Tesis
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2
diajukan oleh
Sugeng Abdullah
21295/IV-7/509/04
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2006
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
tesis ini. Selesainya penyusunan tesis ini merupakan karunia mutlak dari Allah swt
melalui kerja keras, bantuan, pengorbanan dan dukungan doa dari berbagai fihak.
Oleh karena itu penulis merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih secara khusus
kepada yang terhormat bapak Prof. Dr. Totok Gunawan, M.S. dan Bapak Dr H.A.
Sudibyakto, M.S. yang telah memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dengan
pendidikan.
2. Rektor UGM Yogyakarta dan Direktur Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta,
yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi Ilmu
Lingkungan.
3. Dekan Fakultas Geografi dan Pengelola Program Studi S2 Ilmu Lingkungan UGM
4. Direktur Potekkes Semarang yang telah memberi ijin untuk mengikuti tugas belajar
Sumber Daya Air, Energi dan Pertambangan; Dinas Pertanian Tanaman Pangan ;
yang telah memberi ijin atas pelaksanaan penelitian ini, sekaligus memberikan
9. Istri dan anak-anakku tersayang, Dyah Sri Utari, Afini Zidniy Ilma dan Hilmiy
Ilman Nafian. Mereka telah memberikan dukungan dan pengorbanan total untuk
10. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan dan berbagai fihak yang tidak dapat
Di dalam tesis ini tentu masih banyak terdapat banyak kekurangan, meskipun
telah disusun dengan cermat dan bersumber dari berbagai acuan. Oleh karena itu
penulis akan sangat berterima kasih dan sangat bangga apabila pembaca berkenan
memberi saran dan koreksi. Saran dan koreksi dapat disampaikan melalui
tesis ini, penulis tetap berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
2.3. Hubungan kecepatan aliran air dengan penyerapan oksigen oleh air 19
4.5. Nama Desa yang wilayahnya ditetapkan sebagai daerah resapan air 47
4.7. Jenis sumber pencemar industri pada DAS Sungai Pelus Tahun 2005 48
4.8. Jumlah Penduduk pada setiap sub DAS sungai Pelus Tahun 2004. 50
4.9. Kapasitas Aliran (Debit) Air Anak Sungai dan Sungai Pelus (Bulan 53
September dan Oktober 2005)
4.10 Curah hujan pada DAS Sungai Pelus kabupaten Banyumas (Bulan 57
September dan Oktober 2005)
ix
4.12. Konsentrasi Zat Organik (BOD) dan Oksigen Terlarut (DO) Air 61
Sungai Pelus (Bulan Agustus 2005)
4.13. Konsentrasi Zat Organik (BOD) Air Anak Sungai dan Sungai Pelus 62
(Bulan September dan Oktober 2005)
4.14. Konsentrasi Oksigen Terlarut (DO) Air Anak Sungai dan Sungai 66
Pelus (Bulan September dan Oktober 2005)
4.17. Beban Pencemaran Organik (BOD) yang diijinkan Pada Sungai Pelus 73
di berbagai lokasi Bulan September 2005
4.18. Beban Pencemaran Organik (BOD) yang diijinkan Pada Sungai Pelus 74
di berbagai lokasi Bulan Oktober 2005
4.19. Total Beban Pencemaran Organik (BOD) yang ada Pada Sungai Pelus 75
di berbagai lokasi Bulan September 2005
4.20. Total Beban Pencemaran Organik (BOD) yang ada Pada Sungai Pelus 76
di berbagai lokasi Bulan Oktober 2005
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PP = Peraturan pemerintah
PE = Population equivalent
Q = quantitiy ( = simbol debit)
RI = Rasional ideal
RA = Rasional ambisius
SD = Sekolah dasar
SLTP = Sekolah lanjutan tingkat pertama
SS = Suspended solid
Sig = significans
Sept = September
SMA = Sekolah menengah atas
t = Time (Waktu)
TOC = Total Organik Carbon (= Karbon organik total)
ThOD = Theoritical Oxygen Demand ( = kebutuhan oksigen teoritis)
TSS = Total suspended solid
UU = Undang undang
V = Volume
WRB = Weighted Mean Bifurcation Ratio)
ZO = Zat organik
xiv
Abstract
In Banyumas regency were founded many rivers, one of them is Pelus river.
Pelus watershed there were many landuse activities which to deliver potential waste
the thing river pollution. The chaearcteristic of domestic waste generally is very high
the contents of organic matter. Because of it the research intended to estimate carrying
capacity of organic pollution (organic loading) in Pelus watershed become more
relevant for implementing. The objectives of this research were to study the quantity
and the kind of land use activities which deliver organic pollution in Pelus watershed,
to study the quality of Pelus watershed observed on BOD and DO, to estimate the load
capacity of organic pollution and to study the presence descent load capacity of organic
pollution ang some measuring locations.
The research implanted by field survey and sample examined in laboratory. The
removal sample conducted based on purposive sampling as many as ten point locations
elus river from upper until lower flow.
Water flow, water discharge, water temperature, acidity and monitoring
watershed condition implemented each location. While the examination of DO, BOD
and Cl carried out in the laboratory of BBTKL Yogyakarta. the supporting data
obtained from office an instance of government in Banyumas regency. Analysis and
calculation of load capacity of organic pollution used the mass balance methode. While
to know the difference of load capacity of pollution used anova analysis by software
SPSS 10.
The result of this research shown that land use cativity occurred pollution
covered settlement, rice cultivation, plantation, forestry and industry. Concentration of
BOD = 1,2-2,3 mg/l and concentration of DO = 4,3 – 5,9 mg/lipids, so can conclude
that Pelus river unpolluted (appropriate standard quality of water committee grade II
PP 82 Tahun 2001). Load capacity of organic pollution Pelus watershed revolved
between 142,6 – 699,8 kg/day. Commonly unoccured descent the load capacity of
organic pollution in part of Pelus upper course. But there are occurred difference load
capacity of organic pollution significant between measuring location (X2=17,743 with
P=0,05)
1)
Staff member of Politeknik Kesehatan Semarang
2)
Staff member of Faculty of Geography, Gadjah Mada University.
3)
Staff member of Faculty of Geography, Gadjah Mada University
xv
INTISARI
DAS (Daerah Aliran Sungai) Pelus merupakan salah satu dari beberapa DAS /
Sungai yang terletak di wilayah Kabupaten Banyumas. Di DAS Pelus terdapat banyak
aktivitas penggunaan lahan yang menghasilkan limbah yang berpotensi menimbulkan
pencemaran sungai. Karakteristik dari limbah domestik pada umumnya adalah
kandungan bahan organik yang tinggi. Oleh karena itu penelitian tentang estimasi
daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus menjadi sangat relevan
untuk dilaksanakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jumlah dan jenis aktivitas pemanfaatan
lahan yang menghasilkan limbah organik di DAS Pelus, mengkaji kualitas air sungai
Pelus ditinjau dari kandungan zat organik (BOD) dan oksigen terlarut (DO),
mengestimasi daya tampung beban pencemaran organik dan mengetahui adanya
peneurunan daya tampung beban pencemaran pada beberapa lokasi pengukuran.
Penelitian dilaksanakan dengan cara survey lapangan dan pemeriksaan sampel
di laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling sebanyak
10 titik lokasi pada sungai Pelus dari hulu sampai hilir. Pengukuran kecepatan air,
debit air, temperatur air, pH dan pengamatan kondisi DAS dilaksanakan di masing-
masing lokasi. Sedangkan pemeriksaan DO, BOD dan CL dilaksanakan di
laboratorium BBTKL Yogyakarta. Data penunjang diperoleh dari kantor dan instansi
pemerintah di Kabupaten Banyumas. Analisis dan perhitungan daya tampung beban
pencemaran menggunakan metode neraca massa. Analisis penurunan daya tampung
beban pencemaran menggunakan analisis tabel, sedangkan untuk mengetahui
perbedaan daya tampung beban pencemaran digunakan analisis Anova dengan
software SPSS versi 10.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pemanfaatan lahan yang dapat
menimbulkan pencemaran meliputi permukiman, persawahan, perkebunan / hutan dan
industri. Di DAS Pelus sedikitnya terdapat 85 hotel, 3 buah pabrik, 22 buah
peternakan dan 834 buah industri rumah tangga. Konsentrasi BOD = 1,2 –2,3 mg/l
dan konsentrasi DO = 4,3 –5,9 mg/l, sehingga dapat dikatakan air sungai Pelus tidak
tercemar (sesuai baku mutu air badan air kelas II). Daya tampung beban pencemaran
organik sungai Pelus berkisar antara 142,6 - 699,8 kg/hr. Secara umum tidak terjadi
penurunan daya tampung beban pencemaran organik pada bagian hilir sungai Pelus.
Akan tetapi terdapat perbedaan daya tampung beban pencemaran organik yang
signifikan antara berbagai lokasi pengukuran (X2 = 17,743 dengan P = 0,05).
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
kegiatan manusia, sebelum akhirnya dialirkan ke danau atau laut. Sistem drainase
kota dimulai dari permukiman, perdagangan dan drainase alami alirannya akan
berakhir di sungai. Kondisi ini akan mengakibatkan semua bahan pencemar yang
terlarut dalam bentuk limbah cair akan masuk kedalam aliran sungai. Besarnya
bahan pencemar yang masuk ke sungai akan berpengaruh terhadap kualitas air
ini diantaranya berupa pengaturan jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang
ke sungai.
didasarkan atas kajian ilmiah tentang daya tampung beban pencemaran pada
sungai dimaksud. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan pencemar
1
dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai swa pentahiran atau self
pencemaran pada sungai yang berada di wilayahnya (Pasal 18 (3) dan Pasal 20
(a) PP No. 82 Tahun 2001). Sesuai UU No.7 Tahun 2004 Pasal 16 (b) dan Pasal
dalam hal pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan kualitas air serta
Bahan pencemar dalam limbah cair yang berasal dari rumah tangga,
(Metcalf & Eddy, 1979). Bahan pencemar dalam limbah cair yang dapat
organik juga (Linsley, et al, 1995). Atas dasar alasan ini, maka penentuan daya
tampung beban pencemaran pada badan air (sungai) lebih dititik beratkan pada zat
organik.
secara tetap dan pasti pada badan air (sungai) sangat sulit dilakukan. Hal ini
karena banyak sekali variabel yang mempengaruhi kemampuan air sungai untuk
2
cuaca, musim, bentuk aliran dan oksigen terlarut. Oleh karena itu yang dapat
B. Permasalahan
penting diantaranya adalah Serayu, Logawa, Kranji, Tajum, Banjaran dan Pelus.
Kranji, Tajum, Banjaran dan Pelus menjadi tanggung jawab dan kewenangan
Pelus juga memperoleh pasokan air dari beberapa anak sungai diantaranya dari
sungai Belot, sungai Lirip, sungai Pangkon dan sungai Bener. Selanjut mengalir
sungai Serayu,
Baturraden berdiri hotel melati dan hotel berbintang. Tabel : 1.1. menunjukkan
3
kecamatan lain yang dilalui sungai Pelus telah berdiri kawasan permukiman dan
berkisar 20% - 30% dari total kamar yang tersedia sebanyak 2123 buah pada
tahun 2004 atau sekitar 425 - 850 orang tamu yang menginap setiap hari. Total
783.423 orang. Semuanya itu pada akhirnya menghasilkan limbah cair yang
Tabel 1.1.
Perkembangan jumlah hotel
di Kecamatan Baturraden tahum 1993 – 2004
4
Tabel 1.2.
Perkembangan jumlah hotel
di Kabupaten Banyumas tahun 1999 – 2004
Sumber : Diolah dari buku Banyumas dalam angka tahun 1999 s/d 2004
(BPS Banyumas)
penduduk untuk keperluan pertanian, perikanan darat dan MCK (mandi, cuci,
kakus). Pemanfaatan sungai Pelus sebagai MCK dapat dijumpai di daerah hulu
(Kemutug) sampai hilir (Sokaraja, Pajerukan). Hal ini sesuai dengan hasil
melakukan BAB / MCK secara langsung di sungai Pelus (Nurhilal, dkk., 2002).
Untuk pemanfaatan dalam bidang pertanian dan perikanan darat, pada sungai
5
Pelus. Sampai dengan tahun 2005 daya tampung beban pencemaran sungai Pelus
2. Bagaimanakah kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik
Oxygen).
3. Berapa daya tampung beban pencemaran organik pada setiap titik pengamatan
di sungai Pelus ?
C Tujuan penelitian
2. Mengkaji kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD)
6
D. Keaslian penelitian
pada air sungai yang ada di Indonesia, termasuk sungai yang ada di kabupaten
masih sangat sedikit. Hal ini ini merupakan sesuatu yang baru berhubungan
dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan
Pencemaran Air.
dan daya tampung beban pencemaran sungai adalah seperti tercantum pada tabel :
1.3. Penelitian di sungai Pelus yang akan dilakukan memiliki perbedaan dengan
penelitian terdahulu dalam hal obyek dan karakteristik sungai yang akan diteliti.
belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu, atau kalau pernah diteliti, maka
E. Manfaat penelitian
pencemaran organik badan air (sungai). Ini bermanfaat untuk bahan studi
sehingga dapat digunakan sebagai salah satu bahan masukan bagi pemerintah
7
kabupaten Banyumas untuk menetapkan daya tampung beban pencemaran
jumlah total limbah yang boleh dibuang kedalamnya, oleh masyarakat dan
industri.
8
Tabel 1.3.
JUDUL PENELITIAN YANG BERKAITAN DENGAN PENCEMARAN SUNGAI
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode & Analisis Hasil
1. Sutanto Br. Kajian daya tampung a. Mengetahui karakteristik a. Survey a. Sumber pencemar berasal
(2003) sungai Gajahwong hidrologi sungai, biotic dan b. Analisis dari limbah domestik, limbah
fisik daerah aliran sungai laboratorium industri, pertanian dan
b. Mengetahui kondisi sungai terhadap air sungai peternakan
dan kualitas air sungai c. Analisis metode b.Daya tampung beban
c. Mengevaluasi kemampuan neraca massa pencemaran pada bagian
tingkat daya tampung air untuk penentuan hulu masih sangat baik, pada
sungai terhadap daya tampung bagian tengah sangat baik,
pencemaran dan dan bagian hilir baik (sesuai
kemampuan pemulihannya Kep.Men.LH. No. 110 tahun
d. Mengidentifikasi sumber 2003).
pencemar potensial c. Swa pentahiran dari hulu
mencemari air sungai sampai hilir bervariasi dari
e. Merumuskan rekomendasi sangat baik sampai tercemar.
pengelolaan.
2. Sanita Trisna Penentuan status kualitas a. Membuat klasifikasi a. Metode deskriptif a. Klasifikasi sungai
Handayani, perairan sungai Brantas sungai Brantas hulu b. Analisis dengan berdasarkan keberadaan
Bambang hulu dengan biomonitoring berdasarkan hewan computer makrobentos famili Baetidae,
Soeharto, macrozoobentos : makrobentos menggunanakan Leptophlibiidae,
Marsoedi Tinjauan dari pencemaran b. Menentukan status kualitas software Chloroperliidae, Gastropoda,
(2001) bahan organik perairan sungai Brantas TWINSPAN Hydropchidae,
hulu berdasarkan kadar Chironomidae, dan
bahan organik Lumbriculiidae
b. Kualitas air sungai berdasarkan
kadar BOD dan COD
9
Tabel 1.1. Lanjutan ….
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode & Analisis Hasil
3. Nini Avieni Pengendalian Kualitas a. Menguji apakah terjadi a. Analisis statistical a. Limbah yang dihasilkan PT
(1999) Limbah Cair di PT. Sari penyimpangan kualitas process control, Sari Husada sesuai dengan
Husada dalam limbah cair dan mencarikan yaitu R-chart, X- persyaratan.
hubungannya dengan ISO solusi bila terjadi Chart dan P-Chart. b. Program manajemen
14001 b. Mengetahui tentang ISO b. Metode deskriptif lingkungan memberikan
14001 sebagai standar solusi teknis maupun
industri modern dalam manajemen terhadap
memperhatikan lingkungan. penyimpangan yang terjadi.
4. Wiryanto Pengaruh limbah cair a. Mengetahui besarnya DO, a. Penelitian a. BOD, DO pada air limbah
(1997) industri tekstil PT BOD, suhu, pH dan lapangan dengan PT Tyfontex melalpaui
Tyfountex Indonesia, kandungan logam di dalam pemeriksaan Bakumutu sesuai SK MenLH
Kartasura Sukoharjo air limbah tektil PT sampel air sungai No. Kep 51/ men LH/10/ 95.
terhadap perubahan DO, Tyfountex di laboratorium b.Limbah tekstil PT Tyfountex
BOD, suhu, pH, b. Mengetahui pengaruh air mempengaruri kualitas air
kandungan logam dan limbah PT Tyfountex sungai Kudusan dan
Plankton di sungai terhadap kualitas air Premulung. Limbah
Kudusan Sukoharjo dan sungai Kudusan dan menyebabkan menurunnya
Premulung Surakarta. Premulung kandungan DO dan
c. Mengetahui hubungan meningkatkan kadar BOD.
Plankton dengan DO. c. Penurunan DO dan
BOD, suhu, pH dan Peningkatan BOD dapat
kandungan logam. mempengaruhi terhadap
penurunan index densitas
plankton.
10
Tabel 1.1. Lanjutan ….
No. Nama Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode & Analisis Hasil
5. Nurwijoyo Evaluasi pencemaran a. Mengetahui kualitas air b. Survey dan d.Air sungai Gajahwong telah
Wadono sungai Gajahwong sungai Gajahwong di penelitian terkontaminasi oleh buangan
(1993) Yogyakarta, ditinjau dari wilayah kotamadya lapangan dari pertanian, rumahtangga,
gatra biota, fisik dan Yogyakarta c. Analisis industri PT Sari Husada,
kimia akibat buangan b. Mengetahui pengaruh laboratorium Pabrik Tekstil dan Kebun
limbah industri dibagian kualitas air sungai terhadap air sungai binatang Gembira Loka.
wilayah kotamadya Gajahwong terhadap dan ikan tombro e. Meningkatnya kepekaan ikan
Yogyakarta kehidupan ikan Tombro Tombro sebanding dengan
c. Mengetahui perkembangan penurunan kualitas air sungai
kualitas air sungai f. Air sungai Gajahwong telah
Gajahwong dalam mampu melakukan swa
perjalanan alirannya dan pentakhiran terutama di
kecenderungan swa daerah hilir (Kotagede)
pentakhiran (swa
pentahiran).
6. Djoko Pengaruh limbah rumah- a. Melaksanakan kajian a. Analisis a. Air sungai Pepe tercemar
Ismono tangga dan pengaruh limbah cair perbandingan berat akibat pasokan limbah
(1991) penggelontoran air dari terhadap kadar BOD dan sebelum dan cair
bendung Tirtonadi DO. sesudah dilakukan b. Debit limbah berpengaruh
terhadap BOD, DO dan b.Melaksanakan kajian penggelontoran terhadap BOD dan DO. Debit
kehidupan Plankton pengaruh penggelontoran (pre –post test) yang besar menyebabkan BOD
sebagai indicator terhadap kadar BOD untuk b. Analisis tinggi dan DO rendah.
perubahan mutu air di mengetahu penurunan BOD laboratorium Penggelontoran tidak
berpengaruh terhadap BOD dan
sungai Pepe. dalam proses swa terhadap air sungai DO
pentakhiran. Pepe c. BOD dan DO berkorelasi kuat
c. Melakukan kajian perubahan
terhadap index diversitas
BOD dan DO akibat air limbah
Plankton.
terhadap kehidupan Plankton.
11
BAB II
Djabu, dkk, (1991) menyebutkan bahwa sumber air limbah pada dasarnya
berasal dari dometik, industri dan rembesan. Sumber domestik meliputi air limbah
menjadi point source dan non point source. Point source adalah tempat-tempat yang
menjadi sumber pencemaran yang diketahui secara pasti, misalnya : limbah yang
berasal dari pabrik kimia. Non point source adalah pencemaran yang berasal dari
area luas seperti pertanian, perdesaan atau permukiman yang tidak tersedian sistem
Apabila tidak tersedia data tentang kapasitas air limbah domestik, maka untuk
keperluan perencanaan diperkirakan 150 - 380 liter / orang / hari (Metcalf dan
Eddy, 1979). Menurut Tchobanoglus (Linsley dan Franzini, 1995) volume air limbah
juga dapat diperkirakan dari total penggunaan air bersih yakni berkisar antara 60 –
75% volume air bersih. Jumlah pemakaian air bersih minimal untuk keperluan rumah
Komposisi air limbah domestik terdiri dari air dan partikel padat terlarut berupa
zat organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan zat anorganik. 70% partikel terlarut
12
merupakan bahan organik. Menurut Djabu, dkk. (1991) zat organik adalah suatu
senyawa yang tersusun dari senyawa atau kombinasi Carbon (C), Hidrogen (H), dan
Oksigen (O2), bersama dengan Nitrogen (N). Dalam beberapa kasus elemen yang
penting seperti Sulfur, Phospor, Iron dan lain - lain juga ada. Zat organik dalam air
atau air limbah dalam bentuk Protein, Karbohidrat, serta minyak dan lemak. Zat lain
yang ada dalam air limbah dapat berupa garam, mineral renik, pestisida dan logam.
Menurut Linsley dan Franzini (1995) keberadaan bahan organik dalam air
oksigen untuk oksidasi kimiawi), TOC (Total Organik Carbon = Karbon organik
dkk (1984) mengatakan bahwa kehadiran zat organik dalam air dapat ditentukan
zat organik (BOD) dalam air sesuai dengan kelas dan peruntukkan badan air adalah
13
Tabel 2.1.
1. Kelas satu 2
2. Kelas dua 3
3. Kelas tiga 6
4. Kelas empat 12
1. Kelas satu, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air
minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
14
3. Kelas tiga, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat, adalah air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
Air limbah baik yang diolah ataupun yang tidak diolah apabila masuk ke badan
air akan mengalami tekanan oleh ekosistem air. Tekanan tersebut berupa
pengurangan atau penghilangan bahan pencemar oleh berbagai proses yang ada
dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik, penyebaran dan
Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang memilki
pencemar yang dibawa air limbah. Kemampuan air untuk membersihkan diri secara
alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai swa pentahiran
(Imholf, 1979).
terjadi pada badan air melalui dua cara yakni aerob dan anaerob. Cara aerob
oksigen dalam jumlah yang cukup, sedangkan anaerob tidak memerlukan oksigen.
15
Kedua cara ini akan memperoleh hasil yang sama yaitu air menjadi bersih.
Perbedaannya, pada kondisi aerob air kelihatan bersih, tidak berbau, hewan dan
tumbuhan air dapat hidup normal. Sebaliknya pada kondisi anaerob air tampak hitam
dan kotor, berbau busuk, hewan dan tumbuhan air mati. Hal seperti ini dapat
menimbulkan gangguan, dan juga proses anaerob lebih lambat dibanding aerob. Pada
umumnya proses anaerob yang terjadi pada badan air tidak dapat diterima oleh
Bahan pencemar organik dalam air atau air limbah akan diuraikan oleh
jasadrenik menjadi Karbon Dioksida (CO2), Ammonia (NH3) dan sel baru. Bakteri
juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan hidupnya. Pada reaksi
membutuhkan 1,42 unit O2 (Benefild L.D. & Randal CW, 1980). Dalam
16
Sintesis / respirasi :
bakteri
113 160
1 1,42
Plankton yang ada pada badan air diyakini sangat berperan dalam proses swa
menaikkan kadar oksigen terlarut dalam air. Kapasitas swa pentahiran akan
Keseimbangan oksigen terlarut juga akan berpengaruh pada biota dalam air.
Organisme tingkat tinggi pada badan air selalu membutuhkan terpeliharanya kondisi
aerob. Ikan dan biota air lainnya hanya dapat hidup pada kondisi kadar oksigen
terlarut (DO = disolved oxygen) dalam air di atas 3-4 mg/lt. Agar kadar DO dapat
terus terjaga di atas 3-4 mg/lt. seringkali diperlukan aerasi buatan, terutama ketika
kondisi sangat darurat. Asupan oksigen terlarut secara alamiah terjadi melalui
fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air, aerasi dalam bentuk riak gelombang dan
terjunan dari aliran air dan masuknya gas oksigen dari udara (Phelps dalam Imholf
(1979)).
17
Kadar DO juga ditentukan oleh adanya berbagai proses yang ada dalam badan
air, meliputi : (a). oksidasi biologis dari pembusukan material karbon organik oleh
bakteri dan fungi, (b). oksidasi ammonia dan nitrogen organik menjadi nitrat
(nitrifikasi), (c). sediment oxygen demand, dimana oksigen dibutuhkan oleh lapisan
atas endapan organik didasar badan air, (d). respirasi algae dan tumbuhan air pada
malam hari, (e). oksidasi bahan kimia yang ada dalam air, (f). cuaca yang akan
Menurut Linsley dan Franzini (1995) tingkat kelarutan oksigen dalam air
terlarut dalam air akan selalu menuju ke keseimbangan sesuai temperatur udara,
sebagaimana diperlihatkan pada tabel 2.2. Kadar oksigen terlarut yang ditunjukkan
pada tabel tersebut bukan merupakan batas relatif, tetapi merupakan kadar maksimal
Tabel 2.2.
18
Kecepatan aliran air yang tinggi dapat menimbulkan olakan atau percikan
air apabila menabrak benda yang tegar. Kecepatan aliran air yang tinggi juga dapat
menimbulkan pusaran air yang kuat apabila menjumpai belokan saluran. Olakan air,
percikan air dan pusaran air yang kuat akan menimbulkan efek aerasi. Aerasi pada
meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air sungai. Sebagai gambaran
tentang pengaruh kecepatan air terhadah tingkat penyerapan oksigen oleh air,
antara kecepatan air dengan tingkat penyerapan oksigen dalam air. Hasil
Tabel 2.3.
hubungan Kecepatan Aliran Air dengan penyerapan oksigen oleh air.
2. Sungai Kuningan
Yoyakarta 0,60 15 0,7
3. Selokan Mataram
417
Yogyakarta 0,60 1,1
(7 jam)
Sumber : Prodjopangarso (1985)
19
C. Debit aliran air sungai dan DAS
Black (Asdak, 2002) mengemukakan bahwa pola aliran sungai antara lain
annular dan radial. Pola aliran ini mempengaruhi besarnya debit puncak dan lama
Lebih lanjut Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut literature geologi pola
aliran (sistem) sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent dan
intermittent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok air
tanah. Sistem aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasal dari air tanah. Sungai
yang masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan mengalir sepanjang tahun
(perennial). Sistem aliran sungai intermittent adalah aliran sungai yang terjadi hanya
pada saat segera setelah adanya hujan besar. Aliran jenis intermittent umumnya
urutan DAS (daerah aliran sungai) berdasarkan percabangan sungai. Setiap aliran
sungai yang tidak bercabang disebut sub-DAS orde pertama. Sungai yang berada di
bagian hilirnya yang hanya menerima aliran sungai sub-DAS orde pertama disebut
sub-DAS orde kedua, demikian seterusnya. Klasifikasi seperti ini mengacu pada
Sistem klasifikasi Horton dimulai dari orde pertama, orde kedua dan seterusnya
sesuai dengan bertambahnya jumlah cabang aliran sungai. Semakin besar orde dari
sub-DAS menunjukkan semakin luas wilayah DAS dan semakin banyak percabangan
20
aliran sungai yang dimiliki. Sub-DAS orde pertama yang berada di hulu sungai
memiliki fungsi perlindungan seluruh bagian DAS, terutama dari segi perlindungan
Karakteristik DAS dan iklim akan berpengaruh pada hidrograf aliran. Sherman
(Asdak, 2004) adalah orang yang memperkenalkan metode UHG (unit hidrograf)
untuk memperkirakan dan menelusuri debit aliran sungai yang dikaitkan dengan
Debit aliran sungai merupakan informasi yang amat penting untuk pengelolaan
Pengukuran debit dengan cara ini, biasanya dilakukan untuk keadaan aliran
sungai lambat. Teknik pengukuran debit dengan cara ini dipandang paling akurat,
terutama untuk debit aliran lambat seperti pada mataair. Cara pengukurannya
dengan menentukan waktu yang diperlukan untuk mengisi kontainer yang telah
Q = V.t. (2.1.)
Dimana :
Q = debit (m3/dt)
t = waktu (dt)
21
2. Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan luas penampang
melintang.
Pengukuran kecepatan aliran biasanya dengan bantuan alat ukur current meter
yang paling sederhana adalah dengan metode apung (float methode). Caranya
sungai untuk jarak tertentu, kemudian dicatat waktu yang diperlukan untuk
Vpermk = L / t (2.2.)
Dimana :
Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang baik, maka jarak antara dua titik
detik. Pemilihan tempat pengukuran sebaiknya pada bagian sungai yang relatif
lurus.
22
3. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan pewarna yang dialirkan dalam
aliran sungai.
sering digunakan untuk jenis sungai yang memiliki aliran airnya tidak beraturan
radioaktif yang digunakan harus memenuhi syarat mudah larut dalam aliran air
sungai, bersifat stabil, mudah dikenali pada konsentrasi rendah, tidak meracuni
biota air dan tidak memberi dampak negatif yang permanen serta harganya relatif
murah / ekonomis.
4. Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir dan
flume.
Pengukuran debit dengan cara ini biasanya digunakan untuk tujuan jangka
panjang, yaitu dengan pembuatan bangunan pengukur debit (flume atau weir)
Diantara beberapa teknik pengukuran debit yang ada, pengukuran debit aliran
yang sederhana adalah menggunakan rumus kontinyuitas. Debit aliran (Q) dipertoleh
dengan mengalikan kecepatan aliran (V) dengan luas penampang melintang (A),
23
Q = A.V. (2.3)
Dimana :
Q = debit (m3/dt)
Kecepatan aliran (V) yang diperoleh biasanya bukan kecepatan aliran rata-rata,
tetapi kecepatan aliran maksimum dalam sungai, maka kecepatan yang mendekati
dimaksud adalah 0,75 untuk keadaan dasar sungai yang kasar atau 0,85 untuk
keadaan dasar sungai yang lebih halus. Menurut Hewlett (Asdak, 2004) debit
sesungguhnya adalah 20-25% dari debit hasil perhitungan dengan persamaan (2.3).
Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperkirakan debit empiris
menggunakan persamaan empiris dari manning. Cara ini dikenal sebagai slope-area
dan n = angka koefisien kekasaran Manning. Apabila data kecepatan (V) di atas di
24
ketahui dan luas penampang melintang juga diketahui, maka selanjutnya dapat
Daya tampung beban pencemaran organik pada badan air (sungai) pada
dasarnya adalah kemampuan maksimum dari badan air tersebut untuk dapat
melakukan swa pentahiran. Swa pentahiran yang dimaksud adalah dalam kondisi
tersedia oksigen (aerob), sehingga bergantung pada kondisi dan proses yang
menentukan kadar oksigen terlarut dalam air. Daya tampung beban pencemaran
organik pada badan air juga dipengaruhi oleh fluktuasi volume atau debit air yang
Daya tampung beban pencemaran diartikan sebagai kemampuan air pada suatu
sumber air atau badan air untuk menerima beban pencemaran tanpa mengakibatkan
air tersebut menjadi cemar (KEPMENLH No. 110 Tahun 2003). Menurut Djabu,
dkk. (1991) beban pencemaran (L) adalah konsentrasi bahan pencemar (C) dikalikan
kapasitas aliran air (Q) yang mengandung bahan pencemar. Artinya adalah jumlah
berat pencemar dalam satuan waktu tertentu, misalnya kg/hari. Beban pencemaran
L=CQ (2.5)
25
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan daya tampung beban
pencemaran pada badan air adalah metode Neraca Massa dan metode Streeter-
Phelps. Kedua metode ini bahkan telah direkomendasikan oleh Menteri Negara
2003, sebagaimana ditunjukan pada lampiran III. Penentuan daya tampung beban
pencemaran pada badan air yang bersifat real time telah banyak dikembangkan, salah
2005).
Menurut Linsley dan Franzini (1995) metode neraca massa dalam bentuk
oksigen, BOD dan karakteristik lain dari limbah yang bersangkutan. Persamaannya
CwQw + CrQr
C = ----------------- (2.6)
Qw + Qr
Dimana :
26
Menurut versi KEPMENLH No.110 Tahun 2003, persamaan (2.6.) di atas
(2.7)
dimana
E. LANDASAN TEORI
Atas dasar kajian pustaka seperti diuraikan di atas, maka secara sederhana
landasan teori dalam rangka penelitian estimasi daya tampung beban pencemaran
organik pada sungai Pelus di kabupaten Banyumas adalah seperti ditunjukkan pada
27
Q HUJAN Debit Air sungai
Kadar ZO
Reoksigenasi AKTIVITAS
Swa pentahiran MANUSIA
KONDISI
DAS
DTBPO EVALUASI
Keterangan :
ZO = zat organik
Q hujan = curah hujan
DAS = daerah aliran sungai
DTBPO = daya tampung beban pencemaran organik
GAMBAR : 2.2.
Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian
28
F. HYPOTESIS
DAS Pelus meliputi kegiatan rumah tangga, industri, hotel, pertanian, peternakan
2. Kualitas air sungai Pelus ditinjau dari kandungan zat organik (BOD) dan oksigen
terlarut (DO) masih di bawah ambang baku mutu air badan air kelas dua.
3. Terdapat perbedaan daya tampung beban pencemaran organik pada setiap titik
pengamatan.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan September dan Oktober 2005. Bulan September ini
dipilih dengan asumsi dapat mewakili musim kemarau dan bulan Oktober dapat
mewakili musim hujan. Lokasi penelitian adalah Sungai Pelus di Banyumas, Jawa
Tengah. Wilayah yang diteliti terbatas pada daerah aliran sungai (DAS) Pelus yang
merupakan sub DAS sungai Serayu, seperti ditunjukan pada gambar lampiran I.
1. Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian ini meliputi : Zat organik / BOD, Oksigen terlarut,
Debit air sungai, Curah hujan, Data umum (letak geografis, kondisi sosial ekonomi,
berikut :
30
DT = (Cs – Cr) Q
Dimana :
DT = Daya tampung (mg/dt)
Cs = Konsentrasi parameter pencemar sesuai bakumutu (mg/lt)
Cr = Konsentrasi parameter pencemar nyata (mg/lt)
Q = Debit air (lt/dt)
b. Zat organik adalah bahan pencemar dari bahan organik biodegradable yang
selisih jumlah oksigen terlarut segera dengan oksigen terlarut setelah inkubasi 5
d. Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air, diukur
e. Suhu adalah temperatur air dan / atau udara yang diukur menggunakan
f. Debit air sungai adalah volume air tiap satuan waktu yang mengalir pada titik
kecepatan aliran air. Debit air sungai yang dimaksud meliputi debit air sungai
senyatanya ketika dilakukan pengukuran dan debit air sungai estimasi pada saat
g. Kecepatan aliran air adalah gerakan air dari satu titik ke titik hilir yang lain
h. Luas penampang basah adalah luas area yang terkena air yang digambarkan
31
i. Profil sungai adalah gambar potongan melintang vertikal dan horisontal yang
j. Data umum adalah data pendukung yang meliputi data sosial ekonomi,
k. Data sosial ekonomi adalah data tentang keadaan jumlah penduduk, agama,
pendidikan, pekerjaan dan PDRB per kapita yang disajikan dalam bentuk data
kualitatif.
m. DAS yang dimaksud dalam penelitian ini daerah aliran sungai Pelus yaitu
daerah yang dibatasi oleh igir yang memungkinkan semua aliran air permukaan
C. Cara penelitian
laboratorium berupa data profil / penampang sungai, lebar dan kedalaman sungai
setiap titik pengamatan, hasil pengukuran debit, pemeriksaan DO, BOD, pH,
32
2. Jenis dan sumber data skunder
Pelus, data hasil monitoring pencemaran sungai Pelus, data jumlah limbah yang
sepanjang aliran sungai Pelus, data kepadatan penduduk sepanjang aliran sungai
d. Subdin Sungai Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi (Disairtamben)
a. Pengukuran debit air sungai dan pengambilan sampel dilakukan pada setiap titik
debit air sungai. Lokasi titik dimaksud adalah bagian hilir masuknya anak sungai,
daerah akhir permukiman dan bagian hilir dari outlet / effluent IPAL. Titik
33
pengambilan sampel dipilih dengan metode purposive sampling, dengan
sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian.
b. Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan pada waktu aktivitas puncak pagi
hari antara pukul 07.00 – 09.00. Cara pengambilan sampel mengacu pada teknik
pengambilan sampel sesuai kedalaman dan lebar sungai. Sampel yang diambil
pada lokasi tertentu dari kedalaman berbeda digabung menjadi satu, kemudian
a. Bahan penelitian
34
7) aquades sebagai larutan pencuci peralatan dan pengencer reagent
b. Alat penelitian
Alat yang digunakan meliputi alat untuk pemeriksaan BOD dan DO serta
13) incubator Memmert untuk menyimpan contoh air dalam pemeriksaan BOD
14) jam sebagai alat pengukur waktu inkubasi, lama waktu aerasi.
35
16) pH-meter digital portable untuk mengukur kemasaman air
22) komputer P3, 64 MB, CD-RW, USB, HD 20 G untuk keperluan pengetikan, olah
23) peta RBI Kabupaten Banyumas untuk acuan pembuatan peta lokasi penelitian
26) Alat tulis dan lain-lain untuk keperluan mencatat / dokumentasi data.
5. Analisis
36
b. Untuk mengetahui adanya penurunan daya tampung beban pencemaran organik di
beban pencemaran organik di sungai Pelus pada berbagai lokasi pengukuran. Uji
37
BAB IV
Pada sungai Pelus inilah penulis melakukan penelitian. Agar diperoleh gambaran
tentang daerah penelitian, berikut ini diuraikan tentang kondisi umum kabupaten
Banyumas. Data dan informasi yang disajikan sebagian besar bersumber dari buku
1. Letak Geografi
Kebumen.
38
Luas wilayah Kabupaten Banyumas adalah 132.759 Ha atau 4,08% luas
kecamatan.
2. Geologi
Utara, zona Serayu dan pegunungan Serayu Selatan. Pegunungan Serayu Utara
sebagian besar tertutup oleh produk endapan Gunung Slamet. Zona Pegunungan
Serayu Selatan ditempati oleh pegunungan lipatan yang membujur dari barat laut
sampai tenggara (dari kecamatan Lumbir sampai sekitar kecamatan Kebasen dan
dipisahkan oleh suatu zona depresi longitudinal memanjang dari barat ke timur, yang
disebut sebagai zona Serayu. Zona Serayu Selatan pada umumnya ditempati batuan
hasil endapan turbidit laut dalam. Zona Serayu ditempati oleh endapan aluvium
gunungapi.
Kabupaten Banyumas tidak begitu luas dan mempunyai kisaran umur Miosen Bawah.
39
Formasi Halang menempati areal yang sangat luas sepanjang pegunungan
lipatan, mulai dari daerah Lumbir hingga Banyumas. Terdiri dari perselingan
batupasir, natualempung, napal dan tufa, dengan sisipan breksi dipengaruhi oleh
turbid dan pelengseran bawah laut. Mempunyai kisaran umur Miosen Tengah hingga
Miosen Atas.
Formasi Kumbang terdiri dari breksi, lava andesit, tufa dan di beberapa
tempat terdapat breksi batuapung dan tufa pasiran. Berumur Miosen Atas dan
Formasi Tapak terdiri dari batupasir berbutir kasar berwarna kehijauan dan
konglomerat. Di beberapa tempat terdapat breksi. Di bagian atas terdiri dari batupasir
menjadi tiga kelompok satuan batuan, meliputi : (a) hasil gunungapi tak teruraikan,
terdiri dari breksi, lava, lapili dan tufa dari gunungapi dan pusat-pusat erupsi. Jenis
batuan ini berada di wilayah barat kabu paten Banyumas yang membentuk dataran
dan bukit-bukit tinggi yang tertutup oleh tanah berwarna abu-abu tua sampai coklat
kemerahan dan kuning. (b) Hasil Gunungapi berupa lava, aliran lava andesit
berongga-rongga kecil berasal dari Gunung Slamet terutama berada di wilayah utara
yakni di lereng timur Gunung Slamet. (c) Aluvium gunungapi terdiri dari bahan-
40
Formasi Terobosan merupakan batuan yang terdiri dari diorit berbutir sedang
sampai kasar dan basalt yang berupa retas atau retas lempeng. Batuan Endapan
Permukaan, terdiri dari lempung, lanau, pasir dan kerikil. Menempati aliran
dataran meliputi areal cukup luas dan berada di zona Serayu memanjang barat-timur
mulai dari Ajibarang, Purwokerto, Banyumas sampai Sokaraja. Kondisi yang sama
sebelah selatan kota Banyumas. Daerah ini mempunyai susut lereng 2%-40% bahkan
ada yang lebih besar. Satuan morfologi gunungapi penyebarannya di sisi utara, yakni
pada zona pegunungan Serayu Utara dimana puncak Gunung Slamet berada. Puncak
Gunung Slamet berada pada ketinggian 3.428 m dpl. Kemiringan tanah pada
pegunungan Serayu Utara ini sekitar 2%-40% bahkan ada yang lebih. Sungai-sungai
yang berada di wilayah ini berpola radial dengan sungai Serayu sebagai sungai utama.
3. Klimatologi.
bulanan adalah 26,3o, dengan suhu minimum 24,4o dan suhu maksimum 30,9o.
41
Berdasarkan data curah hujan, kabupaten Banyumas mempunyai beberapa tipe iklim
(menurut Schmid dan Ferguson), yaitu : Tipe A dengan nilai Q antara 0%-14.3%,
Tipe B dengan nilai Q antara 14,3%-33,3%, dan Tipe C dengan nilai Q antara 33,3%-
60%.
Iklim dengan Tipe A meliputi wilayah di sekitar puncak Gunung Slamet dan
Kranggan, dengan curah hujan tinggi antara 4.000 –5.000 mm. Tipe B meliputi
wilayah kaki Gunung Slamet dan sebagian besar lembah Serayu dan sebagian
wilayah kecamatan Tambak. Tipe C berada di wilayah sebagian lembah Serayu dan
Oldeman (Lakitan, 2002) curah hujan yang terendah adalah di Palu, Sulawesi yang
hanya sebesar 530 mm/th dan tertinggi di Kranggan, Jawa Tengah sebesar 6.830
mm/th. Akan tetapi Hardjawinata (Lakitan, 2002) menyebutkan bahwa curah hujan
Bandingkan dengan Bogor yang dikenal sebagai kota hujan, ternyata curah hujan
Iklim tropis basah (Wet tropical climate) terkadang juga disebut sebagai iklim
hutan hujan tropis (Tropical rain forest climate). Menurut Lakitan (2002) zona
iklim tropis basah akan menerima hujan hampir sepanjang tahun, tetapi bulan kering
bisa saja terjadi. Total curah hujan tahunan pada zona iklim ini lebih dari 1.500 mm.
Bulan kering dimaksud adalah apabila curah hujan bulanan kurang dari 60 mm (Mohr
42
dalam Wisnubroto, 2004) atau curah hujan bulanan kurang dari 100 mm (Oldeman
4. Kondisi tanah
Banyumas ada 7 jenis dengan 17 macam tanah, sebagaimana ditunjukkan pada tabel
4.1.
(2000)) dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu : tekstur tanah halus mencakup
wilayah seluas 57.498 Ha (43,31%), tekstur tanah sedang seluas 73.495 Ha (55,36%)
jelek seperti di sub DAS Kali Gatel kecamatan Tambak, kecamatan Sumpiuh dan
dataran sungai Serayu. Di wilayah ini sering terjadi genangan air terutama pada
43
Tabel 4.1.
44
Tabel 4.2.
jiwa dengan laji pertumbuhan penduduk sebesar 0,83%. Rasio jenis kelamin 99,44
yang berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat sekitar 99 penduduk laki-laki.
7.500 jiwa/km2.
pendidikan penduduk kabupaten Banyumas, secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.3.
45
Tabel 4.3.
Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Banyumas
Tahun 2001
DAS, panjang sungai utama, percabangan sungai (WRB), faktor bentuk DAS,
Kemiringan DAS dan sinusitas. Karakteristik DAS Pelus disajikan pada tabel 4.4.
Tabel 4.4.
46
DAS sungai pelus meliputi sub DAS K. Pelus hulu, K. Lirip, K.Belot, K.
Pangkon dan K. Bener. Sub DAS K. Pelus hulu dan K. Lirip, oleh pemerintah
desa-desa yang wilayahnya ditetapkan sebagai daerah resapan air ditunjukkan pada
tabel 4.5.
Tabel 4.5.
Nama desa yang wilayahnya
ditetapkan sebagai daerah resapan air
Regosol kelabu dan Litosol. Pada sub DAS K. Pelus hulu, K. Belot hulu dan K.
Lirip hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol coklat kekuningan. Jenis tanah pada
sub DAS K. Bener adalah Kompleks Podsolik merah kekuningan, Podsolik kuning
dan Regosol. DAS sungai pelus umumnya memiliki kemiringan lahan antara 2 –
47
15%, pada sub DAS K. Pelus hulu, K. Belot hulu dan K. Lirip hulu kemiringan lahan
dimana industri menyatu dengan permukinan. Jenis industri atau perusahaan yang
ada di DAS Pelus meliputi hotel/restoran, peternakan, pabrik dan industri rumah
Tabel 4.7.
Pemanfaatan lahan pada DAS Sungai Pelus
Tahun 2005
No Sub DAS Pemanfaatan lahan
Permukiman Kebun/Hutan Persawahan Industri
(Ha) (Ha) (Ha) (bh)
1 K. Pelus 782,97 1.472,65 2.045,46 819
2 K. Belot 94,39 32.747,51 272,21 286
3 K. Bener 221,74 435,23 315,94 267
4 K. Lirip 182,01 1.628,73 362,08 199
5 K. Pangkon 276,12 599,11 878,56 8
Sumber : Diolah dari Kecamatan Baturraden, Kembaran, Sokaraja, Kalibagor,
Kembaran, Purwokerto Utara, Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas
Dalam Angka Tahun 2004.
48
Tabel 4.6.
Jenis sumber pencemar industri pada DAS Pelus tahun 2005
segala aktivitasnya akan menghasilkan buangan, yang pada akhirnya akan sampai
pada aliran air sungai Pelus. Buangan atau limbah yang masuk pada aliran air sungai
lahan dimaksud dapat menimbulkan pencemaran pada air sungai Pelus, maka hal ini
bahwa sumber pencemar pada suatu DAS meliputi kebun / hutan, areal / kegiatan
Jumlah penduduk yang berada di wilayah DAS Pelus adalah 166.771 jiwa.
Jumlah penduduk pada wilayah masing-masing sub DAS disajikan pada tabel 4.8.
49
bahkan ada daerah yang memiliki kepadatan penduduk > 2.500 jiwa/km2 seperti di
Sokaraja. Laju pertumbuhan penduduk yang berada di wilayah DAS Pelus antara
Tabel 4.8.
Jumlah Penduduk pada setiap sub DAS Pelus tahun 2004
1 K. Pelus 92.990
2 K. Pangkon 25.760
3 K. Bener 20.929
4 K. Lirip 15.818
5 K. Belot 11.274
Jumlah 166.771
Sumber : BPS Kab. Banyumas, 2004
(82%) bahwa air sungai yang kotor sebagai sumber kuman penyakit. Terdapat
BAB / MCK dan sebanyak 23% penduduk yang menggunakan sungai sebagai tempat
Debit air dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kecepatan aliran,
kedalaman dan lebar saluran. Kecepatan aliran air dipengaruhi oleh lebar sungai ,
50
kemiringan dasar sungai, kekasaran dasar sungai, volume air dan kedalaman air.
Volume air dipengaruhi oleh curah hujan, luas lahan dan penggunaan lahan (kondisi
DAS).
aliran air. Menurut Metcalf & Eddy (1991) kecepatan aliran air yang memiliki daya
angkut dan daya gerus terhadap material kasar adalah 1 - 3 m/dt, sedangkan
kecepatan aliran air yang mampu mencegah terjadinya endapan organik adalah 0,3
m/dt. Aliran air dengan kecepatan > 0,75 m/dt diketahui mampu mencegah
terjadinya endapan material sedang seperti pasir. Kecepatan air sungai Pelus di
beberapa lokasi pengukuran berkisar 0,07 mt/dt – 0,89 mt/dt seperti ditunjukkan
pada lampiran VII, utamanya di Pekunden dan Rempoah maka dapat dikatakan
bahwa aliran air sungai Pelus tersebut mampu membawa material sedang seperti pasir
Kecepatan aliran air yang tinggi dapat menimbulkan olakan atau percikan air
apabila menabrak benda yang tegar. Kecepatan aliran air yang tinggi juga dapat
menimbulkan pusaran air yang kuat apabila menjumpai belokan saluran. Olakan air,
percikan air dan pusaran air yang kuat akan menimbulkan efek aerasi. Aerasi pada
meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) dalam air sungai. Sebagai gambaran
tentang pengaruh kecepatan air terhadah tingkat penyerapan oksigen oleh air,
51
Prodjopangarso (1985) pernah melakukan penelitian percobaan tentang korelasi
antara kecepatan air dengan tingkat penyerapan oksigen dalam air, dimana pada
Sepanjang aliran sungai Pelus terdapat alat pengukuran debit yang bersifat
permanen yang berada di desa Sokawera, desa Pandak kecamatan Baturraden, desa
air sungai Pelus untuk keperluan perikanan darat dan pertanian. Pengukuran debit
sungai Pelus pada tempat-tempat dimaksud dilakukan oleh Dinas Sumber Daya Air,
dilakukan secara kontinyu setiap dua pekan. Hasil pengukuran debit rata-rata dari
tahun 2000 – 2005 disajikan pada Lampiran VII. Data debit air sungai Pelus pada
bendung Kertadirja dan Sokawera tidak tersedia secara lengkap, sehingga yang
Pengukuran debit air secara langsung juga dilakukan pada beberapa lokasi
sepanjang Sungai Pelus dan anak sungainya.. Anak sungai yang ikut memasok air
pada sungai Pelus, diantaranya adalah K. Lirip, K. Belot, K. Pangkon dan K. Bener.
Drainase alami juga turut memasok air pada sungai Pelus terutama pada musim
52
Tabel 4.9.
Kapasitas Aliran (Debit) Air Anak Sungai dan Sungai Pelus
(Bulan September dan Oktober 2005)
drainase alami tidak terdapat aliran air. Kondisi ini dapat dimaklumi karena pada
pada bulan Agustus 2005 telah terjadi hujan di wilayah DAS dan sub DAS sungai
Pelus, namun belum cukup untuk dapat menimbulkan aliran air pada drainase alami
dimaksud. Sebagian besar air hujan masih diserap oleh tanah yang kering.
Drainase alami yang kering tidak terdapat aliran air, dipastikan akan
mengurangi pasokan terhadap debit air sungai Pelus. Disamping itu pula semua jenis
53
pencemar yang ada di sepanjang drainase tersebut tidak akan terangkut masuk
kedalam air sungai Pelus. Kondisi yang berbeda terjadi pada bulan Oktober 2005.
Drainase alami sudah menampakkan adanya aliran air, bahkan terdapat bekas
adanya banjir. Hal ini juga dapat dilihat dari adanya peningkatan debit sungai Pelus
pada semua lokasi pengukuran. Aliran air pada drainase alami dapat membawa dan
melarutkan bahan pencemar yang ada. Pada keadaan debit aliran yang besar dapat
pencemar dalam air sungai menjadi lebih kecil. Apabila kecepatan alirannya juga
tinggi akan dapat memberikan efek "mengangkut dan mencuci" semua pencemar
yang ada di DAS Pelus. Semua pencemar akan terangkut dialirkan menuju muara
sungai Pelus di sungai Serayu, dan akhir ke laut. Konsentrasi pencemar di sungai
pengukuran dan waktu pengukuran, terlihat adanya perbedaan. Perbedaan debit air
sungai ini di pengaruhi oleh beberapa faktor. WMO (1999) mengemukakan bahwa
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap volume air sungai (debit) antara lain
adalah tingkat lengas tanah sebelum hujan, permukaan air tanah sebelum hujan, laju
infiltrasi dan keberadaan bangunan kedap air atau penggunaan lahan. Laju infiltrasi
dipengaruhi oleh adanya vegetasi, tekstur tanah, lengas tanah, struktur tanah dan
Jika mengacu pada kondisi debit air sungai Pelus (Lampiran VII) maka
dapat disebutkan bahwa sungai Pelus memiliki air yang mengalir sepanjang tahun
54
dengan fluktuasi debit yang bervariasi. Fluktuasi debit air sungai dapat menjadi
petunjuk tentang jenis atau tipe sungai. Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut
literatur geologi pola aliran (sistem) sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran
influent, effluent dan intermittent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai
yang memasok air tanah. Sistem aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasal
dari air tanah. Sungai yang masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan
diatas, maka sungai Pelus merupakan sungai perrenial dengan sistem aliran effluent.
Sementara itu, drainase alami yang mengalir ke sungai Pelus termasuk sistem aliran
intermitten.
tentu akan mengurangi debit air pada bagian hilir sungai Pelus. Hal ini terbukti dari
hasil pengukuran debit sungai Pelus. Penurunan debit terlihat nyata sekali pada lokasi
pengukuran pada bulan September 2005 di Pekunden (1,5 m3/dt), bila dibandingkan
Demikian halnya hasil pengukuran pada bulan Oktober 2005. Ini terjadi karena
aliran sungai antara Mersi dengan Pekunden terdapat bendung Kertadirja. Bendung
Kalibagor.
Berbeda dengan hasil pengukuran debit air pada lokasi lainnya yang tidak
ada penurunan, meski terdapat bendungan. Keadaan seperti ini terjadi karena
setelah ada bendungan, terdapat pasokan air dari anak sungai Pelus dan masukan dari
55
aliran air tanah daerah sepanjang aliran sungai. Kemungkinan lain adalah debit air
sungai Pelus yang dialirkan melalui bendung-bendung tersebut lebih kecil dibanding
dengan pasokan air dari anak sungai Pelus dan aliran air tanah.
Debit air sungai Pelus yang bervariasi pada berbagai lokasi pengukuran
akan berpengaruh terhadap jumlah bahan pencemar yang dapat diterima. Secara
umum dapat dinyatakan bahwa semakin besar debit air maka akan semakin besar
kemampuannya menerima bahan pencemar. Debit air yang besar akan memiliki
2005 yakni pada waktu dilakukan pengukuran debit air sungai dan pengambilan
sampel air cuaca pada umumnya cerah. Tetapi apabila melihat catatan data curah
hujan (tabel 4.10) di stasiun penakar curah hujan Baturraden diketahui diketahui
bahwa pada tanggal tersebut dan hari-hari sebelumnya telah terjadi hujan. Jumlah
hujan pada bulan September 2005 adalah 538 mm. Laporan resmi yang dikeluarkan
September 2005 (Lampiran : IV), sehari sebelum dilakukan pengambilan sampel air
dan pengukuran debit telah terjadi hujan yang lebih besar. Kondisi demikian perlu
56
mendapat perhatian, berkaitan dengan kemungkinan berpengaruhnya terhadap debit
air sungai dan kandungan bahan pencemar pada air sungai tersebut.
jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama hujan berlangsung. Intensitas curah
hujan, umumnya dibedadan menjadi lima tingkatan, yaitu sangat deras, deras,
sedang, lemah dan sangat lemah. Kriteria intensitas curah hujan dimaksud dapat
Tabel 4.10.
Curah hujan (mm) pada DAS Pelus Kabupaten Banyumas
(Bulan September dan Oktober 2005)
Tabel 4.11.
57
Apabila mengacu pada kriteria seperti pada tabel 4.11 di atas, maka hujan
yang terjadi sebelum pengukuran debit air dan pengambilan sampel air pada bulan
September 2005 yakni antara 2 – 141 mm/hari tergolong lemah sampai sedang.
Hujan yang lemah diperkirakan tidak akan mampu menyebabkan terjadinya run off
pada kondisi tanah yang kering. Air hujan semua akan terserap oleh tanah yang
kering sampai dengan kondisi kebasahan tanah menjadi jenuh. Pada kondisi
kebasahan tanah yang jenuh akan menyebabkan terjadi run off, yang selanjutnya
keadaan kering. Hal ini sesuai dengan kondisi di Indonesia pada umumnya. Di
dalam musim kemarau. Musim kemarau di Indonesia berlangsung pada setiap bulan
waktu. Pada bulan Januari – April laju evaporasi masih rendah, puncaknya terjadi
pada bulan Juni – September. Temperatur udara akan berpengaruh terhadap tekanan
parsial gas di udara. Tekanan parsial gas di udara akan berpengaruh terhadap daya
penetrasi masing-masing gas penyusun udara untuk masuk atau larut dalam air.
Oksigen (O2) merupakan gas penyusun udara yang dinamis dapat melarut ke dalam
air dan lepas ke udara sesuai dengan kondisi temperatur lingkungan setempat.
58
Dengan demikian temperatur udara akan berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen
secara rutin, sehingga data tentang kualitas air sungai Pelus belum tersedia di kantor
tentang kualitas air sungai Pelus masih sangat terbatas, salah satunya adalah dari uji
Baku mutu badan air kelas 2 mensyaratkan bahwa temperatur air normal
Temperatur air sungai Pelus bila dibandingkan dengan temperatur lingkungan sekitar
sungai Pelus seperti disajikan pada Lampiran VII, dapat dinyatakan masih dalam
batas normal. Apabila terjadi deviasi temperatur air sebesar 3oC, dikawatirkan akan
memiliki efek yang dapat membahayakan. Deviasi 3oC dari temperatur alami
ternyata sudah dapat membunuh telur ikan salmon. Pengamatan di sungai Columbia,
59
ikan-ikan akan berhenti berreproduksi bila temperaturnya naik menjadi diatas 24oC.
Daphnia jenis zooplanton yang umum terdapat dalam air tawar, akan berhenti
dari udara (lihat kembali tabel 2.2.). Temperatur air juga dapat berpengaruh terhadap
kecepatan reaksi-reaksi kimia yang berlangsung dalam air. Pada umumnya, semakin
tinggi temperatur akan semakin cepat proses berlangsungnya reaksi kimia. Dengan
tersebut.
Merriman (Benton & Werner, 1974) mengatakan temperatur air juga sangat
berpengaruh pada kehidupan biota air. Beberapa diataranya bahkan sangat sensitif
terhadap perubahan temperatur air. Kelompok biota yang sangat sensitif terhadap
perubahan temperatur adalah biota yang memiliki toleransi rendah. Pada umumnya
adalah biota dari kelompok hewan dan tumbuhan tingkat rendah yakni fitoplankton
dan zooplankton. Jika melihat kondisi temperatur air sungai Pelus seperti tersebut
pada Lampiran VII, maka dapat dinyatakan bahwa aktifitas biota pada sungai Pelus
Kehidupan biota air juga dapat dipengaruhi oleh tingkat kecerahan air.
perairan yang diamati secara visual. Alat ukur yang digunakan adalah secchi disk.
60
kekeruhan (ketidak transparanan) disebabkan oleh plankton. Tingkat kecerahan
selalu berbanding lurus dengan kekeruhan air. Hasil pengukuran kecerahan akan
terganggu apabila keadaan cuaca tidak cerah. Pada saat penelitian berlangsung
kondisi cuaca cerah dan dilakukan pada kisaran pukul 09.00. Hal ini sesuai dengan
Kecerahan air sungai Pelus pada umumnya masih baik (lihat lampiran VII),
tetapi pada bagian hilir sungai Pelus terutama di daerah Pajerukan setelah mendapat
pasokan air dari K.Bener, tingkat kecerahannya menurun. Hal ini sangat masuk akal
karena pasokan dari air K. Bener tampak lebih keruh dan berbau tanah. Dapat diduga
air dari K. Bener mengandung suspensi tanah yang tinggi, sebagai akibat adanya erosi
dibagian hulu. Seperti disebutkan pada uraian terdahulu, bahwa jenis tanah sub DAS
K. Bener adalah Kompleks Podsolik merah kekuningan. Hal inilah yang mungkin
menjadi penyebab warna air sungai K. Bener menjadi kuning keruh. Sayang sekali
dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap kadar TSS, sehingga tidak
Tabel 4.12.
Konsentrasi zat organik (BOD) dan oksigen terlarut (DO)
air Sungai Pelus (bulan Agustus 2005)
No Lokasi sampel Konsentrasi Konsentrasi DO
BOD (mg/l) (mg/l)
1. Rempoah 1,1 5,9
2. Arcawinangun 1,7 5,4
3. Pekunden 2,9 5,4
Sumber : Uji Petik Tim Yasamas 2005
61
Tabel 4.13.
Konsentrasi zat organik (BOD) air anak Sungai dan Sungai Pelus
(bulan September dan Oktober 2005)
Menurut Linsley dan Franzini (1995) keberadaan bahan organik dalam air
Konsentrasi BOD pada air sungai Pelus pada setiap lokasi pengukuran semuanya
masih dibawah baku mutu air badan air kelas II. Fakta ini menunjukan bahwa
kondisi air sungai Pelus belum tercemar. Hasil uji petik tim Yasamas pada bulan
Agustus 2005 (tabel 4.12) menujukan hal yang relatif sama kecuali untuk lokasi di
62
pencemaran ? padahal di DAS sungai Pelus banyak dijumpai sumber pencemar
Limbah yang masuk sungai Pelus akan mengalami pengenceran dan degradasi.
Imholf (1979) mengemukakan bahwa air limbah baik yang diolah ataupun yang tidak
diolah apabila masuk ke badan air akan mengalami tekanan oleh ekosistem air.
berbagai proses yang ada dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik,
penyebaran dan pengendapan, reaksi kimia, adsorbsi, Penguraian secara biologis dan
stabilisasi. Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang
kontaminan dan pencemar yang dibawa air limbah. Kemampuan air untuk
membersihkan diri secara alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal
terjadi pada badan air melalui dua cara yakni aerob dan anaerob. Cara aerob
oksigen dalam jumlah yang cukup, sedangkan anaerob tidak memerlukan oksigen.
Kedua cara ini akan memperoleh hasil yang sama yaitu air menjadi bersih.
Perbedaannya, pada kondisi aerob air kelihatan bersih, tidak berbau, hewan dan
tumbuhan air dapat hidup normal. Sebaliknya pada kondisi anaerob air tampak hitam
63
dan kotor, berbau busuk, hewan dan tumbuhan air mati. Hal seperti ini dapat
menimbulkan gangguan, dan juga proses anaerob lebih lambat dibanding aerob. Pada
umumnya proses anaerob yang terjadi pada badan air tidak dapat diterima oleh
septik tank, IPAL, kolam atau sejenisnya. Pada reservoar tesebut limbah akan
mengalami degradasi. Setelah limbah terdegradasi dalam reservoar limbah baru akan
masuk kedalam sungai. Marsono (1998) menyatakan bahwa unit pengolah limbah
mampu menurunkan bahan pencemar organik antara 30 – 85%. Septik tank dengan
waktu detensi 2 hari akan mampu menurunkan pencemar organik (BOD) sekitar 43 –
47%. IPAL dengan sistem activated sludge convensional akan mampu menurunkan
sebesar 30 – 40%.
drainase alam yang panjang, sehingga dalam perjalannya limbah akan mengalami
pengenceran dan degradasi. Proses terjadi pengenceran dan degradasi adalah seperti
Pelus karena tidak ada drainase yang menuju ke sungai Pelus atau drainase kering.
Pada keadaan seperti ini limbah akan tertahan dan terdegradasi, meresap kedalam
64
tanah. Di dalam tanah akan terjadi proses degradasi dan filtrasi. Marsono (1998)
menyatakan bahwa apabila air limbah meresap kedalam tanah, maka akan terjadi
penyerapan BOD, SS, bakteri, virus, logam berat dan senyawa organik lainnya. Pada
kondisi tanah yang kering, limbah cair akan meresap kedalam tanah. Limbah padat
atau semi padat akan tertahan di permukaan tanah, selanjutnya akan mengalami
degradasi secara fisik-kimia dan biologis. Degradasi secara fisik misalnya adalah
proses pemecahan, penghancuran dan pelapukan yang diakibatkan oleh energi sinar
berupa bakteri, kapang, kamir dan actynomecetes. Degradasi secara biologis juga
kecilnya bahan pencemar organik yang terdapat dalam air sungai Pelus. Padahal pada
DAS Pelus terdapat banyak sumber pecemar baik yang berupa point source maupun
Khusus untuk kondisi bulan Agustus 2005 pada lokasi Pekunden, yang
menunjukkan kadar BOD mendekati ambang batas baku mutu badan air kelas II,
dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara umum bulan Agustus dikenal sebagai bulan
kering. Fakta menunjukkan bahwa pada bulan Agustus 2005 debit air sungai Pelus
dalam kondisi minimal yaitu 773 lt/dt (lihat Lampiran VII). Bila dibandingkan
dengan kondisi debit air maksimal, maka pada kondisi debit air yang minimal dan
pencemar akan lebih besar. Kondisi demikian yang terjadi di lokasi Pekunden.
65
Pekunden merupakan lokasi di hilir sungai Pelus setelah melewati Sokaraja. Di
Sokaraja banyak terdapat industri rumah tangga yang menghasilkan limbah. Industri
rumah tangga tersebut diantaranya yang paling dominan adalah batik tulis, perajin
Salah satu indikator bahwa pada air sungai Pelus dapat berlangsung proses
degrasi aerobik adalah dari hasil pemeriksaan konsentrasi oksigen terlarut (DO)
yang menunjukkan > 3 mg/lt sebagaimanan disajikan pada tabel 4.14. Sesuai baku
mutu badan air kelas II (PP 82 Tahun 2001) konsentrasi oksigen terlarut (DO)
minimum adalah 4 mg/lt. Hal ini berarti kondisi DO pada air sungai Pelus pada
Tabel 4.14.
Konsentrasi oksigen terlarut (DO) air anak Sungai dan Sungai Pelus
(bulan September dan Oktober 2005)
66
Menurut Linsley dan Franzini (1995) keseimbangan oksigen terlarut juga
akan berpengaruh pada biota dalam air. Organisme tingkat tinggi pada badan air
selalu membutuhkan terpeliharanya kondisi aerob. Ikan dan biota air lainnya hanya
dapat hidup pada kondisi kadar oksigen terlarut (DO = dissolved oxygen) dalam air
di atas 3-4 mg/lt. Konsentrasi DO pada air sungai Pelus menunjukkan bahwa
Konsentrasi DO pada air sungai Pelus yang masih memenuhi syarat ini,
didukung oleh kenyataan bahwa konsentrasi BOD pada air sungai Pelus juga masih
dibawah baku mutu badan air kelas II. Air sungai Pelus belum tercemar, meskipun
telah kemasukan bahan pencemar dari berbagai sumber. Apabila dikaitkan dengan
kondisi temperatur air sungai Pelus (22 - 26oC), maka konsentrasi oksigen terlarut
maksimal bisa mencapai 7,7 - 8,4 mg/lt. Melalui analogi seperti ini maka dapat
dinyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut pada sungai Pelus mestinya akan
oksigen terlarut yang mestinya 7,7 – 8,4 mg/lt, ternyata hanya berkisar 4,4 – 5,9
mg/lt. Ini menjadi bukti bahwa sebagian oksigen terlarut yang ada pada air sungai
Pelus telah digunakan untuk proses oksidasi kimia atau oksidasi biologis terhadap
kualitasnya ternyata masih mampu dibersihkan oleh air sungai Pelus, melalui
mekanisme swa pentahiran (self purification). Secara tegas dapat dinyatakan bahwa
air sungai Pelus belum tercemar. Pernyataan bahwa air sungai Pelus belum tercemar
67
juga didukung oleh data hasil pemeriksaan Chlorida (Cl) air sungai Pelus pada
berbagai lokasi yang masih jauh dibawah 600 mg/lt, sebagaimana ditunjukkan pada
Lampiran VII.
temperatur, kecerahan, warna dan bau air sungai Pelus di beberapa lokasi
pengukuran, maka dapat dinyatakan bahwa kondisi air sungai Pelus secara umum
belum tercemar. Kesimpulan ini hanya didasarkan pada pengamatan yang relatif
sangat singkat, yakni hanya pada bulan September 2005 dan Oktober 2005. Pada
bulan tersebut diharapkan telah dapat mewakili kondisi paling kritis pada sungai
Pelus, karena debit air dalam kondisi minimal dan jumlah aliran bahan pencemar
tetap.
Sedikitnya variabel dan parameter yang diamati, juga akan memberikan kesimpulan
yang tidak komperhensif. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan yang terus
menerus mengingat kondisi air sungai dan asupan bahan pencemar selalu dinamis.
Parameter yang diamati juga perlu disesuaikan dengan kondisi dan jenis limbah yang
masuk pada air sungai Pelus. Perlu pengkajian lebih mendalam terhadap perilaku
bahan pencemar yang ada di DAS Pelus. Seperti diketahui, di DAS Pelus banyak
terdapat sumber pencemar, tetapi ternyata air sungai Pelus tidak tercemar.
bahwa 35% penduduk DAS Pelus menyatakan merasakan manfaat nyata dari adanya
sungai Pelus. Agar sungai Pelus tetap dapat memberikan manfaat yang optimal, perlu
68
dijaga dan dilestarikan agar tetap tidak tercemar. Aksi nyata yang perlu dilakukan
kebersihan air sungai Pelus. Anjuran agar tidak melakukan BAB / MCK di sungai
Pelus, tidak membuang limbah dan sampah ke sungai Pelus, perlu terus di
massa seperti yang telah dijelaskan dalam tinjaun pustaka. Besarnya daya tampung
Tahun 2001. Hasil perhitungan beban pencemaran organik dan daya tampung beban
pencemaran organik pada sungai Pelus disajikan dalam tabel 4.15 s/d tabel 4.24.
69
Tabel 4.15.
Perbandingan dan selisih konsentrasi bahan organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
Bulan September 2005
Konsentrasi BOD
Nama Sungai / Titik Kode (mg/l)
No
anak sungai Pengukuran Lokasi Baku
Nyata Selisih
mutu
1 K. Pelus Kemutug PL 1 1.1 3 1.90
2 K.Lirip Kemutug LR.1 1.7 3 1.30
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 1.1 3 1.90
4 K. Pelus Rempoah PL 2 1.1 3 1.90
5 K. Belot Rempoah BL.1 1.5 3 1.50
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 1.1 3 1.90
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.7 3 1.30
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 1.5 3 1.50
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.7 3 1.30
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.5 3 1.50
11 K. Pelus Pekunden PL 5 1.9 3 1.10
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 1.7 3 1.30
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 1.5 3 1.50
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 1.7 3 1.30
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 4.9 dan tabel 4.13. Cara perhitungan pada
lampran VII.
70
Tabel 4.16.
Perbandingan dan selisih konsentrasi bahan organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
Bulan oktober 2005
Konsentrasi BOD
Nama Sungai / Titik Kode (mg/l)
No
anak sungai Pengukuran Lokasi Baku
Nyata Selisih
mutu
1 K. Pelus Kemutug PL 1 1.4 3 1.60
2 K.Lirip Kemutug LR.1 1.8 3 1.20
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 1.4 3 1.60
4 K. Pelus Rempoah PL 2 1.2 3 1.80
5 K. Belot Rempoah BL.1 1.5 3 1.50
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 1.2 3 1.80
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.6 3 1.40
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 1.3 3 1.70
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.6 3 1.40
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.5 3 1.50
11 K. Pelus Pekunden PL 5 2.3 3 0.70
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 2 3 1.00
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 2.1 3 0.90
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 2 3 0.80
Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 4.9 dan tabel 4.13. Cara perhitungan pada
lampran VII.
71
Sumber : Tabel 4.15 dan Tabel 4.16.
Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan
Gambar : 4.1.
Profil memanjang konsentrasi BOD pada sungai Pelus
di berbagai lokasi pengukuran (bulan September dan Oktober 2005)
72
Beban pencemaran pada hakikatnya adalah jumlah massa pencemar dalam
badan air pada periode tertentu. Menurut Djabu, dkk. (1991) beban pencemaran (L)
adalah konsentrasi bahan pencemar (C) dikalikan kapasitas aliran air (Q) yang
mengandung bahan pencemar. Artinya adalah jumlah berat pencemar dalam satuan
waktu tertentu, misalnya kg/hari. Sesuai Pendapat Djabu, dkk (1991) di atas, maka
beban pencemaran yang diijinkan masuk kedalam badan air sungai Pelus dapat
dihitung, yakni mengalikan konsentrasi BOD baku mutu dengan debit air nyata pada
sungai Pelus. Hasilnya disajikan pada tabel 4.17 dan tabel 4.18.
Tabel 4.17.
Beban pencemaran organik (BOD) yang diijinkan
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan September 2005
Nama Sungai / Kode B. pencmr
No
anak sungai Titik Pengukuran Lokasi (kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 231,3
2 K.Lirip Kemutug LR.1 144,6
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 375,9
4 K. Pelus Rempoah PL 2 522,2
5 K. Belot Rempoah BL.1 7,8
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 529,9
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.213,1
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 7,1
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.220,7
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.284,8
11 K. Pelus Pekunden PL 5 388,8
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 359,2
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 256,1
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 615,4
Sumber : Perhitungan dari Tabel 4.9 dan Tabel 4.15
Catatan :
Beban pencemaran dihitung berdasarkan baku mutu badan air klas II (PP No 82
Tahun 2001)
73
Tabel 4.18.
Beban pencemaran organik (BOD) yang diijinkan
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan Oktober 2005
Nama Sungai / Kode B. pencmr
No Titik Pengukuran
anak sungai Lokasi (kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 460,9
2 K.Lirip Kemutug LR.1 153,9
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 614,9
4 K. Pelus Rempoah PL 2 634,4
5 K. Belot Rempoah BL.1 20,7
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 655,1
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 1.145,7
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 12,6
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 1.158,3
10 K. Pelus Mersi PL 4 1.399,7
11 K. Pelus Pekunden PL 5 663,5
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 752,7
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 375,6
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 1.128,3
Sumber : Perhitungan dari Tabel 4.9 dan Tabel 4.16
Catatan :
Beban pencemaran dihitung berdasarkan baku mutu badan air klas II (PP No 82
Tahun 2001)
Cara yang sama dapat dilakukan untuk menghitung beban pencemaran pada
sungai Pelus, yakni konsentrasi BOD nyata dikalikan debit air sungai Pelus, maka
akan diketahui besarnya beban pencemaran organik yang ada pada sungai Pelus.
74
Tabel 4.19.
Total beban pencemaran organik (BOD) yang ada
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
Bulan September 2005
75
Tabel 4.20.
Total beban pencemaran organik (BOD) yang ada
pada sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan Oktober 2005
76
Sumber : Tabel 4.17, 4.18, 4.19 dan 4.20.
Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan
Gambar : 4.2.
Profil memanjang beban pencemaran pada sungai Pelus
di berbagai lokasi Pengukuran (Bulan September dan Oktober 2005)
lokasi terlihat bervariasi mulai dari hulu (Kemutug) sampai hilir (Pajerukan / Petir.
Menurut Soemarwoto (1997) untuk daerah hulu sungai yang tidak terdapat pelayanan
riool besarnya beban pencemaran organik (BOD) adalah 6,9 kg/orang/tahun atau 16
77
Qasim (1985), mengemukakan bahwa untuk kepentingan dan disain
instalasi pengolahan limbah maka jumlah bahan organik (BOD) yang dibuang setiap
beban pencemaran per orang per hari, selanjutnya dapat digunakan untuk penentuan
didefinisikan sebagai jumlah massa total limbah dibagi dengan jumlah massa limbah
Qasim (1985), maka jumlah total bahan organik yang dibuang oleh penduduk di
DAS Pelus adalah = 94,5 gr/org/hr x 166.771 jiwa, yaitu sebesar 15.759.859,5 gr/hr
. Jumlah bahan organik sebesar itu, ternyata yang masuk ke dalam sungai Pelus
maksimal sebesar 764.717,76 gr/hr. Hal itu berarti bahwa bahan organik sebesar
ditahan dan didegradasi oleh lingkungan DAS Pelus. Mekanisme penahanan dan
degradasi bahan organik oleh DAS Pelus adalah seperti diuraikan pada pembahasan
terdahulu.
buangan bahan organik dari beragam aktivitas industri yang terdapat di DAS Pelus.
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa di DAS Pelus terdapat aktivitas
78
pertanian di area persawahan dan industri rumah tangga. Apabila jumlah pencemar
organik dari aktivitas pemanfaatan lahan tersebut ikut diperhitungkan, niscaya jumlah
bahan organik yang berhasil di tahan dan didegradasi oleh lingkungan DAS Pelus,
selisih (nyata dengan baku mutu) dikalikan debit air sungai Pelus, maka akan
diketahui besarnya daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus.
Hasil perhitungan daya tampung beban pencemaran organik (BOD) pada sungai
Pelus di berbagai lokasi pengukuran disajikan pada tabel 4.21 dan tabel 4.22.
Tabel 4.21.
Daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan September 2005
79
Tabel 4.22.
Daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
pada Sungai Pelus di berbagai lokasi
bulan Oktober 2005
Daya Tampung Beban
No Nama Sungai / Titik Kode Lokasi
Pencemaran Organik
anak sungai Pengukuran
(kg/hr)
1 K. Pelus Kemutug PL 1 245,8
2 K.Lirip Kemutug LR.1 61,5
3 K. Pelus Kemutug PL 1-gab 307,4
4 K. Pelus Rempoah PL 2 380,6
5 K. Belot Rempoah BL.1 10,3
6 K. Pelus Rempoah PL 2-gab 391,0
7 K. Pelus Karangwangkal PL 3 534,7
8 K. Pangkon Karangwangkal PK.1 7,1
9 K. Pelus Karangwangkal PL 3-gab 541,8
10 K. Pelus Mersi PL 4 699,9
11 K. Pelus Pekunden PL 5 154,8
12 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 250,9
13 K. Bener Pajerukan/Petir BN 1 112,7
14 K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6-gab 363,6
Sumber : Hasil perhitungan Tabel 4.9 dengan Tabel 4.16.
Daya tampung beban pencemaran organik pada sungai pelus dapat diestimasi
menggunakan data debit air maksimal dan minimal dan konsentrasi BOD maksimal
yang berhasil dicatat selama kurun waktu tertentu. Estimasi daya tampung beban
limbah yang dapat dibuang ke sungai Pelus. Diketahuinya jumlah limbah organik
yang boleh dibuang ke sungai Pelus, selanjutnya dapat dihitung jumlah dan jenis
80
Estimasi daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus
didasarkan pada data debit air tahun 2000 – 2005 (Lampiran VII) dan data
konsentrasi BOD (tabel 4.12 dan tabel 4.13). Hasil perhitungan estimasi dimaksud
Tabel 4.23.
Estimasi daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
Sungai Pelus Banyumas Jawa Tengah.
Pelus diatas, dapat dipilih melalui pendekatan “Rasional-ideal (RI)” atau “Rasional-
minimal, maka kondisi lingkungan akan rusak. Oleh karena itu perlu pendekatan
sungai Pelus.
81
Pendekatan yang koprehensip tidak hanya didasarkan pada data-data yang
biotik dan sosial. Perhitungan daya tampung beban pencemaran yang didasarkan
Daya tampung beban pencemaran bersifat dinamis, dapat berubah setiap saat pada
dan perhitungan secara real time perlu diupayakan. Metode Streeter – Phelps dapat
organik pada setiap lokasi pengukuran. Untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas
tentang perbedaan daya tampung beban pencemaran organik di sungai pelus pada
gambar 4.3.
82
Tabel 4.24.
Perbedaan daya tampung beban pencemaran organik
pada berbagai lokasi pengukuran di sungai Pelus
(dari hulu sampai hilir)
Bila diperhatikan tabel 4.24, tampak bahwa pada aliran air sungai Pelus tidak
terdapat penurunan daya tampung beban pencemaran organik, yang terjadi malah
sebaliknya yakni terjadi kenaikan daya tampung beban pencemaran pada bagian hilir.
Penurunan daya tampung hanya terjadi di lokasi Pekunden (Sokaraja). Hal ini terjadi
karena pada ruas antara Mersi dan Pekunden terdapat bendung Kertadirja yang
mengalihkan sebagian air sungai Serayu untuk irigasi, akibatnya debit air sungai
83
Sumber : Tabel 4.23 dan 4.24.
Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan
Gambar : 4.3.
Profil memanjang daya tampung beban pencemaran organik (BOD)
pada sungai Pelus di berbagai lokasi Pengukuran
Pada gambar 4.3. terlihat jelas bahwa terdapat adanya perbedaan daya
84
merupakan konsekwensi logis dari adanya perbedaan pasokan air dan bahan
pencemar organik lingkungan sekitar pada lokasi tersebut, serta adanya akumulasi
bahan pencemar pada daerah hilirnya. Pada lokasi 8 (Pekunden) terjadi penurunan
daya tampung secara tajam akibat adanya bendung Kertadirja yang mengalihkan
sebagian air sungai Pelus untuk keperluan irigasi. Debit air sungai Pelus menjadi
daya tampung di Pekunden juga akibat adanya pasokan bahan pencemar yang relativ
juga dikuatkan oleh hasil uji statistik Oneway Anova dan Kruskal-Wallis (Chi
pada P=0,05 dengan DF=9, diketahui bahwa X2 tabel = 16,9. Karena X2 hitung >
X2 tabel maka diartikan bahwa terdapat perbedaan daya tampung beban pencemaran
Perbedaan signikan dapat dilihat dari hasil uji Chi Square (Kruskal-Wallis)
pada item Asymp. sig. Apabila pada item ini hasilnya <0,05 maka berarti ada
sig. = 0,038 (< 0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan.
Dikemukakan juga oleh Santoso (2001) bahwa pemilihan penggunaan uji Kruskal-
Wallis karena berdasarkan uji homogenitas varian dari Oneway Anova menunjukkan
85
nilai <0,05, yang berarti varian tidak homogen. Karena varian tidak homogen maka
hasil uji Oneway Anova menjadi tidak peka untuk diteruskan / ditafsirkan. Meskipun
demikian, berdasarkan hasil perhitungan uji Post Hoc (Oneway Anova) secara rinci
dapat dilihat perbedaan signifikan daya tampung beban pencemaran organik antar
86
Sumber : Tabel 4.19, 4.20, 4.23 dan 4.24.
Keterangan Lokasi :
1. Kemutug 6. Karangwangkal
2. Kemutug 7. Mersi
3. Rempoah 8. Pekunden
4. Rempoah 9. Pajerukan
5. Karangwangkal 10. Pajerukan
Gambar : 4.4.
Profil memanjang beban pencemaran dan daya tampung
beban pencemaran organik (BOD) pada sungai Pelus
di berbagai lokasi Pengukuran
87
BAB V
A. KESIMPULAN
hutan dan industri. Di DAS Pelus terdapat 85 hotel, 3 buah pabrik, 22 buah
peternakan dan 834 buah industri rumah tangga. Hotel berada di daerah hulu di
kawasan wisata Baturraden, sedangkan keberadaan pabrik dan industri rumah tangga
2. Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD = Biological
angka baku mutu badan air kelas II PP 82 Tahun 2001. Konsentrasi BOD di setiap
titik pengamatan daerah hulu yakni Kemutug 1,1 – 1,4 mg/lt dan Rempoah 1,1 –
1,2 mg/lt, daerah tengah yakni Karangwangkal 1,7 – 1,6 mg/lt dan Mersi 1,5 – 1,5
mg/lt, daerah hilir yakni Pekunden 1,9 – 2,3 mg/lt dan Pejerukan 1,7 – 2,0 mg/lt.
Secara umum konsentrasi BOD berkisar 1,1-1,9 mg/l pada bulan September 2005
dan 1,2 – 2,3 mg/l pada bulan Oktober 2005. Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari
konsentrasi oksigen terlarut (DO = Disolved Oxygen) masih memenuhi syarat yakni
berkisar 4,9 – 5,9 mg/l pada bulan September 2005 dan 4,3 – 5,4 mg/l pada bulan
Oktober 2005.
88
Tidak terjadi pencemaran bahan organik di air sungai Pelus, diduga karena sebagian
besar bahan pencemar tidak masuk ke air sungai Pelus akibat tidak adanya aliran air
pada drainase (kering) atau bahan pencemar telah terdegradasi sebelum masuk ke air
sungai Pelus.
3. Daya tampung beban pencemaran organik pada setiap titik pengamatan di sungai Pelus
masing-masing adalah di daerah hulu yakni Kemutug 146,5 – 307,4 kg/hr dan
Rempoah 330,7 – 391 kg/hr, di daerah tengah yaitu Karangwangkal 525,7 – 541,8
kg/hr dan Mersi 642,4 –699,8 kg/hr, di daerah hilir yakni Pekunden 142,6 – 154,8
kg/hr dan Pajerukan 155,7 – 363,6 kg/hr. Estimasi daya tampung beban pencemaran
organik sungai Pelus minimal adalah 5,46 kg/hr dan maksimal 1.425,73 kg/hr.
4. Penurunan daya tampung beban pencemaran organik terjadi pada lokasi Pekunden
(Sokaraja) akibat pasokan bahan pencemar yang relatif lebih tinggi dan debit air
sungai menurun. Akan tetapi .secara umum menunjukan tidak terjadi penurunan daya
tampung beban pencemaran organik antara tiap titik pengamatan di sungai Pelus, dari
hulu ke hilir. Uji Kruskal-Wallis (X2 = 17,743 dan Asymp sig = 0,038) menunjukkan
adanya perbedaan signifikan daya tampung beban pencemaran organik pada berbagai
lokasi pengukuran.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan kajian atau penelitian lebih mendalam dan menyeluruh meliputi
jumlah sampel dan lokasi pengambilan yang lebih banyak, parameter pencemar yang
diperiksa lebih beragam, tidak hanya BOD saja. Dengan demikian dapat menentukan
kemampuan daya tampung beban pencemaran air sungai Pelus pada setiap waktu
89
dan lokasi, secara tepat dan akurat. Untuk keperluan ini dipandang lebih cocok
2. Perlu terus dilakukan upaya untuk memelihara air sungai Pelus agar tetap tidak
tercemar dan tetap mampu melakukan swa pentahiran (self purification), sehingga
air sungai Pelus tetap memenuhi syarat kualitas sesuai baku mutu air badan air kelas
II PP 82 Tahun 2001. Air sungai Pelus diharapkan tetap memiliki daya tampung
90
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun
2003 Tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran
Pada Sumber Air, Kantor MenLH R.I.
Avieni, Nini, 1999, Pengendalian Kualitas Limbah Cair di PT. Sari Husada
Dalam Hubungannya Dengan ISO 14001, Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Benton, AH & Werner, WE, 1974, Field Biology and Ecology, 3rd edition,
MCGraw Hill Book Company, New York.
91
Benefild L.D. & Randal CW, 1980, Biological Process & Wastewater
Treatment, New York, John Willy.
Irianto, K., dan Waluyo, K., 2004, Gizi Dan Pola Hidup Sehat, Bandung : CV
Yrama Widya.
Ismono, Djoko, 1991, Pengaruh Limbah Rumah Tangga Dan Penggelontoran Air
Dari Bendung Tirtonadi Terhadap BOD, DO Dan Kehidupan Plankton
Sebagai Indicator Perubahan Mutu Air Di Sungai Pepe, Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Linsley, RK dan Franzini, JB. 1995. Teknik Sumber Daya Air. Jilid 2 edisi III,
terjemahan Djoko Sasongko. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Mantra, IB, 2004, Filsafat Penelitian Dan Metode Penelitian Social, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar Offset.
Marsono, BD, 1998, Teknok Pengolahan Air Limbah Secara Biologis, Media
Informasi Teknik Lingkungan (MINAT) ITS, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya.
Metcalf & Eddy, 1991, Wastewater Engineering, Treatment, Disposal, Reuse. 3rd
edition, Mc Graw Hill Book co, New York.
Metcalf dan Eddy, 1979, Waste Water Engineering Treatment Disposal Reuse,
New York : Mc Graw Hill.
Nurhilal, Utomo, B., Rudiyanto, H., 2002, Survey Perilaku dan Persepsi
Masyarakat Terhadap Sungai di Kabupaten Banyumas, Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan Depkes RI, Jakarta.
Oglesby, RT., Carison, CA., McCann, JA., 1972, River Ecology and Man,
Academic Press, New York.
92
Parsons, J., 2005, evaluation of QUAL2E, www.epa.gov /qual2e.pdf
Qasim, SR, 1985, Waste Water Treatment Plant, Planning, Design And Operation
, CBS College Publishing, New York.
Sanropie, D., Sumini, Margono, Sugiharto, Purwanto, S., Ristanto, B., 1984,
Penyediaan Air Bersih, Jakarta : Pusdiknakes.
93
RINGKASAN
A. Pendahuluan
Semua sistem drainase alami dan buatan pada akhirnya akan mengalir
menuju sungai. Sungai akan menjadi tempat pembuangan limbah cair dari
sungai Pelus. Di DAS (Daerah Aliran Sungai) Pelus terdapat banyak aktivitas
pencemaran sungai. Dalam 10 tahun terakhir, daerah yang dilewati sungai Pelus
kecamatan Baturraden berdiri hotel melati dan hotel berbintang. Tabel : 1.1.
juga di kecamatan lain yang dilalui sungai Pelus telah berdiri kawasan
Semuanya itu pada akhirnya menghasilkan limbah cair yang dialirkan ke sungai
94
Tabel 1
PERKEMBANGAN JUMLAH HOTEL
DI KECAMATAN BATURRADEN TAHUN 1993 – 2004
Tabel 2.
PERKEMBANGAN JUMLAH HOTEL
DI KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1999 – 2004
Sumber : Diolah dari Buku Banyumas Dalam Angka Tahun 1999 s/d 2004
(BPS Banyumas)
95
Karakteristik dari limbah domestik pada umumnya adalah kandungan
bahan organik yang tinggi. Bahan pencemar dalam limbah cair yang berasal dari
rumah tangga, permukiman dan perkotaan pada umumnya berupa >70% bahan
organik (Metcalf & Eddy, 1979). Bahan pencemar dalam limbah cair yang dapat
organik juga (Linsley, et al, 1995). Atas dasar alasan ini, maka penelitian
tentang estimasi daya tampung beban pencemaran organik pada sungai Pelus
B. Tujuan Penelitian
2. Mengkaji kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD)
C. Tinjauan Pustaka
Djabu, dkk, (1991) menyebutkan bahwa sumber air limbah pada dasarnya
berasal dari dometik, industri dan rembesan. Sumber domestik meliputi air
96
dapat dekelompokan menjadi point source dan non point source. Point source
pasti, misalnya : limbah yang berasal dari pabrik kimia. Non point source adalah
pencemaran yang berasal dari area luas seperti pertanian, perdesaan atau
Apabila tidak tersedia data tentang kapasitas air limbah domestik, maka
untuk keperluan perencanaan diperkirakan 150 - 380 liter / orang / hari (Metcalf
dan Eddy, 1979). Menurut Tchobanoglus (Linsley dan Franzini, 1995) volume air
limbah juga dapat diperkirakan dari total penggunaan air bersih yakni berkisar
antara 60 – 75% volume air bersih. Jumlah pemakaian air bersih minimal untuk
2004).
Komposisi air limbah domestik terdiri dari air dan partikel padat terlarut
berupa zat organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan zat anorganik. 70%
partikel terlarut merupakan bahan organik. Menurut Djabu, dkk. (1991) zat
organik adalah suatu senyawa yang tersusun dari senyawa atau kombinasi Carbon
(C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O2), bersama dengan Nitrogen (N). Dalam
beberapa kasus elemen yang penting seperti Sulfur, Phospor, Iron dan lain - lain
juga ada. Zat organik dalam air atau air limbah dalam bentuk Protein,
Karbohidrat, serta minyak dan lemak. Zat lain yang ada dalam air limbah dapat
Menurut Linsley dan Franzini (1995) keberadaan bahan organik dalam air
97
Kebutuhan oksigen untuk oksidasi biologis), COD (Chemical Oxygen Demand =
teoritis). Sanropie, dkk (1984) mengatakan bahwa kehadiran zat organik dalam
Permanganat).
Air limbah baik yang diolah ataupun yang tidak diolah apabila masuk ke
badan air akan mengalami tekanan oleh ekosistem air. Tekanan tersebut berupa
pengurangan atau penghilangan bahan pencemar oleh berbagai proses yang ada
dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik, penyebaran dan
Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang memilki
dan pencemar yang dibawa air limbah. Kemampuan air untuk membersihkan diri
secara alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai self
terjadi pada badan air melalui dua cara yakni aerob dan anaerob. Cara aerob
memerlukan oksigen. Kedua cara ini akan memperoleh hasil yang sama yaitu air
menjadi bersih. Perbedaannya, pada kondisi aerob air kelihatan bersih, tidak
berbau, hewan dan tumbuhan air dapat hidup normal. Sebaliknya pada kondisi
98
anaerob air tampak hitam dan kotor, berbau busuk, hewan dan tumbuhan air mati.
Hal seperti ini dapat menimbulkan gangguan, dan juga proses anaerob lebih
lambat dibanding aerob. Pada umumnya proses anaerob yang terjadi pada badan
air tidak dapat diterima oleh masyarakat, sehingga pengertian self purification
hanya digunakan untuk proses penguraian bahan pencemar dalam kondisi aerob
(Fair, 1956).
Bahan pencemar organik dalam air atau air limbah akan diuraikan oleh
jasadrenik menjadi Karbon Dioksida (CO2), Ammonia (NH3) dan sel baru.
Bakteri juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan hidupnya.
Pada reaksi respirasi berlangsung proses oksidasi dimana 1 unit biomassa yang
dioksidasi membutuhkan 1,42 unit O2 (Benefild L.D. & Randal CW, 1980).
Dalam stochiometri reaksi oksidasi dan sintesis sel adalah sebagai berikut :
Sintesis / respirasi :
bakteri
113 160
1 1,42
99
Keseimbangan oksigen terlarut juga akan berpengaruh pada biota dalam air.
kondisi aerob. Ikan dan biota air lainnya hanya dapat hidup pada kondisi kadar
oksigen terlarut (DO = disolved oxygen) dalam air di atas 3-4 mg/lt. Agar kadar
DO dapat terus terjaga di atas 3-4 mg/lt. seringkali diperlukan aerasi buatan,
terutama ketika kondisi sangat darurat. Asupan oksigen terlarut secara alamiah
terjadi melalui fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air, aerasi dalam bentuk
riak gelombang dan terjunan dari aliran air dan masuknya gas oksigen dari udara
Daya tampung beban pencemaran organik pada badan air (sungai) pada
dasarnya adalah kemampuan maksimum dari badan air tersebut untuk dapat
kondisi tersedia oksigen (aerob), sehingga bergantung pada kondisi dan proses
yang menentukan kadar oksigen terlarut dalam air. Daya tampung beban
pencemaran organik pada badan air juga dipengaruhi oleh fluktuasi volume atau
debit air yang ada dan bahan pencemar yang masuk kedalamnya.
suatu sumber air atau badan air untuk menerima beban pencemaran tanpa
mengakibatkan air tersebut menjadi cemar (KEPMENLH No. 110 Tahun 2003).
Menurut Djabu, dkk. (1991) beban pencemaran (L) adalah konsentrasi bahan
pencemar (C) dikalikan kapasitas aliran air (Q) yang mengandung bahan
pencemar. Artinya adalah jumlah berat pencemar dalam satuan waktu tertentu,
100
misalnya kg/hari. Beban pencemaran dapat ditulis dalam persamaan sebagai
berikut :
L=CQ
beban pencemaran pada badan air adalah metode Neraca Massa dan metode
No.110 Tahun 2003, sebagaimana ditunjukan pada lampiran III. Penentuan daya
tampung beban pencemaran pada badan air yang bersifat real time telah banyak
Menurut Linsley dan Franzini (1995) metode neraca massa dalam bentuk
CwQw + CrQr
C = ----------------- (2.6)
Qw + Qr
Dimana :
101
Cr = Konsentrasi dari aliran yang masuk (mg/lt),
(2.7)
dimana
D. Metode Penelitian
sampling sebanyak 10 titik lokasi pada sungai Pelus dari hulu sampai hilir.
Pengukuran kecepatan air, debit air, temperatur air, pH dan pengamatan kondisi
102
Waktu penelitian dipilih bulan September dan Oktober 2005, dimana pada
bulan tersebut dipandang merupakan bulan paling kritis dari sisi ketersediaan air
sungai Pelus.
versi 10.
85 hotel, 3 buah pabrik, 22 buah peternakan dan 834 buah industri rumah tangga.
Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari kandungan zat organik (BOD =
masih dibawah angka baku mutu badan air kelas II. Konsentrasi BOD berkisar
1,1-1,9 mg/l pada bulan September 2005 dan 1,2 – 2,3 mg/l pada bulan Oktober
2005. Kualitas air sungai Pelus, ditinjau dari konsentrasi oksigen terlarut (DO =
Disolved Oxygen) masih memenuhi syarat yakni berkisar 4,9 – 5,9 mg/l pada
bulan September 2005 dan 4,3 – 5,4 mg/l pada bulan Oktober 2005. Tidak terjadi
103
TABEL 3
KONSENTRASI ZAT ORGANIK (BOD) AIR ANAK SUNGAI
DAN SUNGAI PELUS
(BULAN SEPTEMBER DAN OKTOBER 2005)
TABEL 4
KONSENTRASI OKSIGEN TERLARUT (DO) AIR ANAK SUNGAI
DAN SUNGAI PELUS
(BULAN SEPTEMBER DAN OKTOBER 2005)
104
642,4 –699,8 kg/hr, di Pekunden 142,6 – 154,8 kg/hr dan di Pajerukan 155,7 –
363,6 kg/hr. Dengan demikian daya tampung beban pencemaran organik sungai
TABEL 5
DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN ORGANIK
PADA BERBAGAI LOKASI PENGUKURAN DI SUNGAI PELUS
(DARI HULU SAMPAI HILIR)
Pekunden (Sokaraja) akibat pasokan bahan pencemar yang relatif lebih tinggi dan
debit air sungai menurun. Akan tetapi .secara umum menunjukan tidak terjadi
penurunan daya tampung beban pencemaran organik antara tiap titik pengamatan
di sungai Pelus, dari hulu ke hilir. Uji Kruskal-Wallis (X2 = 17,743 dan Asymp
105
Lampiran I
Disain pengambilan sampel dan lokasi penelitian.
I-0
I-1
I-2
I-3
Lampiran II
Bagan lokasi pengambilan sampel
K. PELUS
LAMPIRAN : II
K. Lirip
No. LR.1
K. Belot
No. PL.2
Desa Rempoah No. BL.1
K. Pangkon
No. PL.3
Desa Karangwangkal No. PK.1
K. Bener
K.Serayu
K. Klawing
Keterangan :
= Lokasi pengukuran dan pengambilan sampel
Gambar : 1
BAGAN LOKASI PENGUKURAN DAN PENGAMBILAN SAMPEL
Lampiran III
Metode perhitungan daya tampung
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 110 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR
1
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR.
Pasal 1
Pasal 2
(1) Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber
air.
(2) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan debit minimal pada tahun yang
bersangkutan atau tahun sebelumnya.
(3) Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), digunakan metoda perhitungan yang telah
teruji secara ilmiah, yaitu :
a. Metoda Neraca Massa;
b. Metoda Streeter-Phelps.
Pasal 3
(1) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
dengan metoda neraca massa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
(2) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air limbah pada
sumber air dengan metoda Streeter-Phelps sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
II.
2
Pasal 4
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan
kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 5
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
_____________________________________________
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
3
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Neraca Massa
I. Pendahuluan
Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan
massa konstituen dihitung secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca
massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan perhitungan
Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi
Metoda neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi
terhadap kualitas air yang terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu
proyek, dan dapat juga digunakan untuk suatu segmen aliran, suatu sel pada
danau, dan samudera. Tetapi metoda neraca massa ini hanya tepat digunakan
untuk komponen-komponen yang konservatif yaitu komponen yang tidak
mengalami perubahan (tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak
hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) selama proses
pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan neraca
massa untuk komponen lain, seperti DO, BOD, dan NH3 – N, hanyalah merupakan
pendekatan saja.
4
II. Prosedur penggunaan
1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum
bercampur dengan sumber pencemar;
2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber
pencemar;
Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi
5
Keterangan :
Data analisis dan debit pada aliran 1, 2 dan 3 diberikan pada tabel berikut ini :
= 4,86 mg/L
Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara
perhitungan yang sama seperti di atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/L, 8,87 mg/L
dan 0,12 mg/L. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1 maka akan seperti
yang disajikan pada Tabel 1.2
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Streeter – Phelps
I. Pendahuluan
II. Deskripsi
Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses
pengurangan oksigen terlarut (deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam
mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses peningkatan
oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran
sungai.
dL/dt = - K’.L…………..………………………………………………………………..(2-1)
dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/L)
t : waktu (hari)
K’ : konstanta reaksi orde satu (hari-1)
Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan
sebagai BOD ultimate dan Lt adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1)
dinyatakan sebagai
8
dL/dt = - K’.L………...………………………………………………………………….(2-2)
Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah :
9
Variasi koefisiensi difusi molekular terhadap temperatur dapat ditentukan dengan
persamaan :
Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary
District of Chicago untuk berbagai macam badan air (tabel 2-1).
K2 at 200C
Water Body
(base e)a
Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai
sumbu tegak dan waktu atau jarak sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran
kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan reaerasi adalah
kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva
penurunan oksigen (oxygen sag curve).
Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik
buangan, maka konsentrasi konstituen pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah
Qr Cr + Qw Cw
Co = ....................................................................................................(2-9)
Qr + Qw
10
dengan : Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah
pencampuran, mg/L
Qr = laju alir sungai, m3/detik
Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran,
mg/L
Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/L
substitusi dV menjadi A dx dan A dx/Q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi
dD = - dC…………….……………………………………………………………… (2-15)
dt Dt
11
Substitusi L
dD + K`2D=K1Loe-k1t…………………………………………………………………..(2-17)
dt
jika pada t=0, D=Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi
K1Lo
Dt = (e-k1t – e -k12t) + Do e-k1t .........................................................................(2-18)
K12-K’
Do
D= Cs-C
Dc
Konsentrasi
Oksigen
Terlarut,
C
C
Xc
Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen
kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO terendah yang dicapai akibat beban yang
diberikan pada aliran tersebut. Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol,
maka
Dc = K` Lo e-k`tc..............................................................................................................(2-19)
K`2
12
Dengan tc = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kritik.
Lo= BOD ultimat pada aliran hulu setelah pencampuran, mg/L
1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- .................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo
Xc = tc v ..........................................................................................................................(2.21)
Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan
defisit DO yang paling rendah (kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak (posisi, xC)
kondisi kritis dengan menggunakan persamaan 2.21.
Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan.
Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan 2.18. Persamaan tersebut adalah :
K’ Do 0,418 K`2
logLa = logDall + 1+ 1- log ……………....................(2.22)
K`2-K’ Dall K’
Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu
menentukan apakah beban yang diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis
melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan persamaan
2.19 dan 2.20. Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu
menentukan beban BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak
melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini diperlukan persamaan 2.22.
Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K’ dan K`2 dan
data BOD ultimat. Penentuan K’ dapat menggunakan berbagai metoda yang
tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan metoda Thomas,
yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan
13
persamaan empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang
disajikan pada Tabel 2.1
Perlu dicatat bahwa harga K’, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan
yang banyak digunakan untuk memperhatikan fungsi temperatur adalah :
Dengan T = temperatur air, oC dan K’20, K’2 (20) menyatakan harga masing-masing
pada temperatur 20 0C.
Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD 5 20, yaitu BOD
yang ditentukan pada temperatur 20 0C selama 5 hari dengan menggunakan
persamaan berikut :
1. Tentukan laju deoksigenasi (K’) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K’
pada intinya adalah menggunakan persamaan 2.3. Kemudian diperlukan
serangkaian percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif rumitnya
penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan
Eddy untuk penentuan harga K’ tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K’
(basis logaritmit, 20 0C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari-1. Pada intinya
pengukuran K’ melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan
panjang hari pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda
Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi untuk mendapatkan nilai K’.
T, hari 2 4 6 8 10
Y,mg/L 11 18 22 24 26
(t/y)1/3 0,57 0,61 0,65 0,69 0,727
14
(t/y)1/3= (2,3 K’ La)-1/3 + (K’)-2/3(t)/(3,43 La)1/3 …..………………………………(2.26)
K’ adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La
menyatakan BOD ultimat. Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K’ dan La
dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K’ = 0,228 hari -1 dan La = 29,4 mg/L.
Berhubung nilai K’ didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20 0C,
maka nilai K’ yang diperoleh adalah data untuk temperatur yang sama.
2. Tentukan laju aerasi (K’2) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau
data pada Tabel 3.1
1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- ..................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo
Dc = K` Lo e-k`tc C
K`2
5. Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD
maksimum yang diizinkan dengan menggunakan persamaan 2.22.
Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu
sumber pencemar yang tentu (point source) :
1. Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata 115.000
m3/hari (1,33 m3/detik) dibuang ke aliran sungai yang mempunyai debit
minimum 8,5 m3/detik.
2. Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23 0C.
3. BOD520 air limbah adalah 200 mg/L, sedangkan BOD sungai adalah 2mg/L. Air
limbah tidak mengandung DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung
DO=6 mg/L sebelum bercampur dengan limbah.
4. Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K’ pada temparatur 200C
adalah 0,3 hari-1
5. Nilai K’2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 200C
adalah 0,7 hari-1.
15
Berdasarkan data-data di atas akan dihitung :
1. Harga Dc, tc dan Xc,
2. Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD520 maksimum pada air
limbah yang masih diperbolehkan masuk ke sungai tersebut.
Langkah-langkah penyesuaian :
6. Tentukan beban BOD maksimum pada air limbah bila DO baku mutu = 2 mg/L.
a. Dall = DO yang diizinkan = 8,45 – 2 = 6,45 mg/L
b. Gunakan persamaan 2.22 untuk menghitung beban BOD ultimat maksimum:
log La = log 6,45 + [1+ {0,37(0,75-0,37)}{1-(3,25)/(6,45)} 0,418 log (0,75)/(0,37)
La = 21,85 mg/L
c. Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 – e (-0,3)(5)} = 16,97 mg/L
d. Jadi BOD pada limbah yang dizinkan:
16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5)
1,33 X = 166,81 – 17 = 149,81
X = 112,6 mg/L
Jadi BOD pada limbah yang masih diizinkan = 112,6 mg/L
16
Catatan :
1. Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/L, agar
DO air sungai tidak kurang dari 2 mg/L.
2. Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber
pencemar yang tentu (point source).
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
17
Lampiran III
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air.
Metoda QUAL2E
I. Pendahuluan
II. Deskripsi
Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang
sangat komprehensif. Program ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau
dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter konstituen dengan
mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini
dapat juga digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan
menitikberatkan pada mekanisme perpindahan secara adveksi dan disperse searah
dengan arus.
18
Rearation dari Udara
K2
K4
D SOD
ORG-N I
σ4 S
K1
S
β3 CBOD
α1(F) O
L K3
NH3
σ3 V
E
β1 D
σ5 ORG-P
α5β1 O
X β4
NO2
Y
DIS-P
G
β2 α5β1 E
σ2
N
NO3
α1(1-F)
α3 µ α4ρ
α1µ α2µ
Chla
ALGAE
α1 ρ σ1 α2 ρ
Keterangan:
α1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-N/mg-A
α2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-P/mg-A
α3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-O/mg-A
α4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-O/mg-A
α5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-O/mg-N
α6 = Laju pengmabilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit , mg-O/mg-N
σ1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari
σ2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-P/ft2-hari
σ3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-N/ft2-hari
σ4 = Koefisien laju untuk pengendapan nitrogen, hari -1
σ5 = Laju pengendapan fosfor, hari-1
µ = Laju pertumbuhan alga, bergantung terhadap temperatur, hari-1
ρ = Laju respirasi alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1
19
K1 = Laju deoksigenasi BOD, pengaruh temperatur, hari-1
K2 = Laju rearsi berdasarkan dengan analogi difusi, pengaruh temperatur, day-1
K3 = Laju kehilangan BOD cara mengendap, faktor temperatur, day-1
K4 = Laju ketergantungan oksigen yang mengendap, faktor temperatur, g/ft2-hari
β1 = Koefisien laju oksidasi amonia, faktor temperatur, hari-1
β2 = Koefisen laju oksidasi nitrit, faktor temperatur, hari-1
β3 = Laju hydrolysis dari nitrogen, hari-1
β4 = Laju fosfor yang hilang, hari-1
dO K4
= K2 (O*- O)+ (α3 µ – α4 ρ)A – K1L - - α6 β1N1 – α6 β2N2 .............(3-1)
dt d
20
3. O’Connor dan Dobbins (1958) dengan karakter aliran turbulen
3.1 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik
(Dm.u)0.5
K2 20 = ………………………………………………………….(3-3)
d1..5
4800Dm0.5.So0.25
K220 = x 2.31 …………………………………………….(3-4)
d1.25
4. Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan
batasan kedalaman 0.4 – 11.0 ft dan kecepatan dari 0,1 – 5 ft/detik.
u.0.67
K2 20 = 9.4 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-5)
d1.85
u*
K2 20 = 10.8 (1 + F0.5) X 2.31 ……………………………………….(3-6)
d
u*
F= ………………………………………………………………………(3-7)
√g.d
U.n√g
u * = √d.Se.g = ………………………………………………(3-8)
1.49d1.167
21
6. Langbien dan Durun (1967)
u
K220 = 3.3 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-9)
d1.33
7. Hubungan empiris antara kecepatan dan kedalaman dengan lajur alir pada
bagian hidraulik akan dikorelasikan :
K2 = aQb …………………………………………………………………………..(3-10)
∆h
K2 20 =c = (3600 x 24) c.Se.u …………………………………………….(3-11)
tf
u2 . n2
Se = ……………………………………………………….(3-12)
(1.49)2 d4/3
Program, cara penggunaan, dan contoh penggunaan pemodelan QUAL2E dapat di-
download di internet pada website :
1. http://www.epa.gov/docs/QUAL2E WINDOWS/index.html, atau
2. http://www.gky.com/_downloads/qual2eu.htm
22
1. QUAL2E simulasi
1.1 Menulis judul dari simulasi yang akan dilakukan
1.2 Tipe simulasi yang diinginkan dengan 2 pilihan yaitu kondisi tunak dan
dinamik
1.3 Unit yang akan digunakan yaitu unit Inggris dan SI
1.4 Jumlah maksimum iterasi yang ingin dilakukan dengan batasan 30 iterasi
1.5 Jumlah aliran yang akan dibuat
2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta
2.1 Nomor aliran
2.2 Nama aliran
2.3 Titik awal sungai
2.4 Titik akhir sungai
2.5 Merupakan sumber sungai atau tidak ?
2.6 Selang sungai yang akan dimodelkan
23
8. Data konstanta reaerasi
8.1 BOD dengan data decay, settling time (1/hari)
8.2 SOD rate (g/m2-day)
8.3 Tipe persamaan reareasi dengan menggunakan persamaan yang ada (lihat
metoda penentuan laju konstanta reareasi K2)
8.4 Bila persamaan yang digunakan K2 pilihan 7 untuk persamaan K2 = e.Qf
disediakan data untuk data yang dimasukkan K2 dengan harga e serta f
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
24
Lampiran IV
Data pencatatan curah hujan saat penelitian
DATA PENGUKURAN CURAH HUJAN
Stasiun Rempoah, Baturraden.
Bulan Agustus, September dan Oktober 2005
VI - 0
VI - 1
VI - 2
Lampiran VII
Rekapitulasi perhitungan daya tampung beban pencemaran organik berikut data hasil
pemeriksaan laboratorium.
VII - 0
VII - 1
VII - 2
Daftar kecepatan aliran air anak Sungai dan Sungai Pelus
(Bulan September dan Oktober 2005)
.
Daftar Debit air K. Pelus pada Bendung Pandak Baturraden
Kabupaten Banyumas Tahun 2000 – 2005.
Th 2000 Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004 Th 2005
No Bulan
(lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt) (lt/dt)
Januari
1 4.514,00 5.494,00 7.121,50 6.489,00 3.291,50
Pebruari
2 4.007,00 3.411,00 6.684,00 7.992,00 5.601,50
Maret
3 3.906,00 4.143,00 5.782,00 7.403,00 3.633,50
April
4 3.735,00 3.483,00 4.299,50 6.250,00 3.129,00
Mei -
5 2.505,00 2.525,00 3.637,00 3.027,00
Juni -
6 1.184,00 2.724,00 1.622,00 2.571,50
Juli -
7 1.100,00 1.314,00 2.673,00 317,50
Agustus -
8 971,00 1.164,00 1.118,00 1.343,00 458,00
September
9 1.067,00 1.639,00 2.574,00 1.644,00 1.347,00 3.096,50
Oktober
10 5.159,00 6.455,00 1.143,00 2.958,00 1.598,00 3.633,50
Nopember
11 8.685,00 5.286,00 4.748,50 7.099,00 3.964,00 3.628,50
Desember -
12 4.648,00 4.002,00 7.574,00 6.934,00 4.566,00
Sumber : BPS & Disairtamben Kabupaten Banyumas (2005)
VII - 3
Daftar Debit air K. Pelus pada Bendung Arca Purwokerto Timur
Kabupaten Banyumas Tahun 2000 – 2005.
VII - 4
Daftar Temperatur air anak Sungai dan Sungai Pelus
(Bulan September dan Oktober 2005)
Daftar Kecerahan, warna dan bau air anak sungai dan sungai Pelus di beberapa lokasi
Bulan September 2005.
Daftar Kecerahan, warna dan bau air anak sungai dan sungai Pelus di beberapa lokasi
Bulan Oktober 2005
No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Kecerah Warna Bau
anak sungai Lokasi an (cm)
1. K. Pelus Kemutug PL 1 >35 Tak berwarna Tak berbau
2. K. Lirip Kemutug LR 1 >40 Tak berwarna Tak berbau
3. K. Pelus Rempoah PL 2 >60 Tak berwarna Tak berbau
4. K. Belot Rempoah BL 1 >25 Tak berwarna Tak berbau
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 >95 Tak berwarna Tak berbau
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 35 Kuning tipis Bau tanah
7. K. Pelus Mersi PL 4 100 Tak berwarna Tak berbau
8. K. Pelus Pekunden PL 5 95 Tak berwarna Tak berbau
9. K. Bener Pajerukan BN 1 15 Kuning keruh Bau tanah
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 70 Tak berwarna Tak berbau
Sumber : data primer
VII - 5
VII - 4
Daftar : Rekapitulasi Perhitungan Debit Air Sungai Bulan September 2005
No Nama Sungai / Lokasi sampel Kode Kecp. Dalam Lebar Debit
anak sungai Lokasi (m/dt) (m) (m) (m3/dt) Keterangan :
1. K. Pelus Kemutug PL 1 0,51 0.35 5 0,8925
2. K. Lirip Kemutug LR 1 0,31 Q = AV
0.2 9 0,558
3. K. Pelus Rempoah PL 2 0,79 0.51 5 2,0145 Dimana :
4. K. Belot Rempoah BL 1 0,06 0.1 5 0,03 Q = debit
5. K. Pelus Karangwangkal PL 3 0,40 0.9 13 4,68 V = kecepatan
6. K. Pangkon Karangwangkal PK 1 0,07 0.49 0.8 0,02744 A = luas penampang
7. K. Pelus Mersi PL 4 0,62 basah
0.82 9.75 4,9569
A = dalam x lebar
8. K. Pelus Pekunden PL 5 0,80 0.25 7.5 1,5
9. K. Bener Pajerukan BN 1 0,09 0.61 18 0,9882
10. K. Pelus Pajerukan/Petir PL 6 0,12 0.55 21 1,386
VII - 5
Rumus : Daya tampung = (konsentrasi baku mutu - konsentrasi nyata) x debit
VII - 6
KETERANGAN PERHITUNGAN :
C1.Q1 + C2.Q2
Cn = ----------------------------
Q1 + Q2
VII - 7
LEMBAR PENGAMATAN & PENGUKURAN
Hari /Tgl : ............................................. Jam : ………………
…...……………………………
Nama & Tanda tangan petugas
VII - 4
Lampiran VIII