1. Pendahuluan
IPAL (= Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang ada pada umumnya merupakan
gabungan dari proses pengolahan air limbah secara fisik-mekanik, kimia dan biologi.
Pengolahan air limbah secara fisik- mekanik dan kimia pada dasarnya sama dengan
pengolahan air bersih sebagaimana telah disampaikan pada kuliah terdahulu (Semester III).
Pengolahan air limbah secara biologi yang banyak dijumpai adalah proses lumpur aktif.
Proses lumpur aktif adalah merupakan salah satu bentuk pengolahan air limbah
secara biologi. Sekitar tahun 1880, telah dikenal bahwa air limbah yang diaerasi dapat
mereduksi bau dan menurunkan kadar polusi serta menghasilkan lumpur ( Veenstra S &
Polpraset C, 1995). Lumpur yang dihasilkan dirangsang agar dapat menguraikan air limbah
secara biologis. Lumpur inilah yang kemudian dikenal dengan lumpur aktif.
Fenomena lumpur yang dapat menguraikan air limbah menjadi bersih ini,
kemudian dikembangkan menjadi metode pengolahan air limbah dengan proses proses
umpur aktif. Proses lumpur aktif modern pertama kali dikembangkan di Inggris pada
tahun 1914, oleh Ardern dan Lockett (Metcalf & Eddy, 1979)
Pengolahan dengan proses lumpur aktif adalah sistem pengolahan air limbah
dengan menggunakan bakteri aerobik yang dibiakkan dalam tangki aerasi. Tujuannya adalah
untuk menurunkan karbon atau organik nitrogen. Dalam hal menurunkan organik karbon,
bakteri yang berperan adalah bakteri heterotrophic. Sumber energi berasal dari oksidasi
senyawa organik dan sumber karbon adalah dari organik karbon. Organik karbon biasanya
diukur dengan besarnya BOD dan COD. Selanjutnya BOD dan COD ini, dalam lingkup
pengolahan biologis disebut sebagai substrat.
Reaksi oksidasi dan sintesis sel adalah sebagai berikut
CHONS + O2 + Nutrien Æ CO2 + NH3 + C5H7NO2 + hasil akhir
(Zat organik) (sel baru)
Sintesis / respirasi :
bakteri
C5H7NO2 + 5O2 ---Æ 5CO2 + 2H2O + NH3 + Energi
113 160
1 1,42
Bahan organik dalam air buangan akan diuraikan oleh jasad renik /
mikroorganisme menjadi karbon dioksida, amonia dan sel baru serta hasil lain berupa
lumpur (sludge). Bakteri juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan
hidupnya. Pada reaksi respirasi terlihat bahwa ultimate BOD untuk sel sebesar 1,42 kali
konsentrasi sel. Dengan kata lain 1 unit biomassa yang dioksidasi membutuhkan 1,42 unit
O2 (Benefild L.D. & Randal CW, 1980).
Bakteri atau jasad renik yang ada dalam lumpur aktif adalah termasuk gram negatip
dari berbagai genus (Metcalf & Eddy, 1979) yaitu antara lain : Pseudomonas, Zoagloea,
Achromobacter, Flvobacterium, Nocardia, Bdellovibrio, Mycobacterium dan dua bakteri
nitrifikasi yakni Nitrosomonas dan Nitrobacter. Terdapat pula beberapa organisma
filamentous antara lain seperti Sphaerotilus, Beggiatoa, Thiothrix, Lecicathrix ,
Geotrichum, Lyngbya dan lain-lain.
Pada daerah dekat effluent terdapat beberapa jenis protozoa yang berfungsi sebagai
pembersih (polisher). Protozoa makan bakteri yang tak menggumpal dan tersebar dalam
Proses lumpur aktif intinya terdiri dari dua tangki, yakni bak aerasi dan bak
pengendap (clarifier). Pada bak aerasi terjadi penguraian zat organik secara biokimia oleh
jasad renik aerob dengan suplai oksigen yang cukup. Bak pengendap berfungsi untuk
memisahkan lumpur aktif (biomassa) yang berasal dari bak aerasi. Lumpur aktif yang
mengendap sebagian dikembalikan lagi ke bak aerasi dan sebagian yang lain di buang.
Modifikasi pada proses lumpur aktif, terutama dilakukan dengan merubah
konfigurasi sistem inlet, merubah konfigurasi sistem aerator, merubah parameter F/M,
Pada dasarnya pengawasan (dan evaluasi) terhadap proses lumpur aktif, intinya
adalah agar kinerja proses lumpur aktif tersebut dapat berjalan sesuai dengan kriteria
yang direncanakan. Dengan evaluasi ini diharapkan dapat diketahui parameter-parameter
tertentu yang tidak sesuai, untuk kemudian diadakan tindakan korektip. Garis besar
pengawasan kinerja dimaksud prinsipnya adalah : melakukan pemeriksaan dan menjaga
konsentrasi oksigen terlarut air limbah pada bak aerasi, serta pengaturan jumlah lumpur
yang diresirkulasi atau jumlah lumpur yang dibuang.
Disamping itu, sering juga dipakai parameter lain untuk pengawasan kinerja
tersebut, yaitu dengan kriteria pembebanan (loading criteria). Kriteria pembebanan itu
adalah F/M ratio dan umur lumpur (θc). MLSS (Mixed Liquor Suspended Solid) juga
digunakan sebagai parameter kontrol terhadap proses lumpur aktif. Pada beberapa instalasi
IPAL dengan proses lumpur aktif, kadang juga dipakai parameter oxygen uptake rate (OUR)
untuk pemantauan dan pengawasannya.
Beberapa parameter penting untuk keperluan pengawasan / evaluasi dimaksud
adalah sebagai berikut :
b. SVI (Sludge Volume Index) atau indek volume lumpur yaitu volume sludge yang
mengendap 30 menit dalam 1 liter sampel dibagi berat sludge kering per satu liter
sludge. Proses lumpur aktif akan berjalan dengan baik bila nilai SVI diantara 35 -100
ml/g (Sundstorm DW & Klei HE, 1979) atau menurut Clark JW at.al. (1977). Bila
SVI > 200 ml/g , lumpur tidak bisa mengendap karena terjadi kondisi bulking. SVI ini
sangat berguna untuk kontrol proses lumpur aktif terutama untuk menentukan
banyaknya lumpur yang harus diresirkulasi ke tangki aerasi ( rasio resirkulasi).
Formula SVI adalah sebagai berikut :
SVI = Vs
X (mg/l) x 10 -3 g/mg
Dimana : SVI = sludge volume index (ml/g)
Vs = volume lumpur yang mengendap setelah 30 menit (ml)
X = MLSS (mg/l)
c. Rasio resirkulasi (R), yaitu perbandingan antara debit lumpur yang dikembalikan ke
tangki aerasi terhadap debit air limbah yang diolah. Rasio resirkulasi dalam pengolahan
proses lumpur aktif konvesional berkisar 0,25 – 0,5. Pada reaktor kecil rasio resirkulasi
ini dapat lebih besar yakni 0,75 – 1,50. Rumus Ratsio resirkulasi adalah :
R = Qr / Q
Dimana R = rasio resirkulasi
Qr = debit lumpur dari clarifier yang diresirkulasi (m3/dt)
Q = debit air limbah yang diolah (m3/dt).
e. Waktu detensi (θ) atau hydrolic resindent time (HRT), yaitu lamanya air limbah tinggal
dalam tangki aerasi. Secara matematis dapat diketahui dari volume tangki aerasi dibagi
dengan debit air limbah yang diolah.
Rumusnya adalah :
θ= V /Q
Dimana : θ = waktu detensi (jam)
V = volume bak aerasi
Q = Debit air limbah yang masuk bak aerasi
f. Volumetric loading (Vl) atau Organic loading , yaitu massa BOD per meter kubik air
limbah perhari. Rumus Volumetrik loading yaitu :
Vl = Q. So
V
Dimana : Vl = volumetric loading
Q = Debit air limbah yang masuk bak aerasi
V = volume bak aerasi
So = konsentrasi substrat ( mg BOD/L)
g. Produksi lumpur (Px), yakni banyaknya lumpur yang dihasilkan dan yang harus dibuang
setiap hari. Produksi lumpur dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Px = Yobs Q (So-S)/1000
Dimana : Px = produksi lumpur (kg/hr)
Px ini juga bisa digunakan untuk memprediksi jumlah kebutuhan nutrien
yang diperlukan dalam proses lumpur aktif.
Y obs = koefisien yield observasi
So = konsentrasi BOD pada influen (mg/l)
S = konsentrasi BOD pada effluen (mg/l)
i. Kandungan nutrien, yaitu kadar nutrien yang ada dalam air limbah yang akan diolah.
Nutrien terpenting dalam proses lumpur aktif yang perlu diperhatikan adalah Nitrogen
(N) dan Phosphat (P). Dalam air limbah yang akan diolah, jumlah kadar N dan P yang
ideal adalah dengan mengacu ratio BOD : N : P = 100 : 5 :1. Kebutuhan N dan P
setiap hari dapat juga diprediksi dari jumlah produksi lumpur. Rumus yang digunakan
adalah dari McCarty (1970) yaitu :
N (lb/hari) = 0,122 produksi lumpur
P (lb/hari) = 0,023 produksi lumpur
k. OUR (Oksigen Uptake Rate) adalah rate oksigen yang dipakai oleh mikroorganisme
untuk mengoksidasi zat organik. Dengan demikian OUR sebenarnya adalah instrumen
untuk mengukur aktivitas mikroorganisme. Makin tinggi nilai OUR berarti makin tinggi
aktivitas mikroorganisme. Pada beberapa instalasi IPAL dengan proses lumpur aktif,
kadang juga dipakai parameter oxygen uptake rate (OUR) untuk pemantauan dan
pengawasan proses lumpur aktif.
3. Pengoperasian IPAL
4. Pemeliharaan IPAL
Masalah 1 :
Lumpur mengapung pada bak clarifier ( bulking sludge).
Indikator / Penyebab :
- Tumbuhnya organisme filamentous
- SVI (sludge volume index) > 150
- Ditemukan serabut serabut filamen pada pemeriksaan MLSS secara mikroskopis.
- Proses denitrifikasi yang menghasilkan gas nitrogen (N) yang terperangkap pada
gumpalan lumpur
Kontrol :
- Periksa konsentrasi oksigen terlarut pda bak aerasi
- Periksa pH air limbah pada bak aerasi
- Periksa kandungan nutrien pada air limbah yang akan diolah (influen). Utamanya
TKN (N-amoniak + N-organik) dan P
- Periksa SVI
- Periksa konsentrasi BOD5 pada influen (disarankan)
Cara mengatasi :
- Pertahankan kandungan oksigen terlarut dalam bak aerasi minimal 1 mg/L, dengan
cara mengatur suplai udara pada aerator.
- Atur pH menjadi netral
- Tambahkan nutrien (N dan P = Urea dan TSP), sehingga diperoleh perbandingan BOD
: N : P = 100 : 5 : 1.
- Cara menentukan jumlah urea dan TSP adalah sbb :
a. Periksa ratio BOD5 : N
N = N-org (mg/l) x 100
BOD5 (mg/l)
Masalah 2 :
Effluen keruh.
Indikator / Penyebab :
- SVI > 150 atau SVI melebihi kriteria disain
- Turbulensi pada bak aerasi yang terlalu tinggi
- Oksidasi lumpur yang berlebihan
- Kondisi anaerob pada bak aerasi (oksigen terlarut = 0 mg/L)
- Kehadiran zat tiksik pada influen.
Kontrol :
- Periksa SVI
- Periksa oksigen terlarut
- Periksa olakan air pada bak aerasi
- Periksa kemungkinan adanya jazad protozoa inaktif/mati (karena ada racun) pada
MLSS secara mikroskopis.
Cara mengatasi :
- Kurangi olakan air yang disebabkan oleh aerator
- Tambahkan jumlah lumpur yang dibuang, atau kurangi umur lumpur.
- Tambahkan suplai udara/oksigen , bila kondisinya anaerob
- Lakukan pre treatment yang sesuai, bila ditemukan adanya racun.
Masalah 3 :
Terdapat buih warna hitam
Indikator / Penyebab :
- Umur lumpur yang terlalu lama
Kontrol :
- Hitung jumlah lumpur yang dibuang secara tepat dan teliti
Cara mengatasi :
- Buih disemprot dengan air yang bertekanan
Masalah 4 :
Terdapat buih warna putih tebal dan berombak pada bak aerasi
Indikator / Penyebab :
- TSS / MLSS terlalu rendah ( < 1500 mg/L). Atau TSS/ MLSS kurang dari kriteria
disain.
Kontrol :
- Periksa kandungan TSS / MLSS pada bak aerasi
Cara mengatasi :
- Kurangi jumlah lumpur yang dibuang
Masalah 5 :
Konsentrasi MLSS berbeda pada setiap bak aerasi
Indikator / Penyebab :
- problem ini hanya terjadi pada instalasi pengolahan air limbah yang memiliki bak aerasi
lebih dari satu unit, disebabkan oleh distribusi aliran yang tidak merata.
Kontrol :
- Periksa sistem distribusi aliran yang ada. ( bak pembagi, valve, pintu air dll)
Cara mengatasi :
- Atur bukaan valve atau pintu ai dalam sistem distribusi aliran , khusunya pada
inlet/influen dan resirkulasi lumpur.
Masalah 6 :
Lumpur / gumpalan lumpur ikut terbuang bersama effluen.
Indikator / Penyebab :
- Beban padatan terlalu tinggi
- Aliran yang terlalu besar, melampaui kemampuan beban clarifier
- Distribusi aliran tidak merata
- Konsentrasi MLSS terlalu tinggi
- Jumlah lumpur yang diresirkulasi tidak tepat.
Kontrol :
- Periksa beban padatan / solid loading (overflow rate)
- Periksa sistem distribusi aliran
- Periksa sistem resirkulasi lumpur (dari kemungkinan rusak atau tersumbat)
Cara mengatasi :
- Atur bukaan valve atau pintu ai dalam sistem distribusi aliran , khusunya pada
inlet/influen dan resirkulasi lumpur.
- Tingkatkan debit resirkulasi lumpur untuk menjaga agar zona air bersih pada clarifier
minimal 1 (satu) meter. Cocokkan dengan kriteria disai yang ada.
- Atau tambahkan jumlah lumpur yang dibuang
Masalah 7 :
Lumpur melimpah melalui salah satu weir
Indikator / Penyebab :
- Distribusi aliran tidak merata
- Level weir tidak sama
Kontrol :
- Periksa sistem distribusi aliran
- Periksa level weir
Cara mengatasi :
Masalah 9 :
pH < 6,7 pada bak aerasi
Indikator / Penyebab :
- Terdapat banyak limbah yang mengandung asam, yang masuk pada instalasi pengolahan
air limbah
- Terjadinya proses nitrifikasi
Kontrol :
- Periksa kandungan Amoniak dan Nitrat pada effluen
- Periksa pH influen
Cara mengatasi :
- Lakukan pengaturan yang tepat pada umur lumpur dan jumlah lumpur yang dibuang.
- Tambahkan larutan kapur, bila pH influen kurang dari 6,7.
- Kontrol influen dengan benar.
Masalah 10 :
MLSS sangat rendah pada resirkulasi lumpur (< 800 mg/L)
Indikator / Penyebab :
- Tumbuh organisme filamentous secara berlebihan
- Rate resirkulasi lumpur yang tinggi
- Terlalu banyak jumlah lumpur yang dibuang.
Kontrol :
- Periksa kemungkinan keberadaan filamentous pada MLSS
- Periksa debit resirkulasi lumpur dan debit lumpur yang dibuang
- Periksa oksigen terlarut pada bak aerasi
Cara mengatasi :
- Pengaturan yang tepat pada pengurangan resirkulasi dang pengurangan lumpur yang
dibuang
- Naikan konsentrasi oksigen terlarut pada bak aerasi sampai dengan 2 mg/L ( apabila DO
< 0,5 mg/L).
Masalah 11 :
Aerasi berhenti
Indikator / Penyebab :
- Difuser tersumbat
- Aerasi lemah
Kontrol :
- Periksa sistem aerasi / difusser
Cara mengatasi :
5. Sumber Bacaan
Abdullah, S (2000), Problem & Solusi IPAL, Oleh Yayasan Sanitaraian Indonesia.
Abdullah, S. (1999), Evaluasi Kinerja Proses Lumpur Aktif IPAL RSUD Margono
Soekarjo Purwokerto, ITS Surabaya.
Benefield Larry D, 1980, Biological Process Design for Wastewater Treatment, Prentice
hall Inc,Englewood Cliffs.
Mudrack K & Kunst S, t.tahun, Biology of Sewage Treatment And water Pollution
Control, Ellis Horwood Limited New York.