Anda di halaman 1dari 188

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION SUMATERA

Da ya Duk ung Da n Da ya Ta m pung


Lingk unga n H idup Ekore gion Sum at e ra
Be rba sis Ja sa Ekosist e m

Tim Penyusun

Pengarah:
Drs. Amral Fery, M.Si
(Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera)

Penanggung Jawab
Ahmad Isrooil, SE
(Kepala Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan Lingkungan Hidup)

Koordinator
Zuchri Abdi, S.Si. M.Sc.

Penyusun:
Suharyani, SP., M.Si.
Nurul Qisthi Putri, SH
Adi Candra, S.Si.
Eduard Hutapea, S.Si.
Fran David
Yuni Ayu Annysha

Tenaga Ahli:
Dr. Luthfi Muta’ali, S.Si. MSP. (UGM)
Prof. Dr. Ir. Rifardi, M.Sc. (UNRI)
Dr. Ardinis Arbain (UNAND)
Dr. Langgeng Wahyu Santoso, M.Si. (UGM)
Dr. Agus Setiawan (UNJAM)
Dr. Aswandi (UNILA)
Dr. Haris Gunawan (UNRI)
Dr. Ir. H. Deni Efizon (UNRI)
Ir. Rusliadi, M.Si. (UNRI)
Andika Kusuma Nughawa, S.Si., M.Sc. (UGM)

Asisten Tenaga Ahli:


Gilang Adhi Nugroho, S.Si. (UGM)
Giska Parwa Manikasari, S.Hut. (UGM)
Rival Juniadi, S.Pi. (UNRI)

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera,


Jl. HR. Soebrantas Km 10,5 Panam - Pekanbaru
Telepon/Fax(0761) 62962
K a t a Pe nga nt a r
Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas kehendakNya Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan
Hidup (DDDTLH) Ekoregion Sumatera ini dapat diselesaikan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya Pusat


Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera (P3ES) menggunakan metode
Jasa Ekosistem (Ecosystem Services)dengan pendekatan spasial untuk menentukan
DDDTLH Ekoregion Sumatera. Pengintegrasian DDDTLH kedalam Kebijakan,
Rencana dan Program (KRP) akan lebih mudah dan komprehensif dengan
pendekatan spasial karena KRP yang terkait dengan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup selalu menempati ruang tertentu dan bersinggungan bahkan
bertampalan dengan jasa-jasa yang disediakan oleh ekosistem yang tidak lain
adalah bentuk lain dari bentang lahan.

Sebagaimana diketahui bersama, pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah


rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen
lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, sebagai dasar pertimbangan
dalam pembangunan sebenarnya telah diamanatkan sejak ditetapkannya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang 32 Tahun
2009 sebagai pengganti Undang-Undang 23 Tahun 1997, fungsi daya tampung
dan daya dukung lingkungan sebagai dasar perencanaan dan pengendalian
pembangunan semakin diperjelas.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, amanat daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup tertuang pada sejumlah pasal, diantaranya Pasal 12
yang menyebutkan bahwa apabila Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun, maka pemanfaatan sumber daya
alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Selain itu, dalam Pasal 15, 16 dan 17 dijelaskan bahwa daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup merupakan salah satu muatan kajian yang mendasari

i
penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana
pembangunan jangka panjang dan jangka menengah (RPJP dan RPJM) serta
kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup, melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS). Pada Pasal 19 dinyatakan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang
wilayah wajib didasarkan pada KLHS dan ditetapkan dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dengan kata lain daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup menjadi inti dari proses penyusunan KLHS dan
RPPLH atau lebih jauh lagi menjadi core business dari kelembagaan lingkungan
hidup baik di pusat maupun di daerah.

Hasil kajian DDDTLH Ekoregion Sumatera ini disajikan dalam dua (2) seri buku
yang terdiri dari Buku 1 yang berisi deskripsi tentang Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidup Ekoregion Sumatera Berbasis Jasa Ekosistem dan
Buku 2 yang berisi deskripsi Peta Ekoregion Sumatera Skala1:250.000.

Dengan selesainya kedua buku ini maka salah satu tahapan dalam proses
perencanaan pengendalian pembangunan dibidang lingkungan hidup dan
kehutanan di Ekoregion Sumatera telah dapat diselesaikan. Tahapan berikutnya
adalah bagaimana mengimplementasikan dan mengintegrasikan hasil-hasil kajian
ini kedalam perencanaan pembangunan di daerah. Tentu saja untuk sampai
ketahap itu bukanlah pekerjaan yang mudah, diperlukan upaya-upaya lanjutan
seperti misalnya mensosialisasikannya dan melakukan pendampingan kepada
pemerintah daerah dalam hal penyusunan dan pemanfaatan data dan informasi
DDDTLH.

Terakhir, ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi bagi terwujudnya kedua buku ini baik dari kalangan
akademisi, praktisi dan birokrasi, serta orang-perorang yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Selanjutnya, kami menyadari bahwa buku ini masih jauh
dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran untuk penyempurnaannya sangat
diharapkan. Terima kasih.

Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan


Ekoregion Sumatera,

Drs. Amral Fery, M.Si

ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... I-1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. I-1
1.2 Maksud dan Tujuan .......................................................................................... I-3
1.3 Manfaat ............................................................................................................ I-4
1.4 Ruang Lingkup Kegiatan ................................................................................. I-4
1.5 Keluaran yang Dihasilkan ................................................................................ I-5
1.6. Konsep Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup
Berbasis Jasa Ekosistem .................................................................................. I-7
1. Ekoregion Berbasis Bentang lahan (landscape) ......................................... I-8
2. Penutup lahan (landcover) ........................................................................ I-13
3. Jasa Ekosistem (Ecosystem Services) ....................................................... I-15
1.7 Landasan Hukum ........................................................................................... I-18
BAB II METODE PENELITIAN ...............................................................................II-1
2.1 Pendekatan Kajian...........................................................................................II-1
2.2 Ruang Lingkup ................................................................................................II-2
2.3 Alat dan Intrumen ...........................................................................................II-5
2.4 Data dan Indikator ...........................................................................................II-5
2.5 Tahapan Kajian dan Pengolahan .....................................................................II-7
1. Persiapan ....................................................................................................II-7
2. Pengumpulan Data Sekunder dan FGD .....................................................II-7
3. Pengolahan dan Analisis data ...................................................................II-8
4. Verifikasi Hasil dan Ground Check, ..........................................................II-8
5. Penyusunan Laporan dan Album Peta, ......................................................II-8
6. Melakukan Lokakarya atau Diskusi Publik terpilih, ..................................II-9
2.6 Teknik Analisis Data dan Pemetaan ...............................................................II-9
1. Penyusunan Peta Ekoregion dan Peta Landcover ......................................II-9
2. Penilaian Peran Ekoregion dan Liputan Lahan Terhadap
Jasa Ekosistem dengan Metode Expert Based Valuation ........................II-10
3. Teknik Analisis Pairwise Comparation....................................................II-11
4. Indek Jasa Ekosistem dan Indek Komposit..............................................II-19

iii
2.7 Analisis Sistem Informasi Geografi ...............................................................II-20
2.8 Batasan Operasional .......................................................................................II-21
BAB III PROFIL EKOREGION DAN TUTUPAN LAHAN .................................... III-1
3.1 Profil Ekoregion Pulau Sumatera ................................................................... III-1
3.2 Profil Tutupan Lahan ..................................................................................... III-5
BAB IV PROFIL DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERBASIS
JASA EKOSISTEM ..................................................................................... IV-1
4.1 Profil Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan ...................... IV-1
4.2 Profil Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Budaya .......................... IV-23
4.3. Profil Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung.................... IV-38
4.4 Profil Daya Tampung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan .................. IV-57
4.5 Profil Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Jasa
Ekosistem Penting dan Jasa Dominan ........................................................ IV-88
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... V-1
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... V-1
5.2 Saran .............................................................................................................. V-2

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keluaran yang dihasilkan ............................................................................. I-6


Tabel 1.2 Klasifikasi Ekoregion berdasarkan bentuk lahan Pada
Skala Nasional dan Pulau/Provinsi ............................................................ I-11
Tabel 1.3 Sistem Klasifikasi penutup lahan Berdasarkan SNI 7645-2010................. I-14
Tabel 1.4. Jenis Jasa Ekosistem ................................................................................... I-16
Tabel 2.1 Jenis Jasa Ekosistem ................................................................................... II-4
Tabel 2.2 Tiga konsep dan data utama dalam penyusunan Peta Daya
Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup Berbasis
Jasa Ekosistem ........................................................................................... II-6
Tabel 2.3 Hasil Penilaian Pakar Untuk Peran Jenis Liputan Lahan
Terhadap Jasa Ekosistem Biodiversitas ................................................... II-11
Tabel 2.4 Matrik Pairwise Ekoregion Dan Nilai Koefisien Tutupan Lahan
Terhadap Jasa Ekosistem Sumatera ......................................................... II-13
Tabel 2.5 Matrik Pairwise Liputan Lahan Dan Nilai Koefisien Ekoregion
Terhadap Jasa Ekosistem Sumatera ......................................................... II-14
Tabel 2.6. Kode Ekoregion untuk matriks hasil KJE ................................................ II-16
Tabel 2.7. Kode Tutupan Lahan untuk matriks hasil KJE......................................... II-17
Tabel 2.8. Perhitungan Interval kelas Geometri pada jasa
penyediaan pangan .................................................................................. II-18
Tabel 2.9. Pewarnaan kelas daya dukung dan daya tampung berbasis
jasa ekosistem .......................................................................................... II-18
Tabel 3.2 Profil Tutupan Lahan Pulau Sumatera (Bagian 1) .................................... III-9
Tabel 4.1 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan ............... IV-1
Tabel 4.2 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih .......... IV-2
Tabel 4.3 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Serat (fiber)........ IV-4
Tabel 4.4 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Energi ................ IV-5
Tabel 4.5 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Sumber
Daya Genetik ............................................................................................ IV-7
Tabel 4.6 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan ........................... IV-8
Tabel 4.7 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih .................... IV-11

v
Tabel 4.8 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Serat ............................. IV-13
Tabel 4.9 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Energi .......................... IV-17
Tabel 4.10 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Daya Genetik.…….....IV-17
Tabel 4.11 Indeks Jasa Ekosistem Penyediaan Menurut Ekoregion ........................ IV-21
Tabel 4.12 Indeks Jasa Ekosistem Penyediaan Menurut Provinsi............................ IV-22
Tabel 4.13 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Budaya
Tempat Tinggal dan Ruang Hidup ......................................................... IV-23
Tabel 4.14 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Budaya Rekreasi
dan Ekotourism ....................................................................................... IV-25
Tabel 4.15 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Budaya Estetika .................. IV-26
Tabel 4.16 Distribusi dan Luas Jasa Ekosistem tempat Tinggal
dan Ruang Hidup .................................................................................... IV-26
Tabel 4.17 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Rekreasi dan Ekotourism ............... IV-30
Tabel 4.18 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Estetika/Keindahan Alam .............. IV-33
Tabel 4.19 Indeks Jasa Ekosistem Budaya Menurut Ekoregion .............................. IV-36
Tabel 4.20 Indeks Jasa Ekosistem Budaya Menurut Provinsi .................................. IV-38
Tabel 4.21 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung
Pembentukan Lapisan Tanah dan Pemeliharaan .................................... IV-38
Tabel 4.22 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung
Siklus Hara ............................................................................................. IV-40
Tabel 4.23 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung
Produksi Primer...................................................................................... IV-42
Tabel 4.25 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung
Biodiversitas........................................................................................... IV-43
Tabel 4.26 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung Pembentukan
Lapisan Tanah dan Pemeliharaan .......................................................... IV-45
Tabel 4.27 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung Siklus Hara .................. IV-47
Tabel 4.28 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung Produksi Primer .......... IV-51
Tabel 4.29 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung Biodiversitas ............... IV-52
Tabel 4.30 Indeks Jasa Ekosistem Pendukung Menurut Ekoregion......................... IV-55
Tabel 4.31 Indeks Jasa Ekosistem Budaya Menurut Provinsi .................................. IV-56
Tabel 4.32 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim ................. IV-57

vi
Tabel 4.33 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan
Tata Aliran Air dan Banjir ...................................................................... IV-58
Tabel 4.34 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan
Pencegahandan Perlindungan dari Bencana .......................................... IV-60
Tabel 4.35 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan
Pemurnian Air ........................................................................................ IV-61
Tabel 4.36 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan
Pengolahan dan Penguraian Limbah ...................................................... IV-62
Tabel 4.37 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan
Pemeliharaan Kualitas Udara ................................................................. IV-64
Tabel 4.38 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan
Penyerbukan Alami ................................................................................ IV-65
Tabel 4.39 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan
Pengendalian Hama dan Penyakit .......................................................... IV-66
Tabel 4.40 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim ............................ IV-68
Tabel 4.41 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Tata Aliran
Air dan Banjir ......................................................................................... IV-70
Tabel 4.42 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Pencegahan
dan Perlindungan dari bencana ............................................................... IV-72
Tabel 4.43 Distribusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Permurnian Air........... IV-26
Tabel 4.44 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Pengolahan
dan Penguraian Limbah .......................................................................... IV-76
Tabel 4.45 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Pemeliharaan
Kualitas Udara ........................................................................................ IV-80
Tabel 4.46 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Penyerbukan
Alami ...................................................................................................... IV-82
Tabel 4.47 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Pengendalian
Hama dan Penyakit ................................................................................ IV-84
Tabel 4.48 Indeks Jasa Ekosistem Pendukung Menurut Ekoregion......................... IV-85
Tabel 4.49 Indeks Jasa Ekosistem Pendukung Menurut Provinsi ............................ IV-87
Tabel 4.50 Distribusi Daya Dukng dan Daya Tampung
Jasa Ekosistem Penting ........................................................................... IV-26

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Ekoregion Sumatera......................................................................... II-3


Gambar 2.2. Matriks Hasil KJE untuk Jasa Penyediaan Pangan................................ II-16
Gambar 3.1 Peta Ekoregion Pulau Sumatera.............................................................. III-4
Gambar 3.2. Peta Tutupan Lahan Ekoregion Pulau Sumatera .................................... III-8
Gambar 4.1 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan
Pangan .................................................................................................. IV-10
Gambar 4.2 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan
Air Bersih..............................................................................................IV-12
Gambar 4.3 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan
Serat ...................................................................................................... IV-14
Gambar 4.4 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan
Energi ................................................................................................... IV-16
Gambar 4.5 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan
Sumber Daya Genetik........................................................................... IV-19
Gambar 4.6 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Penyediaan ................. IV-20
Gambar 4.7 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Penyediaan
Menurut Provinsi .................................................................................. IV-22
Gambar 4.8 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem
Tempat Tinggal dan Ruang Hidup ....................................................... IV-31
Gambar 4.9 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Rekreasi
dan Ekotourism ..................................................................................... IV-31
Gambar 4.10 Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Estetika/
Keindahan Alam ................................................................................. IV-34
Gambar 4.11 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Budaya...................... IV-36
Gambar 4.12 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Budaya
Menurut Provinsi................................................................................. IV-37
Gambar 4.13 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung
Pembentukan Lapisan Tanah dan Pemeliharaan ................................. IV-46
Gambar 4.14 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung
Siklus Hara .......................................................................................... IV-48

viii
Gambar 4.15 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung
Produksi Primer................................................................................... IV-50
Gambar 4.16 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung
Biodiversitas........................................................................................ IV-53
Gambar 4.17 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Pendukung ................ IV-54
Gambar 4.18 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Pendukung
Menurut Provinsi................................................................................. IV-56
Gambar 4.19 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Iklim .................................................................................................... IV-69
Gambar 4.20 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Tata Aliran Air dan Banjir .................................................................. IV-71
Gambar 4.21 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Pencegahan dan Perlindungan dari bencana ....................................... IV-73
Gambar 4.22 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Pemurnian Air ..................................................................................... IV-75
Gambar 4.23 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Pengolahan dan Penguraian Limbah ................................................... IV-77
Gambar 4.24 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Pemeliharaan Kualitas Udara .............................................................. IV-79
Gambar 4.25 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Penyerbukan Alami ............................................................................. IV-81
Gambar 4.26 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Pengendalian Hama dan Penyakit ....................................................... IV-83
Gambar 4.27 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Pengaturan ................ IV-85
Gambar 4.28 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Pengaturan
Menurut Provinsi................................................................................. IV-87
Gambar 4.29 Peta Jasa Ekosistem Penting ............................................................... IV-90

ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan
Lahan terhadap Jasa Ekosistem Penyediaan ............................................ L-1
Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan
Lahan terhadap Jasa Ekosistem Pengaturan ............................................. L-2
Lampiran 3. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan
Lahan terhadap Jasa Ekosistem Budaya................................................... L-3
Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan
Lahan terhadap Jasa Ekosistem Pendukung ............................................. L-4
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion
terhadap Jasa Ekosistem Penyediaan ....................................................... L-5
Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion
terhadap Jasa Ekosistem Pengaturan ........................................................ L-6
Lampiran 7. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion
terhadap Jasa Ekosistem Budaya.............................................................. L-7
Lampiran 8. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion
terhadap Jasa Ekosistem Pendukung ........................................................ L-8
Lampiran 9. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan .................... L-9
Lampiran 10. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih ........... L-12
Lampiran 11. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Serat .................... L-13
Lampiran 12. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan
Bahan Bakar, Kayu, dan Fosil ............................................................. L-14
Lampiran 13. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan
Sumberdaya Genetik...........................................................................L-15
Lampiran 14. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim .................... L-16
Lampiran 15. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan
Tata Aliran Air dan Banjir ................................................................... L-17
Lampiran 16. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan
Pencegahan dan Perlindungan dari Bencana ....................................... L-18
Lampiran 17. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan
Pemurnian Air ..................................................................................... L-19

x
Lampiran 18. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan
Pengolahan dan Penguraian Limbah ................................................... L-20
Lampiran 19. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan
Pemeliharaan Kualitas Udara .............................................................. L-21
Lampiran 20. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan
Penyerbukan Alami ........................................................................... L-22
Lampiran 21. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan
Pengendalian Hama dan Penyakit ....................................................... L-23
Lampiran 22. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Budaya
Tempat Tinggal dan Ruang Hidup ...................................................... L-24
Lampiran 23. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Budaya
Rekreasi dan Ecotourism ..................................................................... L-25
Lampiran 24. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Budaya Estetika ..................... L-26
Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung
Pembentukan Lapisan Tanah dan Pemeliharaan ................................. L-27
Lampiran 26. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung
Siklus Hara .......................................................................................... L-28
Lampiran 27. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung
Produksi Primer ................................................................................... L-29
Lampiran 28. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung
Biodiversitas ........................................................................................ L-30

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk berdampak kepada peningkatan laju penggunaan


sumberdaya alam, termasuk pemanfaatan ruang bagi kehidupan manusia dan mahluk
hidup lainnya. Hal ini mengakibatkan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup di
sejumlah kawasan di Ekoregion Sumatera mengalami penurunan.

Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara
bijaksana, yaitu dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup penting untuk diketahui, dipahami dan dijadikan dasar dalam perencanaan
pemanfaatan sumber daya alam, perencanaan pembangunan dan perencanaan
pemanfaatan ruang.

Penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagai dasar
pertimbangan dalam pembangunan dan pengembangan suatu wilayah telah diamanatkan
sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian digantikan oleh
Undang-Undang 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.Dalam Undang-
Undang 32 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang 23 Tahun 1997, amanat daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup tertuang dalam sejumlah pasal, diantaranya
Pasal 12 yang menyebutkan bahwa apabila Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) belum tersusun, maka pemanfaatan sumber daya alam
dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Selain itu,
dalam Pasal 15, 16 dan 17 dijelaskan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup merupakan salah satu muatan kajian yang mendasari penyusunan atau evaluasi
rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana pembangunan jangka panjang dan jangka
menengah (RPJP dan RPJM) serta kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi
menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup, melalui Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS).

I-1
Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tertuang pula pada Pasal 19,
yang menyatakan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada
KLHS dan ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Dengan kata lain daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
menjadi inti dari dari kegiatan KLHS dan RPPLH atau lebih jauh lagi menjadi core
business dari kelembagaan lingkungan hidup.

Disamping UUPLH Nomor 32/2009, daya dukung dan daya tampung


lingkungan juga sudah menjadi dasar pertimbangan utama dalam perencanan tata ruang
dan pembangunan sektor. Sebagai contoh antara lain:

1. UUNo. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 20, 23 dan 25 menyiratkah
bahwa penyusunan rencana tata ruang wilayah nasional / provinsi / kabupaten /kota
harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
2. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa
pembangunan kelautan adalah pembangunan yang memberi arahan dalam
pendayagunaan sumber daya Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan
laut.
3. UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan,pasal 6 poin 1 huruf d menyatakan
bahwa perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkandaya dukung dan daya
tampung lingkungan.
4. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba,pasal 32 huruf c (termasuk
juga pasal 18 dan 28), menyatakan bahwa kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau
beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah Daya Dukung Lingkungan.
5. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 7 huruf c menyatakan bahwa
perencanaan pangan harus memperhatikandaya dukung sumber daya alam,
teknologi, dan kelestarian lingkungan
Fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa, kebutuhan penyusunan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup disuatu wilayah sangat mendesak dan strategis.
Oleh karena itu diperlukan dukungan sistem metodologi yang jelas dan mampu
mewadahi semua kepentingan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Pendekatan

I-2
jasa ekosistem memberikan solusi bagi penyusunan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup yang komprehensif sehingga digunakan dalam inventarisasi ini.
Jasa ekosistem adalah manfaat yang diperoleh manusia dari suatu eksosistem.
Manfaat ini termasuk jasa penyediaan (provisioning), seperti pangan dan air; jasa
pengaturan (regulating) seperti pengaturan terhadap banjir, kekeringan, degradasi lahan
dan penyakit; jasa pendukung (supporting), seperti pembentukan tanah dan silkus hara;
serta jasa kultural (cultural), seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat
nonmaterial lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion
Sumatera (PPPES), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
melakukan kegiatan inventarisasi daya dukung dan daya tampung lingkungan Pulau
Sumatera Berbasis jasa ekosistem dengan pendekatan keruangan (spasial).

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun peta Daya Dukung
Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem Ekoregion Pulau Sumatera pada skala 1 :
250.000 dan melakukan pendeskripsian hasil peta tersebut Pada tingkat Provinsi dan
Ekoregion. Model ini akan dikembangkan lebih lanjut untuk rincian beberapa jenis
pengukuran DDLH tematik untuk kepentingan pembangunan sektoral seluruh wilayah
ekoregion Sumatera.

Tujuan
1. Menyusun peta Daya Dukung Lingkungan Hidup (DDLH) Berbasis Jasa Ekosistem
Ekoregion Pulau Sumateradengan kedalaman analisis skala 1 : 250.000,
2. Mendeskripsikan dan menganalisis peta Daya Dukung Lingkungan Hidup Berbasis
Jasa Ekosistem dengan unit satuan ekoregion dan administratif, khususnya
Provinsi-Provinsi di Sumatera.
3. Menyusun Basis data Spasial Daya Dukung Lingkungan Hidup Berbasis Jasa
Ekosistem dalam bentuk Album Peta.

I-3
1.3 Manfaat
Konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan merupakan amanat UUPPLH
Nomor 32 tahun 2009. Manfaat teridentifikasinya Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem di Ekoregion Sumatera diantaranya :
1) Sebagai panduan bagi Pemerintah Pusat khususnya dalam kaitannya dengan
pelaksanaan RPJMN khususnya rencana pembangunan wilayah di Pulau Sumatera,
sebagaimana tertuang dalam Buku III.
2) Sebagai pedoman bagi setiap Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup, serta perumusan kebijakan program pembangunan daerah berbasis daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup, dengan mempertimbangkan
persebaran potensi dan sumberdaya alam secara menyeluruh dan berkelanjutan
(keseimbangan fungsi ekologi ‘ekosistem’ dan peningkatan nilai ekonomi
‘kesejahteraan’);
3) Sebagai dasar bagi proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan
seperti penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup
(RPPLH), penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Tata Ruang
Wilayah bagi setiap Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di
Ekoregion Sumatera.
4) Sebagai dasar dan pedoman bagi penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) untuk semua bentuk aktivitas Kebijakan Rencana dan Program-program
pembangunan.
5) Sebagai media koordinasi, sinkronisasi dan sinergi program-program pembangunan
sektoral khususnya sektor pengelolaan sumberdaya alam seperti pertanian,
kehutanan, pertambangan, perkebunan, perikanan dan kelautan, industri,
parisiwata, dan pembangunan infrastruktur wilayah.

1.4 Ruang Lingkup Kegiatan


Ruang lingkup dan tahapan kegiatan yang dilakukan pada kegiatan Daya Dukung
Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem Ekoregion Pulau Sumatera diantaranya :
1. Proses pengumpulan data spasial (peta dan citra) dan non spasial (tabuler) dan
penyusunan peta input skala 1:250.000, yaitu :

I-4
• Peta Ekoregion dan
• Peta Liputan lahan
2. Panel Ahli untuk transformasi data spasial ekoregion dan liputan lahan menjadi
jenis daya dukung lingkungan jasa ekosistem. Panel ahli menghasilkan nilai
skoring hasil penilaian peran ekoregion dan liputan lahan terhadap nilai jasa
ekosistem.
3. Proses analisis data hasil panel ahli dengan menggunakan prinsip AHP yaitu
Pairwise Comparation untuk menghasilkan Koefisien Jasa Ekosistem (KJE)
4. Proses pengolahan dan analisis spasial berupa pembuatan Peta Daya Dukung
Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem, untuk 20 jenis jasa ekosistem, pada
Skala 1:250.000
5. Verifikasi Hasil atas Peta Daya Dukung Lingkungan Hidup Berbasis Jasa
Ekosistem dengan melakukan Focus Group Discussion untuk menilai ketepatan
hasil peta.
6. Penyusunan Laporan Akhir dan Album Peta Daya Dukung Lingkungan Hidup
Berbasis Jasa Ekosistem
7. Ekspose Laporan Akhir

1.5 Keluaran yang Dihasilkan


Keluaran yang diharapkan dari kegiatan Inventarisasi Daya Dukung
Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem di Pulau Sumatera Tahun 2015 adalah :
1. Tersedianya peta Daya Dukung Lingkungan Hidup (DDLH) Berbasis Jasa
Ekosistem Ekoregion Pulau Sumatera untuk 20 Jenis Jasa Ekosistem dengan
kedalaman analisis skala 1 : 250.000, sebagai basis perencanaan lingkungan dan
pengendalian pembangunan.
2. Deskripsi kondisi Daya Dukung Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem
dengan unit satuan ekoregion dan administratif, khususnya Profil DDLH Berbasis
Jasa Ekosistem Provinsi-Provinsi di Pulau Sumatera
3. Tersusunnya Basis Data Spasial dalam bentuk Album peta Daya Dukung
Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem, yang meliputi 2 jenis Peta Input dan
20 Jenis peta output Jasa Ekosistem.

I-5
Tabel 1.1 Keluaran yang dihasilkan

No Peta Jenis peta Hasil


A Peta Input 1. Peta Ekoregion
2. Peta Liputan Lahan
B Peta Output Peta Jasa Ekosistem
1 Peta Jasa 1. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan
Ekosistem 2. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Air
Penyedia Bersih
3. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Serat
4. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Energi
5. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan
Sumberdaya Genetik
2 Peta Jasa 1. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim
Ekosistem 2. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan tata
Pengaturan aliran air dan pengendali banjir
3. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pencegahan dan
Perlindungan dari Bencana Alam
4. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pemurnian Air
5. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengolahan dan
Penguraian Limbah
6. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pemeliharaan
Kualitas Udara
7. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan
Penyerbukan Alami (pollination)
8. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengendalian
Hama dan Penyakit
3 Peta Jasa 1. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Tempat Tinggal
Ekosistem dan Ruang Hidup
Budaya 2. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Rekreasi dan
Ekoturism
3. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Estetika Alam
4 Peta Jasa 1. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pembentukan
Ekosistem Lapisan Tanah dan Pemeliharaan Kesuburan
Pendukung 2. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Siklus hara
(nutrient cycle)

I-6
3. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Produksi Primer
4. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Biodiversitas
5 Peta 1. Peta Ekosistem Penting
Komposit 2. Peta Jasa Ekosistem Dominan

1.6. Konsep Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup Berbasis Jasa
Ekosistem
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bermaksud melakukan
identifikasi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup Indonesia yang diukur
dengan pendekatan jasa ekosistem (ecosystem services) sebagaimana yang dilakukan
dalam Millenium Ecosystem Assessment –United Nation. Asumsinya, semakin tinggi
jasa ekosistem semakin tinggi kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Jasa ekosistem pada habitat bumi ditentukan oleh keberadaan faktor endogen
dan dinamika faktor eksogen yang dicerminkan dengan dua komponen yaitu kondisi
ekoregion dan penutup lahan (land cover / land use) sebagai penaksir atau proxy.
Dengan demikian terdapat empat konsep penting dalam penyusunan daya dukung
lingkungan. Beberapa batasan konsep diantaranya adalah :
1. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antarkeduanya.
2. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
3. Ekoregion adalah adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim,
tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Penetapan batas
ekoregion dengan mempertimbangkan kesamaan bentang alam, Daerah Aliran
Sungai, Keanekaragaman Hayati dan sosial budaya (UU 32 Tahun 2009). Dalam
operasionalisasinya penetapan ekoregion menggunakan pendekatan bentang lahan
(landscape) dengan mengikuti sistem klasifikasi yang digunakan Verstappen.
Selanjutnya jenis-jenis bentang lahan (landscape) akan dijadikan salah satu
komponen penaksir atau proxy jasa ekosistem (landscape based proxy)

I-7
4. Penutup Lahan adalah tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati,
merupakan suatu hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakukan manusia yang
dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi,
perubahan, ataupun perawatan pada penutup lahan tersebut. Dalam
operasionalisasinya, digunakan sistem klasifikasi penutup lahan dari SNI 7645-
2010, dimana jenis-jenis penutup lahan tersebut dijadikan salah satu komponen
penaksir atau proxy jasa ekosistem (landcover/landused based proxy)
5. Jasa Ekosistem adalah manfaat yang diperoleh oleh manusia dari berbagai
sumberdaya dan proses alam yang secara bersama-sama diberikan oleh suatu
ekosistem yang dikelompokkan ke dalam empat macam manfaat yaitu manfaat
penyediaan (provisioning), produksi pangan dan air; manfaat pengaturan
(regulating) pengendalian iklim dan penyakit; manfaat pendukung
(supporting),seperti siklus nutrien dan polinasi tumbuhan; serta manfaat kultural
(cultural), spiritual dan rekreasional. Sistem klasifikasi jasa ekosistem tersebut
menggunakan standar dari Millenium Ecosystem Assessment (2005)

Berdasarkan batasan konsep tersebut, daya dukung dan daya tampung


lingkungan hidup diukur dengan pendekatan jasa ekosistem. Semakin tinggi nilai jasa
ekosistem, maka semakin tinggi pula kemampuan daya dukung dan daya tampung
lingkungan. Untuk memperoleh nilai jasa ekosistem digunakan dua penaksiran yaitu
landscape based proxy dan landcover/landused based proxy, yang selanjutnya
digunakan dasar untuk melakukan pemetaan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.

1. Ekoregion Berbasis Bentang lahan (landscape)


UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara eksplisit
mengamanatkan pentingnya penggunaan ekoregion sebagai azas dalam pengelolaan
lingkungan. Sebaliknya dalam UU Penataan Ruang juga menegaskan pentingnya
penggunaan ekoregion sebagai dasar penyusunan tata ruang wilayah.
UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi
ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora,
dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan
integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Ekoregion adalah bentuk metode

I-8
perwilayahan untuk manajemen pembangunan yang mendasarkan pada batasan dan
karakteristik tertentu (deliniasi ruang). Berdasarkan definisi tersebut karaktersitik yang
dapat digunakan sebagai dasar penentuan batas wilayah diantara kesamaan karakteristik:
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat; dan
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup

Kompleksnya karakteristik lingkungan yang dijadikan sebagai dasar penentuan


wilayah ekoregion menyulitkan proses deliniasi ekoregion. Diperlukan pendekatan yang
lebih praktis untuk penyusunan ekoregion. Widiyanto, dkk, (2008) dalam tulisannya
tentang bentang lahan (landscape) untuk pengenalan fenomena geosfer pendekatan
teknik bentuk
Lahan (landform). Persamaan antara ekoregion dengan bentuk lahan tersebut
dapat dicermati dari definisi berikut :
• Bentang lahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistem-
sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interdependensi antara bentuk lahan,
batuan, bahan pelapukan batuan, tanah, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, laut
tepi pantai, energi dan manusia dengan segala aktivitasnya yang secara
keseluruhan membentuk satu kesatuan (Surastopo, 1982).
• Bentang lahan merupakan bentangan permukaan bumi dengan seluruh
fenomenanya, yang mencakup: bentuk lahan, tanah, vegetasi, dan atribut-atribut
yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Vink, 1983).
• Bentang lahan adalah bentangan permukaan bumi yang di dalamnya terjadi
hubungan saling terkait (interrelationship) dan saling ketergantungan
(interdependency) antar berbagai komponen lingkungan, seperti: udara, air, batuan,
tanah, dan flora-fauna, yang mempengaruhi keberlangsungan kehidupan manusia
yang tinggal di dalamnya. (Verstappen, 1983)

I-9
Berdasarkan definisi tersebut karaktersitik yang dapat digunakan sebagai dasar
penentuan bentang lahan diantara kesamaan karakteristik yaitu :
a. Geomorfik (G),
b. Litologik (L),
c. Edafik(E),
d. Klimatik (K)
e. Hidrologik (H),
f. Oseanik (O)
g. Biotik (B) flora dan fauna
h. Antropogenik (A)

Berdasarkan perbandingan dua pengertian tersebut di atas (ekoregion dan


bentang lahan), maka terdapat kesamaan substansi antara keduanya, oleh karena itu
pendekatan bentang lahan dapat digunakan sebagai teknik penyusunan ekoregion.
Menurut Tuttle (1975), bentang lahan (landscape) merupakan kombinasi atau gabungan
dari bentuk lahan (landform). Dengan kata lain untuk menganalisis dan
mengklasifikasikan bentang lahan selalu mendasarkan pada kerangka kerja bentuk lahan
(landform). Verstappen (1983) telah mengklasifikasikan bentuk lahan berdasarkan
genesisnya menjadi 10 macam bentuk lahan asal proses, yaitu:
(a) Bentuk lahan asal proses volkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuk lahan ini antara lain:
kawah, kerucut gunung api, kaldera, medan lava, lereng kaki, dataran, dataran
fluvial gunung api.
(b) Bentuk lahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan,
pegunungan patahan, perbukitan (monoklinal/homoklinal), kubah, Graben, gawir,
merupakan contoh-contoh untuk bentuk lahan asal struktural.
(c) Bentuk lahan asal fluvial (F) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang
terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran alluvial, kerucut alluvial, kipas alluvial,
dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam, gosong sungai
merupakan contoh-contoh satuan bentuk lahan ini.
(d) Bentuk lahan asal proses solusional (S) merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti
batu gamping dan dolomite karst menara, karst kerucut, doline, uvala, polye, goa
karst, dan logva merupakan contoh-contoh satuan bentuk lahan ini.

I-10
(e) Bentuk lahan asal proses denudasional (D) merupakan kelompok besar satuan
bentuk lahan yang terjadi akibat proses degradasi, seperti longsor dan erosi. Contoh
satuan bentuk lahan ini antara lain: bukit sisa, lembah sungai, peneplain, dan lahan
rusak.
(f) Bentuk lahan asal proses eolian (E) merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat proses angin. Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain:
gumuk pasir barkhan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal.
(g) Bentuk lahan asal marine (M) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan
yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut.
Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain: gisik pantai (beach), bura (spit),
tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai dapat
dikatakan bermuara ke laut, maka sering kali terjadi bentuk lahan yang terjadi
akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine. Kombinasi kedua proses itu
disebut proses fluvio-marine. Contoh-contoh satuan bentuk lahan yang terjadi
akibat proses fluvio-marine ini antara lain delta dan estuari.
(h) Bentuk lahan asal glasial (G) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang
terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain
lembah menggantung dan marine.
(i) Bentuk lahan asal organik (O) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan
yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh
satuan bentuk lahan ini adalah pantai mangrove, gambut, dan terumbu karang.
(j) Bentuk lahan asal antropogenik (A) merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, pelabuhan, merupakan
contoh-contoh satuan bentuk lahan hasil proses antropogenik. Gambar berikut
adalah contoh bentang lahan yogyakarta.
Berdasarkan hal tersebut dapat dibuat klasifikasi ekoregion berbasis bentuk
lahan kedalam beberapa kelompok sesuai dengan skala petanya

Tabel 1.2 Klasifikasi Ekoregion berdasarkan bentuk lahan


Pada Skala Nasional dan Pulau/Provinsi

Tingkatan Skala Dasar Klasifikasi Bentang lahan Bentang lahan


Nasional Klasifikasi Bentang lahan didasarkan atas kenampakan
1 : 1.000.000
(Ekoregion) morfologi dan batuan secara umum, serta kedudukannya

I-11
Tingkatan Skala Dasar Klasifikasi Bentang lahan Bentang lahan
terhadap Geotektonik Indonesia, sehingga disebut sebagai
”Morfologi Bentang lahan”, yang terdiri atas:
 Bentang lahan Dataran (Lereng 0 - 15%)
 Bentang lahan Perbukitan (Lereng 15 - 45%)
 Bentang lahan Pegunungan (Lereng >45%)
 Batuan malihan, beku, sedimen, aluvium
Dasar Klasifikasi: Thornbury (1954); Lobeck (1969); dan
Verstappen (2000)
Klasifikasi Bentang lahan didasarkan atas kenampakan
morfologi dan asal proses utama (genetik), sehingga disebut
sebagai ”Morfogenetik Bentang lahan”, yang terdiri atas:
 Bentang lahan Fluvial (F, aliran sungai);
 Bentang lahan Marin (M, gelombang laut);
 Bentang lahan Aeolian (A, aktivitas angin);
Pulau dan
 Bentang lahan Volkanik (V, aktivitas gunungapi);
Kepulauan 1 : 500.000
 Bentang lahan Struktural (S, aktivitas tektonik);
(Ekonusa)
 Bentang lahan Denudasional (D, aktivitas degradasional);
 Bentang lahan Solusional (K, aktivitas pelarutan batuan);
 Bentang lahan Glasial (G, aliran es dan gletser);
 Bentang lahan Organik (O, aktivitas organisme); dan
 Bentang lahan Antropogenik (H, aktivitas manusia).
Dasar Klasifikasi: Verstappen (1983)
Klasifikasi Bentang lahan didasarkan atas morfologi lebih
rinci, komplek proses (multigenetik), dan struktur sehingga
disebut sebagai ”Morfostruktur Bentang lahan”, yang terdiri
atas:
 Bentang lahan Fluvial: Dataran Aluvial, Fluviovulkan, dan
Provinsi Fluviomarin
1 : 250.000
(Ekodistrik)  Bentang lahan Marin: Pantai dan Pesisir
 Bentang lahan Aeolian: Gumukpasir
 Bentang lahan Volkanik: Kerucut, Lereng, dan Kaki
Gunungapi
 Bentang lahan Struktural: Perbukitan/Pegunungan Lipatan
/Patahan, dan Lembah Sinklinal, Lembah antar

I-12
Tingkatan Skala Dasar Klasifikasi Bentang lahan Bentang lahan
Perbukitan/ Pegunungan Patahan
 Bentang lahan Denudasional: Perbukitan/Pegunungan
Denudasional, dan Lembah antara Perbukitan/Pegunungan
Denudasional
 Bentang lahan Solusional / Karst: Perbukitan/Pegunungan
Karst, Lembah antar Perbukitan/Pegunungan Karst
 Bentang lahan Glasial: Pegunungan Glasial dan Lembah
Glasial
 Bentang lahan Organik: Dataran Gambut dan Dataran
Terumbu
 Bentang lahan Antropogenik: Dataran Reklamasi
Dasar Klasifikasi: Verstappen (1983)
Sumber : Langgeng Wahyu Santoso (2013)

2. Penutup lahan (landcover)


Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup
pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan
vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan
lahan (Sitorus, 2004).
Land cover atau tutupan lahan merupakan keadaan biofisik dari permukaan bumi
dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi
sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan
dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan
permukaan, serta struktur manusia.
Dalam pembahasan tentang jasa ekosistem, land cover memiliki posisi penting
untuk dibaca dan cerminan potensi dari masing-masing jenis jasa ekosistem dikarenakan
merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia
terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Landcover budidaya
juga bentukan hasil kreasi interaksi bentang alam dan bentang budaya, sehingga
membentuk pola dan cirinya sendiri.

I-13
Pengelompokan penutup lahan dapat diamati dari jenis klasifikasi penutup lahan
diantaranya adalah batasan pengertian tentang penutup lahan menurut SNI 7645-2010
adalah sebagai berikut :

Tabel 1.3 Sistem Klasifikasi penutup lahan Berdasarkan SNI 7645-2010

Skala 1 : 1.000.000 – 1:500.000 Skala 1:250.000

Nasional Provinsi

V DAERAH BERVEGETASI DAERAH BERVEGETASI

VP DAERAH PERTANIAN DAERAH PERTANIAN


1. Sawah 1. Sawah
2. Ladang, tegal, atau huma 2. Sawah pasang surut
3. Perkebunan 3. Ladang, tegal, atau huma
4. Perkebunan
5. Perkebunan campuran
6. Tanaman Campuran
VBP DAERAH BUKAN PERTANIAN DAERAH BUKAN PERTANIAN
4. Hutan lahan kering 7. Hutan lahan kering
5. Hutan lahan basah 8. Hutan lahan kering Primer
6. Semak belukar 9. Hutan lahan kering Sekunder
7. Padang rumput, alang-alang, 10. Hutan lahan basah
dan sabana 11. Hutan lahan basah Primer
8. Rumput rawa 12. Hutan lahan basah Sekunder
13. Semak belukar
14. Padang rumput, alang-alang, dan sabana
15. Rumput rawa
VTB DAERAH TAK BERVEGETASI DAERAH TAK BERVEGETASI
9. Lahan Terbuka 16. Lahan Terbuka
17. Lahan dan lava
18. Hamparan pasir
19. Beting pantai
20. Gumuk pasir
Permukiman Dan Lahan Bukan Permukiman Dan Lahan Bukan Pertanian Yang
Pertanian Yang Berkaitan Berkaitan

I-14
10. Permukiman 21. Permukiman
11. Lahan Terbangun Non 22. Bangunan industri
Permukiman (Infrastruktur) 23. Pertambangan
24. Tempat penimbunan sawah
25. Lahan Terbangun Non Permukiman
(Infrastruktur)
Perairan Perairan
12. Danau atau waduk 26. Danau atau waduk
13. Rawa 27. Tambak
14. Sungai 28. Rawa
15. Anjir pelayaran 29. Sungai
16. Terumbu karang 30. Anjir pelayaran
31. Terumbu Karang
32. Gosong pantai

3. Jasa Ekosistem (Ecosystem Services)


Ekosistem adalah entitas yang kompleks yang terdiri atas komunitas tumbuhan,
binatang dan mikro organisme yang dinamis beserta lingkungan abiotiknya yang saling
berinteraksi sebagai satu kesatuan unit fungsional (MA, 2005). Fungsi ekosistem adalah
kemampuan komponen ekosistem untuk melakukan proses alam dalam menyediakan
materi dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik secara
langsung maupun tidak langsung (De Groot, 1992). Jasa ekosistem adalah keuntungan
yang diperoleh manusia dari ekosistem (MA, 2005).
Jasa ekosistem dikategorikan menjadi empat, yaitu meliputi jasa penyediaan
(provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung
(supporting) (MA, 2005). Berdasarkan empat kategori ini dikelaskan ada 23 kelas
klasifikasi jasa ekosistem, yaitu (De Groots, 2002) :
A. Jasa penyediaan : (1) bahan makanan, (2) air bersih, (3) serat, bahan bakar dan
bahan dasar lainnya, (4) materi genetik, (5) bahan obat dan biokimia,
(6) spesies hias.
B. Jasa Pengaturan : (7) Pengaturan kualitas udara, (8) Pengaturan iklim, (9)
Pencegahan gangguan, (10) Pengaturan air, (11) Pengolahan limbah, (12)

I-15
Perlindungan tanah, (13) Penyerbukan, (14) Pengaturan biologis, (15)
Pembentukan tanah.
C. Budaya : (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Warisan dan indentitas budaya, (20)
Spiritual dan keagamaan, (21) Pendidikan.
D. Pendukung : (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma nutfah

Daya dukung merupakan indikasi kemampuan mendukung penggunaan tertentu,


sedangkan daya tampung adalah indikasi toleransi mendukung perubahan penggunaan
tertentu (atau pengelolaan tertentu) pada unit spasial tertentu. Untuk menghitung daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup, perlu beberapa pertimbangan. Adapun
pertimbangan tersebut adalah (a) ruang dan sifatnya, (b) tipe pemanfaatan ruang, (c)
ukuran produk lingkungan hidup utama (udara dan air), (d) penggunaan/penutupan
lahan mendukung publik (hutan), (e) penggunaan tertentu untuk keperluan pribadi.
Menurut sistem klasifikasi jasa ekosistem dari Millenium Ecosystem Assessment
(2005), jasa ekosistem dikelompokkan menjadi empat fungsi layanan, yaitu jasa
penyediaan(provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa pendukung (supporting),
dan jasa kultural (cultural), dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1.4. Jenis Jasa Ekosistem

Klasifikasi Layanan Ekosistem Definisi Operasional

Fungsi Penyediaan (Provisioning)


1 Pangan Hasil laut, pangan dari hutan (tanaman dan hewan), hasil
pertanian dan perkebunan untuk pangan, hasil
peternakan
2 Air bersih Penyediaan air dari tanah (termasuk kapasitas
penyimpanannya), penyediaan air dari sumber
permukaan
3 Serat (fiber) Hasil hutan, hasil laut, hasil pertanian dan perkebunan
untuk material
4 Bahan bakar (fuel) Penyediaan kayu bakar dan bahan bakar dari fosil
Fungsi Pengaturan (Regulating)
1 Pengaturan iklim Pengaturan suhu, kelembaban dan hujan, pengendalian
gas rumah kaca dan karbon

I-16
2 Pengaturan tata aliran air dan Siklus hidrologi, serta infrastruktur alam untuk
banjir penyimpanan air, pengendalian banjir, dan pemeliharaan
air
3 Pencegahan dan perlindungan Infrastruktur alam pencegahan dan perlindungan dari
dari bencana kebakaran lahan, erosi, abrasi, longsor, badai dan
tsunami
4 Pemurnian air Kapasitas badan air dalam mengencerkan, mengurai dan
menyerap pencemar
5 Pengolahan dan penguraian Kapasitas lokasi dalam menetralisir, mengurai dan
limbah menyerap limbah dan sampah
6 Pemeliharaan kualitas udara Kapasitas mengatur sistem kimia udara
7 Pengaturan penyerbukan alami Distribusi habitat spesies pembantu proses penyerbukan
(pollination) alami
8 Pengendalian hama dan Distribusi habitat spesies trigger dan pengendalihama
penyakit dan penyakit
Fungsi Budaya (Cultural)
1 Spiritual dan warisan leluhur Ruang dan tempat suci, peninggalan sejarah,
peninggalan leluhur
2 Tempat tinggal dan ruang Ruang untuk tinggal dan hidup sejahtera, jangkar
hidup (sense of place) “kampung halaman” yang punya nilai sentimental
3 Rekreasi dan ecotourism Fitur lansekap, keunikan alam, atau nilai tertentu yang
menjadi daya tarik wisata
4 Ikatan budaya, adat, pola hidup Keterikatan komunitas dan hubungan sosial, pelestarian
keragaman budaya (misalnya komunitas nelayan,
komunitas adat, masyarakat pedalaman, dll.)
5 Estetika Keindahan alam yang memiliki nilai jual
6 Pendidikan dan pengetahuan Memiliki potensi untuk pengembangan pendidikan dan
pengetahuan
Fungsi Pendukung (Supporting)
1 Pembentukan lapisan tanah dan Kesuburan tanah
pemeliharaan kesuburan
2 Siklus hara (nutrient) Kesuburan tanah, tingkat produksi pertanian
3 Produksi primer Produksi oksigen, penyediaan habitat spesies

I-17
1.7 Landasan Hukum
1. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
2. Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
3. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan
4. Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
5. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
6. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Nasional;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2015-2019;
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2015 tentang Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
10. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 18 tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja KLH;

I-18
BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Pendekatan Kajian


Menurut UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, terdapat dua pengertian tentang Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup, yaitu :
“ Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antarkeduanya”
“ Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya”
Terdapat banyak teknik atau metode dalam mengoperasionalisasi konsep daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup di atas, diantaranya yang sudah disepakati oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada forum koordinasi Pusat
Pengendalian Pembangunan Ekoregion (PPPE) seluruh Indonesia adalah penggunaan
konsep jasa ekosistem (ecosisystem services).
Jasa Ekosistem adalah manfaat yang diperoleh oleh manusia dari berbagai
sumberdaya dan proses alam yang secara bersama-sama diberikan oleh suatu ekosistem
(MA, 2005). Jasa ekosistem dikategorikan menjadi empat, yaitu meliputi jasa
penyediaan (provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa
pendukung (supporting) (MA, 2005). Berdasarkan empat kategori ini dikelaskan ada 23
kelas klasifikasi jasa ekosistem, yaitu (De Groots, 2002):
1. Jasa penyediaan : (1) bahan makanan, (2) air bersih, (3) serat, bahan bakar dan
bahan dasar lainnya (4) materi genetik,(5) bahan obat dan biokimia, (6) spesies hias.
2. Jasa Pengaturan : (7) Pengaturan kualitas udara, (8) Pengaturan iklim, (9)
Pencegahan gangguan, (10) Pengaturan air, (11) Pengolahan limbah, (12)
Perlindungan tanah, (13) Penyerbukan, (14) Pengaturan biologis, (15) Pembentukan
tanah.
3. Budaya : (16) Estetika, (17) Rekreasi, (18) Warisan dan indentitas budaya,
(20) Spiritual dan keagamaan, (21) Pendidikan.
4. Pendukung : (22) Habitat berkembang biak, (23) Perlindungan plasma nutfah

II-1
Berdasarkan pengertian dan klasifikasi di atas, terdapat kesamaan substansi
pengertian jasa ekosistem dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,
dimana pengertian jasa penyediaan, budaya lebih mencerminkan konsep daya dukung
lingkungan dan jasa pengaturan memiliki kesamaan susbtansi dengan daya tampung
lingkungan. Sedangkan jasa pendukung bisa bermakna dua yaitu daya dukung maupun
daya tampung lingkungan
Secara operasional, kajian ini menetapkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dengan pendekatan konsep jasa ekosistem, dengan pengembangan
asumsi dasar sebagai berikut :
• Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain,
dan keseimbangan antar keduanya (lihat jasa penyediaan, Jasa budaya, dan
pendukung)
• Semakin tinggi jasa ekosistem suatu wilayah, maka semakin tinggi kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya (lihat jasa pengaturan)

Konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup berbasis konsep jasa
ekosistem tersebut di atas, secara operasional dilakukan dengan menggunakan
pendekatan keruangan yaitu menyusun peta daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup jasa ekosistem sebanyak jenis jasa ekosistem yang dikaji (20 jasa ekosistem).
Dengan dihasilkannya peta tersebut dapat diketahui luasan, distribusi, dan indek daya
dukung jasa lingkungan. Proses penyusunan peta daya dukung dan daya tampung
lingkungan jasa ekosistem dijelaskan pada bagian berikut.

2.2 Ruang Lingkup


1. Ruang Lingkup Wilayah dan Unit Analisis
Ruang lingkup wilayah kajian penyusunan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup ekoregion Sumatera meliputi areal seluas 443.065,8 km2 yang
meliputi sepuluh Provinsi di Pulau Sumatera yaitu Sumatera Selatan, Sumatera
Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Aceh, Lampung, Bengkulu, Kepulauan Bangka
Belitung, dan Kepulauan Riau. Secara geografis ekoregion Sumatera terletak pada

II-2
koordinat geografis 95o0’0” BT - 110o0’0”BT hingga 6o7’0” LU - 6o40’0” LS .
Gambaran ekoregion Sumatera disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta Ekoregion Sumatera

Sesuai dengan skala dan cakupan area, unit analisis data yang digunakan dalam
kajian ini meliputi administrasi dan ekoregion. Unit admistrasi yang digunakan
adalah Provinsi, sedangkan unit ekoregion mencakup 13 jenis ekoregion, yaitu :

1. Dataran Denudasional Kompleks Bangka Belitung – Natuna


2. Dataran Fluvial Sumatera
3. Dataran Gambut Sumatera
4. Dataran Pantai Timur Sumatera
5. Dataran Struktural Jalur Bukit Barisan
6. Dataran Vulkanik Jalur Bukit Barisan
7. Pegunungan Struktural Jalur Bukit Barisan
8. Pegunungan Vulkanik Jalur Bukit Barisan
9. Perbukitan Denudasional Bangka Belitung – Natuna
10. Perbukitan Struktural Jalur Bukit Barisan
11. Perbukitan Struktural Kompleks Kepulauan Riau

II-3
12. Perbukitan Struktural Kompleks Mentawai
13. Perbukitan Vulkanik Jalur Bukit Barisan
2. Ruang Lingkup Substansi Materi
Dalam penyusunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup ekoregion
Sumatera terdapat dua substansi materi input dan output
1. Materi Input, berupa penyusunan peta liputan lahan dan peta ekoregion
2. Materi Proses, berupa penilaian tim panel pakar terhadap peran liputan lahan
dan ekoregio terhadap jenis-jenis jasa ekosistem
3. Materi Output, terdiri dari (1) penyusunan peta 20 jenis jasa ekosistem, (2)
identifikasi luasan klasifikasi jenis-jenis jasa ekosistem, (3) indek 20 jenis jasa
ekosistem, (4) indek komposit jasa ekosistem. Adapun jenis jasa ekosistem
tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Jenis Jasa Ekosistem

No Jenis Jasa Ekositem Jenis

1 Jasa Penyediaan 1. Pangan


(Provisioning) 2. Air bersih
3. Serat (fiber)
4. Bahan bakar (fuel), Kayu dan Fosil
5. Sumberdaya genetik

2 Jasa Pengaturan 1. Pengaturan iklim


(Regulating) 2. Pengaturan tata aliran air dan banjir
3. Pencegahan dan perlindungan dari bencana alam
4. Pemurnian air
5. Pengolahan dan penguraian limbah
6. Pemeliharaan kualitas udara
7. Pengaturan penyerbukan alami (pollination)
8. Pengendalian hama dan penyakit

3 Jasa Budaya (Cultural)* 1. Tempat tinggal dan ruang hidup (sense of place)
2. Rekreasi dan ecotourism
3. Estetika (Alam)

II-4
4 Jasa Pendukung 1. Pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan
(Supporting) kesuburan
2. Siklus hara (nutrient cycle)
3. Produksi primer
4. Biodiversitas (perlindungan plasma nutfah)

2.3 Alat dan Intrumen


Beberapa alat dan instrumen yang digunakan dalam penyusunan Peta daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup berbasis jasa ekosistem diantaranya :
1. Peta Ekoregion skala 1:250.000, yang dikeluarkan atau bersumber dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Informasi
Geospasial (BIG) tahun 2013
2. Peta Liputan Lahan skala 1:250.000 yang dikeluarkan atau bersumber dari Badan
Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan telah
diverifikasi menjadi one map policy oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun
2013
3. Kuesioner atau daftar pertanyaan yang diajukan kepada panel pakar tentang
kontribusi atau peran ekoregion dan liputan lahan terhadap jasa ekosistem.
4. Komputer dengan software GIS yaitu Arc GIS 11 untuk melakukan analisis spasial
dan pemetaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup berbasis jasa
ekosistem.
5. Komputer dengan softwareExpert Choice untuk melakukan proses pengolahan data
hasil kuesener panel pakar analisis spasial untuk menghasilkan koefisien ekoregion,
koefisien liputan lahan dan koefisien jasa ekosistem.
6. Citra satelit dan GPS untuk melakukan vaerifikasi peta dan kondisi di lapangan
7. Data-data sekunder sektoral lain, baik tabuler maupun spasial yang memiliki
relevansi dengan jenis jasa ekosistem

2.4 Data dan Indikator


Data dan indikator yang digunakan dalam penyusunan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup ekoregion Sumatera terdiri dari dua konsep input data yang
meliputi liputan lahan dan ekoregion dan satu konsep output yaitu jasa ekosistem.
Selengkapnya data dan indikator ketiga kosep tersebut disajikan dalam klasifikasi

II-5
berikut (Tabel ). Sistem klasifikasi ekoregion mengikuti Verstappen dan klasifikasi
liputan lahan menggunakan SNI dan one map policy. Ketiga data tersebut diilustrasikan
pada tabel berikut dengan mengambil contoh skala 1:250.000.

Tabel 2.2 Tiga konsep dan data utama dalam penyusunan Peta Daya Dukung
dan Daya Tampung Lingkungan Hidup Berbasis Jasa Ekosistem

Tiga Konsep Utama


Ekoregion * Liputan Lahan * Jasa Ekosistem
1. Kerucut Gunungapi 1. Bangunan Bukan 1. Pangan
2. Lereng Gunungapi Permukiman 2. Air bersih
3. Kaki Gunungapi 2. Bangunan Permukiman 3. Serat (fiber)
4. Pegunungan Patahan /Campuran 4. Bahan bakar (fuel), Kayu
5. Pegunungan Lipatan 3. Danau/Telaga dan Fosil
6. Perbukitan Patahan 4. Hutan Lahan Rendah 5. Sumberdaya genetik
7. Perbukitan Lipatan (Hutan lahan basah) 6. Pengaturan iklim
8. Lerengkaki Patahan 5. Hutan Lahan Tinggi 7. Pengaturan tata aliran air
9. Lerengkaki Lipatan (HutanLahan Kering) dan banjir
10. Lembah antar 6. Hutan Mangrove 8. Pencegahan dan
Patahan 7. Hutan Rawa/Gambut perlindungan dari bencana
11. Lembah antar 8. Hutan Tanaman alam
Lipatan 9. Kebun dan Tanaman 9. Pemurnian air
12. Dataran Fluvio Campuran (Tahunan dan 10. Pengolahan dan penguraian
Gunungapi semusim) limbah
13. Dataran Aluvial 10. Kolam air asin/payau 11. Pemeliharaan kualitas
14. Dataran Fluviomarin 11. Lahan Terbuka (hamparan udara
15. Pegunungan pasir, lava) 12. Pengaturan penyerbukan
Solusional 12. Lahan Terbuka alami (pollination)
16. Perbukitan Diusahakan 13. Pengendalian hama dan
Solusional 13. Perkebunan penyakit
17. Lembah antar 14. Pertambangan 14. Tempat tinggal dan ruang
Perbukitan / 15. Rawa Pesisir hidup (sense of place)
Pegunungan 16. Rawa Pedalaman 15. Rekreasi dan ecotourism
Solusional 17. Savana/Padang rumput 16. Estetika (Alam)
18. Pegunungan 18. Semak dan belukar 17. Pembentukan lapisan tanah
Denudasional 19. Sungai dan pemeliharaan
19. Perbukitan 20. Tanaman Semusim Lahan kesuburan
Denudasional Basah (Sawah) 18. Siklus hara (nutrient cycle)
20. Lerengkaki 21. Tanaman Semusim Lahan 19. Produksi primer
Perbukitan/Pegunun Kering (Tegalan/Ladang) 20. Biodiversitas
gan Denudasional 22. Waduk dan Danau Buatan (perlindungan plasma
21. Lembah antar 23. Tambak/Empang nutfah)
Perbukitan /
Pegunungan
Denudasional
22. Gumuk Pasir
23. Padang Pasir
24. Pantai (Shore)
25. Pesisir (Coast)
26. Pegunungan Glasial

II-6
27. Perbukitan Glasial
28. Lembah antar
Perbukitan /
Pegunungan Glasial
29. Dataran Gambut
30. Dataran Terumbu
31. Dataran Reklamasi
Keterangan : *) Untuk di Ekoregion Sumatera tidak semua jenis klasifikasi penutup lahan dan
ekoregion ada.

2.5 Tahapan Kajian dan Pengolahan


Berdasarkan tujuan dan ruang lingkup subtansi materi dari penyusunan
“Inventarisasi Daya Dukung Lingkungan Ekoregion Berbasis Jasa Ekosistem” dapat
dirumuskan beberapa garis besar tahapan pelaksanaan kegiatan, yaitu :

1. Persiapan
 Review terhadap studi-studi mengenai daya dukung lingkungan dan jasa
ekosistem khususnya dalam lingkup wilayah kajian.
 Mempelajari kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan program
pembangunan yang berkaitan dengan wilayah kajian.
 Menyusun sejumlah indikator atau kriteria mengenai Jasa Ekosistem yang
akan digunakan dalam penyusunan Inventarisasi Daya Dukung Lingkungan
Ekoregion Berbasis Jasa Ekosistem.
 Menyusun rencana kerja dan metodologi yang akan digunakan
2. Pengumpulan Data Sekunder dan FGD
 Melakukan penelusuran terhadap data spasial Pulau Sumatera (Data
Collecting). Data ini nantinya akan dijadikan materi atau bahan utama dalam
penyusunan Inventarisasi Daya Dukung Lingkungan Ekoregion Berbasis Jasa
Ekosistem, yaitu data ekoregion dan tutupan lahan.
 Pengumpulan berbagai macam kebijakan dan program-program pembangunan
dari Instansi, lembaga/SKPD terkait.
 Penggalian informasi yang lebih mendetail melalui FGD (Focus Group
Disscussion) ataupun Indepth interview dengan pakar/ahli berbagai bidang
menggunakan kuesioner.
 Pengisian kuesioner dari parameter Jasa Ekosistem di Pulau Sumatera.

II-7
3. Pengolahan dan Analisis data
 Input data atau pemasukan nilai berdasarkan penentuan pakar kedalam data
spasial yang telah disiapkan dengan teknik skoring.
 Pengolahan dan analisis data, dalam penyusunan peta-peta diantaranya : (1)
Peta Input yaitu Peta Ekoregion dan Peta Liputan Lahan, dan (2) Peta Output
berupa peta Daya Dukung Lingkungan Ekoregion Berbasis Jasa Ekosistem,
sebanyak 20 Jenis jasa ekosistem
 Menyusun tabulasi data dan informasi kewilayahan terkait daya dukung dan
daya tampung berbasis jasa ekosistem, baik berdasarkan Administrasi
(Provinsi) maupun Ekoregion.
 Hasil Pengolahan dan Analisis Data yang menghasilkan 20 jenis Peta Daya
Dukung Lingkungan Ekoregion Berbasis Jasa Ekosistem akan dijadikan bahan
untuk verifikasi dan Ground check sebagai penyempurnaan hasil. Secara
khusus, proses dan jenis analisis data disampaikan pada bagian sub bab
Analisis Data
4. Verifikasi Hasil dan Ground Check,
Mengingat cakupan area yang sangat luas, verifikasi Hasil dan Ground Check
dilakukan dengan cara melakukan FGD (Focus Group Disscussion) dengan nara
sumber dan stakeholder serta pihak-pihak lain yang concern dan memiliki hasil
kajian yang berhubungan dengan 20 jenis jasa ekosistem. Selanjutnya semua peta
hasil analisis di konfirmasi atau verifikasi dengan kajian dan temuan serta pendapat
nara sumber dan stakeholder. Hasil verifikasi dijadikan sebagai bahan perbaikan
peta untuk penyusunan laporan “Inventarisasi Daya Dukung Lingkungan
Ekoregion Berbasis Jasa Ekosistem”.
5. Penyusunan Laporan dan Album Peta,
Penyusunan laporan kegiatan yang merupakan rangkaian keseluruhan pelaksanaan
kegiatan “Inventarisasi Daya Dukung Lingkungan Ekoregion Berbasis Jasa
Ekosistem”. Laporan terdiri dari empat bagian, yaitu : (1) Pendahuluan, (2)
Metode, (3) Profil Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Berbasis Jasa
Ekosistem, dan (4) Kesimpulan dan Rekomendasi. Selain dalam bentuk laporan,
hasil Inventarisasi Daya Dukung Lingkungan Ekoregion Sumatera Berbasis Jasa
Ekosistem juga ditampilkan dalam bentuk Album Peta.

II-8
6. Melakukan Lokakarya atau Diskusi Publik terpilih,
Lokakarya atau seminar bertujuan untuk sosialisasi hasil penyusunan Inventarisasi
Daya Dukung Lingkungan Ekoregion Sumatera Berbasis Jasa Ekosistem sekaligus
untuk mendapatkan masukan dan saran untuk penyempurnaan hasil dan
implikasinya bagi program pengendalian pembangunan dan pengelolaan
lingkungan.

2.6 Teknik Analisis Data dan Pemetaan


Diantara beberapa tahapan kajian di atas, khusus untuk analisis data dan proses
penyusunan peta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup diperlukan
penjelasan yang lebih rinci. Beberapa teknik analisis yang digunakan dalam
penyusunan Inventarisasi Daya Dukung Lingkungan Ekoregion Berbasis Jasa
Ekosistem diantaranya.

1. Penyusunan Peta Ekoregion dan Peta Landcover


Dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografi (Geographic Information
System=GIS) dilakukan input, pengolahan dan penyusunan Peta Ekoregion dan
Peta Liputan lahan.
a. Peta Ekoregion, dilakukan dengan melakukan interpretasi citra satelit yang
memuat beberapa informasi tentang kemiringan lereng, ketinggian tempat,
geomorfologi, dan geologi. Dalam penyusunan peta ekoregion Sumatera skala
1:250.000 ini digunakan sumber Peta Ekoregion yang telah disusun oleh BIG
dan KLHK.
b. Peta Liputan Lahan, dilakukan dengan melakukan interpretasi citra satelit
sehingga dihasilkan jenis-jenis liputan lahan. Jenis-jenis liputan lahan sangat
berpengaruh terhadap jasa ekosistem. Dalam penyusunan peta liputan lahan
Sumatera skala 1:250.000 ini digunakan sumber Peta Ekoregion yang telah
disusun oleh BIG dan KLHK (Dirjen Planologi) one map policy, dengan jumlah
klasifikasi sebanyak 21 jenis liputan lahan yaitu :
1. Bangunan Bukan Permukiman
2. Bangunan Permukiman/Campuran
3. Danau/Telaga
4. Hutan Lahan Rendah
5. Hutan Lahan Tinggi
6. Hutan Mangrove

II-9
7. Hutan Rawa/Gambut
8. Hutan Tanaman
9. Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan dan Semusim)
10. Kolam Air Asin/Payau
11. Lahan Terbuka
12. Lahan Terbuka Diusahakan
13. Perkebunan
14. Rawa Pedalaman
15. Rawa Pesisir
16. Sabana
17. Semak dan Belukar
18. Sungai
19. Tanaman Semusim Lahan Basah
20. Tanaman Semusim Lahan Kering
21. Waduk dan Danau Buatan

Peta ekoregion dan peta liputan lahan menjadi peta input dalam proses
penyusunan peta daya dukung lingkungan berbasis jasa ekosistem.

2. Penilaian Peran Ekoregion dan Liputan Lahan Terhadap Jasa Ekosistem


dengan Metode Expert Based Valuation
Perolehan data untuk penyusunan peta daya dukung dan daya tampung
lingkungan berbasis jasa ekosistem dilakukan dengan metode expert based
valuation yaitu penilaian peran masing-masing jenis tipe liputan lahan dan
ekoregion yang dilakukan oleh sejumlah pakar yang berkompeten di bidangnya.
Metode expert based valuation pada dasarnya mirip dengan penerapan metode
Delphi merupakan suatu metode yang dilakukan dengan membentuk suatu
kelompok atau komunikasi grup yang terdiri dari para ahli untuk membahas suatu
permasalahan. Umumnya para ahli yang dilibatkan merupakan para ahli yang
memiliki keahlian di bidang permasalahan yang sedang dibahas dan sangat
mengenali wilayah kajian (Sumatera).
Metode Expert Based Valuation dalam penyusunan Peta Daya Dukung
Lingkungan Berbasis Jasa Ekosistem di Ekoregion Sumatera dilakukan oleh
delapan pakar dari perguruan tinggi di Pulau Sumatera termasuk Pusat Studi
Lingkungan, yang terdiri dari pakar Kehutanan, Biologi, Pertanian, Geografi,
Lingkungan, Geologi dan GIS. Para pakar mengisi daftar pertanyaan tentang peran
dan kontribusi ekoregion dan liputan lahan terhadap jasa ekosistem. Berikut

II-10
disajikan contoh hasil penilaian pakar untuk peran jenis liputan lahan terhadap jasa
ekosistem biodiversitas.

Tabel 2.3 Hasil Penilaian Pakar Untuk Peran Jenis Liputan Lahan
Terhadap Jasa Ekosistem Biodiversitas
PAKAR PAKAR PAKAR PAKAR PAKAR PAKAR PAKAR
JENIS PENUTUPAN LAHAN
1 2 3 4 5 6 7
infrastruktur jalan, bandar udara, dan lahan terbangun
0 0 0 O 1 0 2
non pemukiman
Bangunan Permukiman/Campuran 1 4 1 0 3 0 4
Danau/Telaga 8 5 3 5 7 8 5
Hutan Lahan Rendah 7 7 5 8 7 3 5
Hutan Lahan Tinggi 7 6 5 10 7 2 4
Hutan Mangrove 8 4 5 7 7 8 4
Hutan Rawa/Gambut 8 6 5 8 5 3 3
Hutan Tanaman 7 1 3 5 6 3 5
Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan dan Semusim) 8 4 4 4 5 7 8
Kolam Air Asin/Payau 8 5 7 4 5 8 3
Lahan Terbuka (Hamparan Pasir, Lava) 3 1 5 4 2 0 5
Perkebunan 7 6 3 5 7 5 3
Pertambangan 1 1 0 1 2 1 4
Rawa Pesisir 7 5 2 6 5 6 5
Rawa Pedalaman 7 4 2 7 5 1 6
Savana/Padang Rumput 5 6 7 4 5 1 2
Herbal/Rumput 5 2 6 5 5 1 5
Semak dan Belukar 5 1 6 6 7 5 3
Sungai 6 5 5 8 6 5 7
Tanaman Semusim Lahan Basah (Sawah) 8 9 9 10 9 10 9
Tanaman Semusim Lahan Kering (Tegalan/Ladang) 8 7 8 5 7 8 9
Waduk dan Danau Buatan 8 6 7 10 5 8 7
Tambak/Empang 8 7 7 10 6 9 7

Keterangan : Skala penilaian 0=tidak memiliki peran/tidak berhubungan. 1-2 (sangat rendah), 3-4
(Rendah), 5-6 (Sedang), 7-8 (Tinggi), 9-10 (Sangat Tinggi)

Selanjutnya seluruh hasil dan jawaban atau penilaian dari panel pakar
tersebut diolah dengan analisis pairwise comparation yang hasilnya dianalisis
dengan sistem informasi geografi sehingga dihasilkan peta daya dukung dan daya
tampung lingkungan berbasis jasa ekosistem yang selanjutnya dipresentasikan
kembali oleh tim kepada para panel pakar untuk dilakukan koreksi dan
penyimpulan akhir terhadap peta yang telah dibuat.

3. Teknik Analisis Pairwise Comparation


Analisis Pairwise Comparation, menjadi bagian awal dari proses
pelaksanaan metode AHP yang menghasilkan indeks atau bobot suatu variabel
dalam proses pengambilan keputusan. Matrik pairwise memberikan perbandingan
berpasangan yang menggambarkan kontribusirelatif atau pengaruh setiap elemen

II-11
terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Dalam hal
ini peran masing-masing jenis liputan lahan atau ekoregion. Perbandingan
dilakukan berdasarkan pilihan atau “judgment” dari panel pakar dengan menilai
tingkat kepentingan suatu variabel jenis liputan lahan atau ekoregion dibandingkan
jenis lainnya dalam kaitannya dengan jasa ekosistem tertentu.Beberapa langkah -
langkah dalam membuat matrik pairwise atau Pairwise Comparation, diantaranya
adalah:
1. Membuat matrik perbandingan berpasangan, antara penilaian pakar terhadap
jenis-jenis ekoregion dan liputan lahan. Model berpasangan ini melakukan
penilaian peran suatu variabel terhadap kepentingan tertentu dilakukan dengan
cara membandingkannya variabel lain secara berpasangan. Sebagai contoh
dalam penilaian peran ekoregion terhadap jasa ekosistem pangan, maka tiap
jenis ekoregion dibandingkan kepentingannya terdapat jasa pangan. Demikian
pula untuk jenis liputan lahan dibandingkan antar jenis dan perannya terhadap
jasa ekosistem pangan.
2. Menormalkan data yaitu dengan membagi nilai dari setiap elemen di dalam
matriks yang berpasangan dengan nilai total dari setiap kolom.
3. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten
pengambil data (preferensi) perlu diulangi. Nilai eigen vector yang dimaksud
adalah nilai eigen vector maksimum yang diperoleh dengan menggunakan
software Matlab maupun manual dengan excel
4. Menghitung eigen vector dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai
eigen vector merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini mensintesis pilihan
dan penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai
pencapaian tujuan
5. Menguji konsistensi hirarki. (consistency ratio). Penilaian dalam
membandingkan antara satu kriteria dengan kriteria yang lain adalah bebas satu
sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada ketidak konsistensian. Saaty (1990)
telah membuktikan bahwa indeks konsistensi dari matrik ber ordo n dapat
diperoleh dengan rumus :
CI = (λmaks-n)/(n-1)
Keterangan:

II-12
CI = Indeks Konsistensi (ConsistencyIndex)
λmaks = Nilai eigen terbesar dari matrik berordo n

Nilai eigen terbesar didapat dengan menjumlahkan hasil perkalian jumlah kolom
dengan eigen vector. Batas ketidak konsistensian di ukur dengan menggunakan rasio
konsistensi (CR), yakni perbandingan indeks konsistensi (CI) dengan nilai pembangkit
random (RI).Nilai ini bergantung pada ordo matrik n. Rasio konsistensi dapat
dirumuskan:
CR = CI/RI
Bila nilai CR lebih kecil dari 10%, ketidak konsistensian pendapat masih
dianggap dapat diterima. Jika tidak memenuhi dengan CR < 0,100 maka penilaian harus
diulang kembali.
Berdasarkan proses dan prosedur di atas, berikut disampaikan contoh hasil
matrik pairwise untuk salah satu kelompok jasa ekosistem yaitu jasa penyedia, baik
untuk Matrik Pairwise Ekoregion maupun Matrik Pairwise Liputan lahan. Semakin
tinggi nilai koefisien ekoregion atau liputan lahan maka semakin penting dan besar
perannya terhadap besar kecilnya nilai jasa ekosistem

Tabel 2.4 Matrik Pairwise Ekoregion Dan Nilai Koefisien Tutupan Lahan
Terhadap Jasa Ekosistem Sumatera

JASA PENYEDIAAN
Tutupan Lahan Air Bahan Sumberdaya
Pangan Serat
Bersih Bakar Genetik
Bangunan Bukan Permukiman (Industri,
perdagangan, infrastruktur jalan, bandar
0,161 0,171 0,188 0,352 0,145
udara dan lahan terbangun non
permukiman)
Bangunan Permukiman/Campuran 0,243 0,241 0,194 0,327 0,187
Danau/Telaga 1,152 2,385 0,478 1,496 1,328
Hutan Lahan Rendah 1,071 1,779 1,894 1,442 2,593
Hutan Lahan Tinggi 0,984 1,809 1,890 1,184 2,524
Hutan Mangrove 1,111 1,006 1,683 0,929 2,275
Hutan Rawa/Gambut 0,886 0,802 1,529 1,005 1,817
Hutan Tanaman 0,536 0,908 2,674 1,026 0,846
Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan
0,937 0,709 1,840 1,146 0,995
dan semusim)
Kolam air asin/payau 0,903 0,405 0,481 0,362 0,785
Lahan Terbuka (hamparan pasir, lava) 0,325 0,221 0,348 0,447 0,282

II-13
JASA PENYEDIAAN
Tutupan Lahan Air Bahan Sumberdaya
Pangan Serat
Bersih Bakar Genetik
Lahan Terbuka Diusahakan 0,571 0,312 0,687 0,490 0,303
Perkebunan 0,927 0,548 1,588 1,116 0,638
Pertambangan 0,211 0,186 0,340 1,369 0,202
Rawa Pesisir 0,709 0,735 0,836 1,042 0,775
Rawa Pedalaman 0,602 1,009 0,880 1,036 0,858
Savana/Padang rumput 0,564 0,467 0,468 0,572 0,578
Herbal dan Rumput 0,502 0,465 0,593 0,365 0,652
Semak dan belukar 0,616 0,516 0,779 0,605 0,677
Sungai 1,155 2,678 0,361 2,591 1,126
Tanaman Semusim Lahan Basah (Sawah) 3,249 1,222 1,141 0,802 0,780
Tanaman Semusim Lahan Kering
1,887 0,524 1,173 0,501 0,674
(Tegalan/Ladang)
Waduk dan Danau Buatan 1,746 2,749 0,506 2,343 1,299
Tambak/Empang 1,952 1,154 0,449 0,454 0,660

Tabel 2.5 Matrik Pairwise Liputan Lahan Dan Nilai Koefisien Ekoregion
Terhadap Jasa Ekosistem Sumatera

JASA PENYEDIAAN
Ekoregion Air Bahan Sumberdaya
Pangan Serat
Bersih Bakar Genetik
Kaki Gunungapi 1,482 1,315 1,110 1,863 1,568
Dataran Kaki Gunungapi 2,721 2,800 1,465 2,727 1,990
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan patahan
1,575 1,551 0,897 1,320 1,291
(Terban)
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan Lipatan
1,255 1,224 1,468 0,906 1,071
(Intermountain Basin)
Perbukitan Patahan 0,458 0,667 1,079 1,097 1,178
Perbukitan Lipatan 0,498 0,554 1,189 0,634 1,178
Pegunungan Patahan 0,477 0,522 1,194 1,775 1,443
Pegunungan Lipatan 0,515 0,528 1,211 1,086 1,443
Dataran Fluvio Gunungapi 3,770 3,596 1,071 3,084 1,947
Dataran Aluvial 3,184 3,227 1,071 2,487 1,834
Dataran Fluviomarin 2,349 2,326 1,098 1,472 1,704
Lembah antar Perbukitan / Pegunungan
1,104 1,417 0,578 0,942 0,827
Solusional
Perbukitan Solusional 0,425 0,374 0,588 0,653 0,635
Pegunungan Solusional Karts 0,375 0,334 0,647 0,629 0,760
Lembah antar Perbukitan /Pegunungan
1,098 1,043 0,781 0,833 0,901
Denudasional
Lerengkaki Perbukitan/ Pegunungan 0,983 0,998 1,057 0,988 0,974

II-14
JASA PENYEDIAAN
Ekoregion Air Bahan Sumberdaya
Pangan Serat
Bersih Bakar Genetik
Denudasional
Perbukitan Denudasional 0,432 0,487 0,543 0,772 0,967
Pegunungan Denudasional 0,410 0,505 0,535 0,653 0,985
Gumuk Pasir 0,248 0,321 2,302 0,191 0,227
Pantai (Shore) 0,568 0,270 2,463 0,719 0,606
Pesisir (Coast) 0,893 0,490 1,658 0,502 1,077
Pegunungan Glasial 0,236 1,141 0,475 0,181 0,481
Lahan Gambut (Peat Land) 0,695 0,400 0,514 0,720 0,820
Rataan Terumbu (Reef flat) 0,389 0,279 0,379 0,518 0,639
Dataran Reklamasi 0,270 0,297 0,253 0,215 0,174

Berdasarkan dua nilai koefisien jenis ekoregion dan liputan lahan tersebut disusun
Koefisen Jasa Ekosistem (KJE) dengan melakukan perkalian sebagai berikut:
1. Perkalian sederhana KJE basis ekoregion dan KJE basis liputan lahan
KJE = kec * klc..
KJE = f { kec , klc}
KJE = koefisien jasa ekosistem
kec = koefisien berdasarkan ekoregion
klc = koefisien berdasarkan liputan lahan
2. Scalling Nilai KJE
Proses scalling nilai KJE dilakukan dengan persamaaan sebagai berikut:

Keterangan:
IJElc : Koefisien Jasa ekositem liputan lahan
IJEEco : Koefisien Jasa Ekosistem ekoregion
Maks (√IJElc*IJEeco) : Nilai maksimal dari hasil sintesis indeks

II-15
Gambar 2.2 merupakan contoh hasil KJE untuk Jasa Penyedia Pangan di Ekoregion
Sumatera

Gambar 2.2. Matriks Hasil KJE untuk Jasa Penyediaan Pangan

Tabel 2.6. Kode Ekoregion untuk matriks hasil KJE

kode Ekoregion/Bentuk lahan


1 Kerucut dan Lereng Gunungapi
2 Kaki Gunungapi
3 Dataran Kaki Gunungapi
4 Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan patahan (Terban)
5 Lembah antar perbukitan/ Pegunungan Lipatan (Intermountain Basin)
6 Perbukitan Patahan
7 Perbukitan Lipatan
8 Pegunungan Patahan
9 Pegunungan Lipatan
10 Dataran Fluvio Gunungapi
11 Dataran Aluvial

II-16
kode Ekoregion/Bentuk lahan
12 Dataran Fluviomarin
13 Lembah antar Perbukitan / Pegunungan Solusional
14 Perbukitan Solusional
15 Pegunungan Solusional Karts
16 Lembah antar Perbukitan /Pegunungan Denudasional
17 Lerengkaki Perbukitan/ Pegunungan Denudasional
18 Perbukitan Denudasional
19 Pegunungan Denudasional
20 Gumuk Pasir
21 Pantai (Shore)
22 Pesisir (Coast)
23 Pegunungan Glasial
24 Lahan Gambut (Peat Land)
25 Rataan Terumbu (Reef flat)
26 Dataran Reklamasi

Tabel 2.7. Kode Tutupan Lahan untuk matriks hasil KJE

Kode Tutupan Lahan


Bangunan Bukan Permukiman (Industri, perdagangan, infrastruktur
A
jalan, bandar udara dan lahan terbangun non permukiman)
B Bangunan Permukiman/Campuran
C Danau/Telaga
D Hutan Lahan Rendah
E Hutan Lahan Tinggi
F Hutan Mangrove
G Hutan Rawa/Gambut
H Hutan Tanaman
I Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan dan semusim)
J Kolam air asin/payau
K Lahan Terbuka (hamparan pasir, lava)
L Lahan Terbuka Diusahakan
M Perkebunan
N Pertambangan
O Rawa Pesisir
P Rawa Pedalaman
Q Savana/Padang rumput
R Herbal dan Rumput
S Semak dan belukar
T Sungai
U Tanaman Semusim Lahan Basah (Sawah)
V Tanaman Semusim Lahan Kering (Tegalan/Ladang)
W Waduk dan Danau Buatan
X Tambak/Empang

II-17
3. Klasifikasi Nilai KJE
Rentang nilai KJE yang telah dinormasilasi dalam proses scalling memiliki
kisaran nilai antara 0-1, semakin mendekati nilai 1, maka Koefisien Jasa Ekosistem
(KJE) suatu wilayah (area) semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan
sebaran data nilai KJE dapat dilakukan klasifikasi KJE kedalam 5 tingkat.
Klasifikasi KJE ini ditentukan berdasarkan aturan Geometrik yang dapat dituliskan
dalam formula sebagai berikut;
Xn= B / A

X = n√B/A = (0,988/0,08)1/5

X = 1,65

Dimana B = Nilai Maksimum

A = Nilai Minimum

n = Jumlah Kelas

Tabel 2.8. Perhitungan Interval kelas Geometri pada jasa penyediaan pangan

Klasifikasi Rumus Interval Keterangan Kelas


Kelas I A – Ax 0 – 0,1328 Sangat Rendah

Kelas II Ax - Ax2 0,1328 - 0,2204 Rendah

Kelas III Ax2- Ax3 0,2204 – 0,3659 Sedang

Kelas IV Ax3 - Ax4 0.3659 – 0,6075 Tinggi

Kelas V Ax4 - Ax5 0,6075 – 0,9880 Sangat Tinggi

Tabel 2.9. Pewarnaan kelas daya dukung dan daya tampung berbasis jasa ekosistem
No Klasifikasi Warna
1 Sangat Rendah Merah Tua
2 Rendah Oranye
3 Sedang Kuning
4 Tinggi Hijau Muda
5 Sangat Tinggi Hijau Tua

II-18
Tiap jasa ekosistem memiliki rentang kelas yang berbeda-beda, akibat dari
nilai minimum dan maksimum yang bervariasi. Semua nilai koefisien jasa
ekosistem ditampilkan dalam peta Daya Dukung Lingkungan Jasa ekosistem.
4. Indek Jasa Ekosistem dan Indek Komposit
Indek Jasa Ekosistem adalah nilai indek yang menunjukkan besar kecilnya
nilai jenis-jenis jasa ekosistem. Nilai indeks jasa ekosistem berkisar antara 0 (kecil)
– 1 (besar), yang ditampilkan menurut administrasi dan ekoregion. Nilai Indek Jasa
Ekosistem (IJE) pada hakekatnya adalah variasi nilai Koefisien Jasa Ekosistem yang
dibobot dengan luas poligon (area). Secara singkat dirumuskan sebagai berikut :

IJE i,x = (KJE i,a x LPa) + (KJE i,b x LPb) + (KJE i,c x LPc) + ........ (KJE i,n x LPn)
LAtot
Keterangan
IJE i,x = Nilai Indek Jasa Ekosistem Jenis i (misalnya pangan) di wilayah x
(misalnya Provinsi atau ekoregion tertentu)
KJE i,x = Koefisien Jasa Ekosistem Jenis i (misalnya pangan) di poligon a
LPa = Luas Poligon a dengan nilai KJE a
LAtot = Luas Poligon Total

Indek Jasa Ekosistem (IJE) ditampilkan menurut unit analisis wilayah


adminsitrasi (Provinsi) dan ekoregion, untuk membandingkan secara relatif nilai
jasa ekosistem antar ekoregion dan antar wilayah administrasi.
Indek Komposit Jasa Ekosistem adalah nilai gabungan dari indek jenis-jenis
jasa ekosistem yang diperoleh dengan cara melakukan perhitungan rata-rata (mean).
Adapun formulasi IKJE adalah sebagai berikut :
\

IKJE i,x = IJE i,x + IJE j,x + IJE k,x + IJE l,x + IJE m,x
∑IJE
Keterangan
IKJE i,x= Indek komposit jasa ekosistem kelompok jasa ekosistem i (Penyedia,
Pengaturan, Budaya, Pendukung) di wilayah x
IJE i,x = Indek jasa ekosistem i (misalnya pangan, air bersih, serat, bahan bakar
sumberdaya genetik) , diwilayah x
∑IJE = Jumlah jasa ekosistem (misalnya untuk kelompok jasa pendukung=5 IJE)

II-19
Indek Komposit Jasa Ekosistem dilakukan secara bertingkat pada empat
jenis kelompok jasa ekosistem, yaitu kelompok jasa ekosistem penyedia,
pengaturan, budaya, dan pendukung serta gabungan 20 jenis jasa ekosistem yang
disebut dengan indek komposit daya dukung dan daya tampung lingkungan. Indek
Komposit Jasa Ekosistem (IKJE) juga ditampilkan menurut unit analisis wilayah
adminsitrasi (Provinsi) dan ekoregion, untuk membandingkan secara relatif nilai
jasa ekosistem antar ekoregion dan antar wilayah administrasi.

Untuk mempresentasikan nilai IJE maupun IKJE lebih menarik, selain


dipetakan, nilai IJE dan IKJE dapat ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

2.7 Analisis Sistem Informasi Geografi


Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem yang dapat mendukung
pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi-deskripsi lokasi
dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang terjadi di lokasi tersebut. Seluruh
tahap penyusunan Inventarisasi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup
berbasis Jasa Ekosistem di Ekoregion Sumatera menggunan SIG baik untuk
pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali informasi, maupun menampilkan
suatu data spasial maupun data atribut.
SIG mempunyai beberapa langkah yang berurutan dan berkaitan erat mulai dari
perencanaan, penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik, penggabungan peta,
editing, hingga pemetaan. Analisa data spasial tersebut menjadi dasar bagi input, proses
maupun menghasilkan output peta daya dukung lingkungan yang dilakukan dengan
teknik overlay antara peta ekoregion dan peta liputan lahan. Analisis SIG dapat
menyajikan data informasi bereferensi geografis sehingga dapat membantu dalam
menentukan lokasi-lokasi strategis sesuai dengan variasi nilai jasa ekosistem, baik
menurut administrasi, ekoregion ataupun unit analisis lainnya.
Penyusunan Peta Daya Dukung Lingkungan berbasis jasa Ekosistem di
ekoregion Sumatera dengan memanfaatkan sistem informasi geografis dilakukan dalam
beberapa tahapan, yaitu: (1) penyusunan peta ekoregion, yang berasal dari overlay peta
lereng dan ketinggian tempat DEM, informasi spasial tentang geomorfologi, dan
geologi, (2) penyusunan peta tutupan lahan yang berasal dari interpretasi visual citra
penginderaan jauh dengan sistem klasifikasi one map policy. Dua jenis data spasial

II-20
tersebut digabung dan divaluasi dengan data atribut tentang sumbangan atau peran
ekoregion dan tutupan lahan terhadap nilai jasa ekosistem yang diperoleh nilai
kuantitatif (skor) dari tim panel pakar (lihat tahap analisis data).
Masing-masing komponen ekoregion dan tutupan lahan tersebut memiliki nilai
koefisien tertentu dalam mempengaruhi jasa ekosistem (hasil matrik pairwise
comparation). Berdasarkan variasi nilai koefisien ekoregion dan tutupan lahan tersebut,
dilakukan analisis SIG untuk menentukan Koefisien Jasa Ekosistem (KJE).
Setelah diperoleh koefisisen jasa ekosistem, tahap akhir pemetaan daya dukung
adalah pembuatan layout, yaitu proses untuk mengatur data yang digunakan sebagai
output, dan bagaimana data tersebut akan ditampilkan. Sistem informasi geografis (SIG)
dapat menampilkan berbagai macam informasi sebagai hasil akhir dari suatu operasi.
Hasil akhir yang dapat ditampilkan adalah dalam bentuk peta, tabel, dan grafis. Peta
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup berbasis jasa ekosistem ditampilkan
dalam lima bentuk klasifikasi secara ordinal, mulai dari sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi, sangat tinggi.
Dalam analisis SIG ini dibutuhkan bantuan perangkat keras berupa seperangkat
komputer (hard ware) dan juga perangkat lunak (soft ware). Dalam penelitian ini,
digunakan soft ware ArcGis 11 yang dikeluarkan oleh Environmental System Research
Institute (ESRI). ArcGis 11 dapat melakukan pertukaran data, operasi-operasi
matematik, menampilkan informasi spasial maupun atribut secara bersamaan, membuat
peta tematik, menyediakan bahasa pemrograman (script) serta melakukan fungsi-fungsi
khusus lainnya dengan bantuan extensions..

2.8 Batasan Operasional


Beberapa batasan penting khususunya konsep dan hasil dalam kajian ini dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Koefisien Matrik Pairwise Landcover adalah nilai yang diperoleh dari analisis
matrik pairwise hasil penilaian pakar (metode expert based valuation) terhadap
peran tutupan lahan terhadap jenis-jenis jasa ekosistem.
2. Koefisien Matrik Pairwise Ekoregion adalah nilai yang diperoleh dari analisis
matrik pairwise hasil penilaian pakar (metode expert based valuation) terhadap
peran ekoregion terhadap jenis-jenis jasa ekosistem.

II-21
3. Koefisien Matrik Pairwise Jasa Ekosistem adalah nilai yang menunjukkan besar
kecilnya nilai jasa ekosistem yang diperoleh dari perhitungan perkalian matrik
pairwise landcover dan matrik pairwise landcover serta digunakan untuk melakukan
pemetaan jenis-jenis jasa ekosistem (20 jenis jasa ekosistem).
4. Indek Jasa Ekosistem adalah nilai indek yang menunjukkan besar kecilnya nilai
jenis-jenis jasa ekosistem. Nilai indeks jasa ekosistem berkisar antara 0 (kecil) -
1(besar), yang ditampilkan menurut administrasi dan ekoregion.
5. Indek Komposit Jasa Ekosistem adalah nilai gabungan dari indek jenis-jenis jasa
ekosistem yang diperoleh dengan cara melakukan perhitungan rata-rata (mean).
Indek Komposit Jasa Ekosistem dilakukan secara bertingkat pada empat jenis
kelompok jasa ekosistem, yaitu kelompok jasa ekosistem penyedia, pengaturan,
budaya, dan pendukung serta gabungan 20 jenis jasa ekosistem yang disebut dengan
indek komposit
6. Indek Ekosistem Penting adalah nilai yang menunjukkan tingkat kepentingan suatu
wilayah atau ekosistem, dibandingkan dengan wilayah atau ekosistem yang lain.
Indek Ekosistem Penting diperoleh dengan melakukan penjumlahan terhadap
koefisien matrik pairwise jasa ekosistem. Semakin tinggi nilai indek ekosistem
penting, semakin tinggi nilai kepentingannya dalam pengelolaan lingkungan
7. Indek Ekosistem Dominan adalah nilai perbandingan dominasi dari Indek 20 jenis
Jasa Ekosistem yang dinilai dengan nilai yang tertinggi di masing-masing jenis jasa
ekosistem.
8. Peta jasa ekosistem adalah gambaran visual yang menunjukkan variasi distribusi
keruangan besarnya nilai jenis-jenis jasa ekosistem dalam suatu ekoregion. Nilai
jasa ekosistem direpresentasikan dalam bentuk data klasifikasi ordinal sebanyak 5
kelas, mulai dari sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.

II-22
BAB III
PROFIL EKOREGION DAN TUTUPAN LAHAN

3.1 Profil Ekoregion Pulau Sumatera

Pulau Sumatera adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia. Luasan Pulau Sumatera yang
besar membuat pulau ini menempati peringkat keenam sebagai pulau terbesar di dunia. Letak geografis
Pulau Sumatera yang unik menyebabkan pulau ini memiliki karakter alam yang beragam dan menarik.
Selain itu, Pulau yang pada zaman dahulunya dikenal sebagai Swarnadwipaatau pulau emas ini juga
termasuk dalam deretan pegunungan api pasifik (Ring of Fire) yang panjangnya mencapai 40.000 km,
mulai dari Gunung Leuser yang terletak di Propinsi Aceh, Gunung Sinabung di Propinsi Sumatera
Utara, hingga Gunung Anak Krakatau yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera.
Sumatera merupakan pulau yang memiliki kondisi fisiografi yang unik. Fisiografi pulau ini
dibentuk oleh rangkaian Pegunungan Barisan di sepanjang sisi baratnya, yang memisahkan pantai barat
dan pantai timur. Lerengnya mengarah ke Samudera Indonesia dan pada umumnya curam. Hal ini
mengakibatkan jalur pantai barat kebanyakan bergunung-gunung kecuali dua ambang dataran rendah di
Sumatera Utara, yakni Melaboh dan Singkel atau Singkil. Sedangkan Sisi timur dari pantai Sumatera
ini terdiri dari lapisan tersier yang sangat luas serta berbukit-bukit dan berupa dataran rendah aluvial.
Jalur rendah terdapat di bagian timur. Pada bagian ini banyak mengandung biji intan yang tersebar di
Propinsi Aceh yang lebarnya 30 km. Semakin ke arah selatan semakin melebar dan bertambah hingga
150-200 km yang terutama terdapat di Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan.
Kondisi fisiografi yang unik membuat wilayah Pulau Sumatera mempunyai kekayaan sumber
daya alam dan keanekaragaman hayati yang luar biasa besar. Pulau Sumatera ini merupakan bagian
dari pusat keanekaragaman hayati atau yang dikenal sebagai “Sundaland Hotspot” di Asia Tenggara
yang juga merupakan salah satu dari 25 sumber kehidupan flora dan fauna yang paling kaya sekaligus
yang paling terancam di dunia.Pusat-pusat keanekaragaman hayati ini hanya mencakup 1,4% dari luas
Planet Bumi, tetapi mempunyai 60% keanekaragaman spesies darat. Pulau Sumatera adalah tempat
tinggal bagi lebih dari 10.000 spesies tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan spesies ini berada di hutan-hutan
dataran rendah. Pulau ini juga merupakan satu-satunya tempat di dunia dimana gajah, badak, harimau,
macan tutul, dan orangutan dapat ditemukan di tempat yang sama.
Kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati Pulau Sumatera tidak dapat terlepas
dari besarnya luasan hutan, utamanya hutan hujan tropis di Pulau Sumatera. Hutan Sumatera yang

III-1
tergolong dalam hutan hujan tropis ini terbagi dalam tiga wilayah besar diantaranya Taman Nasional
Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Keanekaragaman hayati Pulau Sumatera masuk dalam daftar salah satu warisan dunia oleh
UNESCO.Hal ini dikarenakan hutan di Sumatera merupakan Hutan Hujan Tropis yang berperan
sebagai Hutan Lindung dan didiami oleh sekitar 10.000 jenis tanaman, dimana 17 diantaranya
adalahflora endemik. Tidak hanya itu, lebih dari 200 spesies mamalia dan 580 spesies unggas aneka
warna dan bunyi suara juga berlindung di hutan lindung ini. Oleh sebab itu, kelestarian Hutan Hujan
Tropis ini harus senantiasa dijaga dari konversi lahan dan perburuan liar. Hal ini terutama bertujuan
untuk menjaga keseimbangan lingkungan, dan juga menjaga ketersediaan air bersih.
Kekayaan sumber daya alam Pulau Sumatera tidak hanya berasal dari sumber daya alam hayati
saja, namun juga terdapat berbagai kekayaan alam lain. Propinsi Aceh misalnya memiliki usaha
pertambangan umum yang telah dimulai sejak tahun 1900.. Daerah operasi minyak dan gas di bagian
utara dan timur meliputi daratan seluas 8.225,19 km² dan dilepas pantai Selat Malaka 38.122,68 km².
Sumatera Utara juga memiliki kekayaan tambang yang cukup besar. Sekurang-kurangnya terdapat 27
jenis barang tambang nonlogam (golongan C), 15 jenis barang tambang logam dan enam jenis
minyak,dan gas (migas) serta energi. Barang tambang nonlogam antara lain terdiri dari: batu gamping,
dolomite, pasir kuarsa, belerang, kaolin, diatomea dan bentonit. Sedangkan barang tambang logam
mencakup emas, perak, tembaga dan timah hitam. Sementara potensi migas dan energi antara lain
minyak bumi, gas alam dan panas bumi. Berbagai potensi pertambangan logam maupun non logam
juga terdapat di berbagai propinsi lain di Pulau Sumatera.
Pengembangan potensi wilayah di Pulau ini dapat dilakukan melalui berbagai bidang antara
lain: bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, pertambangan, pariwisata, dan lain-lain. Hal
ini dapat dikembangkan dengan baik karena didukung dengan kondisi fisik wilayah Sumatera, potensi
iklim, terutama curah hujan yang tinggi dan penyebarannya yang cukup merata sepanjang tahun, serta
kondisi tanahnya yang yang bervariasi, sehingga menjadikan lahan di Pulau Sumatra memiliki potensi
pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang besar. Keberadaan sumber-sumber air baik berupa sungai
waduk, danau, serta laut juga merupakan potensi besar dalam pengembangan perikanan di Pulau
Sumatera. Selain itu kondisi alam yang unik dan menarik juga merupakan potensi besar yang dapat
dimanfaatkan dalam mendukung pengembangan kepariwisataan Pulau Sumatera.
Ekoregion di Pulau Sumatera didominasi oleh Ekoregion Dataran Aluvial. Ekoregion Dataran
Aluvial memiliki luasan sebesar 8.302.423,63 hektar atau sekitar 17,47% dari keseluruhan luas Pulau
Sumatera. Ekoregion Dataran Aluvial sebagian besar terletak pada Provinsi Sumatera Selatan dengan

III-2
luasan ekoregion sebesar 2.129.659,89 hektar serta Provinsi Riau dengan luasan mencapai
2.057.454,99 hektar.Secara umum, pesebaran ekoregion ini mengikuti daerah aliran sungai baik yang
terletak di bagian barat maupun bagian timur Pulau Sumatera. Material utama penyusun ekoregion ini
adalah endapan alluvium yang berlapis-lapis, yang terdiri dari material pasir, debu, dan lempung relatif
seimbang. Komposisi endapan alluvium ini bervariasi, tergantung pada kondisi geologi di daerah hulu
yang terbentuk akibat aktivitas pengendapan sediman aliran sungai, hasil erosi tanah di daerah hulu
atau lereng atas. Material aluvium selanjutnya akan berkembang menjadi tanah aluvial.
Dominasi ekoregion selanjutnya yang terdapat di Pulau Sumatera berdasarkan Gambar 3.1 dan
Tabel 3.1 adalah Ekoregion Perbukitan Struktural Patahan. Ekoregion Perbukitan Struktural Patahan di
Pulau Sumatera memiliki luasan 8.059.151,42 hektar atau mencapai 16,96%. Persebaran ekoregion ini
paling besar terdapat di Provinsi Sumatera Barat dengan luasan 1.789.393,46 hektar dan Provinsi
Sumatera Utara yang luasannya mencapai 1.728.793,13 hektar. Ekoregion ini merupakan wilayah
perbukitan yang terbentuk karena tenaga endogen yang menekan lapisan kulit bumi secara vertikal,
sehingga lapisan terangkat dan patah (membentuk struktur patahan). Jenis tanah pada ekoregion ini
didominasi oleh tanah dengan bahan induk vulkan.

III-3
Gambar 3.1 Peta Ekoregion Pulau Sumatera

III-4
Ekoregion ketiga yang juga cukup mendominasi di Pulau Sumatera adalah Ekoregion Dataran
Gambut. Ekoregion Dataran Gambut di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar 7.097.065,09 hektar
atau sekitar 14,94% dari keseluruhan luas Pulau Sumatera. Persebaran Ekoregion ini yang paling
banyak terdapat di Provinsi Riau dengan luasan 3.639.389 hektar atau sekitar 14,94% dari keseluruhan
luas Pulau Sumatera. Ekoregion Lahan Gambut yang terdapat di Pulau Sumatera terbentuk seperti
halnya dengan proses pembentukan tanah gambut di pulau-pulau lain, yakni terbentuk dari timbunan
sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Ekoregion Lahan Gambut di
Pulau Sumatera umumnya menyebar di daerah cekungan rawa, yaitu memanjang pada sebelah timur
Pulau Sumatera, termasuk beberapa wilayah Provinsi Riau.
Selanjutnya Ekoregion keempat yang memiliki luasan cukup besar di Pulau Sumatera adalah
Ekoregion Perbukitan Struktural Lipatan. Di Pulau Sumatera Ekoregion ini memiliki luasan sebesar
6.388.510,24 hektar atau mencapai 13,45% dari keseluruhan ekoregion yang terdapat di Pulau
Sumatera. Bila dilihat dari pesebarannya, sebagian besar Ekoregion Perbukitan Struktural Lipatan
terletak di Provinsi Riau 1.579.918,11 hektar dan Provinsi Sumatera Selatan 1.546.000,09 hektar.
Perbukitan Struktural lipatan merupakan perbukitan yang tersusun oleh batuan intrusive dan batuan
sedimen yang sudah mengalami deformasi oleh tenaga tektonik, dengan membentuk struktur lipatan.
Tanah pada ekoregion ini umumnya didominasi oleh tanah latosol dan podsolik yang memiliki tingkat
kesuburan rendah hingga sedang.
Ekoregion kelima yang mendominasi di Pulau Sumatera adalah Ekoregion Pegunungan
Struktural Patahan. Luasan ekoregion ini di pulau Sumatera mencapai 5.982.245,9 hektar atau 12,59%
dari keseluruhan luasan Pulau Sumatera. Persebaran ekoregion ini di Pulau Sumatera paling banyak
terletak di Provinsi Aceh dengan luasan sebesar 2.546.144,91 hektar. Ekoregion ini merupakan
pegunungan yang terbentuk karena tenaga endogen yang menekan lapisan kulit bumi secara vertikal,
sehingga lapisan terangkat dan patah (membentuk struktur patahan). Ekoregion ini umumnya memiliki
lereng terjal (>45%). Jenis tanah pada ekoregion ini didominasi oleh tanah dengan bahan induk vulkan.
Ekoregion lain, menempati proporsi dari 0 hingga < 5% dari total keseluruhan luas wilayah
Pulau Sumatera. Meskipun tidak berada dalam proporsi yang mendominasi, setiap ekoregion
memberikan karakteristik bagi pembentukan jasa ekosistem di Pulau Sumatera.

3.2 Profil Tutupan Lahan


Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas relief atau topografi, iklim, tanah dan
air dan biotik seperti manusia, hewan, dan tumbuhan yang berkaitan dengan daya dukungnya terhadap
kehidupan dan kesejahteraan hidup manusia. Pengertian penggunaan lahan mempunyai makna yang
III-5
berbeda dengan liputan lahan. Istilah liputan lahan (penutup lahan) berkaitan dengan jenis kenampakan
yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada
bidang lahan tersebut. Pengetahuan tentang tutupan lahan penting untuk berbagai kegiatan perencanaan
dan pengelolahan lahan di permukaan bumi. Menurut Lillesand dan Kiefer (1979),
Dalam pembahasan tentang jasa ekosistem, land cover memiliki posisi penting untuk dibaca
dan cerminan potensi dari masing-masing jenis jasa ekosistem dikarenakan merupakan hasil akhir dari
setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang
bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual
(Arsyad, 1989). Landcover budidaya juga bentukan hasil kreasi interaksi bentang alam dan bentang
budaya, sehingga membentuk pola dan cirinya sendiri.
Pulau Sumatera terbagi menjadi sepuluh Provinsi. Provinsi yang memiliki luasan paling besar
adalah Provinsi Riau, sedangkan Provinsi yang luasannya paling kecil adalah Provinsi Kep. Riau.
Berdasarkan data tutupan lahan pada tabel dapat diketahui tutupan lahan yang dominan di Pulau
Sumatera. Tutupan lahan di Pulau sumatera yang paling mendominasi berupa tanaman semusim lahan
kering yang memiliki luasan 10.395.593,78 hektar atau sekitar 21,92% dari keseluruhan tutupan lahan
yang terdapat di Pulau Sumatera. Tutupan lahan jenis ini tersebar diseluruh Provinsi yang ada di
Sumatera dan pesebaran paling banyak berada di Provinsi Sumatera Utara dengan luasan 2.324.126,32
hektar. Selanjutnya untuk jenis tutupan lahan terbesar kedua di Pulau Sumatera adalah tutupan lahan
hutan yang berupa hutan tanaman dan hutan lahan tinggi. Masing-masinh tutupan lahan tersebut
memiliki luasan 7.312.583,68 hektar dan 7.147.800,19 hektar. Presentase luasan hutan tanaman adalah
15,42%, sedangkan presentase untuk hutan lahan tinggi adalah 15,07%. Tutupan lahan berupa hutan
tanaman sebagian besar terletak di Provinsi Riau. Sedangkan Hutan Lahan Tinggi terletak di Provinsi
Aceh. Berikutnya untuk tutupan lahan dominan yang ketiga berupa semak dan belukar. Luasan tutupan
lahan semak dan belukar di Pulau Sumatera adalah sebesar 4.364.002,42 hektar atau sekitar 9,20% dari
keseluruhan tutupan lahan yang terdapat di Sumatera. Sedangkan sebaran tutupan lahan ini yang paling
besar berada di Provinsi Riau dan Sumatera Selatan dengan masing-masing luasannya adalah
934.420,28 hektar dan 860.435,53 hektar.
Selanjutnya untuk tutupan lahan yang paling kecil luasannya berupa bangunan bukan
pemukiman dan lahan terbuka yang diusahakan. Luasan masing-masing tutupan lahan ini adalah
1.818,24 hektar dan 20.864,83 hektar. Selain tutupan lahan yang juga kecil luasannya adalah berupa
sabana dan waduk/danau. Masing-masing tutupan lahan ini memiliki luasan 56.240,96 hektar dan
28.071,44. Keempat jenis tutupan lahan tersebut memiliki luasan yang kurang dari 1%. Seluruh

III-6
Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera memiliki tutupan lahan yang bervariasi sesuai dengan
kenampakan alam dan perkembangan wilayahnya masing-masing.

III-7
Gambar 3.2. Peta Tutupan Lahan Ekoregion Pulau Sumatera

III-8
Tabel 3.2 Profil Tutupan Lahan Pulau Sumatera (Bagian 1)

KEP. BANGKA
ACEH BENGKULU JAMBI KEP. RIAU
TUTUPAN LAHAN BELITUNG
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Bangunan Bukan
Permukiman 268,00 0,00 16,36 0,00 129,67 0,00 110,64 0,01 484,11 0,06
Bangunan
Permukiman/Campur
an 96.450,53 1,70 70.376,22 3,54 103.377,88 2,10 49.857,80 3,01 44.670,78 5,80
Danau/Telaga 6.896,95 0,12 89,44 0,00 5.808,44 0,12 12,50 0,00 468,55 0,06
Hutan Lahan Rendah 590.573,81 10,39 154.395,79 7,78 490.385,51 9,97 150.654,60 9,08 175.003,01 22,73
Hutan Lahan Tinggi 2.451.585,83 43,12 580.527,35 29,24 709.783,60 14,44 2.947,77 0,18 12468,38 1,62
Hutan Mangrove 19.313,97 0,34 738,41 0,04 6.028,17 0,12 45.883,66 2,77 64.287,80 8,35
Hutan Rawa/Gambut 155.723,39 2,74 1.900,60 0,10 177.289,26 3,61 36.687,66 2,21 19.781,74 2,57
Hutan Tanaman 258.427,97 4,55 136.539,93 6,88 572.337,85 11,64 140.104,93 8,45 28.237,04 3,67
Kebun dan Tanaman
Campuran (Tahunan
dan Semusim) 108.174,03 1,90 484.657,65 24,41 302.215,11 6,15 328.577,69 19,81 32.628,19 4,24
Kolam Air
Asin/Payau 87.408,51 1,54 758,25 0,04 876,75 0,02 494,74 0,03 207,36 0,03
Lahan Terbuka 116.349,41 2,05 8.969,77 0,45 55.415,39 1,13 107.867,23 6,50 19.780,18 2,57
Lahan Terbuka
Diusahakan 0,00 0,00 0,00 13.518,19 0,81 0,00
Perkebunan 0,00 0,00 20.096,20 0,41 0,00 0,00
Rawa Pedalaman 16.281,53 0,29 1.189,19 0,06 186.359,62 3,79 133.909,16 8,07 10.773,59 1,40
Rawa Pesisir 3.222,88 0,06 37,61 0,00 0,00 45.777,87 2,76 10.895,78 1,42
Sabana 573,32 0,01 0,00 0,00 0,00 3,43 0,00 0,00
Semak dan Belukar 635.036,33 11,17 239.273,02 12,05 245.738,33 5,00 180.509,19 10,88 199.742,25 25,95
Sungai 13.797,90 0,24 1.907,97 0,10 30.510,47 0,62 2.628,74 0,16 1.191,39 0,15
Tanaman Semusim
Lahan Basah 376.834,24 6,63 103.180,37 5,20 126.473,10 2,57 6.756,16 0,41 4.961,99 0,64
Tanaman Semusim
Lahan Kering 747.444,44 13,15 200.672,31 10,11 1.883.796,78 38,31 406.033,39 24,48 143.011,17 18,58
Waduk dan Danau
Buatan 788,61 0,01 445,55 0,02 0,00 5.750,67 0,35 995,85 0,13
(blank) 439,50 0,01 0,00 0,00 610,11 0,04 224,28 0,03
Total 5.685.591,14 100,00 1.985.675,79 100,00 4.916.622,12 100,00 1.658.696,13 100,00 769.813,43 100,00

III-9
Lanjutan Tabel Profil Tutupan Lahan Pulau Sumatera (Bagian 1)

SUMATERA
LAMPUNG RIAU SUMATERA BARAT SUMATERA UTARA
TUTUPAN LAHAN SELATAN
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Bangunan Bukan
Permukiman 104,77 0,00 86,44 0,00 236,42 0,01 230,88 0,00 150,96 0,00
Bangunan
Permukiman/Campur
an 360.215,39 10,68 156.414,85 1,75 101.202,51 2,40 331.105,54 3,82 191.228,83 2,64
Danau/Telaga 549,89 0,02 10.199,03 0,11 23.020,23 0,55 15.051,94 0,17 114.092,75 1,58
Hutan Lahan Rendah 85.305,11 2,53 505.748,10 5,66 642.024,26 15,24 116.711,96 1,35 374.552,26 5,18
Hutan Lahan Tinggi 164.333,68 4,87 176.023,97 1,97 1.262.238,13 29,95 475.178,22 5,49 1.312.713,27 18,16
Hutan Mangrove 1.801,38 0,05 187.033,88 2,09 15.757,70 0,37 171.233,12 1,98 25.730,02 0,36
Hutan Rawa/Gambut 939,46 0,03 1.630.298,99 18,25 42.213,60 1,00 71.969,86 0,83 91.796,85 1,27
Hutan Tanaman 231.678,15 6,87 3.088.259,52 34,57 480.634,61 11,41 982.199,90 11,34 1.394.163,79 19,28
Kebun dan Tanaman
Campuran (Tahunan
dan Semusim) 21.046,20 0,62 374.019,95 4,19 105.558,39 2,50 2.456.452,07 28,36 90.546,93 1,25
Kolam Air
Asin/Payau 45.259,87 1,34 2.291,16 0,03 18,39 0,00 82.881,32 0,96 38.585,83 0,53
Lahan Terbuka 76.546,03 2,27 229.770,28 2,57 12.767,62 0,30 236.245,42 2,73 94.813,31 1,31
Lahan Terbuka
Diusahakan 0,00 7.346,64 0,08 0,00 0,00 0,00
Perkebunan 0,00 80.131,65 0,90 1.056,24 0,03 83.977,25 0,97 90.023,47 1,25
Rawa Pedalaman 188.164,55 5,58 129.289,20 1,45 21.507,17 0,51 967.673,13 11,17 8.825,27 0,12
Rawa Pesisir 62.419,32 1,85 26.066,73 0,29 4.289,51 0,10 3.134,32 0,04 3.433,52 0,05
Sabana 24.502,99 0,73 0,00 0,00 31.161,22 0,36 0,00
Semak dan Belukar 207.608,91 6,16 934.420,28 10,46 236.179,69 5,60 860.435,53 9,93 625.058,88 8,64
Sungai 6.037,40 0,18 40.968,85 0,46 2.229,88 0,05 39.545,53 0,46 18.164,12 0,25
Tanaman Semusim
Lahan Basah 284.740,94 8,45 155.695,62 1,74 333.260,07 7,91 764.997,63 8,83 432.374,41 5,98
Tanaman Semusim
Lahan Kering 1.606.787,90 47,66 1.191.430,25 13,34 928.571,95 22,04 963.719,27 11,13 2.324.126,32 32,14
Waduk dan Danau
Buatan 3347,93 0,10 7.742,37 0,09 1.175,67 0,03 7.761,46 0,09 63,33 0,00
(blank) 66,00 0,00 1,21 0,00 0,00 0,00 30,50 0,00 0,00
Total 3.371.455,87 100,00 8.933.238,95 100,00 4.213.942,05 100,00 8.661.696,07 100,00 7.230.444,13 100,00

III-10
BAB IV
PROFIL DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERBASIS JASA EKOSISTEM

4.1 Profil Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan

1. Profil dan Distribusi Jasa Ekosistem Penyediaan Menurut Ekoregion


Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap mahluk hidup untuk dapat
bertahan hidup. Hal ini membuat ketersediaan pangan di suatu wilayah merupakan hal
yang penting dan harus selalu terjamin ketersediaannya. Alam diciptakan terdiri dari
berbagai ekosistem yang juga memberikan bermacam-macam manfaat bagi mahluk
hidup. Salah satu manfaat ini adalah penyediaan bahan pangan, yakni segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati baik tumbuhan maupun hewan yang dapat diperuntukan
bagi konsumsi manusia.
Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki luasan
lahan besar. Lahan yang terdapat di Pulau Sumatera dapat dibagi menjadi beberapa
ekoregion sesuai dengan ciri-ciri dan kenampakan alamiah lahan tersebut. Masing-
masing ekoregion umumnya memiliki cirikhas yang berbeda termasuk dalam
penyediaan bahan pangan bagi manusia. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang
mampu menyediakan bahan pangan dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi,
sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi dalam menyediakan bahan pangan
memiliki luasan 11.819.769,63 hektar atau sekitar 24,92% dari keseluruhan lahan yang
terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang berpotensi sedang dalam penyediaan bahan
pangan memiliki luasan sebesar 9.193.194,01 hektar atau sekitar 19,38%. Sedangkan
lahan yang memiliki potensi rendah dalam penyediaan bahan pangan bagi manusia
memiliki luasan sebesar 26.414.212,06 hektar atau 55,69% dari keseluruhan lahan yang
terdapat di Pulau Sumatera.

Tabel 4.1 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 138.442,84 3,49 2.030.575,52 51,12 1.803.392,08 45,40
Dataran Fluvio Gunungapi 216.347,13 8,31 35.622,40 1,37 2.350.674,81 90,32
Dataran Fluviomarin 146.260,32 8,56 329.063,59 19,25 1.234.074,96 72,19
Dataran Kaki Gunungapi 427.606,24 12,44 1.052.207,97 30,61 1.957.652,70 56,95
Kaki Gunungapi 495.159,49 24,88 354.693,91 17,82 1.140.669,05 57,31

IV-1
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Kerucut dan Lereng
1.095.561,06 62,63 586.950,13 33,56 66.611,86 3,81
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 5.882.043,79 78,85 973.570,85 13,05 603.994,03 8,10
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 3.278.687,09 45,47 1.975.808,78 27,40 1.956.640,36 27,13
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
Pegunungan patahan 157.919,66 12,38 464.584,30 36,42 652.959,10 51,19
(Terban)
Pegunungan Denudasional 1.753.571,15 99,65 6.120,23 0,35 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 5.282.453,11 87,44 759.049,79 12,56 0,00 0,00
Pegunungan Patahan 2.621.579,95 99,06 24.767,81 0,94 0,00 0,00
Perbukitan Denudasional 81.498,11 99,61 321,64 0,39 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 3.125.466,49 97,09 93.538,04 2,91 0,00 0,00
Perbukitan Patahan 1.334.679,06 94,35 79.925,40 5,65 0,00 0,00
Pesisir (Coast) 372.206,90 53,35 292.623,34 41,94 32.870,25 4,71
Tubuh Air 4.729,69 2,98 133.770,31 84,28 20.230,43 12,75
Total 26.414.212,06 55,69 9.193.194,01 19,38 11.819.769,63 24,92

Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi terletak pada ekoregion
Dataran Fluvio Gunung Api, dan Dataran Fluviomarin. Dataran Fluvio Gunung Api
merupakan wilayah dengan topografi datar dan terbentuk dari proses pengendapan
fluvial. Material penyusun umumnya banyak dipengaruhi oleh hasil erupsi gunung api.
Proses perkembangan tanah tergolong cukup lanjut yang dapat membentuk tanah aluvial
dan tanah andosol. Kedua jenis tanah ini merupakan tanah yang subur dengan
kandungan hara tinggi. Hal ini membuat pemanfaatan daerah ini umumnya untuk
pertanian dan perkebunan dikarenakan tanahnya yang produktif. Sedangkan dataran
Fluviomarin material penyusunnya umumnya terdiri dari endapan aluvium-marin dari
hasil percampuran proses fluvial dengan proses marin. Ekoregion ini dapat menjadi jasa
penyediaan pangan khususnya perikanan. Lahan yang memiliki potensi rendah sebagian
besar terletak pada Ekoregion Pengunungan dan Perbukitan Denudasional, Pegunungan
Patahan, serta Perbukitan Lipatan.

Tabel 4.2 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 119.337,19 3,00 141.929,34 3,57 3.711.143,91 93,42
Dataran Fluvio Gunungapi 445,56 0,02 265.287,36 10,19 2.336.911,41 89,79
Dataran Fluviomarin 146.260,32 8,56 636.871,21 37,26 926.267,34 54,19
Dataran Kaki Gunungapi 427.606,24 12,44 1.223.083,29 35,58 1.786.777,39 51,98
Kaki Gunungapi 1.169.210,11 58,74 424.688,55 21,34 396.623,78 19,93

IV-2
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Kerucut dan Lereng
1.733.302,12 99,10 15.820,93 0,90 0,00 0,00
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 7.412.999,89 99,38 46.608,78 0,62 0,00 0,00
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 3.150.333,17 43,69 3.241.059,30 44,95 819.743,76 11,37
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
Pegunungan patahan 68.945,64 5,41 946.299,60 74,19 260.217,82 20,40
(Terban)
Pegunungan Denudasional 1.507.474,79 85,67 252.216,59 14,33 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 1.565.239,90 25,91 4.476.262,99 74,09 0,00 0,00
Pegunungan Patahan 778.343,25 29,41 1.868.004,51 70,59 0,00 0,00
Perbukitan Denudasional 68.056,32 83,18 13.763,43 16,82 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 2.131.371,46 66,21 1.084.702,99 33,70 2.930,07 0,09
Perbukitan Patahan 636.814,88 45,02 776.667,77 54,90 1.121,81 0,08
Pesisir (Coast) 669.044,43 95,89 28.656,06 4,11 0,00 0,00
Tubuh Air 2.593,67 1,63 8.578,33 5,40 147.558,43 92,96
Total 21.587.378,94 45,52 15.450.501,05 32,58 10.389.295,71 21,91

Selain bahan pangan hal lain yang juga merupakan kebutuhan utama bagi
manusia adalah ketersediaan air bersih. Air bersih juga merupakan salah satu manfaat
yang dapat diperoleh dari ekosistem. Secara alami, air bersih dapat berasal dari air
permukaan, seperti: sungai dan danau maupun berasal dari air tanah.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa penyediaan air bersih dengan baik maupun tidak. Secara umum di Pulau
Sumatera lahan yang mampu menyediakan air bersih dapat dibagi menjadi lahan
berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi dalam menyediakan
air bersih di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar 10.389.295,71 hektar atau sekitar
21,91% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki
potensi sedang dalam penyediaan air bersih memiliki luasan sebesar 15.450.501,05
hektar atau sekitar 32,58%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki
luasan sebesar 21.587.378,94 atau sebesar 45,52%.dari keseluruhan lahan yang terdapat
di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi terletak pada ekoregion
Dataran Aluvial, dan Dataran Fluvio Gunung Api. Dataran aluvial tersusun oleh
material aluvium yang mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan dukungan
morfologi yang datar. Kondisi seperti ini menyebabkan cadangan atau ketersediaan air
tanahnya relatif dangkal (< 10 m) yang membentuk reservoir air tanah atau cekungan
hidrogeologi. Dataran aluvial umumya juga memiliki sungan yang mengalir sepanjang

IV-3
tahun dengan debit aliran yang besar. Hal ini membuat Ekoregion Dataran Aluvial
memiliki ketersediaan air yang melimpah. Selanjutnya untuk Dataran Fluvio Gunung
Api juga memiliki potensi penyediaan air yang baik. Material piroklastik dengan
komposisi pasir, kerikil, dan kerakal merupakan kompisisi material yang memiliki
permeabilitas tinggi, sehingga membentuk akuifer yang potensial. Dukungan morfologi
datar hingga cekung pada ekoregion ini membentuk reservoir tanah atau cekungan
hidrogeologi. Disamping itu, pada tekuk-tekung lereng vulkanik biasanya muncul mata
air. Hal ini yang menjadikan Ekoregion Dataran Fluvio Gunung Api potensial sebagai
sumber penyedia air bersih. Lahan yang memiliki potensi rendah sebagian besar terletak
pada Ekoregion Kerucut dan Lereng Gunung Api, Lahan Gambut (Peat Land), dan
Pesisir (Coast).
Ekosistem juga menyediakan serat alami yang dapat berasal dari tumbuh-
tumbuhan, hewan, maupun proses geologis. Serat yang berasal dari sumber tersebut
dapat mengalami pelapukan. Serat alami dapat digolongkan ke dalam (1) serat
tumbuhan/serat pangan, (2) serat kayu, (3) serat hewan, dan (4) serat mineral, seperti
logam dan karbon.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa penyediaan serat (fiber) dengan baik maupun tidak. Secara umum di Pulau
Sumatera lahan yang mampu menyediakan serat (fiber) dapat dibagi menjadi lahan
berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi dalam menyediakan
serat (fiber) di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar 24.398.043,43 hektar atau
sekitar 51,44% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.

Tabel 4.3 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Serat (fiber)

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 1.883.221,27 47,41 0,00 0,00 2.089.189,16 52,59
Dataran Fluvio Gunungapi 1.538.844,07 59,13 0,00 0,00 1.063.800,27 40,87
Dataran Fluviomarin 782.267,69 45,76 424.780,90 24,85 502.350,27 29,39
Dataran Kaki Gunungapi 646.965,58 18,82 92.830,25 2,70 2.697.671,08 78,48
Kaki Gunungapi 230.521,47 11,58 1.140.601,29 57,30 619.399,68 31,12
Kerucut dan Lereng
226.979,58 12,98 672,89 0,04 1.521.470,58 86,98
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 5.810.654,85 77,89 1.648.953,82 22,11 0,00 0,00
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 1.338.981,98 18,57 98.233,25 1,36 5.773.920,99 80,07
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/ 776.300,43 60,86 12.273,54 0,96 486.889,09 38,17

IV-4
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.619.440,33 92,03 140.251,05 7,97 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 630.239,92 10,43 759.049,79 12,56 4.652.213,19 77,00
Pegunungan Patahan 236.595,82 8,94 377.233,69 14,25 2.032.518,25 76,80
Perbukitan Denudasional 74.942,96 91,60 0,00 0,00 6.876,79 8,40
Perbukitan Lipatan 579.179,93 17,99 990.703,65 30,78 1.649.120,94 51,23
Perbukitan Patahan 600.399,81 42,44 0,00 0,00 814.204,65 57,56
Pesisir (Coast) 145.891,73 20,91 63.390,30 9,09 488.418,47 70,00
Tubuh Air 158.641,65 99,94 88,79 0,06 0,00 0,00
Total 17.280.069,05 36,43 5.749.063,22 12,12 24.398.043,43 51,44

Lahan yang memiliki potensi sedang dalam penyediaan serat (fiber) memiliki
luasan sebesar 5.749.063,22 hektar atau sekitar 12,12%. Sedangkan lahan yang
memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar 17.280.069,05atau sebesar
36,43%.dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi terletak pada Ekoregion
Kerucut dan Lereng Gunung Api, Lembah antar perbukitan/Pegunungan Lipatan
(Intermountain Basin), dan Dataran Kaki Gunung Api. Ketiga ekoregion tersebut
merupakan wilayah yang didominasi oleh penggunaan lahan jenis hutan. Hutan
merupakan merupakan sumber untuk serat kayu atau tumbuhan. Hutan juga menjadi
habitat untuk berbagai hewan, sehingga mempunyai potensi untuk sumber serat hewan.
Sedangkan Lahan yang memiliki potensi rendah sebagian besar terletak pada Ekoregion
Pegunungan Denudasional, Perbukitan Denudasional, dan Lahan Gambut (Peat Land).

Tabel 4.4 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Energi

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 43,37 0,00 140.102,96 3,53 3.832.264,11 96,47
Dataran Fluvio Gunungapi 58,18 0,00 216.288,95 8,31 2.386.297,21 91,69
Dataran Fluviomarin 221.598,31 12,96 551.787,37 32,28 936.013,19 54,76
Dataran Kaki Gunungapi 35,55 0,00 347.156,27 10,10 3.090.275,09 89,90
Kaki Gunungapi 61.685,29 3,10 960.094,46 48,23 968.742,70 48,67
Kerucut dan Lereng Gunungapi 1.725.434,99 98,65 23.675,84 1,35 12,21 0,00
Lahan Gambut (Peat Land) 2.636.378,86 35,34 4.788.288,58 64,19 34.941,23 0,47
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 3.113.555,71 43,18 3.402.063,71 47,18 695.516,81 9,65
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
68.837,26 5,40 699.830,45 54,87 506.795,34 39,73
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 851.421,63 48,38 900.316,09 51,16 7.953,66 0,45
Pegunungan Lipatan 770.809,06 12,76 615.584,56 10,19 4.655.109,28 77,05
Pegunungan Patahan 10.168,21 0,38 578.305,32 21,85 2.057.874,23 77,76

IV-5
Perbukitan Denudasional 35.072,03 42,86 32.994,24 40,33 13.753,49 16,81
Perbukitan Lipatan 1.567.586,73 48,70 1.647.338,85 51,18 4.078,95 0,13
Perbukitan Patahan 349.106,77 24,68 262.725,87 18,57 802.771,82 56,75
Pesisir (Coast) 669.044,43 95,89 4.372,93 0,63 24.283,14 3,48
Tubuh Air 1.433,26 0,90 9.738,74 6,14 147.558,43 92,96
Total 12.082.269,63 25,48 15.180.665,18 32,01 20.164.240,88 42,52

Ekosistem memberikan manfaat penyediaan energi, baik yang berasal dari fosil
seperti minyak bumi dan batubara serta sumber energi alternatif yang berasal dari alam
seperti tenaga air mikro hidro, tenaga matahari dan tenaga angin serta panas bumi.
Selain itu, ekosistem juga menyediakan energi yang berasal dari bio massa minyak
tanaman seperti minyak sawit, minyak buah biji jarak. Hutan dan berbagai macam
tanaman kayu-kayuan juga memberikan sumbangan terhadap sumber energi.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa penyediaan energi dengan baik maupun tidak. Secara umum di Pulau Sumatera
lahan yang mampu menyediakan energi dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi,
sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi dalam menyediakan energi di Pulau
Sumatera memiliki luasan sebesar 20.164.240,88 hektar atau sekitar 42,52% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang dalam penyediaan energi memiliki luasan sebesar 15.180.665,18 hektar atau
sekitar 32,01%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar
12.082.269,63atau sebesar 25,48%.dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi penyediaan energi tinggi terletak
pada ekoregion Dataran Aluvial dan Fluvio Gunung Api. Dataran Aluvial yang relatif
datar, memiliki intensitas dan luasan penyinaran matahari relatif tinggi. Hal ini dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. Sedangkan pada
Ekoregion Dataran Fluvio Gunung Api umumnya juga terdapat hutan. Hutan
merupakan penyedia energi terutama dari hasil hutan seperti kayu atau ranting.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi penyediaan energi rendah terletak pada
ekoregion kerucut dan lereng gunung api serta pesisir (coast).

IV-6
Tabel 4.5 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Penyediaan Sumber Daya Genetik

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 259.563,04 6,53 115,43 0,00 3.712.731,97 93,46
Dataran Fluvio Gunungapi 251.969,53 9,68 0,00 0,00 2.350.674,81 90,32
Dataran Fluviomarin 146.260,32 8,56 13.005,87 0,76 1.550.132,68 90,68
Dataran Kaki Gunungapi 427.606,24 12,44 0,00 0,00 3.009.860,67 87,56
Kaki Gunungapi 67.214,69 3,38 1.101.964,89 55,36 821.342,87 41,26
Kerucut dan Lereng Gunungapi 774.416,79 44,27 271.360,71 15,51 703.345,55 40,21
Lahan Gambut (Peat Land) 2.118.590,20 28,40 3.479.746,98 46,65 1.861.271,49 24,95
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan
378.521,65 5,25 5.913.429,01 82,00 919.185,57 12,75
Lipatan (Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
68.778,43 5,39 791.127,46 62,03 415.557,17 32,58
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 162.916,09 9,26 1.263.474,48 71,80 333.300,81 18,94
Pegunungan Lipatan 80.547,59 1,33 1.236.791,28 20,47 4.724.164,03 78,20
Pegunungan Patahan 12.321,11 0,47 576.152,42 21,77 2.057.874,23 77,76
Perbukitan Denudasional 12.613,95 15,42 49.001,51 59,89 20.204,29 24,69
Perbukitan Lipatan 91.877,07 2,85 1.723.596,96 53,54 1.403.530,49 43,60
Perbukitan Patahan 23.328,10 1,65 580.844,69 41,06 810.431,67 57,29
Pesisir (Coast) 32.767,18 4,70 400.829,45 57,45 264.103,87 37,85
Tubuh Air 2.593,67 1,63 16.423,29 10,35 139.713,48 88,02
Total 4.911.885,65 10,36 17.417.864,43 36,73 25.097.425,63 52,92

Ekosistem menyediakan beragam sumber daya genetik yang melimpah dan


bernilai ekonomis dan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Sumberdaya genetik
berhubungan erat dengan keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna, dimana
keanekaragaman hayati yang tinggi akan diikuti dengan sumber daya genetik yang
melimpah. Ketersediaan dan distribusi sumberdaya genetik ditentukan oleh tipe
ekosistem, yaitu ekoregion bentangalam dan penutup lahan khususnya areal bervegetasi.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa penyediaan sumber daya genetik dengan baik maupun tidak. Secara umum di
Pulau Sumatera lahan yang mampu menyediakan sumber daya genetik dapat dibagi
menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi
dalam menyediakan energi di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar 25.097.425,63
hektar atau sekitar 52,92% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Lahan yang memiliki potensi sedang dalam penyediaan energi memiliki luasan sebesar
17.417.864,43 hektar atau sekitar 36,73%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi
rendah memiliki luasan sebesar 4.911.885,65atau sebesar.10,36%dari keseluruhan lahan
yang terdapat di Pulau Sumatera.

IV-7
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam penyediaan sumber
daya genetik terletak pada ekoregion Dataran Aluvial, Dataran Fluvio Gunung Api, dan
Dataran Fluvio Marin. Dataran Aluvial dan Dataran Fluvio Gunung Api merupakan
wilayah yang subur dan banyak terdapat vegetasi. Wilayah yang banyak memiliki
tutupan lahan berupa vegetasi umumnya juga akan memiliki keanekaragaman fauna.
Sedangkan Dataran Fluvio Marin merupakan wilayah potensial penyedia sumber daya
genetik yang berasal dari laut. Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah
dalam penyediaan sumber daya genetik terletak pada ekoregion Kerucut dan Lereng
Gunung Api.

2. Profil Distribusi Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan


Menurut Provinsi

Tabel 4.6 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 4.102.228,12 72,15 585.529,51 10,30 997.833,52 17,55
BENGKULU 1.231.992,34 62,04 273.584,76 13,78 480.098,69 24,18
JAMBI 2.142.156,22 43,57 1.085.775,68 22,08 1.688.690,23 34,35
KEP. BANGKA BELITUNG 1.614.999,73 97,40 36.095,12 2,18 6.991,19 0,42
KEP. RIAU 540.655,08 70,20 134.907,33 17,52 94.636,86 12,29
LAMPUNG 1.163.695,93 34,51 632.978,14 18,77 1.574.940,08 46,71
RIAU 5.747.768,60 64,34 1.860.068,09 20,82 1.325.467,05 14,84
SUMATERA BARAT 2.884.520,56 68,45 611.421,66 14,51 718.001,04 17,04
SUMATERA SELATAN 3.249.756,59 37,52 2.458.207,82 28,38 2.953.701,16 34,10
SUMATERA UTARA 3.736.438,89 51,68 1.514.625,92 20,95 1.979.409,82 27,38

Berdasarkan data pada tabel 4.6 dan gambar 4.1 dapat diketahui potensi
penyediaan pangan pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera.
Provinsi yang memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi dalam
penyediaan pangan adalah Provinsi Lampung dengan presentase 46,71% atau
1.574.940,08 hektar. Provinsi kedua dan ketiga yang juga memiliki presentase lahan
potensial atau paling tinggi dalam penyediaan pangan adalah Provinsi Jambi (34,35%)
dan Provinsi Sumatera Selatan (34,10%). Masing-masing luasannya adalah
1.688.690,23 hektar dan 2.953.701,16 hektar. Bila dilihat dari tutupan lahan yang
dominan, Provinsi Lampung didominasi oleh tutupan lahan berupa tanaman semusim
lahan kering atau penggunaan lahannya adalah pertanian yang mencapai 47,66% dari
keseluruhan penggunaan lahan di Provinsi Lampung. Hal yang sama juga nampak di

IV-8
Provinsi Jambi, dimana tutupan lahan berupa tanaman semusim lahan kering mencapai
38,31%. Sedangkan di Provinsi Sumatera Selatan tutupan lahan yang dominan berupa
kebun dan tanaman campuran yang presentasenya mencapai 28,36% dari keseluruhan
penggunaan lahan di Sumatera Selatan. Luasnya penggunaan lahan untuk perkebunan
dan pertanian pada ketiga Provinsi tersebut merupakan faktor utama yang mendukung
tingginya kemampuan penyediaan pangan pada ketiga Provinsi tersebut.

IV-9
Gambar 4.1 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan

IV-10
Selanjutnya, untuk Provinsi yang memiliki kemampuan penyediaan pangan yang
rendah terletak pada Provinsi Kep. Bangka Belitung yang presentase lahan penyediaan
pangan rendahnya mencapai 1.614.999,73 hektar atau sekitar 97,40% dari keseluruhan
lahan yang tersedia. Bila dilihat dari ekoregian yang ada di wilayah ini, sebesar 90,68%
adalah Ekoregion Pegunungan Denudasional. Material dominan ekoregion ini adalah
batuan-batuan beku gunung berapi tua yang telah megalami pelapukan tingkat lanjut,
dan batuan sedimen berupa batu gamping napal. Morfologi berbukit dengan lereng
curam, dan proses denudasional yang dicirikan oleh tingkat pelapukan batuan yang telah
berlanjut, erosi lereng, dan gerakan massa batuan sangat potensial terjadi. Tanah pada
wilayah ekoregion ini adalah jenis tanah podsolik dan latosol yang mudah mengalami
longsor ketika kejenuhan tanahnya sudah tinggi.

Tabel 4.7 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.564.139,18 27,51 3.236.827,53 56,93 884.624,44 15,56
BENGKULU 736.430,26 37,09 733.786,36 36,95 515.459,17 25,96
JAMBI 2.270.547,84 46,18 1.664.022,76 33,84 982.051,52 19,97
KEP. BANGKA BELITUNG 1.471.682,62 88,76 163.722,81 9,87 22.680,61 1,37
KEP. RIAU 477.768,26 62,03 237.917,59 30,89 54.513,42 7,08
LAMPUNG 1.294.719,29 38,40 1.205.193,78 35,75 871.701,08 25,85
RIAU 5.146.916,02 57,61 1.758.485,86 19,68 2.027.901,86 22,70
SUMATERA BARAT 1.485.269,06 35,25 2.110.058,55 50,07 618.615,65 14,68
SUMATERA SELATAN 3.742.491,41 43,21 2.022.342,38 23,35 2.896.831,78 33,44
SUMATERA UTARA 3.397.415,01 46,99 2.318.143,43 32,06 1.514.916,19 20,95

Air bersih merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga ketersediaannya


menjadi penting. Ketersediaan recharge area di suatu daerah akan menjaga stabilitas
pasokan air. Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu memiliki kawasan hutan yang
cukup luas, meskipun hutan bukan merupakan penggunaan lahan yang dominan pada
kedua Provinsi tersebut. Bila dilihat dari ekoregionnya, Provinsi Sumatera Selatan
17,32% wilayahnya adalah Ekoregion Dataran Kaki Gunung Api dan 15,87%

IV-11
Gambar 4.2 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih

IV-12
wilayahnya merupakan Ekoregion Dataran Fluvio Vulkan. Kedua ekoregion
tersebut merupakan wilayah yang subur dengan hutan yang masih lebat. Sedangkan
Provinsi Bengkulu, 31% wilayahnya merupakan pegunungan patahan yang juga
memiliki kawasan hutan yang masih lebat. Meskipun begitu, Provinsi Bemgkulu juga
memiliki cukup banyak wilayah yang penyediaan air bersihnya rendah.
Selanjutnya, untuk wilayah yang memilki potensi penyediaan air bersih rendah
banyak tersebar di wilayah Sumatera bagian Barat, terutama di Provinsi Kep. Bangka
Belitung. Presentase lahan yang berpotensi rendah pada Provinsi ini mencapai 88,76%
atau seluas 1.471.682,62 hektar. Meskipun luasanya masih kalah disbanding Provinsi
lainnya, namun hamper semua wilayah Kep. Bangka Belitung memiliki potensi yang
rendah dalam penyediaan air bersih. Hal ini terutama disebabkan oleh wilayah Kep.
Bangka Belitung yang sebagian merupakan Pegunungan Denudasional. Pada ekoregion
ini air tanah cukup sulit didapatkan, kecuali pada lembah-lembah sempit yang ada
itupun dalam jumlah yang sangat terbatas. Umumnya air tanah dijumpai dalam bentuk
rembesan diantara lapisan batuan yang telah lapuk di bagian atas dan lapisan batuan
yang masih padu dibagian bawah, atau dalam bentuk mata air kontak yang terpotong
lereng pada tekuk-tekuk lereng atau lereng kaki, dengan debit aliran air yang umumnya
relatif kecil.
Tabel 4.8 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Serat

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.576.108,02 27,72 466.811,76 8,21 3.642.671,36 64,07
BENGKULU 413.714,82 20,83 164.891,39 8,30 1.407.069,58 70,86
JAMBI 1.791.064,26 36,43 505.893,36 10,29 2.619.664,50 53,28
KEP. BANGKA BELITUNG 1.463.035,96 88,24 149.139,57 8,99 45.910,51 2,77
KEP. RIAU 430.464,25 55,89 46.383,34 6,02 293.351,68 38,09
LAMPUNG 1.283.426,84 38,07 465.839,74 13,82 1.622.347,56 48,12
RIAU 3.973.764,93 44,48 1.223.296,92 13,69 3.736.241,89 41,82
SUMATERA BARAT 759.710,51 18,03 788.776,83 18,72 2.665.455,92 63,25
SUMATERA SELATAN 3.793.493,85 43,80 466.282,11 5,38 4.401.889,61 50,82
SUMATERA UTARA 1.795.285,61 24,83 1.471.748,21 20,35 3.963.440,82 54,82

IV-13
Gambar 4.3 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Serat

IV-14
Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi penyediaan serat pada
masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang memiliki
presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi dalam penyediaan serat adalah
Provinsi Bengkulu dengan presentase 70,86% atau lahan seluas 1.407.069,58 hektar.
Provinsi berikutnya yang juga memiliki presentase besar lahan penyedia serat adalah
Provinsi Aceh (64,0%) dan Provinsi Sumatera Barat (63,25%). Masing-masing
luasannya adalah 3.642.671,36 hektar di Provinsi Aceh dan 2.665.455,92 hektar di
Provinsi Sumatera Barat. Provinsi Bengkulu memiliki kawasan hutan yang cukup luas,
meskipun hutan bukan merupakan penggunaan lahan yang dominan. Hutan merupakan
salah satu sumber penyedia serat alami. Provinsi Aceh juga memiliki luasan hutan yang
besar, yakni mencapai 53,51% (hutan lahan rendah dan hutan lahan tinggi). Dari
keseluruhan penggunaan lahan di Aceh, hutan merupakan bentuk penggunaan lahan
yang paling dominan. Hal yang sama juga nampak di Sumatera Barat yang juga
memiliki potensi tinggi dalam penyediaan serat. Luas kawasan hutan lahan rendah dan
lahan tinggi di Provinsi ini mencapai 45,19% dari keseluruhan penggunaan lahan yang
ada di Provinsi Sumatera Barat.
Selanjutnya, untuk Provinsi yang memiliki presentase terbesar lahan potensi
rendah dalam penyediaan serat adalah Provinsi adalah Kep. Bangka Belitung (88,24%).
Sebagian besar lahan di Provinsi ini, yakni seluas 1.463.035,96 hektar berpotensi rendah
dalam penyediaan serat. Luasan lahan hutan di Provinsi ini hanya sekitar 153.602,37
hektar saja. Jumlah ini cukup rendah jika dibandingkan dengan luasan hutan di sebagian
besar Provinsi di Pulau Sumatera. Selain itu, seperti yang dijelaksan sebelumnya bahwa
sebagian besar wilayah Kep. Bangka Belitung masuk dalam ekoregion Pegunungan
Denudasional (90,68%). Provinsi lain yang memiliki luasan lahan berpotensi rendah
cukup besar adalah Provinsi Riau. Luasan lahan berpotensi rendah di Provinsi ini
mencapai 3.973.764,93 hektar (44,48%). Sebenarmya Provinsi Riau memiliki lahan
berpotensi rendah dan tinggi yang cukup berimbang. Wilayah dengan lahan potensi
rendah yang luas terutama terletak di Provinsi Riau bagian barat yang juga didominasi
oleh kenampakan ekoregion Pegunungan Denudasional.

IV-15
Gambar 4.4 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Energi

IV-16
Tabel 4.9 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Energi

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 953.725,27 16,77 1.098.778,15 19,33 3.633.087,73 63,90
BENGKULU 373.070,80 18,79 515.468,54 25,96 1.097.136,45 55,25
JAMBI 1.516.176,63 30,84 1.590.012,24 32,34 1.810.433,25 36,82
KEP. BANGKA BELITUNG 835.931,41 50,42 780.263,99 47,06 41.890,63 2,53
KEP. RIAU 420.498,81 54,60 291.518,59 37,85 58.181,86 7,55
LAMPUNG 628.654,17 18,65 824.292,51 24,45 1.918.667,47 56,91
RIAU 2.152.267,25 24,09 4.389.024,18 49,13 2.392.012,31 26,78
SUMATERA BARAT 904.880,01 21,47 911.534,16 21,63 2.397.529,09 56,90
SUMATERA SELATAN 2.139.068,22 24,70 2.594.494,03 29,95 3.928.103,32 45,35
SUMATERA UTARA 2.157.997,07 29,85 2.185.278,80 30,22 2.887.198,77 39,93

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi penyediaan energi pada
masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang memiliki
presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi dalam penyediaan energi
adalah Provinsi Aceh dengan presentase 63,90% atau luasan 3.633.087,73 hektar.
Sedangkan Provinsi berikutnya yang memiliki lahan potensi tinggi dalam penyediaan
energi adalah Provinsi Lampung (56,91%) dan Provinsi Sumatera Barat (56,90%).
Luasan lahan berpotensi tinggi di Lampung adalah 1.918.667,47 hektar dan di Provinsi
Sumatera Barat mencapai 2.397.529,09 hektar. Provinsi Aceh memiliki luasan hutan
yang besar, yakni mencapai 53,51% (hutan lahan rendah dan hutan lahan tinggi). Hal ini
disebabkan karena kayu dan ranting dari kawasan hutan dapat menjadi sumber energi
bagi kegiatan domestik masyarakat. Hal yang sama juga nampak di Provinsi Sumatera
Barat. Luas kawasan hutan lahan rendah dan lahan tinggi di Provinsi ini mencapai
45,19% dari keseluruhan penggunaan lahan yang ada di Provinsi Sumatera Barat.
Sedangkan Provinsi Lampung bila dilihat dari kondisi ekoregionnya didominasi oleh
Dataran Kaki Gunung Api, yakni mencapai 46,94%. Secara genetik ekoregion ini
memiliki bahan piroklastik yang dapat ditambang sebagai bahan galian golongan C.
Selanjutnya, Provinsi yang memiliki presentase lahan potensi rendah cukup
besar adalah Provinsi Kep Riau dengan presentase 54,60% atau luasan 420.498,81 dan
Kep. Bangka Belitung dengan presentase 50,42% dan luasan 835.931,41 hektar. Kedua
Provinsi tersebut sebenarnya memiliki luasan yang kecil dibandingkan Provinsi lain.
Namun, sebagian besar wilayahnya berpotensi rendah. Sedangkan Provinsi yang
memiliki luasan lahan potensi rendah paling besar adalah Provinsi Sumatera Utara yang
luasnya mencapai 2.157.997,07 hektar. Meskipun begitu lahan potensi rendah di

IV-17
Sumatera Utara ini hanya memilki presentase 29,85% dari keseluruhan luasan lahan di
Sumatera Utara.

Tabel 4.10 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Penyediaan Sumber Daya Genetik
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 260.170,59 4,58 1.218.309,30 21,43 4.207.111,25 74,00
BENGKULU 111.692,13 5,62 402.265,80 20,26 1.471.717,86 74,12
JAMBI 445.213,13 9,06 2.388.775,86 48,59 2.082.633,13 42,36
KEP. BANGKA BELITUNG 171.357,30 10,33 1.220.857,52 73,63 265.871,22 16,03
KEP. RIAU 65.545,18 8,51 426.075,34 55,32 278.578,75 36,17
LAMPUNG 618.163,10 18,33 767.564,44 22,77 1.985.886,60 58,90
RIAU 964.546,75 10,80 3.774.080,32 42,25 4.194.676,66 46,96
SUMATERA BARAT 193.173,53 4,58 1.325.603,71 31,46 2.695.166,02 63,96
SUMATERA SELATAN 1.372.690,12 15,85 3.022.599,21 34,90 4.266.376,24 49,26
SUMATERA UTARA 709.333,82 9,81 2.871.732,92 39,72 3.649.407,89 50,47

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi penyediaan sumber daya
genetik pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang
memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi dalam penyediaan
sumber daya genetik adalah Provinsi Aceh dengan presentase 74% atau seluasr
4.207.111,25 hektar. Provinsi lain yang juga sebagian besar wilayahnya memiliki
potensi tinggi dalam penyediaan sumber daya genetic adalah Provinsi Bengkulu dengan
presentase 74,12% atau seluas 1.471.717,86 hektar. Luasan ini memang tidak terlalu
besar, namun sebagian besar wilayah Provinsi Bengkulu memiliki potensi yang tinggi
dalam penyediaan sumber daya genetik.

IV-18
Gambar 4.5 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Sumber Daya Genetik

IV-19
Sumberdaya genetik berhubungan erat dengan keanekaragaman hayati baik flora
maupun fauna, dimana keanekaragaman hayati yang tinggi akan diikuti dengan sumber
daya genetik yang melimpah. Ketersediaan dan distribusi sumberdaya genetik
ditentukan oleh tipe ekosistem, yaitu ekoregion bentangalam dan penutup lahan
khususnya areal bervegetasi. Provinsi Aceh sebagai Provinsi yang memiliki luasan
terbesar penyedia sumber daya genetik didukung oleh luasan kawasan hutan yang
mencapai 3.042.159,64 hektar (hutan lahan tinggi dan lahan rendah). Kawasan hutan
merupakan habitat bagi berbagai macam jenis flora dan fauna. Sedangkan Provinsi
Bengkulu sebagian besar lahannya merupakan lahan bervegetasi baik berupa kawasan
hutan yang mencapai 37,01% maupun perkebunan yang mencapai 24,41%.
Provinsi di Pulau Sumatera juga ada yang memiliki lahan potensi rendah dalam
penyediaan sumber daya genetik. Diantaranya adalah Provinsi Lampung yang memiliki
luasan lahan potensi rendah sebesar 618.163,10 hektar atau 18,33% dari keseluruhan
wilayah Lampung serta Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki luasan lahan potensi
rendah sebesar 1.372.690,12 hektar atau mencapai 15,85% dari keseluruhan
wilayahnya. Meskipun begitu kedua Provinsi ini masih didominasi oleh lahan
berpotensi tinggi dalam penyediaan sumber daya genetik

3. Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyediaan Menurut


Ekoregion dan Provinsi

Tubuh Air
Perbukitan Patahan
Perbukitan Denudasional
SD GENETIK
Pegunungan Lipatan
ENERGI
Lembah antar Perbukitan/…
SERAT
Lahan Gambut (Peat Land)
AIR BERSIH
Kaki Gunungapi
PANGAN
Dataran Fluviomarin
Dataran Aluvial
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Gambar 4.6 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Penyediaan

IV-20
Tabel 4.11 Indeks Jasa Ekosistem Penyediaan Menurut Ekoregion

Indeks Daya Dukung


Rata-
Ekoregion Air
Pangan Serat Energi Genetik rata
bersih
Dataran Aluvial 1,05 0,78 1,68 0,86 0,86 1,04
Dataran Fluvio Gunungapi 1,18 0,75 1,43 0,84 0,77 1,00
Dataran Fluviomarin 1,54 0,80 1,25 0,76 0,90 1,05
Dataran Kaki Gunungapi 1,23 0,69 1,46 0,77 0,74 0,98
Kaki Gunungapi 1,51 0,78 1,43 0,73 0,91 1,07
Kerucut dan Lereng Gunungapi 1,28 1,10 1,52 0,87 1,43 1,24
Lahan Gambut (Peat Land) 1,05 0,80 1,50 0,88 1,03 1,05
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan
1,05 0,81 1,64 0,86 0,98
Lipatan (Intermountain Basin) 1,07
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan
1,48 0,78 1,42 0,80 0,96
patahan (Terban) 1,09
Pegunungan Denudasional 1,02 0,80 1,37 0,87 1,05 1,02
Pegunungan Lipatan 1,07 1,49 1,69 1,06 2,05 1,47
Pegunungan Patahan 1,09 1,45 1,69 1,06 2,00 1,46
Perbukitan Denudasional 1,01 0,82 1,42 0,89 1,13 1,05
Perbukitan Lipatan 1,20 1,01 1,51 0,91 1,35 1,20
Perbukitan Patahan 1,30 1,20 1,50 1,03 1,70 1,35
Pesisir (Coast) 1,06 0,86 1,32 0,87 1,27 1,08
Tubuh Air 1,28 2,19 0,56 1,42 1,25 1,34

Berdasarkan pada tabel dapat diketahui nilai indeks jasa ekosistem penyediaan
pada masing-masing ekoregion di Pulau Sumatera. Nilai indeks tertinggi pada
penyediaan pangan terdapat pada ekoregion Dataran Fluvio Marin dengan nilai indeks
sebesar 1,54. Ekoregion Dataran Fluviomarin material penyusunnya umumnya terdiri
dari endapan aluvium-marin dari hasil percampuran proses fluvial dengan proses marin.
Ekoregion ini dapat menjadi jasa penyediaan pangan khususnya perikanan. Selanjutnya
ekoregion yang juga memiliki nilai tinggi dalam penyediaan pangan adalah Ekoregion
Kaki Gunung Api dengan nilai indeks sebesar 1,51. Ekoregion ini material penyusun
umumnya banyak dipengaruhi oleh hasil erupsi gunung api. Proses perkembangan tanah
tergolong cukup lanjut yang dapat membentuk tanah aluvial dan tanah andosol. Kedua
jenis tanah ini merupakan tanah yang subur dengan kandungan hara tinggi. Hal ini
membuat pemanfaatan daerah ini umumnya untuk pertanian dan perkebunan
dikarenakan tanahnya yang produktif.
Selanjutnya untuk penyediaan air bersih ekoregion yang memiliki nilai indeks
tertinggi adalah Pegunungan Lipatan dan Pegunungan Patahan. Maing-masing nilai
indeksnya adalah 1,49 dan 1,45. Kedua ekoregion ini terbentuk dari asal proses

IV-21
struktural. Wilayah ini memiliki ketersediaan air yang baik berasal dari air permukaan
maupun air tanah. Aliran sungai mengalir sepanjang tahun dan mata air banyak
dijumpai di daerah-daerah tekuk lereng. Selain sebagai penyedia air yang baik. Kedua
ekoregion ini juga merupakan penyedia serat (fiber) yang baik. Wilayah ekoregion ini
sebagian besar masih berhutan dan masih terjaga secara alami.
Ekoregion yang mampu menyediakan sumber daya genetik yang baik adalah
tubuh air dengan nilai indek mencapai 1,42. Air disamping merupakan sumber
kehidupan, tetapi juga merupakan sumber energi yang potensial. Keberadaan air yang
melimpah juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga air. Selanjutnya,
ekoregion yang memiliki indeks tinggi dalam penyediaan sumber daya genetik adalah
Pegunungan Lipatan dan Pegunungan Lipatan dengan nilai indeks masing-masing
adalah 2.05 dan 2,00. Kawasan Hutan pada kedua ekoregion tersebut merupakan
penyedia energi terutama dari hasil hutan seperti kayu atau ranting.

SUMATERA UTARA
SUMATERA SELATAN
SUMATERA BARAT
RIAU SD Genetik

LAMPUNG Energi

KEP. RIAU Serat


KEP. BANGKA BELITUNG Air Bersih
JAMBI Pangan
BENGKULU
ACEH

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

Gambar 4.7 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Penyediaan


Menurut Provinsi

IV-22
Tabel 4.12 Indeks Jasa Ekosistem Penyediaan Menurut Provinsi

Indeks Daya Dukung


Provinsi Komposit
Pangan Air Bersih Serat Energi Genetik
ACEH 1,17 1,28 1,55 0,98 1,72 1,34
BENGKULU 1,08 1,10 1,62 0,99 1,44 1,25
JAMBI 1,28 0,94 1,51 0,86 1,21 1,16
KEP. BANGKA BELITUNG 1,03 0,76 1,35 0,85 0,98 0,99
KEP. RIAU 1,01 0,89 1,29 0,86 1,29 1,07
LAMPUNG 1,43 0,70 1,14 0,65 0,79 0,94
RIAU 0,90 0,84 1,76 0,92 1,12 1,11
SUMATERA BARAT 1,28 1,21 1,63 0,97 1,57 1,33
SUMATERA SELATAN 1,10 0,83 1,45 0,91 0,96 1,05
SUMATERA UTARA 1,27 0,97 1,56 0,84 1,17 1,16

Selanjutnya, bila dilihat menurut Provinsi, jasa ekosistem penyediaan pangan


paling banyak disediakan oleh Provinsi Lampung dengan nilai indeks 1,43. Provinsi
Lampung memiliki lahan dataran subur yang cukup luas dan digunakan untuk pertanian,
sehingga mampu menjadi penyedia pangan. Jasa penyedia air bersih terbesar di Provinsi
Sumatera adalah Provinsi Aceh (1,28). Selain itu, Provinsi Aceh juga merupakan
Provinsi yang menjadi penyedia sumber daya genetik terbesar (1,72). Hal ini tidak
terlepas dari luasnya kawasan hutan yang ada di Provinsi Aceh. Hutan merupakan
sumber utama pendukung ketersediaan air bersih dan juga sumber daya genetik yang
berupa flora dan fauna. Sedangkan untuk penyedia serat dan Energi yang paling baik
secara berurutan adalah Provinsi Riau (1,76) dan Provinsi Bengkulu (0,99).

4.2 Profil Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Budaya

Tabel 4.13 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem


Budaya Tempat Tinggal dan Ruang Hidup

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 43,37 0,00 1.703,49 0,04 3.970.663,58 99,96
Dataran Fluvio Gunungapi 58,18 0,00 13.763,40 0,53 2.588.822,76 99,47
Dataran Fluviomarin 94.990,83 5,56 530.366,84 31,03 1.084.041,19 63,42
Dataran Kaki Gunungapi 35,55 0,00 1.914,33 0,06 3.435.517,03 99,94
Kaki Gunungapi 151.755,91 7,62 1.777.106,01 89,28 61.660,53 3,10
Kerucut dan Lereng Gunungapi 1.749.123,04 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Lahan Gambut (Peat Land) 7.332.486,97 98,30 0,00 0,00 127.121,70 1,70
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan (Intermountain 3.873,95 0,05 3.260.843,30 45,22 3.946.418,98 54,73
Basin)
Lembah antar Perbukitan/ 92,89 0,01 424.938,02 33,32 850.432,14 66,68

IV-23
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.710.326,09 97,19 49.365,29 2,81 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 6.024.319,28 99,72 17.183,61 0,28 0,00 0,00
Pegunungan Patahan 2.636.179,55 99,62 10.168,21 0,38 0,00 0,00
Perbukitan Denudasional 78.809,42 96,32 3.010,33 3,68 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 2.273.979,17 70,64 897.165,62 27,87 47.859,74 1,49
Perbukitan Patahan 1.393.469,25 98,51 21.135,21 1,49 0,00 0,00
Pesisir (Coast) 528.248,96 75,71 151.162,01 21,67 18.289,52 2,62
Tubuh Air 3.296,43 2,08 154.000,74 97,02 1.433,26 0,90
Total 23.981.088,85 50,56 7.313.826,41 15,42 16.132.260,44 34,01

Ekosistem memberikan manfaat positif bagi manusia khususnya ruang untuk


tinggal dan hidup sejahtera. Ruang hidup ini didukung oleh kemampuan dan kesesuaian
lahan yang tinggi sehingga memberikan dukungan kehidupan baik secara sosial,
ekonomi maupun budaya. Jasa ekosistem sebagai tempat tinggal dan ruang hidup secara
sosial sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik dan geografis serta peluang
pengembangan wilayah yang lebih besar.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa tempat tinggal dan ruang hidup. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang
dapat digunakan tempat tinggal dan ruang hidup dapat dibagi menjadi lahan berpotensi
tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi sebagai tempat tinggal dan
ruang hidup di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar 16.132.260,44 hektar atau
sekitar 34,01% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang
memiliki potensi sedang sebagaitempat tinggal dan ruang hidup memiliki luasan sebesar
7.313.826,41 hektar atau sekitar 15,42% Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah
memiliki luasan sebesar 23.981.088,85 hektar atau sebesar 50,56% dari keseluruhan
lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi sebagai tempat tinggal dan
ruang hidup terletak pada ekoregion Dataran Aluvial, Dataran Kaki Gunung Api, dan
Dataran Fluviomarin. Ketiga ekoregion tersebut merupakan wilayah yang memiliki
kondisi geografis yang datar dan ketersediaan air bersih relatif banyak, sehingga cocok
untuk pengembangan permukiman. Selain itu, Pembangunan infrastruktur dan sarana
prasarana pada ekoregion dataran relatif lebih mudah dan berbiaya rendah karena
kondisi geografis yang datar. Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah tempat

IV-24
tinggal dan ruang hidup terletak di Kerucut dan Lereng Gunung Api, Pegunungan dan
Perbukitan Denudasional, serta Pegunungan Lipatan.

Tabel 4.14 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Budaya Rekreasi dan Ekotourism

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 3.384.929,95 85,21 540.200,31 13,60 47.280,18 1,19
Dataran Fluvio Gunungapi 2.296.820,82 88,25 281.919,01 10,83 23.904,52 0,92
Dataran Fluviomarin 1.115.159,35 65,24 440.711,27 25,78 153.528,24 8,98
Dataran Kaki Gunungapi 3.098.889,55 90,15 336.866,16 9,80 1.711,21 0,05
Kaki Gunungapi 147.455,13 7,41 1.446.388,60 72,66 396.678,71 19,93
Kerucut dan Lereng Gunungapi 34,75 0,00 171.011,55 9,78 1.578.076,74 90,22
Lahan Gambut (Peat Land) 7.459.608,67 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 6.135.712,31 85,09 1.069.683,19 14,83 5.740,73 0,08
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
1.003.642,64 78,69 256.887,98 20,14 14.932,44 1,17
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.759.691,38 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 1.565.186,69 25,91 4.476.316,20 74,09 0,00 0,00
Pegunungan Patahan 223.686,55 8,45 376.650,96 14,23 2.046.010,26 77,31
Perbukitan Denudasional 81.819,75 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 2.124.187,55 65,99 1.094.816,97 34,01 0,00 0,00
Perbukitan Patahan 186.318,40 13,17 364.950,73 25,80 863.335,34 61,03
Pesisir (Coast) 26.899,71 3,86 235.258,36 33,72 435.542,43 62,43
Tubuh Air 0,00 0,00 10.011,60 6,31 148.718,84 93,69
Total 30.610.043,19 64,54 11.101.672,88 23,41 5.715.459,64 12,05

Ekosistem menyediakan fitur lansekap, keunikan alam, atau nilai tertentu yang
menjadi daya tarik wisata. Berbagai macam bentuk bentang alam dan keunikan flora
dan fauna serta keanekaragaman hayati yang terdapat dalam ekosistem memberi ciri dan
keindahan bagi para wisatawan. Dari sisi ekonomi, akan diperoleh banyak keuntungan
bahkan menjadi sumber devisa negara yang besar. Variasi bentangalam berpengaruh
besar terhadap nilai jasa budaya rekreasi dan ecotourism.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa rekreasi dan ekotourism. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang dapat
digunakan rekreasi dan ekotourism dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi,
sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi sebagai tempat rekreasi dan
ekotourism di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar 5.715.459,64 hektar atau sekitar
12,05% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki
potensi sedang sebagaitempat rekreasi dan ekotourism memiliki luasan sebesar
11.101.672,88 hektar atau sekitar 23,41%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi

IV-25
rendah memiliki luasan sebesar 30.610.043,19 hektaratau sebesar 64,54% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi sebagai tempat rekreasi dan
ekotourism terletak pada ekoregion Kerucut dan Lereng Gunung Api. Ekoregion ini
memiliki kondisi udara yang sejuk yang cocok untuk dimanfaatkan sebagai daerah
wisata. Selain itu, kawasan ekoregion ini sebagian besar masih berhutan lebat dan
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Berbagai flora dan fauna langka
banyak terdapat pada ekoregion ini. Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah
untuk tempat rekreasi dan ekotourism terletak di Pegunungan dan Perbukitan
Denudasional serta lahan gambut.

Tabel 4.15 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Budaya Estetika

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 3.384.814,52 85,21 535.803,31 13,49 51.792,61 1,30
Dataran Fluvio Gunungapi 2.296.774,56 88,25 281.734,07 10,82 24.135,71 0,93
Dataran Fluviomarin 1.111.899,33 65,05 418.796,87 24,50 178.702,67 10,45
Dataran Kaki Gunungapi 1.773.150,37 51,58 1.620.908,68 47,15 43.407,86 1,26
Kaki Gunungapi 24,77 0,00 1.450.946,30 72,89 539.551,39 27,11
Kerucut dan Lereng Gunungapi 34,75 0,00 0,00 0,00 1.749.088,30 100,00
Lahan Gambut (Peat Land) 7.459.608,67 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 6.134.851,39 85,07 201.307,98 2,79 874.976,85 12,13
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
660.809,08 51,81 465.733,63 36,51 148.920,35 11,68
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.759.691,38 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 1.495.529,46 24,75 69.657,23 1,15 4.476.316,20 74,09
Pegunungan Patahan 0,00 0,00 753.547,01 28,47 1.892.800,75 71,53
Perbukitan Denudasional 81.819,75 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 2.124.187,55 65,99 593.862,57 18,45 500.954,40 15,56
Perbukitan Patahan 519.352,60 36,71 179.752,53 12,71 715.499,34 50,58
Pesisir (Coast) 100,53 0,01 297.229,52 42,60 400.370,44 57,38
Tubuh Air 0,00 0,00 11.187,74 7,05 147.542,70 92,95
Total 28.802.648,71 60,73 6880467.43 14,51 11.744.059,56 24,76

Estetika keindahan alam terbentuk dari perpaduan berbagai bentangalam yang


masing-masing memiliki keindahan dan keunikan tersendiri. Penyediaan estetika
keindahan alam ini bergantung pada kondisi saat ini apakah masih dalam keadaan baik
ataukah sudah mengalami banyak kerusakan.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa rekreasi dan ekotourism. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang memiliki

IV-26
estetika keindahan alam dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan
rendah. Lahan yang berpotensi tinggi yang memiliki estetika keindahan alam di Pulau
Sumatera memiliki luasan sebesar 11.744.059,56 hektar atau sekitar 24,76% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang estetika keindahan alam memiliki luasan sebesar 6.880.467,43 hektar atau
sekitar 14,51%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar
28.802.648,71 hektaratau sebesar 60,73% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera. Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi estetika keindahan alam
terletak pada ekoregion Kerucut dan Lereng Gunung Api. Kawasan ekoregion ini
sebagian besar masih berhutan lebat dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi. Berbagai flora dan fauna langka banyak terdapat pada ekoregion ini. Sebagian
besar lahan yang memiliki potensi rendah estetika keindahan alam terletak di
Pegunungan dan Perbukitan Denudasional, serta lahan gambut.

1. Profil Distribusi Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Budaya Menurut


Provinsi
Tabel 4.16 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Tempat Tinggal dan Ruang Hidup
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 4.090.660,05 71,95 402.740,36 7,08 1.192.190,73 20,97
BENGKULU 1.144.887,14 57,66 182.627,56 9,20 658.161,09 33,15
JAMBI 1.932.002,02 39,30 729.808,27 14,84 2.254.811,83 45,86
KEP. BANGKA BELITUNG 1.570.936,23 94,74 79.051,92 4,77 8.097,89 0,49
KEP. RIAU 328.216,16 42,61 231.735,19 30,09 210.247,92 27,30
LAMPUNG 890.943,87 26,42 282.085,56 8,37 2.198.584,72 65,21
RIAU 4.495.593,97 50,32 1.750.777,22 19,60 2.686.932,54 30,08
SUMATERA BARAT 2.806.307,70 66,60 683.023,15 16,21 724.612,41 17,20
SUMATERA SELATAN 3.337.180,78 38,53 1.145.278,67 13,22 4.179.206,12 48,25
SUMATERA UTARA 3.384.360,92 46,81 1.826.698,52 25,26 2.019.415,19 27,93
Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi tempat tinggal dan ruang
hidup pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang
memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi adalah Provinsi
Lampung dengan presentase 65,21% atau luasan 2.198.584,72 hektar dari keseluruhan
wilayahnya. Berikutnya Provinsi yang juga memiliki presentase lahan potensi tinggi
yang besar adalah Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki presentase 48,25% atau
luasan 4.179.206,12 hektar. Bila dilihat secara spasial Provinsi yang memiliki luasan
besar lahan untuk tempat tinggal dan ruang hidup berada di bagian tengah Pulau

IV-27
Sumatera. Hal ini dikarenakan wilayah tengah memiliki topografi yang relatif datar, jika
dibandingkan dengan bagian barat dan timur Pulau Sumatera yang kenampakan fisiknya
lebih kompleks. Secara khusus di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan juga
memiliki lahan pertanian yang cukup luas serta ketersediaan air yang baik. Dimana
kedua faktor tersebut merupakan faktor dominan yang menentukan manusia dalam
memilih tempat tinggal dan ruang hidup.

IV-28
Gambar 4.8 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Tempat Tinggal dan Ruang Hidup

IV-29
Sedangkan wilayah yang memiliki lahan potensi rendah sebagai tempat tinggal
dan ruang hidup terletak di Kep. Bangka Belitung, dimana sebagian besar wilayah
Provinsi ini merupakan lahan berpotensi rendah (94,74%). Wilayah Provinsi lain yang
juga banyak memiliki lahan berpotensi rendah sebagai tempat tinggal dan ruang hidup
adalah Provinsi Aceh. Provinsi Aceh memilki luasan lahan potensi rendah sebesar
4.090.660,05 hektar, yakni 71,95% dari keseluruhan wilayah Aceh. Hal yang paling
mendasar yang menjadi penyebabnya adalah luasan wilayahnya yang didominasi Hutan
yang dilindungi dan dibatasi aktivitasnya. Selain itu, di sepanjang wilayah pesisir
Sumatera bagian barat juga banyak terdapat lahan berpotensi rendah sebagai tempat
tinggal dan ruang hidup. Hal ini dikarenakan wilayah sepanjang Pantai Sumatera bagian
barat termasuk dalam zona penunjaman lempeng tektonik yang rawan akan bencana
alam.
Tabel 4.17 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Rekreasi dan Ekotourism
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 2.154.117,92 37,89 3.269.881,53 57,51 261.591,69 4,60
BENGKULU 954.631,15 48,08 322.810,66 16,26 708.233,98 35,67
JAMBI 3.431.027,21 69,78 1.014.128,93 20,63 471.465,98 9,59
KEP. BANGKA BELITUNG 1.605.681,95 96,84 24.514,69 1,48 27.889,40 1,68
KEP. RIAU 615.233,23 79,88 154.966,04 20,12 0,00 0,00
LAMPUNG 2.240.252,87 66,44 718.903,92 21,32 412.457,35 12,23
RIAU 7.659.240,17 85,74 998.116,79 11,17 275.946,78 3,09
SUMATERA BARAT 1.482.406,79 35,18 1.250.058,13 29,66 1.481.478,34 35,16
SUMATERA SELATAN 6.878.500,07 79,41 884.854,12 10,22 898.311,38 10,37
SUMATERA UTARA 3.588.951,84 49,64 2.463.438,06 34,07 1.178.084,74 16,29

IV-30
Gambar 4.9 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Rekreasi dan Ekotourism

IV-31
Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi rekreasi dan ekotourism
pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang memiliki
presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi adalah Provinsi Bengkulu,
dimana 35,67% wilayahnya memiliki potensi rekreasi dan ekotourism. Sedangkan
Provinsi lain yang juga memiliki luasan lahan besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai
rekreasi dan ekotourism adalah Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Masing-
masing Provinsi ini memiliki luasan lahan mencapai 1.481.478,34 hektar dan
1.178.084,74 hektar. Provinsi Bengkulu memiliki kawasan hutan yang cukup luas,
meskipun hutan bukan merupakan penggunaan lahan yang dominan. Lahan hutan yang
masih alami merupakan salah satu destinasi pariwisata yang menarik. Hal yang sama
juga nampak di Provinsi Sumatera Barat. Luas kawasan hutan lahan rendah dan lahan
tinggi di Provinsi ini mencapai 45,19% dari keseluruhan penggunaan lahan yang ada di
Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan untuk Provinsi Sumatera Utara bila dilihat dari
ekoregion dominannya, yakni Pegunungan Lipatan juga merupakan wilayah yang
menarik. Aktivitas tektonik yang dinamis membuat wilayah ini memiliki kenampakan
alam yang indah. Selain itu, diwilayah ini juga merupakan habitat berbagai flora dan
fauna langka yang terdapat di Sumatera.
.Selanjutnya, beberapa Provinsi di Pulau Sumatera juga memiliki presentase dan
luasan lahan berpotensi rendah yang besar. Provinsi yang sebagian besar lahan di
wilayahnya berpotensi rendah sebagai rekreasi dan ekotourism adalah Kep. Bangka
Belitung dengan 96,84% atau seluas 1.605.681,95 hektar. Sedangkan Provinsi yang lain
yang juga memiliki presentase lahan berpotensi rendah yang besar adalah Provinsi Riau
(85,74%) atau seluas 7.659.240,17 hektar. Tutupan lahan di Provinsi Riau didominasi
oleh Lahan Gambut (peat land) yang mencapai 40,65% dari keseluruhan wilayahnya.
Pemanfaatan lahan gambut umunya adalah untuk perkebunan, terutama di Provinsi Riau
banyak dimanfaatkan untuk penanaman kelapa sawit. Hal ini membuat lahan berpotensi
rendah untuk rekreasi dan ekotourism di Provinsi Riau jumlahnya besar.

IV-32
Tabel 4.18 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Estetika/Keindahan Alam
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 2.126.878,28 37,41 603.638,05 10,62 2.955.074,81 51,97
BENGKULU 859.241,96 43,27 405.178,65 20,41 721.255,19 36,32
JAMBI 3.287.629,33 66,87 396.992,99 8,07 1.231.999,80 25,06
KEP. BANGKA BELITUNG 1.600.472,81 96,53 31.246,89 1,88 26.366,35 1,59
KEP. RIAU 615.233,23 79,88 36.703,53 4,77 118.262,51 15,35
LAMPUNG 2.032.388,21 60,28 908.688,95 26,95 430.536,98 12,77
RIAU 7.634.918,51 85,47 551.305,85 6,17 747.079,37 8,36
SUMATERA BARAT 1.461.575,92 34,68 672.727,85 15,96 2.079.639,48 49,35
SUMATERA SELATAN 5.663.437,02 65,39 1.926.991,72 22,25 1.071.236,83 12,37
SUMATERA UTARA 3.520.873,45 48,69 1.346.992,94 18,63 2.362.608,25 32,68

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi jasa budaya


estetika/keindahan alam pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau
Sumatera.Provinsi yang memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling
tinggi dalam jasa estetika/keindahan alam adalah Provinsi Aceh dengan presentase
lahan berpotensi tinggi sebesar 52,97% atau seluas 2.955.074,81 hektardari keseluruhan
wilayahnya. Provinsi berikutnya yang juga memiliki luasan lahan berpotensi tinggi yang
besar adalah Provinsi Sumatera Barat (49,35%) dan Sumatera Utara (32,68%).

IV-33
Gambar Peta 4.10 Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Estetika/Keindahan Alam

IV-34
Masing-masing Provinsi tersebut memiliki luasan sebesar 2.079.639,48 hektar
dan 2.362.608,25 di Sumatera Utara. Hal yang menjadi faktor pendukung dari ketiga
Provinsi tersebut sebagai wilayah yang memiliki estetika/keindahan alam adalah
keberadaan kawasan hutan yang cukup luas dan alami. Kawasan hutan yang luas dan
alami tidak hanya memiliki beragam jenis flora namun juga beragam jenis fauna.
Bahkan, Flora dan Fauna langka pun terdapat oada kawasan hutan di ketiga Provinsi
tersebut. Selain itu, sebagian wilayah Provinsi Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera
Utara juga terletak pada Pulau Sumatera bagian barat. Dimana, pada wilayah ini
merupakan zona penunjaman lempeng tektonik. Hal ini membuat aktivitas tektonik
maupun vulkanik di ketiga Provinsi tersebut sangat dinamis. Wilayah dengan aktifitas
tektonik dan vulkanik yang dinamis seringkali juga memiliki kenampakan alam dan
landskap yang indah.
Selanjutnya sebagian Provinsi juga memiliki presentase dan luasan lahan
berpotensi rendah yang cukup besar. Kep. Bangka Belitung adalah salah satu Provinsi
yang sebagian besar lahannya berpotensi rendah, yakni seluas 1.600.472,81 hektar atau
96,53%. Kep. Bangka Belitung yang didominasi dataran hingga perbukitan
denudasional, banyak memiliki bad land. Meskipun begitu, Kep. Bangka Belitung
masih memiliki 26.366,35 hektar lahan berpotensi tinggi. Selain itu, Provinsi lain yang
juga memiliki lahan berpotensi rendah dengan luasan besar adalah Provinsi Riau dengan
7.634.918,51 hektar, serta Provinsi Sumatera Selatan dengan luasan lahan berpotensi
rendah mencapai 5.663.437,02 hektar.

IV-35
2. Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Budaya Menurut Ekoregion
dan Provinsi

Tubuh Air
Pesisir (Coast)
Perbukitan Patahan
Perbukitan Lipatan
Perbukitan…
Pegunungan Patahan
Pegunungan Lipatan
Pegunungan… ESTETIKA
Lembah antar…
REKREASI EKOTOURISM
Lembah antar…
Lahan Gambut (Peat… TEMPAT TINGGAL
Kerucut & Lereng…
Kaki Gunungapi
Dataran Kaki Gunungapi
Dataran Fluviomarin
Dataran Fluvio…
Dataran Aluvial
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Gambar 4.11 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Budaya

Tabel 4.19 Indeks Jasa Ekosistem Budaya Menurut Ekoregion

Indeks Daya Dukung


Rata-
Ekoregion Tempat Rekreasi
Estetika rata
Tinggal Ekotourism
Dataran Aluvial 1,06 0,72 0,76 0,85
Dataran Fluvio Gunungapi 1,19 0,72 0,73 0,88
Dataran Fluviomarin 1,19 0,88 0,84 0,97
Dataran Kaki Gunungapi 1,28 0,69 0,72 0,89
Kaki Gunungapi 1,19 0,75 0,80 0,92
Kerucut dan Lereng Gunungapi 1,03 1,01 1,16 1,07
Lahan Gambut (Peat Land) 0,96 0,83 0,79 0,86
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan
1,08 0,73 0,81
Lipatan (Intermountain Basin) 0,87
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan
1,25 0,77 0,81
patahan (Terban) 0,94
Pegunungan Denudasional 1,04 0,78 0,83 0,88
Pegunungan Lipatan 0,90 1,32 1,56 1,26
Pegunungan Patahan 0,92 1,28 1,52 1,24
Perbukitan Denudasional 1,06 0,84 0,91 0,93
Perbukitan Lipatan 1,07 0,91 1,03 1,00
Perbukitan Patahan 1,13 1,08 1,17 1,12
Pesisir (Coast) 0,87 1,14 1,08 1,03
Tubuh Air 1,02 1,91 1,76 1,56

IV-36
Ekosistem memberikan manfaat positif bagi manusia khususnya ruang untuk
tinggal dan hidup sejahtera. Ruang hidup ini didukung oleh kemampuan dan kesesuaian
lahan yang tinggi sehingga memberikan dukungan kehidupan baik secara sosial,
ekonomi maupun budaya. Jasa ekosistem sebagai tempat tinggal dan ruang hidup secara
sosial sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik dan geografis serta peluang
pengembangan wilayah yang lebih besar. Jenis ekoregion yang memberikan jasa
ekosistem budaya tempat tinggal dan ruang tinggi adalah ekoregion Dataran Kaki
Gunung Api. Ekoregion tersebut merupakan wilayah yang memiliki kondisi geografis
yang datar dan ketersediaan air bersih relatif banyak, sehingga cocok untuk
pengembangan permukiman. Selain itu, Pembangunan infrastruktur dan sarana
prasarana pada ekoregion dataran relatif lebih mudah dan berbiaya rendah karena
kondisi geografis yang datar.
Berikutnya untuk jasa budaya rekreasi dan ekotourism indeks tertinggi selain
pada tubuh air (1,91) terletak pada Ekoregion Pegunungan Lipatan dan Pegunungan
Patahan. Nilai indeksnya masing-masing adalah 1,32 dan 1,28. Kedua ekoregion ini
memiliki kondisi udara yang sejuk yang cocok untuk dimanfaatkan sebagai daerah
wisata. Selain itu, kawasan ekoregion ini sebagian besar masih berhutan lebat dan
memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Berbagai flora dan fauna langka
banyak terdapat pada ekoregion ini. Oleh karena itu, ekoregion ini juga memiliki nilai
tertinggi indeks estetika/keindahan alam.

SUMATERA UTARA
SUMATERA SELATAN
SUMATERA BARAT
RIAU
LAMPUNG Estetika

KEP. RIAU Rekreasi dan Ekotourism


KEP. BANGKA… Tempat Tinggal
JAMBI
BENGKULU
ACEH

0.00 0.50 1.00 1.50

Gambar 4.12Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Budaya Menurut Provinsi

IV-37
Tabel 4.20 Indeks Jasa Ekosistem Budaya Menurut Provinsi
Indeks Daya Dukung
Rata-
Provinsi Tempat Rekreasi
Estetika Rata
Tinggal Ekotourism
ACEH 0,97 1,16 1,33 1,15
BENGKULU 1,02 0,99 1,15 1,05
JAMBI 1,12 0,89 0,95 0,99
KEP. BANGKA BELITUNG 1,04 0,76 0,80 0,87
KEP. RIAU 1,10 0,89 0,97 0,99
LAMPUNG 1,35 0,72 0,72 0,93
RIAU 0,96 0,83 0,87 0,89
SUMATERA BARAT 1,07 1,09 1,22 1,13
SUMATERA SELATAN 1,03 0,79 0,84 0,88
SUMATERA UTARA 1,09 0,89 0,97 0,99

Selanjutnya, bila dilihat berdasarkan Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera.


Provinsi Lampung memiliki indeks tertinggi sebagai wilayah yang cocok untuk tempat
tinggal dan ruang hidup. Hal ini tidak terlepas dari wilayah Provinsi Lampung yang
didominasi oleh Dataran Kaki Gunung Api. Ekoregion ini merupakan wilayah dataran
yang sangat subur dan berudara sejuk yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal dan
ruang hidup khususnya untuk pertanian dan pemukiman. Sedangkan untuk jasa
ekosistem rekreasi dan ekotourism serta estetika/keindahan alam yang memiliki nilai
indeks tertinggi adalah Provinsi Aceh. Untuk nilai jasa ekosistem rekreasi dan
ekotourism nilai indeksnya adalah 1,16, sedangkan untuk estetika/ keindahan alam nilai
indeknya adalah 1,33. Hal ini tidak terlepas dari luasnya lahan hutan alami yang ada di
Provinsi Aceh yang baik untuk destinasi pariwisata.

4.3. Profil Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung

1. Profil Distribusi Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung


Menurut Ekoregion

Tabel 4.21Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung


Pembentukan Lapisan Tanahdan Pemeliharaan

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 138.442,84 3,49 122.594,47 3,09 3.711.373,13 93,43
Dataran Fluvio Gunungapi 216.347,13 8,31 54.300,79 2,09 2.331.996,42 89,60
Dataran Fluviomarin 126.896,46 7,42 128.667,52 7,53 1.453.834,89 85,05
Dataran Kaki Gunungapi 345.277,50 10,04 84.263,19 2,45 3.007.926,22 87,50
Kaki Gunungapi 67.384,24 3,39 954.738,06 47,96 968.400,15 48,65
Kerucut dan Lereng Gunungapi 619.230,10 35,40 442.368,32 25,29 687.524,62 39,31

IV-38
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Lahan Gambut (Peat Land) 508.017,68 6,81 5.090.319,51 68,24 1.861.271,49 24,95
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 382.799,40 5,31 1.821.270,58 25,26 5.007.066,25 69,44
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
70.008,63 5,49 548.122,99 42,97 657.331,44 51,54
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.426.366,90 81,06 326.459,56 18,55 6.864,92 0,39
Pegunungan Lipatan 772.374,21 12,78 794.285,18 13,15 4.474.843,51 74,07
Pegunungan Patahan 365.320,29 13,80 413.556,26 15,63 1.867.471,21 70,57
Perbukitan Denudasional 33.077,97 40,43 35.208,30 43,03 13.533,48 16,54
Perbukitan Lipatan 994.921,93 30,91 1.140.785,00 35,44 1.083.297,59 33,65
Perbukitan Patahan 355.085,58 25,10 362.776,50 25,65 696.742,38 49,25
Pesisir (Coast) 159.133,51 22,81 162.192,65 23,25 376.374,34 53,94
Tubuh Air 158.469,73 99,84 260,71 0,16 0,00 0,00
Total 6.739.154,07 14,21 12.482.169,59 26,32 28.205.852,04 59,47

Ekosistem memberikan jasa pendukung berupa pembentukan lapisan tanah dan


pemeliharaan kesuburan yang bervariasi antar lokasi. Lokasi yang memiliki jenis batuan
cepat lapuk, dengan kondisi curah hujan dan penyinaran matahari yang tinggi akibat
bentuk permukaan bumi, serta didukung oleh keberadaan organisme dalam tanah dan
tumbuhan penutup tanah menyebabkan proses pembentukan tanah semakin cepat.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan. Secara umum di Pulau
Sumateralahan yang dapat mendukung pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan
dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang
berpotensi tinggi mendukung pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan di Pulau
Sumatera memiliki luasan sebesar 28.205.852,04 hektar atau sekitar 59,47% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang sebagai pendukungpembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan memiliki
luasan sebesar 12.482.169,59 hektar atau sekitar 26,32% Sedangkan lahan yang
memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar 6.739.154,07 hektar atau sebesar
14,21% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi mendukung pembentukan
lapisan tanah dan pemeliharaan terletak pada ekoregion Dataran Aluvial, dan Dataran
Fluvio Gunung Api. Secara genetik, material penyusun dataran aluvial umumnya berupa
aluvium dengan komposisi pasir, debu, dan lempung yang relatif seimbang dengan
sumber sangat bergantung kepada kondisi geologi daerah hulu, yang terbentuk akibat

IV-39
aktivitas pengendapan aliran sungai. Ekoregion ini terbentuk oleh proses pengendapan
fluvial (aliran sungai), yang membentuk struktur berlapis horisontal dan tersortasi
dengan baik (lapisan dengan material kasar di bagian bawah, dan semakin ke atas
semakin halus), serta lapisan umumnya tebal. Kondisi hidrologi satuan ini dibangun
oleh material aluvium yang mampu membentuk akuifer yang potensial, dengan
dukungan morfologi yang datar, maka menyebabkan cadangan atau ketersediaan
airtanah dangkal sangat potensial, sehingga membentuk resevoir airtanah atau cekungan
hidrogeologi. Tanah di ekoregion ini sangat potensial untuk pertanian. Sedangkan
Dataran Fluvio Gunung Api merupakan wilayah dengan topografi datar dan terbentuk
dari proses pengendapan fluvial. Material penyusun umumnya banyak dipengaruhi oleh
hasil erupsi gunung api. Proses perkembangan tanah tergolong cukup lanjut yang dapat
membentuk tanah aluvial dan tanah andosol. Kedua jenis tanah ini merupakan tanah
yang subur dengan kandungan hara tinggi.Sebagian besar lahan yang memiliki potensi
rendah mendukung pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan terletak di
Pegunungan Denudasional.

Tabel 4.22 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung Siklus Hara
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 257.667,46 6,49 60.590,68 1,53 3.654.152,30 91,99
Dataran Fluvio Gunungapi 216.347,13 8,31 35.622,40 1,37 2.350.674,81 90,32
Dataran Fluviomarin 146.260,32 8,56 747.478,05 43,73 815.660,50 47,72
Dataran Kaki Gunungapi 345.277,50 10,04 82.328,74 2,40 3.009.860,67 87,56
Kaki Gunungapi 67.214,69 3,38 1.509.879,20 75,85 413.428,55 20,77
Kerucut dan Lereng Gunungapi 1.061.598,42 60,69 687.524,62 39,31 0,00 0,00
Lahan Gambut (Peat Land) 2.455.363,24 32,92 4.874.526,42 65,35 129.719,01 1,74
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan
Lipatan (Intermountain Basin) 377.660,73 5,24 5.816.056,67 80,65 1.017.418,82 14,11
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan
patahan (Terban) 68.778,43 5,39 1.044.819,80 81,92 161.864,83 12,69
Pegunungan Denudasional 1.478.514,26 84,02 281.177,13 15,98 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 1.564.612,36 25,90 521.275,03 8,63 3.955.615,50 65,47
Pegunungan Patahan 778.314,83 29,41 1.868.032,93 70,59 0,00 0,00
Perbukitan Denudasional 64.089,76 78,33 17.729,99 21,67 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 2.117.284,25 65,77 597.917,42 18,57 503.802,85 15,65
Perbukitan Patahan 631.194,52 44,62 721.915,87 51,03 61.494,07 435
Pesisir (Coast) 274.455,58 39,34 213.008,81 30,53 210.236,09 30,13
Tubuh Air 2.593,67 1,63 17.903,81 11,28 138.232,95 87,09
Total 11,907.227,16 25,11 19.097.787,58 40,27 16.422.160,96 34,63

IV-40
Hara diperlukan untuk produksi bahan organik baik pada tingkat trofik produser
ataupun konsumer yang umumnya berada dalam lingkungan abiotik dengan konsentrasi
yang lebih rendah dari pada yang dibutuhkan untuk aktivitas pertumbuhan. Meskipun
begitu, organisme di dalam ekosistem yang tua seperti hutan berisi hara dalam
konsentrasi dengan jumlah yang besar dan bernilai. Kenyataan di lapangan, proses
akumulasi dan konservasi hara begitu efisien, sehingga komunitas tumbuhan tidak harus
terganggu untuk jangka waktu yang lama mungkin menjadi relatif independen terhadap
hara mineral dalam tanah untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan hara mereka dapat
dipenuhi secara cukup dari atmosfir maupun dari akumulasi hara di dalam biomasa
hidup maupun yang mati dari sistem yang bersangkutan. Siklus hara dalam ekosistem
itu sifatnya kompleks. Siklus beberapa elemen lebih banyak terjadi antara organisme
hidup dan atmosfir, sedang siklus elemen lain umumnya terjadi antara organisme hidup
dan tanah. Untuk beberapa elemen mengikuti kedua siklus tersebut. Ada juga siklus
yang terjadi secara internal di dalam tumbuhan dan hewan yang mengubah hara di
dalam individu organisme. Proses dari serapan hara, akumulasi hara pada tubuh
tumbuhan dan kembali ke tanah melalui siklus yang bervarisi sesuai dengan kondisi
tumbuhan, iklim dan jenis tanahnya sendiri pada akhirnya berpengaruh terhadap
kesuburan tanah dan tingkat produksi pertanian yang tinggi.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pendukung siklus hara. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang dapat
mendukung siklus hara dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan
rendah. Lahan yang berpotensi tinggi mendukung siklus hara di Pulau Sumatera
memiliki luasan sebesar 16.422.160,96 hektar atau sekitar 34,63% dari keseluruhan
lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi sedang sebagai
pendukungsiklus hara memiliki luasan sebesar 19.097.787,58 hektar atau sekitar
40,27% Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar
hektaratau sebesar dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi mendukung siklus hara
terletak pada ekoregion Dataran Aluvial dan Dataran Fluvio Gunung Api. Lahan di
kedua dataran tersebut mengandung kandungan mineral yang tinggi sebagai hasil
pengendapan material subur. Selain itu, curah hujan dan intensitas penyinaran matahari
juga tinggi di kedua dataran ini. Faktor-faktor tersebut melancarkan siklus hara sehingga

IV-41
tanah relatif suburSebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah mendukung siklus
hara terletak pada Pegunungan dan Perbukitan Denudasional

Tabel 4.23 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung Produksi Primer
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 259.563,04 6,53 0,00 0,00 3.712.847,40 93,47
Dataran Fluvio Gunungapi 251.969,53 9,68 0,00 0,00 2.350.674,81 90,32
Dataran Fluviomarin 146.260,32 8,56 646.881,20 37,84 916.257,35 53,60
Dataran Kaki Gunungapi 427.606,24 12,44 1.571.262,84 45,71 1.438.597,83 41,85
Kaki Gunungapi 67.214,69 3,38 1.288.062,20 64,71 635.245,56 31,91
Kerucut dan Lereng Gunungapi 841.032,59 48,08 220.565,83 12,61 687.524,62 39,31
Lahan Gambut (Peat Land) 2.152.684,32 28,86 1.779.305,91 23,85 3.527.618,45 47,29
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 3.158.898,39 43,81 3.148.633,99 43,66 903.603,86 12,53
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
660.246,52 51,77 458.779,08 35,97 156.437,45 12,27
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.432.487,13 81,41 83.422,37 4,74 243.781,88 13,85
Pegunungan Lipatan 1.317.403,17 21,81 248.628,67 4,12 4.475.471,05 74,08
Pegunungan Patahan 613.241,34 23,17 165.606,79 6,26 1.867.499,63 70,57
Perbukitan Denudasional 61.746,43 75,47 6.539,84 7,99 13.533,48 16,54
Perbukitan Lipatan 1.564.627,08 48,61 561.402,21 17,44 1.092.975,24 33,95
Perbukitan Patahan 599.054,49 42,35 33.261,84 2,35 782.288,13 55,30
Pesisir (Coast) 121.448,78 17,41 235.444,14 33,75 340.807,57 48,85
Tubuh Air 4.625,17 2,91 15.832,50 9,97 138.272,76 87,11
Total 13.680.109,24 28,84 10.463.629,40 22,06 23.283.437,06 49,09

Ekosistem dapat berfungsi sebagai penghasil oksigen dan pengikat karbon.


Keberadaan vegetasi seperti hutan yang menyerap karbondioksida untuk pembuatan
makanan melalui proses fotosintesis menghasilkan oksigen yang diperlukan makhluk
hidup di bumi untuk beraktivitas dan memungkinkan tumbuhnya banyak habitat spesies.
Jasa produksi oksigen bervariasi antarlokasi dan berhubungan erat dengan keberadaan
vegetasi dan hutan.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pendukung produksi primer. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang dapat
mendukung siklus hara dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan
rendah. Lahan yang berpotensi tinggi mendukung produksi primer di Pulau Sumatera
memiliki luasan sebesar 23.283.437,06 hektar atau sekitar 49,09% dari keseluruhan
lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi sedang sebagai
pendukungproduksi primer memiliki luasan sebesar 10.463.629,40 hektar atau sekitar
22,06% Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar

IV-42
13.680.109,24 hektar atau sebesar 28,84% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi mendukung produksi primer
terletak pada ekoregion Dataran Aluvial dan Dataran Fluvio Gunung Api. Kedua
ekoregion tersebut merupakan wilayah yang tutupan lahannya didominasi oleh vegetasi.
Vegetasi ini dapat berupa hutan, tanaman pertanian, dan sebagainya. Keberadaan
berbagai jenis vegetasi merupakan sumber bagi pendukung produksi primer, yakni
berupa oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis tumbuhan. Sebagian besar lahan
yang memiliki potensi rendah mendukung produksi primer terletak pada Pegunungan
dan Perbukitan Denudasional.

Tabel 4.25 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pendukung Biodiversitas
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 316.554,65 7,97 3.193.914,22 80,40 461.941,57 11,63
Dataran Fluvio Gunungapi 251.969,53 9,68 955.170,98 36,70 1.395.503,83 53,62
Dataran Fluviomarin 156.006,17 9,13 1.105.702,08 64,68 447.690,62 26,19
Dataran Kaki Gunungapi 443.864,36 12,91 2.856.296,18 83,09 137.306,38 3,99
Kaki Gunungapi 67.214,69 3,38 955.781,04 48,02 967.526,72 48,61
Kerucut dan Lereng
39.757,81 2,27 734.273,63 41,98 975.091,61 55,75
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 4.714.036,68 63,19 2,645.068,62 35,46 100.503,37 1,35
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 2.213.158,85 30,69 3.982.239,91 55,22 1.015.737,47 14,09
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
611.111,01 47,91 502.487,22 39,40 161.864,83 12,69
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 814.026,38 46,26 615.641,54 34,99 330.023,46 18,75
Pegunungan Lipatan 1.386.152,44 22,94 178,821,33 2,96 4.476.529,13 74,10
Pegunungan Patahan 613.241,34 23,17 165.249,42 6,24 1.867.856,99 70,58
Perbukitan Denudasional 50.948,91 62,27 10.698,53 13,08 20.172,30 24,65
Perbukitan Lipatan 1.563.888,76 48,58 560.735,13 17,42 1.094.380,63 34,00
Perbukitan Patahan 594.197,49 42,00 37.263,39 2,63 783.143,58 55,36
Pesisir (Coast) 32.607,36 4,67 210.356,01 30,15 454.737,12 65,18
Tubuh Air 2.593,67 1,63 17.799,29 11,21 138.337,47 87,15
Total 13.871.330,09 29,25 18.727.498,53 39,49 14.828.347,08 31,27

Seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka meningkat pula


kebutuhan sumberdaya alam hayati yang berakibat pada menurunnya sumberdaya alam
hayati tersebut apabila tidak dikelola secara lestari atau dikenal dengan degradasi
sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu, tuntutan terhadap pengelolaan
sumberdaya alam hayati secara berkelanjutan menjadi prioritas. Mengingat, kebutuhan
akan sumberdaya alam hayati sangat tergantung pada kondisi suatu wilayah, maka

IV-43
dalam pelaksanaan pengelolaannya diperlukan pemahaman terhadap nilai
kenakeragaman hayati sebagai sumberdaya alam hayati sesuai dengan wilayahnya. Nilai
keanekaragaman hayati mencakup tingkat keragamanan dan kelimpahan, sehingga dapat
menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan untuk mendukung konservasi
keanekaragaman hayati yang ada di dalam wilayah kelola suatu unit pengelolaan atau
unit usaha.Ekosistem telah memberikan jasa keanekaragaman hayati (biodiversity) di
antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya, daratan, lautan dan
ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari
keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan
ekosistem yang menjadi habitat perkembangbiakan flora fauna. Semakin tinggi karakter
biodiversitas maka semakin tinggi fungsi dukungan ekosistem terhadap perikehidupan.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pendukung biodiversitas. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang dapat
mendukung biodiversitas dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan
rendah. Lahan yang berpotensi tinggi mendukung biodiversitas di Pulau Sumatera
memiliki luasan sebesar 14.828.347,08 hektar atau sekitar 31,27% dari keseluruhan
lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi sedang sebagai
pendukung biodiversitas memiliki luasan sebesar 18.727.498,53 hektar atau sekitar
39,49%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar
13.871.330,09 hektar atau sebesar 29,25% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi mendukung biodiversitas
terletak pada ekoregion Pegunungan Lipatan dan Pegunungan Patahan. Kedua
ekoregion ini terbentuk dari asal proses struktural. Kedua pegunungan ini sebagian
besar masih berhutan lebat dan umumnya termasuk kawasan hutan lindung atau hutan
suaka alam. Kedua ekoregion ini juga merupakan tempat hidup berbagai flora dan
fauna, termasuk flora dan fauna langka yang ada di Pulau Sumatera. Sebagian besar
lahan yang memiliki potensi rendah mendukung biodiversitas terletak pada ekoregion
Lahan Gambut dan Perbukitan Denudasional.

IV-44
2. Profil Distribusi Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung
Menurut Provinsi

Tabel 4.26 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung


Pembentukan Lapisan Tanah dan Pemeliharaan
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 485.531,24 8,54 1.036.472,80 18,23 4.163.587,10 73,23
BENGKULU 147.720,09 7,44 454.388,86 22,88 1.383.566,84 69,68
JAMBI 366.633,37 7,46 1.999.520,67 40,67 2.550.468,08 51,87
KEP. BANGKA BELITUNG 1.344.632,32 81,10 259.336,47 15,64 54.117,25 3,26
KEP. RIAU 208.161,95 27,03 274.826,78 35,68 287.210,54 37,29
LAMPUNG 881.919,20 26,16 473.679,38 14,05 2.016.015,57 59,79
RIAU 449.719,50 5,03 2.642.023,82 29,57 5.841.560,42 65,39
SUMATERA BARAT 758.783,48 18,01 708.431,81 16,81 2.746.727,97 65,18
SUMATERA SELATAN 720.049,92 8,31 2.651.229,94 30,61 5.290.385,71 61,08
SUMATERA UTARA 1.376.003,01 19,03 1.982.259,06 27,42 3.872.212,56 53,55

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi jasa pendukung


pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan pada masing-masing Provinsi yang
terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang memiliki presentase paling besar lahan
potensial atau paling tinggi adalah Provinsi Aceh, dimana 73,23% dari wilayahnya
merupakan lahan berpotensi tinggi. Luasan lahan tersebut mencapai 4.163.587,10
hektar. Selanjutnya, Provinsi yang juga memiliki luasan lahan berpotensi tinggi besar
adalah Provinsi Riau dan Sumatera Selatan. Masing-masing luasanya adalah
5.841.560,42 hektar dan 5.290.385,71 hektar. Provinsi Aceh memiliki luasan hutan
yang besar dan masih alami. Hutan menyediakan kondisi alami yang mendukung
pembentuk lapisan tanah dan pemeliharaan kesuburan. Ranting pohon, sampah daun,
atau bangkai binatang menjadi pupuk alami untuk tumbuhan di hutan.Pegunungan dan
perbukitan masih banyak terdapat batuan induk sebagai tersedia bahan untuk pelapukan
batuan.

IV-45
Gambar 4.13 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung Pembentukan Lapisan Tanah dan Pemeliharaan

IV-46
Batuan induk diendapkan oleh aliran sungai di wilayah hulu karena mempunyai
bobot yang berat. Curah hujan dan intensitas penyinaran matahari di pegunungan yang
relatif tinggi menjadi faktor pembentukan tanah. Sedangkan Provinsi Riau dan
Sumatera Selatan selain juga memiliki kawasan hutan, kedua Provinsi ini didominasi
oleh ekoregion lahan gambut (peat land). Tanah gambut terbentuk dari timbunan sisa-
sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus
bertambah karena proses dekompisisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi
lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota
pengurai.
Selanjutnya beberapa wilayah juga memiliki presentase lahan berpotensi rendah
yang cukup besar dalam pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan. Provinsi yang
paling besar lahan potensi rendahnya adalah Kep. Bangka Belitung dengan luasan
mencapai 1.344.632,32 hektar. Adanya proses denudasional yang berlanjut
mengakibatkan mineral-mineral primer dalam tanah banyak yang tercuci atau
tertransformasi menjadi mineral sekunder. Tanah pada wilayah ini juga mudah
mengalami longsor saat kejenuhan tinggi, terutama pada daerah-daerah miring.

Tabel 4.27 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung Siklus Hara
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.151.494,25 20,25 1.269.262,58 22,32 3.264.834,31 57,42
BENGKULU 524.635,95 26,42 973.625,38 49,03 487.414,46 24,55
JAMBI 771.343,17 15,69 2.778.242,94 56,51 1.367.036,02 27,80
KEP. BANGKA BELITUNG 1.415.258,86 85,35 212.063,43 12,79 30.763,75 1,86
KEP. RIAU 276.632,46 35,92 361.851,22 46,98 131.715,59 17,10
LAMPUNG 1.008.495,54 29,91 619.355,51 18,37 1.743.763,09 51,72
RIAU 1.443.103,10 16,15 5.084.512,68 56,92 2.405.687,95 26,93
SUMATERA BARAT 1.176.858,05 27,93 1.888.593,45 44,82 1.148.491,76 27,25
SUMATERA SELATAN 1.948.406,58 22,49 3.396.458,43 39,21 3.316.800,56 38,29
SUMATERA UTARA 2.190.999,19 30,30 2.513.821,97 34,77 2.525.653,48 34,93

IV-47
Gambar 4.14 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung Siklus Hara

IV-48
Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi jasa pendukung siklus hara
pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang memiliki
presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi adalah Provinsi Aceh dengan
luasan 3.264.834,31 hektar atau sekitar 57,42% dari keseluruhan wilayahnya. Provinsi
lain yang juga memiliki luasan lahan berpotensi besar adalah Provinsi Lampung dan
Provinsi Sumatera Selatan dengan masing masing luasan lahannya adalah 1.743.763,09
hektar (51,72%) dan 3.316.800,56 hektar (38,29%). Siklus hara adalah suatu proses
suplai dan penyerapan dari senyawa kimia yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
metabolisme. Hara essensial yang dibutuhkan oleh tumbuhan tinggi adalah unsur bahan
anorganik alam. Kebutuhan akan bahan anorganik bagi tumbuhan tinggi (pohon)
membedakannya dengan organisme lainnya seperti manusia, hewan dan beberapa
mikroorganisme yang membutuhkan bahan makanan organik (Mengel et al,. 1987).
Menurut Binkley (1987) bahwa proses siklus hara mencakup proses mikroklimat,
kualitas kimia dari bahan organik, status kimia dari tanah dan aktivitas binatang.
Kawasan hutan yang ada di ketigaProvinsi tersebut merupakan tempat sempurna untuk
siklus hara. Proses fotosintesis di hutan berjalan dengan baik karena kondisi lingkungan
yang masih alami. Vegetasi yang rapat, intensitas penyinaran matahari dan udara yang
relatif bersih menjadi syarat untuk proses fotosintesis. Kandungan klorofil tumbuhan di
hutan yang tinggi karena proses pertumbuhan relatif alami. Siklus hara yang berjalan
dengan baik membuat tanah di kawasan hutan relatif lebih subur. Lahan berpotensi
tinggi juga terdapat di dataran rendah yang dimanfaatkan untuk persawahan.
Selanjutnya, untuk Provinsi yang memiliki luasan lahan berpotensi rendah
adalah Kep. Bangka Belitung yang 85,35% wilayahnya merupakan lahan berpotensi
rendah. Proses denudasional, erosi lereng, dan gerakan massa batuan yang potensial
terjadi menjadi penghambat proses terjadinya siklus hara.

IV-49
Gambar 4.15 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung Produksi Primer

IV-50
Tabel 4.28 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung Produksi Primer
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.204.900,51 21,19 582.896,35 10,25 3.897.794,28 68,56
BENGKULU 346.104,39 17,43 438.291,18 22,07 1.201.280,22 60,50
JAMBI 1.874.581,44 38,13 889.325,64 18,09 2.152.715,04 43,78
KEP. BANGKA BELITUNG 1.367.471,92 82,47 104.098,94 6,28 186.515,19 11,25
KEP. RIAU 442.967,03 57,51 74.207,67 9,63 253.024,56 32,85
LAMPUNG 1.119.832,86 33,21 1.349.455,71 40,02 902.325,58 26,76
RIAU 1.964.646,84 21,99 1.667.270,45 18,66 5.301.386,44 59,34
SUMATERA BARAT 1.121.522,12 26,61 620.732,45 14,73 2.471.688,69 58,66
SUMATERA SELATAN 1.901.263,59 21,95 3.119.808,78 36,02 3.640.593,20 42,03
SUMATERA UTARA 2.336.818,54 32,32 1.617.542,23 22,37 3.276.113,87 45,31

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi jasa pendukung produksi
primer pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang
memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi adalah Provinsi Aceh
dengan luasan 3.897.794,28 hektar atau mencapai 68.56% dari keseluruhan wilayahnya.
Aceh merupakan salah satu Provinsi yang memiliki kawasan hutan terluas di Pulau
Sumatera. Kawasan hutan lahan rendah, hutan lahan tinggi, serta hutan tanaman di
Provinsi Aceh dengan luasan yang besar berpotensi sangat tinggi untuk menghasilkan
oksigen. Hutan terdiri dari vegetasi yang rapat dan memiliki tajuk yang luas, sehingga
menghasilkan oksigen relatif banyak. Hutan juga menjadi habitat bagi flora fauna
karena kondisi lingkungan yang masih terjaga dan alami. Hal ini mendukung untuk
penyediaan primer bagi kehidupan mahluk hidup termasuk manusia. Sedangkan
Provinsi lain yang juga memiliki luasan lahan berpotensi tinggi yang besar adalah
Provinsi Riau. Luasan lahan berpotensi tinggi di Provinsi ini mencapai 5.301.386,44
hektar. Oksigen tidak hanya dihasilkan oleh kawasan hutan namun juga vegetasi rapat.
Provinsi Riau memiliki lahan gambut yang luas yang juga dimanfaatkan sebagai
perkebunan. Dengan vegetasi tanaman perkebunan yang rapat juga merupakan salah
satu pendukung produksi primer.
Tidak semua Provinsi di Pulau Sumatera didominasi oleh lahan berpotensi tinggi
dalam mendukung produksi primer. Provinsi yang memiliki luasan lahan berpotensi
rendah cukup besar adalah Kep. Bangka Belitung, dimana 82,47% wilayahnya
merupakan lahan berpotensi rendah. Selain itu, meskipun memiliki luasan lahan
berpotensi tinggi dan sedang cukup besar, namun Provinsi Riau, Provinsi Sumatera
Barat, dan Provinsi Lampung juga memiliki luasan lahan berpotensi rendah cukup

IV-51
besar. Hal ini terutama pada wilayah-wilayah yang jarang vegetasi, yakni perkotaan
yang padat penduduk dan bangunan. Intervensi manusia yang begitu besar membuat
sebagian wilayah di ketiga Provinsi tersebut menjadi rendah dalam mendukung
produksi primer.

Tabel 4.29 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pendukung Biodiversitas


Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.223.058,05 21,51 1.259.225,78 22,15 3.203.307,32 56,34
BENGKULU 310.542,76 15,64 854.824,73 43,05 820.308,30 41,31
JAMBI 2.034.594,40 41,38 1.538.328,64 31,29 1.343.699,08 27,33
KEP. BANGKA BELITUNG 768.683,62 46,36 620.892,23 37,45 268.510,19 16,19
KEP. RIAU 310.869,17 40,36 182.734,14 23,73 276.595,96 35,91
LAMPUNG 951.209,02 28,21 1.906.833,00 56,56 513.572,13 15,23
RIAU 2.898.921,41 32,45 4.721.471,57 52,85 1.312.910,75 14,70
SUMATERA BARAT 1.091.144,20 25,89 815.635,93 19,36 2.307.163,13 54,75
SUMATERA SELATAN 2.223.638,75 25,67 4.265.692,85 49,25 2.172.333,97 25,08
SUMATERA UTARA 2.058.668,72 28,47 2.561.859,66 35,43 2.609.946,25 36,10

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi jasa pendukung


biodiversitas pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi
yang memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi adalah Provinsi
Aceh dengan presentase 56,34% atau seluas 3.203.307,32 hektar. Sedangkan Provinsi
selanjutnya yang juga memiliki luasan lahan berpotensi tinggi besar adalah Provinsi
Sumatera Barat dengan luasan 2.307.163,13 atau 54,75% dari keseluruhan luas
wilayahnya. Keanekaragamandi antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk
diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks
ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman
di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem. Biodiversitas atau keanekaragaman
hayati suatu wilayah tergantung dari kondisi lingkungannya. Baik Provinsi Aceh

IV-52
Gambar 4.16 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung Biodiversitas

IV-53
maupun Provinsi Sumatera Barat merupakan wilayah yang memiliki
pegunungan dan perbukitan dengan kawasan hutan yang luas dan masih terjaga
keasliannya. Hutan merupakan tempat sempurna untuk melestarikan keanekaragaman
hayati. Ekosistem hutan menyediakan situasi dimana flora dan fauna dapat bertahan
hidup dan berkembang biak dengan baik.Hal ini seperti udara yang bersih, ketersediaan
air yang melimpah, zat hara, bahan makanan dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan
beragamnya jenis flora dan fauna di kawasan hutan.
Selain ada Provinsi yang memiliki lahan berpotensi tinggi luas, terdapat pula
Provinsi yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan berpotensi rendah dalam
mendukung biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Diantaranya adalah Provinsi
Kep. Bangka Belitung, Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Kep. Bangka Belitung
didominasi oleh ekoregion dataran dan perbukitan denudasional, umumnya tutupan
lahan vegetasi di ekoregion ini tidak dominan. Provinsi Jambi dan Provinsi Riau tutupan
lahannya didominasi oleh vegetasi yang berupa perkebunan dan pertanian. Umumnya
pada wilayah ini vegetasi yang ada berjenis sama, sehingga keragaman baik flora
maupun faunanya tergolong rendah.

3. Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pendukung Menurut


Ekoregion dan Provinsi

Tubuh Air
Pesisir (Coast)
Perbukitan Patahan
Perbukitan Lipatan
Perbukitan Denudasional
Pegunungan Patahan
Pegunungan Lipatan
BIODIVERSITAS
Pegunungan Denudasional
Lembah antar… PRODUKSI PRIMER
Lembah antar… SIKLUS
Lahan Gambut (Peat Land)
Kerucut & Lereng… TANAH
Kaki Gunungapi
Dataran Kaki Gunungapi
Dataran Fluviomarin
Dataran Fluvio Gunungapi
Dataran Aluvial
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Gambar 4.17 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Pendukung

IV-54
Tabel 4.30 Indeks Jasa Ekosistem Pendukung Menurut Ekoregion

Indeks Daya Dukung


Rata
Ekoregion Siklus Produksi
Tanah Biodiversitas Rata
Hara Primer
Dataran Aluvial 1,14 0,88 1,01 0,83 0,97
Dataran Fluvio Gunungapi 1,05 0,80 0,84 0,72 0,85
Dataran Fluviomarin 1,06 0,94 0,92 0,82 0,94
Dataran Kaki Gunungapi 1,01 0,76 0,83 0,67 0,82
Kaki Gunungapi 1,19 0,94 0,97 0,84 0,98
Kerucut dan Lereng Gunungapi 1,66 1,39 1,48 1,43 1,49
Lahan Gambut (Peat Land) 1,23 1,00 1,08 1,03 1,08
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan Lipatan
1,21 0,94 1,09 0,94
(Intermountain Basin) 1,04
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan patahan
1,15 0,90 0,98 0,86
(Terban) 0,97
Pegunungan Denudasional 1,19 0,97 1,07 1,02 1,06
Pegunungan Lipatan 2,22 1,91 2,10 2,15 2,09
Pegunungan Patahan 2,17 1,85 2,04 2,08 2,04
Perbukitan Denudasional 1,20 1,01 1,14 1,08 1,11
Perbukitan Lipatan 1,50 1,23 1,39 1,34 1,37
Perbukitan Patahan 1,65 1,43 1,69 1,74 1,63
Pesisir (Coast) 1,09 1,32 1,28 1,22 1,23
Tubuh Air 0,49 1,30 1,18 1,42 1,10

Berdasarkan pada tabel diatas dapat diketahui besaran indeks jasa ekosistem
pendukung pada masing-masing ekoregion yang ada di Pulau Sumatera. Nilai indeks
tertinggi pada semua jasa ekosistem pendukung terletak pada ekoregion Pegunungan
Lipatan dan Pegunungan Patahan. Kedua ekoregion ini terbentuk dari asal proses
struktural. Kedua pegunungan ini sebagian besar masih berhutan lebat dan umumnya
termasuk kawasan hutan lindung atau hutan suaka alam. Kedua ekoregion ini juga
merupakan tempat hidup berbagai flora dan fauna, termasuk flora dan fauna langka
yang ada di Pulau Sumatera.

IV-55
SUMATERA UTARA
SUMATERA SELATAN
SUMATERA BARAT
RIAU
Biodiversitas
LAMPUNG
Produksi Primer
KEP. RIAU
Siklus Hara
KEP. BANGKA BELITUNG
Tanah
JAMBI
BENGKULU
ACEH

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

Gambar 4.18 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa


Pendukung Menurut Provinsi

Tabel 4.31 Indeks Jasa Ekosistem Budaya Menurut Provinsi


Indeks Daya Dukung
Rata-
Provinsi Siklus Produksi
Tanah Biodiversitas Rata
Hara Primer
ACEH 1,88 1,60 1,75 1,77 1,75
BENGKULU 1,66 1,32 1,48 1,43 1,47
JAMBI 1,39 1,16 1,26 1,20 1,25
KEP. BANGKA BELITUNG 1,12 0,92 1,00 0,93 0,99
KEP. RIAU 1,33 1,18 1,29 1,28 1,27
LAMPUNG 1,00 0,84 0,81 0,74 0,85
RIAU 1,31 1,06 1,25 1,12 1,18
SUMATERA BARAT 1,72 1,46 1,63 1,60 1,60
SUMATERA SELATAN 1,21 0,94 1,00 0,91 1,01
SUMATERA UTARA 1,39 1,16 1,26 1,16 1,24

Bila dilihat dari nilai indeks setiap Provinsi, untuk semua jasa pendukung
terdapat di Provinsi Aceh. Provinsi Aceh kenampakan alamnya didominasi oleh wilayah
pegunungan dan perbukitan. Selain itu, penggunaan lahan dominan di Aceh adalah
berupa hutan. Hutan menyediakan kondisi alami yang mendukung pembentuk lapisan
tanah dan pemeliharaan kesuburan. Ranting pohon, sampah daun, atau bangkai binatang
menjadi pupuk alami untuk tumbuhan di hutan. Pegunungan dan perbukitan masih
banyak terdapat batuan induk sebagai tersedia bahan untuk pelapukan batuan. Batuan
induk diendapkan oleh aliran sungai di wilayah hulu karena mempunyai bobot yang
berat. Curah hujan dan intensitas penyinaran matahari di pegunungan yang relatif tinggi

IV-56
menjadi faktor pembentukan tanah. Hutan juga merupakan tempat hidup berbagai flora
dan fauna, termasuk flora dan fauna langka yang ada di Pulau Sumatera.

4.4 Profil Daya Tampung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan

1. Profil Distribusi Daya Tampung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan


Menurut Ekoregion
Tabel 4.32 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 1.126.900,58 28,37 1.143.018,00 28,77 1.702.491,86 42,86
Dataran Fluvio Gunungapi 806.194,31 30,98 1.331.349,82 51,15 465.100,20 17,87
Dataran Fluviomarin 1.156.484,27 67,65 342.540,76 20,04 210.373,83 12,31
Dataran Kaki Gunungapi 1.500.541,10 43,65 1.150.516,98 33,47 786.408,84 22,88
Kaki Gunungapi 67.381,02 3,39 1.304.988,26 65,56 618.153,17 31,05
Kerucut dan Lereng
39.757,81 2,27 3,94 0,00 1.709.361,30 97,73
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 1.505.446,04 20,18 2.443.937,32 32,76 3.510.225,31 47,06
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 4.446.937,15 61,67 1.960.037,03 27,18 804.162,05 11,15
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
Pegunungan patahan 1.030.663,70 80,81 110.811,44 8,69 133.987,91 10,51
(Terban)
Pegunungan Denudasional 162.912,66 9,26 659.067,38 37,45 937.711,34 53,29
Pegunungan Lipatan 80.547,59 1,33 759.655,75 12,57 5.201.299,55 86,09
Pegunungan Patahan 12.321,11 0,47 352.505,38 13,32 2.281.521,27 86,21
Perbukitan Denudasional 29.256,23 35,76 32.490,20 39,71 20.073,32 24,53
Perbukitan Lipatan 1.564.481,77 48,60 561.547,52 17,44 1.092.975,24 33,95
Perbukitan Patahan 349.555,17 24,71 282.761,16 19,99 782.288,13 55,30
Pesisir (Coast) 145.717,04 20,89 208.926,21 29,94 343.057,24 49,17
Tubuh Air 19.065,94 12,01 139.403,79 87,82 260,71 0,16
Total 14.044.163,46 29,61 12.783.560,96 26,95 20.599.451,28 43,43

Secara alamiah ekosistem mampu memberikan jasa ekosistem berupa jasa


pengaturan iklim mikro, yang meliputi pengaturan suhu, kelembaban dan hujan, angin,
pengendalian gas rumah kaca, dan penyerapan karbon. Fungsi pengaturan iklim
dipengaruhi oleh keberadaan faktor biotik khususnya vegetasi, serta letak dan faktor
fisiografis seperti ketinggian tempat dan bentuk lahan. Kawasan dengan kepadatan
vegetasi yang rapat dan letak ketinggian yang besar seperti pegunungan akan memiliki
sistem pengaturan iklim yang lebih baik yang bermanfaat langsung pada pengurangan
emisi karbondiokasida dan efek rumah kaca serta menurunkan dampak pemanasan
global seperti peningkataan permukaan laut dan perubahan iklim ekstrim dan
gelombang panas.

IV-57
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pengaturan iklim maupun tidak. Secara umum di Pulau Sumatera lahan yang
mampu melakukan pengaturan iklim dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi,
sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi dalam pengaturan iklim di Pulau
Sumatera memiliki luasan sebesar 20.599.451,28 hektar atau sekitar 43,43% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang dalam pengaturan iklim memiliki luasan sebesar 12.783.560,96 hektar atau
sekitar 26,95%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar
14.044.163,46 hektar atau sebesar 29,61% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pengaturan iklim
terletak pada ekoregion Kerucut dan Lereng Gunung Api, Pegunungan Patahan, dan
Pegunungan Lipatan. Ketiga ekoregion tersebut didominasi oleh penggunaan lahan
hutan, yang juga merupakan penghasil oksigen. Penggunaan lahan dan ketinggian
tempat menyebabkan udara di pegunungan dan perbukitan lebih sejuk dan relatif bersih.
Hutan juga menjadi penyaring alami polusi udara yang dihasilkan oleh kegiatan
manusia. Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah dalam pengaturan iklim
terletak di Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan patahan (Terban) dan dataran
Fluviomarin.
Tabel 4.33 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem
Pengaturan Tata Aliran Air dan Banjir

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 138.442,84 3,49 0,00 0,00 3.833.967,60 96,51
Dataran Fluvio Gunungapi 216.347,13 8,31 0,00 0,00 2.386.297,21 91,69
Dataran Fluviomarin 126.896,46 7,42 19.363,86 1,13 1.563.138,54 91,44
Dataran Kaki Gunungapi 345.277,50 10,04 0,00 0,00 3.092.189,41 89,96
Kaki Gunungapi 61.720,07 3,10 5.494,62 0,28 1.923.307,76 96,62
Kerucut dan Lereng Gunungapi 20.641,51 1,18 0,00 0,00 1.728.481,54 98,82
Lahan Gambut (Peat Land) 428.560,01 5,75 166.030,49 2,23 6.865.018,17 92,03
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan
377.660,73 5,24 3.948.577,59 54,76 2.884.897,91 40,01
Lipatan (Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan
68.778,43 5,39 843.567,20 66,14 363.117,42 28,47
patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 563.701,37 32,03 741.680,41 42,15 454.309,60 25,82
Pegunungan Lipatan 80.547,59 1,33 1.386.359,69 22,95 4.574.595,62 75,72
Pegunungan Patahan 12.321,11 0,47 754.250,82 28,50 1.879.775,84 71,03
Perbukitan Denudasional 29.157,24 35,64 30.203,42 36,91 22.459,09 27,45
Perbukitan Lipatan 91.877,07 2,85 1.683.887,98 52,31 1.443.239,47 44,83
Perbukitan Patahan 23.328,10 1,65 516.847,37 36,54 874.428,99 61,81

IV-58
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Pesisir (Coast) 31.528,63 4,52 64.162,44 9,20 602.009,42 86,28
Tubuh Air 1.433,26 0,90 1.160,41 0,73 156.136,76 98,37
Total 2.618.219,05 5,52 10.161.586,30 21,43 34.647.370,35 73,05

Pengaturan tata air dengan siklus hidrologi sangat dipengaruhi oleh keberadaan
tutupan lahan dan fisiografi suatu kawasan. Siklus hidrologi yang terjadi di biosfer dan
litosfer, yaitu ekosistem air yang meliputi aliran permukaan,ekosistem air tawar, dan
ekosistem air laut. Siklus hidrologi yang normal akan berdampak pada pengaturan tata
air yang baik untuk berbagai macam kepentingan seperti penyimpanan air, pengendalian
banjir, dan pemeliharaan ketersediaan air.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pengaturan tata air dengan baik maupun tidak. Secara umum di Pulau Sumatera
lahan yang mampu melakukan pengaturan tata air dapat dibagi menjadi lahan berpotensi
tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi dalam pengaturan tata air di
Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar 34.647.370,35 hektar atau sekitar 73,05% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang dalam pengaturan tata air memiliki luasan sebesar 10.161.586,30 hektar atau
sekitar 21,43% Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar
2.618.219,05 hektar atau sebesar 5,52% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pengaturan tata air
terletak pada ekoregion Kerucut dan lereng Gunung Api, Kaki Gunung Api, dan
Dataran Aluvial. Ketiga ekoregion tersebut merupakan wilayah yang didominasi oleh
tutupan lahan berupa vegetasi yang cukup luas. Kawasan yang penggunaan lahannya
didominasi hutan mempunyai potensi tinggi untuk menyerap air. Vegetasi di kawasan
hutan mampu menampung air hujan dan mengalirkanya dalam tanah, sehingga menjadi
cadangan air tanah. Semakin tinggi kerapatan vegetasi maka air hujan yang dapat
ditangkap semakin banyak. Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah dalam
pengaturan tata air terletak pada pegunungan dan perbukitan Denudasional.

IV-59
Tabel 4.34 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem
Pengaturan Pencegahan dan Perlindungan dari Bencana
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 121.163,57 3,05 1.020.619,96 25,69 2.830.626,91 71,26
Dataran Fluvio Gunungapi 251.969,53 9,68 824.405,00 31,68 1.526.269,81 58,64
Dataran Fluviomarin 584.047,09 34,17 714.188,38 41,78 411.163,40 24,05
Dataran Kaki Gunungapi 452.053,96 13,15 1.639.645,37 47,70 1.345.767,58 39,15
Kaki Gunungapi 67.214,69 3,38 1.141.878,35 57,37 781.429,41 39,26
Kerucut dan Lereng Gunungapi 19.151,04 1,09 584.254,19 33,40 1.145.717,81 65,50
Lahan Gambut (Peat Land) 1.562.435,76 20,95 3.989.292,64 53,48 1.907.880,27 25,58
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan
2.373.799,77 32,92 3.932.051,24 54,53 905.285,21 12,55
Lipatan (Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan
611.219,39 47,92 504.221,14 39,53 160.022,52 12,55
patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.283.801,36 72,96 148.685,77 8,45 327.204,25 18,59
Pegunungan Lipatan 1.564.612,36 25,90 1.419,48 0,02 4.475.471,05 74,08
Pegunungan Patahan 778.672,19 29,42 1.628.885,48 61,55 238.790,09 9,02
Perbukitan Denudasional 61.615,46 75,31 16.106,77 19,69 4.097,52 5,01
Perbukitan Lipatan 2.121.950,34 65,92 503.191,62 15,63 593.862,57 18,45
Perbukitan Patahan 632.316,33 44,70 764.652,98 54,05 17.635,15 1,25
Pesisir (Coast) 95.691,07 13,72 337.905,56 48,43 264.103,87 37,85
Tubuh Air 9.140,51 5,76 11.268,19 7,10 138.321,74 87,14
Total 12.590.854,43 26,55 17.762.672,12 37,45 17.073.649,16 36,00

Ekosistem mengandung unsur pengaturan pada infrastruktur alamuntuk


pencegahan dan perlindungan dari beberapa tipe bencana khususnya bencana alam.
Tempat-tempat yang memiliki liputan vegetasi yang rapat dapat mencegah areanya dari
bencana erosi, longsor, abrasi, dan tsunami. Selain itu bentuk lahan secara spesifik
berdampak langsung terhadap sumber bencana, sebagai contoh bencana erosi dan
longsor umumnya terjadi pada bentuk lahan struktural dan denudasional dengan
morfologi perbukitan.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pencegahan dan perlindungan dari bencana dengan baik maupun tidak. Secara
umum di Pulau Sumatera lahan yang mampu melakukan pencegahan dan perlindungan
dari bencana dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan
yang berpotensi tinggi dalam pencegahan dan perlindungan dari bencana di Pulau
Sumatera memiliki luasan sebesar 17.073.649,16 hektar atau sekitar 36% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang dalam pencegahan dan perlindungan dari bencana memiliki luasan sebesar
17.762.672,12 hektar atau sekitar 37,45%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi

IV-60
rendah memiliki luasan sebesar 12.590.854,43 hektar atau sebesar 26,55% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pencegahan dan
perlindungan dari bencana terletak pada ekoregion Pegunungan Lipatan. Pegunungan
Lipatan sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan dengan tutupan vegetasi yang
lebat. Hal ini membuat wilayah ini mampu mencegah terjadinya bencana seperti tanah
longsor dan erosi. Meskipun begitu upaya untuk menjaga kawasan ini agar tidak rusak
harus terus dilakukan terutama dari bahaya penebangan hutan dan pembakaran hutan.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah dalam pencegahan dan
perlindungan dari bencana terletak pada Pegunungan dan Perbukitan Denudasional.
Tabel 4.35 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem Pengaturan Pemurnian Air
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 259.563,04 6,53 1.861.752,13 46,87 1.851.095,27 46,60
Dataran Fluvio Gunungapi 251.969,53 9,68 1.266.645,45 48,67 1.084.029,36 41,65
Dataran Fluviomarin 1.153.736,39 67,49 316.122,83 18,49 239.539,65 14,01
Dataran Kaki Gunungapi 345.277,50 10,04 82.328,74 2,40 3.009.860,67 87,56
Kaki Gunungapi 61.720,07 3,10 5.494,62 0,28 1.923.307,76 96,62
Kerucut dan Lereng Gunungapi 940.226,44 53,75 105.551,05 6,03 703.345,55 40,21
Lahan Gambut (Peat Land) 5.551.728,41 74,42 1.907.880,27 25,58 0,00 0,00
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan
(Intermountain Basin) 415.299,11 5,76 5.778.418,30 80,13 1.017.418,82 14,11
Lembah antar Perbukitan/
Pegunungan patahan (Terban) 68.778,43 5,39 1.044.819,80 81,92 161.864,83 12,69
Pegunungan Denudasional 1.134.302,89 64,46 289.749,52 16,47 335.638,96 19,07
Pegunungan Lipatan 80.547,59 1,33 1.385.998,28 22,94 4.574.957,02 75,73
Pegunungan Patahan 12.321,11 0,47 754.074,88 28,49 1.879.951,78 71,04
Perbukitan Denudasional 50.948,91 62,27 10.567,57 12,92 20.303,27 24,81
Perbukitan Lipatan 91.877,07 2,85 1.777.426,02 55,22 1.349.701,43 41,93
Perbukitan Patahan 23.328,10 1,65 516.847,37 36,54 874.428,99 61,81
Pesisir (Coast) 33.214,03 4,76 350.815,52 50,28 313.670,95 44,96
Tubuh Air 2.593,67 1,63 0,00 0,00 156.136,76 98,37
Total 10.477.432,29 22,09 17.454.492,34 36,80 19.495.251,08 41,11

Suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling


berintegrasi, sehingga membentuk suatu kesatuan (Asdak, 1995). Apabila salah satu
komponen terganggu, maka hal ini akan mempengaruhi komponen lain yang ada pada
ekosistem tersebut. Pencemar yang masuk ke suatu ekosistem perairan dapat
dibersihkan secara alami oleh ekosistem itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena
pengaruh organisme dan tanaman air yang hidup dan berkembang di ekosistem tersebut.

IV-61
Namun,kemampuan pemurnian air secara alami (self purification) memerlukan waktu
dan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya beban pencemar dan teknik pemulihan alam
khususnya aktivitas bakteri alam dalam merombak bahan organik, sehingga kapasitas
ekosistem perairan atau badan air dalam mengencerkan, mengurai dan menyerap
pencemar meningkat.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pemurnian air dengan baik maupun tidak. Secara umum di Pulau Sumatera lahan
yang mampu melakukan pemurnian air dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi,
sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi dalam pemurnian air di Pulau
Sumatera memiliki luasan sebesar 19.495.251,08 hektar atau sekitar 41,11% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang dalam pemurnian air memiliki luasan sebesar 17.454.492,34 hektar atau sekitar
36,80%. Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar
10.477.432,29 hektar atau sebesar 22,09% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pemurnian air terletak
pada ekoregion Kaki Gunung dan Dataran Kaki Gunung. Kawasan hutan yang
mendominasi ekoregion tersebut merupakan kawasan yang masih alami karena belum
banyak diintervensi oleh kegiatan manusia. Air permukaan di hutan masih relatif bersih
karena belum banyak pencemaran, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai sumber air.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah dalam pemurnian air terletak pada
Lahan Gambut dan Dataran Fluviomarin.
Tabel 4.36 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem
Pengaturan Pengolahan dan Penguraian Limbah
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 138.442,84 3,49 121.120,20 3,05 3.712.847,40 93,47
Dataran Fluvio Gunungapi 216.347,13 8,31 35.622,40 1,37 2.350.674,81 90,32
Dataran Fluviomarin 126.896,46 7,42 418.982,91 24,51 1.163.519,49 68,07
Dataran Kaki Gunungapi 345.277,50 10,04 82.328,74 2,40 3.009.860,67 87,56
Kaki Gunungapi 67.214,69 3,38 1.509.848,66 75,85 413.459,09 20,77
Kerucut dan Lereng
1.732.629,23 99,06 685,10 0,04 15.808,71 0,90
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 4.727.937,31 63,38 2.630.481,05 35,26 101.190,31 1,36
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 4.226.651,52 58,61 2.762.662,71 38,31 221.822,00 3,08
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/ 68.778,43 5,39 1.065.917,02 83,57 140.767,60 11,04

IV-62
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.518.670,84 86,30 201.287,14 11,44 39.733,40 2,26
Pegunungan Lipatan 5.968.924,52 98,80 70.892,76 1,17 1.685,62 0,03
Pegunungan Patahan 2.382.201,35 90,02 263.529,82 9,96 616,59 0,02
Perbukitan Denudasional 71.037,55 86,82 4.143,38 5,06 6.638,82 8,11
Perbukitan Lipatan 2.518.821,37 78,25 681.024,74 21,16 19.158,41 0,60
Perbukitan Patahan 545.070,27 38,53 777.786,12 54,98 91.748,07 6,49
Pesisir (Coast) 32.607,36 4,67 192.040,66 27,52 473.052,47 67,80
Tubuh Air 1.433,26 0,90 2.536,41 1,60 154.760,76 97,50
Total 24.688.941,63 52,06 10.820.889,84 22,82 11.917.344,23 25,13

Alam menyediakan berbagai macam mikroba (aerob) yang mampu menguraikan


zat organik yang terdapat dalam limbah dan sampah menjadi zat anorganik yang stabil
dan tidak memberikan dampak pencemaran bagi lingkungan. Mikroba aerob yang
disediakan ekosistem dan berperan dalam proses menetralisir, mengurai, dan menyerap
limbah dan sampah diantaranya bakteri, jamur, protozoa, dan ganggang.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pengolahan dan penguraian limbah dengan baik maupun tidak. Secara umum di
Pulau Sumatera lahan yang mampu melakukan pengolahan dan penguraian limbah
dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang
berpotensi tinggi dalam pengolahan dan penguraian limbah di Pulau Sumatera memiliki
luasan sebesar 11.917.344,23 hektar atau sekitar 25,13% dari keseluruhan lahan yang
terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi sedang dalam pengolahan dan
penguraian limbah memiliki luasan sebesar 10.820.889,84 hektar atau sekitar 22,82%
Sedangkan lahan yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar 24.688.941,63
hektar atau sebesar 52,06% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pengolahan dan
penguraian limbah terletak pada ekoregion Dataran Aluvial dan Dataran Fluvio Gunung
Api. Kedua Ekoregion ini didominasi oleh kawasan hutan, sehingga kegiatan manusia
masih terbatas. Jenis limbah di hutan adalah bangkai, ranting atau sisa organisme lain,
sehingga alam masih mampu menguraikan. Hasil penguraian sampah sisa organisme
dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos untuk tumbuhan di hutan. Sebagian besar
lahan yang memiliki potensi rendah dalam pengolahan dan penguraian limbah terletak
pada Kerucut dan Lereng Gunung Api, Pegunungan Lipatan, dan Pegunungan Patahan.

IV-63
Tabel 4.37 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem
Pengaturan Pemeliharaan Kualitas Udara
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 1.940.212,88 48,84 1.716.462,06 43,21 315.735,49 7,95
Dataran Fluvio Gunungapi 973.310,80 37,40 1.621.717,15 62,31 7.616,39 0,29
Dataran Fluviomarin 815.821,50 47,73 683.203,53 39,97 210.373,83 12,31
Dataran Kaki Gunungapi 429.520,57 12,50 2.221.537,50 64,63 786.408,84 22,88
Kaki Gunungapi 67.245,23 3,38 1.101.060,92 55,32 822.216,30 41,31
Kerucut dan Lereng
39.761,74 2,27 750.479,91 42,91 958.881,39 54,82
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 2.087.896,10 27,99 3.510.441,08 47,06 1.861.271,49 24,95
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 3.428.951,70 47,55 2.878.580,67 39,92 903.603,86 12,53
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
776.300,43 60,86 342.725,18 26,87 156.437,45 12,27
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 1.432.487,13 81,41 327.204,25 18,59 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 80.654,20 1,34 1.238.356,43 20,50 4.722.492,27 78,17
Pegunungan Patahan 12.321,11 0,47 576.685,73 21,79 2.057.340,93 77,74
Perbukitan Denudasional 61.746,43 75,47 20.073,32 24,53 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 573.621,48 17,82 1.552.407,81 48,23 1.092.975,24 33,95
Perbukitan Patahan 195.142,18 13,79 437.174,15 30,90 782.288,13 55,30
Pesisir (Coast) 121.448,78 17,41 259.727,27 37,23 316.524,44 45,37
Tubuh Air 158.469,73 99,84 0,00 0,00 260,71 0,16
Total 13.194.912,00 27,82 19.237.836,96 40,56 14.994.426,74 31,62

Kualitas udara yang baik merupakan salahsatu manfaat yang diberikan oleh
ekosistem. Kualitas udarasangat dipengaruhi oleh interaksi antar berbagai polutan yang
diemisikan ke udara dengan faktor-faktor meteorologis (angin, suhu, hujan,dan sinar
matahari), serta pemanfaatan ruang di permukaan bumi. Semakin tinggi intensitas
pemanfaatan ruang, semakin dinamis kualitas udara. Jasa pemeliharaan kualitas udara
pada kawasan bervegetasi dan pada daerah bertopografi tinggi umumnya lebih baik
dibanding dengan daerah nonvegetasi.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pemeliharaan kualitas udara dengan baik maupun tidak. Secara umum, di Pulau
Sumatera lahan yang mampu melakukan pengolahan dan penguraian limbah dapat
dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi
tinggi dalam pemeliharaan kualitas udara di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar
14.994.426,74 hektar atau sekitar 31,62% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera. Lahan yang memiliki potensi sedang dalam pemeliharaan kualitas udara
memiliki luasan sebesar 19.237.836,96 hektar atau sekitar 40,56% Sedangkan lahan

IV-64
yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar 3.194.912,00 atau sebesar
27,82% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pemeliharaan kualitas
udara terletak pada ekoregion Pegunungan Lipatan dan Pegunungan Patahan. Kedua
ekoregion ini didominasi oleh penggunaan lahan berupa hutan. Tutupan vegetasi pada
dua ekoregion tersebut juga rapat. Selain itu, curah hujan di kawasan tersebut cukup
tinggi dan penyinaran matahari berlangsung intensif. Hal ini membuat proses
fotosintesis dapat berjalan dengan baik dan membuat udara lebih sejuk. Sebagian besar
lahan yang memiliki potensi rendah dalam pemeliharaan kualitas udara terletak pada
Pegunungan dan Perbukitan Denudasional.
Tabel 4.38 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem
Pengaturan Penyerbukan Alami
Sangat Rendah-
Sedang Tinggi-Sangat Tinggi
Ekoregion Rendah
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 305.360,95 7,69 3.021.608,29 76,06 645.441,20 16,25
Dataran Fluvio Gunungapi 288.938,01 11,10 16.473,66 0,63 2.297.232,66 88,27
Dataran Fluviomarin 286.658,01 16,77 1.212.367,02 70,92 210.373,83 12,31
Dataran Kaki Gunungapi 432.858,15 12,59 2.963.470,22 86,21 41.138,55 1,20
Kaki Gunungapi 67.587,78 3,40 0,00 0,00 1.922.934,67 96,60
Kerucut dan Lereng
686.514,85 39,25 375.083,57 21,44 687.524,62 39,31
Gunungapi
Lahan Gambut (Peat Land) 5.598.337,19 75,05 1.861.271,49 24,95 0,00 0,00
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 2.303.164,15 31,94 4.103.810,03 56,91 804.162,05 11,15
(Intermountain Basin)
Lembah antar Perbukitan/
618.910,93 48,52 522.564,21 40,97 133.987,91 10,51
Pegunungan patahan (Terban)
Pegunungan Denudasional 727.754,79 41,36 788.154,72 44,79 243.781,88 13,85
Pegunungan Lipatan 82.407,32 1,36 1.484.198,86 24,57 4.474.896,72 74,07
Pegunungan Patahan 12.854,41 0,49 765.994,06 28,95 1.867.499,29 70,57
Perbukitan Denudasional 61.746,43 75,47 20.073,32 24,53 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 2.126.029,29 66,05 1.092.975,24 33,95 0,00 0,00
Perbukitan Patahan 632.316,33 44,70 782.288,13 55,30 0,00 0,00
Pesisir (Coast) 295.605,71 42,37 397.721,86 57,00 4.372,93 0,63
Tubuh Air 158.730,44 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Total 14.685.774,74 30,96 19.408.054,66 40,92 13.333.346,30 28,11

Ekosistem menyediakan jasa pengaturan penyerbukan alami khususnya lewat


tersedianya habitat spesies yang dapat membantu proses penyerbukan alami. Habitat
alami seperti hutan dan areal bervegetasi umumnya menyediakan media spesies
pengatur penyerbukan yang lebih melimpah. Penyerbukan alami adalah proses
penyerbukan (berpindahnya serbuk sari dari kepala sari ke kepala putik) yang secara

IV-65
khusus terjadi pada bunga yang sama atau antar bunga yang berbeda tetapi dalam satu
tanaman atau di antara bunga pada klon tanaman yang sama.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pengatur penyerbukan alami dengan baik maupun tidak. Secara umum, di Pulau
Sumatera lahan yang mampu melakukan pengatur penyerbukan alami dapat dibagi
menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan yang berpotensi tinggi
dalam pengatur penyerbukan alami di Pulau Sumatera memiliki luasan sebesar
13.333.346,30 hektar atau sekitar 28,11% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau
Sumatera. Lahan yang memiliki potensi sedang dalam pengatur penyerbukan alami
memiliki luasan sebesar 19.408.054,66 hektar atau sekitar 40,92% Sedangkan lahan
yang memiliki potensi rendah memiliki luasan sebesar 14.685.774,74 hektar atau
sebesar 30,96% dari keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pengatur penyerbukan
alami terletak pada ekoregion Kaki Gunung Api dan Dataran Fluvio Gunung Api.Kedua
ekoregion yang didominasi kawasan hutan, mempunyai potensi tinggi untuk mengatur
penyerbukan. Hutan merupakan tempat yang “sempurna” untuk kegiatan alami seperti
penyerbukan. Keseimbangan ekosistem yang masih terjaga membuat
organisme/tumbuhan dapat melakukan proses penyerbukan. Pada ekosistem yang masih
alami akan terjadi proses timbal balik antara organisme, salah satunya adalah proses
penyerbukan. Sebagian besar lahan yang memiliki potensi rendah dalam pengatur
penyerbukan alami terletak pada Perbukitan Denudasional dan Lahan Gambut.
Tabel 4.39 Distribusi Luas dan Peran Jasa Ekosistem
Pengaturan Pengendalian Hama dan Penyakit
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Dataran Aluvial 138.442,84 3,49 165.251,76 4,16 3.668.715,84 92,35
Dataran Fluvio Gunungapi 251.969,53 9,68 36.968,48 1,42 2.313.706,32 88,90
Dataran Fluviomarin 146.260,32 8,56 123.867,66 7,25 1.439.270,88 84,20
Dataran Kaki Gunungapi 427.606,24 12,44 5.251,91 0,15 3.004.608,77 87,41
Kaki Gunungapi 67.448,77 3,39 1.431.043,34 71,89 492.030,34 24,72
Kerucut dan Lereng
Gunungapi 1.061.598,42 60,69 687.524,62 39,31 0,00 0,00
Lahan Gambut (Peat Land) 516.663,29 6,93 2.589.302,77 34,71 4.353.642,62 58,36
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan
(Intermountain Basin) 391.043,38 5,42 3.957.660,52 54,88 2.862.432,33 39,69
Lembah antar Perbukitan/
Pegunungan patahan
(Terban) 72.422,33 5,68 701.001,82 54,96 502.038,90 39,36

IV-66
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Ekoregion Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
Pegunungan Denudasional 1.432.487,13 81,41 327.204,25 18,59 0,00 0,00
Pegunungan Lipatan 1.566.031,84 25,92 4.475.471,05 74,08 0,00 0,00
Pegunungan Patahan 778.848,13 29,43 1.867.499,63 70,57 0,00 0,00
Perbukitan Denudasional 61.746,43 75,47 20.073,32 24,53 0,00 0,00
Perbukitan Lipatan 1.875.182,33 58,25 250.846,95 7,79 1.092.975,24 33,95
Perbukitan Patahan 627.198,03 44,34 5.118,30 0,36 782.288,13 55,30
Pesisir (Coast) 145.731,92 20,89 185.877,05 26,64 366.091,52 52,47
Tubuh Air 158.380,94 99,78 88,79 0,06 260,71 0,16
Total 9.719.061,86 20,49 16.830.052,24 35,49 20.878.061,60 44,02

Pengendalian hama adalah pengaturan makhluk-makhluk atau organisme


pengganggu yang disebut hama karena dianggap mengganggu kesehatan manusia,
ekologi, atau ekonomi. Hama dan penyakit merupakan ancaman biotis yang dapat
mengurangi hasil dan bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Ekosistem secara alami
menyediakan sistem pengendalian hama dan penyakit melalui keberadaan habitat
spesies trigger dan pengendali hama dan penyakit.
Ekoregion yang terdapat di Pulau Sumatera ada yang dapat memberikan manfaat
berupa pengatur pengendalian hama dan penyakit dengan baik maupun tidak. Secara
umum, di Pulau Sumatera lahan yang mampu melakukan pengatur pengendalian hama
dan penyakit dapat dibagi menjadi lahan berpotensi tinggi, sedang, dan rendah. Lahan
yang berpotensi tinggi dalam pengatur pengendalian hama dan penyakit di Pulau
Sumatera memiliki luasan sebesar 20.878.061,60 hektar atau sekitar 44,02% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Lahan yang memiliki potensi
sedang dalam pengatur pengendalian hama dan penyakit memiliki luasan sebesar
16.830.052,24 hektar atau sekitar 35,49% Sedangkan lahan yang memiliki potensi
rendah memiliki luasan sebesar 9.719.061,86 hektar atau sebesar 20,49% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera.
Sebagian besar lahan yang memiliki potensi tinggi dalam pengatur pengendalian
hama dan penyakit terletak pada ekoregion Dataran Fluvial, Dataran Fluvio Gunung
Api, dan Dataran Kaki Gunung Api. Pada Ekoregian yang dominasi penggunaan
lahannya masih berupa hutan mempunyai kondisi yang relatif alami. Ekosistem di hutan
relatif masih terjaga, sehingga siklus rantai makanan masih seimbang. Hama yang
mengganggu akan dimangsa oleh predator alami mereka, sehingga terjadi keseimbangan
alam. Benalu atau gulma yang mengganggu pada tumbuhan akan dilawan oleh
tumbuhan tersebut dengan cara tertentu. Perlawanan terhadap hama dan penyakit secara

IV-67
alami bisa dilakukan karena ekosistem masih terjaga. Sebagian besar lahan yang
memiliki potensi rendah dalam pengatur pengendalian hama dan penyakit terletak pada
Pegunungan dan Perbukitan Denudasional

2. Profil Distribusi Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan


Menurut Provinsi

Tabel 4.40 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim


Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.321.165,61 23,24 682.023,66 12,00 3.682.401,87 64,77
BENGKULU 427.538,71 21,53 563.931,65 28,40 994.205,43 50,07
JAMBI 2.261.065,26 45,99 891.560,51 18,13 1.763.996,35 35,88
KEP. BANGKA BELITUNG 191.570,61 11,55 642.727,01 38,76 823.788,41 49,68
KEP. RIAU 360.852,08 46,85 176.339,20 22,90 233.007,98 30,25
LAMPUNG 1.765.760,61 52,37 894.749,03 26,54 711.104,50 21,09
RIAU 2.203.362,16 24,66 2.243.228,88 25,11 4.486.712,69 50,22
SUMATERA BARAT 755.111,01 17,92 911.599,95 21,63 2.547.232,30 60,45
SUMATERA SELATAN 2.645.482,44 30,54 3.976.938,51 45,91 2.039.244,62 23,54
SUMATERA UTARA 2.112.254,96 29,21 1.800.462,56 24,90 3.317.757,12 45,89

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi lahan dalam pengaturan
iklim pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang
memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi adalah Provinsi Aceh
dengan presentase mencapai 64,77% atau luasan 3.682.401,87 hektar dari keseluruhan
wilayahnya. Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau juga memiliki luasan lahan
berpotensi tinggi dalam pengaturan iklim yang besar. Presentase luasannya mencapai
60,45% di Sumatera Barat dan 50,22% di Provinsi Riau. Provinsi Aceh dan Sumatera
Barat memiliki tutupan lahan berupa hutan yang cukup luas. Sedangkan Provinsi Riau
memiliki tutupan lahan vegetasi berupa perkebunan yang juga luas. Hutan menghasilkan
karbon dan oksigen, sehingga suhu menjadi lebih sejuk.

IV-68
Gambar 4.19 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim

IV-69
Fungsi hutan lainnya adalah menyerapkarbondioksida dan partikel kotor yang
ada di udara, sehingga kualitasdapat terjaga. Selain itu, hamparan tanaman kebun dan
tanaman semusim yang luas mampu menetralisir iklim disekitarnya menjadi sejuk.
Oksigen dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman, semakin rapat dan banyak jumlah
vegetasi maka semakin banyak oksigen yang dihasilkan.

Tabel 4.41 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Tata Aliran Air dan Banjir
SANGAT RENDAH- TINGGI-SANGAT
SEDANG
PROVINSI RENDAH TINGGI
Ha % Ha % Ha %
ACEH 203.599,02 3,58 1.014.071,61 17,84 4.467.920,51 78,58
BENGKULU 75.130,72 3,78 457.890,61 23,06 1.452.654,45 73,16
JAMBI 152.792,44 3,11 1.718.386,43 34,95 3.045.443,25 61,94
KEP. BANGKA BELITUNG 569.350,89 34,34 680.857,76 41,06 407.877,39 24,60
KEP. RIAU 81.743,07 10,61 370.138,21 48,06 318.317,98 41,33
LAMPUNG 372.483,89 11,05 477.615,14 14,17 2.521.515,12 74,79
RIAU 343.083,75 3,84 1.139.716,92 12,76 7.450.503,07 83,40
SUMATERA BARAT 113.056,20 2,68 971.287,02 23,05 3.129.600,04 74,27
SUMATERA SELATAN 477.838,55 5,52 1.632.440,78 18,85 6.551.386,24 75,64
SUMATERA UTARA 229.140,52 3,17 1.699.181,81 23,50 5.302.152,30 73,33

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi lahan dalam pengaturan tata
aliran air dan banjir pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera.
Provinsi yang memiliki presentase paling besar lahan potensial atau paling tinggi adalah
Provinsi Riau, dimana 83.40% dari luasanya merupakan lahan berpotensi tinggi.
Sedangkan Provinsi lain yang juga memiliki luasan lahan yang besar dalam pengaturan
tata aliran air dan banjir adalah Provinsi Sumatera Selatan dengan luasan lahan
6.551.386,24 hektar (5.64%) serta Provinsi Aceh dengan luasan yang mencapai
4.467.920,51 hektar atau 78,58% dari keseluruhan wilayahnya. Ketiga Provinsi tersebut
memiliki tutupan lahan berupa vegetasi yang cukup luas. Hutan di perbukitan dan
pegunungan merupakan recharge area.

IV-70
Gambar 4.20 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Tata Aliran Air dan Banjir

IV-71
Vegetasi yang rapat dan tajuk yang luas membuat air hujan yang terserap
semakin banyak.Air akan ditampung oleh tumbuhan dan dialirkan ke dalam tanah.Air
hujan akan diserap langsungoleh tanah tanpa melalui tumbuhan langsung menuju
akuifer. Aliran air tanah akan menuju ke wilayah yang lebih rendah akibat gravitasi. Hal
tersebut menyebabkan ketersediaan air di dataran rendah dapat terpenuhi.
Tabel 4.42 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan
Pengaturan Pencegahan dan Perlindungan dari bencana
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.398.812,15 24,60 970.419,47 17,07 3.316.359,52 58,33
BENGKULU 530.135,28 26,70 808.436,65 40,71 647.103,86 32,59
JAMBI 1.740.544,84 35,40 1.811.767,72 36,85 1.364.309,56 27,75
KEP. BANGKA BELITUNG 1.232.805,86 74,35 197.682,32 11,92 227.597,87 13,73
KEP. RIAU 348.054,73 45,19 161.517,58 20,97 260.626,95 33,84
LAMPUNG 947.770,00 28,11 1.887.273,43 55,98 536.570,72 15,91
RIAU 1.424.322,95 15,94 3.783.303,57 42,35 3.725.677,22 41,71
SUMATERA BARAT 1.177.860,75 27,95 1.817.757,63 43,14 1.218.324,88 28,91
SUMATERA SELATAN 1.508.487,80 17,42 4.062.781,23 46,91 3.090.396,54 35,68
SUMATERA UTARA 2.282.060,07 31,56 2.261.732,52 31,28 2.686.682,05 37,16

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi lahan dalam pengaturan
pencegahan dan perlindungan dari bencanapada masing-masing Provinsi yang terletak
di Pulau Sumatera. Provinsi yang memiliki presentase paling besar lahan potensial atau
paling tinggi adalah Provinsi Aceh dan Provinsi Riau. Lahan berpotensi tinggi di
Provinsi Aceh dalam pengaturan pencegahan dan perlindungan dari bencana mencapai
58,33% atau seluas 3.316.359,52 hektar dari keseluruhan wilayahnya, Sedangkan di
Provinsi Riau Presentase lahan berpotensi tinggi mencapai 41,71% atau seluas
3.725.677,22 hektar. Wilayah Provinsi Riau lebih didominasi oleh lahan berpotensi
sedang. Bencana merupakan kejadian alam atau buatan manusia yang menimbulkan
kerugian baik jiwa maupun finansial. Lingkungan yang lestari dan terjaga dapat
meminimalisir resiko bencana terutama bencana akibat aktivitas manusia. Keberadan
Pulau Sumatera dengan berbagai karakteristiknya di masing-masing provinsi juga tidak
terlepas dari adanya potensi bencana.

IV-72
Gambar 4.21 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Pencegahan dan Perlindungan dari bencana

IV-73
Adanya berbagai ekosistem dalam setiap satuan administrasi juga memiliki
peran dalam Pengaturan Pencegahan dan Perlindungan Bencana. Secara khusus di
Provinsi Aceh yang memiliki kawasan hutan luas juga memiliki perannya tersendiri.
Kawasan hutan memiliki kemampuan untuk mengurangi kerawanan terhadap bahaya
banjir dan longsor. Vegetasi di hutan mampu mengikat tanah dengan kuat, sehingga
tidak mudah tererosi oleh air hujan. Vegetasi juga mengurangi jumlah air hujan yang
langsung jatuh ke dalam tanah. Dua fungsi tersebut akan mengurangi bahaya longsor di
pegunungan dan perbukitan. Sedimentasi juga akan berkurang karena tanah tidak mudah
tererosi. Hal ini akan mengurangi endapan sedimen di dataran rendah.
Tabel 4.43 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Pemurnian Air
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 598.602,28 10,53 1.698.870,19 29,88 3.388.118,68 59,59
BENGKULU 321.945,16 16,21 733.375,17 36,93 930.355,46 46,85
JAMBI 894.921,80 18,20 2.489.585,13 50,64 1.532.115,19 31,16
KEP. BANGKA BELITUNG1.078.740,60 65,06 325.692,55 19,64 253.652,89 15,30
KEP. RIAU 159.094,66 20,66 319.341,19 41,46 291.763,41 37,88
LAMPUNG 690.311,45 20,47 770.165,64 22,84 1.911.137,06 56,68
RIAU 2.396.624,43 26,83 4.547.971,02 50,91 1.988.708,29 22,26
SUMATERA BARAT 347.478,34 8,25 1.269.032,98 30,12 2.597.431,94 61,64
SUMATERA SELATAN 2.690.801,03 31,07 2.805.792,38 32,39 3.165.072,16 36,54
SUMATERA UTARA 1.298.912,55 17,96 2.494.666,10 34,50 3.436.895,99 47,53

Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi lahan dalam pengaturan
pemurnian air pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi
yang tergolong memiliki presentase besar lahan potensial atau paling tinggi adalah
Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Aceh.Provinsi Sumatera Barat memiliki
2.597.431,94 hektar atau 61,64% lahan berpotensi tinggi di wilayahnya. Sedangkan
Provinsi Aceh memiliki lahan berpotensi tinggi seluas 3.388.118,68 hektar atau seluas
59,59% dari keseluruhan wilayahnya.

IV-74
Gambar 4.22 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Pemurnian Air

IV-75
Provinsi Sumatera Barat memiliki 2.597.431,94 hektar atau 61,64% lahan
berpotensi tinggi di wilayahnya. Sedangkan Provinsi Aceh memiliki lahan berpotensi
tinggi seluas 3.388.118,68 hektar atau seluas 59,59% dari keseluruhan wilayahnya. Hal
tersebut tidak terlepas dari luasan kawasan hutan yang besar dengan kondisinya masih
terjaga dengan baik. Ekosistem hutan yang alami membuat beban pencemar masih
rendah, hal ini memudahkan air untuk memurnikan diri, sehingga kualitas air relatif
baik. Limbah yang ada di hutan hanya sisa-sisa kehidupan organisme hutan seperti
ranting, kayu ataupun daun. Flora dan fauna di sungai akan dapat berkembang biak
karena kualitas air yang baik.
Tabel 4.44 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem
Pengaturan Pengolahan dan Penguraian Limbah
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 3.861.513,33 67,92 854.185,86 15,02 969.891,95 17,06
BENGKULU 1.144.897,27 57,66 396.791,16 19,98 443.987,36 22,36
JAMBI 2.141.375,11 43,55 2.095.715,15 42,63 679.531,86 13,82
KEP. BANGKA BELITUNG 1.366.559,05 82,42 187.722,32 11,32 103.804,67 6,26
KEP. RIAU 488.136,48 63,38 198.868,44 25,82 83.194,35 10,80
LAMPUNG 1.159.918,90 34,40 417.164,20 12,37 1.794.531,04 53,22
RIAU 4.278.869,52 47,90 2.487.456,01 27,84 2.166.978,20 24,26
SUMATERA BARAT 2.535.737,76 60,17 1.051.143,22 24,94 627.062,28 14,88
SUMATERA SELATAN 3.917.514,08 45,23 1.430.688,72 16,52 3.313.462,76 38,25
SUMATERA UTARA 3.794.420,12 52,48 1.701.154,74 23,53 1.734.899,77 23,99

IV-76
Gambar 4.23 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Pengolahan dan Penguraian Limbah

IV-77
Ekosistem sendiri tidaklah bersifat statis, melainkan selalu mengalami
perubahan. Keseimbangan lingkungan dapat berubah melalui proses alami maupun
karena campur tangan manusia. Pencemaran lingkungan adalah salah satu faktor yang
dapat mengganggu keseimbangan alam. Pencemaran lingkungan disebabkan oleh bahan
pencemar (limbah) yang berasal dari berbagai sumber. Limbah adalah sumber daya
alam yang telah kehilangan fungsinya. Keberadaan limbah di lingkungan harus
ditangani secara tepat karena selain berpotensi menjadi polutan, keberadaan limbah
dapat mengganggu keindahan, kenyamanan dan kesehatan. Karena keberadaannya yang
dapat mengganggu keseimbangan ekosistem itulah, limbah harus ditangani secara bijak
seperti dengan cara mengurangi penggunaan barang tertentu (reduce), pemanfaatan
kembali (reuse), dan daur ulang (recycle). Alam sendiri mempunyai kemampuan untuk
mengolah limbah agar tidak memberikan dampak. Kemampuan tersebut dipengaruhi
oleh jenis limbah/sampah dan kondisi lingkungan.
Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi lahan dalam pengaturan
pengolahan dan penguraian limbah pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau
Sumatera. Provinsi yang tergolong memiliki presentase besar lahan potensial atau
paling tinggi adalah Provinsi Lampung, dimana 53,22% atau 1.794.531,04 hektar dari
keseluruhan wilayahnya merupakan lahan berpotensi tinggi. Berikutnya adalah Provinsi
Sumatera Selatan dengan luasan lahan berpotensi tinggi mencapai 3.313.462,76 hektar
atau sekitar 38,25%. Sebagian besar wilayah di Pulau Sumatera memiliki lahan
berpotensi rendah dalam pengaturan pengolahan dan penguraian limbah

IV-78
Gambar 4.24 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Pemeliharaan Kualitas Udara

IV-79
Tabel 4.45 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem
Pengaturan Pemeliharaan Kualitas Udara

Sangat Rendah- Tinggi-Sangat


Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.233.587,39 21,70 1.112.858,05 19,57 3.339.145,70 58,73
BENGKULU 355.819,30 17,92 782.051,93 39,38 847.804,56 42,70
JAMBI 2.073.220,16 42,17 1.407.036,16 28,62 1.436.365,81 29,21
KEP. BANGKA BELITUNG 1.381.494,50 83,32 254.976,02 15,38 21.615,52 1,30
KEP. RIAU 412.247,82 53,52 206.403,71 26,80 151.547,74 19,68
LAMPUNG 842.935,45 25,00 2.054.155,30 60,92 474.523,39 14,07
RIAU 2.599.668,03 29,10 3.762.326,74 42,12 2.571.308,97 28,78
SUMATERA BARAT 505.286,37 11,99 1.443.219,76 34,25 2.265.437,13 53,76
SUMATERA SELATAN 2.076.536,14 23,97 5.044.369,68 58,24 1.540.759,74 17,79
SUMATERA UTARA 1.714.116,83 23,71 3.170.439,62 43,85 2.345.918,19 32,44

Udara bersih merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat bertahan hidup.
Ketersediaan vegetasi menjadi penting untuk penyediaan udara bersih karena sebagai
penyaring alami. Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi lahan dalam
pengaturan kualitas udara pada masing-masing Provinsi yang terletak di Pulau
Sumatera. Provinsi yang tergolong memiliki presentase besar lahan potensial atau
paling tinggi adalah Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat. Luasan lahan
berpotensi tinggi di Provinsi Aceh mencapai 58,73% dari keseluruhan wilayah Aceh.
Sedangkan luasan lahan berpotensi tinggi di Sumatera Barat mencapai 53,76% dari
keseluruhan wilayah Provinsi Sumatera Barat. Kedua Provinsi tersebut diketahui
memiliki kawasan hutan alami yang cukup luas. Oksigen yang dihasilkan oleh hutan
menetralisir kualitas udara dan partikel kotor diserap oleh tumbuhan. Hal ini
menyebabkan udara di kawasan hutan relatif sejuk dan bersih. Selain kedua propnsi
tersebut, Provinsi Riau juga memiliki luasan lahan berpotensi tingi yang besar, yakni
2.571.308,97 hektar. Meskipun tidak mendominasi, namun lahan perkebunan di
Provinsi ini juga mempunyai potensi tinggi dalam pengaturan pemurnian kualitas udara.
Hamparan tanaman pangan menghasilkan oksigen dari hasil fotosintes. Hal ini
menetralisir udara yang panas menjadi lebih sejuk.

IV-80
Gambar 4.25 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Penyerbukan Alami

IV-81
Tabel 4.46 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem Pengaturan Pengaturan Penyerbukan Alami
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 972.889,87 17,11 1.882.031,71 33,10 2.830.669,56 49,79
BENGKULU 380.114,22 19,14 781.904,95 39,38 823.656,62 41,48
JAMBI 2.146.963,95 43,67 1.325.381,70 26,96 1.444.276,47 29,38
KEP. BANGKA BELITUNG 786.978,51 47,46 726.379,82 43,81 144.727,71 8,73
KEP. RIAU 285.654,10 37,09 332.569,41 43,18 151.975,76 19,73
LAMPUNG 999.867,48 29,66 1.711.481,84 50,76 660.264,82 19,58
RIAU 3.094.958,07 34,65 5.053.370,63 56,57 784.975,04 8,79
SUMATERA BARAT 804.666,68 19,10 1.560.464,78 37,03 1.848.811,80 43,87
SUMATERA SELATAN 2.998.317,01 34,62 3.399.207,31 39,24 2.264.141,25 26,14
SUMATERA UTARA 2.215.364,84 30,64 2.635.262,53 36,45 2.379.847,27 32,91

Penyerbukan adalah peristiwa jatuhnya serbuk sari di kepala putik. Penyerbukan,


atau polinasi adalah jatuhnya serbuk sari pada permukaan putik. Penyerbukan
merupakan bagian penting dari proses reproduksi tumbuhan berbiji. Penyerbukan yang
sukses akan diikuti segera dengan tumbuhnya buluh serbuk yang memasuki saluran
putik menuju bakal biji. Di bakal biji terjadi peristiwa penting berikutnya yaitu
pembuahan.Penyerbukan alami dilakukan melalui bantuan spesies tertentu, keberadaan
spesies tersebut dipengauhi oleh kondisi lingkungan. Berdasarkan data pada tabel dapat
diketahui potensi lahan dalam pengaturan penyerbukan alami pada masing-masing
Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang tergolong memiliki presentase
besar lahan potensial atau paling tinggi adalah Provinsi Aceh yang memiliki lahan
berpotensi tinggi seluas 2.830.669,56 hektar atau mencapai 49,79% dari keseluruhan
wilayahnya. Kondisi lingkungan yang alami, khususnya kawasan hutan di Provinsi
Aceh membuat proses penyerbukan berjalan dengan normal. Spesies pembantu
penyerbukan dapat ditemukan pada lingkungan yang masih alami.

IV-82
Gambar 4.26 Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Pengendalian Hama dan Penyakit

IV-83
Tabel 4.47 Distrbusi dan Luas Jasa Ekosistem
Pengaturan Pengendalian Hama dan Penyakit
Sangat Rendah- Tinggi-Sangat
Sedang
Provinsi Rendah Tinggi
Ha % Ha % Ha %
ACEH 1.078.281,86 18,97 3.076.583,32 54,11 1.530.725,96 26,92
BENGKULU 505.982,81 25,48 765.639,84 38,56 714.053,14 35,96
JAMBI 479.734,57 9,76 2.567.910,20 52,23 1.868.977,35 38,01
KEP. BANGKA BELITUNG 1.368.344,28 82,53 238.542,11 14,39 51.199,64 3,09
KEP. RIAU 248.937,84 32,32 356.437,22 46,28 164.824,20 21,40
LAMPUNG 1.048.642,08 31,10 467.615,44 13,87 1.855.356,63 55,03
RIAU 557.092,43 6,24 2.231.696,50 24,98 6.144.514,80 68,78
SUMATERA BARAT 1.126.538,53 26,73 1.655.505,01 39,29 1.431.899,72 33,98
SUMATERA SELATAN 1.178.495,15 13,61 3.050.780,30 35,22 4.432.390,12 51,17
SUMATERA UTARA 2.127.012,32 29,42 2.419.342,28 33,46 2.684.120,04 37,12

Pengendalian hama dan penyakit adalah pengaturan makhluk-makhluk atau


organisme pengganggu yang disebut hama dan penyakit karena dianggap mengganggu
kesehatan manusia, ekologi, atau ekonomi. Pada tanaman perkebunan sering dijumpai
berbagai jenis serangga. Tidak semua jenis serangga tersebut berstatus hama. Beberapa
jenis di antaranya justru merupakan serangga berguna, misalnya penyerbuk dan musuh
alami (parasitoid dan predator). Organisme dalam aktivitas hidupnya selalu berinteraksi
dengan organisme lainnya dalam suatu keterkaitan dan ketergantungan yang kompleks.
Interaksi antar organisme tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif atau simbiotik.
Sifat antagonistik ini dapat dilihat pada musuh alami yang merupakan agen hayati
dalam pengendalian hama. Alam sudah menyediakan spesies tertentu (musuh alami)
untuk pengendalian hama dan penyakit. Musuh alami memiliki peranan dalam
pengaturan dan pengendalian populasi hama, sebagai faktor yang bekerjanya tergantung
kepada kepadatan, dalam kisaran tertentu musuh alami dapat mempertahankan populasi
hama di sekitar aras keseimbanganumum.Setiap spesies serangga hama sebagai bagian
dari komplekskomunitas dapat diserang oleh serangga lain atau oleh patogen penyebab
penyakit pada serangga.
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi ketersediaan musuh alami tersebut di
suatu wilayah. Berdasarkan data pada tabel dapat diketahui potensi lahan dalam
pengaturan pengendalian hama dan penyakit pada masing-masing Provinsi yang terletak
di Pulau Sumatera. Provinsi yang tergolong memiliki presentase besar lahan potensial
atau paling tinggi adalah Provinsi Riau dengan luasan lahan berpotensi tinggi sebesar
6.144.514,80 hektar atau mencapai 68,78% dari keseluruhan wilayahnya. Adanya
perkebunan dan tanaman semusim juga berpotensi tinggi untuk mengendalikan hama

IV-84
dan penyakit secara alami. Hama yang sering ditemukan di tanaman semusim adalah
tikus. Alam menyediakan ular dan burung hantu untuk mengurangi hama tikus.

3. Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Pengaturan Menurut


Ekoregion dan Provinsi

Tubuh Air

Perbukitan Patahan
HAMA PENYAKIT
Perbukitan Denudasional
PENYERBUKAN ALAMI
Pegunungan Lipatan UDARA

Lembah antar… PP LIMBAH


PEMURNIAN AIR
Lahan Gambut (Peat…
PP BENCANA
Kaki Gunungapi
TATA AIR
Dataran Fluviomarin IKLIM

Dataran Aluvial
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

Gambar 4.27 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Pengaturan

Tabel 4.48 Indeks Jasa Ekosistem Pendukung Menurut Ekoregion


Indeks Daya Dukung Rata
Ekoregion
1 2 3 4 5 6 7 8 rata
Dataran Aluvial 1,06 0,85 0,94 0,80 0,74 1,09 1,19 1,11 0,97
Dataran Fluvio Gunungapi 0,89 0,74 0,80 0,69 0,77 0,92 1,09 0,98 0,86
Dataran Fluviomarin 0,93 0,84 0,93 0,81 0,92 1,02 1,13 1,04 0,95
Dataran Kaki Gunungapi 0,86 0,69 0,77 0,65 0,66 0,91 1,08 0,96 0,82
Kaki Gunungapi 0,99 0,82 0,85 0,76 0,68 1,08 1,27 1,07 0,94
Kerucut dan Lereng Gunungapi 1,53 1,23 1,21 1,10 0,69 1,58 1,69 1,44 1,31
Lahan Gambut (Peat Land) 1,26 1,07 1,13 0,98 1,07 1,27 1,27 1,30 1,17
Lembah antar perbukitan/ Pegunungan
1,12 0,87 1,00 0,83 0,68 1,17 1,30 1,16
Lipatan (Intermountain Basin) 1,02
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan
0,99 0,80 0,90 0,77 0,70 1,10 1,27 1,08
patahan (Terban) 0,95
Pegunungan Denudasional 1,13 0,91 1,04 0,87 0,80 1,17 1,31 1,17 1,05
Pegunungan Lipatan 2,19 1,72 1,67 1,52 0,72 2,21 2,19 1,92 1,77
Pegunungan Patahan 2,13 1,66 1,63 1,48 0,72 2,15 2,16 1,88 1,73

IV-85
Indeks Daya Dukung Rata
Ekoregion
1 2 3 4 5 6 7 8 rata
Perbukitan Denudasional 1,19 0,94 1,11 0,91 0,80 1,25 1,33 1,22 1,09
Perbukitan Lipatan 1,42 1,12 1,21 1,06 0,70 1,49 1,60 1,39 1,25
Perbukitan Patahan 1,70 1,38 1,53 1,34 0,86 1,83 1,82 1,66 1,51
Pesisir (Coast) 1,26 1,13 1,40 1,17 1,39 1,35 1,27 1,34 1,29
Tubuh Air 0,89 1,41 1,06 1,76 1,80 0,71 0,50 0,71 1,10
Keterangan : (1) Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim, (2) Pengaturan Tata Air dan Banjir, (3) Pengaturan
Pencegahan dan Perlindungan Bencana, (4) Pengaturan Pemurnian Air, (5) Pengaturan Pengolahan dan
Penguraian Limbah, (6) Pengaturan Pemeliharaan Kualitas Udara, (7) Pengaturan Penyerbukan Alami
(pollination), dan (8) Pengaturan Pengendalian Hama dan Penyakit

Fungsi pengaturan didukung oleh kondisi lingkungan yang masih alami.


Semakin alami kondisi lingkungan, maka akan semakin besar pulapotensi pengaturan.
Fungsi pengaturan iklim tertiggi terletak di Pegunungan Lipatan dengan nilai indeks
2,19. Fungsi pengaturan tata air dan banjir tertinggi terletak di Ekoregion Pegunungan
lipatan dengan nilai indeks 1,72. Fungsi pengaturan pencegahan dan perlindungan
bencana tertinggi terletak pada Ekoregion Pegunungan Lipatan dengan nilai indeks
1,67. Fungsi pengaturan pemurnian air selain di tubuh air terletak di Pegunungan
Lipatan dengan nilai indeks 1,52. Fungsi pengaturan pengolahan dan penguraian limbah
yang tertinggi terletak pada Ekoregion Tubuh air dan Pesisir (coast). Fungsi
pemeliharaan kualitas udara yang tertinggi terletak pada Ekoregion Pegunungan Lipatan
dengan nilai indeks 2,21. Fungsi pengaturan penyerbukan alami tertinggi terletak pada
Ekoregion Pegunungan Lipatan dengan nilai indeks 2,19. Fungsi pengendalian hama
dan penyakit yang tertinggi terletak pada Ekoregion Pegunungan Lipatan dengan nilai
indeks 1,92. Sebagian besar fungsi pengaturan terletak pada Ekoregion Pegunungan
Lipatan hal ini mengindikasikan kondisi yang masih alami dan terjaga pada ekoregion
tersebut.

IV-86
SUMATERA UTARA
SUMATERA SELATAN
INDEKS R8
SUMATERA BARAT
INDEKS R7
RIAU
INDEKS R6
LAMPUNG
INDEKS R5
KEP. RIAU
INDEKS R4
KEP. BANGKA BELITUNG
INDEKS R3
JAMBI
INDEKS R2
BENGKULU
INDEKS R1
ACEH

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

Gambar 4.28 Grafik Indeks Daya Dukung Lingkungan Jasa Pengaturan Menurut Provinsi

Tabel 4.49 Indeks Jasa Ekosistem Pendukung Menurut Provinsi


Rata-
Indeks Daya Dukung
Provinsi rata
1 2 3 4 5 6 7 8
ACEH 1,83 1,46 1,46 1,32 0,77 1,86 1,89 1,67 1,53
BENGKULU 1,56 1,19 1,27 1,08 0,68 1,58 1,70 1,46 1,31
JAMBI 1,31 1,08 1,11 1,00 0,77 1,39 1,47 1,31 1,18
KEP. BANGKA BELITUNG 1,06 0,86 0,97 0,82 0,82 1,10 1,24 1,12 1,00
KEP. RIAU 1,32 1,07 1,29 1,05 0,87 1,40 1,49 1,34 1,23
LAMPUNG 0,83 0,75 0,75 0,70 0,72 0,92 1,09 0,95 0,84
RIAU 1,38 1,10 1,23 1,03 0,91 1,40 1,38 1,37 1,22
SUMATERA BARAT 1,67 1,34 1,36 1,23 0,75 1,74 1,77 1,58 1,43
SUMATERA SELATAN 1,07 0,86 0,95 0,80 0,81 1,08 1,26 1,12 0,99
SUMATERA UTARA 1,29 1,06 1,08 0,98 0,72 1,35 1,44 1,28 1,15
Keterangan : (1) Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim, (2) Pengaturan Tata Air dan Banjir, (3) Pengaturan
Pencegahan dan Perlindungan Bencana, (4) Pengaturan Pemurnian Air, (5) Pengaturan Pengolahan dan
Penguraian Limbah, (6) Pengaturan Pemeliharaan Kualitas Udara, (7) Pengaturan Penyerbukan Alami
(pollination), dan (8) Pengaturan Pengendalian Hama dan Penyakit

Semakin alami kondisi lingkungan, maka akan semakin besar pulapotensi


pengaturan. Fungsi pengaturan iklim tertiggi terletak di Provinsi Aceh dengan nilai
indeks 1,83. Fungsi pengaturan tata air dan banjir tertinggi terletak di Provinsi Aceh
dengan nilai indeks 1,46. Fungsi pengaturan pencegahan dan perlindungan bencana
tertinggi terletak pada Provinsi Aceh dengan nilai indeks 1,46. Fungsi pengaturan
pemurnian air terletak di Provinsi Aceh dengan nilai indeks 1,32. Fungsi pengaturan
pengolahan dan penguraian limbah yang tertinggi terletak pada Provinsi Riau dengan
nilai indeks 0,91. Fungsi pemeliharaan kualitas udara yang tertinggi terletak pada

IV-87
Provinsi Aceh dengan nilai indeks 1,86. Fungsi pengaturan penyerbukan alami tertinggi
terletak pada Provinsi Aceh dengan nilai indeks 1,89. Fungsi pengendalian hama dan
penyakit yang tertinggi terletak pada Provinsi Aceh dengan nilai indeks 1,67. Sebagian
besar fungsi pengaturan terletak pada Provinsi Aceh hal ini mengindikasikan kondisi
yang masih alami dan terjaga pada Provinsi Aceh.

4.5 Profil Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Jasa Ekosistem Penting
dan Jasa Dominan

Jasa ekosistem penting dapat digunakan untuk mengetahui potensi daya dukung
dan daya tampung pada suatu wilayah. Nilai ekosistem penting dapat diketahui melalui
rata-rata koefisien daya dukung atau daya tampung. Tingkat kepentingan daya dukung
pada jasa ekosistem diperoleh melalui rata-rata seluruh jasa ekosistem yang
dikategorikan sebagai daya dukung. Jasa ekosistem yang dikategorikan sebagai daya
dukung adalah seluruh jasa penyediaan, jasa budaya, dan jasa pendukung. Distribusi
daya dukung dan daya tampung jasa ekosistem penting pada masing-masing provinsi di
Pulau Sumatera dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.50 Distribusi Daya Dukung Dan Daya Tampung Jasa Ekosistem Penting
PENTING I PENTING II PENTING III
Provinsi (PRIORITAS I) (PRIORITAS II) (PRIORITAS III)
Ha % Ha % Ha %
ACEH 3.760.113,77 66,13 1.739.074,34 30,59 186.403,02 3,28
BENGKULU 1.166.671,96 58,75 757.826,88 38,16 61.176,94 3,08
JAMBI 1.938.091,69 39,42 2.850.321,35 57,97 128.209,07 2,61
KEP. BANGKA BELITUNG 175.279,30 10,57 735.122,57 44,34 747.684,17 45,09
KEP. RIAU 250.547,50 32,53 368.448,32 47,84 151.203,44 19,63
LAMPUNG 1.899.585,55 56,34 1.387.313,99 41,15 84.714,61 2,51
RIAU 3.954.512,48 44,27 4.680.200,20 52,39 298.591,05 3,34
SUMATERA BARAT 2.547.257,44 60,45 1.581.121,33 37,52 85.564,50 2,03
SUMATERA SELATAN 3.862.504,59 44,59 4.456.680,47 51,45 342.480,51 3,95
SUMATERA UTARA 3.292.617,53 45,54 3.761.033,48 52,02 176.823,63 2,45

Kategori Penting I atau Prioritas I dapat diartikan bahwa wilayah tersebut


memiliki potensi daya dukung wilayah yang sangat besar untuk jasa penyediaan,
budaya, pendukung dan pengaturan. Selain itu, pada wilayah dengan kategori ini
mendapat prioritas pertama dalam pemanfaatan dan pengembangan kewilayahan dalam
sektor-sektor yang berkaitan dengan jasa penyediaan, budaya, pendukung dan
pengaturan. Berdasarkan pada tabel 4.50 provinsi yang memiliki wilayah kategori I atau
Prioritas petama paling besar adalah Provinsi Aceh yang memiliki luasan wilayah
kategori I sebesar 3.760.113,77 hektar atau sekitar 66.13% dari keseluruhan wilayah

IV-88
Aceh. Sedangkan Provinsi kedua yang wilayahnya didominasi oleh kategori 1 adalah
Provinsi Sumatera Barat dengan luasan mencapai 2.547.257,44 hektar atau sekitar
60,45%. Dengan demikian untuk wilayah yang mendapatkan prioritas dalam
pemanfaatan dan pengembangan kewilayahan terkait dengan jasa penyediaan, budaya,
pendukung dan pengaturan adalah Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat.
Besarnya nilai indeks jasa ekosistem penting Provinsi Aceh dan Provinsi
Sumatera Barat juga terkait dengan keberadaan kawasan lindung dan strategis
lingkungan pada kedua wilayah tersebut. Kedua kawasan ini memiliki fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup dan memiliki pengaruh penting dalam
menjaga keseimbangan ekosistem, sehingga kelestariannya dijaga. Rendahnya
intervensi kegiatan manusia di kawasan tersebut membuat kawasan hutan masih terjaga
dengan baik.Hutan merupakan salah satu elemen utama dalam mendukung penyediaan
jasa ekosistem, baik jasa ekosistem penyediaan, budaya, pengaturan maupun
pendukung. Keberadaan kawsan lindung dan strategis di kedua provinsi tersebut juga
mengindikasikan pentingnya memberikan prioritas pengembangan pada kedua provinsi
tersebut.
Selanjutnya untuk wilayah yang memiliki kategori Penting II yang paling luas
adalah Provinsi Riau dengan luasan 4.680.200,20 hektar atau presentase sebesar 52,39%
dari keseluruhan wilayah Provinsi Riau. Wilayah kategori penting II merupakan wilayah
prioritas kedua dalam pemanfaatan dan pengembangan kewilayahan terkait dengan jasa
penyediaan, budaya, pendukung, dan pengaturan. Sedangkan wilayah yang memiliki
kategori Penting III terbesar adalah Provinsi Kep. Bangka Belitung dengan luasan
sebesar 747,684.17 hektar atau sekitar 45,09%. Wilayah kategori III merupakan wilayah
prioritas ketiga dalam dalam pemanfaatan dan pengembangan kewilayahan terkait
dengan jasa penyediaan, budaya, pendukung, dan pengaturan. Bila dilihat secara spasial
wilayah-wilayah kategori I yang merupakan wilayah prioritas relatif tersebar baik di
bagian utara, tengah, maupun selatan Pulau Sumatera. Provinsi Aceh dan Sumatera
Barat menjadi propinsi yang sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah kategori I
atau wilayah prioritas karena memiliki daya dukung wilayah paling besar dalam
penyediaan jasa ekosistem baik penyediaan, budaya, pengaturan, maupun pendukung.

IV-89
Gambar 4.29 Peta Jasa Ekosistem Penting

IV-90
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Jasa Ekosistem ditentukan oleh dua komponen penting yang mempengaruhinya, yakni
ekoregion dan tutupan lahan. Ekoregion yang paling mendominasi di Pulau Sumatera adalah
Ekoregion Dataran Aluvial. Ekoregion Dataran Aluvial memiliki luasan sebesar
8.302.423,63 hektar atau sekitar 17,47% dari keseluruhan luas Pulau Sumatera. Ekoregion
Dataran Aluvial sebagian besar terletak pada Provinsi Sumatera Selatan dengan luasan
ekoregion sebesar 2.129.659,89 hektar serta Provinsi Riau dengan luasan mencapai
2.057.454,99 hektar. Tutupan lahan di Pulau sumatera yang paling mendominasi berupa
tanaman semusim lahan kering yang memiliki luasan 10.395.593,78 hektar atau sekitar
21,92% dari keseluruhan tutupan lahan yang terdapat di Pulau Sumatera. Tutupan lahan jenis
ini tersebar diseluruh Provinsi yang ada di Sumatera dan pesebaran paling banyak berada di
Provinsi Sumatera Utara.
2. Nilai indeks tertinggi untuk jasa ekosistem penyediaan berada pada Ekoregion Pegunungan
Struktural Lipatan dengan nilai indeks sebesar 1,47. Sedangkan Provinsi dengan nilai indeks
jasa ekosistem penyediaan tertinggi adalah Provinsi Aceh. Untuk Nilai indeks tertinggi untuk
jasa ekosistem budaya terletak pada Ekoregion Pegunungan Struktural Lipatan dengan nilai
indeks 1,26. Sedangkan Provinsi dengan nilai indeks jasa ekosistem budaya tertinggi adalah
Provinsi Aceh dan Nilai indeks tertinggi untuk jasa ekosistem pengaturan terletak pada
Ekoregion Pegunungan Struktural Lipatan dengan nilai indeks 1,77. Sedangkan Provinsi
dengan nilai indeks jasa ekosistem pengaturan tertinggi adalah Provinsi Aceh serta Nilai
Indeks tertinggi untuk jasa ekosistem pendukung terletak pada Ekoregion Pegunungan
Struktural Lipatan dengan nilai indeks 2,09. Sedangkan Provinsi dengan nilai indeks jasa
ekosistem pengaturan tertinggi adalah Provinsi Aceh.
3. Wilayah yang mendapatkan prioritas pertama dalam pemanfaatan dan pengembangan
kewilayahan terkait dengan jasa penyediaan, budaya, pendukung dan pengaturan adalah
Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat.Morfologi kedua wilayah ini yang didominasi
oleh pegunungan dan perbukitan membuat Provinsi Aceh dan Sumatera Barat memiliki
V-1
luasan kawasan hutan yang besar. Hutan merupakan salah satu elemen utama dalam
mendukung penyediaan jasa ekosistem, baik penyediaan, budaya, pengaturan maupun
pendukung. Selain itu, sebagian besar hutan yang terdapat pada kedua wilayah tersebut
merupakan kawasan lindung nasional, sehingga kondisi hutan masih terjaga kelestariannya
dan belum terintervensi oleh kegiatan manusia.

5.2 Saran

1. Ekoregion di Pulau Sumatera didominasi oleh Ekoregion Dataran Aluvial. Secara umum,
pesebaran ekoregion ini mengikuti daerah aliran sungai baik yang terletak di bagian barat
maupun bagian timur Pulau Sumatera. Ekoregion ini merupakan wilayah yang memiliki
kondisi tanah yang cukup subur. Hal ini membuat penggunaan lahan yang cocok pada
wilayah ini adalah dalam untuk pertanian. Ekoregion dataran aluvial memiliki peranan yang
besar dalam mendukung jasa penyediaan, khususnya penyedian pangan.
2. Terkait dengan pemanfaatan dan pengembangan kewilayahan dalam sektor-sektor yang
berkaitan dengan jasa penyediaan, budaya, pendukung dan pengaturan,terdapat wilayah-
wilayah yang penting untuk dijadikan prioritas dalam pengembangan. Wilayah ini adalah
Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat. Kedua wilayah tersebut merupakan wilayah
dengan jasa ekosistem penting tertinggi.
3. Salah satu komponen yang paling berpengaruh pada jasa ekosistem adalah tutupan lahan,
terutama tutupan lahan yang berupa hutan dan vegetasi lain. Wilayah-wilayah yang memiliki
kondisi hutan yang masih baik umumnya memiliki nilai jasa ekositem yang baik di beberapa
jenis jasa ekosistem. Oleh karena itu, keberadaan hutan harus terus dijaga dengan sebaik-
baiknya agar tetap lestari dan alami.

V-2
LAMPIRAN
LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan Lahan terhadap Jasa
Ekosistem Penyediaan

Tutupan Lahan Pangan Air Bersih Serat Energi SD. Genetik

Bangunan Bukan Permukiman (Industri,


perdagangan, infrastruktur jalan, bandar
udara dan lahan terbangun non
permukiman) 0,16 0,17 0,19 0,35 0,14
Bangunan Permukiman/Campuran 0,24 0,24 0,19 0,33 0,19
Danau/Telaga 1,15 2,38 0,48 1,50 1,33
Hutan Lahan Rendah 1,07 1,78 1,89 1,44 2,59
Hutan Lahan Tinggi 0,98 1,81 1,89 1,18 2,52
Hutan Mangrove 1,11 1,01 1,68 0,93 2,28
Hutan Rawa/Gambut 0,89 0,80 1,53 1,00 1,82
Hutan Tanaman 0,54 0,91 2,67 1,03 0,85
Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan
dan semusim) 0,94 0,71 1,84 1,15 1,00
Kolam air asin/payau 0,90 0,40 0,48 0,36 0,79
Lahan Terbuka (hamparan pasir, lava) 0,32 0,22 0,35 0,45 0,28
Lahan Terbuka Diusahakan 0,57 0,31 0,69 0,49 0,30
Perkebunan 0,93 0,55 1,59 1,12 0,64
Pertambangan 0,21 0,19 0,34 1,37 0,20
Rawa Pesisir 0,71 0,73 0,84 1,04 0,78
Rawa Pedalaman 0,60 1,01 0,88 1,04 0,86
Savana/Padang rumput 0,56 0,47 0,47 0,57 0,58
Herbal dan Rumput 0,50 0,47 0,59 0,36 0,65
Semak dan belukar 0,62 0,52 0,78 0,61 0,68
Sungai 1,16 2,68 0,36 2,59 1,13
Tanaman Semusim Lahan Basah (Sawah) 3,25 1,22 1,14 0,80 0,78
Tanaman Semusim Lahan Kering
(Tegalan/Ladang) 1,89 0,52 1,17 0,50 0,67
Waduk dan Danau Buatan 1,75 2,75 0,51 2,34 1,30
Tambak/Empang 1,95 1,15 0,45 0,45 0,66

L-1
Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan Lahan terhadap Jasa
Ekosistem Pengaturan

Tata Air Hama


Pemurnian Kualitas Penyerbukan
Tutupan Lahan Iklim dan Bencana Limbah dan
Air Udara Alami
banjir Penyakit
Bangunan Bukan
Permukiman (Industri,
perdagangan,
infrastruktur jalan,
bandar udara dan lahan
terbangun non
permukiman) 0,23 0,15 0,40 0,15 0,18 0,16 0,16 0,19
Bangunan
Permukiman/Campuran 0,21 0,17 0,43 0,16 0,26 0,17 0,20 0,31
Danau/Telaga 0,92 1,56 1,11 1,95 1,97 0,69 0,42 0,70
Hutan Lahan Rendah 2,54 2,00 2,24 1,97 0,90 2,70 2,47 2,34
Hutan Lahan Tinggi 2,72 2,11 1,97 1,83 0,73 2,70 2,59 2,28
Hutan Mangrove 2,08 1,58 2,64 1,81 2,23 2,45 2,02 2,24
Hutan Rawa/Gambut 2,24 1,87 2,03 1,72 1,80 2,25 1,80 2,13
Hutan Tanaman 1,34 0,96 1,09 0,88 0,61 1,30 1,24 1,29
Kebun dan Tanaman
Campuran (Tahunan
dan semusim) 1,09 0,65 0,92 0,63 0,60 1,06 1,37 1,08
Kolam air asin/payau 0,56 0,79 0,68 0,86 1,00 0,37 0,38 0,43
Lahan Terbuka
(hamparan pasir, lava) 0,31 0,35 0,34 0,26 0,38 0,25 0,33 0,36
Lahan Terbuka
Diusahakan 0,36 0,37 0,34 0,32 0,39 0,33 0,42 0,45
Perkebunan 0,89 0,59 0,61 0,50 0,52 0,92 1,21 1,06
Pertambangan 0,21 0,18 0,20 0,18 0,21 0,17 0,17 0,21
Rawa Pesisir 0,96 1,01 0,79 0,90 1,70 0,73 0,87 1,09
Rawa Pedalaman 1,05 1,20 0,86 1,00 1,69 0,95 1,04 1,24
Savana/Padang rumput 0,65 0,52 0,45 0,49 0,55 0,67 0,89 0,85
Herbal dan Rumput 0,65 0,47 0,62 0,52 0,49 0,57 1,04 0,83
Semak dan belukar 0,77 0,63 0,85 0,59 0,62 0,71 1,21 0,83
Sungai 0,50 2,04 1,24 2,43 2,29 0,83 0,37 0,48
Tanaman Semusim
Lahan Basah (Sawah) 0,76 0,81 0,69 0,70 0,99 0,92 1,17 0,99
Tanaman Semusim
Lahan Kering
(Tegalan/Ladang) 0,63 0,60 0,58 0,58 0,65 0,83 1,08 0,84
Waduk dan Danau
Buatan 0,80 0,75 1,32 1,68 1,61 0,72 0,33 0,42
Tambak/Empang 0,55 1,67 0,61 0,88 0,61 0,56 0,25 0,37

L-2
Lampiran 3. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan Lahan terhadap Jasa
Ekosistem Budaya

Rekreasi dan
Tutupan Lahan T Tinggal Estetika
Ecotourism

Bangunan Bukan Permukiman (Industri,


perdagangan, infrastruktur jalan, bandar udara
dan lahan terbangun non permukiman)
0,96 0,71 0,64
Bangunan Permukiman/Campuran 3,21 0,56 0,59
Danau/Telaga 0,97 2,08 1,91
Hutan Lahan Rendah 1,11 1,47 1,64
Hutan Lahan Tinggi 0,81 1,60 1,93
Hutan Mangrove 0,75 1,94 1,88
Hutan Rawa/Gambut 0,82 1,14 1,02
Hutan Tanaman 0,87 0,69 0,79
Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan dan
semusim) 0,92 0,69 0,86
Kolam air asin/payau 0,31 0,77 0,48
Lahan Terbuka (hamparan pasir, lava) 0,58 0,66 0,65
Lahan Terbuka Diusahakan 0,79 0,34 0,53
Perkebunan 0,99 0,55 0,51
Pertambangan 0,42 0,36 0,20
Rawa Pesisir 0,58 0,72 0,64
Rawa Pedalaman 0,80 0,81 0,55
Savana/Padang rumput 1,01 0,75 0,95
Herbal dan Rumput 0,90 0,78 0,71
Semak dan belukar 0,75 0,34 0,51
Sungai 1,20 1,85 1,97
Tanaman Semusim Lahan Basah (Sawah) 1,23 1,15 0,99
Tanaman Semusim Lahan Kering
(Tegalan/Ladang) 1,35 0,59 0,58
Waduk dan Danau Buatan 0,99 1,82 1,93
Tambak/Empang 0,67 0,61 0,56

L-3
Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comaprison Pengaruh Tutupan Lahan terhadap Jasa
Ekosistem Pendukung

Produksi
Tutupan Lahan Tanah Siklus Hara Biodiversitas
Primer
Bangunan Bukan Permukiman
(Industri, perdagangan,
infrastruktur jalan, bandar udara
dan lahan terbangun non
permukiman) 0,19 0,15 0,14 0,15
Bangunan Permukiman/Campuran 0,23 0,18 0,16 0,18
Danau/Telaga 0,41 1,38 1,25 1,56
Hutan Lahan Rendah 2,22 2,01 2,58 2,79
Hutan Lahan Tinggi 2,70 2,36 2,58 2,69
Hutan Mangrove 1,50 2,37 2,27 2,10
Hutan Rawa/Gambut 1,70 1,41 1,66 1,82
Hutan Tanaman 1,25 0,94 1,30 0,90
Kebun dan Tanaman Campuran
(Tahunan dan semusim) 1,24 0,74 0,97 0,76
Kolam air asin/payau 0,37 0,65 0,59 0,67
Lahan Terbuka (hamparan pasir,
lava) 0,35 0,30 0,23 0,23
Lahan Terbuka Diusahakan 0,56 0,41 0,27 0,28
Perkebunan 1,38 0,62 0,65 0,45
Pertambangan 0,21 0,17 0,21 0,18
Rawa Pesisir 0,55 0,76 0,68 0,81
Rawa Pedalaman 1,07 1,12 0,85 1,21
Savana/Padang rumput 1,00 0,66 0,73 0,74
Herbal dan Rumput 0,96 0,50 0,64 0,60
Semak dan belukar 1,14 0,74 0,66 0,64
Sungai 0,85 1,71 1,13 1,45
Tanaman Semusim Lahan Basah
(Sawah) 1,31 0,98 0,77 0,67
Tanaman Semusim Lahan Kering
(Tegalan/Ladang) 0,89 0,74 0,67 0,52
Waduk dan Danau Buatan 0,56 1,41 1,25 1,08
Tambak/Empang 0,38 0,69 0,76 0,53

L-4
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion terhadap Jasa
Ekosistem Penyediaan

EKOREGION Pangan Air Bersih Serat Energi SD. Genetik

Kerucut dan Lereng Gunungapi 0,94 0,31 1,52 0,48 0,91

Kaki Gunungapi 1,48 1,31 1,11 1,86 1,57

Dataran Kaki Gunungapi 2,72 2,80 1,46 2,73 1,99


Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan patahan
1,57 1,55 0,90 1,32 1,29
(Terban)

Lembah antar perbukitan/ Pegunungan Lipatan


1,25 1,22 1,47 0,91 1,07
(Intermountain Basin)

Perbukitan Patahan 0,46 0,67 1,08 1,10 1,18

Perbukitan Lipatan 0,50 0,55 1,19 0,63 1,18

Pegunungan Patahan 0,48 0,52 1,19 1,78 1,44

Pegunungan Lipatan 0,51 0,53 1,21 1,09 1,44

Dataran Fluvio Gunungapi 3,77 3,60 1,07 3,08 1,95

Dataran Aluvial 3,18 3,23 1,07 2,49 1,83

Dataran Fluviomarin 2,35 2,33 1,10 1,47 1,70

Lembah antar Perbukitan / Pegunungan Solusional 1,10 1,42 0,58 0,94 0,83

Perbukitan Solusional 0,43 0,37 0,59 0,65 0,63

Pegunungan Solusional Karts 0,37 0,33 0,65 0,63 0,76


Lembah antar Perbukitan /Pegunungan
1,10 1,04 0,78 0,83 0,90
Denudasional

Lerengkaki Perbukitan/ Pegunungan Denudasional 0,98 1,00 1,06 0,99 0,97

Perbukitan Denudasional 0,43 0,49 0,54 0,77 0,97

Pegunungan Denudasional 0,41 0,50 0,54 0,65 0,98

Gumuk Pasir 0,25 0,32 2,30 0,19 0,23

Pantai (Shore) 0,57 0,27 2,46 0,72 0,61

Pesisir (Coast) 0,89 0,49 1,66 0,50 1,08

Pegunungan Glasial 0,24 1,14 0,48 0,18 0,48

Lahan Gambut (Peat Land) 0,70 0,40 0,51 0,72 0,82

Rataan Terumbu (Reef flat) 0,39 0,28 0,38 0,52 0,64

Dataran Reklamasi 0,27 0,30 0,25 0,21 0,17

L-5
Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion terhadap Jasa
Ekosistem Pengaturan

Tata Air Pemurnian Kualitas Penyerbukan Hama dan


EKOREGION Iklim Bencana Limbah
dan banjir Air Udara Alami Penyakit

Kerucut dan Lereng Gunungapi 2,18 2,06 1,83 0,70 0,67 1,91 1,10 0,47

Kaki Gunungapi 1,30 1,85 1,65 2,21 1,74 1,90 2,44 1,33

Dataran Kaki Gunungapi 1,10 2,19 1,32 2,15 2,49 1,51 1,70 2,15

Lembah antar Perbukitan/


0,60 0,82 1,06 1,14 1,32 0,89 1,12 1,61
Pegunungan patahan (Terban)

Lembah antar perbukitan/


Pegunungan Lipatan 0,54 0,74 0,96 1,07 1,05 0,89 1,12 1,44
(Intermountain Basin)

Perbukitan Patahan 0,99 0,88 0,49 1,55 1,00 1,26 0,84 0,76

Perbukitan Lipatan 0,89 0,88 0,58 1,29 0,81 1,26 0,84 0,76

Pegunungan Patahan 2,02 0,78 0,55 1,33 0,84 1,95 1,35 0,59

Pegunungan Lipatan 1,79 0,78 0,65 1,20 0,68 1,95 1,35 0,59

Dataran Fluvio Gunungapi 1,11 2,16 1,59 1,57 2,47 1,07 2,44 2,12

Dataran Aluvial 1,11 2,00 1,91 1,18 2,39 0,97 1,87 2,70

Dataran Fluviomarin 0,89 1,32 1,14 0,75 1,84 1,05 1,41 2,15

Lembah antar Perbukitan /


0,76 1,07 1,29 0,62 1,11 0,94 0,83 1,61
Pegunungan Solusional

Perbukitan Solusional 1,00 0,81 1,85 0,57 0,55 0,79 0,58 0,59

Pegunungan Solusional Karts 1,64 0,65 1,83 0,55 0,43 0,91 0,77 0,47

Lembah antar Perbukitan


0,61 0,98 0,82 0,91 0,87 0,53 0,78 1,15
/Pegunungan Denudasional

Lerengkaki Perbukitan/
0,55 0,71 0,72 0,83 0,94 0,51 0,84 1,00
Pegunungan Denudasional

Perbukitan Denudasional 0,99 0,62 0,54 0,66 0,69 0,56 0,80 0,66

Pegunungan Denudasional 1,64 0,62 0,69 0,63 0,58 0,62 1,09 0,52

Gumuk Pasir 0,47 0,41 1,14 1,12 0,82 0,27 0,28 0,44

Pantai (Shore) 0,91 0,66 0,76 0,48 0,69 1,42 0,83 0,89

Pesisir (Coast) 1,27 1,04 1,10 1,05 1,58 1,42 1,14 1,30

Pegunungan Glasial 1,61 1,99 1,54 2,47 0,45 1,43 0,48 0,70

Lahan Gambut (Peat Land) 1,10 1,08 1,11 0,41 0,60 1,10 0,90 1,31

Rataan Terumbu (Reef flat) 0,76 0,41 0,70 0,47 0,60 0,71 0,34 0,75

Dataran Reklamasi 0,28 0,21 0,65 0,30 0,34 0,30 0,18 0,32

L-6
Lampiran 7. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion terhadap Jasa
Ekosistem Budaya

Rekreasi dan
EKOREGION T Tinggal Estetika
Ecotourism
Kerucut dan Lereng Gunungapi 0,20 2,77 2,90
Kaki Gunungapi 1,14 1,25 1,63
Dataran Kaki Gunungapi 3,23 0,71 1,00
Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan patahan
1,74 0,74 0,98
(Terban)

Lembah antar perbukitan/ Pegunungan Lipatan


1,85 0,68 0,81
(Intermountain Basin)

Perbukitan Patahan 0,45 1,22 1,02


Perbukitan Lipatan 0,68 0,53 0,68
Pegunungan Patahan 0,39 1,90 1,49
Pegunungan Lipatan 0,50 0,53 0,83
Dataran Fluvio Gunungapi 3,60 0,79 0,79
Dataran Aluvial 3,36 0,80 0,79
Dataran Fluviomarin 1,89 0,86 0,80
Lembah antar Perbukitan / Pegunungan
1,41 1,20 0,90
Solusional
Perbukitan Solusional 0,67 1,45 1,00
Pegunungan Solusional Karts 0,40 1,47 1,05
Lembah antar Perbukitan /Pegunungan
1,10 0,42 0,57
Denudasional
Lerengkaki Perbukitan/ Pegunungan
0,75 0,32 0,48
Denudasional
Perbukitan Denudasional 0,50 0,27 0,33
Pegunungan Denudasional 0,36 0,28 0,32
Gumuk Pasir 0,24 1,22 1,48
Pantai (Shore) 0,31 2,60 2,13
Pesisir (Coast) 1,01 1,77 1,76
Pegunungan Glasial 0,21 2,21 2,26
Lahan Gambut (Peat Land) 0,58 0,31 0,34
Rataan Terumbu (Reef flat) 0,41 0,77 0,62
Dataran Reklamasi 1,11 0,42 0,36

L-7
Lampiran 8. Rekapitulasi Hasil Pairwise Comparison Pengaruh Ekoregion terhadap Jasa
Ekosistem Pendukung

Produksi
EKOREGION Tanah Siklus Hara Biodiversitas
Primer
Kerucut dan Lereng Gunungapi 0,67 0,50 1,05 2,01
Kaki Gunungapi 1,42 1,75 1,81 2,21
Dataran Kaki Gunungapi 2,77 3,07 1,85 1,36
Lembah antar Perbukitan/
1,42 1,60 1,11 1,16
Pegunungan patahan (Terban)
Lembah antar perbukitan/
Pegunungan Lipatan 1,42 1,60 1,11 1,16
(Intermountain Basin)
Perbukitan Patahan 0,77 0,76 1,03 0,94
Perbukitan Lipatan 0,77 0,83 1,03 1,03
Pegunungan Patahan 0,72 0,68 1,05 0,95
Pegunungan Lipatan 0,72 0,73 1,16 1,05
Dataran Fluvio Gunungapi 2,65 2,92 2,84 1,98
Dataran Aluvial 2,54 2,54 2,66 1,38
Dataran Fluviomarin 2,20 2,26 2,10 1,49
Lembah antar Perbukitan /
1,14 1,08 0,89 0,95
Pegunungan Solusional
Perbukitan Solusional 0,43 0,42 0,54 0,72
Pegunungan Solusional Karts 0,40 0,35 0,51 0,75
Lembah antar Perbukitan
1,47 1,04 0,69 0,79
/Pegunungan Denudasional
Lerengkaki Perbukitan/
0,91 0,92 0,70 0,79
Pegunungan Denudasional
Perbukitan Denudasional 0,65 0,57 0,64 0,92
Pegunungan Denudasional 0,55 0,44 0,60 0,94
Gumuk Pasir 0,41 0,33 0,22 0,25
Pantai (Shore) 0,51 0,41 0,54 0,91
Pesisir (Coast) 1,16 0,96 1,36 1,79
Pegunungan Glasial 0,33 0,25 0,50 0,50
Lahan Gambut (Peat Land) 0,96 1,06 1,21 0,65
Rataan Terumbu (Reef flat) 0,30 0,39 0,64 0,57
Dataran Reklamasi 0,27 0,23 0,21 0,17

L-8
Lampiran 9. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Pangan

L-9
Kode Ekoregion untuk matriks hasil KJE

kode Ekoregion/Bentuk lahan


1 Kerucut dan Lereng Gunungapi
2 Kaki Gunungapi
3 Dataran Kaki Gunungapi
4 Lembah antar Perbukitan/ Pegunungan patahan (Terban)
5 Lembah antar perbukitan/ Pegunungan Lipatan (Intermountain Basin)
6 Perbukitan Patahan
7 Perbukitan Lipatan
8 Pegunungan Patahan
9 Pegunungan Lipatan
10 Dataran Fluvio Gunungapi
11 Dataran Aluvial
12 Dataran Fluviomarin
13 Lembah antar Perbukitan / Pegunungan Solusional
14 Perbukitan Solusional
15 Pegunungan Solusional Karts
16 Lembah antar Perbukitan /Pegunungan Denudasional
17 Lerengkaki Perbukitan/ Pegunungan Denudasional
18 Perbukitan Denudasional
19 Pegunungan Denudasional
20 Gumuk Pasir
21 Pantai (Shore)
22 Pesisir (Coast)
23 Pegunungan Glasial
24 Lahan Gambut (Peat Land)
25 Rataan Terumbu (Reef flat)
26 Dataran Reklamasi

L-10
Kode Tutupan Lahan untuk matriks hasil KJE

Kode Tutupan Lahan

Bangunan Bukan Permukiman (Industri, perdagangan,


A infrastruktur jalan, bandar udara dan lahan terbangun non
permukiman)
B Bangunan Permukiman/Campuran
C Danau/Telaga
D Hutan Lahan Rendah
E Hutan Lahan Tinggi
F Hutan Mangrove
G Hutan Rawa/Gambut
H Hutan Tanaman

I
Kebun dan Tanaman Campuran (Tahunan dan semusim)
J Kolam air asin/payau
K Lahan Terbuka (hamparan pasir, lava)
L Lahan Terbuka Diusahakan
M Perkebunan
N Pertambangan
O Rawa Pesisir
P Rawa Pedalaman
Q Savana/Padang rumput
R Herbal dan Rumput
S Semak dan belukar
T Sungai
U Tanaman Semusim Lahan Basah (Sawah)
V Tanaman Semusim Lahan Kering (Tegalan/Ladang)
W Waduk dan Danau Buatan
X Tambak/Empang

L-11
Lampiran 10. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Air Bersih

L-12
Lampiran 11. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Serat

L-13
Lampiran 12. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Bahan Bakar, Kayu, dan Fosil

L-14
Lampiran 13. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Penyediaan Sumberdaya Genetik

L-15
Lampiran 14. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Iklim

L-16
Lampiran 15. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Tata Aliran Air dan Banjir

L-17
Lampiran 16. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Pencegahan dan Perlindungan
dari Bencana

L-18
Lampiran 17. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Pemurnian Air

L-19
Lampiran 18. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Pengolahan dan Penguraian
Limbah

L-20
Lampiran 19. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Pemeliharaan Kualitas Udara

L-21
Lampiran 20. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Penyerbukan Alami

L-22
Lampiran 21. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pengaturan Pengendalian Hama dan
Penyakit

L-23
Lampiran 22. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Budaya Tempat Tinggal dan Ruang Hidup

L-24
Lampiran 23. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Budaya Rekreasi dan Ecotourism

L-25
Lampiran 24. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Budaya Estetika

L-26
Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung Pembentukan Lapisan Tanah
dan Pemeliharaan

L-27
Lampiran 26.Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung Siklus Hara

L-28
Lampiran 27. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung Produksi Primer

L-29
Lampiran 28. Perhitungan Koefisien Jasa Ekosistem Pendukung Biodiversitas

L-30

Anda mungkin juga menyukai