaian teknis tata batas areal pemanfaatan hutan, surat Direktur Jendral Planologi Kehutanan Nomor S.209/VII-
penggunaan kawasan hutan dan perubahan status/ peruntukan Set/2010, menyebutkan BPKH diminta untuk melaksanakan tugas
kawasan hutan; 6) Pelaksanaan inventarisasi hutan skala penataan batas pada kawasan hutan produksi, hutan lindung,
nasional di wilayah; 7) Penyusunaan dan penyajian data dan kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
informasi sumber daya hutan (SDH) serta neraca sumber daya Pemerintah daerah berpendapat bahwa UPT ini masih sangat
hutan (NSDH); 8) Pengelolaan sistem informasi geografis berperan dalam desentralisasi kerena menyangkut pemantapan
dan perpetaan kehutanan; 9) Penyiapan dan penyajian data wilayah hutan. Selain dukungan tenaga teknis, UPT ini juga
dan informasi perencanaan kehutanan penunjukan kawasan mempunyai pendanaan pusat sementara pemerintah daerah secara
hutan, penatagunaan kawasan hutan, wilayah pengelolaan umum mempunyai dana terbatas dalam hal kegiatan tata batas
hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan; dan 10) kawasan lindung dan produksi.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai.

111
Kurniawan)
Analisis Peran Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ......( Handoyo dan Andri Setiadi
112
UPT/Technical Tupoksi/ Isu di daerah dan perspektif pemerintah daerah/
No.
implementing unit Job desk Issues and local government perspective

8 Balai Litbang LHK Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2011, Balai Litbang LHK (d/h BPK) Makassar mempunyai tugas di
Makassar tanggal 20 April 2011, tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai bidang penelitian yang cakupannya cukup luas yaitu penelitian di
Penelitian Kehutanan (sekarang Balai Litbang LHK) Makassar bidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktifitas hutan,
mempunyai tugas dan fungsi: 1) Penyusun rencana, program keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan
dan anggaran. 2) Pelaksanaan penelitian dan kerja sama iklim dan kebijakan kehutanan.
penelitian; 3) Pelayanan data dan informasi, ilmu pengetahuan UPT ini mempunyai kesan yang eksklusif di mata pemerintah
dan teknologi hasil-hasil penelitian; 4) Pengelolaan sarana daerah karena kurang responsif terhadap permasalahan-
dan prasarana penelitian lingkup balai; 5) Pengelolaan hutan permasalahan di daerah. Peran kelitbangan bagi pembangunan
penelitian yang menjadi tanggungjawab balai; 6) Pemantauan, daerah harus ditingkatkan melalui penelitian-penelitian solutif
evaluasi dan pelaporan penelitian; 7) Pelaksanaan urusan tata bagi permasalahan di daerah. Secara faktual sebenarnya Balai
usaha dan rumah tangga balai. Balai Litbang LHK Makassar Litbang LHK (d/h BPK) Makassar telah melakukan penelitian
mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang konservasi yang melahirkan informasi ilmiah, paket iptek dan alternatif
dan rehabilitasi, peningkatan produktifitas hutan, keteknikan kebijakan yang kontekstual daerah namun mungkin kurang dalam
kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim diseminasinya kepada pemerintah daerah.
dan kebijakan kehutanan sesuai peraturan perundang-undangan.
9 Balai Diklat LHK Balai Diklat LHK (d/h BDK) Makassar merupakan Unit UPT ini dirasakan penting oleh pemerintah daerah sebagai penyedia
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 87-112

Makassar Pelaksanaan Teknis (UPT) dari Badan Penyuluhan dan tenaga teknis kehutanan.
pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan.  Balai
Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makassar mempunyai
tugas pokok melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi
pegawai dan non pegawai di bidang kehutanan. Dalam
melaksanakan tugas pokoknya, Balai Diklat LHK (d/h BDK)
menyelenggarakan fungsi : 1) Menyusun rencana dan program
diklat;  2) Melaksanakan diklat; 3) Melaksanakan kerja sama
diklat; 4) Melaksanakan pengelolaan sarana dan prasarana di
hutan diklat; 5) Melaksanakan evaluasi dan pelaporan; dan 6)
Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga. 
PETUNJUK UNTUK PENULIS (GUIDE FOR AUTHORS)

Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi
penulis dalam proses penerbitan naskah di Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Penulis dapat
menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalam bahasa Indonesia harus
sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris
sebaiknya memenuhi standar tata bahasa Inggris baku.
Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas
3 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan masing–masing 2 cm. Bentuk naskah berupa
2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman,
termasuk lampiran. Jarak antara paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah merupakan hasil
penelitian dalam bidang sosial dan ekonomi kehutanan, serta lingkungan. Naskah harus berisi
informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian.
FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, kecuali
Abstrak, Kata Kunci dan Daftar Pustaka font 10

SISTEMATIKA PENULISAN
Hasil penelitian:
JUDUL
Identitas Penulis
ABSTRAK & Kata Kunci
I. PENDAHULUAN
II. METODE PENELITIAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Pemikiran/tinjauan ilmiah:
JUDUL
Identitas Penulis
ABSTRAK & Kata Kunci
I. PENDAHULUAN
II. Bab-bab inti naskah
III., dst.
Bab terakhir: KESIMPULAN & REKOMENDASI
UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan.
Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti:
I, II, III, dst. untuk Bab
A, B, C, dst. untuk Sub Bab
1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Bab
a, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab
1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Bab
a), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab
JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times
New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris
atau tidak lebih dari 13 kata. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda
kurung. Judul naskah harus mencerminkan inti dari isi suatu tulisan. Judul hendaknya akurat,
singkat, padat, informatif, mudah diingat dan mudah dipahami. Menggambarkan isi pokok
tulisan. Mengandung kata kunci yang menunjukkan isi tulisan. Judul seringkali digunakan
dalam sistem pencarian informasi. Hindari pemakaian kata kerja. Hindari pemakaian rumus
kimia, rumus matematika, bahasa singkatan dan tidak resmi.
IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah
judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi serta alamat e-mail penulis ditulis dengan
font lebih kecil dari font teks (font 10). Bila penulis lebih dari satu, penulisan nama berurutan
ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan
kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh
dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Abstrak
merupakan pernyataan singkat, berupa intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan,
tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai. Ditempatkan sebelum pendahuluan; diketik dengan
jarak satu spasi. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak ada gambar, tabel
dan pustaka. Tidak mencantumkan istilah yang kurang dimengerti, akronim atau singkatan,
nama atau merek dagang atau tanda lain tanpa keterangan. Dapat merangsang pembaca untuk
memperoleh informasi lebih lanjut. Naskah dalam bahasa Indonesia: disajikan abstract (bahasa
Inggris) yang dicetak miring, disusul abstrak (bahasa Indonesia) yang dicetak tegak. Naskah
dalam bahasa Inggris: berlaku sebaliknya.
KATA KUNCI: Dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat
dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak
TEMPLATE JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN

JUDUL (Times New Roman, all caps, 14 pt, bold, centered)


Title (Times New Roman, 12 pt, italic, bold, centered)
(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

}
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3
Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;
1

E-mail: penulis_pertama@address.com
2
Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; (Times New
E-mail: penulis_kedua@address.com Roman,
3
Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; 10 pt, ,
E-mail: penulis_ketiga@address.com centered
(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
*Apabila semua penulis dalam satu instansi, maka superscript 1,2,dst tidak perlu dicantumkan

Diterima ……, direvisi ……, disetujui …… (diisi oleh Sekretariat)

ABSTRACT (12 pt, bold, italic)


(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic, single
space.. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe content
of the paper It should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It should
not contain any references nor display mathematical equations. It consists of one paragraph and should be no
more than 200 words in bahasa Indonesia and in English
(kosong satu spasi tunggal 10 pt).

Keywords: 3 - 5 keywords (Times New Roman, 10 pt)


(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

ABSTRAK (12 pt, bold)


(kosong satu spasi 12 pt)

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10
pt, italic, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang utuh
dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil,
serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan persamaan matematika, dan
singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

Kata kunci: 3 - 5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt)


(kosong enam spasi tunggal, 10 pt)
I. PENDAHULUAN (12 pt, bold) benar. Judul, keterangan tabel dan gambar
(kosong satu spasi tunggal, 10 pt) dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris
Pendahuluan mencakup hal–hal berikut ini: dengan huruf miring; atau sebaliknya. Angka
Latar belakang, berisi uraian permasalahan yang tercantum dalam tabel tidak perlu
dan alasan pentingnya masalah tersebut diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan
diteliti. Permasalahan diumuskan secara makna atau tafsiran masalah yang diteliti;
jelas, penjelasan ditekankan pada rencana dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi
pemecahan masalah dan keterkaitannya dalam bentuk grafik bagan, pictogram
dengan pencapaian luaran yang telah dan sebagainya. Dapat mengemukakan
ditetapkan. Tujuan, berisi pernyataan secara perbandingan hasil yang berlainan dan
jelas dan singkat tentang hasil yang ingin beberapa perlakuan. Metode statistik yang
dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian digunakan dalam pengolahan data harus
yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran
menjelaskan secara spesifik yang merupakan dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode harus
hasil antara dalam rangka mencapai tujuan diterangkan dengan mengacu pada referensi
penelitian. Hasil yang telah dicapai, dijelaskan atau keterangan lain mengenai masalah ini.
kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan Penulis mengemukakan pendapatnya secara
(khusus untuk kegiatan penelitian lanjutan). objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.
Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil
II. METODE PENELITIAN yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat
Metode penelitian yang digunakan harus menafsirkan hasil dan menjabarkannya,
ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, sehingga dapat dimengerti pembaca.
empiris dan sistematis. Mengemukakan semua Mengemukakan hubungan dengan hasil
bahan yang digunakan seperti tumbuhan penelitian sebelumnya. Bila berbeda
kayu, bahan kimia, alat dan lokasi penelitian. tunjukkan, bahas dan jelaskan penyebab
Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan perbedaan tersebut. Hasil penelitian
nama ilmiah. Menggunakan tolok ukur ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis
internasional, system matrix dan standar dan tujuan penelitian. Mengemukakan fakta
nomenklatur. Metode penelitian dijelaskan yang ditemukan dan alasan mengapa hal
sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. tersebut terjadi. Menjelaskan kemajuan
Pelaksanaan penelitian disusun berurutan penelitian dan kemungkinan pengembangan
menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Jika selanjutnya.
metode merupakan kutipan harus dicantumkan Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan
dalam referensi. Jika dilakukan perubahan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf
terhadap metode kutipan atau standar harus italic. Singkatan harus dituliskan secara
disebutkan perubahannya. Bila diperlukan lengkap pada saat disebutkan pertama kali,
dapat disajikan dalam tabel. Metode statistik setelah itu dapat ditulis kata singkatnya.
(bila ada) harus disebutkan dengan singkat. TABEL: Diberi nomor, judul, dan
keterangan yang diperlukan, ditulis dalam
bahasa Indonesia dan Inggris. Tabel ditulis
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan Times New Roman ukuran 10 pt
Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. dan berjarak satu spasi di bawah judul tabel.
Disusun secara berurutan sesuai dengan Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran
tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian 10 pt, rata kiri, dan ditempatkan di atas tabel.
tidak tercapai perlu dikemukakan alasan Penomoran tabel menggunakan angka Arab
dan penyebabnya, agar peneliti lain tidak (1, 2, …..). Tabel diletakkan segera setelah
mengulanginnya. Tabulasi, grafik, analisis disebutkan di dalam naskah. Tabel diletakkan
statistik dilengkapi dengan tafsiran yang pada posisi paling atas atau paling bawah
dari setiap halaman. Apabila tabel memiliki masing harus diberi nomor, judul, dan
lajur/kolom cukup banyak, dapat digunakan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia
format satu kolom atau satu halaman penuh. dan Inggris. Gambar diletakkan segera setelah
Apabila judul pada lajur tabel terlalu panjang, disebutkan dalam naskah.
maka lajur diberi nomor dan keterangannya di Gambar diletakkan pada posisi paling
bawah tabel. Sumber (Source) ditulis di kiri atas atau paling bawah dari setiap halaman.
bawah tabel. Gambar diletakkan simetris dalam kolom.

(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)


Tabel 1. Perkembangan luas hutan rakyat di 10 kabupaten terluas dalam pembangunan hutan rakyat di Jawa Tengah
Table 1. Community forests areas development in 10 largest regencies in community forest establishment in Central Java
(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Tahun (Year) (ha)
No. Kabupaten (Regency)
2005 2006 2007
1 Wonogiri 25.100 25.643 36.359
2 Kendal 12.407 12.724 12.737
3 Banjarnegara 13.154 15.610 19.290
4 Purbalingga 13.027 14.117 14.143
5 Purworejo 20.771 23.186 20.567
6 Wonosobo 19.824 20.687 19.619
7 Pati 15.762 16.049 16.049
8 Banyumas 13.204 14.963 17.090
9 Boyolali 9.392 9.758 7.950
10 Sragen 17.064 17.220 18.049
Kabupaten lainnya 15.735 175.866 184.776
Jumlah (Total) 317.440 345.823 366.629
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).
(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan
lain yang berupa gambar harus berwarna format satu kolom. Penomoran gambar
kontras (hitam putih atau berwarna), masing- menggunakan angka Arab. Penulisan

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).


(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
Gambar 1. Persentase luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.
Figure 1. Area percentage of community
​​ forests in Central Java Province in 2011.
(kosong dua spasi tunggal, 10 pt)
keterangan gambar menggunakan huruf B. Saran
Times New Roman berukuran 10 pt, center, Saran berisi rekomendasi akademik
dan diletakkan di bagian bawah, seperti pada atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan
contoh di atas. Sumber (Source) ditulis di kiri yang diperoleh, dapat dikemukakan untuk
bawah gambar. dipertimbangkan pembaca.
FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang
baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang UCAPAN TERIMA KASIH
jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. (ACKNOWLEDGEMENT)
Resolusi gambar disarankan paling sedikit Merupakan bagian yang wajib ada dalam
300 dpi, sehingga gambar tetap terbaca jelas sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian
meskipun diperbesar. tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak-
Apabila terdapat persamaan reaksi atau pihak yang telah membantu, baik berperan
matematis, diletakkan simetris pada kolom. secara finansial, teknis, maupun substantif.
Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan Ucapan terima kasih merupakan sebuah
dalam tanda kurung, dan penomoran dilakukan kewajiban, bukan pilihan (opsional).
secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian
persamaan yang lebih dari satu baris, maka DAFTAR PUSTAKA
penulisan nomor diletakkan pada baris (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)
terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah Daftar pustaka merupakan referensi yang
dalam bentuk singkatan, seperti persamaan dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan
(1). Penurunan persamaan matematis tidak paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan
perlu ditulis semuanya secara detail, hanya Daftar Pustaka mengacu pada American
dituliskan bagian yang terpenting, metode Psychological Association (APA) style.
yang digunakan dan hasil akhirnya. Referensi terdiri dari acuan primer dan/
atau acuan sekunder. Sumber acuan primer
IV. KESIMPULAN DAN SARAN adalah sumber acuan yang langsung merujuk
A. Kesimpulan pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik
Kesimpulan memuat hasil yang telah penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan
dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah primer dapat berupa: tulisan dalam makalah
segitiga konsistensi (masalah-tujuan- ilmiah dalam jurnal internasional maupun
kesimpulan harus konsisten). Kesimpulan nasional terakreditasi, hasil penelitian di
bukan tulisan ulang pembahasan dan juga dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku
bukan ringkasan, melainkan perampatan (textbook) dan prosiding termasuk dalam
singkat dalam bentuk kalimat utuh (tidak sumber acuan sekunder.
berupa pointer). Semua karya yang dikutip dalam penulisan
Penunjukan persamaan dalam naskah karya tulis harus dimuat dalam daftar pustaka
dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (dan sebaliknya).
(1). Penurunan persamaan matematis tidak Berdasarkan Pedoman Akreditasi Terbitan
perlu ditulis semuanya secara detail, hanya Berkala Ilmiah (2014), proporsi terbitan 10
dituliskan bagian yang terpenting, metode tahun terakhir merupakan tolak ukur mutu
yang digunakan dan hasil akhirnya. terbitan berkala ilmiah, dimana sumber
(kosong satu spasi tunggal 11 pt) acuan primer berbanding sumber lainnya
adalah >80%. Pengacuan pada tulisan sendiri
æ ¶u ¶v ö
÷ (self citation) yang terlalu banyak dapat
k a = -ç
ç + ÷
÷
ç ¶x
è ¶y ÷
ø mengurangi nilai terbitan berkala ilmiah.
Daftar pustaka dicantumkan setelah
uraian penulisan. Ukuran margin seperti
pada halaman penulisan. Judul daftar pustaka
berada di tengah dan tidak dicetak miring/
tanda kutip. Kapitalkan hanya huruf pertama
pada kata pertama dan proper noun pada judul.
Jarak antar karya (pustaka) dua spasi. Inden
pada baris kedua dengan jarak ½ inch. Daftar
pustaka harus disusun berdasarkan alphabet.
Penulisan sitasi dan daftar pustaka
diharuskan menggunakan aplikasi referensi
seperti Mendeley, Endnote.

LAMPIRAN
Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA Style:

Paper dalam jurnal


Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis).
Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12),
40-45.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis).
Astana, S., Soenarno, & Karyono, O.K. (2014). Implikasi perubahan tarif dana reboisasi dan provisi sumber
daya hutan terhadap laba pemegang konsesi hutan dan penerimaan negara bukan pajak: Studi kasus
hutan alam produksi di Kalimantan Timur, Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan,
11(3), 251- 264.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (lebih dari 6 penulis).
Reed, M.S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubaek, K., Morris, J., … Stringer, L.C. (2009). Who’s
in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of
Environmental Management, 2009(90), 16.

Buku
Buku (1 penulis).
Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press.

Buku (2-6 penulis).


Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., & Poniman, A. (2009). Peta mangroves Indonesia. Jakarta:
Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.

Buku (lebih dari 6 penulis).


Atmosoedardjo, H.K., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., … & Moerdoko, W. (2000). Sutera Alam
Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya.

Prosiding
Kuntadi, & Adalina, Y. (2010). Potensi Acacia mangium sebagai sumber pakan lebah madu (pp. 915-921).
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIII: Pengembangan ilmu
dan teknologi kayu untuk mendukung implementasi program perubahan iklim, Bali 10-11 November 2010.
Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.

Kumpulan tulisan yang diedit


Booth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-
group functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions,
relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press.

Makalah seminar, lokakarya


Ibnu, S. (2011, Maret). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan
dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas Negeri Malang.

Skripsi, disertasi, tesis


Suyana, A. (2003). Dampak penjarangan terhadap struktur dan riap tegakan di hutan produksi alami PT. Inhutani
I Berau Kalimantan Timur (Tesis Pascasarjana). Universitas Mulawarman, Samarinda.
Laporan Penelitian.
Sidiyasa, K., Mukhlisi, & Muslim, T. (2010). Jenis-jenis tumbuhan hutan asli Kalimantan yang berpotensi
sebagai sumber pangan dan aspek konservasinya (Laporan Hasil Penelitian). Samboja: Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Samboja (unpublished).

Artikel dari internet.:


Ahira, A. (2011). Adaptasi morfologi dari paruh burung kolibri. Diunduh 7 Juni 2012 dari http: //www.
anneahira.com/paruh-burung-kolibri-h.tm cache.
Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How
much can premium assistance programs help? Retrieved 7 June 2012 from Urban Institute website: http://www.
urban.org/url.cfm?ID=411823.

Surat kabar.
Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The
Washington Post. p.A3.

Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya.


Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2013 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031.

Peraturan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style, sebagai berikut:
• Karya dengan dua pengarang.
Research by Wegener and Petty (1994) supports... atau (Wegener & Petty, 1994)
• Karya tiga sampai lima pengarang.
(Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow (1993) explain….
Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued….
• Enam pengarang atau lebih.
Harris et al. (2001) argued... atau (Harris et al., 2001)
• Pengarang tidak diketahui, sitasi sumber pada judul dengan huruf miring.
Sitasi sumber pada judul buku atau laporan dengan huruf miring, contoh: …berdasarkan Statistik daerah
Kabupaten Pesawaran 2013 …….
Sedangkan pada judul artikel, bab, dan halaman web dalam tanda kutip dan dilengkapi tahun, contoh : A
similar study was done of students learning to format research papers ("Using APA," 2001).
• Organisasi sebagai pengarang.
According to the American Psychological Association (2000),... atau menggunakan singkatan jika telah dikenal
dalam tanda bracket pertamakali sumber dikutip dan selanjutnya hanya singkatan yang disitasi. Sitasi pertama:
(Mothers Against Drunk Driving [MADD], 2000) Sitasi kedua: (MADD, 2000)
• Dua karya atau lebih dalam tanda kurung yang sama
(Berndt, 2002; Harlow, 1983)
• Pengarang dengan nama akhir sama.
Gunakan inisial nama pertama dan nama terakhir, (E. Johnson, 2001; L. Johnson, 1998)
• Dua karya atau lebih dengan pengarang sama dalam tahun sama.
Research by Berndt (1981a) illustrated that...
• Mensitasi/mengutip sumber tidak langsung.
Johnson argued that...(as cited in Smith, 2003, p. 102).
• Tahun tidak diketahui.
Another study of students and research decisions discovered that students succeeded with tutoring ("Tutoring
and APA," n.d.).
CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.)
menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.)
menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan.

KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan
juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi
Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.

PENGAJUAN NASKAH

1. Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan menerima naskah ilmiah berupa hasil penelitian dalam bidang
Kebijakan, dan Lingkungan Kehutanan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki
kontribusi substantif terhadap bidang kajian
2. Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format penulisan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.
Naskah belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain, baik media cetak
maupun elektronik. Naskah diharapkan juga mensitasi dari Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
dan/atau Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.
3. Naskah ilmiah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi yang memiliki wewenang penuh untuk
mengoreksi, mengembalikan untuk diperbaiki, atau menolak tulisan yang masuk meja redaksi bila dirasa
perlu. Penilaian secara substantif akan dilakukan oleh Mitra Bestari/Penyunting Ahli. Penilaian akan dilakukan
secara obyektif dan tertulis.
4. Naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan tidak berarti mencerminkan
pandangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI).
5. Informasi mengenai penerbitan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan dapat diakses di website http:// www.
puspijak.org dan http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK.
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Ministry of Environment and Forestry
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
Research, Development and Innovation Agency
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai