Anda di halaman 1dari 11

OPERASI DAN PEMELIHARAAN IPAL

Oleh : Sugeng Abdullah

1. Pendahuluan
IPAL (= Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang ada pada umumnya merupakan
gabungan dari proses pengolahan air limbah secara fisik-mekanik, kimia dan biologi.
Pengolahan air limbah secara fisik- mekanik dan kimia pada dasarnya sama dengan
pengolahan air bersih sebagaimana telah disampaikan pada kuliah terdahulu (Semester III).
Pengolahan air limbah secara biologi yang banyak dijumpai adalah proses lumpur aktif.
Proses lumpur aktif adalah merupakan salah satu bentuk pengolahan air limbah
secara biologi. Sekitar tahun 1880, telah dikenal bahwa air limbah yang diaerasi dapat
mereduksi bau dan menurunkan kadar polusi serta menghasilkan lumpur ( Veenstra S &
Polpraset C, 1995). Lumpur yang dihasilkan dirangsang agar dapat menguraikan air limbah
secara biologis. Lumpur inilah yang kemudian dikenal dengan lumpur aktif.
Fenomena lumpur yang dapat menguraikan air limbah menjadi bersih ini,
kemudian dikembangkan menjadi metode pengolahan air limbah dengan proses proses
umpur aktif. Proses lumpur aktif modern pertama kali dikembangkan di Inggris pada
tahun 1914, oleh Ardern dan Lockett (Metcalf & Eddy, 1979)
Pengolahan dengan proses lumpur aktif adalah sistem pengolahan air limbah
dengan menggunakan bakteri aerobik yang dibiakkan dalam tangki aerasi. Tujuannya adalah
untuk menurunkan karbon atau organik nitrogen. Dalam hal menurunkan organik karbon,
bakteri yang berperan adalah bakteri heterotrophic. Sumber energi berasal dari oksidasi
senyawa organik dan sumber karbon adalah dari organik karbon. Organik karbon biasanya
diukur dengan besarnya BOD dan COD. Selanjutnya BOD dan COD ini, dalam lingkup
pengolahan biologis disebut sebagai substrat.
Reaksi oksidasi dan sintesis sel adalah sebagai berikut
CHONS + O2 + Nutrien Æ CO2 + NH3 + C5H7NO2 + hasil akhir
(Zat organik) (sel baru)

Sintesis / respirasi :
bakteri
C5H7NO2 + 5O2 ---Æ 5CO2 + 2H2O + NH3 + Energi
113 160
1 1,42

Bahan organik dalam air buangan akan diuraikan oleh jasad renik /
mikroorganisme menjadi karbon dioksida, amonia dan sel baru serta hasil lain berupa
lumpur (sludge). Bakteri juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan
hidupnya. Pada reaksi respirasi terlihat bahwa ultimate BOD untuk sel sebesar 1,42 kali
konsentrasi sel. Dengan kata lain 1 unit biomassa yang dioksidasi membutuhkan 1,42 unit
O2 (Benefild L.D. & Randal CW, 1980).
Bakteri atau jasad renik yang ada dalam lumpur aktif adalah termasuk gram negatip
dari berbagai genus (Metcalf & Eddy, 1979) yaitu antara lain : Pseudomonas, Zoagloea,
Achromobacter, Flvobacterium, Nocardia, Bdellovibrio, Mycobacterium dan dua bakteri
nitrifikasi yakni Nitrosomonas dan Nitrobacter. Terdapat pula beberapa organisma
filamentous antara lain seperti Sphaerotilus, Beggiatoa, Thiothrix, Lecicathrix ,
Geotrichum, Lyngbya dan lain-lain.
Pada daerah dekat effluent terdapat beberapa jenis protozoa yang berfungsi sebagai
pembersih (polisher). Protozoa makan bakteri yang tak menggumpal dan tersebar dalam

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 1


air, sedangkan rotifera makan flok biologis berukuran kecil yang tidak mengendap.
Disamping berfungsi sebagai polisher, protozoa juga dapat berfungsi sebagai indikator
dalam proses lumpur aktif.
Didalam bak aerasi terdapat berbagai organisma, salah satu diantaranya adalah
protozoa. Menurut K. Mudrack & S. Kunst (1981), beberapa protozoa yang terdapat pada
bak aerasi dapat digunakan sebagai indikator proses lumpur aktif, antara lain adalah :
Zooflagellates, Amoebae, Cilliates (antara lain : Colpidium campylum, paramecium
caudatum, Apisdisca costata, Euplotes affinis, Vorticella spp, carchesium polypinum,
Opercularia coarctata), dan Suctoria. Disamping protozoa, dalam lumpur aktif sering
juga terdapat jasad multiseluler antara lain Rotifera, larva serangga, Nematoda dan bangsa
udang (Crustacean).
Zooflagellates dari klas Mastiophorae, terutama Bodo spp. dan Trigonomonas,
apabila hadir dalam bak aerasi dalam jumlah yang mendominasi, hal tersebut menunjukan
suatu kondisi anaerobik. Dengan demikian juga menunjukan bahwa sistem aerasi berjalan
tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Amoebae biasanya hadir pada fase star up
atau pada kondisi beban yang berat (over loading). Sebaliknya spesies Testate amoebae
selalu hadir pada kondisi beban organik yang sangat kecil.
Keberadaan Cilliates dapat menunjukan kondisi sock loading karena adanya unsur
toksik, atau kondisi over loading atau defisiensi oksigen. Pada kondisi optimal jumlah
Cilliates berkisar antara 2000 – 100.000 sel /ml. Bila kondisi mendadak menurun secara
drastis, menunjukan adanya unsur toksik dalam air limbah. Berbagai spesies Cilliates dapat
merupakan indikator spesifik terhadap kondisi sistem aerasi pada suatu bak aerasi.
Colpidium campylum jika hadir dalam jumlah yang besar menunjukan kondisi
suplai oksigen tidak baik atau kondisi over loading. Paramecium caudatum menunjukan
bahwa pada proses lumpur aktif terjadi kondisi pembebanan dibawah normal (under normal
loading). Asidisca costata, apabila tiba–tiba menghilang, menunjukan bahwa kandungan
oksigen terlarut < 2 mg/L. Sebaliknya bila keberadaanya tetap, hal tersebut menunjukan
kondisi aerasi cukup baik. Demikian juga Euplotes affinis, kehadiranya menunjukan suplai
oksigen yang bagus.
Keberadaan Vorticella spp, khususnya Vorticella microstoma menunjukan kondisi
miskin oksigen atau kondisi pembebanan berat. Sedangkan Vorticella convallaria dan
Vorticella campanula, kehadirannya menunjukan pembebanan normal dan ini menunjukan
juga bahwa suplai oksigen dalam kondisi baik. Carchesium polypinum keberadaanya
selalulu berhungan dengan Vorticella. Opercularia coarctata juga merupakan ciliata yang
merupakan indikator suplai oksigen yang baik bila terdapat dalam bak aerasi. Sedangkan
Suctoria dapat merupakan indikator pembebanan sangat ringan (lightly loading).
Dari uraian diatas, keberadaan protozoa dalam proses lumpur aktif, dapat
dikemukakan sebagai berikut :
- Pembebanan berat (Highly loaded plants). Biasanya terdapat flagelata atau amoeba.
- Pembebanan normal (Normal loaded plants). Biasanya terdapat spesies ciliata antara
lain : : Vorticella convallaria, Opercularia coarctata, , Euplotes affinis dan Apisdisca
costata.
- Pembebanan ringan ( lightly loaded / under loaded plants). Biasanya terdapat rotifera
dan sedikit protozoa.

Proses lumpur aktif intinya terdiri dari dua tangki, yakni bak aerasi dan bak
pengendap (clarifier). Pada bak aerasi terjadi penguraian zat organik secara biokimia oleh
jasad renik aerob dengan suplai oksigen yang cukup. Bak pengendap berfungsi untuk
memisahkan lumpur aktif (biomassa) yang berasal dari bak aerasi. Lumpur aktif yang
mengendap sebagian dikembalikan lagi ke bak aerasi dan sebagian yang lain di buang.
Modifikasi pada proses lumpur aktif, terutama dilakukan dengan merubah
konfigurasi sistem inlet, merubah konfigurasi sistem aerator, merubah parameter F/M,

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 2


umur lumpur, merubah suplai udara dengan oksigen murni. Proses lumpur aktif yang telah
dimodifikasi antara lain : Step aerasi; Tapered aeration; Contact stabilisasi; Pure oxygen;
Oxydation ditch; Hight rate aeration dan extended aeration.
Pada prakteknya proses lumpur aktif adalah merupakan suatu pengolahan air
limbah, dimana air limbah bersama lumpur aktif masuk dalam bak aerasi, kemudian
diaerasi terus menerus. Air limbah (zat organik) akan dioksidasi oleh jasad renik menjadi
gas karbon dioksida dan sel baru. Banyaknya gas dan sel baru yang terbentuk mengikuti
persamaan reaksi oksidasi dan sintesis sel seperti diuraikan diatas. Jumlah sel baru dalam
tangki aerasi akan terus bertambah. Disisi lain sel-sel yang tua akan mati, namun demikian
jumlah sel baru yang terbentuk harus jauh lebih besar dari sel yang mati. Hal ini untuk
memungkinkan terjadinya positivenet growth ( sel terus bertambah)
Dalam siklus hidupnya , sel mikrorganisme mengalami 4 fase yaitu :
- Fase Lag : yakni merupakan fase adaptasi bagi mikroorganisme untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang baru. Biasanya fase ini terjadi pada tangki buffer / tangki
penyelaras.
- Fase pertumbuhan : dalam fase ini mikroorganisme tumbuh dan berkembang secara
ekponensial apabila fase lag dapat dilalui dengan berhasil. Fase pertumbuhan ini terjadi
pada tangki aerasi / reaktor.
- Fase stasioner : pada fase ini mikrorganisme tidak mengalami perkembang biakan karena
persediaan nutrien sudah hampir habis digunakan pada fase pertumbuhan. Fase ini
terjadi pada tangki aerasi.
- Fase kematian : setelah nutrien benar-benar habis, mikroorganisme akan mengoksidasi
diri sendiri dan tidak menghasilkan sel baru dan akhirnya akan mati. Fase ini terjadi
pada bak clarifier.
Prinsip pengolahan biologis adalah memanfaatkan aktivitas mokroorganisme pada
fase pertumbuhan seperti dimaksud diatas. Nutrien yang berupa bahan-bahan organik dapat
tereduksi dengan cepat untuk keperluan pertumbuhan sel yang bersifat ekponensial.
Akibatnya nutrien (bahan organik) akat cepat habis, dan selanjutnya sel akan mengalami
kematian.
Agar dapat berlangsung dengan sukses pada fase pertumbuhan (dalam pengolahan
air limbah), perlu optimalisasi fase lag. Optimalisasi fase lag adalah dengan menciptakan
kondisi luar yang mendukung kehidupan mikroorganisme, misalnya : pengendalian pH,
temperatur dan suplai oksigen yang mencukupi. Oleh karena itu pemantauan pH, temperatur
dan DO pada tangki aerasi sangat penting untuk dilakukan (Muslimin, LW, 1995).

2. Parameter Penting Dalam Proses Lumpur Aktif

Pada dasarnya pengawasan (dan evaluasi) terhadap proses lumpur aktif, intinya
adalah agar kinerja proses lumpur aktif tersebut dapat berjalan sesuai dengan kriteria
yang direncanakan. Dengan evaluasi ini diharapkan dapat diketahui parameter-parameter
tertentu yang tidak sesuai, untuk kemudian diadakan tindakan korektip. Garis besar
pengawasan kinerja dimaksud prinsipnya adalah : melakukan pemeriksaan dan menjaga
konsentrasi oksigen terlarut air limbah pada bak aerasi, serta pengaturan jumlah lumpur
yang diresirkulasi atau jumlah lumpur yang dibuang.
Disamping itu, sering juga dipakai parameter lain untuk pengawasan kinerja
tersebut, yaitu dengan kriteria pembebanan (loading criteria). Kriteria pembebanan itu
adalah F/M ratio dan umur lumpur (θc). MLSS (Mixed Liquor Suspended Solid) juga
digunakan sebagai parameter kontrol terhadap proses lumpur aktif. Pada beberapa instalasi
IPAL dengan proses lumpur aktif, kadang juga dipakai parameter oxygen uptake rate (OUR)
untuk pemantauan dan pengawasannya.
Beberapa parameter penting untuk keperluan pengawasan / evaluasi dimaksud
adalah sebagai berikut :

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 3


a. F/M Ratio, yaitu : perbandingan antara substrat (F : food ) terhadap mikroorganisme
(M). Dalam proses lumpur aktif convensional , dapat berjalan dengan baik apabila
F/M ratio berkisar 0,2 – 0,6 kg BOD/kg MLSS.
Bahan organik yang masuk dalam instalasi pengolahan air limbah secara biologis,
merupakan makanan bagi mikroorganisme. Perbandingan jumlah makanan (zat
organik) dengan jumlah mikroorganisme dalam air limbah dapat dilihat dari F/M ratio.
Menurut Veenstra,S & Polpraset, C (1995), F/M ratio atau SLR (Sludge Loading Rate)
adalah beban BOD harian yang masuk (Food = F) dibagi dengan biomassa
(Mikroorganisme = M) pada bak aerasi. F/M ratio menunjukan kecepatan oksidasi
biologis sebanding dengan volume biomassa yang terbentuk. F/M ratio juga dapat
menunjukan efisiensi removal BOD, derajat endogenous respiration, derajat nitifikasi
yang terjadi, kebutuhan oksigen dan kemampuan pengendapan flok biomassa.
Secara teoritis F/M ratio berbanding terbalik dengan umur lumpur. Menurut
Marais (Veenstra,S & Polpraset, C, 1995), menunjukan bahwa F/M ratio lebih
bermanfaat daripada umur lumpur.Alasannya adalah MLSS tidak dapat dijadikan
parameter operasional, apabila ternyata hanya bagian yang menguap (Volatile =
MLVSS) saja yang aktif pada MLSS didalam menguraikan air buangan secara
biologis. MLVSS ini tidak bisa dihitung secara tepat / tidak sama pada setiap bangunan
IPAL.
F/M ratio dirumuskan sebagai berikut :
F/M = Q. So
V .X
Dimana : Q = debit air limbah yang diolah ( L3/T)
So = konsentrasi substrat ( mg BOD/L)
X = konsentrasi mikroorganisma ( mg VSS/L)
V = volume tangki aerasi ( L3)

b. SVI (Sludge Volume Index) atau indek volume lumpur yaitu volume sludge yang
mengendap 30 menit dalam 1 liter sampel dibagi berat sludge kering per satu liter
sludge. Proses lumpur aktif akan berjalan dengan baik bila nilai SVI diantara 35 -100
ml/g (Sundstorm DW & Klei HE, 1979) atau menurut Clark JW at.al. (1977). Bila
SVI > 200 ml/g , lumpur tidak bisa mengendap karena terjadi kondisi bulking. SVI ini
sangat berguna untuk kontrol proses lumpur aktif terutama untuk menentukan
banyaknya lumpur yang harus diresirkulasi ke tangki aerasi ( rasio resirkulasi).
Formula SVI adalah sebagai berikut :
SVI = Vs
X (mg/l) x 10 -3 g/mg
Dimana : SVI = sludge volume index (ml/g)
Vs = volume lumpur yang mengendap setelah 30 menit (ml)
X = MLSS (mg/l)

c. Rasio resirkulasi (R), yaitu perbandingan antara debit lumpur yang dikembalikan ke
tangki aerasi terhadap debit air limbah yang diolah. Rasio resirkulasi dalam pengolahan
proses lumpur aktif konvesional berkisar 0,25 – 0,5. Pada reaktor kecil rasio resirkulasi
ini dapat lebih besar yakni 0,75 – 1,50. Rumus Ratsio resirkulasi adalah :
R = Qr / Q
Dimana R = rasio resirkulasi
Qr = debit lumpur dari clarifier yang diresirkulasi (m3/dt)
Q = debit air limbah yang diolah (m3/dt).

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 4


d. Umur lumpur (θc), yaitu jumlah massa mikroorganisme sebagai lumpur aktif dibagi
jumlah massa mikroorganisme yang dibuang setiap satuan waktu. Umur lumpur, sering
juga disebut sebagai Solid Retention Time (SRT), atau Biological Sludge Retention
Time (BSRT), yaitu merupakan perkiraan rata-rata waktu tinggal lumpur biologis
dalam reaktor ( Mean Cell Residence Time = MCRT). Berdasarkan pengalaman,
operator IPAL dengan proses lumpur aktif konvensional, menemukan bahwa umur
lumpur (θc) berkisar antara 3 – 14 hari (Sundstrom, DW dan Klei, HF, 1979).
Apabila θc < 3 hari , lumpur biomassa yang terjadi tidak kompak, sehingga sukar
untuk mengendap. Hal ini menyebabkan “Bulking Sludge”. Sebaliknya apabila θc > 14
hari , menyebabkan partikel flok menjadi terlalu kecil dan fraksi kehidupan sel dalam
biomassa menjadi rendah.
Umur lumpur yang kecil, berkaitan dengan jumlah sel (MLSS) yang kecil.
Sebaliknya dengan menaikan umur lumpur dapat berpengaruh terhadap kenaikan jumlah
MLSS (Gehm, HW & Bregman, JI, 1993).
Umur lumpur dirumuskan sebagai berikut :
θc = V. X
Qw . Xr
Dimana : θc = Umur Lumpur
V = volume bak aerasi
X = MLSS
Xr = MLSS pada lumpur yang diresirkulasi
Qw = debit lumpur yang dibuang

e. Waktu detensi (θ) atau hydrolic resindent time (HRT), yaitu lamanya air limbah tinggal
dalam tangki aerasi. Secara matematis dapat diketahui dari volume tangki aerasi dibagi
dengan debit air limbah yang diolah.
Rumusnya adalah :
θ= V /Q
Dimana : θ = waktu detensi (jam)
V = volume bak aerasi
Q = Debit air limbah yang masuk bak aerasi

f. Volumetric loading (Vl) atau Organic loading , yaitu massa BOD per meter kubik air
limbah perhari. Rumus Volumetrik loading yaitu :
Vl = Q. So
V
Dimana : Vl = volumetric loading
Q = Debit air limbah yang masuk bak aerasi
V = volume bak aerasi
So = konsentrasi substrat ( mg BOD/L)

g. Produksi lumpur (Px), yakni banyaknya lumpur yang dihasilkan dan yang harus dibuang
setiap hari. Produksi lumpur dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Px = Yobs Q (So-S)/1000
Dimana : Px = produksi lumpur (kg/hr)
Px ini juga bisa digunakan untuk memprediksi jumlah kebutuhan nutrien
yang diperlukan dalam proses lumpur aktif.
Y obs = koefisien yield observasi
So = konsentrasi BOD pada influen (mg/l)
S = konsentrasi BOD pada effluen (mg/l)

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 5


h. Kebutuhan oksigen (O2), yakni kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk respirasi
mikroorganisme dan oksidasi yang lainya. Pemeriksaan konsentrasi oksigen terlarut,
berguna untuk mengetahui kebutuhan oksigen dalam pengolahan air sesuai dengan
ketentuan baku yang ada. Kebutuhan oksigen, secara teoritis dapat ditentukan dengan
mengetahui BOD air limbah dan jumlah mikroorganisme (MLSS) yang dibuang dari
sistem lumpur aktif setiap hari (Metcalf & Eddy, 1979).
Jika semua BOD5 yang ada diubah menjadi produk akhir, maka jumlah total
kebutuhan oksigen dapat dihitung dengan mengkonversikan BOD5 menjadi BODL
(BOD ultimate), menggunakan faktor konfersi yang bersifat terapan.
Sebagian dari air limbah (zat organik = BOD) diubah menjadi sel baru dan dibuang dari
sistem. Selanjutnya jika BODL dari sel yang dibuang tersebut untuk mengurangi jumlah
total kebutuhan oksigen, maka hasilnya merupakan jumlah oksigen yang representatip ,
yang harus disuplai kedalam sistem. Apabila didalam proses lumpur aktif, terjadi juga
nitrifikasi, maka kebutuhan oksigen, ditambah dengan jumlah kebutuhan oksigen pada
proses nitrifikasi tersebut.
Suplai udara (oksigen) harus dapat mencukupi kebutuhan BOD limbah, respirasi
endogenik lumpur biologis, mixing dan oksigen terlarut dapat dipertahankan 1-2 mg/l
dalam bak aerasi. Untuk F/M ratio >0,3, kebutuhan udara pada pengolahan air limbah
dengan proses lumpur aktif konvensional, secara kasar adalah : 30 –55 m3/kg.BOD5
yang dihilangkan. Namun bila F/M ratio <0,3 , berarti terjadi respirasi endogeneous dan
proses nitrifikasi, maka kebutuhan udara menjadi 75 – 115 m3/kg BOD5 yang
dihilangkan. Pada umumnya aerator/difusser yang ada dipasaran mempunyai
kemampuan mensuplai udara 3,75 – 15,0 m3/m3 (Metcalf & Eddy, 1979). Oleh karena itu
perlu diperhitungkan secara cermat penggunaannya dalam bangunan IPAL dengan
proses lumpur aktif.

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

O2 = Q (So – S) - 1,42 Px + 4,57 Q (No –N)


1000 f
Dimana : O2 = Kebutuhan O2 (kg/hr)
So = konsentrasi BOD pada influen (mg/l)
S = konsentrasi BOD pada effluen (mg/l)
No = konsentrasi TKN pada influen (mg/l)
N = konsentrasi TKN pada effluen (mg/l)
Px = produksi lumpur.(kg/hr)
Q = debit air limbah yang diolah (m3/hr)
f = faktor konversi ke BOD ultimate
1,42 & 4,57 = konstanta yang telah diperhitungkan.

i. Kandungan nutrien, yaitu kadar nutrien yang ada dalam air limbah yang akan diolah.
Nutrien terpenting dalam proses lumpur aktif yang perlu diperhatikan adalah Nitrogen
(N) dan Phosphat (P). Dalam air limbah yang akan diolah, jumlah kadar N dan P yang
ideal adalah dengan mengacu ratio BOD : N : P = 100 : 5 :1. Kebutuhan N dan P
setiap hari dapat juga diprediksi dari jumlah produksi lumpur. Rumus yang digunakan
adalah dari McCarty (1970) yaitu :
N (lb/hari) = 0,122 produksi lumpur
P (lb/hari) = 0,023 produksi lumpur

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 6


j. Efisiensi penurunan (removal) BOD5 dan SS, yaitu prosentasi penghilangan BOD5 dan
SS yang terjadi setelang mengalami proses pengolahan lumpur aktif. Efisiensi removal
ini lazimnya berkisar 80% – 95%. Rumus perhitungan adalah sebagai berikut :
E = So –S x 100%
So
Dimana : E = efisiensi penurunan BOD atau SS (%)
So = BOD atau SS pada influen (mg/l)
S = BOD atau SS pada effluen (mg/l)

k. OUR (Oksigen Uptake Rate) adalah rate oksigen yang dipakai oleh mikroorganisme
untuk mengoksidasi zat organik. Dengan demikian OUR sebenarnya adalah instrumen
untuk mengukur aktivitas mikroorganisme. Makin tinggi nilai OUR berarti makin tinggi
aktivitas mikroorganisme. Pada beberapa instalasi IPAL dengan proses lumpur aktif,
kadang juga dipakai parameter oxygen uptake rate (OUR) untuk pemantauan dan
pengawasan proses lumpur aktif.

3. Pengoperasian IPAL

4. Pemeliharaan IPAL

Didalam pengoperasian instalasi pengolahan air limbah yang menggunakan proses


biologis atau proses lumpur aktip, seringkali terdapat beberapa kendala yang menyebabkan
pengolahan air limbah menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa
permasalahan yang sering terjadi dilapangan dan upaya untuk mengatasinya antara lain
adalah sebagai berikuit :

Masalah 1 :
Lumpur mengapung pada bak clarifier ( bulking sludge).
Indikator / Penyebab :
- Tumbuhnya organisme filamentous
- SVI (sludge volume index) > 150
- Ditemukan serabut serabut filamen pada pemeriksaan MLSS secara mikroskopis.
- Proses denitrifikasi yang menghasilkan gas nitrogen (N) yang terperangkap pada
gumpalan lumpur
Kontrol :
- Periksa konsentrasi oksigen terlarut pda bak aerasi
- Periksa pH air limbah pada bak aerasi
- Periksa kandungan nutrien pada air limbah yang akan diolah (influen). Utamanya
TKN (N-amoniak + N-organik) dan P
- Periksa SVI
- Periksa konsentrasi BOD5 pada influen (disarankan)
Cara mengatasi :
- Pertahankan kandungan oksigen terlarut dalam bak aerasi minimal 1 mg/L, dengan
cara mengatur suplai udara pada aerator.
- Atur pH menjadi netral
- Tambahkan nutrien (N dan P = Urea dan TSP), sehingga diperoleh perbandingan BOD
: N : P = 100 : 5 : 1.
- Cara menentukan jumlah urea dan TSP adalah sbb :
a. Periksa ratio BOD5 : N
N = N-org (mg/l) x 100
BOD5 (mg/l)

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 7


Bila N < 5 maka perlu penambahan N dengan pupuk urea. Jumlah urea yang
ditambahkan adalah :
Urea (mg/l) = (0,05 BOD5 - N-org) x BM urea
BA Nitrogen

b. Periksa ratio BOD5 : P


P = P (mg/l) x 100
BOD5 (mg/l)
Bila P < 1 maka perlu penambahan P dengan pupuk TSP. Jumlah TSP yang
ditambahkan adalah :
TSP (mg/l) = (0,01 BOD5 – P) x BM TSP
BA Phosphat

Catatan : BM urea = 60, BM TSP = 174, BA Nitrogen = 14, BA


Phosphat = 31
- Tambahkan 5 – 6 mg/L chlorine / kaporit pada lumpur yang dikembalikan kedalam
bak aerasi dari bak clarifier (Qr = return sludge ), sampai dengan SVI < 150
- Kurangi nilai F/M ratio , yaitu dengan (a) mengurangi suplai makanan ( zat organik /
BOD), (b) mengurangi lumpur yang dibuang atau (c) menaikkan umur lumpur.
- Bila dikarenakan proses denitrifikasi , cukup dengan (a) menaikan jumlah lumpur yang
diresirkulasi (Qr), (b) menaikan konsentrasi oksigen terlarut dalam bak aerasi, atau (c)
mengurangi umur lumpur.

Masalah 2 :
Effluen keruh.
Indikator / Penyebab :
- SVI > 150 atau SVI melebihi kriteria disain
- Turbulensi pada bak aerasi yang terlalu tinggi
- Oksidasi lumpur yang berlebihan
- Kondisi anaerob pada bak aerasi (oksigen terlarut = 0 mg/L)
- Kehadiran zat tiksik pada influen.
Kontrol :
- Periksa SVI
- Periksa oksigen terlarut
- Periksa olakan air pada bak aerasi
- Periksa kemungkinan adanya jazad protozoa inaktif/mati (karena ada racun) pada
MLSS secara mikroskopis.
Cara mengatasi :
- Kurangi olakan air yang disebabkan oleh aerator
- Tambahkan jumlah lumpur yang dibuang, atau kurangi umur lumpur.
- Tambahkan suplai udara/oksigen , bila kondisinya anaerob
- Lakukan pre treatment yang sesuai, bila ditemukan adanya racun.

Masalah 3 :
Terdapat buih warna hitam
Indikator / Penyebab :
- Umur lumpur yang terlalu lama
Kontrol :
- Hitung jumlah lumpur yang dibuang secara tepat dan teliti
Cara mengatasi :
- Buih disemprot dengan air yang bertekanan

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 8


- Bila dengan penyemprotan tidak berhasil, kurangi umur lumpur dengan cara menambah
jumlah lumpur yang dibuang.

Masalah 4 :
Terdapat buih warna putih tebal dan berombak pada bak aerasi
Indikator / Penyebab :
- TSS / MLSS terlalu rendah ( < 1500 mg/L). Atau TSS/ MLSS kurang dari kriteria
disain.
Kontrol :
- Periksa kandungan TSS / MLSS pada bak aerasi
Cara mengatasi :
- Kurangi jumlah lumpur yang dibuang

Masalah 5 :
Konsentrasi MLSS berbeda pada setiap bak aerasi
Indikator / Penyebab :
- problem ini hanya terjadi pada instalasi pengolahan air limbah yang memiliki bak aerasi
lebih dari satu unit, disebabkan oleh distribusi aliran yang tidak merata.
Kontrol :
- Periksa sistem distribusi aliran yang ada. ( bak pembagi, valve, pintu air dll)
Cara mengatasi :
- Atur bukaan valve atau pintu ai dalam sistem distribusi aliran , khusunya pada
inlet/influen dan resirkulasi lumpur.

Masalah 6 :
Lumpur / gumpalan lumpur ikut terbuang bersama effluen.
Indikator / Penyebab :
- Beban padatan terlalu tinggi
- Aliran yang terlalu besar, melampaui kemampuan beban clarifier
- Distribusi aliran tidak merata
- Konsentrasi MLSS terlalu tinggi
- Jumlah lumpur yang diresirkulasi tidak tepat.
Kontrol :
- Periksa beban padatan / solid loading (overflow rate)
- Periksa sistem distribusi aliran
- Periksa sistem resirkulasi lumpur (dari kemungkinan rusak atau tersumbat)
Cara mengatasi :
- Atur bukaan valve atau pintu ai dalam sistem distribusi aliran , khusunya pada
inlet/influen dan resirkulasi lumpur.
- Tingkatkan debit resirkulasi lumpur untuk menjaga agar zona air bersih pada clarifier
minimal 1 (satu) meter. Cocokkan dengan kriteria disai yang ada.
- Atau tambahkan jumlah lumpur yang dibuang

Masalah 7 :
Lumpur melimpah melalui salah satu weir
Indikator / Penyebab :
- Distribusi aliran tidak merata
- Level weir tidak sama
Kontrol :
- Periksa sistem distribusi aliran
- Periksa level weir
Cara mengatasi :

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 9


- Atur bukaan valve atau pintu ai dalam sistem distribusi aliran , khusunya pada
inlet/influen dan resirkulasi lumpur.
- Perbaiki level weir
Masalah 8 :
Gelembung aerasi terlalu besar atau mengelompok disatu tempat
Indikator / Penyebab :
- Sisaten difuser/aerator rusak atau tersumbat
Kontrol :
- Periksa sistem aerasi, suplai udara dan filter membran pada blower
- Kuras bak aerasi dan periksa sistem perpipaan udara dan diffuser
Cara mengatasi :
- Bersihkan kotoran yang menyumbat, perbaiki atau ganti peralatan yang rusak.
- Bila dikuras, lakukan prosedur pengoperasian awal (starting).

Masalah 9 :
pH < 6,7 pada bak aerasi
Indikator / Penyebab :
- Terdapat banyak limbah yang mengandung asam, yang masuk pada instalasi pengolahan
air limbah
- Terjadinya proses nitrifikasi
Kontrol :
- Periksa kandungan Amoniak dan Nitrat pada effluen
- Periksa pH influen
Cara mengatasi :
- Lakukan pengaturan yang tepat pada umur lumpur dan jumlah lumpur yang dibuang.
- Tambahkan larutan kapur, bila pH influen kurang dari 6,7.
- Kontrol influen dengan benar.

Masalah 10 :
MLSS sangat rendah pada resirkulasi lumpur (< 800 mg/L)
Indikator / Penyebab :
- Tumbuh organisme filamentous secara berlebihan
- Rate resirkulasi lumpur yang tinggi
- Terlalu banyak jumlah lumpur yang dibuang.
Kontrol :
- Periksa kemungkinan keberadaan filamentous pada MLSS
- Periksa debit resirkulasi lumpur dan debit lumpur yang dibuang
- Periksa oksigen terlarut pada bak aerasi
Cara mengatasi :
- Pengaturan yang tepat pada pengurangan resirkulasi dang pengurangan lumpur yang
dibuang
- Naikan konsentrasi oksigen terlarut pada bak aerasi sampai dengan 2 mg/L ( apabila DO
< 0,5 mg/L).

Masalah 11 :
Aerasi berhenti
Indikator / Penyebab :
- Difuser tersumbat
- Aerasi lemah
Kontrol :
- Periksa sistem aerasi / difusser
Cara mengatasi :

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 10


- Keringkan atau kuras bak aerasi, kemudian adakan perbaikan atau pergantian pada
sistem aerasi / difusser.
- Lakukan prosedur pengoperasian awal.

5. Sumber Bacaan
Abdullah, S (2000), Problem & Solusi IPAL, Oleh Yayasan Sanitaraian Indonesia.
Abdullah, S. (1999), Evaluasi Kinerja Proses Lumpur Aktif IPAL RSUD Margono
Soekarjo Purwokerto, ITS Surabaya.
Benefield Larry D, 1980, Biological Process Design for Wastewater Treatment, Prentice
hall Inc,Englewood Cliffs.
Mudrack K & Kunst S, t.tahun, Biology of Sewage Treatment And water Pollution
Control, Ellis Horwood Limited New York.

Sugeng Abdullah (2007), O & P IPAL, Hlm - 11

Anda mungkin juga menyukai