Anda di halaman 1dari 175

i

ESTIMASI DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN ORGANIK


DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PELUS BANYUMAS JAWA TENGAH

Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Ilmu Lingkungan


Kelompok Program Studi
Antar Bidang

diajukan oleh
Sugeng Abdullah
21295/IV-7/509/04

kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2006
ii
iii
iv

KATA PENGANTAR

Penulis senantiasa bersyukur kepada Allah swt atas selesainya penyusunan

tesis ini. Selesainya penyusunan tesis ini merupakan karunia mutlak dari Allah swt

melalui kerja keras, bantuan, pengorbanan dan dukungan doa dari berbagai fihak.

Oleh karena itu penulis merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih secara khusus

kepada yang terhormat bapak Prof. Dr. Totok Gunawan, M.S. dan Bapak Dr H.A.

Sudibyakto, M.S. yang telah memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dengan

sangat simpatik, telaten, sabar dan bijaksana.

Penulis juga merasa harus mengucapkan terima kasih kepada :

1. Pemerintah Republik Indonesia c/q Departemen Kesehatan R.I. yang telah

memberi kesempatan untuk mengikuti tugas belajar di Program Studi Ilmu

Lingkungan UGM Yogyakarta, dan sekaligus memberikan bantuan biaya

pendidikan.

2. Rektor UGM Yogyakarta dan Direktur Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta,

yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi Ilmu

Lingkungan.

3. Dekan Fakultas Geografi dan Pengelola Program Studi S2 Ilmu Lingkungan UGM

Yogyakarta, yang telah memberikan segala fasilitas belajar.

4. Direktur Potekkes Semarang yang telah memberi ijin untuk mengikuti tugas belajar

di Program Studi Ilmu Lingkungan UGM Yogyakarta.

5. Kepala Kantor dan Kepala Dinas di Kabupaten Banyumas, khususnya Dinas

Sumber Daya Air, Energi dan Pertambangan; Dinas Pertanian Tanaman Pangan ;

Kantor Statistik, Bappeda dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas


v

yang telah memberi ijin atas pelaksanaan penelitian ini, sekaligus memberikan

sejumlah data yang penulis perlukan.

6. Laboratorium BBTKL Yogyakarta dan Laboratorium Jurusan Kesehatan

Lingkungan Purwokerto Poltekkes Semarang yang telah membantu menganalisis

sampel dan memberikan pinjaman alat-alat survey.

7. Perpustakaan Pasca Sarjana UGM Yogyakarta yang telah menyediakan buku,

jurnal, akses internet dan bahan referensi lainnya.

8. Perpustakaan Jurusan Kesehatan Lingkungan Purwokerto yang telah memberikan

bahan-bahan pustaka yang penulis butuhkan.

9. Istri dan anak-anakku tersayang, Dyah Sri Utari, Afini Zidniy Ilma dan Hilmiy

Ilman Nafian. Mereka telah memberikan dukungan dan pengorbanan total untuk

suksesnya penulis dalam studi di UGM Yogyakarta.

10. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan dan berbagai fihak yang tidak dapat

disebutkan satu persatu. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Di dalam tesis ini tentu masih banyak terdapat banyak kekurangan, meskipun

telah disusun dengan cermat dan bersumber dari berbagai acuan. Oleh karena itu

penulis akan sangat berterima kasih dan sangat bangga apabila pembaca berkenan

memberi saran dan koreksi. Saran dan koreksi dapat disampaikan melalui

sugengzend@yahoo.com. Kendatipun disadari masih banyak kekurangan di dalam

tesis ini, penulis tetap berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 16 Pebruari 2006.

Penulis
vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i


LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………. ii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………………. iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… vi
DAFTAR TABEL ....... ……………………………………………………… viii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. ix
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xi
DAFTAR SINGKATANDAN SIMBOL …………………………………… xii
ABSTRACT ………………………………………………………………. xiv
INTISARI …………………………………………………………………… xv

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1


A. Latar belakang …………………………………………………………..... 1
B. Permasalahan …………………………………………………………….. 3
C Tujuan penelitian …………………………….…………………………… 6
D. Keaslian penelitian …………………………….…………………………. 7
E. Manfaat penelitian …………………………….………………………….. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………….………………………. 12


A. Sumber dan komposisi air limbah ………………………………………. 12
B. Swa pentahiran (Self purification) dalam badan air ……………………… 15
C. Debit aliran sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) ………… ………… 20
D. Daya tampung beban pencemaran organik …….………………………. 25
E. Landasan teori ……… …………………………….………………………. 27
F. Hipotesis .. …………………………….………………………………….. 29
vii

BAB III METODE PENELITIAN ..………………………………………. 30


A. Waktu dan lokasi penelitian ……..................………………………….. 30
B. Penentuan variable penelitian …………………………………………….. 30
C. Cara penelitian …........ …………………………….…………………. 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………….. 38

A. Kondisi Geografi Daerah Penelitian .. ………………………………….. 38


1. Letak Geografi …………………………………………………………… 38
2. Geologi .……………………………………………………..................... 39
3. Klimatologi ………………………………………………………………. 41
4. Kondisi tanah ……………………………………………………………. 43
5. Kondisi sosial kependudukan ………………………………………….. 45
B. Karakteristik Sungai dan DAS Pelus ………………………………… 46
1. Kondisi DAS Pelus .…………………………………………………….. 46
2. Debit air sungai Pelus…………………………………………………….. 50
3. Curah hujan di DAS Pelus ………………………………......................... 56

C. Estimasi Daya Tampung Beban Pencemaran …………………………… 59


1. Kualitas air sungai dan konsentrasi pencemar…………………………… 59
2. Daya tampung beban pencemaran organik ………………………………. 69
3. Perbedaan daya tampung di berbagai lokasi ……………………………… 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………… 88


A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 88
B. Saran …………………………………………………………………… 89

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 91


RINGKASAN ………………………………………………………………. 94
LAMPIRAN …………………………………………………………………. 104
viii

DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Hal

1.1. Perkembangan jumlah hotel di Kecamatan Baturraden tahun 1993 - 4


2004

1.2. Perkembangan jumlah hotel di Kabupaten Banumas tahun 1999 -2004 5

1.3. Judul penelitian yang berkaitan dengan pencemaran sungai 9

2.1. Konsentrasi zat organik dalam air yang diizinkan 14

2.2. Konsentrasi keseimbangan oksigen terlarut dalam air 18

2.3. Hubungan kecepatan aliran air dengan penyerapan oksigen oleh air 19

4.1. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Banyumas 44

4.2. Pemanfaatan tanah (lahan) di Kabupaten Banyumas 45

4.3. Tingkat pendidikan penduduk kabupaten Banyumas Tahun 2001 46

4.4. Karakteristik DAS Pelus 46

4.5. Nama Desa yang wilayahnya ditetapkan sebagai daerah resapan air 47

4.6. Pemanfaatan lahan pada DAS Sungai Pelus Tahun 2005 49

4.7. Jenis sumber pencemar industri pada DAS Sungai Pelus Tahun 2005 48

4.8. Jumlah Penduduk pada setiap sub DAS sungai Pelus Tahun 2004. 50

4.9. Kapasitas Aliran (Debit) Air Anak Sungai dan Sungai Pelus (Bulan 53
September dan Oktober 2005)

4.10 Curah hujan pada DAS Sungai Pelus kabupaten Banyumas (Bulan 57
September dan Oktober 2005)
ix

4.11. Kriteria tingkatan intensitas Curah hujan 57

4.12. Konsentrasi Zat Organik (BOD) dan Oksigen Terlarut (DO) Air 61
Sungai Pelus (Bulan Agustus 2005)

4.13. Konsentrasi Zat Organik (BOD) Air Anak Sungai dan Sungai Pelus 62
(Bulan September dan Oktober 2005)

4.14. Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) Air Anak Sungai dan Sungai 66
Pelus (Bulan September dan Oktober 2005)

4.15. Perbandingan dan selisih konsentrasi bahan organik (BOD) Pada 70


Sungai Pelus di berbagai lokasi Bulan September 2005

4.16. Perbandingan dan selisih konsentrasi bahan organik (BOD) Pada 71


Sungai Pelus di berbagai lokasi Bulan oktober 2005

4.17. Beban Pencemaran Organik (BOD) yang diijinkan Pada Sungai Pelus 73
di berbagai lokasi Bulan September 2005

4.18. Beban Pencemaran Organik (BOD) yang diijinkan Pada Sungai Pelus 74
di berbagai lokasi Bulan Oktober 2005

4.19. Total Beban Pencemaran Organik (BOD) yang ada Pada Sungai Pelus 75
di berbagai lokasi Bulan September 2005

4.20. Total Beban Pencemaran Organik (BOD) yang ada Pada Sungai Pelus 76
di berbagai lokasi Bulan Oktober 2005

4.21. Daya Tampung Beban Pencemaran Organik (BOD) Pada Sungai 79


Pelus di berbagai lokasi Bulan September 2005

4.22. Daya Tampung Beban Pencemaran Organik (BOD) Pada Sungai 80


Pelus di berbagai lokasi Bulan Oktober 2005

4.23. Estimasi Daya Tampung beban pencemaran organik (BOD) Sungai 81


Pelus banyumas jawa tengah
4.24.
Perbedaan daya tampung beban pencemaran organik pada berbagai 83
lokasi pengukuran di sungai Pelus (dari hulu sampai hilir)
x

DAFTAR GAMBAR

No Judul Gambar Hal

2.1. Bagan kerangka pemikiran penelitian 28

4.1. Profil memanjang konsentrasi BOD pada sungai Pelus di 72


berbagai lokasi pengukuran (September & Oktober 2005)

4.2. Profil memanjang beban pencemaran sungai Pelus di berbagai 77


lokasi pengukuran ( September dan Oktober 2005)

4.3. Profil memanjang daya tampung beban pencemaran organik 84


(BOD) pada sungai Pelus di berbagai lokasi Pengukuran

4.4. Profil memanjang beban pencemaran dan daya tampung sungai 87


Pelus di berbagai lokasi pengukuran ( September dan Oktober
2005
xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Disain pengambilan sampel dan lokasi penelitian

Lampiran II : Bagan lokasi pengambilan sampel

Lampiran III : Metode perhitungan daya tampung

Lampiran IV : Data pencatatan curah hujan saat penelitian

Lampiran V : Print out hasil perhitungan statistik oneway anova dan


kruskal-wallis
Lampiran VI : Rekapitulasi data aktivitas pemanfaatan lahan dan peta
penggunaan lahan

Lampiran VII : Rekapitulasi perhitungan daya tampung beban pencemaran


organik berikut data hasil pemeriksaan laboratorium.

Lampiran VIII : Foto keadaan sungai Pelus


xii

DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL

A = Area (=simbol luas penampang)


BAB = Buang air besar
BBTKL = Balai besar teknik kesehatan lingkungan
BOD = Biological oxygen demand
BM = Baku mutu
BL = Belot (kali Belot)
BN = Bener (kali Bener)
BPS = Biro pusat statistik
C = Carbon
C = Celcius
C = Concentration (=konsentrasi bahan pencemar)
COD = Chemical oxygen demand
Cl = Chlorida
DAS = Daerah aliran sungai
DF = Degree of freedom
DT = Daya Tampung
dt = Detik
DO = Dissolved oxygen
Dkk = Dan kawan kawan
Gab = Gabungan
Gr = gram
Ha = Hektar
Hr = Hari
K = Kali (=sungai)
KEPMENLH = Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Kg = Kilogram
Km = Kilometer
KMnO4 = Kalium Permanganat
L = Load (=beban pencemaran)
Lt = liter
LR = Lirip (kali Lirip)
M = Meter
MCK = Mandi cuci kakus
mg = Miligram
N = Nitrogen
No = Nomor
NSASD = Neraca sumber daya alam dan sosial daerah
O = Oksigen
Okt = Oktober
Org = Orang
P = Probability
PL = Pelus
Pk = Pangkon
xiii

PP = Peraturan pemerintah
PE = Population equivalent
Q = quantitiy ( = simbol debit)
RI = Rasional ideal
RA = Rasional ambisius
SD = Sekolah dasar
SLTP = Sekolah lanjutan tingkat pertama
SS = Suspended solid
Sig = significans
Sept = September
SMA = Sekolah menengah atas
t = Time (Waktu)
TOC = Total Organik Carbon (= Karbon organik total)
ThOD = Theoritical Oxygen Demand ( = kebutuhan oksigen teoritis)
TSS = Total suspended solid
UU = Undang undang
V = Volume
WRB = Weighted Mean Bifurcation Ratio)
ZO = Zat organik
xiv

THE ESTIMATION CARRYING CAPACITY OF ORGANIC POLLUTION IN


THE PELUS WATERSHED BANYUMAS CENTRAL JAVA

Sugeng Abdullah 1), Totok Gunawan 2), A Sudibyakto 3)

Abstract

In Banyumas regency were founded many rivers, one of them is Pelus river.
Pelus watershed there were many landuse activities which to deliver potential waste
the thing river pollution. The chaearcteristic of domestic waste generally is very high
the contents of organic matter. Because of it the research intended to estimate carrying
capacity of organic pollution (organic loading) in Pelus watershed become more
relevant for implementing. The objectives of this research were to study the quantity
and the kind of land use activities which deliver organic pollution in Pelus watershed,
to study the quality of Pelus watershed observed on BOD and DO, to estimate the load
capacity of organic pollution and to study the presence descent load capacity of organic
pollution ang some measuring locations.
The research implanted by field survey and sample examined in laboratory. The
removal sample conducted based on purposive sampling as many as ten point locations
elus river from upper until lower flow.
Water flow, water discharge, water temperature, acidity and monitoring
watershed condition implemented each location. While the examination of DO, BOD
and Cl carried out in the laboratory of BBTKL Yogyakarta. the supporting data
obtained from office an instance of government in Banyumas regency. Analysis and
calculation of load capacity of organic pollution used the mass balance methode. While
to know the difference of load capacity of pollution used anova analysis by software
SPSS 10.
The result of this research shown that land use cativity occurred pollution
covered settlement, rice cultivation, plantation, forestry and industry. Concentration of
BOD = 1,2-2,3 mg/l and concentration of DO = 4,3 – 5,9 mg/lipids, so can conclude
that Pelus river unpolluted (appropriate standard quality of water committee grade II
PP 82 Tahun 2001). Load capacity of organic pollution Pelus watershed revolved
between 142,6 – 699,8 kg/day. Commonly unoccured descent the load capacity of
organic pollution in part of Pelus upper course. But there are occurred difference load
capacity of organic pollution significant between measuring location (X2=17,743 with
P=0,05)

Key word : organic loading, river pollution, watershed

1)
Staff member of Politeknik Kesehatan Semarang
2)
Staff member of Faculty of Geography, Gadjah Mada University.
3)
Staff member of Faculty of Geography, Gadjah Mada University
xv

ESTIMASI DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN ORGANIK


DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PELUS BANYUMAS JAWA TENGAH

Sugeng Abdullah 1), Totok Gunawan 2), HA Sudibyakto 3)

INTISARI

DAS (Daerah Aliran Sungai) Pelus merupakan salah satu dari beberapa DAS /
Sungai yang terletak di wilayah Kabupaten Banyumas. Di DAS Pelus terdapat banyak
aktivitas penggunaan lahan yang menghasilkan limbah yang berpotensi menimbulkan
pencemaran sungai. Karakteristik dari limbah domestik pada umumnya adalah
kandungan bahan organik yang tinggi. Oleh karena itu penelitian tentang estimasi
daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus menjadi sangat relevan
untuk dilaksanakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jumlah dan jenis aktivitas pemanfaatan
lahan yang menghasilkan limbah organik di DAS Pelus, mengkaji kualitas air sungai
Pelus ditinjau dari kandungan zat organik (BOD) dan oksigen terlarut (DO),
mengestimasi daya tampung beban pencemaran organik dan mengetahui adanya
peneurunan daya tampung beban pencemaran pada beberapa lokasi pengukuran.
Penelitian dilaksanakan dengan cara survey lapangan dan pemeriksaan sampel
di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling sebanyak
10 titik lokasi pada sungai Pelus dari hulu sampai hilir. Pengukuran kecepatan air,
debit air, temperatur air, pH dan pengamatan kondisi DAS dilaksanakan di masing-
masing lokasi. Sedangkan pemeriksaan DO, BOD dan CL dilaksanakan di
laboratorium BBTKL Yogyakarta. Data penunjang diperoleh dari kantor dan instansi
pemerintah di Kabupaten Banyumas. Analisis dan perhitungan daya tampung beban
pencemaran menggunakan metode neraca massa. Analisis penurunan daya tampung
beban pencemaran menggunakan analisis tabel, sedangkan untuk mengetahui
perbedaan daya tampung beban pencemaran digunakan analisis Anova dengan
software SPSS versi 10.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pemanfaatan lahan yang dapat
menimbulkan pencemaran meliputi permukiman, persawahan, perkebunan / hutan dan
industri. Di DAS Pelus sedikitnya terdapat 85 hotel, 3 buah pabrik, 22 buah
peternakan dan 834 buah industri rumah tangga. Konsentrasi BOD = 1,2 –2,3 mg/l
dan konsentrasi DO = 4,3 –5,9 mg/l, sehingga dapat dikatakan air sungai Pelus tidak
tercemar (sesuai baku mutu air badan air kelas II). Daya tampung beban pencemaran
organik sungai Pelus berkisar antara 142,6 - 699,8 kg/hr. Secara umum tidak terjadi
penurunan daya tampung beban pencemaran organik pada bagian hilir sungai Pelus.
Akan tetapi terdapat perbedaan daya tampung beban pencemaran organik yang
signifikan antara berbagai lokasi pengukuran (X2 = 17,743 dengan P = 0,05).

Kata kunci : beban pencemaran organik, pencemaran sungai, DAS.


1)
Staf Pengajar Politeknik Kesehatan Semarang
2)
Staf Pengajar Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
3)
Staf Pengajar Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sungai merupakan tempat pembuangan akhir limbah cair dari berbagai

kegiatan manusia, sebelum akhirnya dialirkan ke danau atau laut. Sistem drainase

kota dimulai dari permukiman, perdagangan dan drainase alami alirannya akan

berakhir di sungai. Kondisi ini akan mengakibatkan semua bahan pencemar yang

terlarut dalam bentuk limbah cair akan masuk kedalam aliran sungai. Besarnya

bahan pencemar yang masuk ke sungai akan berpengaruh terhadap kualitas air

sungai. Pada titik tertentu akan mengakibatkan terjadinya pencemaran.

Untuk mencegah terjadinya pencemaran air sungai perlu dilakukan upaya

pengendalian. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran air

sungai adalah memelihara sungai agar tetap memiliki kemampuan untuk

mereduksi dan membersihkan bahan pencemar yang masuk kedalamnya. Upaya

ini diantaranya berupa pengaturan jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang

ke sungai.

Pengaturan jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang ke sungai

didasarkan atas kajian ilmiah tentang daya tampung beban pencemaran pada

sungai dimaksud. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan pencemar

yang dibuang ke sungai tidak melampaui kemampuan air sungai untuk

membersihkan sendiri. Kemampuan air untuk membersihkan diri secara alamiah

1
dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai swa pentahiran atau self

purification (Imholf, 1979).

Penentuan daya tampung beban pencemaran sungai (badan air)

merupakan kewenangan pemerintah melalui keputusan Bupati / Walikota atau

Gubernur atau Presiden, sesuai dari kondisi sungai tersebut. Pemerintah

Kabupaten / Kota memiliki kewenangan untuk menetapkan daya tampung beban

pencemaran pada sungai yang berada di wilayahnya (Pasal 18 (3) dan Pasal 20

(a) PP No. 82 Tahun 2001). Sesuai UU No.7 Tahun 2004 Pasal 16 (b) dan Pasal

23 (1) Pemerintah Kabupaten / Kota memiliki kewenangan dan tanggung jawab

dalam hal pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan kualitas air serta

pengendalian pencemaran air (sungai) di wilayahnya.

Bahan pencemar dalam limbah cair yang berasal dari rumah tangga,

permukiman dan perkotaan pada umumnya berupa >70% bahan organik

(Metcalf & Eddy, 1979). Bahan pencemar dalam limbah cair yang dapat

didegradasi secara alamiah melalui peristiwa swa pentahiran adalah bahan

organik juga (Linsley, et al, 1995). Atas dasar alasan ini, maka penentuan daya

tampung beban pencemaran pada badan air (sungai) lebih dititik beratkan pada zat

organik.

Untuk menentukan besarnya daya tampung beban pencemaran organik

secara tetap dan pasti pada badan air (sungai) sangat sulit dilakukan. Hal ini

karena banyak sekali variabel yang mempengaruhi kemampuan air sungai untuk

melakukan swa pentahiran, diantara debit, kecepatan, jumlah pencemar, suhu,

2
cuaca, musim, bentuk aliran dan oksigen terlarut. Oleh karena itu yang dapat

dilakukan adalah menentukan estimasi daya tampung beban pencemaran organik

B. Permasalahan

Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah memiliki beberapa sungai

penting diantaranya adalah Serayu, Logawa, Kranji, Tajum, Banjaran dan Pelus.

Sungai Serayu mengalir melintasi beberapa kabupaten yakni Wonosobo,

Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap, sehingga pengelolaannya

merupakan kewenangan pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sungai Logawa,

Kranji, Tajum, Banjaran dan Pelus menjadi tanggung jawab dan kewenangan

penuh pemerintah kabupaten Banyumas. Hampir semua drainase kota dan

drainase alami mengalir menuju sungai Kranji dan sungai Pelus.

Mataair sungai Pelus berada di lereng selatan gunung Slamet. Sungai

Pelus juga memperoleh pasokan air dari beberapa anak sungai diantaranya dari

sungai Belot, sungai Lirip, sungai Pangkon dan sungai Bener. Selanjut mengalir

melintasi beberapa desa di kecamatan Baturraden, Sumbang, Kembaran,

Purwokerto dan Sokaraja melalui daerah yang memiliki karakteristik yang

beragam. Sungai Pelus mengalir ke sungai Klawing dan selanjutnya bermuara di

sungai Serayu,

Dalam 10 tahun terakhir, daerah yang dilewati sungai Pelus mengalami

perkembangan yang pesat. Pada daerah hulu sungai Pelus di kecamatan

Baturraden berdiri hotel melati dan hotel berbintang. Tabel : 1.1. menunjukkan

perkembangan jumlah hotel di kecamatan Baturraden. Demikian juga di

3
kecamatan lain yang dilalui sungai Pelus telah berdiri kawasan permukiman dan

perusahaan baru. Konversi lahan pertanian menjadi permukiman atau perusahaan

di DAS (Daerah Aliran Sungai) Pelus mencapai 0,7326 – 3,1936 Ha (Bappeda

Banyumas, 2000). Tabel : 1.2. menunjukkan perkembangan jumlah hotel di

Kabupaten Banyumas dalam 5 tahun terakhir. Tingkat hunian hotel di Baturraden

berkisar 20% - 30% dari total kamar yang tersedia sebanyak 2123 buah pada

tahun 2004 atau sekitar 425 - 850 orang tamu yang menginap setiap hari. Total

wisatawan yang berkunjung ke Baturraden selama tahun 2004 adalah sebanyak

783.423 orang. Semuanya itu pada akhirnya menghasilkan limbah cair yang

dialirkan ke sungai Pelus melalui drainse buatan maupun drainase alami.

Tabel 1.1.
Perkembangan jumlah hotel
di Kecamatan Baturraden tahum 1993 – 2004

No. Tahun Jumlah Hotel (buah)


1. 1993 68
2. 1994 71
3. 1995 71
4. 1996 76
5. 1997 76
6. 1998 76
7. 1999 77
8. 2000 80
9. 2001 83
10. 2002 85
11. 2003 87
12. 2004 89
Sumber : Kecamatan Baturraden dalam angka
(BPS Banyumas, 2004)

4
Tabel 1.2.
Perkembangan jumlah hotel
di Kabupaten Banyumas tahun 1999 – 2004

No. Lokasi Hotel Sub DAS/ Jumlah Hotel (buah)


(Kecamatan) Sungai
1999 2000 2001 2002 2003 2004
1. Wangon Tajum 5 5 4 4 4 4
2. Rawalo Tajum 2 2 2 2 2 2
3. Banyumas Serayu 1 1 1 1 1 1
4. Ajibarang Logawa 1 1 1 1 2 2
5. Baturraden Pelus 77 80 83 85 87 89
6. Purwokerto Kranji 20 21 22 22 22 20
Selatan
7. Purwokerto Barat Kranji 9 9 9 9 9 9
8. Purwokerto Pelus 16 17 17 17 16 17
Timur
9. Purwokerto Utara Pelus 1 1 1 1 1 1

Sumber : Diolah dari buku Banyumas dalam angka tahun 1999 s/d 2004
(BPS Banyumas)

Air sungai Pelus mengalir sepanjang tahun banyak dimanfaatkan

penduduk untuk keperluan pertanian, perikanan darat dan MCK (mandi, cuci,

kakus). Pemanfaatan sungai Pelus sebagai MCK dapat dijumpai di daerah hulu

(Kemutug) sampai hilir (Sokaraja, Pajerukan). Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian terdahulu, bahwa penduduk di DAS Pelus sebanyak 6% masih

melakukan BAB / MCK secara langsung di sungai Pelus (Nurhilal, dkk., 2002).

Untuk pemanfaatan dalam bidang pertanian dan perikanan darat, pada sungai

Pelus terdapat empat buah bendungan. Lokasi bendungan tersebut berada di

Sokawera, Pandak, Arcawinangun dan Kertadirja.

Limbah cair yang dibuang ke sungai Pelus dapat menyebabkan terjadinya

pencemaran air, apabila melampaui daya tampung beban pencemaran sungai

5
Pelus. Sampai dengan tahun 2005 daya tampung beban pencemaran sungai Pelus

belum diketahui bahkan belum pernah dilakukan penelitian secara khusus.

Permasalahan seperti diuraikan di atas, selanjutnya dapat diajukan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apa jenis dan jumlah aktivitas pemanfaatan lahan yang menimbulkan /

membuang limbah organik di daerah aliran sungai (DAS) Pelus.

2. Bagaimanakah kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik

(BOD = Biological Oxygen Demand) dan oksigen terlarut (DO = Disolved

Oxygen).

3. Berapa daya tampung beban pencemaran organik pada setiap titik pengamatan

di sungai Pelus ?

4. Apakah terdapat penurunan daya tampung beban pencemaran organik antara

tiap titik pengamatan di sungai Pelus ?

C Tujuan penelitian

1. Mengkaji jenis dan jumlah aktivitas pemanfaatan lahan yang menimbulkan /

membuang limbah organik di sepanjang aliran sungai Pelus.

2. Mengkaji kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD)

dan oksigen terlarut (DO).

3. Mengestimasi daya tampung beban pencemaran organik di sungai Pelus.

4. Mengetahui penurunan daya tampung beban pencemaran organik antara tiap

titik pengamatan di sungai Pelus

6
D. Keaslian penelitian

Telah banyak dilakukan penelitian tentang konsentrasi bahan pencemar

pada air sungai yang ada di Indonesia, termasuk sungai yang ada di kabupaten

Banyumas. Penelitian khusus tentang daya tampung beban pencemaran sungai

masih sangat sedikit. Hal ini ini merupakan sesuatu yang baru berhubungan

dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan

PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian

Pencemaran Air.

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pencemaran sungai

dan daya tampung beban pencemaran sungai adalah seperti tercantum pada tabel :

1.3. Penelitian di sungai Pelus yang akan dilakukan memiliki perbedaan dengan

penelitian terdahulu dalam hal obyek dan karakteristik sungai yang akan diteliti.

Menurut Mantra (2004) keaslian penelitian menunjukkan masalah yang diteliti

belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu, atau kalau pernah diteliti, maka

penelitian yang akan dilakukan harus menyatakan dengan tegas perbedaan

penelitiannya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan

E. Manfaat penelitian

1. Menambah informasi dan pengetahuan tentang daya tampung beban

pencemaran organik badan air (sungai). Ini bermanfaat untuk bahan studi

ilmiah bagi para mahasiswa dan peneliti berikutnya.

2. Diketahuinya estimasi daya tampung beban pencemaran organik sungai Pelus,

sehingga dapat digunakan sebagai salah satu bahan masukan bagi pemerintah

7
kabupaten Banyumas untuk menetapkan daya tampung beban pencemaran

sungai Pelus sesuai amanat PP No. 82 Tahun 2001.

3. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas dapat memanfaatkan data daya

tampung beban pencemaran sungai Pelus untuk menghitung dan memprediksi

jumlah total limbah yang boleh dibuang kedalamnya, oleh masyarakat dan

industri.

8
Tabel 1.3.
JUDUL PENELITIAN YANG BERKAITAN DENGAN PENCEMARAN SUNGAI
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode & Analisis Hasil

1. Sutanto Br. Kajian daya tampung a. Mengetahui karakteristik a. Survey a. Sumber pencemar berasal
(2003) sungai Gajahwong hidrologi sungai, biotic dan b. Analisis dari limbah domestik, limbah
fisik daerah aliran sungai laboratorium industri, pertanian dan
b. Mengetahui kondisi sungai terhadap air sungai peternakan
dan kualitas air sungai c. Analisis metode b.Daya tampung beban
c. Mengevaluasi kemampuan neraca massa pencemaran pada bagian
tingkat daya tampung air untuk penentuan hulu masih sangat baik, pada
sungai terhadap daya tampung bagian tengah sangat baik,
pencemaran dan dan bagian hilir baik (sesuai
kemampuan pemulihannya Kep.Men.LH. No. 110 tahun
d. Mengidentifikasi sumber 2003).
pencemar potensial c. Swa pentahiran dari hulu
mencemari air sungai sampai hilir bervariasi dari
e. Merumuskan rekomendasi sangat baik sampai tercemar.
pengelolaan.
2. Sanita Trisna Penentuan status kualitas a. Membuat klasifikasi a. Metode deskriptif a. Klasifikasi sungai
Handayani, perairan sungai Brantas sungai Brantas hulu b. Analisis dengan berdasarkan keberadaan
Bambang hulu dengan biomonitoring berdasarkan hewan computer makrobentos famili Baetidae,
Soeharto, macrozoobentos : makrobentos menggunanakan Leptophlibiidae,
Marsoedi Tinjauan dari pencemaran b. Menentukan status kualitas software Chloroperliidae, Gastropoda,
(2001) bahan organik perairan sungai Brantas TWINSPAN Hydropchidae,
hulu berdasarkan kadar Chironomidae, dan
bahan organik Lumbriculiidae
b. Kualitas air sungai berdasarkan
kadar BOD dan COD

9
Tabel 1.1. Lanjutan ….
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode & Analisis Hasil

3. Nini Avieni Pengendalian Kualitas a. Menguji apakah terjadi a. Analisis statistical a. Limbah yang dihasilkan PT
(1999) Limbah Cair di PT. Sari penyimpangan kualitas process control, Sari Husada sesuai dengan
Husada dalam limbah cair dan mencarikan yaitu R-chart, X- persyaratan.
hubungannya dengan ISO solusi bila terjadi Chart dan P-Chart. b. Program manajemen
14001 b. Mengetahui tentang ISO b. Metode deskriptif lingkungan memberikan
14001 sebagai standar solusi teknis maupun
industri modern dalam manajemen terhadap
memperhatikan lingkungan. penyimpangan yang terjadi.
4. Wiryanto Pengaruh limbah cair a. Mengetahui besarnya DO, a. Penelitian a. BOD, DO pada air limbah
(1997) industri tekstil PT BOD, suhu, pH dan lapangan dengan PT Tyfontex melalpaui
Tyfountex Indonesia, kandungan logam di dalam pemeriksaan Bakumutu sesuai SK MenLH
Kartasura Sukoharjo air limbah tektil PT sampel air sungai No. Kep 51/ men LH/10/ 95.
terhadap perubahan DO, Tyfountex di laboratorium b.Limbah tekstil PT Tyfountex
BOD, suhu, pH, b. Mengetahui pengaruh air mempengaruri kualitas air
kandungan logam dan limbah PT Tyfountex sungai Kudusan dan
Plankton di sungai terhadap kualitas air Premulung. Limbah
Kudusan Sukoharjo dan sungai Kudusan dan menyebabkan menurunnya
Premulung Surakarta. Premulung kandungan DO dan
c. Mengetahui hubungan meningkatkan kadar BOD.
Plankton dengan DO. c. Penurunan DO dan
BOD, suhu, pH dan Peningkatan BOD dapat
kandungan logam. mempengaruhi terhadap
penurunan index densitas
plankton.

10
Tabel 1.1. Lanjutan ….
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode & Analisis Hasil
5. Nurwijoyo Evaluasi pencemaran a. Mengetahui kualitas air b. Survey dan d.Air sungai Gajahwong telah
Wadono sungai Gajahwong sungai Gajahwong di penelitian terkontaminasi oleh buangan
(1993) Yogyakarta, ditinjau dari wilayah kotamadya lapangan dari pertanian, rumahtangga,
gatra biota, fisik dan Yogyakarta c. Analisis industri PT Sari Husada,
kimia akibat buangan b. Mengetahui pengaruh laboratorium Pabrik Tekstil dan Kebun
limbah industri dibagian kualitas air sungai terhadap air sungai binatang Gembira Loka.
wilayah kotamadya Gajahwong terhadap dan ikan tombro e. Meningkatnya kepekaan ikan
Yogyakarta kehidupan ikan Tombro Tombro sebanding dengan
c. Mengetahui perkembangan penurunan kualitas air sungai
kualitas air sungai f. Air sungai Gajahwong telah
Gajahwong dalam mampu melakukan swa
perjalanan alirannya dan pentakhiran terutama di
kecenderungan swa daerah hilir (Kotagede)
pentakhiran (swa
pentahiran).
6. Djoko Pengaruh limbah rumah- a. Melaksanakan kajian a. Analisis a. Air sungai Pepe tercemar
Ismono tangga dan pengaruh limbah cair perbandingan berat akibat pasokan limbah
(1991) penggelontoran air dari terhadap kadar BOD dan sebelum dan cair
bendung Tirtonadi DO. sesudah dilakukan b. Debit limbah berpengaruh
terhadap BOD, DO dan b.Melaksanakan kajian penggelontoran terhadap BOD dan DO. Debit
kehidupan Plankton pengaruh penggelontoran (pre –post test) yang besar menyebabkan BOD
sebagai indicator terhadap kadar BOD untuk b. Analisis tinggi dan DO rendah.
perubahan mutu air di mengetahu penurunan BOD laboratorium Penggelontoran tidak
berpengaruh terhadap BOD dan
sungai Pepe. dalam proses swa terhadap air sungai DO
pentakhiran. Pepe c. BOD dan DO berkorelasi kuat
c. Melakukan kajian perubahan
terhadap index diversitas
BOD dan DO akibat air limbah
Plankton.
terhadap kehidupan Plankton.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Sumber dan komposisi air limbah

Djabu, dkk, (1991) menyebutkan bahwa sumber air limbah pada dasarnya

berasal dari dometik, industri dan rembesan. Sumber domestik meliputi air limbah

yang berasal dari daerah perumahan, permukiman, perdagangan, perkantoran dan

fasilitas rekreasi. Menurut Asdak (2002) sumber pencemaran dapat dekelompokan

menjadi point source dan non point source. Point source adalah tempat-tempat yang

menjadi sumber pencemaran yang diketahui secara pasti, misalnya : limbah yang

berasal dari pabrik kimia. Non point source adalah pencemaran yang berasal dari

area luas seperti pertanian, perdesaan atau permukiman yang tidak tersedian sistem

riool secara khusus.

Apabila tidak tersedia data tentang kapasitas air limbah domestik, maka untuk

keperluan perencanaan diperkirakan 150 - 380 liter / orang / hari (Metcalf dan

Eddy, 1979). Menurut Tchobanoglus (Linsley dan Franzini, 1995) volume air limbah

juga dapat diperkirakan dari total penggunaan air bersih yakni berkisar antara 60 –

75% volume air bersih. Jumlah pemakaian air bersih minimal untuk keperluan rumah

tangga diperkirakan 100 liter/orang/hari (Irianto dan Waluyo , 2004).

Komposisi air limbah domestik terdiri dari air dan partikel padat terlarut berupa

zat organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan zat anorganik. 70% partikel terlarut

12
merupakan bahan organik. Menurut Djabu, dkk. (1991) zat organik adalah suatu

senyawa yang tersusun dari senyawa atau kombinasi Carbon (C), Hidrogen (H), dan

Oksigen (O2), bersama dengan Nitrogen (N). Dalam beberapa kasus elemen yang

penting seperti Sulfur, Phospor, Iron dan lain - lain juga ada. Zat organik dalam air

atau air limbah dalam bentuk Protein, Karbohidrat, serta minyak dan lemak. Zat lain

yang ada dalam air limbah dapat berupa garam, mineral renik, pestisida dan logam.

Menurut Linsley dan Franzini (1995) keberadaan bahan organik dalam air

diketahui menggunakan parameter BOD (Biological Oxygen Demand = Kebutuhan

oksigen untuk oksidasi biologis), COD (Chemical Oxygen Demand = kebutuhan

oksigen untuk oksidasi kimiawi), TOC (Total Organik Carbon = Karbon organik

total), ThOD (Theoritical Oxygen Demand = kebutuhan oksigen teoritis). Sanropie,

dkk (1984) mengatakan bahwa kehadiran zat organik dalam air dapat ditentukan

dengan mengukur angka Permanganat (KMnO4 = Kalium Permanganat). Konsentrasi

zat organik (BOD) dalam air sesuai dengan kelas dan peruntukkan badan air adalah

seperti di tersebut pada tabel : 2.1.

13
Tabel 2.1.

Konsentrasi zat organik dalam air yang diijinkan

No KELAS BADAN AIR BOD (mg/l)

1. Kelas satu 2

2. Kelas dua 3

3. Kelas tiga 6

4. Kelas empat 12

Sumber : Lampiran PP No.82 Tahun 2001.

Peruntukkan badan air masing-masing kelas menurut PP No.82 Tahun 2001

Pasal 8 adalah sebagai berikut :

1. Kelas satu, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air

minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama

dengan kegunaan tersebut.

2. Kelas dua, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk

prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk

mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air

yang sama dengan kegunaan tersebut.

14
3. Kelas tiga, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan

ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan

lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

4. Kelas empat, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi

pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama

dengan kegunaan tersebut.

B. Swa pentahiran (self purification) dalam badan air

Air limbah baik yang diolah ataupun yang tidak diolah apabila masuk ke badan

air akan mengalami tekanan oleh ekosistem air. Tekanan tersebut berupa

pengurangan atau penghilangan bahan pencemar oleh berbagai proses yang ada

dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik, penyebaran dan

pengendapan, reaksi kimia, adsorbsi, Penguraian secara biologis dan stabilisasi.

Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang memilki

kemampuan untuk membersihkan atau menghancurkan berbagai kontaminan dan

pencemar yang dibawa air limbah. Kemampuan air untuk membersihkan diri secara

alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai swa pentahiran

(Imholf, 1979).

Penguraian bahan pencemar secara biologis ataupun secara biokimia yang

terjadi pada badan air melalui dua cara yakni aerob dan anaerob. Cara aerob

merupakan proses penguraian bahan pencemar oleh jasadrenik yang membutuhkan

oksigen dalam jumlah yang cukup, sedangkan anaerob tidak memerlukan oksigen.

15
Kedua cara ini akan memperoleh hasil yang sama yaitu air menjadi bersih.

Perbedaannya, pada kondisi aerob air kelihatan bersih, tidak berbau, hewan dan

tumbuhan air dapat hidup normal. Sebaliknya pada kondisi anaerob air tampak hitam

dan kotor, berbau busuk, hewan dan tumbuhan air mati. Hal seperti ini dapat

menimbulkan gangguan, dan juga proses anaerob lebih lambat dibanding aerob. Pada

umumnya proses anaerob yang terjadi pada badan air tidak dapat diterima oleh

masyarakat, sehingga pengertian swa pentahiran hanya digunakan untuk proses

penguraian bahan pencemar dalam kondisi aerob (Fair, 1956).

Bahan pencemar organik dalam air atau air limbah akan diuraikan oleh

jasadrenik menjadi Karbon Dioksida (CO2), Ammonia (NH3) dan sel baru. Bakteri

juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan hidupnya. Pada reaksi

respirasi berlangsung proses oksidasi dimana 1 unit biomassa yang dioksidasi

membutuhkan 1,42 unit O2 (Benefild L.D. & Randal CW, 1980). Dalam

stochiometri reaksi oksidasi dan sintesis sel adalah sebagai berikut :

CHONS + O2 + Nutrien → CO2 + NH3 + C5H7NO2 + hasil akhir

(Zat organik) (sel baru)

16
Sintesis / respirasi :

bakteri

C5H7NO2 + 5O2 → 5CO2 + 2H2O + NH3 + Energi

113 160

1 1,42

Plankton yang ada pada badan air diyakini sangat berperan dalam proses swa

pentahiran. Knoop (dalam Imholf, 1979) mengemukakan bahwa plankton berperan

menaikkan kadar oksigen terlarut dalam air. Kapasitas swa pentahiran akan

meningkat apabila terjadi pertumbuhan plankton yang melimpah.

Keseimbangan oksigen terlarut juga akan berpengaruh pada biota dalam air.

Organisme tingkat tinggi pada badan air selalu membutuhkan terpeliharanya kondisi

aerob. Ikan dan biota air lainnya hanya dapat hidup pada kondisi kadar oksigen

terlarut (DO = disolved oxygen) dalam air di atas 3-4 mg/lt. Agar kadar DO dapat

terus terjaga di atas 3-4 mg/lt. seringkali diperlukan aerasi buatan, terutama ketika

kondisi sangat darurat. Asupan oksigen terlarut secara alamiah terjadi melalui

fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air, aerasi dalam bentuk riak gelombang dan

terjunan dari aliran air dan masuknya gas oksigen dari udara (Phelps dalam Imholf

(1979)).

17
Kadar DO juga ditentukan oleh adanya berbagai proses yang ada dalam badan

air, meliputi : (a). oksidasi biologis dari pembusukan material karbon organik oleh

bakteri dan fungi, (b). oksidasi ammonia dan nitrogen organik menjadi nitrat

(nitrifikasi), (c). sediment oxygen demand, dimana oksigen dibutuhkan oleh lapisan

atas endapan organik didasar badan air, (d). respirasi algae dan tumbuhan air pada

malam hari, (e). oksidasi bahan kimia yang ada dalam air, (f). cuaca yang akan

berpengaruh pada kelarutan oksigen dari atmosfer.

Menurut Linsley dan Franzini (1995) tingkat kelarutan oksigen dalam air

dipengaruhi oleh temperatur udara lingkungan setempat. Konsentrasi oksigen

terlarut dalam air akan selalu menuju ke keseimbangan sesuai temperatur udara,

sebagaimana diperlihatkan pada tabel 2.2. Kadar oksigen terlarut yang ditunjukkan

pada tabel tersebut bukan merupakan batas relatif, tetapi merupakan kadar maksimal

sesuai dengan tempertur.

Tabel 2.2.

Konsentrasi keseimbangan oksigen terlarut dalam air

No Temperatur Konsentrasi Oksigen Terlarut


o
( C) (mg/l)
1. 0 14,5
2. 5 12,7
3. 10 11,3
4. 15 10,1
5. 20 9,2
6. 25 8,4
7. 30 7,7
8. 40 6,8
Sumber : Linsley dan Franzini (1995)

18
Kecepatan aliran air yang tinggi dapat menimbulkan olakan atau percikan

air apabila menabrak benda yang tegar. Kecepatan aliran air yang tinggi juga dapat

menimbulkan pusaran air yang kuat apabila menjumpai belokan saluran. Olakan air,

percikan air dan pusaran air yang kuat akan menimbulkan efek aerasi. Aerasi pada

air sungai merupakan peristiwa yang sangat menguntungkan. Aerasi akan

menyebabkan pengikatan Oksigen (O2) di udara oleh air, sehingga dapat

meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air sungai. Sebagai gambaran

tentang pengaruh kecepatan air terhadah tingkat penyerapan oksigen oleh air,

Prodjopangarso (1985) pernah melakukan penelitian percobaan tentang korelasi

antara kecepatan air dengan tingkat penyerapan oksigen dalam air. Hasil

penelitiannya disajikan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3.
hubungan Kecepatan Aliran Air dengan penyerapan oksigen oleh air.

Kecepatan Waktu Penyerapan


No Lokasi pengukuran aliran air (menit) Oksigen
(m/dt) (ppm)
1. Selokan sawah
Kuningan Yogyakarta 0,50 10 0,4

2. Sungai Kuningan
Yoyakarta 0,60 15 0,7

3. Selokan Mataram
417
Yogyakarta 0,60 1,1
(7 jam)
Sumber : Prodjopangarso (1985)

19
C. Debit aliran air sungai dan DAS

Black (Asdak, 2002) mengemukakan bahwa pola aliran sungai antara lain

berbentuk percabangan pohon (denritic), pola segi empat (rectangular), trellis,

annular dan radial. Pola aliran ini mempengaruhi besarnya debit puncak dan lama

waktu berlangsungnya debit puncak.

Lebih lanjut Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut literature geologi pola

aliran (sistem) sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent dan

intermittent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok air

tanah. Sistem aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasal dari air tanah. Sungai

yang masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan mengalir sepanjang tahun

(perennial). Sistem aliran sungai intermittent adalah aliran sungai yang terjadi hanya

pada saat segera setelah adanya hujan besar. Aliran jenis intermittent umumnya

menjadi sumber air musiman (perched water table).

Kedudukan aliran sungai dapat diklasifikasikan secara sistematik berdasarkan

urutan DAS (daerah aliran sungai) berdasarkan percabangan sungai. Setiap aliran

sungai yang tidak bercabang disebut sub-DAS orde pertama. Sungai yang berada di

bagian hilirnya yang hanya menerima aliran sungai sub-DAS orde pertama disebut

sub-DAS orde kedua, demikian seterusnya. Klasifikasi seperti ini mengacu pada

sistem klasifikasi menurut Horton.

Sistem klasifikasi Horton dimulai dari orde pertama, orde kedua dan seterusnya

sesuai dengan bertambahnya jumlah cabang aliran sungai. Semakin besar orde dari

sub-DAS menunjukkan semakin luas wilayah DAS dan semakin banyak percabangan

20
aliran sungai yang dimiliki. Sub-DAS orde pertama yang berada di hulu sungai

memiliki fungsi perlindungan seluruh bagian DAS, terutama dari segi perlindungan

fungsi tata air.

Karakteristik DAS dan iklim akan berpengaruh pada hidrograf aliran. Sherman

(Asdak, 2004) adalah orang yang memperkenalkan metode UHG (unit hidrograf)

untuk memperkirakan dan menelusuri debit aliran sungai yang dikaitkan dengan

kondisi DAS dan curah hujan.

Debit aliran sungai merupakan informasi yang amat penting untuk pengelolaan

sungai. Gordon (Asdak, 2004) mengemukakan tentang teknik pengukuran debit

aliran di lapangan dapat dilakukan melalui empat kategori, yaitu :

1. Pengukuran volume air sungai.

Pengukuran debit dengan cara ini, biasanya dilakukan untuk keadaan aliran

sungai lambat. Teknik pengukuran debit dengan cara ini dipandang paling akurat,

terutama untuk debit aliran lambat seperti pada mataair. Cara pengukurannya

dengan menentukan waktu yang diperlukan untuk mengisi kontainer yang telah

diketahui volumenya. Besarnya debit aliran dihitung dengan rumus berikut :

Q = V.t. (2.1.)

Dimana :

Q = debit (m3/dt)

V = volume air (m3)

t = waktu (dt)

21
2. Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan luas penampang

melintang.

Pengukuran kecepatan aliran biasanya dengan bantuan alat ukur current meter

atau dengan pendekatan velocity area methode. Pengukuran kecepatan aliran

yang paling sederhana adalah dengan metode apung (float methode). Caranya

adalah dengan meletakkan benda yang tidak tenggelam di permukaan aliran

sungai untuk jarak tertentu, kemudian dicatat waktu yang diperlukan untuk

menempuh jarak tersebut. Besarnya kecepatan aliran ditentukan dengan

persamaan dibawah ini :

Vpermk = L / t (2.2.)

Dimana :

V permk = Kecepatan aliran di permukaan (m/dt)

L = jarak antara dua titik pengamatan (m)

t = waktu perjalanan benda apung (dt)

Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang baik, maka jarak antara dua titik

pengamatan sekurang-kurangnya yang memberikan waktu perjalanan selama 20

detik. Pemilihan tempat pengukuran sebaiknya pada bagian sungai yang relatif

lurus.

22
3. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan pewarna yang dialirkan dalam

aliran sungai.

Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia, pewarna atau radioaktif

sering digunakan untuk jenis sungai yang memiliki aliran airnya tidak beraturan

(turbulence). Menurut Church (Asdak, 2004) bahan kimia, pewarna atau

radioaktif yang digunakan harus memenuhi syarat mudah larut dalam aliran air

sungai, bersifat stabil, mudah dikenali pada konsentrasi rendah, tidak meracuni

biota air dan tidak memberi dampak negatif yang permanen serta harganya relatif

murah / ekonomis.

4. Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir dan

flume.

Pengukuran debit dengan cara ini biasanya digunakan untuk tujuan jangka

panjang, yaitu dengan pembuatan bangunan pengukur debit (flume atau weir)

Diantara beberapa teknik pengukuran debit yang ada, pengukuran debit aliran

yang sederhana adalah menggunakan rumus kontinyuitas. Debit aliran (Q) dipertoleh

dengan mengalikan kecepatan aliran (V) dengan luas penampang melintang (A),

secara matematis dirumuskan sebagai berikut :

23
Q = A.V. (2.3)

Dimana :

Q = debit (m3/dt)

A = luas penampang basah (m2)

V = kecepatan aliran (m/dt)

Kecepatan aliran (V) yang diperoleh biasanya bukan kecepatan aliran rata-rata,

tetapi kecepatan aliran maksimum dalam sungai, maka kecepatan yang mendekati

keadaan sesungguhnya harus dikalikan dengan angka tetapan (konstanta). Konstanta

dimaksud adalah 0,75 untuk keadaan dasar sungai yang kasar atau 0,85 untuk

keadaan dasar sungai yang lebih halus. Menurut Hewlett (Asdak, 2004) debit

sesungguhnya adalah 20-25% dari debit hasil perhitungan dengan persamaan (2.3).

Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperkirakan debit empiris

menggunakan persamaan empiris dari manning. Cara ini dikenal sebagai slope-area

methode. Bentuk persamaan Manning (Asdak, 2004) adalah untuk memperoleh

angka kecepatan pada saluran terbuka. Adapun rumusnya sebagai berikut :

V = (1/n) r 2/3 s 1/2 (2.4)

V = kecepatan aliran (m/dt), r = jari-jari hidrolik (m), s = kemiringan permukaan air,

dan n = angka koefisien kekasaran Manning. Apabila data kecepatan (V) di atas di

24
ketahui dan luas penampang melintang juga diketahui, maka selanjutnya dapat

dihitung debit aliran(Q) menggunakan persamaan (2.3) Q = A.V.

D. Daya tampung beban pencemaran

Daya tampung beban pencemaran organik pada badan air (sungai) pada

dasarnya adalah kemampuan maksimum dari badan air tersebut untuk dapat

melakukan swa pentahiran. Swa pentahiran yang dimaksud adalah dalam kondisi

tersedia oksigen (aerob), sehingga bergantung pada kondisi dan proses yang

menentukan kadar oksigen terlarut dalam air. Daya tampung beban pencemaran

organik pada badan air juga dipengaruhi oleh fluktuasi volume atau debit air yang

ada dan bahan pencemar yang masuk kedalamnya.

Daya tampung beban pencemaran diartikan sebagai kemampuan air pada suatu

sumber air atau badan air untuk menerima beban pencemaran tanpa mengakibatkan

air tersebut menjadi cemar (KEPMENLH No. 110 Tahun 2003). Menurut Djabu,

dkk. (1991) beban pencemaran (L) adalah konsentrasi bahan pencemar (C) dikalikan

kapasitas aliran air (Q) yang mengandung bahan pencemar. Artinya adalah jumlah

berat pencemar dalam satuan waktu tertentu, misalnya kg/hari. Beban pencemaran

dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut :

L=CQ (2.5)

25
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan daya tampung beban

pencemaran pada badan air adalah metode Neraca Massa dan metode Streeter-

Phelps. Kedua metode ini bahkan telah direkomendasikan oleh Menteri Negara

Lingkungan Hidup RI untuk diterapkan yaitu melalui KEPMENLH No.110 Tahun

2003, sebagaimana ditunjukan pada lampiran III. Penentuan daya tampung beban

pencemaran pada badan air yang bersifat real time telah banyak dikembangkan, salah

satunya adalah menggunakan software QUAL2EU untuk pemodelannya ( Parsons,

2005).

Menurut Linsley dan Franzini (1995) metode neraca massa dalam bentuk

dillution atau pengenceran awal dapat diterapkan untuk perhitungan kandungan

oksigen, BOD dan karakteristik lain dari limbah yang bersangkutan. Persamaannya

adalah sebagai berikut :

CwQw + CrQr = C (Qw + Qr)

CwQw + CrQr
C = ----------------- (2.6)
Qw + Qr

Dimana :

C = Konsentrasi setelah terjadi pencampuran (mg/lt),

Cw = Konsentrasi awal (mg/lt),

Qw = debit awal (lt/dt),

Cr = Konsentrasi dari aliran yang masuk (mg/lt),

Qr = debit aliran yang masuk (lt/dt).

26
Menurut versi KEPMENLH No.110 Tahun 2003, persamaan (2.6.) di atas

ditulis menggunakan format yang berbeda yaitu:

(2.7)

dimana

CR = konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabung

Ci = konsentrasi konstituen pada aliran ke-i

Qi = laju alir aliran ke-i

Mi = massa konstituen pada aliran ke-i

E. LANDASAN TEORI

Atas dasar kajian pustaka seperti diuraikan di atas, maka secara sederhana

landasan teori dalam rangka penelitian estimasi daya tampung beban pencemaran

organik pada sungai Pelus di kabupaten Banyumas adalah seperti ditunjukkan pada

bagan kerangka pemikiran pada gambar : 2.2.

27
Q HUJAN Debit Air sungai
Kadar ZO
Reoksigenasi AKTIVITAS
Swa pentahiran MANUSIA

KONDISI
DAS

DTBPO EVALUASI

Keterangan :
ZO = zat organik
Q hujan = curah hujan
DAS = daerah aliran sungai
DTBPO = daya tampung beban pencemaran organik

GAMBAR : 2.2.
Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian

28
F. HYPOTESIS

1. Aktivitas pemanfaatan lahan yang menimbulkan / membuang limbah organik di

DAS Pelus meliputi kegiatan rumah tangga, industri, hotel, pertanian, peternakan

dan pertokoan / perdagangan.

2. Kualitas air sungai Pelus ditinjau dari kandungan zat organik (BOD) dan oksigen

terlarut (DO) masih di bawah ambang baku mutu air badan air kelas dua.

3. Terdapat perbedaan daya tampung beban pencemaran organik pada setiap titik

pengamatan.

29
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September dan Oktober 2005. Bulan September ini

dipilih dengan asumsi dapat mewakili musim kemarau dan bulan Oktober dapat

mewakili musim hujan. Lokasi penelitian adalah Sungai Pelus di Banyumas, Jawa

Tengah. Wilayah yang diteliti terbatas pada daerah aliran sungai (DAS) Pelus yang

merupakan sub DAS sungai Serayu, seperti ditunjukan pada gambar lampiran I.

B. Penentuan variabel penelitian

1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini meliputi : Zat organik / BOD, Oksigen terlarut,

Debit air sungai, Curah hujan, Data umum (letak geografis, kondisi sosial ekonomi,

kepadatan penduduk, penggunan lahan).

2. Definisi operasional variabel penelitian

a. Daya tampung beban pencemaran organik adalah kemampuan badan air

(sungai Pelus) untuk menerima sejumlah zat organik tanpa mengakibatkan

terjadinya pencemaran. Dihitung berdasarkan pendekatan matematik sebagai

berikut :

30
DT = (Cs – Cr) Q

Dimana :
DT = Daya tampung (mg/dt)
Cs = Konsentrasi parameter pencemar sesuai bakumutu (mg/lt)
Cr = Konsentrasi parameter pencemar nyata (mg/lt)
Q = Debit air (lt/dt)

b. Zat organik adalah bahan pencemar dari bahan organik biodegradable yang

diukur menggunakan parameter BOD & DO

c. BOD adalah kebutuhan oksigen biokemis yang diukur dengan menghitung

selisih jumlah oksigen terlarut segera dengan oksigen terlarut setelah inkubasi 5

hari dalam suhu 20oC.

d. Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air, diukur

dengan menggunakan metode Iodometri dari Winkler.

e. Suhu adalah temperatur air dan / atau udara yang diukur menggunakan

termometer Hg dengan skala Celcius.

f. Debit air sungai adalah volume air tiap satuan waktu yang mengalir pada titik

pengamatan di sungai. Dihitung berdasarkan luas penampang basah kali

kecepatan aliran air. Debit air sungai yang dimaksud meliputi debit air sungai

senyatanya ketika dilakukan pengukuran dan debit air sungai estimasi pada saat

minimum dan maksimum.

g. Kecepatan aliran air adalah gerakan air dari satu titik ke titik hilir yang lain

dalam waktu tertentu, diukur menggunakan pelampung (floating test).

h. Luas penampang basah adalah luas area yang terkena air yang digambarkan

dalam profil lebar dan kedalaman sungai.

31
i. Profil sungai adalah gambar potongan melintang vertikal dan horisontal yang

menunjukkan lebar, kedalaman dan bentuk cekungan sungai.

j. Data umum adalah data pendukung yang meliputi data sosial ekonomi,

kepadatan penduduk, luas DAS, peta penggunaan lahan.

k. Data sosial ekonomi adalah data tentang keadaan jumlah penduduk, agama,

pendidikan, pekerjaan dan PDRB per kapita yang disajikan dalam bentuk data

kualitatif.

l. Penggunaan lahan adalah pemanfaatan lahan untuk berbagai aktivitas yang

dikelompokkan dalam permukiman, persawaha, perkebunan / hutan, industri,

dan aktivitas lainnya yang disajikan dalam bentuk data kualitatif.

m. DAS yang dimaksud dalam penelitian ini daerah aliran sungai Pelus yaitu

daerah yang dibatasi oleh igir yang memungkinkan semua aliran air permukaan

dari daerah tersebut masuk ke sungai Pelus.

n. Swa pentahiran adalah kemampuan badan air untuk membersihkan sendiri

secara alamiah dari berbagai pencemar dan kontaminan.

C. Cara penelitian

1. Jenis dan sumber data primer

Data primer berasal dari pengukuran langsung dilapangan atau di

laboratorium berupa data profil / penampang sungai, lebar dan kedalaman sungai

setiap titik pengamatan, hasil pengukuran debit, pemeriksaan DO, BOD, pH,

temperatur udara dan temperatur air sungai.

32
2. Jenis dan sumber data skunder

a. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas berupa data peruntukan sungai

Pelus, data hasil monitoring pencemaran sungai Pelus, data jumlah limbah yang

dibuang ke sungai Pelus.

b. Kantor Statistik Kabupaten Banyumas berupa data sosial ekonomi penduduk

sepanjang aliran sungai Pelus, data kepadatan penduduk sepanjang aliran sungai

Pelus, data cuaca dan curah hujan.

c. Kantor Kecamatan Baturraden, Sumbang, Kembaran, Purwokerto Utara,

Purwokerto Timur, Kalibagor dan Sokaraja. berupa data sosial ekonomi

penduduk sepanjang aliran sungai Pelus, data kepadatan penduduk sepanjang

aliran sungai Pelus, data tentang penggunaan lahan.

d. Subdin Sungai Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi (Disairtamben)

Kabupaten Banyumas berupa data karakteristik sungai Pelus, data monitoring

debit sungai Pelus.

e. Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Dispertan) Kabupaten Banyumas berupa data

luas sawah di DAS Pelus dan data curah hujan.

3. Cara dan teknik pengumpulan data

a. Pengukuran debit air sungai dan pengambilan sampel dilakukan pada setiap titik

yang diperkirakan terjadi perubahan konsentrasi bahan pencemar organik dan

debit air sungai. Lokasi titik dimaksud adalah bagian hilir masuknya anak sungai,

daerah akhir permukiman dan bagian hilir dari outlet / effluent IPAL. Titik

33
pengambilan sampel dipilih dengan metode purposive sampling, dengan

pertimbangan bahwa lokasi dimaksud merupakan daerah sumber pencemar atau

potensial terjadi pencemaran atau potensial memberi kontribusi terhadap beban

pencemaran sungai Pelus. Menurut Mantra (2004) purposive sampling adalah

sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian.

Disain pengambilan sampel dapat dilihat pada lampiran II.

b. Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan pada waktu aktivitas puncak pagi

hari antara pukul 07.00 – 09.00. Cara pengambilan sampel mengacu pada teknik

pengambilan sampel sesuai kedalaman dan lebar sungai. Sampel yang diambil

pada lokasi tertentu dari kedalaman berbeda digabung menjadi satu, kemudian

dilakukan pemeriksaan. Menurut Anonim (2004) sampel dimaksud pada dasarnya

merupakan sampel sesaat (grab sample).

4. Alat dan bahan penelitian

a. Bahan penelitian

Meliputi bahan-bahan untuk pemeriksaan BOD dan DO yaitu :

1) H2SO4 4N sebagai reagent untuk pemeriksaan DO

2) MnSO4 4N sebagai reagent untuk pengikatan DO

3) Pereaksi O2 sebagai reagent untuk pengikatan DO

4) Amylum 10% sebagai indikator dalam pemeriksaan DO

5) Na2S2O7 4N sebagai reagent untuk titrasi pemeriksaan DO

6) larutan pengencer sebagai pengencer contoh air dalam pemerikssan BOD

34
7) aquades sebagai larutan pencuci peralatan dan pengencer reagent

8) kertas, dan lain-lain untuk keperluan mencatat / dokumentasi data.

b. Alat penelitian

Alat yang digunakan meliputi alat untuk pemeriksaan BOD dan DO serta

pengukuran debit air sungai, yaitu :

1) botol sampel / jerigen plastik Volume 2 lt untuk wadah contoh air

2) botol oksigen volume 250 ml untuk wadah contoh air pemeriksaan DO

3) gelas ukur volume 250ml untuk menakar pengencer dan reagent

4) gelas beacker volume 500ml untuk menampung reagent

5) Erlenmeyer volume 500 ml untuk keperluan titrasi pada pemeriksaan DO

6) Buret volume 250 ml untuk keperluan titrasi pada pemeriksaan DO

7) pipet ukur volume 10 ml untuk mengambil dan mengukur reagent

8) pipet tetes standar untuk mengambil reagent dan indikator

9) statif besar untuk penjepit buret ketika titrasi dilaksanakan

10) labu ukur volume 500 ml untuk mencampur / mengencerkan reagent

11) jerigen volume 20 lt untuk menampung larutan pengencer

12) aerator 15 watt untuk aerasi larutan pengencer

13) incubator Memmert untuk menyimpan contoh air dalam pemeriksaan BOD

14) jam sebagai alat pengukur waktu inkubasi, lama waktu aerasi.

15) termometer Hg untuk mengukur temperatur udara dan air

35
16) pH-meter digital portable untuk mengukur kemasaman air

17) roll meter 50 m untuk mengukur lebar sungai

18) galah ukur 3m untuk mengukur kedalaman air sungai

19) pelampung untuk mengamati aliran air (mengukur kecepatan aliran)

20) seichi disk untuk mengukur kecerahan air badan air

21) kalkulator untuk keperluan menghitung

22) komputer P3, 64 MB, CD-RW, USB, HD 20 G untuk keperluan pengetikan, olah

data dan analisis data.

23) peta RBI Kabupaten Banyumas untuk acuan pembuatan peta lokasi penelitian

24) curvimeter untuk mengukur panjang / jarak pada peta

25) check list sebagai lembar pengamatan

26) Alat tulis dan lain-lain untuk keperluan mencatat / dokumentasi data.

5. Analisis

a. Analisis dan perhitungan estimasi daya tampung beban pencemaran organik,

dilakukan dengan pendekatan matematis menggunakan metode neraca massa.

Estimasi daya tampung maksimal dihitung berdasarkan beban pencemaran

minimal dengan debit maksimal. Demikian sebaliknya, daya tampung minimal

dihitung berdasarkan beban pencemaran maksimal dengan debit minimal.

36
b. Untuk mengetahui adanya penurunan daya tampung beban pencemaran organik di

sungai Pelus menggunakan analisis tabel. Analisis statistik menggunakan

software SPSS versi 10 dimanfaatkan untuk mengetahui perbedaan daya tampung

beban pencemaran organik di sungai Pelus pada berbagai lokasi pengukuran. Uji

yang dipakai adalah Oneway Anova dan Kruskal-Wallis.

37
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Geografi Daerah Penelitian

Kabupaten Banyumas termasuk wilayah propinsi Jawa Tengah yang berada

di bagian selatan. Kabupaten Banyumas merupakan lokasi keberadaan sungai Pelus.

Pada sungai Pelus inilah penulis melakukan penelitian. Agar diperoleh gambaran

tentang daerah penelitian, berikut ini diuraikan tentang kondisi umum kabupaten

Banyumas. Data dan informasi yang disajikan sebagian besar bersumber dari buku

Kabupaten Banyumas Dalam Angka Tahun 2004.

1. Letak Geografi

Kabupaten Banyumas terletak diantara 108o 39’17” – 109o27’15” Garis Bujur

Timur dan antara 7o 15’05” – 7o 37’10” Garis Lintang Selatan. Batas-batas

administrasi kabupaten Banyumas adalah sebagai berikut :

Sebelah utara : Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang

Sebelah Selatan : Kabupaten Cilacap

Sebelah Barat : Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes

Sebelah Timur : Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten

Kebumen.

38
Luas wilayah Kabupaten Banyumas adalah 132.759 Ha atau 4,08% luas

Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banyumas dibagi menjadi 27 wilayah administrasi

kecamatan.

2. Geologi

Kabupaten Banyumas secara fisiografi terletak pada zona pegunungan Serayu

Utara, zona Serayu dan pegunungan Serayu Selatan. Pegunungan Serayu Utara

sebagian besar tertutup oleh produk endapan Gunung Slamet. Zona Pegunungan

Serayu Selatan ditempati oleh pegunungan lipatan yang membujur dari barat laut

sampai tenggara (dari kecamatan Lumbir sampai sekitar kecamatan Kebasen dan

pegunungan sebelah selatan kecamatan Banyumas.

Antara pegunungan Serayu Utara dengan pegunungan Serayu Selatan

dipisahkan oleh suatu zona depresi longitudinal memanjang dari barat ke timur, yang

disebut sebagai zona Serayu. Zona Serayu Selatan pada umumnya ditempati batuan

hasil endapan turbidit laut dalam. Zona Serayu ditempati oleh endapan aluvium

gunungapi.

Formasi batuan yang ada di Kabupaten Banyumas adalah Formasi Rambatan,

Formasi Halang, Formasi Kumbang, Formasi Tapak, Formasi Gunungapi, Formasi

Permukaan dan Formasi Terobosan.

Formasi Rambatan terdiri dari batupasir gampingan bersisipan napal,

batulempung dan breksi. Umumnya berstruktur turbidit. Penyebaran formasi ini di

Kabupaten Banyumas tidak begitu luas dan mempunyai kisaran umur Miosen Bawah.

39
Formasi Halang menempati areal yang sangat luas sepanjang pegunungan

lipatan, mulai dari daerah Lumbir hingga Banyumas. Terdiri dari perselingan

batupasir, natualempung, napal dan tufa, dengan sisipan breksi dipengaruhi oleh

turbid dan pelengseran bawah laut. Mempunyai kisaran umur Miosen Tengah hingga

Miosen Atas.

Formasi Kumbang terdiri dari breksi, lava andesit, tufa dan di beberapa

tempat terdapat breksi batuapung dan tufa pasiran. Berumur Miosen Atas dan

menempati bukit-bukit antiklin di sebelah selatan kota Banyumas.

Formasi Tapak terdiri dari batupasir berbutir kasar berwarna kehijauan dan

konglomerat. Di beberapa tempat terdapat breksi. Di bagian atas terdiri dari batupasir

gampingan dan napal berwarna hijau yang mengandung pecahan-pecahan moluska.

Penyebarannya berada di sisi barat daya dan berumur Pliosen.

Formasi Gunungapi yang ada di kabupaten Banyumas dapat dipisahkan

menjadi tiga kelompok satuan batuan, meliputi : (a) hasil gunungapi tak teruraikan,

terdiri dari breksi, lava, lapili dan tufa dari gunungapi dan pusat-pusat erupsi. Jenis

batuan ini berada di wilayah barat kabu paten Banyumas yang membentuk dataran

dan bukit-bukit tinggi yang tertutup oleh tanah berwarna abu-abu tua sampai coklat

kemerahan dan kuning. (b) Hasil Gunungapi berupa lava, aliran lava andesit

berongga-rongga kecil berasal dari Gunung Slamet terutama berada di wilayah utara

yakni di lereng timur Gunung Slamet. (c) Aluvium gunungapi terdiri dari bahan-

bahan tak mengeras mengandung bongkah-bongkah batuan gunungapi bergaris

tengah 10 – 15 cm bersususn andesit basalt meliputi daerah-daerah landai dan datar.

40
Formasi Terobosan merupakan batuan yang terdiri dari diorit berbutir sedang

sampai kasar dan basalt yang berupa retas atau retas lempeng. Batuan Endapan

Permukaan, terdiri dari lempung, lanau, pasir dan kerikil. Menempati aliran

sepanjang sungai terutama pada daerah-daerah yang bergradien kecil.

Kondisi geomorfologi kabupaten Banyumas dibedakan menjadi 3 (tiga) satuan

morfologi berdasarkan sudut lereng yaitu : satuan morfologi dataran, satuan

morfologi pegunungan lipatan dan satuan morfologi gunungapi. Satuan morfologi

dataran meliputi areal cukup luas dan berada di zona Serayu memanjang barat-timur

mulai dari Ajibarang, Purwokerto, Banyumas sampai Sokaraja. Kondisi yang sama

terdapat di daerah Wangon Jatilawang dan Sumpiuh.

Satuan morfologi pegunungan lipatan berada pada zona pegunungan Serayu

Selatan memanjang barat-timur mulai dari kecamatan Lumbir hingga pegunungan di

sebelah selatan kota Banyumas. Daerah ini mempunyai susut lereng 2%-40% bahkan

ada yang lebih besar. Satuan morfologi gunungapi penyebarannya di sisi utara, yakni

pada zona pegunungan Serayu Utara dimana puncak Gunung Slamet berada. Puncak

Gunung Slamet berada pada ketinggian 3.428 m dpl. Kemiringan tanah pada

pegunungan Serayu Utara ini sekitar 2%-40% bahkan ada yang lebih. Sungai-sungai

yang berada di wilayah ini berpola radial dengan sungai Serayu sebagai sungai utama.

3. Klimatologi.

Kabupaten Banyumas mempunyai iklim tropis basah. Rata-rata suhu udara

bulanan adalah 26,3o, dengan suhu minimum 24,4o dan suhu maksimum 30,9o.

41
Berdasarkan data curah hujan, kabupaten Banyumas mempunyai beberapa tipe iklim

(menurut Schmid dan Ferguson), yaitu : Tipe A dengan nilai Q antara 0%-14.3%,

Tipe B dengan nilai Q antara 14,3%-33,3%, dan Tipe C dengan nilai Q antara 33,3%-

60%.

Iklim dengan Tipe A meliputi wilayah di sekitar puncak Gunung Slamet dan

Kranggan, dengan curah hujan tinggi antara 4.000 –5.000 mm. Tipe B meliputi

wilayah kaki Gunung Slamet dan sebagian besar lembah Serayu dan sebagian

wilayah kecamatan Tambak. Tipe C berada di wilayah sebagian lembah Serayu dan

pegunungan Serayu. Selatan.

Dibandingkan dengan curah hujan di seluruh Indonesia, kabupaten Banyumas

termasuk daerah memiliki curah hujan tertinggi terutama di Baturraden. Menurut

Oldeman (Lakitan, 2002) curah hujan yang terendah adalah di Palu, Sulawesi yang

hanya sebesar 530 mm/th dan tertinggi di Kranggan, Jawa Tengah sebesar 6.830

mm/th. Akan tetapi Hardjawinata (Lakitan, 2002) menyebutkan bahwa curah hujan

yang tertinggi di Indonesia adalah di Baturraden, yaitu sebesar 8.830 mm/th.

Bandingkan dengan Bogor yang dikenal sebagai kota hujan, ternyata curah hujan

tahunan sebesar 4.422 mm/th.

Iklim tropis basah (Wet tropical climate) terkadang juga disebut sebagai iklim

hutan hujan tropis (Tropical rain forest climate). Menurut Lakitan (2002) zona

iklim tropis basah akan menerima hujan hampir sepanjang tahun, tetapi bulan kering

bisa saja terjadi. Total curah hujan tahunan pada zona iklim ini lebih dari 1.500 mm.

Bulan kering dimaksud adalah apabila curah hujan bulanan kurang dari 60 mm (Mohr

42
dalam Wisnubroto, 2004) atau curah hujan bulanan kurang dari 100 mm (Oldeman

dalam Lakitan, 2002).

4. Kondisi tanah

Menurut penelitian Lembaga Penelitian Tanah BPPT Tahun 1983 ( NSASD

Kabupeten Banyumas, 1998) jenis tanah yang terdapat di wilayah kabupaten

Banyumas ada 7 jenis dengan 17 macam tanah, sebagaimana ditunjukkan pada tabel

4.1.

Tekstur tanah di kabupaten Banyumas menurut hasil penelitian Kantor

Pertanahan Kabupaten Banyumas (NSASD Kabupeten Banyumas Tahun 1998

(2000)) dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu : tekstur tanah halus mencakup

wilayah seluas 57.498 Ha (43,31%), tekstur tanah sedang seluas 73.495 Ha (55,36%)

dan tektur tanah kasar seluas 1.766 Ha (1,33%).

Drainase tanah di wilayah kabupaten Banyumas pada umumnya baik. Di

beberapa tempat di wilayah kabupaten Banyumas, tanahnya memiliki drainase yang

jelek seperti di sub DAS Kali Gatel kecamatan Tambak, kecamatan Sumpiuh dan

dataran sungai Serayu. Di wilayah ini sering terjadi genangan air terutama pada

musim hujan (terjadi banjir dan genangan periodik).

43
Tabel 4.1.

Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Banyumas

No Jenis Tanah Macam Tanah


1. Aluvial Aluvial Hidromorf
Aluvial Kelabu
Aluvial Kelabu Tua
Aluvial Kelabu kekuningan
Aluvial Coklat Kekelabuan
2. Glei Humus Rendah Glei Humus rendah
3. Regosol Regosol Kelabu
Regosol Coklat
4. Litosol Litosol
5. Andosol Andosol Coklat
Andosol Coklat Kekuningan
6. Latosol Latosol Coklat Tua Kemerahan
Latosol Coklat Kemerahan
Latosol Coklat
Latosol Merah Kekuningan
7. Podsolik Podsolik Merah Kekuningan
Podsolik Kuning
Sumber : NSASD Kabupeten Banyumas Tahun 1998 (2000)

Pemanfaatan tanah di kabupaten Banyumas meliputi penggunaan untuk,

permukiman, pertanian lahan kering, sawah, kebun, pertambangan, industri, lahan

berhutan padang, perairan, dll. Luas masing-masing pemanfaatan tanah dimaksud

adalah sebagaimana ditunjukan pada tabel 4.2.

44
Tabel 4.2.

Pemanfaatan tanah (lahan) di Kabupaten Banyumas

No Macam penggunaan tanah (lahan) Luas (Ha) Prosentase (%)

1. Permukiman 19.826 14,93


2. Pertanian lahan kering 8.666 6,53
3. Sawah 32.986 24,85
4. Kebun 24.853 18,72
5. Perkebunan 2.404 1,81
6. Pertambangan 24 0,02
7. Industri 104 0,08
8. Lahan berhutan 38.711 29,16
9. Padang 17 0,01
10. Perairan 482 0,36
11. Lain – lain 4.685 3,53

Sumber : NSASD Kabupeten Banyumas Tahun 1998 (2000)

5. Kondisi sosial dan kependudukan

Penduduk Kabupeten Banyumas pada tahun 2004 tercatat sebesar 1.498.122

jiwa dengan laji pertumbuhan penduduk sebesar 0,83%. Rasio jenis kelamin 99,44

yang berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat sekitar 99 penduduk laki-laki.

Rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Banyumas adalah 1.128 jiwa/ km2.

Kepadatan penduduk di ibukota kabupaten, terurtama di Purwokerto Timur mencapai

7.500 jiwa/km2.

Tingkat pendidikan penduduk kabupaten Banyumas (Susenas 2001) pada

usia 10 tahun keatas yang belum/tidak tamat SD sebanyak 33,12 %. Tingkat

pendidikan penduduk kabupaten Banyumas, secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.3.

45
Tabel 4.3.
Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Banyumas
Tahun 2001

No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Tidak / belum tamat SD 174.684 186.804 361.488


2. SD / MI 212.914 209.368 422.312
3. SLTP / sederajat 88.064 75.616 163.660
4. SMA / sederajat 78.064 41.888 119.952
5. D1 / DII / DIII 6.432 7.636 14.068
6. DIV / S1 / S2 / S3 4.032 6.048 10.080

Sumber : BPS Kabupaten Banyumas (2001)

B. Karakteristik DAS Pelus

1. Kondisi DAS Pelus

Gambaran karakteristik DAS Pelus dapat diperoleh dari informasi luas

DAS, panjang sungai utama, percabangan sungai (WRB), faktor bentuk DAS,

Kemiringan DAS dan sinusitas. Karakteristik DAS Pelus disajikan pada tabel 4.4.

Tabel 4.4.

Karakteristik DAS Pelus

No. Aspek informasi Besaran


1. Luas DAS 93,84 km2
2. Panjang sungai utama 27,75 km
3. Percabangan (WRB) 5
4. Faktor bentuk DAS -
5. Faktor kemiringan DAS 6
6. Sinusitas 26 %
Sumber : Disairtamben Kabupaten Banyumas

46
DAS sungai pelus meliputi sub DAS K. Pelus hulu, K. Lirip, K.Belot, K.

Pangkon dan K. Bener. Sub DAS K. Pelus hulu dan K. Lirip, oleh pemerintah

Kabupaten Banyumas ditetapkan sebagai daerah resapan air. Secara administrasi

desa-desa yang wilayahnya ditetapkan sebagai daerah resapan air ditunjukkan pada

tabel 4.5.

Tabel 4.5.
Nama desa yang wilayahnya
ditetapkan sebagai daerah resapan air

No Nama desa Keterangan

1. Kalikesur Sub DAS K. Banjaran


2. Pamijen Sub DAS K. Banjaran
3. Banjarsari DAS K. Pelus
4. Sumbang DAS K. Pelus
5. Purwodadi DAS K. Pelus
6. Linggasari DAS K. Pelus
7. Kebanggan DAS K. Pelus
8. Bantarsari DAS K. Pelus
9. Kembangan DAS K. Pelus
10. Sikapat DAS K. Pelus
11. Gandatapa DAS K. Pelus
Sumber : Revisi Tata Ruang Wilayah Kab. Banyumas Tahun 2002-2012

Jenis tanah di DAS sungai Pelus sebagian besar termasuk Komples

Regosol kelabu dan Litosol. Pada sub DAS K. Pelus hulu, K. Belot hulu dan K.

Lirip hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol coklat kekuningan. Jenis tanah pada

sub DAS K. Bener adalah Kompleks Podsolik merah kekuningan, Podsolik kuning

dan Regosol. DAS sungai pelus umumnya memiliki kemiringan lahan antara 2 –

47
15%, pada sub DAS K. Pelus hulu, K. Belot hulu dan K. Lirip hulu kemiringan lahan

bisa mencapai >40%.

Pemanfaatan lahan pada DAS sungai Pelus sebagian besar berupa

persawahan, perkebunan / hutan. Sebagian kecil berupa permukiman dan industri,

dimana industri menyatu dengan permukinan. Jenis industri atau perusahaan yang

ada di DAS Pelus meliputi hotel/restoran, peternakan, pabrik dan industri rumah

tangga, sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.7. Luas areal masing-masing

penggunaan lahan disajikan pada tabel 4.6.

Tabel 4.7.
Pemanfaatan lahan pada DAS Sungai Pelus
Tahun 2005
No Sub DAS Pemanfaatan lahan
Permukiman Kebun/Hutan Persawahan Industri
(Ha) (Ha) (Ha) (bh)
1 K. Pelus 782,97 1.472,65 2.045,46 819
2 K. Belot 94,39 32.747,51 272,21 286
3 K. Bener 221,74 435,23 315,94 267
4 K. Lirip 182,01 1.628,73 362,08 199
5 K. Pangkon 276,12 599,11 878,56 8
Sumber : Diolah dari Kecamatan Baturraden, Kembaran, Sokaraja, Kalibagor,
Kembaran, Purwokerto Utara, Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas
Dalam Angka Tahun 2004.

48
Tabel 4.6.
Jenis sumber pencemar industri pada DAS Pelus tahun 2005

No Sub DAS Sumber Pencemar Industri / perusahaan


Hotel Pabrik Peternakan Ind. RT
(bh) (bh) (bh) (KK)
1 K. Bener - 1 15 251
2 K. Lirip - - - 199
3 K. Belot 85 1 2 198
4 K. Pelus 2 1 5 178
5 K. Pangkon - - - 8
Jumlah 85 3 22 834
Sumber : Diolah dari Kecamatan Baturraden, Kembaran, Sokaraja, Kalibagor,
Kembaran, Purwokerto Utara, Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas
Dalam Angka Tahun 2004.
Keterangan :
Ind. RT = industri rumah tangga, terdiri atas batik tulis sokaraja, perajin lukisan, getuk goreng,
keripik, mebelair, bengkel, dll. Rincian tentang jenis industri rumah tangga yang ada di
DAS Pelus tidak diperoleh data secara lengkap.

Pemanfaatan lahan sebagaimana di sebutkan pada tabel 4.6. di dalam

segala aktivitasnya akan menghasilkan buangan, yang pada akhirnya akan sampai

pada aliran air sungai Pelus. Buangan atau limbah yang masuk pada aliran air sungai

Pelus berpotensi untuk menimbulkan pencemaran. Jika benar bahwa pemanfaatan

lahan dimaksud dapat menimbulkan pencemaran pada air sungai Pelus, maka hal ini

tidak bertentangan dengan pernyataan Sanders (Oglesby, dkk, 1972). Ia menyatakan

bahwa sumber pencemar pada suatu DAS meliputi kebun / hutan, areal / kegiatan

pertanian, bantaran sungai dan sumber-sumber bergerak.

Jumlah penduduk yang berada di wilayah DAS Pelus adalah 166.771 jiwa.

Jumlah penduduk pada wilayah masing-masing sub DAS disajikan pada tabel 4.8.

Kepadatan penduduk di wilayah DAS Pelus berkisar antara 1.000-2.500 jiwa/km2,

49
bahkan ada daerah yang memiliki kepadatan penduduk > 2.500 jiwa/km2 seperti di

Sokaraja. Laju pertumbuhan penduduk yang berada di wilayah DAS Pelus antara

0,45% - 1,09% (BPS Kab. Banyumas, 2004).

Tabel 4.8.
Jumlah Penduduk pada setiap sub DAS Pelus tahun 2004

No Sub DAS Jumlah penduduk (jiwa)

1 K. Pelus 92.990
2 K. Pangkon 25.760
3 K. Bener 20.929
4 K. Lirip 15.818
5 K. Belot 11.274
Jumlah 166.771
Sumber : BPS Kab. Banyumas, 2004

Survey yang dilakukan oleh Nurhilal, dkk. (2002) menemukan bahwa

penduduk di DAS Pelus pada umumnya berpendidikan rendah (50,5%) dan

berpenghasilan rendah (51,4%), tetapi mereka memiliki pengetahuan yang baik

(82%) bahwa air sungai yang kotor sebagai sumber kuman penyakit. Terdapat

sebanyak 6% penduduk yang masih menggunakan sungai secara langsung untuk

BAB / MCK dan sebanyak 23% penduduk yang menggunakan sungai sebagai tempat

pembuangan limbah secara langsung.

2. Debit air sungai Pelus

Debit air dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kecepatan aliran,

kedalaman dan lebar saluran. Kecepatan aliran air dipengaruhi oleh lebar sungai ,

50
kemiringan dasar sungai, kekasaran dasar sungai, volume air dan kedalaman air.

Volume air dipengaruhi oleh curah hujan, luas lahan dan penggunaan lahan (kondisi

DAS).

Air memiliki daya gerus, daya angkut dan kemampuan mengendapkan

material yang dibawanya. Kemampuan air tersebut berkaitan dengan kecepatan

aliran air. Menurut Metcalf & Eddy (1991) kecepatan aliran air yang memiliki daya

angkut dan daya gerus terhadap material kasar adalah 1 - 3 m/dt, sedangkan

kecepatan aliran air yang mampu mencegah terjadinya endapan organik adalah 0,3

m/dt. Aliran air dengan kecepatan > 0,75 m/dt diketahui mampu mencegah

terjadinya endapan material sedang seperti pasir. Kecepatan air sungai Pelus di

beberapa lokasi pengukuran berkisar 0,07 mt/dt – 0,89 mt/dt seperti ditunjukkan

pada lampiran VII, utamanya di Pekunden dan Rempoah maka dapat dikatakan

bahwa aliran air sungai Pelus tersebut mampu membawa material sedang seperti pasir

yang ada di dalam air.

Kecepatan aliran air yang tinggi dapat menimbulkan olakan atau percikan air

apabila menabrak benda yang tegar. Kecepatan aliran air yang tinggi juga dapat

menimbulkan pusaran air yang kuat apabila menjumpai belokan saluran. Olakan air,

percikan air dan pusaran air yang kuat akan menimbulkan efek aerasi. Aerasi pada

air sungai merupakan peristiwa yang sangat menguntungkan. Aerasi akan

menyebabkan pengikatan Oksigen (O2) di udara oleh air, sehingga dapat

meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air sungai. Sebagai gambaran

tentang pengaruh kecepatan air terhadah tingkat penyerapan oksigen oleh air,

51
Prodjopangarso (1985) pernah melakukan penelitian percobaan tentang korelasi

antara kecepatan air dengan tingkat penyerapan oksigen dalam air, dimana pada

kecepatan 0,5 mt/dt mampu menyerap oksigen 0,4 ppm / 10 menit.

Sepanjang aliran sungai Pelus terdapat alat pengukuran debit yang bersifat

permanen yang berada di desa Sokawera, desa Pandak kecamatan Baturraden, desa

Arcawinangun kecamatan Purwokerto Timur dan Kertadirja Purwokerto. Pada lokasi

pengukur debit permanen tersebut, terdapat bendungan yang berfungsi mengalirkan

air sungai Pelus untuk keperluan perikanan darat dan pertanian. Pengukuran debit

sungai Pelus pada tempat-tempat dimaksud dilakukan oleh Dinas Sumber Daya Air,

Pertambangan dan Energi (Disairtamben) Kabupaten Banyumas. Pengukuran

dilakukan secara kontinyu setiap dua pekan. Hasil pengukuran debit rata-rata dari

tahun 2000 – 2005 disajikan pada Lampiran VII. Data debit air sungai Pelus pada

bendung Kertadirja dan Sokawera tidak tersedia secara lengkap, sehingga yang

dicamtukan hanya debit air di bendung Pandak dan bendung Arca.

Pengukuran debit air secara langsung juga dilakukan pada beberapa lokasi

sepanjang Sungai Pelus dan anak sungainya.. Anak sungai yang ikut memasok air

pada sungai Pelus, diantaranya adalah K. Lirip, K. Belot, K. Pangkon dan K. Bener.

Drainase alami juga turut memasok air pada sungai Pelus terutama pada musim

hujan. Hasil pengukuran debit air disajikan pada tabel 4.9.

52
Tabel 4.9.
Kapasitas Aliran (Debit) Air Anak Sungai dan Sungai Pelus
(Bulan September dan Oktober 2005)

Debit Air (m3/dt)


Nama Sungai / Kode
No Lokasi sampel September Oktober
anak sungai Lokasi
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 0,8925 1.7784
2. K. Lirip Kemutug LR 1 0,558 0.594
3. K. Pelus Rempoah PL 2 2,0145 2.4475
4. K. Belot Rempoah BL 1 0,03 0.08
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 4,68 4.42
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 0,02744 0.04872
7. K. Pelus Mersi PL 4 4,9569 5.4
8. K. Pelus Pekunden PL 5 1,5 2.56
9. K. Bener Pajerukan BN 1 0,9882 1.449
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 1,386 2.904
Sumber : hasil perhitungan atas data pengukuran kecepatan aliran, kedalaman air
dan lebar sungai pada Lampiran VII.

Pada bulan September 2005 saat penelitian ini berlangsung, kondisi

drainase alami tidak terdapat aliran air. Kondisi ini dapat dimaklumi karena pada

bulan Agustus – September merupakan puncak dari musim kemarau. Kendatipun

pada bulan Agustus 2005 telah terjadi hujan di wilayah DAS dan sub DAS sungai

Pelus, namun belum cukup untuk dapat menimbulkan aliran air pada drainase alami

dimaksud. Sebagian besar air hujan masih diserap oleh tanah yang kering.

Drainase alami yang kering tidak terdapat aliran air, dipastikan akan

mengurangi pasokan terhadap debit air sungai Pelus. Disamping itu pula semua jenis

53
pencemar yang ada di sepanjang drainase tersebut tidak akan terangkut masuk

kedalam air sungai Pelus. Kondisi yang berbeda terjadi pada bulan Oktober 2005.

Drainase alami sudah menampakkan adanya aliran air, bahkan terdapat bekas

adanya banjir. Hal ini juga dapat dilihat dari adanya peningkatan debit sungai Pelus

pada semua lokasi pengukuran. Aliran air pada drainase alami dapat membawa dan

melarutkan bahan pencemar yang ada. Pada keadaan debit aliran yang besar dapat

mengakibatkan bahan pencemar menjadi terencerkan (dillution). Konsentrasi bahan

pencemar dalam air sungai menjadi lebih kecil. Apabila kecepatan alirannya juga

tinggi akan dapat memberikan efek "mengangkut dan mencuci" semua pencemar

yang ada di DAS Pelus. Semua pencemar akan terangkut dialirkan menuju muara

sungai Pelus di sungai Serayu, dan akhir ke laut. Konsentrasi pencemar di sungai

Pelus akan menurun.

Apabila mencermati debit air sungai Pelus pada beberapa lokasi

pengukuran dan waktu pengukuran, terlihat adanya perbedaan. Perbedaan debit air

sungai ini di pengaruhi oleh beberapa faktor. WMO (1999) mengemukakan bahwa

beberapa faktor yang berpengaruh terhadap volume air sungai (debit) antara lain

adalah tingkat lengas tanah sebelum hujan, permukaan air tanah sebelum hujan, laju

infiltrasi dan keberadaan bangunan kedap air atau penggunaan lahan. Laju infiltrasi

dipengaruhi oleh adanya vegetasi, tekstur tanah, lengas tanah, struktur tanah dan

sersah di permukaan tanah.

Jika mengacu pada kondisi debit air sungai Pelus (Lampiran VII) maka

dapat disebutkan bahwa sungai Pelus memiliki air yang mengalir sepanjang tahun

54
dengan fluktuasi debit yang bervariasi. Fluktuasi debit air sungai dapat menjadi

petunjuk tentang jenis atau tipe sungai. Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut

literatur geologi pola aliran (sistem) sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran

influent, effluent dan intermittent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai

yang memasok air tanah. Sistem aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasal

dari air tanah. Sungai yang masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan

mengalir sepanjang tahun (perennial). Apabila menyetujui pernyataan Asdak (2002)

diatas, maka sungai Pelus merupakan sungai perrenial dengan sistem aliran effluent.

Sementara itu, drainase alami yang mengalir ke sungai Pelus termasuk sistem aliran

intermitten.

Pemanfaatan air sungai Pelus dengan pembangunan bendung-bendung ini

tentu akan mengurangi debit air pada bagian hilir sungai Pelus. Hal ini terbukti dari

hasil pengukuran debit sungai Pelus. Penurunan debit terlihat nyata sekali pada lokasi

pengukuran pada bulan September 2005 di Pekunden (1,5 m3/dt), bila dibandingkan

dengan lokasi pengukuran di bagian hulu sebelumnya yakni di Mersi (4,9569).

Demikian halnya hasil pengukuran pada bulan Oktober 2005. Ini terjadi karena

aliran sungai antara Mersi dengan Pekunden terdapat bendung Kertadirja. Bendung

Kertadirja ini dipergunakan untuk mengairi sawah di kecamatan Sokaraja dan

Kalibagor.

Berbeda dengan hasil pengukuran debit air pada lokasi lainnya yang tidak

ada penurunan, meski terdapat bendungan. Keadaan seperti ini terjadi karena

setelah ada bendungan, terdapat pasokan air dari anak sungai Pelus dan masukan dari

55
aliran air tanah daerah sepanjang aliran sungai. Kemungkinan lain adalah debit air

sungai Pelus yang dialirkan melalui bendung-bendung tersebut lebih kecil dibanding

dengan pasokan air dari anak sungai Pelus dan aliran air tanah.

Debit air sungai Pelus yang bervariasi pada berbagai lokasi pengukuran

akan berpengaruh terhadap jumlah bahan pencemar yang dapat diterima. Secara

umum dapat dinyatakan bahwa semakin besar debit air maka akan semakin besar

kemampuannya menerima bahan pencemar. Debit air yang besar akan memiliki

kemampuan untuk mengencerkan bahan pencemar semakin besar pula.

3. Curah hujan di DAS Pelus

Keadaaan cuaca pada saat penelitian berlangsung, tanggal 26 September

2005 yakni pada waktu dilakukan pengukuran debit air sungai dan pengambilan

sampel air cuaca pada umumnya cerah. Tetapi apabila melihat catatan data curah

hujan (tabel 4.10) di stasiun penakar curah hujan Baturraden diketahui diketahui

bahwa pada tanggal tersebut dan hari-hari sebelumnya telah terjadi hujan. Jumlah

hujan pada bulan September 2005 adalah 538 mm. Laporan resmi yang dikeluarkan

Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Dispertan) Kabupaten Banyumas, menyebutkan

bahwa curah hujan bulan September 2005 sebesar 513 mm.

Mencermati data curah hujan harian di stasiun Baturraden pada bulan

September 2005 (Lampiran : IV), sehari sebelum dilakukan pengambilan sampel air

dan pengukuran debit telah terjadi hujan yang lebih besar. Kondisi demikian perlu

56
mendapat perhatian, berkaitan dengan kemungkinan berpengaruhnya terhadap debit

air sungai dan kandungan bahan pencemar pada air sungai tersebut.

Menurut Mori, dkk (Lakitan, 2002) intensitas curah hujan merupakan

jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama hujan berlangsung. Intensitas curah

hujan, umumnya dibedadan menjadi lima tingkatan, yaitu sangat deras, deras,

sedang, lemah dan sangat lemah. Kriteria intensitas curah hujan dimaksud dapat

dilihat pada tabel 4.11.

Tabel 4.10.
Curah hujan (mm) pada DAS Pelus Kabupaten Banyumas
(Bulan September dan Oktober 2005)

Ketinggian Juli Agustus September Oktober


No Stasiun
m.dpl

1 Baturraden 300 158 87 513 -


2 Sumbang 169 16 5 158 -
3 Sokaraja 37 0 0 0 -
4 Bojongsari/kembr 68 - 12 175 175

Sumber : Disairtamben & Dispertan Kabupaten Banyumas (2005)

Tabel 4.11.

Kriteria tingkatan intensitas curah hujan

No Kriteria Tingkatan Intensitas Intensitas


(mm/menit) (mm/hari)
1. Sangat lemah < 0,002 < 2,88
2. Lemah 0,002 – 0,05 2,88 – 72
3. Sedang 0,05 – 0,25 72 – 360
4. Deras 0.25 – 1,00 360 – 1.440
5. Sangat deras > 1,00 > 1.440
Sumber : Mori, dkk (Lakitan, 2004)

57
Apabila mengacu pada kriteria seperti pada tabel 4.11 di atas, maka hujan

yang terjadi sebelum pengukuran debit air dan pengambilan sampel air pada bulan

September 2005 yakni antara 2 – 141 mm/hari tergolong lemah sampai sedang.

Hujan yang lemah diperkirakan tidak akan mampu menyebabkan terjadinya run off

pada kondisi tanah yang kering. Air hujan semua akan terserap oleh tanah yang

kering sampai dengan kondisi kebasahan tanah menjadi jenuh. Pada kondisi

kebasahan tanah yang jenuh akan menyebabkan terjadi run off, yang selanjutnya

dapat mengalir ke sungai.

Kondisi tanah pada bulan September saat penelitian berlangsung dalam

keadaan kering. Hal ini sesuai dengan kondisi di Indonesia pada umumnya. Di

Indonesia, bulan September dimasukkan sebagai bulan kering, karena termasuk

dalam musim kemarau. Musim kemarau di Indonesia berlangsung pada setiap bulan

April sampai September (Lakitan, 2002).

Menurut Lakitan (2002) Temperatur udara akan berpengaruh terhadap laju

evaporasi. Evaporasi dapat berlangsung pada segala kondisi temperatur. Laju

evaporasi di Indonesia terjadi secara bervariasi tergantung ketinggian tempat dan

waktu. Pada bulan Januari – April laju evaporasi masih rendah, puncaknya terjadi

pada bulan Juni – September. Temperatur udara akan berpengaruh terhadap tekanan

parsial gas di udara. Tekanan parsial gas di udara akan berpengaruh terhadap daya

penetrasi masing-masing gas penyusun udara untuk masuk atau larut dalam air.

Oksigen (O2) merupakan gas penyusun udara yang dinamis dapat melarut ke dalam

air dan lepas ke udara sesuai dengan kondisi temperatur lingkungan setempat.

58
Dengan demikian temperatur udara akan berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen

terlarut (DO) dalam air.

C. Estimasi Daya Tampung Beban Pencemaran

1. Kualitas air sungai dan konsentrasi pencemar

Pemantauan kualitas air sungai Pelus oleh pemerintah belum dilakukan

secara rutin, sehingga data tentang kualitas air sungai Pelus belum tersedia di kantor

Bappeda, Disairtamben dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas. Data

tentang kualitas air sungai Pelus masih sangat terbatas, salah satunya adalah dari uji

petik yang dilakukan oleh Yayasan Sanitarian Banyumas (Yasamas) seperti

ditunjukkan pada tabel 4.12.

Baku mutu badan air kelas 2 mensyaratkan bahwa temperatur air normal

memiliki deviasi 3 dari keadaan temperatur alamiah di lingkungan setempat.

Temperatur air sungai Pelus bila dibandingkan dengan temperatur lingkungan sekitar

sungai Pelus seperti disajikan pada Lampiran VII, dapat dinyatakan masih dalam

batas normal. Apabila terjadi deviasi temperatur air sebesar 3oC, dikawatirkan akan

terjadi gangguan terhadap biota maupun reaksi biokimia dalam air.

Merriman (Benton & Werner, 1974) mengatakan bahwa peristiwa

Calefaction yakni perubahan temperatur atau pemanasan yang bersifat moderat,

memiliki efek yang dapat membahayakan. Deviasi 3oC dari temperatur alami

ternyata sudah dapat membunuh telur ikan salmon. Pengamatan di sungai Columbia,

59
ikan-ikan akan berhenti berreproduksi bila temperaturnya naik menjadi diatas 24oC.

Daphnia jenis zooplanton yang umum terdapat dalam air tawar, akan berhenti

berreproduksi bila temperatur air naik menjadi 28oC.

Temperatur air memiliki pengaruh terhadap kemampuan air menyerap oksigen

dari udara (lihat kembali tabel 2.2.). Temperatur air juga dapat berpengaruh terhadap

kecepatan reaksi-reaksi kimia yang berlangsung dalam air. Pada umumnya, semakin

tinggi temperatur akan semakin cepat proses berlangsungnya reaksi kimia. Dengan

demikian memungkinkan terjadi pelarutan yang lebih cepat terhadap bahan-bahan

pencemar tertentu, atau pembentukan senyawa-senyawa tertentu dari bahan pencemar

tersebut.

Merriman (Benton & Werner, 1974) mengatakan temperatur air juga sangat

berpengaruh pada kehidupan biota air. Beberapa diataranya bahkan sangat sensitif

terhadap perubahan temperatur air. Kelompok biota yang sangat sensitif terhadap

perubahan temperatur adalah biota yang memiliki toleransi rendah. Pada umumnya

adalah biota dari kelompok hewan dan tumbuhan tingkat rendah yakni fitoplankton

dan zooplankton. Jika melihat kondisi temperatur air sungai Pelus seperti tersebut

pada Lampiran VII, maka dapat dinyatakan bahwa aktifitas biota pada sungai Pelus

dapat berlangsung normal.

Kehidupan biota air juga dapat dipengaruhi oleh tingkat kecerahan air.

Kecerahan menurut Hariadi, dkk. (1992) didefinisikan sebagai ukuran transparansi

perairan yang diamati secara visual. Alat ukur yang digunakan adalah secchi disk.

Kecerahan dapat digunakan untuk menduga tingkat kepadatan plankton, bila

60
kekeruhan (ketidak transparanan) disebabkan oleh plankton. Tingkat kecerahan

selalu berbanding lurus dengan kekeruhan air. Hasil pengukuran kecerahan akan

terganggu apabila keadaan cuaca tidak cerah. Pada saat penelitian berlangsung

kondisi cuaca cerah dan dilakukan pada kisaran pukul 09.00. Hal ini sesuai dengan

anjuran Hariadi, dkk. (1992) bahwa pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan

antar pukul 09.00-15.00 dan matahari tidak tertutup awan.

Kecerahan air sungai Pelus pada umumnya masih baik (lihat lampiran VII),

tetapi pada bagian hilir sungai Pelus terutama di daerah Pajerukan setelah mendapat

pasokan air dari K.Bener, tingkat kecerahannya menurun. Hal ini sangat masuk akal

karena pasokan dari air K. Bener tampak lebih keruh dan berbau tanah. Dapat diduga

air dari K. Bener mengandung suspensi tanah yang tinggi, sebagai akibat adanya erosi

dibagian hulu. Seperti disebutkan pada uraian terdahulu, bahwa jenis tanah sub DAS

K. Bener adalah Kompleks Podsolik merah kekuningan. Hal inilah yang mungkin

menjadi penyebab warna air sungai K. Bener menjadi kuning keruh. Sayang sekali

dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap kadar TSS, sehingga tidak

bisa memastikan kandungan suspensi tanah yang ada.

Tabel 4.12.
Konsentrasi zat organik (BOD) dan oksigen terlarut (DO)
air Sungai Pelus (bulan Agustus 2005)
No Lokasi sampel Konsentrasi Konsentrasi DO
BOD (mg/l) (mg/l)
1. Rempoah 1,1 5,9
2. Arcawinangun 1,7 5,4
3. Pekunden 2,9 5,4
Sumber : Uji Petik Tim Yasamas 2005

61
Tabel 4.13.
Konsentrasi zat organik (BOD) air anak Sungai dan Sungai Pelus
(bulan September dan Oktober 2005)

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Konsentrasi BOD


anak sungai Lokasi (mg/l)
September Oktober
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 1,1 1,4
2. K. Lirip Kemutug LR 1 1,7 1,8
3. K. Pelus Rempoah PL 2 1,1 1,2
4. K. Belot Rempoah BL 1 1,5 1,5
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 1,7 1,6
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 1,5 1,3
7. K. Pelus Mersi PL 4 1,5 1,5
8. K. Pelus Pekunden PL 5 1,9 2,3
9. K. Bener Pajerukan BN 1 1,5 2,1
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 1,7 2,0
Sumber : Hasil Pemeriksaan BBTKL Yogyakarta (lampiran VII).

Menurut Linsley dan Franzini (1995) keberadaan bahan organik dalam air

dapat diketahui salah satunya dengan pengukuran terhadap parameter BOD

(Biological Oxygen Demand = Kebutuhan oksigen untuk oksidasi biologis).

Konsentrasi BOD pada air sungai Pelus pada setiap lokasi pengukuran semuanya

masih dibawah baku mutu air badan air kelas II. Fakta ini menunjukan bahwa

kondisi air sungai Pelus belum tercemar. Hasil uji petik tim Yasamas pada bulan

Agustus 2005 (tabel 4.12) menujukan hal yang relatif sama kecuali untuk lokasi di

Pekunden. Fakta ini sekaligus menjadikan pertanyaan mengapa tidak terjadi

62
pencemaran ? padahal di DAS sungai Pelus banyak dijumpai sumber pencemar

berupa pemanfaatan lahan dan industri (hotel, industri rumah tangga).

Limbah yang masuk kedalam aliran sungai Pelus melalui beberapa

kemungkinan. Kemungkinan pertama, limbah langsung masuk ke sungai Pelus.

Limbah yang masuk sungai Pelus akan mengalami pengenceran dan degradasi.

Imholf (1979) mengemukakan bahwa air limbah baik yang diolah ataupun yang tidak

diolah apabila masuk ke badan air akan mengalami tekanan oleh ekosistem air.

Tekanan tersebut berupa pengurangan atau penghilangan bahan pencemar oleh

berbagai proses yang ada dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik,

penyebaran dan pengendapan, reaksi kimia, adsorbsi, Penguraian secara biologis dan

stabilisasi. Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang

memilki kemampuan untuk membersihkan atau menghancurkan berbagai

kontaminan dan pencemar yang dibawa air limbah. Kemampuan air untuk

membersihkan diri secara alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal

sebagai swa pentahiran.

Penguraian bahan pencemar secara biologis ataupun secara biokimia yang

terjadi pada badan air melalui dua cara yakni aerob dan anaerob. Cara aerob

merupakan proses penguraian bahan pencemar oleh jasadrenik yang membutuhkan

oksigen dalam jumlah yang cukup, sedangkan anaerob tidak memerlukan oksigen.

Kedua cara ini akan memperoleh hasil yang sama yaitu air menjadi bersih.

Perbedaannya, pada kondisi aerob air kelihatan bersih, tidak berbau, hewan dan

tumbuhan air dapat hidup normal. Sebaliknya pada kondisi anaerob air tampak hitam

63
dan kotor, berbau busuk, hewan dan tumbuhan air mati. Hal seperti ini dapat

menimbulkan gangguan, dan juga proses anaerob lebih lambat dibanding aerob. Pada

umumnya proses anaerob yang terjadi pada badan air tidak dapat diterima oleh

masyarakat, sehingga pengertian swa pentahiran hanya digunakan untuk proses

penguraian bahan pencemar dalam kondisi aerob (Fair, 1956).

Kemungkinan kedua, limbah akan tertahan dalam suatu reservoar berupa

septik tank, IPAL, kolam atau sejenisnya. Pada reservoar tesebut limbah akan

mengalami degradasi. Setelah limbah terdegradasi dalam reservoar limbah baru akan

masuk kedalam sungai. Marsono (1998) menyatakan bahwa unit pengolah limbah

mampu menurunkan bahan pencemar organik antara 30 – 85%. Septik tank dengan

waktu detensi 2 hari akan mampu menurunkan pencemar organik (BOD) sekitar 43 –

47%. IPAL dengan sistem activated sludge convensional akan mampu menurunkan

pencemar organik (BOD) sebesar 80 – 85%. Kolam dapat berfungsi sebagai

primary sedimentation tank akan mampu menurunkan pencemar organik (BOD)

sebesar 30 – 40%.

Kemungkinan ketiga, limbah masuk ke sungai Pelus melalui saluran atau

drainase alam yang panjang, sehingga dalam perjalannya limbah akan mengalami

pengenceran dan degradasi. Proses terjadi pengenceran dan degradasi adalah seperti

yang diuraikan pada kemungkinan pertama.

Kemungkinan keempat, limbah sama sekali tidak masuk ke dalam sungai

Pelus karena tidak ada drainase yang menuju ke sungai Pelus atau drainase kering.

Pada keadaan seperti ini limbah akan tertahan dan terdegradasi, meresap kedalam

64
tanah. Di dalam tanah akan terjadi proses degradasi dan filtrasi. Marsono (1998)

menyatakan bahwa apabila air limbah meresap kedalam tanah, maka akan terjadi

penyerapan BOD, SS, bakteri, virus, logam berat dan senyawa organik lainnya. Pada

kondisi tanah yang kering, limbah cair akan meresap kedalam tanah. Limbah padat

atau semi padat akan tertahan di permukaan tanah, selanjutnya akan mengalami

degradasi secara fisik-kimia dan biologis. Degradasi secara fisik misalnya adalah

proses pemecahan, penghancuran dan pelapukan yang diakibatkan oleh energi sinar

matahari secara langsung. Degradasi secara biologis dilakukan oleh mikroorganisme

berupa bakteri, kapang, kamir dan actynomecetes. Degradasi secara biologis juga

dapat dilakukan oleh cacing tanah dan beberapa jenis serangga.

Beberapa kemungkinan seperti diatas, kiranya dapat menjelaskan tentang

kecilnya bahan pencemar organik yang terdapat dalam air sungai Pelus. Padahal pada

DAS Pelus terdapat banyak sumber pecemar baik yang berupa point source maupun

non point source.

Khusus untuk kondisi bulan Agustus 2005 pada lokasi Pekunden, yang

menunjukkan kadar BOD mendekati ambang batas baku mutu badan air kelas II,

dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara umum bulan Agustus dikenal sebagai bulan

kering. Fakta menunjukkan bahwa pada bulan Agustus 2005 debit air sungai Pelus

dalam kondisi minimal yaitu 773 lt/dt (lihat Lampiran VII). Bila dibandingkan

dengan kondisi debit air maksimal, maka pada kondisi debit air yang minimal dan

memperoleh masukan pencemar dengan jumlah yang tetap, dipastikan konsentrasi

pencemar akan lebih besar. Kondisi demikian yang terjadi di lokasi Pekunden.

65
Pekunden merupakan lokasi di hilir sungai Pelus setelah melewati Sokaraja. Di

Sokaraja banyak terdapat industri rumah tangga yang menghasilkan limbah. Industri

rumah tangga tersebut diantaranya yang paling dominan adalah batik tulis, perajin

lukisan, getuk goreng dan keripik.

Salah satu indikator bahwa pada air sungai Pelus dapat berlangsung proses

degrasi aerobik adalah dari hasil pemeriksaan konsentrasi oksigen terlarut (DO)

yang menunjukkan > 3 mg/lt sebagaimanan disajikan pada tabel 4.14. Sesuai baku

mutu badan air kelas II (PP 82 Tahun 2001) konsentrasi oksigen terlarut (DO)

minimum adalah 4 mg/lt. Hal ini berarti kondisi DO pada air sungai Pelus pada

semua lokasi pengukuran dapat dinyatakan masih memenuhi syarat.

Tabel 4.14.
Konsentrasi oksigen terlarut (DO) air anak Sungai dan Sungai Pelus
(bulan September dan Oktober 2005)

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Konsentrasi DO (mg/l)


anak sungai Lokasi
September Oktober
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 5,9 5,3
2. K. Lirip Kemutug LR 1 5,0 5,0
3. K. Pelus Rempoah PL 2 5,2 5,4
4. K. Belot Rempoah BL 1 5,1 5,1
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 5,1 5,0
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 4,9 5,4
7. K. Pelus Mersi PL 4 5,0 5,2
8. K. Pelus Pekunden PL 5 5,1 4,3
9. K. Bener Pajerukan BN 1 4,8 4,4
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 5,2 4,4
Sumber : Hasil pemeriksaan BBTKL Yogyakarta (Lampiran VII)

66
Menurut Linsley dan Franzini (1995) keseimbangan oksigen terlarut juga

akan berpengaruh pada biota dalam air. Organisme tingkat tinggi pada badan air

selalu membutuhkan terpeliharanya kondisi aerob. Ikan dan biota air lainnya hanya

dapat hidup pada kondisi kadar oksigen terlarut (DO = dissolved oxygen) dalam air

di atas 3-4 mg/lt. Konsentrasi DO pada air sungai Pelus menunjukkan bahwa

kehidupan biota air dapat berlangsung dengan normal.

Konsentrasi DO pada air sungai Pelus yang masih memenuhi syarat ini,

didukung oleh kenyataan bahwa konsentrasi BOD pada air sungai Pelus juga masih

dibawah baku mutu badan air kelas II. Air sungai Pelus belum tercemar, meskipun

telah kemasukan bahan pencemar dari berbagai sumber. Apabila dikaitkan dengan

kondisi temperatur air sungai Pelus (22 - 26oC), maka konsentrasi oksigen terlarut

maksimal bisa mencapai 7,7 - 8,4 mg/lt. Melalui analogi seperti ini maka dapat

dinyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut pada sungai Pelus mestinya akan

lebih tinggi apabila tidak kemasukan bahan-bahan pencemar organik. Konsentrasi

oksigen terlarut yang mestinya 7,7 – 8,4 mg/lt, ternyata hanya berkisar 4,4 – 5,9

mg/lt. Ini menjadi bukti bahwa sebagian oksigen terlarut yang ada pada air sungai

Pelus telah digunakan untuk proses oksidasi kimia atau oksidasi biologis terhadap

bahan-bahan pencemar yang masuk.

Bahan-bahan pencemar yang masuk sungai Pelus, baik kuantitas maupun

kualitasnya ternyata masih mampu dibersihkan oleh air sungai Pelus, melalui

mekanisme swa pentahiran (self purification). Secara tegas dapat dinyatakan bahwa

air sungai Pelus belum tercemar. Pernyataan bahwa air sungai Pelus belum tercemar

67
juga didukung oleh data hasil pemeriksaan Chlorida (Cl) air sungai Pelus pada

berbagai lokasi yang masih jauh dibawah 600 mg/lt, sebagaimana ditunjukkan pada

Lampiran VII.

Setelah mencermati hasil pengukuran terhadap konsentrasi BOD, DO, Cl,

temperatur, kecerahan, warna dan bau air sungai Pelus di beberapa lokasi

pengukuran, maka dapat dinyatakan bahwa kondisi air sungai Pelus secara umum

belum tercemar. Kesimpulan ini hanya didasarkan pada pengamatan yang relatif

sangat singkat, yakni hanya pada bulan September 2005 dan Oktober 2005. Pada

bulan tersebut diharapkan telah dapat mewakili kondisi paling kritis pada sungai

Pelus, karena debit air dalam kondisi minimal dan jumlah aliran bahan pencemar

tetap.

Pengamatan yang singkat akan menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat.

Sedikitnya variabel dan parameter yang diamati, juga akan memberikan kesimpulan

yang tidak komperhensif. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan yang terus

menerus mengingat kondisi air sungai dan asupan bahan pencemar selalu dinamis.

Parameter yang diamati juga perlu disesuaikan dengan kondisi dan jenis limbah yang

masuk pada air sungai Pelus. Perlu pengkajian lebih mendalam terhadap perilaku

bahan pencemar yang ada di DAS Pelus. Seperti diketahui, di DAS Pelus banyak

terdapat sumber pencemar, tetapi ternyata air sungai Pelus tidak tercemar.

Sungai Pelus banyak memberikan manfaat. Nurhilal (2002) menemukan

bahwa 35% penduduk DAS Pelus menyatakan merasakan manfaat nyata dari adanya

sungai Pelus. Agar sungai Pelus tetap dapat memberikan manfaat yang optimal, perlu

68
dijaga dan dilestarikan agar tetap tidak tercemar. Aksi nyata yang perlu dilakukan

diantaranya adalah pemberdayaan masyarakat DAS Pelus untuk peduli terhadap

kebersihan air sungai Pelus. Anjuran agar tidak melakukan BAB / MCK di sungai

Pelus, tidak membuang limbah dan sampah ke sungai Pelus, perlu terus di

kampanyekan. Aturan hukum perlu ditegakkan.

2. Daya tampung beban pencemaran organik

Daya tampung beban pencemaran dihitung menggunakan metode neraca

massa seperti yang telah dijelaskan dalam tinjaun pustaka. Besarnya daya tampung

beban pencemaran dihitung berdasarkan baku mutu badan air klas II PP No 82

Tahun 2001. Hasil perhitungan beban pencemaran organik dan daya tampung beban

pencemaran organik pada sungai Pelus disajikan dalam tabel 4.15 s/d tabel 4.24.

69
Tabel 4.15.
Perbandingan dan selisih konsentrasi bahan organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
Bulan September 2005

Konsentrasi BOD
Nama Sungai / Titik Kode (mg/l)
No
anak sungai Pengukuran Lokasi Baku
Nyata Selisih
mutu
1 K. Pelus Kemutug PL 1 1.1 3 1.90
2 K.Lirip Kemutug LR.1 1.7 3 1.30
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 1.1 3 1.90
4 K. Pelus Rempoah PL 2 1.1 3 1.90
5 K. Belot Rempoah BL.1 1.5 3 1.50
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 1.1 3 1.90
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.7 3 1.30
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 1.5 3 1.50
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.7 3 1.30
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.5 3 1.50
11 K. Pelus Pekunden PL 5 1.9 3 1.10
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 1.7 3 1.30
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 1.5 3 1.50
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 1.7 3 1.30
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 4.9 dan tabel 4.13. Cara perhitungan pada
lampran VII.

70
Tabel 4.16.
Perbandingan dan selisih konsentrasi bahan organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
Bulan oktober 2005

Konsentrasi BOD
Nama Sungai / Titik Kode (mg/l)
No
anak sungai Pengukuran Lokasi Baku
Nyata Selisih
mutu
1 K. Pelus Kemutug PL 1 1.4 3 1.60
2 K.Lirip Kemutug LR.1 1.8 3 1.20
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 1.4 3 1.60
4 K. Pelus Rempoah PL 2 1.2 3 1.80
5 K. Belot Rempoah BL.1 1.5 3 1.50
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 1.2 3 1.80
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.6 3 1.40
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 1.3 3 1.70
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.6 3 1.40
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.5 3 1.50
11 K. Pelus Pekunden PL 5 2.3 3 0.70
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 2 3 1.00
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 2.1 3 0.90
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 2 3 0.80
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 4.9 dan tabel 4.13. Cara perhitungan pada
lampran VII.

71
Sumber : Tabel 4.15 dan Tabel 4.16.

Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan

Gambar : 4.1.
Profil memanjang konsentrasi BOD pada sungai Pelus
di berbagai lokasi pengukuran (bulan September dan Oktober 2005)

72
Beban pencemaran pada hakikatnya adalah jumlah massa pencemar dalam

badan air pada periode tertentu. Menurut Djabu, dkk. (1991) beban pencemaran (L)

adalah konsentrasi bahan pencemar (C) dikalikan kapasitas aliran air (Q) yang

mengandung bahan pencemar. Artinya adalah jumlah berat pencemar dalam satuan

waktu tertentu, misalnya kg/hari. Sesuai Pendapat Djabu, dkk (1991) di atas, maka

beban pencemaran yang diijinkan masuk kedalam badan air sungai Pelus dapat

dihitung, yakni mengalikan konsentrasi BOD baku mutu dengan debit air nyata pada

sungai Pelus. Hasilnya disajikan pada tabel 4.17 dan tabel 4.18.

Tabel 4.17.
Beban pencemaran organik (BOD) yang diijinkan
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan September 2005
Nama Sungai / Kode B. pencmr
No
anak sungai Titik Pengukuran Lokasi (kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 231,3
2 K.Lirip Kemutug LR.1 144,6
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 375,9
4 K. Pelus Rempoah PL 2 522,2
5 K. Belot Rempoah BL.1 7,8
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 529,9
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.213,1
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 7,1
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.220,7
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.284,8
11 K. Pelus Pekunden PL 5 388,8
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 359,2
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 256,1
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 615,4
Sumber : Perhitungan dari Tabel 4.9 dan Tabel 4.15
Catatan :
Beban pencemaran dihitung berdasarkan baku mutu badan air klas II (PP No 82
Tahun 2001)

73
Tabel 4.18.
Beban pencemaran organik (BOD) yang diijinkan
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan Oktober 2005
Nama Sungai / Kode B. pencmr
No Titik Pengukuran
anak sungai Lokasi (kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 460,9
2 K.Lirip Kemutug LR.1 153,9
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 614,9
4 K. Pelus Rempoah PL 2 634,4
5 K. Belot Rempoah BL.1 20,7
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 655,1
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.145,7
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 12,6
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.158,3
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.399,7
11 K. Pelus Pekunden PL 5 663,5
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 752,7
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 375,6
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 1.128,3
Sumber : Perhitungan dari Tabel 4.9 dan Tabel 4.16
Catatan :
Beban pencemaran dihitung berdasarkan baku mutu badan air klas II (PP No 82
Tahun 2001)

Cara yang sama dapat dilakukan untuk menghitung beban pencemaran pada

sungai Pelus, yakni konsentrasi BOD nyata dikalikan debit air sungai Pelus, maka

akan diketahui besarnya beban pencemaran organik yang ada pada sungai Pelus.

Hasilnya dapat diketahui pada tabel 4.19 dan 4.20.

74
Tabel 4.19.
Total beban pencemaran organik (BOD) yang ada
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
Bulan September 2005

Nama Sungai / Titik


No Kode Lokasi Beban pencemar
anak sungai Pengukuran
(kg/hr)

1 K. Pelus Kemutug PL 1 84,8


2 K.Lirip Kemutug LR.1 81,9
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 166,8
4 K. Pelus Rempoah PL 2 191,5
5 K. Belot Rempoah BL.1 3,9
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 195,3
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 687,4
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 3,6
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 690,9
10 K. Pelus Mersi PL 4 642,4
11 K. Pelus Pekunden PL 5 246,2
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 203,6
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 128,1
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 331,6
Sumber : Hasil perhitungan Tabel 4.9. dan Tabel 4. 13.

75
Tabel 4.20.
Total beban pencemaran organik (BOD) yang ada
pada sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan Oktober 2005

Nama Sungai / Titik


No Kode Lokasi Beban pencemar
anak sungai Pengukuran
(kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 215,1
2 K.Lirip Kemutug LR.1 92,4
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 307,5
4 K. Pelus Rempoah PL 2 253,8
5 K. Belot Rempoah BL.1 10,4
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 264,1
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 611,0
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 5,5
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 616,5
10 K. Pelus Mersi PL 4 699,8
11 K. Pelus Pekunden PL 5 508,7
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 501,8
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 262,9
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 764,7
Sumber : Hasil perhitungan Tabel 4.9. dan Tabel 4. 13.

76
Sumber : Tabel 4.17, 4.18, 4.19 dan 4.20.

Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan

Gambar : 4.2.
Profil memanjang beban pencemaran pada sungai Pelus
di berbagai lokasi Pengukuran (Bulan September dan Oktober 2005)

Mencermati beban pencemaran organik pada sungai Pelus di berbagai

lokasi terlihat bervariasi mulai dari hulu (Kemutug) sampai hilir (Pajerukan / Petir.

Menurut Soemarwoto (1997) untuk daerah hulu sungai yang tidak terdapat pelayanan

riool besarnya beban pencemaran organik (BOD) adalah 6,9 kg/orang/tahun atau 16

kg/orang/tahun bila menggunakan parameter COD.

77
Qasim (1985), mengemukakan bahwa untuk kepentingan dan disain

instalasi pengolahan limbah maka jumlah bahan organik (BOD) yang dibuang setiap

hari menggunakan patokan rata-rata yaitu 94,5 gram/orang/hari atau 180

gram/orang/hari bila menggunakan parameter COD. Diketahui atau ditentukan besar

beban pencemaran per orang per hari, selanjutnya dapat digunakan untuk penentuan

PE (population Equivalent). PE adalah sebuah pendekatan analogis untuk

menentukan besar beban pencemaran yang dibuang oleh suatu industri. PE

didefinisikan sebagai jumlah massa total limbah dibagi dengan jumlah massa limbah

per orang per hari.

Apabila diasumsikan menggunakan analogi seperti yang dikemukakan

Qasim (1985), maka jumlah total bahan organik yang dibuang oleh penduduk di

DAS Pelus adalah = 94,5 gr/org/hr x 166.771 jiwa, yaitu sebesar 15.759.859,5 gr/hr

. Jumlah bahan organik sebesar itu, ternyata yang masuk ke dalam sungai Pelus

maksimal sebesar 764.717,76 gr/hr. Hal itu berarti bahwa bahan organik sebesar

15.759.859,5 gr/hr - 764.717,76 gr/hr = 14.995.141,74 gr/hr (15 ton/hari) berhasil

ditahan dan didegradasi oleh lingkungan DAS Pelus. Mekanisme penahanan dan

degradasi bahan organik oleh DAS Pelus adalah seperti diuraikan pada pembahasan

terdahulu.

Jumlah bahan organik yang diperhitungkan diatas belum termasuk

buangan bahan organik dari beragam aktivitas industri yang terdapat di DAS Pelus.

Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa di DAS Pelus terdapat aktivitas

pemanfaatan lahan yang berpotensi mengeluarkan limbah organik seperti kegiatan

78
pertanian di area persawahan dan industri rumah tangga. Apabila jumlah pencemar

organik dari aktivitas pemanfaatan lahan tersebut ikut diperhitungkan, niscaya jumlah

bahan organik yang berhasil di tahan dan didegradasi oleh lingkungan DAS Pelus,

jumlahnya akan jauh lebih besar dari 15 ton/hari.

Berdasarkan perhitungan dengan cara yang sama, yakni konsentrasi BOD

selisih (nyata dengan baku mutu) dikalikan debit air sungai Pelus, maka akan

diketahui besarnya daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus.

Hasil perhitungan daya tampung beban pencemaran organik (BOD) pada sungai

Pelus di berbagai lokasi pengukuran disajikan pada tabel 4.21 dan tabel 4.22.

Tabel 4.21.
Daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan September 2005

Daya Tampung Beban


No Nama Sungai / Titik Kode Lokasi
Pencemaran Organik
anak sungai Pengukuran
(kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 146,5
2 K.Lirip Kemutug LR.1 62,7
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 209,1
4 K. Pelus Rempoah PL 2 330,7
5 K. Belot Rempoah BL.1 3,9
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 334,6
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 525,7
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 3,5
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 529,8
10 K. Pelus Mersi PL 4 642,4
11 K. Pelus Pekunden PL 5 142,6
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 155,6
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 128,0
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 283,8
Sumber : Hasil perhitungan Tabel 4.9 dengan Tabel 4.15.

79
Tabel 4.22.
Daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan Oktober 2005
Daya Tampung Beban
No Nama Sungai / Titik Kode Lokasi
Pencemaran Organik
anak sungai Pengukuran
(kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 245,8
2 K.Lirip Kemutug LR.1 61,5
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 307,4
4 K. Pelus Rempoah PL 2 380,6
5 K. Belot Rempoah BL.1 10,3
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 391,0
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 534,7
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 7,1
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 541,8
10 K. Pelus Mersi PL 4 699,9
11 K. Pelus Pekunden PL 5 154,8
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 250,9
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 112,7
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 363,6
Sumber : Hasil perhitungan Tabel 4.9 dengan Tabel 4.16.

Daya tampung beban pencemaran organik pada sungai pelus dapat diestimasi

menggunakan data debit air maksimal dan minimal dan konsentrasi BOD maksimal

yang berhasil dicatat selama kurun waktu tertentu. Estimasi daya tampung beban

pencemaran organik pada sungai Pelus bermanfaat untuk memperkirakan jumlah

limbah yang dapat dibuang ke sungai Pelus. Diketahuinya jumlah limbah organik

yang boleh dibuang ke sungai Pelus, selanjutnya dapat dihitung jumlah dan jenis

industri yang boleh beroperasi di DAS Pelus.

80
Estimasi daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus

didasarkan pada data debit air tahun 2000 – 2005 (Lampiran VII) dan data

konsentrasi BOD (tabel 4.12 dan tabel 4.13). Hasil perhitungan estimasi dimaksud

disajikan pada tabel 4.23.

Tabel 4.23.
Estimasi daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
Sungai Pelus Banyumas Jawa Tengah.

BOD (mg/lt) BM Daya Tampung (kg/hr)


No Debit (lt/dt)
Min Mak Kls. II Mak. Min.
A. Hulu
1. 317,50 (min) 1,1 1,4 3 52,12 43,89
2. 8.685,00 (mak) 1,1 1,4 3 1.425,73 1.200,61
B. Tengah-Hilir
1. 632,00 (min) 1,9 2,9 3 60,07 5,46
2. 13.109,00(mak) 1,9 2,9 3 1.245,88 113,28
Sumber : Hasil perhitungan Tabel 4.12 dan 4.13 dengan lampiran VII.

Pemanfaatan estimasi daya tampung beban pencemaran organik pada sungai

Pelus diatas, dapat dipilih melalui pendekatan “Rasional-ideal (RI)” atau “Rasional-

ambisius (RA)”. RI didasarkan pada debit minimal dan konsentrasi pencemar

maksimal. Bila pendekatan RI yang dipilih untuk perencanaan maka kondisi

lingkungan akan dapat tetap lestari. Sebaliknya bila di dalam perencanaan

menggunakan pendekatan RA yang didasarkan debit maksimal dan konsentrasi

minimal, maka kondisi lingkungan akan rusak. Oleh karena itu perlu pendekatan

komprehensip untuk menentukan daya tampung beban pencemaran organik pada

sungai Pelus.

81
Pendekatan yang koprehensip tidak hanya didasarkan pada data-data yang

dikemukakan diatas, tetapi harus menyeluruh terhadap semua komponen abiotik,

biotik dan sosial. Perhitungan daya tampung beban pencemaran yang didasarkan

hanya dengan menggunakan neraca massa, hakikatnya hanya sekedar pendekatan.

Daya tampung beban pencemaran bersifat dinamis, dapat berubah setiap saat pada

lokasi yang sama. Pemantauan kontinyu, pemeriksaan semua parameter pencemaran

dan perhitungan secara real time perlu diupayakan. Metode Streeter – Phelps dapat

dipilih untuk perhitungan daya tampung beban pencemaran.

Sutanto (2003) menyatakan bahwa metode neraca massa hanya tepat

digunakan untuk komponen-komponen yang konservatif. Komponen yang

konservatif adalah komponen yang tidak mengalami perubahan selama proses

pencampuran di air sungai. Penggunaan metode neraca massa untuk komponen

seperti DO, BOD, dan NH3N, hanyalah merupakan pendekatan saja.

3. Perbedaan daya tampung di berbagai lokasi

Pada tabel 4.24. disajikan perbedaan daya tampung beban pencemaran

organik pada setiap lokasi pengukuran. Untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas

tentang perbedaan daya tampung beban pencemaran organik di sungai pelus pada

berbagai lokasi pengukuran, ditunjukkan dengan grafik profil memanjang pada

gambar 4.3.

82
Tabel 4.24.
Perbedaan daya tampung beban pencemaran organik
pada berbagai lokasi pengukuran di sungai Pelus
(dari hulu sampai hilir)

Jarak aliran Daya Tampung (kg/hr)


No Lokasi
(m) Sept. 2005 Okt. 2005
1 Kemutug 0 146,5 245,8
2 Kemutug 100 209,1 307,4
3 Rempoah 1.625 330,7 380,6
4 Rempoah 1.725 334,6 391,0
5 Karangwangkal 8.125 525,7 534,7
6 Karangwangkal 8.225 529,8 541,8
7 Mersi 10.875 642,4 699,9
8 Pekunden 15.875 142,6 154,8
9 Pajerukan/Petir 19.875 155,6 250,9
10 Pajerukan/Petir 19.975 283,8 363,6
Sumber : Tabel 4.21 dan 4.22

Bila diperhatikan tabel 4.24, tampak bahwa pada aliran air sungai Pelus tidak

terdapat penurunan daya tampung beban pencemaran organik, yang terjadi malah

sebaliknya yakni terjadi kenaikan daya tampung beban pencemaran pada bagian hilir.

Penurunan daya tampung hanya terjadi di lokasi Pekunden (Sokaraja). Hal ini terjadi

karena pada ruas antara Mersi dan Pekunden terdapat bendung Kertadirja yang

mengalihkan sebagian air sungai Serayu untuk irigasi, akibatnya debit air sungai

Pelus pada bagian hilirnya di Pekunden mengalami penurunan. Penurunan debit

memiliki konsekwensi terhadap penurunan daya tampung beban pencemaran.

83
Sumber : Tabel 4.23 dan 4.24.

Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan

Gambar : 4.3.
Profil memanjang daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
pada sungai Pelus di berbagai lokasi Pengukuran

Pada gambar 4.3. terlihat jelas bahwa terdapat adanya perbedaan daya

tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus di berbagai lokasi

pengukuran. Variasi besarnya daya tampung pada berbagai lokasi pengukuran

84
merupakan konsekwensi logis dari adanya perbedaan pasokan air dan bahan

pencemar organik lingkungan sekitar pada lokasi tersebut, serta adanya akumulasi

bahan pencemar pada daerah hilirnya. Pada lokasi 8 (Pekunden) terjadi penurunan

daya tampung secara tajam akibat adanya bendung Kertadirja yang mengalihkan

sebagian air sungai Pelus untuk keperluan irigasi. Debit air sungai Pelus menjadi

berkurang, akibatnya daya tampung beban pencemaran juga menurun. Penurunan

daya tampung di Pekunden juga akibat adanya pasokan bahan pencemar yang relativ

lebih besar (periksa kembali tabel 4.12).

Adanya perbedaan daya tampung beban pencemaran organik di sungai Pelus,

juga dikuatkan oleh hasil uji statistik Oneway Anova dan Kruskal-Wallis (Chi

Square) menggunakan software SPSS versi.10. Print out hasil perhitungan

menggunakan software dimaksud disajikan di lampiran V. Hasil uji Chi Square

(Kruskal-Walis) menunjukkan X2 hitung = 17,743. Pembacaan tabel harga kritik X2

pada P=0,05 dengan DF=9, diketahui bahwa X2 tabel = 16,9. Karena X2 hitung >

X2 tabel maka diartikan bahwa terdapat perbedaan daya tampung beban pencemaran

organik yang signifikan pada berbagai lokasi pengukuran di sungai Pelus.

Perbedaan signikan dapat dilihat dari hasil uji Chi Square (Kruskal-Wallis)

pada item Asymp. sig. Apabila pada item ini hasilnya <0,05 maka berarti ada

perbedaan signifikan (Santoso, 2001). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Asymp.

sig. = 0,038 (< 0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan.

Dikemukakan juga oleh Santoso (2001) bahwa pemilihan penggunaan uji Kruskal-

Wallis karena berdasarkan uji homogenitas varian dari Oneway Anova menunjukkan

85
nilai <0,05, yang berarti varian tidak homogen. Karena varian tidak homogen maka

hasil uji Oneway Anova menjadi tidak peka untuk diteruskan / ditafsirkan. Meskipun

demikian, berdasarkan hasil perhitungan uji Post Hoc (Oneway Anova) secara rinci

dapat dilihat perbedaan signifikan daya tampung beban pencemaran organik antar

masing-masing lokasi pengukuran. Perbedaan signifikan dimaksud dapat dibaca pada

kolom Mean Difference, yang memiliki angka bertanda asterik (*).

86
Sumber : Tabel 4.19, 4.20, 4.23 dan 4.24.

Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan

Gambar : 4.4.
Profil memanjang beban pencemaran dan daya tampung
beban pencemaran organik (BOD) pada sungai Pelus
di berbagai lokasi Pengukuran

87
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Jenis aktivitas pemanfaatan lahan yang menimbulkan / membuang limbah organik di

daerah aliran sungai (DAS) Pelus, meliputi permukiman, persawahan, perkebunan /

hutan dan industri. Di DAS Pelus terdapat 85 hotel, 3 buah pabrik, 22 buah

peternakan dan 834 buah industri rumah tangga. Hotel berada di daerah hulu di

kawasan wisata Baturraden, sedangkan keberadaan pabrik dan industri rumah tangga

menyatu dengan daerah permukiman. Satu buah peternakan sapi berada di

Baturraden, sedangkan yang lain tersebar di desa-desa DAS Pelus.

2. Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD = Biological

Oxygen Demand) pada beberapa lokasi pengukuran menunjukkan masih dibawah

angka baku mutu badan air kelas II PP 82 Tahun 2001. Konsentrasi BOD di setiap

titik pengamatan daerah hulu yakni Kemutug 1,1 – 1,4 mg/lt dan Rempoah 1,1 –

1,2 mg/lt, daerah tengah yakni Karangwangkal 1,7 – 1,6 mg/lt dan Mersi 1,5 – 1,5

mg/lt, daerah hilir yakni Pekunden 1,9 – 2,3 mg/lt dan Pejerukan 1,7 – 2,0 mg/lt.

Secara umum konsentrasi BOD berkisar 1,1-1,9 mg/l pada bulan September 2005

dan 1,2 – 2,3 mg/l pada bulan Oktober 2005. Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari

konsentrasi oksigen terlarut (DO = Disolved Oxygen) masih memenuhi syarat yakni

berkisar 4,9 – 5,9 mg/l pada bulan September 2005 dan 4,3 – 5,4 mg/l pada bulan

Oktober 2005.

88
Tidak terjadi pencemaran bahan organik di air sungai Pelus, diduga karena sebagian

besar bahan pencemar tidak masuk ke air sungai Pelus akibat tidak adanya aliran air

pada drainase (kering) atau bahan pencemar telah terdegradasi sebelum masuk ke air

sungai Pelus.

3. Daya tampung beban pencemaran organik pada setiap titik pengamatan di sungai Pelus

masing-masing adalah di daerah hulu yakni Kemutug 146,5 – 307,4 kg/hr dan

Rempoah 330,7 – 391 kg/hr, di daerah tengah yaitu Karangwangkal 525,7 – 541,8

kg/hr dan Mersi 642,4 –699,8 kg/hr, di daerah hilir yakni Pekunden 142,6 – 154,8

kg/hr dan Pajerukan 155,7 – 363,6 kg/hr. Estimasi daya tampung beban pencemaran

organik sungai Pelus minimal adalah 5,46 kg/hr dan maksimal 1.425,73 kg/hr.

4. Penurunan daya tampung beban pencemaran organik terjadi pada lokasi Pekunden

(Sokaraja) akibat pasokan bahan pencemar yang relatif lebih tinggi dan debit air

sungai menurun. Akan tetapi .secara umum menunjukan tidak terjadi penurunan daya

tampung beban pencemaran organik antara tiap titik pengamatan di sungai Pelus, dari

hulu ke hilir. Uji Kruskal-Wallis (X2 = 17,743 dan Asymp sig = 0,038) menunjukkan

adanya perbedaan signifikan daya tampung beban pencemaran organik pada berbagai

lokasi pengukuran.

B. SARAN

1. Perlu dilakukan kajian atau penelitian lebih mendalam dan menyeluruh meliputi

jumlah sampel dan lokasi pengambilan yang lebih banyak, parameter pencemar yang

diperiksa lebih beragam, tidak hanya BOD saja. Dengan demikian dapat menentukan

kemampuan daya tampung beban pencemaran air sungai Pelus pada setiap waktu

89
dan lokasi, secara tepat dan akurat. Untuk keperluan ini dipandang lebih cocok

apabila digunakan metode Streeter- Phelp.

2. Perlu terus dilakukan upaya untuk memelihara air sungai Pelus agar tetap tidak

tercemar dan tetap mampu melakukan swa pentahiran (self purification), sehingga

air sungai Pelus tetap memenuhi syarat kualitas sesuai baku mutu air badan air kelas

II PP 82 Tahun 2001. Air sungai Pelus diharapkan tetap memiliki daya tampung

beban pencemaran organik yang memadai.

90
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004, Peraturan Perundang-Undangan : UU RI No.7 Tahun 2004


Tentang Sumber Daya Air dan PP No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Bandung,
Fokusmedia.

Anonim, 2004, Tata Cara Pengambilan Contoh Dalam Rangka Pemantauan


Kualitas Air Pada Suatu Daerah Pengaliran Sungai, SNI 03-7016-2004,
Badan Standar Nasional Indonesia.

Anonim, 2003, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun
2003 Tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran
Pada Sumber Air, Kantor MenLH R.I.

Avieni, Nini, 1999, Pengendalian Kualitas Limbah Cair di PT. Sari Husada
Dalam Hubungannya Dengan ISO 14001, Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.

Bappeda Kabupaten Banyumas, 2000, Neraca Sumberdaya Alam Sosial Daerah


Kabupaten Banyumas Tahun 1998, Purwokerto.

Benton, AH & Werner, WE, 1974, Field Biology and Ecology, 3rd edition,
MCGraw Hill Book Company, New York.

BPS Banyumas, 2004, Kabupaten Banyumas Dalam Angka Tahun 1999-2004,


Purwokerto.

----------------------, Kecamatan Baturraden Dalam Angka Tahun 2004,


Purwokerto.

----------------------, Kecamatan Kembaran Dalam Angka Tahun 2004,


Purwokerto.

----------------------, Kecamatan Purwokerto Utara Dalam Angka Tahun 2004,


Purwokerto.

----------------------, Kecamatan Purwokerto Timur Dalam Angka Tahun 2004,


Purwokerto.

----------------------, Kecamatan Sokaraja Dalam Angka Tahun 2004, Purwokerto.

----------------------, Kecamatan Kalibagor Dalam Angka Tahun 2004, Purwokerto.

91
Benefild L.D. & Randal CW, 1980, Biological Process & Wastewater
Treatment, New York, John Willy.

Djabu, U., Koesmantoro, H., Soeparman, Wiwoho,A., Indariwati, 1991,


Pembuangan Tinja Dan Air Limbah, Jakarta : Pusdiknakes.

Fair, GM., 1956, Sewage Treatment, New York, Willey.

Hariadi, S., Suryadiputra,INN., Widigdo, B., 1992, Limnologi, Fakultas


Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Imhoff's, K., 1979. Handbook Of Urban Drainage And Wastewater Disposal.


New York : John Wiley & Sons.

Irianto, K., dan Waluyo, K., 2004, Gizi Dan Pola Hidup Sehat, Bandung : CV
Yrama Widya.

Ismono, Djoko, 1991, Pengaruh Limbah Rumah Tangga Dan Penggelontoran Air
Dari Bendung Tirtonadi Terhadap BOD, DO Dan Kehidupan Plankton
Sebagai Indicator Perubahan Mutu Air Di Sungai Pepe, Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Lakitan, B, 2004, Dasar-Dasar Klimatologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Linsley, RK dan Franzini, JB. 1995. Teknik Sumber Daya Air. Jilid 2 edisi III,
terjemahan Djoko Sasongko. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Mantra, IB, 2004, Filsafat Penelitian Dan Metode Penelitian Social, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar Offset.

Marsono, BD, 1998, Teknok Pengolahan Air Limbah Secara Biologis, Media
Informasi Teknik Lingkungan (MINAT) ITS, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya.

Metcalf & Eddy, 1991, Wastewater Engineering, Treatment, Disposal, Reuse. 3rd
edition, Mc Graw Hill Book co, New York.

Metcalf dan Eddy, 1979, Waste Water Engineering Treatment Disposal Reuse,
New York : Mc Graw Hill.

Nurhilal, Utomo, B., Rudiyanto, H., 2002, Survey Perilaku dan Persepsi
Masyarakat Terhadap Sungai di Kabupaten Banyumas, Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan Depkes RI, Jakarta.

Oglesby, RT., Carison, CA., McCann, JA., 1972, River Ecology and Man,
Academic Press, New York.

92
Parsons, J., 2005, evaluation of QUAL2E, www.epa.gov /qual2e.pdf

Prodjopangarso, H, 1985, Diktat Penyerapan O2, P4S Fakultas Teknik


Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Qasim, SR, 1985, Waste Water Treatment Plant, Planning, Design And Operation
, CBS College Publishing, New York.

Sanita Trisna Handayani, Bambang Soeharto, Marsoedi, 2001, Penentuan Status


Kualitas Perairan Sungai Brantas Hulu Dengan Biomonitoring
Macrozoobentos : Tinjauan Dari Pencemaran Bahan Organik, Biosain
No. Volume 1.

Sanropie, D., Sumini, Margono, Sugiharto, Purwanto, S., Ristanto, B., 1984,
Penyediaan Air Bersih, Jakarta : Pusdiknakes.

Santoso, Singgih, 2001, SPSS versi 10 – Mengolah Data Statistik Secara


Profesional, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Soemarwoto, Otto, 1997, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.

Sutanto, 2003, Kajian Daya Tampung Sungai Gajahwong, Fakultas Geografi


Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Wadono, Nurwijoyo, 1993, Evaluasi Pencemaran Sungai Gajahwong


Yogyakarta, Ditinjau Dari Gatra Biota, Fisik dan Kimia Akibat Buangan
Limbah Industri Dibagian Wilayah Kotamadya Yogyakarta, Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Wiryanto, 1997, Pengaruh Limbah Cair Industri Tekstil PT Tyfountex Indonesia,


Kartosuro Sukoharjo Terhadap Perubahan DO, BOD, Suhu, pH,
Kandungan Logam Dan Plankton Di Sungai Kudusan Sukoharjo Dan
Premulung Surakarta, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Wisnubroto, S, 2004, Panduan Praktikum Klimatologi Dasar, Jurusan Tanah


Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

93
RINGKASAN

A. Pendahuluan

Semua sistem drainase alami dan buatan pada akhirnya akan mengalir

menuju sungai. Sungai akan menjadi tempat pembuangan limbah cair dari

berbagai kegiatan manusia. Sungai memiliki kemampuan terbatas untuk dapat

menampung limbah atau bahan pencemar, sehingga perlu dilakukan kajian

tentang daya tampung beban pencemaran pada sungai tersebut.

Di Kabupaten Banyumas banyak terdapat sungai, salah satunya adalah

sungai Pelus. Di DAS (Daerah Aliran Sungai) Pelus terdapat banyak aktivitas

penggunaan lahan yang menghasilkan limbah yang berpotensi menimbulkan

pencemaran sungai. Dalam 10 tahun terakhir, daerah yang dilewati sungai Pelus

mengalami perkembangan yang pesat. Pada daerah hulu sungai Pelus di

kecamatan Baturraden berdiri hotel melati dan hotel berbintang. Tabel : 1.1.

menunjukkan perkembangan jumlah hotel di kecamatan Baturraden. Demikian

juga di kecamatan lain yang dilalui sungai Pelus telah berdiri kawasan

permukiman dan perusahaan baru. Konversi lahan pertanian menjadi

permukiman atau perusahaan di DAS (Daerah Aliran Sungai) Pelus mencapai

0,7326 – 3,1936 Ha (Bappeda Banyumas, 2000). Tabel : 1.2. menunjukkan

perkembangan jumlah hotel di Kabupaten Banyumas dalam 5 tahun terakhir.

Semuanya itu pada akhirnya menghasilkan limbah cair yang dialirkan ke sungai

Pelus melalui drainse buatan maupun drainase alami.

94
Tabel 1
PERKEMBANGAN JUMLAH HOTEL
DI KECAMATAN BATURRADEN TAHUN 1993 – 2004

No. Tahun Jumlah Hotel (buah)


1. 1993 68
2. 1994 71
3. 1995 71
4. 1996 76
5. 1997 76
6. 1998 76
7. 1999 77
8. 2000 80
9. 2001 83
10. 2002 85
11. 2003 87
12. 2004 89
Sumber : Kecamatan Baturraden Dalam Angka
(BPS Banyumas, 2004)

Tabel 2.
PERKEMBANGAN JUMLAH HOTEL
DI KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1999 – 2004

No. Lokasi Hotel Jumlah Hotel pada Tahun… (buah)


(Kecamatan)
1999 2000 2001 2002 2003 2004
1. Wangon 5 5 4 4 4 4
2. Rawalo 2 2 2 2 2 2
3. Banyumas 1 1 1 1 1 1
4. Ajibarang 1 1 1 1 2 2
5. Baturraden 77 80 83 85 87 89
6. Purwokerto Selatan 20 21 22 22 22 20
7. Purwokerto Barat 9 9 9 9 9 9
8. Purwokerto Timur 16 17 17 17 16 17
9. Purwokerto Utara 1 1 1 1 1 1

Sumber : Diolah dari Buku Banyumas Dalam Angka Tahun 1999 s/d 2004
(BPS Banyumas)

95
Karakteristik dari limbah domestik pada umumnya adalah kandungan

bahan organik yang tinggi. Bahan pencemar dalam limbah cair yang berasal dari

rumah tangga, permukiman dan perkotaan pada umumnya berupa >70% bahan

organik (Metcalf & Eddy, 1979). Bahan pencemar dalam limbah cair yang dapat

didegradasi secara alamiah melalui peristiwa self purification adalah bahan

organik juga (Linsley, et al, 1995). Atas dasar alasan ini, maka penelitian

tentang estimasi daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus

menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji jenis dan jumlah aktivitas pemanfaatan lahan yang menimbulkan /

membuang limbah organik di sepanjang aliran sungai Pelus.

2. Mengkaji kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD)

dan oksigen terlarut (DO).

3. Mengestimasi daya tampung beban pencemaran organik di sungai Pelus.

4. Mengetahui penurunan daya tampung beban pencemaran organik antara tiap

titik pengamatan di sungai Pelus

C. Tinjauan Pustaka

Djabu, dkk, (1991) menyebutkan bahwa sumber air limbah pada dasarnya

berasal dari dometik, industri dan rembesan. Sumber domestik meliputi air

limbah yang berasal dari daerah perumahan, permukiman, perdagangan,

perkantoran dan fasilitas rekreasi. Menurut Asdak (2002) sumber pencemaran

96
dapat dekelompokan menjadi point source dan non point source. Point source

adalah tempat-tempat yang menjadi sumber pencemaran yang diketahui secara

pasti, misalnya : limbah yang berasal dari pabrik kimia. Non point source adalah

pencemaran yang berasal dari area luas seperti pertanian, perdesaan atau

permukiman yang tidak tersedian sistem riool secara khusus.

Apabila tidak tersedia data tentang kapasitas air limbah domestik, maka

untuk keperluan perencanaan diperkirakan 150 - 380 liter / orang / hari (Metcalf

dan Eddy, 1979). Menurut Tchobanoglus (Linsley dan Franzini, 1995) volume air

limbah juga dapat diperkirakan dari total penggunaan air bersih yakni berkisar

antara 60 – 75% volume air bersih. Jumlah pemakaian air bersih minimal untuk

keperluan rumah tangga diperkirakan 100 liter/orang/hari (Irianto dan Waluyo ,

2004).

Komposisi air limbah domestik terdiri dari air dan partikel padat terlarut

berupa zat organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan zat anorganik. 70%

partikel terlarut merupakan bahan organik. Menurut Djabu, dkk. (1991) zat

organik adalah suatu senyawa yang tersusun dari senyawa atau kombinasi Carbon

(C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O2), bersama dengan Nitrogen (N). Dalam

beberapa kasus elemen yang penting seperti Sulfur, Phospor, Iron dan lain - lain

juga ada. Zat organik dalam air atau air limbah dalam bentuk Protein,

Karbohidrat, serta minyak dan lemak. Zat lain yang ada dalam air limbah dapat

berupa garam, mineral renik, pestisida dan logam.

Menurut Linsley dan Franzini (1995) keberadaan bahan organik dalam air

diketahui menggunakan parameter BOD (Biological Oxygen Demand =

97
Kebutuhan oksigen untuk oksidasi biologis), COD (Chemical Oxygen Demand =

kebutuhan oksigen untuk oksidasi kimiawi), TOC (Total Organik Carbon =

Karbon organik total), ThOD (Theoritical Oxygen Demand = kebutuhan oksigen

teoritis). Sanropie, dkk (1984) mengatakan bahwa kehadiran zat organik dalam

air dapat ditentukan dengan mengukur angka Permanganat (KMnO4 = Kalium

Permanganat).

Air limbah baik yang diolah ataupun yang tidak diolah apabila masuk ke

badan air akan mengalami tekanan oleh ekosistem air. Tekanan tersebut berupa

pengurangan atau penghilangan bahan pencemar oleh berbagai proses yang ada

dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik, penyebaran dan

pengendapan, reaksi kimia, adsorbsi, Penguraian secara biologis dan stabilisasi.

Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang memilki

kemampuan untuk membersihkan atau menghancurkan berbagai kontaminan

dan pencemar yang dibawa air limbah. Kemampuan air untuk membersihkan diri

secara alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai self

purification (Imholf, 1979).

Penguraian bahan pencemar secara biologis ataupun secara biokimia yang

terjadi pada badan air melalui dua cara yakni aerob dan anaerob. Cara aerob

merupakan proses penguraian bahan pencemar oleh jasadrenik yang

membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup, sedangkan anaerob tidak

memerlukan oksigen. Kedua cara ini akan memperoleh hasil yang sama yaitu air

menjadi bersih. Perbedaannya, pada kondisi aerob air kelihatan bersih, tidak

berbau, hewan dan tumbuhan air dapat hidup normal. Sebaliknya pada kondisi

98
anaerob air tampak hitam dan kotor, berbau busuk, hewan dan tumbuhan air mati.

Hal seperti ini dapat menimbulkan gangguan, dan juga proses anaerob lebih

lambat dibanding aerob. Pada umumnya proses anaerob yang terjadi pada badan

air tidak dapat diterima oleh masyarakat, sehingga pengertian self purification

hanya digunakan untuk proses penguraian bahan pencemar dalam kondisi aerob

(Fair, 1956).

Bahan pencemar organik dalam air atau air limbah akan diuraikan oleh

jasadrenik menjadi Karbon Dioksida (CO2), Ammonia (NH3) dan sel baru.

Bakteri juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan hidupnya.

Pada reaksi respirasi berlangsung proses oksidasi dimana 1 unit biomassa yang

dioksidasi membutuhkan 1,42 unit O2 (Benefild L.D. & Randal CW, 1980).

Dalam stochiometri reaksi oksidasi dan sintesis sel adalah sebagai berikut :

CHONS + O2 + Nutrien → CO2 + NH3 + C5H7NO2 + hasil akhir

(Zat organik) (sel baru)

Sintesis / respirasi :

bakteri

C5H7NO2 + 5O2 → 5CO2 + 2H2O + NH3 + Energi

113 160

1 1,42

99
Keseimbangan oksigen terlarut juga akan berpengaruh pada biota dalam air.

Organisme tingkat tinggi pada badan air selalu membutuhkan terpeliharanya

kondisi aerob. Ikan dan biota air lainnya hanya dapat hidup pada kondisi kadar

oksigen terlarut (DO = disolved oxygen) dalam air di atas 3-4 mg/lt. Agar kadar

DO dapat terus terjaga di atas 3-4 mg/lt. seringkali diperlukan aerasi buatan,

terutama ketika kondisi sangat darurat. Asupan oksigen terlarut secara alamiah

terjadi melalui fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air, aerasi dalam bentuk

riak gelombang dan terjunan dari aliran air dan masuknya gas oksigen dari udara

(Phelps dalam Imholf (1979)).

Daya tampung beban pencemaran organik pada badan air (sungai) pada

dasarnya adalah kemampuan maksimum dari badan air tersebut untuk dapat

melakukan self purification. Self purification yang dimaksud adalah dalam

kondisi tersedia oksigen (aerob), sehingga bergantung pada kondisi dan proses

yang menentukan kadar oksigen terlarut dalam air. Daya tampung beban

pencemaran organik pada badan air juga dipengaruhi oleh fluktuasi volume atau

debit air yang ada dan bahan pencemar yang masuk kedalamnya.

Daya tampung beban pencemaran diartikan sebagai kemampuan air pada

suatu sumber air atau badan air untuk menerima beban pencemaran tanpa

mengakibatkan air tersebut menjadi cemar (KEPMENLH No. 110 Tahun 2003).

Menurut Djabu, dkk. (1991) beban pencemaran (L) adalah konsentrasi bahan

pencemar (C) dikalikan kapasitas aliran air (Q) yang mengandung bahan

pencemar. Artinya adalah jumlah berat pencemar dalam satuan waktu tertentu,

100
misalnya kg/hari. Beban pencemaran dapat ditulis dalam persamaan sebagai

berikut :

L=CQ

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan daya tampung

beban pencemaran pada badan air adalah metode Neraca Massa dan metode

Streeter-Phelps. Kedua metode ini bahkan telah direkomendasikan oleh Menteri

Negara Lingkungan Hidup RI untuk diterapkan yaitu melalui KEPMENLH

No.110 Tahun 2003, sebagaimana ditunjukan pada lampiran III. Penentuan daya

tampung beban pencemaran pada badan air yang bersifat real time telah banyak

dikembangkan, salah satunya adalah menggunakan software QUAL2EU untuk

pemodelannya ( Parsons, 2005).

Menurut Linsley dan Franzini (1995) metode neraca massa dalam bentuk

dillution atau pengenceran awal dapat diterapkan untuk perhitungan kandungan

oksigen, BOD dan karakteristik lain dari limbah yang bersangkutan.

Persamaannya adalah sebagai berikut :

CwQw + CrQr = C (Qw + Qr)

CwQw + CrQr
C = ----------------- (2.6)
Qw + Qr

Dimana :

C = Konsentrasi setelah terjadi pencampuran (mg/lt),

Cw = Konsentrasi awal (mg/lt),

Qw = debit awal (lt/dt),

101
Cr = Konsentrasi dari aliran yang masuk (mg/lt),

Qr = debit aliran yang masuk (lt/dt).

Menurut versi KEPMENLH No.110 Tahun 2003, persamaan (2.6.) di atas

ditulis menggunakan format yang berbeda yaitu:

(2.7)

dimana

CR = konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabung

Ci = konsentrasi konstituen pada aliran ke-i

Qi = laju alir aliran ke-i

Mi = massa konstituen pada aliran ke-i

D. Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan cara survey lapangan dan pemeriksaan

sampel di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive

sampling sebanyak 10 titik lokasi pada sungai Pelus dari hulu sampai hilir.

Pengukuran kecepatan air, debit air, temperatur air, pH dan pengamatan kondisi

DAS dilaksanakan di masing-masing lokasi. Sedangkan pemeriksaan DO, BOD

dan CL dilaksanakan di laboratorium BBTKL Yogyakarta. Data penunjang

diperoleh dari kantor dan instansi pemerintah di Kabupaten Banyumas.

102
Waktu penelitian dipilih bulan September dan Oktober 2005, dimana pada

bulan tersebut dipandang merupakan bulan paling kritis dari sisi ketersediaan air

sungai Pelus.

Analisis dan perhitungan daya tampung beban pencemaran menggunakan

metode neraca massa. Analisis penurunan daya tampung beban pencemaran

menggunakan analisis tabel, sedangkan untuk mengetahui perbedaan daya

tampung beban pencemaran digunakan analisis Anova dengan software SPSS

versi 10.

E. Hasil dan Pembahasan

Jenis aktivitas pemanfaatan lahan yang menimbulkan / membuang

limbah organik di daerah aliran sungai (DAS) Pelus, meliputi permukiman,

persawahan, perkebunan / hutan dan industri. Di DAS Pelus sedikitnya terdapat

85 hotel, 3 buah pabrik, 22 buah peternakan dan 834 buah industri rumah tangga.

Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD =

Biological Oxygen Demand) pada beberapa lokasi pengukuran menunjukkan

masih dibawah angka baku mutu badan air kelas II. Konsentrasi BOD berkisar

1,1-1,9 mg/l pada bulan September 2005 dan 1,2 – 2,3 mg/l pada bulan Oktober

2005. Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari konsentrasi oksigen terlarut (DO =

Disolved Oxygen) masih memenuhi syarat yakni berkisar 4,9 – 5,9 mg/l pada

bulan September 2005 dan 4,3 – 5,4 mg/l pada bulan Oktober 2005. Tidak terjadi

pencemaran bahan organik di air sungai Pelus.

103
TABEL 3
KONSENTRASI ZAT ORGANIK (BOD) AIR ANAK SUNGAI
DAN SUNGAI PELUS
(BULAN SEPTEMBER DAN OKTOBER 2005)

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Konsentrasi BOD


anak sungai Lokasi (mg/l)
September Oktober
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 1,1 1,4
2. K. Lirip Kemutug LR 1 1,7 1,8
3. K. Pelus Rempoah PL 2 1,1 1,2
4. K. Belot Rempoah BL 1 1,5 1,5
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 1,7 1,6
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 1,5 1,3
7. K. Pelus Mersi PL 4 1,5 1,5
8. K. Pelus Pekunden PL 5 1,9 2,3
9. K. Bener Pajerukan BN 1 1,5 2,1
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 1,7 2,0

TABEL 4
KONSENTRASI OKSIGEN TERLARUT (DO) AIR ANAK SUNGAI
DAN SUNGAI PELUS
(BULAN SEPTEMBER DAN OKTOBER 2005)

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Konsentrasi DO (mg/l)


anak sungai Lokasi September Oktober
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 5,9 5,3
2. K. Lirip Kemutug LR 1 5,0 5,0
3. K. Pelus Rempoah PL 2 5,2 5,4
4. K. Belot Rempoah BL 1 5,1 5,1
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 5,1 5,0
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 4,9 5,4
7. K. Pelus Mersi PL 4 5,0 5,2
8. K. Pelus Pekunden PL 5 5,1 4,3
9. K. Bener Pajerukan BN 1 4,8 4,4
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 5,2 4,4

Daya tampung beban pencemaran organik pada setiap titik pengamatan

di sungai Pelus masing-masing adalah di Kemutug 146,5 – 307,4 kg/hr, di

Rempoah 330,7 – 391 kg/hr, di Karangwangkal 525,7 – 541,8 kg/hr, di Mersi

104
642,4 –699,8 kg/hr, di Pekunden 142,6 – 154,8 kg/hr dan di Pajerukan 155,7 –

363,6 kg/hr. Dengan demikian daya tampung beban pencemaran organik sungai

Pelus berkisar antara 142,6 - 699,8 kg/hr.

TABEL 5
DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN ORGANIK
PADA BERBAGAI LOKASI PENGUKURAN DI SUNGAI PELUS
(DARI HULU SAMPAI HILIR)

Jarak aliran Daya Tampung (kg/hr)


No Lokasi
(m) Sept. 2005 Okt. 2005
1 Kemutug 0 146,5 245,8
2 Kemutug 100 209,1 307,4
3 Rempoah 1.625 330,7 380,6
4 Rempoah 1.725 334,6 391,0
5 Karangwangkal 8.125 525,7 534,7
6 Karangwangkal 8.225 529,8 541,8
7 Mersi 10.875 642,4 699,9
8 Pekunden 15.875 142,6 154,8
9 Pajerukan/Petir 19.875 155,6 250,9
10 Pajerukan/Petir 19.975 283,8 363,6

Penurunan daya tampung beban pencemaran organik terjadi pada lokasi

Pekunden (Sokaraja) akibat pasokan bahan pencemar yang relatif lebih tinggi dan

debit air sungai menurun. Akan tetapi .secara umum menunjukan tidak terjadi

penurunan daya tampung beban pencemaran organik antara tiap titik pengamatan

di sungai Pelus, dari hulu ke hilir. Uji Kruskal-Wallis (X2 = 17,743 dan Asymp

sig = 0,038) menunjukkan adanya perbedaan signifikan (P = 0,05) daya tampung

beban pencemaran organik pada berbagai lokasi pengukuran di sepanjang aliran

sungai Pelus dari hulu sampai hilir..

105
Lampiran I
Disain pengambilan sampel dan lokasi penelitian.

Peta daya tampung beban pencemaran organik DAS Pelus

I-0
I-1
I-2
I-3
Lampiran II
Bagan lokasi pengambilan sampel
K. PELUS
LAMPIRAN : II
K. Lirip

Desa Kemutug No. PL.1

No. LR.1

K. Belot

No. PL.2
Desa Rempoah No. BL.1

K. Pangkon

No. PL.3
Desa Karangwangkal No. PK.1

Desa Mersi No. PL.4

Desa Pekunden No. PL.5

K. Bener

Desa Petir No. BN.1 No. PL.6

K.Serayu
K. Klawing

Keterangan :
= Lokasi pengukuran dan pengambilan sampel

Gambar : 1
BAGAN LOKASI PENGUKURAN DAN PENGAMBILAN SAMPEL
Lampiran III
Metode perhitungan daya tampung
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 110 TAHUN 2003

TENTANG
PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan


Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penetapan
Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan


Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002


tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;

1
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR.

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


a. Daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber
air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut
menjadi cemar;
b. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam
air atau air limbah;
c. Metoda Neraca Massa adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran
air dengan menggunakan perhitungan neraca massa komponen-komponen sumber
pencemaran;
d. Metoda Streeter-Phelps adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran
air pada sumber air dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan
oleh Streeter-Phelps;

Pasal 2

(1) Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber
air.

(2) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan debit minimal pada tahun yang
bersangkutan atau tahun sebelumnya.

(3) Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), digunakan metoda perhitungan yang telah
teruji secara ilmiah, yaitu :
a. Metoda Neraca Massa;
b. Metoda Streeter-Phelps.

Pasal 3

(1) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
dengan metoda neraca massa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
(2) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air limbah pada
sumber air dengan metoda Streeter-Phelps sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
II.
2
Pasal 4
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan
kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
_____________________________________________

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

3
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Neraca Massa

I. Pendahuluan

Penentuan daya tampung beban pencemaran dapat ditentukan dengan cara


sederhana yaitu dengan menggunakan metoda neraca massa. Model matematika
yang menggunakan perhitungan neraca massa dapat digunakan untuk menentukan
konsentrasi rata-rata aliran hilir (down stream) yang berasal dari sumber pencemar
point sources dan non point sources, perhitungan ini dapat pula dipakai untuk
menentukan persentase perubahan laju alir atau beban polutan.

Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan
massa konstituen dihitung secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca
massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan perhitungan

Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi

dimana CR : konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabungan


Ci : konsentrasi konstituen pada aliran ke-i
Qi : laju alir aliran ke-i
Mi : massa konstituen pada aliran ke-i

Metoda neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi
terhadap kualitas air yang terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu
proyek, dan dapat juga digunakan untuk suatu segmen aliran, suatu sel pada
danau, dan samudera. Tetapi metoda neraca massa ini hanya tepat digunakan
untuk komponen-komponen yang konservatif yaitu komponen yang tidak
mengalami perubahan (tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak
hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) selama proses
pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan neraca
massa untuk komponen lain, seperti DO, BOD, dan NH3 – N, hanyalah merupakan
pendekatan saja.

4
II. Prosedur penggunaan

Untuk menentukan beban daya tampung dengan menggunakan metoda neraca


massa, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :

1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum
bercampur dengan sumber pencemar;

2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber
pencemar;

3. Tentukan konsentrasi rata-rata pada aliran akhir setelah aliran bercampur


dengan sumber pecemar dengan perhitungan :

Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi

III. Contoh Perhitungan

Untuk lebih jelasnya, maka diberikan contoh perhitungan penggunaan Metoda


Neraca Massa berikut ini.
Suatu aliran sungai mengalir dari titik 1 menuju titik 4. Diantara dua titik tersebut
terdapat dua aliran lain yang masuk kealiran sungai utama, masing-masing disebut
sebagai aliran 2 dan 3. Apabila diketahui data-data pada aliran 1, 2 dan 3, maka
ingin dihitung keadaan di aliran 4.

Profil aliran sungai :


Q1
CBOD.1 Q3
2
CDO.1 CBOD3
CC1.1 CDO3
CDO.1 CC1.3
CDO.3 4
1
Q2
CBOD.2 Q4
CDO.2 CBOD.4
CC1.2 CDO.4
CDO.2 CC1.4
3
CDO.4

5
Keterangan :

1. Aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber-sumber pencemar


2. Aliran sumber pencemar A
3. Aliran sumber pencemar B
4. Aliran sungai setelah bercampur dengan sumber-sumber pencemar.

Data analisis dan debit pada aliran 1, 2 dan 3 diberikan pada tabel berikut ini :

Tabel 1.1 Data analisis dan debit

Aliran Laju alir DO COD BOD C1-


m/dtk mg/L mg/L mg/L mg/L
1 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16
2. 0,59 3,8 16,5 7,4 0.08
3 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04

Dengan menggunakan data-data di atas maka dapat dihitung DO pada titik 4,


sebagai berikut :

Konsentrasi rata-rata DO pada titik 4 adalah

(5,7x2,01) + (3,8x0,59) + (3,4x0,73)


CR,DO =
2,01 + 0,59 + 0,73

= 4,86 mg/L

Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara
perhitungan yang sama seperti di atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/L, 8,87 mg/L
dan 0,12 mg/L. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1 maka akan seperti
yang disajikan pada Tabel 1.2

Tabel 1.2 Data analisis dan debit

Aliran Laju alir DO COD BOD C1-


m/dtk mg/L mg/L mg/L mg/L
1 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16
2. 0,59 3,8 16,5 7,4 0.08
3. 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04
4. 3,33 4,86 18,94 8,87 0,12
BM X - 4 25 3 600
BM X – Baku mutu perairan, untuk Golongan/Kelas X
6
Apabila aliran pada titik 4 mempunyai baku mutu BM X, maka titik 4 tidak
memenuhi baku mutu perairan untuk BOD, sehingga titik 4 tidak mempunyai daya
tampung lagi untuk parameter BOD. Akan tetapi bila terdapat aliran lain (misalnya
aliran 5) yang memasuki di antara titik 1 dan 4, dan aliran limbah masuk tersebut
cukup tinggi mengandung C1- dan tidak mengandung BOD, maka aliran 5 masih
dapat diperkenankan untuk masuk ke aliran termaksud. Hal tersebut tentu perlu
dihitung kembali, sehingga dipastikan bahwa pada titik 4 kandungan C1 lebih
rendah dari 600 mg/L.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Streeter – Phelps

I. Pendahuluan

Pemodelan kualitas air sungai mengalami perkembangan yang berarti sejak


diperkenalkannya perangkat lunak DOSAG1 pada tahun 1970. Prinsip dasar dari
pemodelan tersebut adalah penerapan neraca massa pada sungai dengan asumsi
dimensi 1 dan kondisi tunak. Pertimbangan yang dipakai pada pemodelan tersebut
adalah kebutuhan oksigen pada kehidupan air tersebut (BOD) untuk mengukur
terjadinya pencemaran di badan air. Pemodelan sungai diperkenalkan oleh Streeter
dan Phelps pada tahun 1925 menggunakan persamaan kurva penurunan oksigen
(oxygen sag curve) di mana metoda pengelolaan kualitas air ditentukan atas dasar
defisit oksigen kritik Dc.

II. Deskripsi

Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses
pengurangan oksigen terlarut (deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam
mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses peningkatan
oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran
sungai.

Proses Pengurangan Oksigen (Deoksigenasi)

Streeter – Phelps menyatakan bahwa laju oksidasi biokimiawi senyawa organik


ditentukan oleh konsentrasi senyawa organik sisa (residual).

dL/dt = - K’.L…………..………………………………………………………………..(2-1)
dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/L)
t : waktu (hari)
K’ : konstanta reaksi orde satu (hari-1)

Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan
sebagai BOD ultimate dan Lt adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1)
dinyatakan sebagai

8
dL/dt = - K’.L………...………………………………………………………………….(2-2)
Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah :

Lt = Lo.e (K’.t) ....................................................................................................................(2-3)


Penentuan K’ dapat dilakukan dengan :

(1) metoda selisih logaritmatik,


(2) metoda moment (metoda Moore dkk), dan
(3) metode Thomas.

Laju deoksigenasi akibat senyawa organik dapat dinyatakan dengan persamaan


berikut :
rD = -K’L..............................................................................................................................(2-4)
dengan K’ : konstanta laju reaksi orde pertama, hari -1
L : BOD ultimat pada titik yang diminta, mg/L

Jika L diganti dengan Loe-K’t , persamaan 2-4 menjadi


rD.=-K’Loe -K’.t....................................................................................................................(2-5)
dengan : Lo : BOD ultimat pada titik discharge (setelah pencampuran), mg/L

Proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi)

Kandungan oksigen di dalam air akan menerima tambahan akibat turbulensi


sehingga berlangsung perpindahan oksigen dari udara ke air dan proses ini adalah
proses reaerasi. Peralihan oksigen ini dinyatakan oleh persamaan laju reaerasi :

rR = K`2 (Cs – C) ………………………………………………………………………...(2-6)

dengan K`2 : konstanta reaerasi, hari-1 (basis bilangan natural)


Cs : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, mg/L
C : konsentrasi oksigen terlarut, mg/L

Konstanta reaerasi dapat diperkirakan dengan menetukan karakteristik aliran dan


menggunakan salah satu persamaan empirik. Persamaan O’Conner dan Dobbins
adalah persamaan yang umum digunakan untuk menghitung konstanta reaerasi
(K’2).

K’2 = 294 (DL U)1/2 ........................................................................................................(2-7)


H 3/2

dengan DL : koefisien difusi molekular untuk oksigen, m2/hari


U : kecepatan aliran rata-rata, m/detik
H : kedalaman aliran rata-rata, m

9
Variasi koefisiensi difusi molekular terhadap temperatur dapat ditentukan dengan
persamaan :

DLT = 1.760 x 10-4 m2/d x 1.037 T-20.................................................................................(2-8)

dengan DLT : koefisien difusi molekular oksigen pada temperatur T, m2 /hari


1.760 x 10-4 : koefisien difusi molekular oksigen pada 20 0C
T : temperatur, oC

Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary
District of Chicago untuk berbagai macam badan air (tabel 2-1).

Table 2-1 Konstanta Reaerasi

K2 at 200C
Water Body
(base e)a

Small ponds and backwaters 0.10-0.23


Sluggish streams and large lake 0.23-0.35
Large streams of low velocity 0.35-0.46
Large streams of normal velocity 0.46-0.69
Swift streams 0.69-1.15
Rapid and waterfalls >1.15

K2T = K2,20. 1.024 T-20


1.8 (0C) + 32 = 0F

Kurva Penurunan Oksigen (Oxygen sag curve)

Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai
sumbu tegak dan waktu atau jarak sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran
kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan reaerasi adalah
kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva
penurunan oksigen (oxygen sag curve).

Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik
buangan, maka konsentrasi konstituen pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah

Qr Cr + Qw Cw
Co = ....................................................................................................(2-9)
Qr + Qw

10
dengan : Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah
pencampuran, mg/L
Qr = laju alir sungai, m3/detik
Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran,
mg/L
Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/L

Perubahan kadar oksigen di dalam sungai dapat dimodelkan dengan


mengasuksikan sungai sebagai reaktor alir sumbat.

Neraca massa oksigen :


Akumulasi = aliran masuk – aliran keluar + deoksigenasi + reoksigenasi

∂C dV = QC-Q (C +∂C ) + rD dV + rR dV ……………………………………… (2-10)


dx
∂t ∂x

Substitusi rD dan rR, maka persamaan 2-10 menjadi

∂CdV = QC-Q (C +∂C


dx ) – K’L dV + K2 (CS - C ) dV …………………………… (2-11)
∂t ∂x

Jika diasumsikan keadaan tunak, ∂C/∂t = 0, maka

0=-Q dCdx-K’L dV + K12 (Cs-C) dV ….. …………………………………………… (2-12)


dx

substitusi dV menjadi A dx dan A dx/Q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi

dC = -K’L + K2 (Cs-C) ………………. ……………………………………………… (2-13)


dt

Jika defisit oksigen D, didefinisikan sebagai

D= (Cs-C) …………………………………………………………………………….. (2-14)

Kemudian perubahan defisit terhadap waktu adalah

dD = - dC…………….……………………………………………………………… (2-15)
dt Dt

maka perrsamaan 2-13 menjadi

dD = K’L + K`2 D……. …………….………………………………………………… (2-16)


dt

11
Substitusi L

dD + K`2D=K1Loe-k1t…………………………………………………………………..(2-17)
dt

jika pada t=0, D=Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi

K1Lo
Dt = (e-k1t – e -k12t) + Do e-k1t .........................................................................(2-18)
K12-K’

Dengan : Dt = defisit oksigen pada waktu t, mg/L


Do= defisit oksigen awal pada titik buangan pada waktu t=o, mg/L

Persamaan 2-18 merupakan persamaan Streeter-Phelps oxygen-sag yang biasa


digunakan pada analisis sungai. Gambar kurva oxygen-sag ditunjukkan pada
gambar 2-1 berikut ini.

Titik pembuangan limbah


Cs

Do
D= Cs-C

Dc
Konsentrasi
Oksigen
Terlarut,
C
C

Xc

Gambar 2-1 Kurva karakteristik oxygen–sag berdasarkan persamaan Streeter –


phelps

Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen
kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO terendah yang dicapai akibat beban yang
diberikan pada aliran tersebut. Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol,
maka

Dc = K` Lo e-k`tc..............................................................................................................(2-19)
K`2

12
Dengan tc = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kritik.
Lo= BOD ultimat pada aliran hulu setelah pencampuran, mg/L

Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol, maka

1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- .................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo

Xc = tc v ..........................................................................................................................(2.21)

Dengan v = kecepatan aliran sungai

Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan
defisit DO yang paling rendah (kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak (posisi, xC)
kondisi kritis dengan menggunakan persamaan 2.21.

Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan.
Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan 2.18. Persamaan tersebut adalah :

K’ Do 0,418 K`2
logLa = logDall + 1+ 1- log ……………....................(2.22)
K`2-K’ Dall K’

Dengan : Dall : defisit DO yang diizinkan, mg/L = DO jenuh – DO baku mutu

III. Prosedur Penggunaan

Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu
menentukan apakah beban yang diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis
melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan persamaan
2.19 dan 2.20. Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu
menentukan beban BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak
melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini diperlukan persamaan 2.22.

Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K’ dan K`2 dan
data BOD ultimat. Penentuan K’ dapat menggunakan berbagai metoda yang
tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan metoda Thomas,
yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan

13
persamaan empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang
disajikan pada Tabel 2.1

Perlu dicatat bahwa harga K’, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan
yang banyak digunakan untuk memperhatikan fungsi temperatur adalah :

K’T = K’20 (1,047) T-20 ………………………………………….……………………...(2.23)

K’2T = K’2 (20)(1,016) T-20 ……………………………………..……………………… . (2.24)

Dengan T = temperatur air, oC dan K’20, K’2 (20) menyatakan harga masing-masing
pada temperatur 20 0C.

Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD 5 20, yaitu BOD
yang ditentukan pada temperatur 20 0C selama 5 hari dengan menggunakan
persamaan berikut :

La = BOD5 20 /(1-e -5.K’) ………………………………………………..………………(2.25)

Dengan K’ menyatakan laju deoksigenasi dan 5 menyatakan hari lamanya


penentuan BOD.

1. Tentukan laju deoksigenasi (K’) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K’
pada intinya adalah menggunakan persamaan 2.3. Kemudian diperlukan
serangkaian percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif rumitnya
penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan
Eddy untuk penentuan harga K’ tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K’
(basis logaritmit, 20 0C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari-1. Pada intinya
pengukuran K’ melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan
panjang hari pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda
Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi untuk mendapatkan nilai K’.

Berikut ini contoh yang diambil dari Metcalf dan Eddy :

T, hari 2 4 6 8 10
Y,mg/L 11 18 22 24 26
(t/y)1/3 0,57 0,61 0,65 0,69 0,727

Dengan t menyatakan waktu pengamatan dan y nilai BOD (exerted)

Metoda Thomas adalah mengalurkan (t/y)1/3 terhadap t sesuai dengan persamaan


berikut :

14
(t/y)1/3= (2,3 K’ La)-1/3 + (K’)-2/3(t)/(3,43 La)1/3 …..………………………………(2.26)

K’ adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La
menyatakan BOD ultimat. Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K’ dan La
dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K’ = 0,228 hari -1 dan La = 29,4 mg/L.
Berhubung nilai K’ didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20 0C,
maka nilai K’ yang diperoleh adalah data untuk temperatur yang sama.

2. Tentukan laju aerasi (K’2) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau
data pada Tabel 3.1

3. Tentukan waktu kritik dengan persamaan 2.20 :

1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- ..................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo

Dimana : Do = defisit oksigen pada saat t=0


Lo = BOD ultimat pada saat t = 0

4. Tentukan defisit oksigen kritik dengan persamaan 2.19 :

Dc = K` Lo e-k`tc C
K`2

5. Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD
maksimum yang diizinkan dengan menggunakan persamaan 2.22.

IV. Contoh Perhitungan

Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu
sumber pencemar yang tentu (point source) :

1. Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata 115.000
m3/hari (1,33 m3/detik) dibuang ke aliran sungai yang mempunyai debit
minimum 8,5 m3/detik.
2. Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23 0C.
3. BOD520 air limbah adalah 200 mg/L, sedangkan BOD sungai adalah 2mg/L. Air
limbah tidak mengandung DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung
DO=6 mg/L sebelum bercampur dengan limbah.
4. Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K’ pada temparatur 200C
adalah 0,3 hari-1
5. Nilai K’2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 200C
adalah 0,7 hari-1.

15
Berdasarkan data-data di atas akan dihitung :
1. Harga Dc, tc dan Xc,
2. Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD520 maksimum pada air
limbah yang masih diperbolehkan masuk ke sungai tersebut.

Langkah-langkah penyesuaian :

1. Tentukan temperatur, DO dan BOD setelah pencampuran :


a. Temperatur campuran = [(1,33)(35) + (8,5)(23)]/(1,33+8,5) = 24,6 0C.
b. DO campuran = [(1,33)(0) + (8,5)(6)]/(1,33 + 8,5) = 5,2 mg/L
c. BOD campuran =[(1,33)(200)+(8,5)(2)]/(1,33+8,5)=28,8 mg/L
d. Lo campuran = 28,8/[-e(0,3)(5)] = 37,1 mg/L (pers. 2.25)

2. Tentukan defisit DO setelah pencamuran. Tentukan dahulu DO jenuh pada


temperatur campuran dengan menggunakan tabel kejenuhah oksigen. Dari tabel
diperoleh nilai DO jenuh = 8,45 mg/L
Defisit DO pada keadaan awal (Do) = 8,45 – 5,2 = 3,25 mg/L

3. Koreksi laju reaksi terhadap temperatur 24,6 0C


a. K’ = 0,3 (1,047)24,6-20 = 0,37 hari-1
b. K`2 = 0,7 (1,0,16) 24,6-20 =0,75 hari-1

4. Tentukan tc dan Xc dengan menggunakan persamaan 2.20 dan 2.21.


a. tc = {1/(0,75-0,37)} 1n [0,75)/(0,37) {1-3,25(0,75-0,37)/(0,37) (3,71)}]
=161 hari -1
b. Xc = (1,61)(3,2)(24) = 123,6 km

5. Tentukan Dc dengan menggunakan persamaan 2.19


a. Dc = (0,37)/(0,75) [37,1e(-0,37)(1,61)]= 10,08 mg/L
b. Konsentrasi DO pada tc = 8,45 – 10,08 = -1,63 mg/L. Karena nilai DO negatif,
hal ini berarti sungai tidak mempunyai DO lagi pada jarak 123,6 km (Xc) dari
titik pencampuran.

6. Tentukan beban BOD maksimum pada air limbah bila DO baku mutu = 2 mg/L.
a. Dall = DO yang diizinkan = 8,45 – 2 = 6,45 mg/L
b. Gunakan persamaan 2.22 untuk menghitung beban BOD ultimat maksimum:
log La = log 6,45 + [1+ {0,37(0,75-0,37)}{1-(3,25)/(6,45)} 0,418 log (0,75)/(0,37)
La = 21,85 mg/L
c. Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 – e (-0,3)(5)} = 16,97 mg/L
d. Jadi BOD pada limbah yang dizinkan:
16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5)
1,33 X = 166,81 – 17 = 149,81
X = 112,6 mg/L
Jadi BOD pada limbah yang masih diizinkan = 112,6 mg/L

16
Catatan :
1. Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/L, agar
DO air sungai tidak kurang dari 2 mg/L.
2. Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber
pencemar yang tentu (point source).

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

17
Lampiran III
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air.
Metoda QUAL2E

I. Pendahuluan

QUAL2E merupakan program pemodelan kualitas air sungai yang sangat


komprehensif dan yang paling banyak digunakan saat ini. QUAL2E dikembangkan
oleh US Environmental Protecion Agency. Tujuan penggunaan suatu pemodelan
adalah menyederhanakan suatu kejadian agar dapat diketahui kelakuan kejadian
tersebut. Pada QUAL2E ini dapat diketahui kondisi sepanjang sungai (DO dan
BOD), dengan begitu dapat dilakukan tindakan selanjutnya seperti industri yang
ada disepanjang sungai hanya diperbolehkan membuang limbahnya pada beban
tertentu.
Manfaat yang dapat diambil dari pemodelan QUAL2E adalah :
1. mengetahui karakteristik sungai yang akan dimodelkan dengan
membandingkan data yang telah diambil langsung dari sungai tersebut.
2. mengetahui kelakuan aliran sepanjang sungai bila terdapat penambahan beban
dari sumber-sumber pencemar baik yang tidak terdeteksi maupun yang
terdeteksi,
3. dapat memperkirakan pada beban berapa limbah suatu industri dapat dibuang
ke sungai tersebut agar tidak membahayakan makhluk lainnya sesuai baku
mutu minimum.

II. Deskripsi

Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang
sangat komprehensif. Program ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau
dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter konstituen dengan
mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini
dapat juga digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan
menitikberatkan pada mekanisme perpindahan secara adveksi dan disperse searah
dengan arus.

Selain melakukan simulasi perhitungan neraca oksigen, seperti yang telah


dijelaskan di atas, program QUAL2E dapat mensimulasikan neraca nitrogen dan
fosfor. Gambar 3.1. berikut ini dapat menggambarkan hubungan antar konstituen
dengan menggunakan program simulasi QUAL2E.

18
Rearation dari Udara

K2

K4
D SOD
ORG-N I
σ4 S
K1
S
β3 CBOD
α1(F) O
L K3
NH3
σ3 V
E
β1 D
σ5 ORG-P
α5β1 O
X β4
NO2
Y
DIS-P
G
β2 α5β1 E
σ2
N
NO3

α1(1-F)
α3 µ α4ρ
α1µ α2µ
Chla
ALGAE
α1 ρ σ1 α2 ρ

Gambar 3.1 Interaksi antar konstituen utama dalam QUAL2E

Keterangan:
α1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-N/mg-A
α2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-P/mg-A
α3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-O/mg-A
α4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-O/mg-A
α5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-O/mg-N
α6 = Laju pengmabilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit , mg-O/mg-N
σ1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari
σ2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-P/ft2-hari
σ3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-N/ft2-hari
σ4 = Koefisien laju untuk pengendapan nitrogen, hari -1
σ5 = Laju pengendapan fosfor, hari-1
µ = Laju pertumbuhan alga, bergantung terhadap temperatur, hari-1
ρ = Laju respirasi alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1
19
K1 = Laju deoksigenasi BOD, pengaruh temperatur, hari-1
K2 = Laju rearsi berdasarkan dengan analogi difusi, pengaruh temperatur, day-1
K3 = Laju kehilangan BOD cara mengendap, faktor temperatur, day-1
K4 = Laju ketergantungan oksigen yang mengendap, faktor temperatur, g/ft2-hari
β1 = Koefisien laju oksidasi amonia, faktor temperatur, hari-1
β2 = Koefisen laju oksidasi nitrit, faktor temperatur, hari-1
β3 = Laju hydrolysis dari nitrogen, hari-1
β4 = Laju fosfor yang hilang, hari-1

Pemodelan untuk Oksigen Terlarut (DO) dengan menggunakan QUAL2E

Persamaan untuk penentuan laju perubahan DO :

dO K4
= K2 (O*- O)+ (α3 µ – α4 ρ)A – K1L - - α6 β1N1 – α6 β2N2 .............(3-1)
dt d

dengan O : konsentrasi oksigen terlarut (mg/L)


O* : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, pada P dan T setempat (mg/L)
A : konsentrasi biomassa dari alga [mg-A/l]
L : konsentrasi dari senyawa karbon BOD [mg/L]
d : kedalaman aliran rata-rata [ft]
N1 : konsentrasi amonia dalam bentuk nitrogen [mg/L]
N2 : konsentrasi nitrit dalam bentuk nitrogen [mg/L]

Persamaan untuk penentuan konsentrasi oksigen terlarut jenuh :

lnO* = -139.344410 + (1.575701x105/T) - (6.642308x107/T2) + (1.2438/1010/T3) –


(8.6219494x1011/T4) …………………………………………………………………..(3-2)

dengan O * : konsentrasi oksigen jenuh, pada l atm (mg/L)


T : temperatur (K) = (0C + 273.15) dan 0C pada rentang 0-40 0C

Metoda penentuan laju reaerasi (K2)

1. K2 = 0,05 untuk permukaan sungai yang tertutup es, K2 = 1 untuk permukaan


sungai yang tak tertutup es.

2. Harga K2 pada temperatur 20 0C (Churcill dkk. (1962)) :


K220 = 5.026.u 0.969 .d -1.673 x 2.31

Dengan u = kecepatan rata-rata pada aliran (ft/detik)


d = kedalaman rata-rata pada aliran (ft)
K2= koefisien reaerasi

20
3. O’Connor dan Dobbins (1958) dengan karakter aliran turbulen
3.1 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik

(Dm.u)0.5
K2 20 = ………………………………………………………….(3-3)
d1..5

3.2 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik

4800Dm0.5.So0.25
K220 = x 2.31 …………………………………………….(3-4)
d1.25

Dengan So : derajat kemiringan sungai sepanjang aliran (ft/ft)


Dm : koefisien difusi molekul (ft2/day)
Dm : 1.91 x 103 (1.037) T-20

4. Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan
batasan kedalaman 0.4 – 11.0 ft dan kecepatan dari 0,1 – 5 ft/detik.

u.0.67
K2 20 = 9.4 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-5)
d1.85

5. Thacktor dan krenkel (1966)

u*
K2 20 = 10.8 (1 + F0.5) X 2.31 ……………………………………….(3-6)
d

u*
F= ………………………………………………………………………(3-7)
√g.d

U.n√g
u * = √d.Se.g = ………………………………………………(3-8)
1.49d1.167

dengan F = bilangan Froude


g = percepatan gravitasi (ft/sec2)
Se = Sudut dari perbedaan ketinggian
N = koefisien untuk gesekan

21
6. Langbien dan Durun (1967)

u
K220 = 3.3 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-9)
d1.33

7. Hubungan empiris antara kecepatan dan kedalaman dengan lajur alir pada
bagian hidraulik akan dikorelasikan :

K2 = aQb …………………………………………………………………………..(3-10)

dengan a : koefisien untuk laju alir untuk K2


Q: laju alir (ft3/detik)
b: eksponen untuk laju alir K2

8. Tsivoglou dan Wallace (1972) K2 dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian


sepanjang aliran dan waktu yang diperlukan sepanjang aliran tersebut.

∆h
K2 20 =c = (3600 x 24) c.Se.u …………………………………………….(3-11)
tf
u2 . n2
Se = ……………………………………………………….(3-12)
(1.49)2 d4/3

Harga c (koefisien kehilangan DO tiap ft sungai)dibatasi oleh laju alir

• Untuk lajut air 1 – 5 ft3/detik harga c = 0.054ft-1 (200C)


• Untuk lajut alir 15 – 3000 ft3/detik harga c = 0.110 ft-1 (200C)

III. Prosedur Penggunaan

Program, cara penggunaan, dan contoh penggunaan pemodelan QUAL2E dapat di-
download di internet pada website :
1. http://www.epa.gov/docs/QUAL2E WINDOWS/index.html, atau
2. http://www.gky.com/_downloads/qual2eu.htm

Sedangkan tahap-tahap penggunaan QUAL2E untuk simulasi DO sepanjang aliran


sungai adalah sebagai berikut :

22
1. QUAL2E simulasi
1.1 Menulis judul dari simulasi yang akan dilakukan
1.2 Tipe simulasi yang diinginkan dengan 2 pilihan yaitu kondisi tunak dan
dinamik
1.3 Unit yang akan digunakan yaitu unit Inggris dan SI
1.4 Jumlah maksimum iterasi yang ingin dilakukan dengan batasan 30 iterasi
1.5 Jumlah aliran yang akan dibuat

2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta
2.1 Nomor aliran
2.2 Nama aliran
2.3 Titik awal sungai
2.4 Titik akhir sungai
2.5 Merupakan sumber sungai atau tidak ?
2.6 Selang sungai yang akan dimodelkan

3. Simulasi kualitas yang diinginkan


3.1 Terdapat pilihan temperature, BOD, Algae, Fosfor, Nitrogen, DO
3.2 BOD dengan data koefisien konversi BOD untuk konsentrasi BOD

4. Data iklim dan geografi yang akan dimasukkan


4.1 Letak sungai data bujur dan lintangnya
4.2 Sudut yang dibentuk sungai dari awal hingga titik akhir sungai tersebut
untuk menentukan bila menggunakan koefisiens reaerasi (K2) pilihan 4
4.3 Ketinggian sungai yang terukur dari awal hingga akhir untuk K2 pilihan 5

5. Membuat beberapa titik untuk pembatasan dengan mengambil sample harga


DO baik min, average, dan max

6. Konversi temperature terhadap


6.1 BOD untk Decay dan Settling
6.2 DO untuk reaerasi dan SOD

7. Data hydraulik sungai dengan kebutuhan :


7.1 Persamaan untuk kecepatan u = a.Qb maka diperlukan data kecepatan
pada beberapa titik di sungai dengan laju air volumentrik untuk
mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap
koefisien reaerasi (K2) khususnya pilihan 2, 3 , 4, 5 , 6, 8
7.2 Persamaan untuk kedalaman d = c.Qd maka diperlukan data kedalaman
sungai pada beberpa titik dengan laju alir volumetrik untuk mengetahui
koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap pilihan K2 yang
sebagian besar merupakan persamaan empiris.
7.3 Manning Factor dengan data dapat dilihat pada manual.

23
8. Data konstanta reaerasi
8.1 BOD dengan data decay, settling time (1/hari)
8.2 SOD rate (g/m2-day)
8.3 Tipe persamaan reareasi dengan menggunakan persamaan yang ada (lihat
metoda penentuan laju konstanta reareasi K2)
8.4 Bila persamaan yang digunakan K2 pilihan 7 untuk persamaan K2 = e.Qf
disediakan data untuk data yang dimasukkan K2 dengan harga e serta f

9. Kondisi awal dengan data yang dimasukkan temperatur, DO, BOD.


10. Kenaikan laju air sepanjang sungai dengan data yang dimasukkan laju alir
(m3/s), temperatur (0C), DO, BOD.
11. Data-data untuk aliran awal yang diperlukan laju alir (m3/s), temperatur (0C),
DO, BOD.
12. Harga-harga untuk kondisi iklim global sesuai letak bujur dan lintang dengan
data yang diperlukan
12.1 Waktu (jam, hari, bulan, tahun)
12.2 Temperatur bola basah dan kering (K)
12.3 Tekanan (mbar)
12.4 Kecepatan angin
12.5 Derajat sinar matahari (Langley, hr) dan kecerahan sungai.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA,MSM


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

24
Lampiran IV
Data pencatatan curah hujan saat penelitian
DATA PENGUKURAN CURAH HUJAN
Stasiun Rempoah, Baturraden.
Bulan Agustus, September dan Oktober 2005

Curah hujan (mm)


Tanggal
Agustus 2005 September 2005 Oktober 2005
1 - - Tak ada data
2 - - idem
3 20 - idem
4 - - idem
5 - - idem
6 - - idem
7 - - idem
8 - - idem
9 6 - idem
10 - - idem
11 - - idem
12 - - idem
13 - 13 idem
14 - 6 idem
15 - 9 idem
16 - - idem
17 - 2 idem
18 - - idem
19 - 130 idem
20 - 28 idem
21 - 37 idem
22 61 4 idem
23 - - idem
24 - 3 idem
25 - 141 idem
26 - 53 idem
27 - 80 idem
28 - 14 idem
29 - 23 idem
30 - 5 idem
31 - - idem

Keterangan : dikutip dari buku pencatatan curah hujan DISAIRTAMBEN Pemerintah


Kabupaten Banyumas.
Lampiran V
Print out hasil perhitungan statistik oneway anova dan kruskal-wallis
Lampiran VI
Rekapitulasi data aktivitas pemanfaatan lahan dan peta penggunaan lahan

VI - 0
VI - 1
VI - 2
Lampiran VII
Rekapitulasi perhitungan daya tampung beban pencemaran organik berikut data hasil

pemeriksaan laboratorium.

VII - 0
VII - 1
VII - 2
Daftar kecepatan aliran air anak Sungai dan Sungai Pelus
(Bulan September dan Oktober 2005)

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Kecepatan Aliran (m/dt)


anak sungai Lokasi September Oktober
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 0,51 0,57
2. K. Lirip Kemutug LR 1 0,31 0,33
3. K. Pelus Rempoah PL 2 0,79 0,89
4. K. Belot Rempoah BL 1 0,06 0,08
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 0,40 0,40
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 0,07 0,07
7. K. Pelus Mersi PL 4 0,62 0,60
8. K. Pelus Pekunden PL 5 0,80 0,80
9. K. Bener Pajerukan BN 1 0,09 0,67
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 0,12 0,11
Sumber : Hasil pengukuran Sugeng Abdullah

.
Daftar Debit air K. Pelus pada Bendung Pandak Baturraden
Kabupaten Banyumas Tahun 2000 – 2005.
Th 2000 Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004 Th 2005
No Bulan
(lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt)
Januari
1 4.514,00 5.494,00 7.121,50 6.489,00 3.291,50
Pebruari
2 4.007,00 3.411,00 6.684,00 7.992,00 5.601,50
Maret
3 3.906,00 4.143,00 5.782,00 7.403,00 3.633,50
April
4 3.735,00 3.483,00 4.299,50 6.250,00 3.129,00
Mei -
5 2.505,00 2.525,00 3.637,00 3.027,00
Juni -
6 1.184,00 2.724,00 1.622,00 2.571,50
Juli -
7 1.100,00 1.314,00 2.673,00 317,50
Agustus -
8 971,00 1.164,00 1.118,00 1.343,00 458,00
September
9 1.067,00 1.639,00 2.574,00 1.644,00 1.347,00 3.096,50
Oktober
10 5.159,00 6.455,00 1.143,00 2.958,00 1.598,00 3.633,50
Nopember
11 8.685,00 5.286,00 4.748,50 7.099,00 3.964,00 3.628,50
Desember -
12 4.648,00 4.002,00 7.574,00 6.934,00 4.566,00
Sumber : BPS & Disairtamben Kabupaten Banyumas (2005)

VII - 3
Daftar Debit air K. Pelus pada Bendung Arca Purwokerto Timur
Kabupaten Banyumas Tahun 2000 – 2005.

Th 2000 Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004 Th 2005


No Bulan
(lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt)

1 Januari 5,394.00 4,656.00 8,969.00 6,493.50 5,797.00 3,178.00

2 Pebruari 6,791.00 3,762.00 - 8,022.50 5,258.00 6,425.00

3 Maret 6,640.00 4,259.00 2,725.00 7,460.50 8,127.00 5,130.50

4 April 4,928.00 5,638.00 - 4,280.00 4,852.00 7,832.50

5 Mei 3,074.00 1,142.00 - - 4,362.00 3,022.00

6 Juni 1,152.00 5,140.00 - - 1,400.00 898.00

7 Juli 632.00 881.00 - - 3,051.00 3,000.00

8 Agustus 1,234.00 623.00 - - 1,219.00 773.00

9 September 1,234.00 1,155.00 1,644.00 831.00 1,211.00 2,273.50

10 Oktober 7,379.00 13,349.00 2,958.00 6,937.50 1,470.00 10,697.50

11 Nopember 13,109.00 11,345.00 7,099.00 10,336.50 10,903.00 7,384.00

12 Desember 6,098.00 3,116.00 6,934.50 5,850.00 11,556.00 -


Sumber : BPS & Disairtamben Kabupaten Banyumas (2005)

Daftar Temperatur udara di sekitar anak Sungai dan Sungai Pelus


(Bulan September dan Oktober 2005)

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Temperatur Air (oC)


anak sungai Lokasi September Oktober
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 23 23
2. K. Lirip Kemutug LR 1 23 23
3. K. Pelus Rempoah PL 2 23 23
4. K. Belot Rempoah BL 1 23 23
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 26 26
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 26 26
7. K. Pelus Mersi PL 4 26 27
8. K. Pelus Pekunden PL 5 26 27
9. K. Bener Pajerukan BN 1 26,5 27
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 26,5 27
Sumber : data primer

VII - 4
Daftar Temperatur air anak Sungai dan Sungai Pelus
(Bulan September dan Oktober 2005)

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Temperatur Air (oC)


anak sungai Lokasi September Oktober
2005 2005
1. K. Pelus Kemutug PL 1 22,5 22,5
2. K. Lirip Kemutug LR 1 22,5 22,5
3. K. Pelus Rempoah PL 2 22,5 22,5
4. K. Belot Rempoah BL 1 23 23
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 24 24
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 24 24
7. K. Pelus Mersi PL 4 24 26
8. K. Pelus Pekunden PL 5 24 25
9. K. Bener Pajerukan BN 1 26 26
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 25,5 26
Sumber : data primer

Daftar Kecerahan, warna dan bau air anak sungai dan sungai Pelus di beberapa lokasi
Bulan September 2005.

No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Kecerah Warna Bau


anak sungai Lokasi an (cm)
1. K. Pelus Kemutug PL 1 >25 Tak berwarna Tak berbau
2. K. Lirip Kemutug LR 1 >40 Tak berwarna Tak berbau
3. K. Pelus Rempoah PL 2 >60 Tak berwarna Tak berbau
4. K. Belot Rempoah BL 1 >15 Tak berwarna Tak berbau
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 >95 Tak berwarna Tak berbau
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 40 Kuning tipis Bau tanah
7. K. Pelus Mersi PL 4 >85 Tak berwarna Tak berbau
8. K. Pelus Pekunden PL 5 >25 Tak berwarna Tak berbau
9. K. Bener Pajerukan BN 1 30 Kuning keruh Bau tanah
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 >55 Tak berwarna Tak berbau
Sumber : data primer
Keterangan :
> = secchi disk dapat terlihat sampai kedalaman dasar sungai.

Daftar Kecerahan, warna dan bau air anak sungai dan sungai Pelus di beberapa lokasi
Bulan Oktober 2005
No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Kecerah Warna Bau
anak sungai Lokasi an (cm)
1. K. Pelus Kemutug PL 1 >35 Tak berwarna Tak berbau
2. K. Lirip Kemutug LR 1 >40 Tak berwarna Tak berbau
3. K. Pelus Rempoah PL 2 >60 Tak berwarna Tak berbau
4. K. Belot Rempoah BL 1 >25 Tak berwarna Tak berbau
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 >95 Tak berwarna Tak berbau
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 35 Kuning tipis Bau tanah
7. K. Pelus Mersi PL 4 100 Tak berwarna Tak berbau
8. K. Pelus Pekunden PL 5 95 Tak berwarna Tak berbau
9. K. Bener Pajerukan BN 1 15 Kuning keruh Bau tanah
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 70 Tak berwarna Tak berbau
Sumber : data primer

VII - 5
VII - 4
Daftar : Rekapitulasi Perhitungan Debit Air Sungai Bulan September 2005
No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Kecp. Dalam Lebar Debit
anak sungai Lokasi (m/dt) (m) (m) (m3/dt) Keterangan :
1. K. Pelus Kemutug PL 1 0,51 0.35 5 0,8925
2. K. Lirip Kemutug LR 1 0,31 Q = AV
0.2 9 0,558
3. K. Pelus Rempoah PL 2 0,79 0.51 5 2,0145 Dimana :
4. K. Belot Rempoah BL 1 0,06 0.1 5 0,03 Q = debit
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 0,40 0.9 13 4,68 V = kecepatan
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 0,07 0.49 0.8 0,02744 A = luas penampang
7. K. Pelus Mersi PL 4 0,62 basah
0.82 9.75 4,9569
A = dalam x lebar
8. K. Pelus Pekunden PL 5 0,80 0.25 7.5 1,5
9. K. Bener Pajerukan BN 1 0,09 0.61 18 0,9882
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 0,12 0.55 21 1,386

Daftar : Rekapitulasi Perhitungan Debit Air Sungai Bulan Oktober 2005


No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Kecp. Dalam Lebar Debit
anak sungai Lokasi (m/dt) (m) (m) (m3/dt)
1. K. Pelus Kemutug PL 1 0,57 0.52 6 1,7784
2, K, Lirip Kemutug LR 1 0,33 0.2 9 0,594
3, K, Pelus Rempoah PL 2 0,89 0.55 5 2,4475
4, K, Belot Rempoah BL 1 0,08 0.2 5 0,08
5, K, Pelus Karangwangkal PL 3 0,40 0.85 13 4,42
6, K, Pangkon Karangwangkal PK 1 0,07 0.8 0.87 0,04872
7, K, Pelus Mersi PL 4 0,60 0.9 10 5,4
8, K, Pelus Pekunden PL 5 0,80 0.4 8 2,56
9, K, Bener Pajerukan BN 1 0,67 1.15 18 1,449
10, K, Pelus Pajerukan/Petir PL 6 0,11 1.2 22 2,904

VII - 5
Rumus : Daya tampung = (konsentrasi baku mutu - konsentrasi nyata) x debit

VII - 6
KETERANGAN PERHITUNGAN :

C1 = Konsentrasi BOD pada sungai 1


C2 = Konsentrasi BOD pada sungai 2
Q1 = Debit air sungai 1
Q2 = Debit air sungai 2

C1.Q1 + C2.Q2
Cn = ----------------------------
Q1 + Q2

Beban pencemar = Cn ((Q1+Q2) x 1000)


Baku mutu = baku mutu parameter BOD untuk badan air kelas 2
Beban pencemaran maksimal = bakumutu x (Q1+Q2)
Daya Tampung = beban pencemaran maksimal - beban pencemar

VII - 7
LEMBAR PENGAMATAN & PENGUKURAN
Hari /Tgl : ............................................. Jam : ………………

1. Nomor lokasi pengamatan : ……………………………………..


2. Lokasi pengamatan : Desa ………………………………
3. Posisi / Koordinat : ………………………………………
4. Lebar sungai (m) : ………………………………………
5. Kedalaman air sungai (m) : ………………………………………
6. Kecepatan aliran (m/dt) : ………………………………………
7. Debit aliran (m3/dt) : ………………………………………
8. Penampang melintang sungai : Gambarkan / sketsa dilengkapi ukuran

9. Keasaman air (pH) : ………………………………………


10. Temperatur air (oC) : ………………………………………
11. Warna air : ……………………………………….
12. Kejernihan : ………………………………………
13. Bau air : ………………………………………
14. Oksigen Terlarut (DO) : Contoh air nomor kode ……………
Hasil pemeriksaan DO (mg/lt) …………………………………….
15. BOD : Contoh air nomor kode …………….
Hasil pemeriksaan BOD (mg/lt) ……………………………………
16. Deskripsi kondisi cuaca ketika pengukuran berlangsung : ………..
……………………………………………………………………………

…...……………………………
Nama & Tanda tangan petugas

VII - 4
Lampiran VIII

Foto keadaan sungai Pelus


FOTO KEADAAN SUNGAI PELUS

Daerah hulu (Kemutug) Daerah hilir (Pajerukan)

Air berwarna dari K. Pangkon Air berwarna dari K. Bener

Kondisi bulan September 2005 Kondisi bulan Oktober 2005

Anda mungkin juga menyukai