Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap

lingkungan tanpa ada stimulus yang nyata, memberi persepsi

yang salah atau pendapat tentang sesuatu tanpa ada objek

atau rangsangan yang nyata dan hilangnya kemampuan manusia

untuk membedakan rangsangan internal pikiran dan rangsangan

eksternal (Trimelia S, 2011 : 4). Halusinasi yang dialami

oleh klien ada berbagai macam seperti mendengar suara-suara

(halusinasi pendengaran), melihat bayangan-bayangan atau

pancaran cahaya (halusinasi penglihatan), mencium bau busuk

atau bau yang menjijikkan (halusinasi penciuman), mengecap

sesuatu yang busuk atau menjijikkan (halusinasi

pengecapan), merasakan sakit tanpa stimulus yang terlihat

(halusinasi perabaan), dan merasakan fungsi tubuh seperti

darah mengalir melalui arteri atau vena (halusinasi

sinestetik).9

Dalam praktek keperawatan jiwa khususnya kemampuan

mengontrol halusinasi dilakukan berbagai terapi seperti

farmakoterapi dengan pemberian obat-obatan, konseling (face

to face), terapi lingkungan untuk mengembangkan kemampuan

emosional atau sosialnya, terapi keluarga, terapi

psikorelegius, atau dengan terapi aktivitas kelompok.

1
2

Terapi aktifitas kelompok adalah suatu aktivitas

psikoterapi yang dilakukan pada sekelompok penderita

gangguan jiwa dengan cara berdiskusi satu sama lain yang

dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau petugas

kesehatan jiwa yang terlatih. (Keliat, 2005). Terapi

aktifitas kelompok ini terdiri dari terapi aktivitas

kelompok stimulasi kognitif/persepsi, stimulus sensoris,

orientasi realita, dan sosialisasi.

Dari pengamatan peneliti yang bekerja di Rumah Sakit

Jiwa Provinsi NTB, ada berbagai hal masalah yang

meningkatkan ketidak mampuan klien mengontrol

halusinasinya adalah faktor keluarga dan klien itu sendiri,

dimana keluarga merupakan support system terdekat dan 24

jam bersama klien, dan harus memiliki pengetahuan atau

pendidikan cara merawat klien halusinasi. Demikian juga

dari lima ruang perawatan di RSJP NTB, empat ruangan tidak

ada fasilitas untuk keluarga tinggal bersama klien selama

24 jam menemani klien. Selanjutnya dari hasil wawancara

peneliti terhadap 15 orang keluarga yang salah satu anggota

keluarganya mengalami gangguan jiwa (halusinasi) yang

dirawat di RSJP NTB mengatakan klien sering mengalami

kekambuhan karena dirumah tidak teratur minum obat, kurang

mengetahui cara merawat klien dan jarang mengontrol ke

rumah sakit disamping kekurangan ekonomi dan klien biasanya

menolak untuk dibawa kontrol ke rumah sakit jiwa.


3

Selain hal tersebut lebih lanjut di Rumah Sakit Jiwa

belum optimal diterapkannya terapi-terapi modalitas cara

klien mengontrol halusinasi (kognitif behavior terapi,

terapi keluarga, terapi lingkungan, terapi religius, terapi

kelompok), dan belum diterapkan asuhan keperawatan

halusinasi yang baik dan komprehensif. Dimana semua klien

yang menjalani rehabiilitasi atau klien yang sedang dalam

perawatan perlu mendapatkan terapi modalitas khususnya

terapi aktivitas kelompok. Berdasarkan wawancara peneliti

terhadap 20 responden yang terdiri dari kepala ruangan,

katim, dan perawat ruangan mengatakan belum diterapkannya

asuhan keperawatan yang baik dan benar karena keterbatasan

perawat dimana setiap jaga terdiri atas 2 perawat dengan 20

klien atau lebih, kurang motivasi perawat dalam pelaksanaan

asuhan keperawatan sebagaimana dalam teori motivasi

keadilan dan harapan belum mendapatkan keadilan dan

penghargaan atau imbalan yang diterima seperti pujian,. Dan

belum lengkapnya standar operasional di RSJP NTB seperti

belum adanya SOP (standar operasional) kognitif behavior

terapi, terapi keluarga, terapi lingkungan, dan terapi

spiritual terahadap terapi cara mengontrol halusinasi yang

dijadikan acuan dalam melakukan tindakan keperawatan.

Hal ini menyebabkan terjadinya halusinasi yang

dimulai dari individu merasa banyak masalah, dan masalah

semakin terasa sulit dan menekan sehingga persepsi terhadap


4

masalah sangat buruk, individu akan mengalami gangguan

tidur yang terus menerus sehingga terbiasa untuk menghayal

atau melamun, dan lamunan-lamunan itu dianggap

sebagai upaya dalam pemecahan masalah.

Jika individu mengalami emosi yang berlanjut seperti

ada perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa atau

ketakutan, maka individu akan beranggapan bahwa pikiran dan

sensorinya dapat terkontrol jika kecemasannya dapat

diatasi, pada keadaan ini individu akan merasa nyaman

dengan halusinasinya. Dan individu mengalami perubahan

prilaku seperti tertawa yang tidak sesuai, gerakan mata

cepat, respon verbal lamban, diam, dan dipenuhi oleh

sesuatu yang mengasikkan.

Ketika pengalaman sensori individu mulai menakutkan

dan kehilangan kemampuan untuk mengontrolnya, maka individu

mulai menyerah dan tidak berdaya untuk mengontrol

halusinasinya sehingga membiarkan halusinasi menguasai

dirinya dan menyebabkan individu cendrung untuk mengikuti

petunjuk isi dari halusinasi, kesulitan berinteraksi dengan

orang lain, menarik diri dan menimbulkan perubahan prilaku

yang lebih besar seperti perilaku menyerang, amuk, resiko

bunuh diri, atau membunuh, dan ketidak mampuan dalam

mengikuti petunjuk.
5

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2001,

mengatakan masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia

memang menjadi masalah yang sangat serius, paling tidak ada

satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.

Diperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang

mengalami gangguan kesehatan jiwa. Di Indonesia

diperkirakan sebanyak 246 dari 1.000 anggota rumah tangga

menderita gangguan kesehatan jiwa. Berdasarkan survey

Departemen Kesehatan RI yang dikutip Badan Pusat Statistik

tahun 2007, Provinsi NTB menempati urutan ke 10 untuk

provinsi penyandang gangguan jiwa ringan terbanyak dengan

angka prevalensi 12,8% dari jumlah penduduk yang ada. Jika

dihitung jumlah penduduk saat ini 4,3 juta jiwa, maka

potensi masarakat yang mengalami gangguan jiwa berat di NTB

sudah mencapai 43.000 orang lebih. Angka ini menunjukkan

jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat

sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia

menderita kelainan jiwa dari cemas, depresi, stress,

penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia.

(Yosep, 2007)

Gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta

dijumpai daya nilai realitas yang terganggu yang ditunjukan

dengan perilaku-perilaku aneh dijumpai rata-rata 1-2% dari

jumlah seluruh penduduk disuatu wilayah pada setiap waktu

dan terbanyak mulai timbul pada usia15-35 tahun. Bila


6

angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja yang menderita gangguan

tersebut, di Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu orang

penderita Melalui survey kesehatan jiwa yang dilakukan oleh

Soejono (2007) pada penduduk 11 kota terpilih di Indonesia,

dilaporkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa sebesar 185

orang pada 1000 penduduk. Ini berarti bahwa disetiap rumah

tangga yang terdiri dari 5-6 anggota keluarga terdapat satu

orang yang menderita gangguan jiwa. Dari hasil survey di

seluruh rumah sakit di Indonesia yang dilakukan oleh Chaery

Indra (2009), ada 0,5-1,5 perseribu penduduk mengalami

gangguan jiwa, sedangkan di kota-kota besar jumlahnya

berkisar antara 0,5-1 perseribu penduduk.

Jumlah penderita schizophrenia di indonesia adalah

tiga sampai lima per 1000 penduduk. Mayoritas penderita

berada di kota besar.Ini terkait tingginya stress yang

muncul didaerah perkotaan. Dari hasil survey dari rumah

sakit di indonesia, ada 0,5-1,5 per seribu penduduk

mengalami gangguan jiwa ( Hawari 2009,dikutip dari chaery

2009 ).Pada penderita skizophrenia70% diantaranya adalah

penderita hallusinasi ( Malindawany dkk., 2008 ).

Pada pasien gangguan njiwa dengan kasus Schizoprenia

selalu diikuti dengan gangguan persepsi sensori; halusinasi

(Nasution 2003).

Dampak yang ditimbulkan oleh pasien yang mengalami

halusinasiadalah kehilangan kontrol dirinya.Dimana pasien


7

mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh

halusinasinya.dalam situasi ini pasien dapat melakukan

bunuh diri (suicide), membunuh orang lain (homicide),

bahkan merusak lingkungan. Untuk memperkecil dampak yang

ditimbulkan, dibutuhkan penanganan halusinasi yang tepat

(Hawari 2009, dikutip dari Chaery 2009).

Pelaksanaan pengenalan dan pengontrolan halusinasi

dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara kelompok dan

individu. Secara kelompok selama ini dikenal dengan istilah

Terapi Aktivitas Kelompok ( TAK ) dan secara individu

dengan cara face to face (Gundersoon, 1984 dikutip dari

Daley dan Salloum, 2001).

Ada empat terapi aktivitas kelompok yaitu ; Terapi

aktivitas kelompok sosialisasi, stimulasi persepsi,

stimulasi sensori dan orietasi realita. Menurut Keliat dan

Akemat (2005) dikutip dari Hamid (2008), TAK yang sesuai

untuk pasien dengan masalah utama perubahan sensori

persepsi; Halusinasi adalah aktivitas berupa stimulasi dan

persepsi.

Dari data yang didapatkan dari Rumah Sakit Jiwa

Provinsi NTB didapatkan jumlah pasien yang mengalami

gangguan persepsi halusinasi dari tahun 2010 sebanyak 748

orang, tahun 2011 sebanyak 818 orang, dan pada bulan

januari sampai bulan mei 2012 didapatkan 396 orang. Dari

data tersebut menunjukkkan terjadi peningkatan kasus


8

halusinasi setiap tahunnya, sehingga kasus ini memerlukan

penangan dan cara pengontrolan halusinasi yang tepat.

Pengontrolan halusinasi yang tepat sangat diperlukan

untuk mencegah terjadinya kekambuhan klien halusinasi.

Salah satu terapi untuk mengontrol halusinasi adalah terapi

aktivitas kelompok yang terdiri dari berbagai aktivitas

seperti aktivitas mengenal halusinasi, mengahardik

halusinasi, melakukan kegiatan, bercakap-cakap, dan

diajarkan patuh minum obat.

Dengan adanya terapi aktivitas kelompok (TAK)

diharapkan klien dengan gangguan persepsi halusinasi dapat

mengontrol halusinasinya. Sehingga dengan latar belakang di

atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang adanya

pengaruh terapi aktivitas kelompok (TAK) persepsi

halusinasi terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi

di RSJP NTB.

B. Rumusan Masalah

Dalam uraian pada latar belakang, dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut : Apakah ada pengaruh terapi

aktivitas kelompok (TAK) persepsi halusinasi sesi 1, 2 dan

3 terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi di RSJP

NTB.
9

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas

kelompok (TAK) persepsi halusinasi sesi 1,2 dan 3

terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi di RSJP

NTB.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kemampuan klien mengontrol

halusinasi sebelum dilakukan terapi aktivitas

kelompok (TAK) persepsi halusinasi sesi 1,2 dan 3

b. Mengidentifikasi kemampuan klien mengontrol

halusinasi setelah dilakukan terapi aktivitas

kelompok (TAK) persepsi halusinasi sesi 1,2 dan 3

c. Menganalisis pengaruh terapi aktivitas kelompok

(TAK) persepsi mengontrol halusinasi sesi 1,2 dan 3

terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi di

RSJP NTB

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Mengembangkan ilmu pengetahuan tentang terapi

aktivitas kelompok, sehingga TAK dapat dilakukan dalam

membantu klien halusinasi.


10

2. Secara Praktis (penerapan)

a. Bagi Profesi Keperawatan

1) Meningkatkan kualitas dalam terapi aktivitas

kelompok sehingga manfaat dari TAK tersebut dapat

dirasakan oleh klien

2) Meningkatkan kuantitas dalam pemberian terapi

aktivitas kelompok, karena dengan semakin

banyaknya jumlah pertemuan pada saat TAK, dapat

melatih klien untuk membantu mengontrol

halusinasinya.

b. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan

untuk selalu menerapkan terapi aktivitas kelompok

(TAK) pada pasien yang mengalami gangguan halusinasi.

c. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam

aplikasi riset keperawatan tentang pengaruh terapi

aktivitas kelompok terhadap kemampuan pasien

mengontrol halusinasi.

d. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat memberi informasi atau

gambaran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

E. Keaslian penelitian

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ledy Gresia

Sihotang tahun 2010 di RSJ Daerah Provinsi Sumatra Utara


11

Medan dengan judul penelitian Pengaruh TAK Stimulasi

Persepsi terhadap Kemampuan Pasien Mengontrol Halusinasi di

RSJ Daerah Provinsi Sumatra Utara Medan Penelitian quasi

eksperimen jenis one group pretest-posttest ini bertujuan

untuk mengetahui pengaruh TAK stimulasi persepsi terhadap

kemampuan pasien mengontrol halusinasi. Dalam penelitian

ini melibatkan 7 orang responden dengan teknik pemilihan

sampel dengan cara purposive sampling. Data dikumpulkan

dengan menggunakan lembar observasi TAK stimulasi persepsi.

Uji statistik yang digunakan adalah wilcoxon signed rank

test dengan = 0.025. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa TAK stimulasi persepsi mempunyai pengaruh yang

signifikan dalam mengontrol halusinasi pasien (p1 = 0,016,

p2 = 0,016, p3 = 0.017, p4 = 0.016, p5 = 0.011.

Penelitian terkait juga penah dilakukan oleh

Gusti Ayu Yanti Sudarnini (2010) dengan judul

pengaruh terapi aktivitas kelompok persepsi

halusinasi terhadap kemampuan mengontrol halusinasi

pada pasien skizofrenia sebelum dan setelah

dilaksanakan terapi aktivitas kelompok di Rumah Sakit

Jiwa Pusat DR.Soeharto Heerdjan Jakarta. dan tujuan

penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang

pengaruh terapi aktifitas kelompok persepsi halusinasi

terhadap pasien skizofrenia yang memiliki halusinasi.


12

Dari analisa penelitian didapatkan proporsi pengaruh

TAK stimulasi persepsi halusinasi terhadap kemampuan

mengontrol halusinasi sebelum dan setelah dilakukan

TAK, rata-rata kemampuan mengontrol halusinasi pada

pengukuran pertama ( sebelum TAK ) adalah 16,12 dengan

standar deviasi 4,182. Pada pengukuran kedua (sesudah

TAK) didapatkan rata-rata kemampuan mengontrol

halusinasi yaitu 23,24 dengan standar deviasi 6,619.

Dari hasil tersebut, terlihat mean ( rata-rata) pada

pengukuran pertama dan kedua mengalami peningkatan

sebesar 7,12. Dari hasil uji statistic didapatkan

nilai p = 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara kemampuan mengontrol

halusinasi sebelum dan setelah dilakukan TAK

Penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu

memiliki persamaan pada variabel independen yaitu terapi

aktivitas kelompok (TAK) dan rancangan penelitian yang

menggunakan The one group pretest-postest design, sedangkan

perbedaannya terletak pada teknik pengambilan sampel dimana

penelitian sekarang menggunakan teknik total sampling dan

analisa data menggunakan uji t test.


13

BAB 11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

1. Halusinasi

a. Pengertian halusinasi

Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya

rangsang apapun pada panca indra seorang pasien,

yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun,

dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik, atau

histerik (Maramis, 2005)

Halusinasi adalah terganggunya persepsi

sensoris seseorang dimana tidak terdapat stimulus

(Varcarolis, 2006).

Halusinasi merupakan bentuk kesalahan

pengamatan tanpa pengamatan objektivitas

penginderaan dan tidak disertai stimulus fisik yang

adekuat (Sunaryo, 2004)

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa halusinasi adalah persepsi klien yang salah

terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata,

memberi persepsi yang salah atau pendapat tentang


14

sesuatu tanpa ada objek/rangsangan yang nyata.

b. Etiologi

Adapun etiologi dari halusinasi terbagi menjadi

dua yaitu factor predisposisi dan presipitasi.

Faktor predisposisi dari halusinasi adalah aspek

biologis, psikologis, genetik, sosial dan biokimia.

Jika tugas perkembangan terlambat atau hubungan

interpersonal terganggu, maka individu akan

mengalami stress atau kecemasan. Beberapa faktor di

masyarakat dapat membuat seseorang terisolasi dan

kesepian sehingga menyebabkan kurangnya rangsangan

dari eksternal. Stress yang menggangggu sistem

metabolisme tubuh akan mengeluarkan suatu zat yang

bersifat halusinogen (Carson, 2000).

Menurut Cloninger, gangguan jiwa terutama

gangguan persepsi sensori: halusinasi dan gangguan

psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan

faktor genetik. Individu yang memiliki hubungan

sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari pasien

yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan

10 %, sedangkan keponakan atau cucu kejadiannya 2-4

%. Individu yang memiliki hubungan sebagai kembar


15

identik dengan pasien yang mengalami gangguan jiwa

memiliki kecenderungan 46-48 %, sedangkan kembar

dizygot memiliki kecenderungan 14-17 % (Yosep,

2008).

Menurut Andreasan, bahwa neurotransmiter dan

resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi

zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata

mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang

menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan

negatif skizofrenia (Yosep, 2008).

Selain perubahan-perubahan yang sifatnya

neurokimiawi, dalam penelitian dengan menggunakan CT

Scan otak, ditemukan pula perubahan pada anatomi

otak pasien, terutama pada penderita kronis.

Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel,

atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil

(Yosep, 2008).

Menurut stuart & sundeen (2007) dikutip oleh

jallo (2008) faktor presipitas terjadinya halusinasi

adalah :

a. Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik

otak, yang mengatur proses informasi serta


16

abnormalitas pada mekanisme pintu masuk

dalam otak yangmengakibatkan ketidak mampuan

untuk secara selektif menanggapi stimulus

yang diterima oleh otak untuk

diinterprestasikan.

b. Stress lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang

berintraksi terhadap stressor lingkungan

untuk menentukan terjadinya gangguan

prilaku.

c. Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu

dalam menanggapi stressor.

c. Rentang respon neurobiologis

Respon neurobiologist merupakan berbagai respon

prilaku klien yang terkait dengan fungsi otak.

Gangguan respon neurobiology ditandai dengan

gangguan persepsi sensoris halusinasi.

Respon neurobiologist individu dapat

diidentifikasi sepanjang rentang respon adaptif

sampai maladaptive.
17

Respon adaptif
Respon maladaptive

Pikiran logis Pikiran kadang Gangguan proses


Persepsi akurat menyimpang pikir/delusi/waham
Emosi konsisten Ilusi Ketidakmampuan
dengan Reaksi untuk mengalami
pengalaman emosional emosi
Prilaku sesuai berlebih/kurang Ketidak teraturan
Hubungan social Perilaku ganjil Isolasi social
harmonis Menarik diri Halusinasi

Bagan 2.1 Rentang respon neurobiologist (Sumber :
Trimelia S, 2011)

d. Tahapan proses terjadinya halusinasi

Menurut Trimelia S, 2011 tahapan proses terjadinya

halusinasi adalah

1) Tahap 1 (Sleep disorder)

Fase awal individu sebelum muncul halusinasi

Karektristik :

Individu merasa banyak masalah, ingin menghindar

dari orang dan lingkungan, takut diketahui orang

lain bahwa dirinya banyak masalah.

Masalah makin terasa sulit, karena berbagai

stressor terakumulasi.

Masalah makin terasa menekan, support system

kurang dan persepsi terhadap masalah sengat

buruk.
18

Sulit tidur terus menerus sehingga terbiasa

menghayal

Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut

sebagai upaya pemecahan masalah

2) Tahap II (Comforting moderate level of anxiety)

Halusinasi bersifat menyenangkan secara umum

individu terima sesuatu sebagai yang alami.

Karektristiknya :

Individu mengalami emosi yang berlanjutt, seperti

ada rasa cemas, kesepian, perasaan berdosa, dan

ketakutan.

Individu mncoba untuk memusatkan pemikiran pada

timbulnya kecemasan dan pada penenangan pemikiran

untuk mengurangi kecemasan tersebut. Individu

beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensori

yang dialaminya dapat dikontrol atau dikendalikan

jika kecemasanya bisa diatasi.

( dalam tahap ini kecendrungan individu merasa

nyaman dengan halusinasinya dan halusinasi

bersifat sementara)

Perilaku yang muncul adalah menyeringai atau

tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya


19

tanpa menimbulkan suara, gerakan mata cepat,

respon verbal lamban, diam dan dipenuhi oleh

sesuatu yang mengasyikkan.

3) Tahap III (Condeming severe level of anxiety)

Halusinasi bersifat menyalahkan, sering

mendatangi individu, dan secara umum halusinasi

menjijikkkan.

Karekteristiknya :

Pengalaman sensori individu menjadi sering dating

dan mengalami bias.

Pengalaman sensori mulai bersifat menjijikkan dan

menakutkan. Mulai merasa kehilangan kendali dan

merasa tidak mampu lagi mengontrolnya.

Mulai berusaha untuk menjaga jarak antara dirinya


dengan objek yang dipersepsikan individu.

Individu mungkin merasa malu karena pengalaman


sensorinya tersebut dan menarik diri dari orang
laindengan intensitas waktu yang lama.

Perilaku yang muncul adalah terjadinya


peningkatan saraf otonom yang menunjukkan
ansietas atau kecemasan. Seperti : peningkatan
pernafasan, tekanan darah dan denyut nadi
meningkat, konsentrasi menurun, dipenuhi denga
pengalaman sensori dan mungkin kehilangan
20

kemampuan untuk menbedakan antara halusinasi atau


realita.

4) Tahap IV (Controling severe level of anxiety)

Halusinasi bersifat mengendalikan, fungsi

sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataandan

pengalaman sensori tersebut menjadi penguasa.

Karekteristiknya :

Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol


individu

Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori

abnormal yang datang.

Klien menjadi tidak berdaya dan menyerah untuk

melawan halusinasi, sehingga membiarkan

halusinasi menguasai dirinya.

Individu mungkin akan mengalami kesepian jika

pengalaman sensori atau halusinasinya tersebut

berakhir (disinilah mulai fase gangguan

psikotik)

Prilaku yang muncul cendrung mengikuti petunjuk

sesuai isi halusinasi, kesulitan berhubungan dengan

orang lain, rentang perhatian hanya beberapa

detik/menit.
21

5) Tahap V (Concuering panic level of anxiety)

Halusinasi bersifat menaklukkan, halusinasi

menjadi lebih rumit, dan klien mengalami gangguan

dalam menilai lingkungannya.

Karektristiknya :

Pengalaman sensorisnya menjadi terganggu.

Halusinasi berubah mengancam, memerintah, dan

menakutkan apabila tidak mengikuti perintahnya,

sehingga klien merasa terancam.

Klien merasa terpaku dan tidak berdaya

melepaskan diri,, klien tidak dapat

berhungungan dengan orang lain, dan menjadi

menarik diri.

Klien berada dalam dunia menakutkan dalam waktu

yang singkat atau bias juga beberapa jam atau

beberapa hari atau selamanya (terjadi gangguan

psikotik berat)

Prilaku yang muncul adalah prilaku yang

menyerang, resiko bunuh diri atau membunuh,

kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi,


22

tidak mampu bersespon terhadap petunjuk yang

komplek dan lebih dari satu orang.

e. Tanda dan gejala halusinasi

Menurut Stuart dan Sundeen(1998) dan Carpenito

(1997) data subjektif dan objektif klien halusinasi

adalah ssebagai berikut :

1) Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai

2) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara

3) Gerakan mata cepat

4) Respon verbal lamban atau diam

5) Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasikkan

6) Terlihat bicara sendiri

7) Menggerakkan bola mata dengan cepat

8) Bergerak seperti membuang atau mengambil

sesuatu

9) Duduk terpaku, memandang sesuatu, tiba-tiba

berlari ke ruangan lain

10) Disorientasi (waktu,tempat,orang)

11) Perubahan kemampuan dan memecahkan , masalah

12) Perubahan perilaku dan pola komunikasi

13) Gelisah, ketakutan, ansieatas

14) Peka rangsang dan melaporkan adanya halusinasi


23

f. pohon masalah

Resiko perilaku kekerasan

Gangguan pesepsi sensorik


halusinasi
pendengaran/penglihatan/penciuman
/perabaan/pengecapan

Isolasi social penurunan motivasi

Harga diri rendah

Ketidakberdayaan

Koping individu tidak efektif

Gambar Pohon masalah gangguan persepsi sensorik


halusinasi (Trimelia S, 2011)

g. Jenis-jenis halusinasi

Adapun jenis-jenis halusinasi menurut Trimelia

S, 2011 adalah :

1) Halusinasi pendengaran ( auditory)

Mendengar suara yang membicarakan, mengejek,

menertawakam, mengancam, memerintahkan untuk

melakukan sesuatu (kadang-kadang hal yang


24

berbahaya). Perilaku yang muncul adalah

mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau

tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menutup

telinga, mulut komat kamit, dan ada gerakan

tangan.

2) Halusinasi penglihatan (visual)

Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran

cahaya, gambar, orang atau panorama yang luas dan

kompleks, bias yang menyenangkan atau menakutkan.

Perilaku yang muncul adalah tatapan pada tempat

tertentu, menunjuk kearah tertentu, ketakutan pada

objek yang dilihat.

3) Halusinasi penciuman (olfactory)

Tercium bau busuk, amis dan bau yang

menjijikkan, seperti bau darah, urine, atau feses

atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul

adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan

gerakan cuping hidung, mengarahkan hidung pada

tempat tertentu, menutup hidung.

4) Halusinasi pengecapan (gustatory)

Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan

menjijikkan, seperti rasa darah, urine atau feses.

Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap, mulut


25

seperti gerakan mengunyah sesuatu sering meludah,

muntah.

5) Halusinasi perabaan (taktil)

Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa

stimulus yang tidak enak tanpa stimulus yang

terlihat, seperti merasakan sensasi listrik dari

tanah, benda mati atau orang. Merasakan ada yang

menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil,

dan mahluk halus. Perilaku yang muncul adalah

mengusap, menggaruk-garuk atau meraba-raba

permukaan kulit, terlihat-lihat menggerakkan badan

seperti merasakan sesuatu rabaan.

6) Halusinasi sinestetik

Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir

melaui arteri dan vena, makanan dicerna atau

pembentukan urine, perasaan tubuhnya melayang

diatas permukaan bumi.Perilaku yang muncul adalah

klien terlihat tubuhnya sendiri dan terlihat

seperti merasakan tubuhnya sendiri dan terlihat

seprti merasakan sesuatu yang aneh tentang

tubuhnya.

2. Terapi Modalitas

a. Pengertian
26

Terapi modalitas adalah terapi utama dalam

keperawatan jiwa. Terapi ini di berikan dalam upaya

mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif

menjadi perilaku adaptif (Keliat, 2004).

b. Jenis Terapi Modalitas

1. Terapi Individual

Terapi individual adalah penanganan klien

gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual

antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu

hubungan yang terstruktur yang terjalin antara

perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien.

Hubungan yang dijalin adalah hubungan yang

disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan

tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui

hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien

sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal

hubungan.

Hubungan terstruktur dalam terapi individual

bertujuan agar klien mampu menyelesaikan konflik

yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan

mampu meredakan penderitaan (distress) emosional,

serta mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi

kebutuhan dasarnya.

Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:


27

1). Tahap orientasi

2). Tahap kerja

3). Tahap terminasi

2. Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu

menata lingkungan agar terjadi perubahan perilaku

pada klien dari perilaku maladaptive menjadi

perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua

lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik.

Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk

tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada

nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.

3. Terapi Biologi

Penerapan terapi biologis atau terapi somatic

didasarkan pada model medical di mana gangguan jiwa

dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan

model konsep yang lain yang memandang bahwa

gangguan jiwa murni adalah gangguan pada jiwa

semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan

patofisiologis. Tekanan model medical adalah

pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala


28

dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal

dipercaya akibat adanya perubahan biokimiawi

tertentu.

4. Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi

keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan

perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah

membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian

dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir

dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor

tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien

mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak

akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku

adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan

tersebut. Fokus asuhan adalah membantu klien untuk

reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-

harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun

perubahan kognitif.

5. Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan

kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit

penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga

adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya.


29

Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah

keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa

melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh

anggotanya.

6. Terapi Perilaku

Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah

kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses

pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat

dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang

tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam

terapi jenis ini adalah:

a. Role model

b. Kondisioning operan

c. Desensitisasi sistematis

d. Pengendalian diri

e. Terapi aversi atau releks kondisi

7. Terapi Bermain

Terapi bermain diindikasikan untuk anak yang

mengalami depresi, anak yang mengalami ansietas,

atau sebagai korban penganiayaan (abuse). Bahkan

juga terpai bermain ini dianjurkan untuk klien

dewasa yang mengalami stress pasca trauma, gangguan


30

identitas disosiatif dan klien yang mengalami

penganiayaan.

3. Terapi aktivitas kelompok

a. Pengertian

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki

hubungan antara satu dengan yang lainnya, saling

ketergantungan dan mempunyai norma yang sama (Stuart

dan Laraia,2001)

Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang

dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi

bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep,

2008).

Terapi aktivitas kelompok adalah suatu aktivitas

psikoterapi yang dilakukan pada sekelompok penderita

gangguan jiwa dengan cara berdiskusi satu sama lain

yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis

atau petugas kesehatan jiwa yang terlatih. (Keliat,

2005)
31

b. Manfaat terapi aktivitas kelompok

Menurut Wahyu Purwaningsih (2010), terapi

aktivitas kelompok mempunyai manfaat :

1). Umum

a). Meningkatkan kemampuan uji realitas ( reality

testing) melalui komunikasi dan umpan balik

dengan atau dari orang lain

b). Melakukan sosialisai

c). Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi

kognitif dan afektif

2). Khusus

a). Meningkatkan identitas diri

b). Menyalurkan emosi secara konstruktif

c). Meningkatkan ketrampilan hubungan

interpersonal atau sosial

3). Rehabilitasi

a). Menigkatkan ketrampilan ekspresi diri

b). Meningkatkan keterampilan social

c). Meningkatkan kemampuan empati

d). Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

c. Tujuan terapi aktivitas kelompok menuurut Wahyu

Purwaningsih (2010)

1). Mengembangkan stimulasi kognitif


32

Tipe : Bibliotrapy

Aktivitas : menggunakan artikel, sajak, puisi,

buku, surat kabar untuk , merangsang dan

mengembangkan hubungan dengan orang lain.

2). Mengembangkan stimulasi sensoris

Tipe : music, seni, menari

Aktivitas : menyediakan kegiatan, mengekspresikan

perasaan

Tipe : relaksasi

Aktivitas : belajar tehnik relaksasi dengan cara

nafas dalam , relaksasi otot, dan imajinasi.

3). Mengembangkan orientasi realita

Tipe : kelompok orientasi relitas, kelompok

validasi.

Aktivitas : focus pada orientasi waktu, tempat dan

orang,benar salah bantu memenuhi kebutuhan.

4). Mengembangkan sosialisai

Tipe: kelompok remotivasi

Aktivitas : mengorientasikan klien yag menarik

diri, regresi.

Tipe : kelompok mengingatkan

Aktivitas : focus pada mengingatkan untuk

menetapkan arti positif


33

d. Kerangka teoritis terapi aktivitas kelompok

Kerangka teoritis TAK menurut Wahyu Purwaningsih

(2010) adalah

1). Model fokal konflik

Terapi kelompok dikembangkan berdasarkan

konflik yang tidak disadari. Pengalaman kelompok

secara berkesinambungan muncul kemudian konfrontir

konflik untuk penyelesaian masalah, tugas terapis

membantu anggota kelompok memahami konflik dan

mencapai penyelesaian masalah.

Menurut model ini pimpinan kelompok harus

memfasilitasi dan memberikan kesempatan kepada

anggota untuk mengekspresikan perasaan dan

mendiskusikan perasaan dan mendiskusikannya untuk

menyelesaikan masalah.

2). Model komunikasi

Model ini menggunakan prinsip teori komunikasi

dan komunikasi terapeutik. Diasumsikan bahwa

komunikasi tidak efektif dalam kelompok akan

menyebabkan ketidakpuasan anggota kelompok. Model

ini bertujuan membantu meningkatkan keterampilan

interpersonal dan social anggota kelompok.

3). Model interpersonal

Sullivan mengemukakan bahwa tingkah laku

(pikiran, perasaan, tindakan) digambarkan melalui


34

hubungan interpersonal. Interaksi dalam kelompok

dipandang sebagai proses sebab akibat dari tingkah

laku anggota lain

4). Model psikodrama

Model ini memotivasi anggota kelompok untuk

berakting sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi

atau peristiwa yang pernah terjadi.

e. Macam terapi aktivitas kelompok

Terapi aktivitas kelompok menurut Wahyu Purwaningsih

(2010) terdiri dari :

1. Terapi aktivitas kelompok stimulasi

kognitif/persepsi

Adalah terapi yang bertujuan untuk membantu

klien yang mengalami kemunduran orientasi,

menstimulus persepsi dalam upaya memotivasi proses

berfikir dan afektif serta mengurangi prilaku

maladaptive

Tujuan

a. Meningkatkan kemampuan orientasi realita

b. Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian

c. Meningkatkan kemampuan intelektual

d. Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang

lain

e. Mengemukakan perasaannya
35

2. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris

Terapi aktivitas kelompok ini untuk

menstimulasi sensori pada penderita yang mengalami

kemunduran fungsi sensoris. Tehnik yang digunakan

meliputi fasilitas penggunaan panca indra dan

kemampuan mengekspresikan stimulus baik dari

internal atau eksernal.

Tujuan :

a. Meningkatkan kemampuan sensoris

b. Meningkatkan upaya memusatkan perhatian

c. Meningkatkan kesegaran jasmani

d. Mengekspresikan perasaan

3. Terapi aktivitas kelompok orientasi realita

Adalah pendekatan untuk mengorientasikan klien

terhadap situasi nyata. Umumnya dilakukan pada

kelompok yang mengalami gangguan orientasi terhadap

orang, waktu, dan tempat.

Tujuan :

a. Klien mampu mengidentifikasi stimulus internal

(pikiran, perasaan, sensasi somatik) dan

eksternal (iklim, bunyi, situasi alam sekitar)

b. Klien dapat membedakan antara lamunan atau

kenyataan

c. Pembicaraan klien sesuai realita

d. Klien mampu mengenal diri sendiri


36

e. Klien mampu mengenal orang lain, waktu, dan

tempat.

4. Terapi aktivitas kelompok sosialisasi

Adalah terapi untuk meningkatkan kemampuan

klien dalam melakukan intraksi social maupun

berperan dalam lingkungan social.

Tujuan umum :

Mampu meningkatkan hubungan interpersonal

antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling

memperhatikan, member tanggapan terhadap orang

lain, mengekspresikan ide, serta menerima stimulus

eksternal.

Tujuan khusus :

a. Klien mampu menyebutka identitasnya

b. Menyebutkan identitas orang lain

c. Berespon terhadap penderita lain

d. Mengikuti aturan main

e. Mengemukakan pendapat dan perasaannya

f. Tahapan-tahapan dalam terapi aktivitas kelompok

Tahapan dalam TAK menurut Wahyu Purwaningsih

(2010) adalah

1. Pre kelompok

Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan

siapa yang menjadi leader, anggota, tempat dan


37

waktu kegiatan kelompok akan dilaksanakan serta

membuat proposal lengkap dengan media yang akan

digunakan beserta dana yang dibutuhkan.

2. Fase awal

Fase ini terdapat tiga tahapan yang terjadi yaitu :

a. Orientasi

Anggota mulai mencoba mengembangkan system

social masing-masing, leader mulai menunjukkkan

rencana terapi dan mengambil kontrak dengan

anggota.

b. Konflik

Anggota mulai memikirkan siapa yang berkuasa

dalam kelompok, bagaimana peran angota, tugasnya,

dan saling ketergatungan yang akan terjadi.

c. Kebersamaan

Anggota mulai bekerjasama untuk mengatasi

masalah, anggota mulai menemukan siapa dirinya.

3. Fase kerja

Pada fase ini kelompok sudah menjadi tim:

a. Merupakan fase yang menyenangkan bagi pemimpin

dan anggotanya

b. Perasaan positif dan negative dapat dikoreksi

dengan hubungan saling percaya yang telah terbina

c. Tanggung jawab merata, kecemasan menurun,

kelompok lebih stabil dan realistis


38

d. Kelompok mulai mengeksplorasi lebih jauh sesuai

dengan tujuan dan tugas kelompok dalam

menyelesaikan tugasnya

e. Fase ini ditandai dengan penyelesaian masalah

yang kreatif

4. Fase terminasi

Ada dua jenis terminasi yaitu terminasi akhir

dan terminasi sementara. Anggota kelompok mungkin

mengalami terminasi premature, tidak sukses atau

sukses. Terminasi dapat menyebabkan kecemasan,

regresi, atau kecewa. Untuk menghindari hal ini,

terapis perlu mengevaluasi kegiatan dan menunjukkan

sikap bagaiamana bermaknanya kegiatan tersebut,

menganjurkan anggota untuk memberi umpan balik pada

tiap anggota.

g. Jumlah anggota dalam terapi aktivitas kelompok

Menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam keliat dan

akemat,2005)adalah 7-10 orang dan kelompok yang nyaman

adalah 5-12 orang.

Menurut Rawlins,Williams,dan Beck (1993,dalam

Keliat & Akemat,2005)adalah 5-10 orang.Jika anggota

kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota

mendapatkan kesempatan mengungkapkan perasaan,pendapat

dan pengalamannya.jika terlalu kecil,tidak cukup

variasi informasi dan interaksi yang terjadi.


39

Menurut Jhonson (dalam yosep,2009) terapi

kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena

interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik

terjadi pada kelompok sebanyak itu. Apabila

keanggotaan lebih dari 10, maka komunikasi sulit untuk

difokuskan , sedangkan jika kurang dari 4, maka akan

terlalu babnyak tekanan yang dirasakan oleh anggota

sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas,

dan sering bertingkah laku irasiional.

h. Terapis

Terapis adalah orang yang dipercaya untuk

memberikan terapi kepada klien yang mengalami ganguan

jiwa. Adapun yang menjadi terapis menurut Wahyu

Purwaningsih (2010) antara lain :

a. Dokter

b. Psikoater

c. Psikolog

d. Perawat

e. Fisioterapis

f. Speech terapis

g. Occupasional terapis

h. Social worker

i. Peran Perawat dalam terapi aktivitas kelompok

Menurut Wahyu Purwaningsih (2010) Peran Perawat dalam

TAK adalah
40

1. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok

Sebelum melaksanakann terapi aktivitas

kelompok, perawat harus terlebih dahulu membuat

proposal yang akan menjadi panduan terapi aktivitas

kelompok.

2. Tugas sebagai leader dan coleader

Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi

pola-pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok,

membantu anggita kelompok menyadari dinamisnya

kelompok, mmenjadi motivator, membantu menetapkan

tujuan, dan membuat peraturan serta mengarahkan dan

memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok.

3. Tugas sebagai fasilitator

Sebagai fasilitator perawat ikut serta dalam

kegiatan kelompok dengan tujuan member stimulus

pada anggota kelompok agar dapat mengikuti jalannya

kegiatan.

4. Tugas sebagai observer

Meliputi mencatat serta mengamati respon

penderita, mengamati jalannya proses terapi

aktivitas dan menangani peserta kelompok yang drop

out.

5. Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat

pelaksanaan terapi
41

Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan

timbulnya sub kelompok, kurangnya keterbukaan,

resistensi baik individu atau kelompok dan adanya

anggota kelompok yang drop out.

6. Program antisipasi masalah

Merupakan intervensi keperawatan yang

dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang

bersifat darurat yang dapat mempengaruhi proses

pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.

j. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi :

Halusinasi

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi

persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas

sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau

kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat,

2004).

Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi adalah membantu pasien yang mengalami

kemunduran orientasi dengan karakteristik: pasien

dengan gangguan persepsi; halusinasi, menarik diri

dengan realitas, kurang inisiatif atau ide,

kooperatif, sehat fisik, dan dapat berkomunikasi

verbal (Yosep, 2007).


42

1. Tujuan TAK Stimulasi Persepsi

Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi

adalah pasien mempunyai kemampuan untuk

menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan

stimulus kepadanya. Sementara, tujuan khususnya:

pasien dapat mempersepsikan stimulus yang

dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan

masalah yang timbul dari stimulus yang dialami

(Darsana, 2007).

2. Aktivitas TAK Stimulasi Persepsi : Halusinasi

Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata

dan respon yang dialami dalam kehidupan, khususnya

untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam

lima sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :

a. Sesi pertama: Mengenal Halusinasi

Tujuan:

1. Pasien dapat mengenal halusinasi.

2. Pasien mengenal waktu terjadinya halusinasi.

3. Pasien mengenal situasi terjadinya halusinasi.

4. Pasien mengenal perasaannya pada saat terjadi

halusinasi.
43

Langkah kegiatan

1. Persiapan

a. Memilih pasien sesuai dengan indikasi yaitu

pasien dengan perubahan sensori persepsi:

halusinasi.

b. Membuat kontrak dengan pasien

c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi

a. Salam terapeutik

1. Salam dari terapis kepada pasien.

2.Perkenalkan nama dan panggilan terapis

(pakai papan nama).

3. Menanyakan nama dan panggilan semua pasien

(beri papan nama).

b) Evaluasi/ validasi

Menanyakan perasaan pasien saat ini.

c) Kontrak

1. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang

akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara suara

yang didengar.

2. Terapis menjelaskan aturan main berikut:

a. Jika ada pasien yang ingin meninggalkan

kelompok, harus minta izin kepada terapis.

b. Lama kegiatan 45 menit


44

c. Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal

sampai selesai.

3. Tahap kerja

a) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan

dilakukan, yaitu mengenal suara suara yang

didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu

terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan

pasien pada saat terjadi.

b) Terapis meminta pasien menceritakan isi

halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang

membuat terjadinya halusinasi, dan perasaan

pasien saat terjadi halusinasi. Mulai dari

pasien yang sebelah kanan , secara berurutan

sampai semua pasien mendapat giliran.

Hasilnya ditulis di whiteboard.

c) Beri pujian pada pasien yang melakukan

dengan baik.

d) Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi

terjadi, dan perasaan pasien dari suara yang

biasa didengar.

4. Tahap terminasi

a) Evaluasi

1. Terapis menanyakan perasaan pasien setelah

mengikuti TAK.
45

2. Terapis memberikan pujian atas

keberhasilan kelompok.

b) Tindak lanjut

Terapis meminta pasien untuk melaporkan

isi, waktu, situasi, dan perasaanya jika

terjadi halusinasi.

c) Kontrak yang akan datang

1. Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu

cara mengontrol halusinasi

2. Menyepakati waktu dan tempat.

Menurut Iyus Yosep (2010) untuk dapat

menilai atau mengevaluasi kemampuan pasien

dalam terapi aktivitas kelompok (TAK) dibuat

suatu format evaluasi penilaian dan format

tersebut di lampirkan ditiap sesi-sesi terapi

aktivitas kelompok.

Tabel 2.1 Penilaian Sesi 1 mengenal halusinasi

(Wahyu Purwaningsih, 2010)

NILAI
NO BUTIR YANG DINILAI
2 1 0

A. PERSIAPAN

1. Memilih pasien sesuai indikasi

2. Membuat kontrak dengan pasien

3. Mempersiapkan alat dan tempat


(peserta duduk melingkar)
46

Score = 6

NB Nilai = Jumlah score

B. ORIENTASI

1. Mengucapkan salam terapeutik

2. Menanyakan perasaan klien hari


ini
3. Menanyakan pengalaman halusinasi
yang pernah terjadi
4. Menjelaskan tujuan kegiatan

5. Menjelaskan aturan main :


a. Klien harus mengikuti kegiatan
dari awal sampai akhir
b. Bila ingin keluar dari
kelompok harus minta ijin dari
terapis
c. Lama kegiatan 45 menit
Score = 8

NB Nilai = Jumlah score

C. KERJA

1. Mengajak pasien untuk saling


memperkenalkan diri (nama, nama
panggilan, asal)
2. Menjelaskan kegiatan yang akan
dilakukan yaitu masing-masing
pasien membagi pengalaman
tentang halusinasi yang mereka
alami dengan menceritakan isi,
waktu terjadi, frekwensi, dan
perasaan yang timbul saat
47

mengalami halusinasi

3. Meminta pasien untuk bercerita


tentang halusinasi yang dialami
secara berurutan
4. Setiap kali pasien selesai
cerita, terapis mempersilahkan
pasien lain untuk bertanya
sebanyak-banyaknya 3 pertanyaan
5. Ulangi 3,4 sampai semua mendapat
giliran
6. Terapis memberikan pujian,
setiap pasien selesai
menceritakan halusinasinya
Score = 12

NC Nilai = Jumlah score

D. TERMINASI

1. Menanyakan perasaan klien saat


mengikuti TAK
2. Memberi pujian atas pencapaian
kelompok
3. Menganjurkan mendengarkan bila
mengalami halusinasi segera
menghubungi perawat
4. Membuat kontrak kembali untuk
TAK berikutnya
Score = 8

ND Nilai = jumlah score


48

b. Sesi kedua: Mengontrol Halusinasi dengan

Menghardik

Tujuan:

1. Pasien dapat menjelaskan cara yang selama ini

dilakukan untuk mengatasi halusinasi.

2. Pasien dapat memahami cara menghardik

halusinasi.

3. Pasien dapat memperagakan cara menghardik

halusinasi.

Langkah kegiatan

1. Persiapan

a) Mengingatkan kontrak kepada pasien yang telah

mengikuti sesiI

b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2. Orientasi

a) Salam terapeutik

1. Salam dari terapis kepada pasien.

2. Pasien dan terapis pakai papan nama.

b) Evaluasi/validasi

1. Terapis menanyakan persaan pasien saat

ini.

2. Terapis menanyakan pengalaman halusinasi

yang terjadi: isi, waktu, situasi, dan

perasaan.
49

c) Kontrak

1. Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu dengan

latihan satu cara mengontrol halusinasi.

2. Menjelaskan aturan main (sama seperti pada

sesi 1)

3. Tahap kerja

a) Terapis meminta pasien menceritakan apa yang

dilakukan pada saat mengalami halusinasi, dan

bagaimana hasilnya. Ulangi sampai semua

pasien mendapat giliran.

b) Berikan pujian setiap pasien selesai

bercerita.

c) Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi

dengan menghardik halusinasi saat halusinasi

muncul.

d) Terapis memperagakan cara menghardik

halusinasi, yaitu Pergi jangan ganggu saya,

saya mau bercakap-cakap dengan

e) Terapis meminta masing-masing pasien

memperagakan cara menghardik halusinasi

dimulai dari pasien sebelah kiri terapis,

berurutan searah jarum jam sampai semua

peserta mendapat giliran.


50

f) Terapis memberikan pujian dan mengajak semua

pasien bertepuk tangan saat setiap pasien

selesai memperagakan menghardik halusinasi.

4. Tahap terminasi

a) Evaluasi

1. Terapis menayakan perasaan pasien setelah

mengikuti TAK.

2. Terapis memberikan pujian atas

keberhasilan kelompok.

b) Tindak lanjut

1.Terapis menganjurkan pasien untuk

menerapkan cara yang telah dipelajari jika

halusinasi muncul.

2.Memasukkan kegiatan menghardik dalam jadwal

kegiatan harian pasien.

c) Kontrak yang akan datang

1. Terapis membuat kesepakatan dengan pasien

untuk TAK yang berikutnya, yaitu belajar

cara mengontrol halusinasi dengan melakukan

kegiatan.

2. Terapis membuat kesepakatan waktu dan

tempat TAK berikutnya.


51

Table 2.2 Penilaian Sesi 2 menghardik halusinasi

(Wahyu Purwaningsih, 2010)

NILAI
NO BUTIR YANG DI NILAI 2 1 0
A. PERSIAPAN
1. Membuat kontrak dengan klien
yang sesuai indikasi
2. Mempersiapkan alat dan tempat
(peserta duduk melingkar dalam
suasana ruang yang tenang dann
nyaman)
Score = 4
NA Nilai = jumlah score

B. ORIENTASI
1. Mengucapkan salam terapeutik
2. Menanyakan perasaan klien hari
ini
3. Menanyakan pengalaman
halusinasi yang pernah terjadi
4. Menjelaskan tujuan kegiatan
5. Menjelaskan aturan main :
a. Klien harus mengikuti
kegiatan dari awal sampai
akhir
b. Bila ingin keluar dari
kelompok harus minta ijin
dari terapis
c. Lama kegiatan 45 menit
Score = 10
NB Nilai = jumlah score

C. KERJA
1. Meminta menceritakan apa yang
dilakukan jika mengalami
halusinasi dan apa bisa
mengatasinya
2. Terapis memberikann pujian
setiap kali pasien selesai
menceritakan pengalaman
halusinasinya
3. Terapis menjelaskan cara
mengatasi halusinasi dengan
menghardik halusinasi saat
halusinasi muncul
4. Terapis memperagakan cara
52

menghardik halusinasi

5. Meminta masing-masing pasien


memperagakan menhardik
halusinasi dimulai dari pasien
yang berada disebelah kiri
terapis berurutan sampai semua
mendapat giliran
6. Terapis memberikan pujian,
setiap kali pasien selesai
memperagakan menghardik
halusinasi
Score = 12
NC Nilai=jumlah score

D. TERMINASI
1. Menanyakan perasaan klien
setelah mengikuti TAK
2. Member pujian atas pencapaian
kelompok
3. Menganjurkan agar pasien untuk
menerapkan cara yang sudah
dipelajari jika halusinasi
muncul
4. Membuat kontrak kembali untuk
TAK berikutnya
Score= 8
ND Nilai = jumlah score

c. Sesi ketiga: Mengontrol Halusinasi dengan

Melakukan Kegiatan

Tujuan:

1. Pasien dapat memahami pentingnya melakukan

kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi.

2. Pasien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk

mencegah terjadinya halusinasi.


53

Langkah kegiatan

1. Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan pasien yang

telah mengikuti Sesi 2.

b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2. Orientasi

a) Salam terapeutik

1. Salam dari terapis kepada pasien.

2. Pasien dan terapis pakai papan nama.

b) Evaluasi/validasi

1. Terapis menanyakan keadaan pasien saat

ini.

2. Terapis menanyakan cara mengontrol

halusinasi yang sudah dipelajari.

3. Terapis menanyakan pengalaman pasien

menerapkan cara menghardik halusinasi.

c) Kontrak

1.Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu

mencegah terjadinya halusinasi dengan

melakukan kegiatan.

2. Menjelaskan aturan main (sama seperti sesi

sebelumnya).
54

3. Tahap kerja

a) Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu

melakukan kegiatan sehari-hari. Memberi

penjelasan bahwa dengan melakukan kegiatan

yang teratur akan mencegah munculnya

halusinasi.

b) Terapis meminta tiap pasien menyampaikan

kegiatan yang biasa dilakukan setiap sehari-

hari, daan tulis di whiteboard.

c) Terapis membagikan fomulir jadwal kegiatan

harian. Terapis menulis formulir yang sama di

whiteboard.

d) Terapis membimbing satu persatu pasien untuk

membuat jadwal kegiatan harian, dari bangun

pagi sampai tidur malam. Pasien menggunakan

formulir, terapis menggunakan whiteboard.

e) Terapis melatih pasien memperagakan kegiatan

yang telah disusun.

Berikan pujian dengan tepuk tangan bersama

kepada pasien yang sudah selesai membuat

jadwal dan memperagakan kegiatan.

4. Tahap terminasi

a) Evaluasi
55

1. Terapis menanyakan perasaan pasien setelah

selesai menyusun jadwal kegiatan dan

memperagakannya.

2. Terapis memberikan pujian atas kebehasilan

kelompok.

b) Tindak lanjut

Terapis menganjurkan pasien melaksanakan dua

cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik

dan melakukan kegiatan.

c) Kontrak yang akan datang

1.Terapis membuat kesepakatan dengan pasien

untuk TAK berikutnya, yaitu mengontrol

halusinasi dengan cara bercakap-cakap.

2.Terapis membuat kesepakatan waktu dan

tempat.

Table 2.3 Penilaian Sesi 3 menyusun jadwal

kegiatan (Wahyu Purwaningsih, 2010)

NO BUTIR YANG DINILAI NILAI

2 1 0

A. PERSIAPAN

1. Membuat kontrak dengan klien


sesuai indikasi
2. Mempersiapkan alat dan tempat
(peserta duduk melingkar)
Score = 4

NA Nilai= jumlah score


56

B. ORIENTASI

1. Mengucapkan salam terapeutik

2. Menanyakan perasaan kklien hari


ini
3. Menjelaskan tujuan kegiatan

4. Menjelaskan aturan main :


a. Klien harus mengikuti kegiatan
dari awal sampai akhir
b. Bila ingin keluar dari kelompok
harus minta ijin dari terapis
c. Lama kegiatan 90 menit
Score = 8

NB Nilai = jumlah score

C. KERJA

1. Menjelaskan langkah-langkah
kegiatan
2. Membagi kertas dan pensil kepada
pasien
3. Menjelaskan aktifitas yang
teratur dalam mencegagh
terjadinya halusinasi
4. Member contoh cara menyusun
jadwal dengan menggambarkannya di
papan tulis
5. Meminta pasien untuk menyusun
jadwal aktivitas dari bangun pagi
sampai dengan tidur malam
6. Membimbing pasien sampai barhasil

menyusun jadwal

7. MemberI pujian kepada pasien


setelah selesai berhasil menyusun
jadwal
Score = 14
57

NC Nilai = jumlah score

D. ORIENTASI

1. Menanyakan perasaan pasien


setelah mengikuti TAK
2. Member pujian atas pencapaian
kelompok
3. Menganjurkan melaksanakan jadwal
aktivitas tersebut
4. Membuat kontrak kembali untuk TAK
berikutnya
Score = 8

d. Sesi keempat: Mencegah Halusinasi dengan

Bercakap-Cakap

Tujuan:

1. Pasien memahami pentingnya bercakap-cakap

dengan orang lain untuk mencegah munculnya

halusinsi.

2. Pasien dapat bercakap-cakap dengan orang lain

untuk mencegah halusinasi.

Langkah kegiatan

1. Persiapan

a) Mengingatkan kontrak dengan pasien yang

telah mengikuti sesi 3.

b) Terapis membuat kontrak dengan pasien.

c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2. Orientasi

a) Salam terapeutik

1. Salam dari terapis kepada pasien.


58

2. Pasien dan terapis memakai papan nama.

b) Evaluasi/validasi

1. Menanyakan perasaan pasien saat ini.

2.Menanyakan pengalaman pasien setelah

menerapkan dua cara yang telah dipelajari

(mengahardik dan menyibukkan diri dengan

kegiatan yang terarah) untuk mencegah

halusinasi.

c) Kontrak

1.Terapis menjelaskan tujuan, yaitu

mengontrol halusinasi dengan bercakapcakap.

2. Terapis menjelaskan aturan main (sama

dengan sesi sebelumnya).

3. Tahap kerja

a) Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-

cakap dengan orang lain untuk mengontrol dan

mencegah halusinasi.

b) Terapis meminta tiap pasien menyebutkan

orang yang biasa diajak bercakapcakap.

c) Terapis meminta tiap pasien menyebutkan

pokok pembicaraan yang biasa dan bisa

dilakukan.

d) Terapis memperagakan cara bercakap-cakap

jika halusinasi muncul Suster, ada suara di

telinga, saya mau ngobrol saja dengan suster


59

atau Suster, tentang kapan saya boleh

pulang.

e) Terapis meminta pasien untuk memperagakan

percakapan dengan orang di sebelahnya.

f) Berikan pujian atas keberhasilan pasien.

g) Ulangi e s/d f sampai semua pasien mendapat

giliran.

4. Tahap terminasi

a) Evaluasi

1. Terapis menayakan perasaan pasien setelah

mengikuti TAK.

2. Terapis menanyakan TAK mengontrol

halusinasi yang sudah dilatih.

3. Memberikan pujian atas keberhasilan

kelompok.

b) Tindak lanjut

Menganjurkan pasien untuk menggunakan tiga

cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik,

melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap.

c) Kontrak yang akan datang

1. Terapis membuat kesepakatan dengan pasien

untuk TAK berikutnya, yaitu belajar cara

mengontrol halusinasi dengan patuh minum

obat.

2. Terapis menyepakati waktu dan tempat.


60

Table 2.4 Penilaian TAK dengan bercakap-cakap

(Wahyu Purwaningsih, 2010)

NILAI
NO BUTIR YANG DINILAI 2 1 0
A. PERSIAPAN
1. Membuat kontrak dengan klien
sesuai indikasi
2. Mempersiapkan alat dan tempat
(peserta duduk melingkar)

Score = 4
NA Nilai = jumlah score

B. ORIENTASI
1. Mengucapkan salam terapeutik
2. Menanyakan perasaan klien hari
ini
3. Menanyakan pengalaman klien
mengontrol halusinasi setelah
menerapkan tiga cara lain
4. Menjelaskan tujuan kegiatan
5. Menjelaskan aturan main :
a. Klien harus mengikuti kegiatan
dari awal sampai akhir
b. Bila ingin keluar dari
kelompok harus minta ijin dari
terapis
c. Lama kegiatan 60 menit
Score = 8
NB Nilai = jumlah score

C. KERJA
1. Menerangkan pentingnya
berbincang-bincang dengan orang
lain untuk mengatasi halusinasi
2. Meminta kepada pasien situasi
yang sering dialami sehingga
mengalami halusinasi. Pasien
secara bergantian bercerita dari
sebelah kiri terapis searah
jarum jam sampai semua mendapat
giliran
3. Memperagakan bercakap-cakap
dengan orang lain jika ada
tanda-tanda halusinasi muncul
61

4. Pasien diminta memperagakann hal


yang sama secara bergantian,
dimulai dari klien yang duduk
disebelah kiri terapis searah
jarum jam sampai semua mendapat
giliran
5. Terapis memberikan pujian,
setiap kali pasien selesai
memperagakan.
Score = 10
NC Nilai = jumlah score

D. TERMINASI
1. Menanyakan perasaan klien
setelah mengikuti TAK
2. Member pujian atas pencapaian
kelompok
3. Menganjurkan untuk menerapkan
bercakap-cakap dengan orang lain
bila mulai halusinasi
4. Membuat kontrak kembali untuk
TAK berikutnya
Score = 8

e. Sesi kelima: Mengontrol Halusinasi dengan Patuh

Minum Obat

Tujuan:

1. Pasien mamahami pentingnya patuh minum obat.

2. Pasien memahami akibat tidak patuh minum obat.

3. Pasien dapat menyebutkan lima benar cara minum

obat.

Langkah kegiatan

1. Persiapan

Mengingatkan kontrak pada pasien yang

telah mengikuti sesi .b) Mempersiapkan alat dan

tempat pertemuan.
62

2. Orientasi

a) Salam terapeutik

1. Salam dari terapis kepada pasien.

2. Terapis dan pasien memakai papan nama.

b) Evaluasi/validasi

1. Menanyakan perasaan pasien saat ini.

2. Terapis menanyakan pengalaman pasien

mengontrol halusinasi setelah menggunakan

tiga cara yang telah dipelajari

(menghardik, menyibukkan diri dengan

kegiatan, dan bercakap-cakap).

c) Kontrak

1. Terapis menjelaskan tujuan, yaitu

mengontrol halusinasi dengan patuh minum

obat.

2. Menjelaskan aturan main (sama seperti sesi

sebelumnya).

3. Tahap kerja

a) Terapis menjelaskan untungnya patuh minum

obat, yaitu mencegah kambuh karena obat

memberi perasaan tenang, memperlambat kambuh.

b) Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh

minum obat, yaitu penyebab kambuh.


63

c) Terapis meminta pasien menyampaikan obat

yang dimakan dan waktu memakannya. Buat

daftar di whiteboard.

d) Menjelaskan lima benar minum obat yaitu

benar obat, benar waktu minum obat, benar

orang yang minum obat,benar cara minum obat,

benar dosis obat.

e) Minta pasien menyebutkan lima benar cara

minum obat, secara bergiliran.

f) Berikan pujian pada pasien yang benar.

g) Mendiskusikan perasaan pasien sebelum minum

obat (catat di whiteboard).

h) Mendiskusikan perasaan pasien setelah

teratur minum obat (catat di whiteboard).

i) Menjelaskan keuntungan patuh minum obat,

yaitu salah satu mencegah halusinasi/kambuh.

j) Meminta pasien menyebutkan kembali

keuntungan patuh minum obat dan kerugian

tidak patuh minum obat.

k) Memberi pujian tiap kali pasien benar.

4. Tahap terminasi

a) Evaluasi

1. Terapis menanyakan perasaan pasien setelah

mengikuti TAK.
64

2. Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol

halusinasi yang sudah dipelajari.

3. Terapis membaerikan pujian atas

keberhasilan kelompok.

b) Tindak lanjut

Menganjurkan pasien untuk menggunakan

empat cara mengontrol halusinasi, yaitu

menghardik, melakukan kegiatan harian,

bercakap-cakap, dan patuh minum obat.

c) Kontrak yang akan datang

1. Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi

persepsi untuk mengontrol halusinasi.

2. Buat kesepakatan baru untuk TAK yg lain

sesuai dengan indikasi pasien (Keliat,

2004).

Table 2.5 Penilaian TAK cara minum obat yang

benar (Wahyu Purwaningsih, 2010)

NILAI
NO BUTIIR YANG DINILAI 2 1 0
A. PERSIAPAN
1. Membuat kontrak dengan klien
sesuai indikasi
2. Mempersiapkan alat dan tempat
(peserta duduk melingkar dalam
suasana ruang yang tenang dan
nyaman)
Score = 4
NA Nilai = jumlah score
B. ORIENTASI
1. Mengucapkan salam terapeutik
65

2. Menanyakan perasaan klien hari


ini
3. Menanyakan apakah jadwal
aktivitas sudah dilakukan
4. Menjelaskan tujuan kegiatan

5. Menjelaskan aturan main :


a. Klien harus mengikuti kegiatan
dari awal sampai akhir
b. Bila ingin keluar dari kelompok
harus minta ijin dari terapis
c. Lama kegiatan 60 menit
Score = 8
NB Nilai = jumlah score
C. KERJA
1. Memberikan contoh obat sesuai
obat yang diberikan pada masing-
masing pasien
2. Menjelaskan pentingnya minum obet
secara teratur sesuai anjuran
3. Meminta pasien untuk menjelaskan
ulang pentingnya minum obat ,
secara bergantian, searah jarum
jam, dimulai dari sebelah kiri
terapis sampai semua mendapat
giliran
4. Menjelaskan akibat jika tidak
minum obat secara teratur
5. Menjelaskan 5 benar ketika minum
obat : benar obat, benar pasien,
benar waktu, benar cara, benar
dosis
6. Menjelaskan efek terapi dan efek
samping obat sesuai contoh yang
ada pada pasien
7. Meminta pasien menyebutkan jenis
obat, dosis masing-masing obat,
cara menggunakan, waktu
menggunakan, dan efek obat sesuai
contoh obat yang ada pada tangan
pasien secara bergantian searah
jarum jam, dimulai dari sebelah
kiri terapis sampai semua
mendapat giliran
8. Terapis memberikan pujian, setiap
kali pasien menyebutkan dengan
66

benar.
Score = 16
NC Nilai = jumlah score
D. TERMINASI
1. Menanyakan perasaan klien setelah
mengikuti TAK
2. Member pujian atas pencapaian
kelompok
3. Menganjurkan jika ada pertanyaan
lain tentang obat, pasien dapat
menghubungi perawat yang bertugas
4. Membuat kontrak kembali untuk TAK
berikutnya
Score = 8
ND Nilai = jumlah score

3. Keterbatasan

Dalam penelitian ini kelemahan atau keterbatasan yang

dihadapi peneliti adalah :

1. Kemampuan peneliti masih kurang karena peneliti masih

termasuk taraf pemula sehingga hasil penelitian dari

penelitian masih banyak kekurangan.

2. Waktu yang terbatas membuat peneliti mengambil sesi-

sesi dari terapi aktifitas kelompok ini sebanyak dua

sesi untuk diteliti

B. Kerangka konsep

Kerangka konseptual penelitian adalah suatu

hubungan atau kaitan antara konsep yang satu dengan konsep

yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. (

Setiadi,2007). Kerangka konsep dari penilitian ini terdiri

dari variabel independen yaitu terapi aktivitas kelompok


67

dan variable dependennya yaitu kemampuan mengontrol

halusinasi.

Pasien

Skizoprenia Variabel devenden Variabelindevenden

Pasien dengan
Jenis-jenis Terapi Kemampun mengontrol
halusinasi:
Aktivitas Kelompok halusinasi dengan kriteria
Halusinasipende a. Mampu : 76-100%
1. Terapi aktivitas
ngaran,pengelih
kelompok stimulasi
atan,penciuman, b. Cukup : 56-75%
persepsi halusinasi
pengecapan,pera
Sesi TAK persepsi c. Kurang: 55%
baan,dan
halusinasi :
halusinasi
1. Sesi I :mengenal
sinestetik
halusinasi
2. Sesi 2 : menghardik
3. Sesi 3 : bercakap-
Fase halusinasi:
cakap dengan orang
-Fase 1 Sleep lain
disorder

-Fase 2 Comforting
2. Terapi aktivitas
-Fase 3 Condeming kelompok
stimulasi
-Fase 4 Controling sensoris
-Fase 5 Concuering 3. Terapi aktivitas
kelompok
sosialisasi
4. Terapi aktivitas
kelompok
orientasi realita

Keterangan :

Diteliti

Tidak diteliti
68

Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Pengaruh TAK Stimulasi


Persepsi Halusinasi Terhadap Kemampuan Pasien
Mengontrol Halusinasi ( Sumber : Modifikasi
Wahyu Purwaningsih, 2010:59)

C. Hipotesa

Dari uraian dan tinjauan pustaka di atas dapat dirumuskan

hipotesa sebagai berikut :

H1 :Ada pengaruh TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi sesi


satu, dua dan tiga Terhadap Kemampuan Pasien Mengontrol
Halusinasi .
H0 :Tidak ada pengaruh TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi
sesi satu, dua dan tiga Terhadap Kemampuan Pasien
Mengontrol Halusinasi.
69

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pasien halusinasi di

ruang mawar Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB.

B. Populasi dan sampel penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri

atas : objek/subjek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2009).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien

halusinasi di ruang Mawar Rumah Sakit Jiwa provinsi

(RSJP) NTB sebanyak 10 orang.

2. Sampel dan tehnik sampling

a. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah atau

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut

(sugiyono, 2009). Sampel dalam penelitian ini adalah

seluruh pasien dengan halusinasi di ruang Mawar Rumah

Sakit Jiwa provinsi (RSJP) NTB sebanyak 10 orang


70

b. Tehnik Sampling

Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini

adalah tehnik sample jenuh (Total sampling) yaitu

tehnik penentuan sample bila semua populasi digunakan

jadi sampel. Hal ini dilakukan bila jumlah populasi

relatif kecil kurang dari 30 orang (Sugiyono, 2009)

C. Rancangan penelitian

Rancangan penelitan yang digunakan dalam peneltian ini

adalah metode pra eksperimental dengan pendekatan one group

pre test post test (Notoatmodjo, 2005), yaitu melibatkan

satu kelompok subjek dengan cara membandingkan hasil pre

test dengan post test. Kelompok subjek diukur dengan

menggunakan lembar observasi sebelum dilakukan intervensi

Terapi Aktivitas Kelompok persepsi halusinasi (TAK),

kemudian diobservasi lagi setelah diberikan intervensi.

Penelitian ini tidak melibatkan kelompok kontrol, tetapi

sudah dilakukan observasi awal (pre test) yang memungkinkan

peneliti dapat menguji perubahan-perubahan yang terjadi

setelah diberikan TAK.


71

Bentuk rancangan ini dapat digambarkan sebagai

berikut:

Pre test Perlakuan Post test

01 X 02

Gambar Bentuk rancangan penelitian pre eksperimental

design dengan rancangan penelitian one group pre test

post tes (Setiadi,2007)

D. Tehnik pengumpulan data dan pengolahan data

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan pedoman observasi. Pedoman observasi

Yaitu alat ukur dengan cara memberikan observasi secara

langsung kepada responden. Yang akan dilakukan penelitian

untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti.

Alat ukur observasi ini dapat digunakan apabila objek

penelitian bersifat prilaku manusia, proses kerja atau

responden kecil. (Alimul, 2002).

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan

digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo,2010).Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan lembar observasi yang

sudah ditetapkan untuk mengukur atau menilai kemampuan

mengontrol halusinasi. Observasi dilakukan sebelum dan


72

sesudah perlakuan. Instrumen yang digunakan dalam permainan

adalah bola

Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka peneliti

menggunakan prosedur sebagai berikut:

1. Penderita yang menjalani rawat inap yang belum diberikan

TAK dengan gangguan persepsi halusinasi dikumpulkan

menjadi sebuah kelompok untuk dilakukan perlakuan terapi

aktivitas kelompok: persepsi halusinasi sessi 1,2 dan 3.

2. Mengukur kemampuan awal penderita berhubungan dengan

orang lain dengan mengisi cheek list terapi aktivitas

kelompok: persepsi halusinasi sessi 1,2 dan 3 sebelum

diberikan perlakuan pada kelompok eksperimen dan

penilaian awal dilakukan oleh peneliti sendiri.

3. Melakukan intervensi pada kelompok eksperimen dengan

terapi aktivitas kelompok: persepsi halusinasi sessi 1,2

dan 3 dan dalam pelaksanaanya peneliti dibantu oleh

perawat di Ruang Mawar dan teman-teman mahasiswa program

B STIKES Mataram.

4. Mengukur kemampuan penderita setelah satu hari diberikan

intervensi dengan mengisi cheek list terapi aktivitas

kelompok: persepsi halusinasi sessi 1,2 dan 3, penilaian

ini dilakukan oleh perawat lainnya yang mempunyai

kemampuan dalam hal terapi aktivitas kelompok.


73

Menilai pengaruh terapi aktivitas kelompok: persepsi

halusinasi sessi 1,2 dan 3 terhadap kemampuan mengontrol

halusinasi pada pasien halusinasi antara sebelum dan

sesudah diberi perlakuan dengan membandingkan nilai rata-

rata sebelum dan sesudah diberikan perlakuan kemudian di

uji menggunakan uji t test.

Populasi penelitian yaitu pasien dengan gangguan

halusinasi yang kemudian akan dilakukan penetapan sampel

sesuai criteria peneliti yaitu sebanyak 10 pasien.

Sampling yang digunakan adalah Nonprobability Sampling

dengan metode pengambilan sampel total sample Selanjutnya

responden akan diberikan inform consent dan dilakukan

pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data tentang kemampuan pasien mengontrol halusinasi

sebelum dilakukan terapi aktvivitas kelompok yang

terdiri dari 3 sesi dan ditabulasi dengan menggunakan

distribusi frekuensi yang dikelompokkan menjadi 3

kategori, sebagai berikut :

a. Mampu : 76-100%

b. Cukup : 56-75%

c. Kurang : <55%

Rumus peniliannya

n = f/n x 100%

Keterangan :
74

P : Presentase

f : Jumlah score observasi

n : Jumlah skor maximal

b. Data tentang kemampuan pasien mengontrol halusinasi

setelah dilakukan terapi aktvivitas kelompok yang

terdiri dari 3 sesi dan ditabulasi dengan menggunakan

distribusi frekuensi yang dikelompokkan menjadi 3

kategori, sebagai berikut :

1). Mampu : 76-100%

2). Cukup : 56-75%

3). Kurang : <55%

Rumus peniliannya

P = f/n 100%

Keterangan :

P : Presentase

f : Jumlah score observasi

n : Jumlah skor maximal

Setelah data dianalisa maka dapat dibuat suatu

kesimpulan :

a). Hipotesis :

H1 :Ada pengaruh TAK Stimulasi Persepsi

Halusinasi Terhadap Kemampuan Pasien

Mengontrol Halusinasi .
75

H0 :Tidak ada pengaruh TAK Stimulasi Persepsi

Halusinasi Terhadap Kemampuan Pasien

Mengontrol Halusinasi.

b). Pengambilan keputusan :

Dasar pengambilan keputusan :

(1) Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima

(2) Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak

E. Identifikasi variabel dan defunisi operasional

1. Identifikasi variable

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk

apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009).

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu :

a. Variabel Independen (Bebas)

Variabel bebas adalah merupakan variabel yang


mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2009).
Adapun variabel independen dalam penelitian ini adalah
terapi aktivitas kelompok persepsi halusinasi (TAK)
b. Variabel Dependen (Terikat)

Variabel terikat adalah merupakan variabel yang

dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya

variabel bebas (Sugiyono, 2009). Variabel dependen

dalam penelitian ini adalah kemampuan mengontrol

halusinasi.
76

2. Defenisi operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel

secara operasional dan berdasarkan karakteristik yang

diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi

atau pengukuran secara cermat terhadap obyek atau

fenomena (Hidayat, 2007).

Table 4.1 Defenisi operasional

Jenis Definisi Parameter Alat Skala Skor


variable Operasion ukur
al
Independe Kegiatan Observas Lembar Nomin Ya= 1
n : terapi i klien observ al Tidak=0
yang saat TAK asi
Terapi dilakukan
aktivitas untuk
kelompok melatih
responden
mempersep
sikan
stimulus
yang
disediaka
n atau
stimulus
yang
pernah
dialami,
terapi
ini
terdiri
dari 5
sesi
yaitu:
1. Sesi I:
mengena
l
halusin
asi
2. Sesi 2:
menghar
dik
3. Sesi 3:
77

melakuk
an
kegiata
n
4. Sesi 4:
bercaka
p-cakap
5. Sesi 5:
patuh
minum
obat
Dependen: Suatu Observasi Lembar Ordin < 55% =
kemampuan klien observ al kurang
Mengontro yang saat TAK asi mampu
l dimiliki yaitu mengontrol
halusinas responden 1. mampu halusinasi
i. dalam mengena
mengontro l 56-75 % =
l halusin cukup
halusinas asi mampu
i 2. mampu mengontrol
menghar halusinasi
dik
3. mampu 76-100
melakuk % =
an mampu
kegiata mengont
n rol
4. mampu halusin
bercaka asi
p-cakap
5. mampu
patuh
minum
obat

F. Kerangka kerja

Kerangka kerja yaitu langkah-langkah kerja yang kita

lakukan selama penelitian secara umum. Dan merupakan

bagan kerja rancangan kegiatan penelitian yang akan

dilakukan(Azis Alimul hidayat, 2007)


78

Pasien RSJP NTB


Di ruang mawar

Populasi:
Pasien halusinasi

Total sampling

Sampel:
Pasien halusinasi yang
memenuhi kriteria sampel

Informed concent
Pre test

Kemampuan
mengontrol Uji t-test
halusinasi

TAK:persepsi Penyajian hasil


halusinasi
Sessi 1,2 dan 3

Laporan hasil
Pre test

Kemampuan
mengontrol
halusinasi

Gambar : Bagan kerangka kerja Pengaruh Terapi Aktivitas


Kelompok (TAK) persepsi halusinasi Sessi 1,2 dan 3
Terhadap Kemampuan mengontrol halusinasi pada
Pasien halusinasi di Ruang Mawar Rumah Sakit Jiwa
Provinsi (RSJP) NTB.
79

G. Analisa data

Teknik analisa data menggunakan uji t test dengan

tingkat kemaknaan 0,05 atau selang kepercayaan 95%, bila

hasil uji t test p< 0,05 maka dapat dikatakan hasilnya

signifikan.

Rumus :


=
2

( 1)

Keterangan

Md = mean dari perbedaan pre test dengan post test (post

test pre test)

xd = deviasi masing-masing subjek (d-Md)

x2d = jumlah kuadrat deviasi

N = subjek pada sampel

d.b = ditentukan dengan N-1 (Arikunto, 2005)

H. Etika penelitian

Penelitian yang menggunakan manusia sebagai objek

peneltian, maka hal ini tidak boleh bertentangan dengan

kode etik. Tujuan penelitian harus etis dalam arti hak

responden harus dilindungi. Pada penelitian ini, peneliti

mendapatkan pengantar dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Mataram yang akan diberikan kepada direktur Rumah Sakit

Jiwa Provinsi NTB untuk mendapatkan persetujuan

penelitian serta pengambilan data jumlah pasien rawat


80

inap yang mengalami gangguan halusinasi dari tahun 2010

sampai bulan mei 2012. Pada saat melakukan penelitian,

peneliti akan menyerahkan surat izin yang berasal dari

STIKES MATARAM ke RSJP NTB. Dari RSJP NTB, peneliti akan

mendapatkan surat rekomendasi untuk melakukan penelitian

langsung ke pasien yang dirawat di RSJP NTB, dan sebelum

peneliti mendapat persetujuan, peneliti akan melakukan

penelitian dengan menekankan masalah etika meliputi:

1. Inform Concent (Persetujuan)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden

yang akan diteliti, dengan tujuan agar responden

mengetahui maksud dan tujuan penelitian, responden

yang bersedia diteliti diminta menandatangani atau cap

jempol pada lembar persetujuan tersebut, responden

yang tidak diteliti tetap dihormati hak-haknya.

2. Anonimty (Tanpa nama)

Nama subyek tidak dicantumkan pada lembar

pengumpulan data, untuk mengetahui keikutsertaan

responden, peneliti memberi kode masing-masing pada

lembar observasi.

3. Confidentialy (Kerahasiaan)

Kerahasiaan pasien yang dijadikan responden

dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data saja yang

akan disampaikan dan dilaporkan sebagai hasil riset.


81

Anda mungkin juga menyukai