KATA SULIT
Furosemide
Atenolol
Warfarin
Digoxin
Akral
DVS
KATA/KALIMAT KUNCI
JAWAB
1. Penyebab sesak kronik antara lain gagal jantung, penyakit paru, efusi pleura, asma, ansietas
dan obesitas. Sedangkan sesak akut dapat disebabkan oleh edema paru, pneumotoraks, emboli
pulmonal, pneumonia dan obstruksi jalan nafas.
2. Kesukaran bernapas atau sesak napas adalah simptom tersering dalam gagal jantung.
Mekanisme dyspnea secara umum yang ditemukan penyakit cardiovaskular bisa terjadi dengan
adanya faktor pemicu di bawah:
- Berkurangnya kapasitas vital disebabkan oleh kongesti vena pulmonary jarang sekali
hydrothorax atau ascites
- Penyempitan bronkial.Penyempitan disebabkan oleh spasme atau cairan yang timbul akibat
gagal jantung.
Gambaran klinis
- Exertional dyspnea adalah sesak napas sewaktu beraktivitas. Satu tanda LV impairment.
- Orthopnea adalah sesak napas yang timbul dalam posisi terlentang (flat)
- Paroxysmal nocturnal dyspnea merupakan sesak nafas yang timbul setelah 1-2 jam
penderita tertidur pada malam hari
- Acute pulmonary edema adalah akumulasi cairan dlm alveoli akibat tekanan tinggi
pulmonary capillary
- Cheyne-Stokes respiration
Gambaran mekanisme
Darah dari paru2 tidak bisa masuk ke LV, Menyebabkan congesti paru
Udara dlm paru diganti dgn cairan, Menyebabkan turunnya kapasitas vital paru dan compilance
b. Cardiac failure
Hypoxia
Edema paru
Sesak napas
3. Furosemide (Diuretik)
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai
dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanisfestasi sebagai kongesti paru atau edema
perifer. Pada pasien, deuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume
cairan ekstrasel, aliran balik vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload)
Dieretik kuat (loop deuretik). Diuretic kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel
tebal dengan cara menghambat otranspor Na+, K+, Cl- dan menghambat reabsorbsi air dan
elektrolit.
Termasuk golongan dieretik kuat antara lain furosemid, torasemid, bumetamid, dan asam
etakrinat. Waktu paruh diuretic kuat umumnya pendek sehingga diperlukan pemberian 2 atau
3 kali sehari.
Farmakodinamik
Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif sebagai diuretik. Efek
kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat. Mekanisme kerja furosemid adalah
menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan
pengeluaran air, natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang
normal. Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian secara cepat dan diekskresikan
bersama urin dan feses
Farmakokinetika
Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, dengan masa kerja yang
relatif pendek 6-8 jam. Absorpsi furosemida dalam saluran cerna cepat, ketersediaan
hayatinya 60-69 % pada subyek normal, dan 91-99 % obat terikat oleh plasma protein.
Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paruh
biologis 2 jam).
Resorpsinya dari usus hanya lebih kurang 50%, t plasmanya 30-60 menit. Ekskresinya
melalui kemih secara utuh, pada dosis tinggi juga lewat empedu.
Beta blocker dikenal juga dengan nama antagonis reseptor adrenergik, adalah golongan
obat yang bekerja dengan menghambat interaksi epinefrin, norepinefrin, dan obat-obatan
simpatometik dengan reseptor (beta).40 Ada tiga subtipe reseptor , yaitu 1, 2, dan 3.
Oleh karena itu, beta blocker dapat dibedakan berdasarkan spesifisitasnya terhadap ketiga
subtipe reseptor tersebut.
Farmakodinamik
Efek terapeutik utama beta blocker adalah pada sistem kardiovaskuler. Katekolamin
mempunyai kerja kronotropik dan inotropik positif, oleh karena itu beta blocker
memperlambat denyut jantung dan mengurangi kontraktilitas miokardium. Pemberian beta
blocker jangka pendek menurunkan curah jantung sehingga resistensi perifer meningkat
untuk mempertahankan tekanan darah sebagai akibat blokade reseptor 2 vaskular dan reflek
kompensasi, seperti peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik, sehingga menyebabkan
aktivasi reseptor vaskuler. Pada penggunaan jangka panjang, resistensi perifer total
kembali ke nilai awal atau berkurang pada pasien hipertensi. Pada beta blocker yang
memblok reseptor 1, curah jantung dipertahankan dengan penurunan resistensi perifer yang
lebih besar. Beta blocker juga memiliki efek yang signifikan pada ritme jantung dan
otomatisitas yang kemungkinan dipengaruhi oleh blokade reseptor 1 dan 2. Reseptor 3
terdapat pada miokardium normal, tempat reseptor ini berkopel dengan G1 dan menghambat
kontraksi dan relaksasi jantung. Peran fisiologis 3 masih belum dapat dipastikan. Beta
blocker menurunkan denyut sinus dan denyut spontan depolarisasi pacu jantung ektopik,
memperlambat konduksi di atrium dan nodus AV, serta memperpanjang periode refrakter
nodus AV.
Pada kasus gagal jantung kongestif, respon reflek saraf simpatis terhadap kondisi gagal
jantung dapat membebani kondisi gagal jantung serta mempercepat perkembangan penyakit.
Oleh karena itu, beta blocker merupakan penanganan yang sangat efektif untuk segala tingkat
keparahan gagal jantung yang disebabkan oleh disfungsi sistolik ventrikular. Obat-obatan ini
meningkatkan fungsi miokardium dan kualitas hidup, serta memperpanjang harapan hidup.
Oleh sebab itu, beta blocker tidak lagi dikontraindikasikan dan kini menjadi standar
penanganan dalam berbagai kasus gagal jantung.
Farmakokinetik
1. B bloker yang mudah larut dalam lemak, yakni propranolol, alprenolol, labetalol,
karvedilol, oksprenolol, dan metoprolol. Semuanya diabsorbsi dengan baik (>90%) dari
saluran cerna, tetapi bioavailabilitasnya rendah ( tidak lebih dari 50%) karena mengalami
metabolisme lintas pertama yang ekstensif di hati. Eleminasinya melalui metabolisme di
hati sangat ekstensif sehingga obat yang utuh di ekskresi melalui ginjal sangat sedikit
(<10%). Kelompok ini mempunyai waktu paruh eleminasi yang pendek, yakni berkisar
antara 3-8 jam, kecuali karvedilol dapat mencapai 10 jam.
2. bloker yang mudah larut dalam air, yakni sotalol, nadolo, dan atenolol. Sotalol di
absorbsi dengan baik dari saluran cerna, dan tidak mengalami metabolisme lintas pertama
yang berarti, sehingga diperoleh bioavailabilitas yang tinggi. Nadolol dan atenolol kurang
baik absorbsinya dari saluran cerna sehingga bioavailabilitasnya rendah. Ketiga obat ini
praktis tidak mengalami metabolisme sehingga hampir seluruhnya diekskresi utuh
melalui ginjal. Ketiga obat ini nemiliki waktu paruh yang panjang yakni > 12 jam,
kecuali atenolol hanya 6-7 jam.
3. B bloker yang kelarutannya terletak di antara golongan 1 dan 2 yakni timolol, bisoprolol,
betaksolol, asebutolol, pindolol, dan karteolol. Obat-obat ini diabsorbsi dengan baik dari
saluran cerna, tetapi mengalami metabolisme libtas pertama yang berbeda derajatnya;
ekstensif untuk asebutolol, sedang untuk timolol, hanya 10% untuk bisoprolol dan
betaksolol, dan tidak dialami oleh pindolol dan kerteolol. Eleminasinya melalui ginjal
dan hati sama banyak atau hampir sama banyak, kecuali untuk timolol hanya 15-20%
melalui ginjal. Waktu paruh eleminasinya termasuk pendek untuk pindolol dan timolol,
tetapi panjang untuk betaksolol dan bisoprolol. Sebagian besar aktivitas asebutolol
ditimbulkan oleh metabolit aktifnya, diasetolol yang larut dalam air dan kemudian
diekskresi dalam urin.
Warfarin ( Antikoagulan)
Warfarin tidak mempunyai efek langsung terhadap trombus yang sudah terbentuk, tetapi
dapat mencegah perluasan trombus. Warfarin telah terbukti efektif untuk pencegahan stroke
kardioembolik. Karena meningkatnya resiko pendarahan, penderita yang diberi warfarin
harus dimonitor waktu protrombinnya secara berkala.
Walaupun efektif, terapi dengan warfarin mempunyai beberapa kelemahan. Banyak obat
obatan yang digunakan berinteraksi dengan warfarin, begitu juga dengan beberapa makanan
(terutama sayuran hijau, karena mengandung banyak vitamin K1) dan aktifitasnya harus
dimonitor dengan test darah untuk memastikan dosis yang aman dan adekuat.9 International
normalized ratio (INR) digunakan untuk terapi dengan warfarin ini, INR yang tinggi
mempunyai merupakan predisposisi resiko tinggi perdarahan, sedangkan INR dibawah target
terapi mengindikasikan dosis warfarin yang tidak cukup untuk melindungi dari kejadian
thromboembolic.
Farmakokinetik
Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah pemberian.
Farmakodinamik
Menghambat Vit K Epoxide reduktase sehingga terjadi deplesi faktor koagulasi Vit K-
dependent.
Digoxin
Digoksin adalah suatu obat yang diperoleh dari tumbuhan Digitalis lanata. Digoksin
digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa (kemampuan kontraksi)
jantung dalam keadaan kegagalan jantung/congestive heart failure (CHF). Obat ini juga
digunakan untuk membantu menormalkan beberapa dysrhythmias ( jenis abnormal denyut
jantung). Obat ini termasuk obat dengan Therapeutic Window sempit (jarak antara MTC
[Minimum Toxic Concentration] dan MEC [Minimum Effectiv Concentration] mempunyai
jarak yang sempit. Artinya rentang antara kadar dalam darah yang dapat menimbulkan efek
terapi dan yang dapat menimbulkan efek toksik sempit. Sehingga kadar obat dalam plasma
harus tepat agar tidak melebihi batas MTC yang dapat menimbulkan efek toksik. Efek samping
pada pemakaian dosis tinggi, gangguan susunan syaraf pusat: bingung, tidak nafsu makan,
disorientasi, gangguan saluran cerna: mual, muntah dan gangguan ritme jantung. Reaksi alergi
kulit seperti gatal-gatal, biduran dan juga terjadinya ginekomastia (jarang) yaitu membesarnya
payudara pria) mungkin terjadi.
Farmakokinetik
Mekanisme kerja digoksin yaitu dengan menghambat pompa Na-K ATPase yang
menghasilkan peningkatan natrium intracellular yang menyebabkan lemahnya pertukaran
natrium/kalium dan meningkatkan kalsium intracellular. Hal tersebut dapat meningkatkan
penyimpanan kalsium intrasellular di sarcoplasmic reticulum pada otot jantung, dan dapat
meningkatkan cadangan kalsium untuk memperkuat /meningkatkan kontraksi otot.
Ion Na+ dan Ca2+ memasuki sel otot jantung selama/setiap kali depolarisasi (Gambar
33-8). Ca2+ yang memasuki sel melalui kanal Ca2+ jenis L selama depolarisasi memicu
pelepasan Ca2+ intraseluler ke dalam sitosol dari retikulum sarkoplasma melalui reseptor
ryanodine (RyR). Ion ini menginduksi pelepasan Ca2+ sehingga meningkatkan kadar Ca2+
sitosol yang tersedia untuk berinteraksi dengan protein kontraktil, sehingga kekuatan kontraksi
dapat ditingkatkan. Selama repolarisasi myocyte dan relaksasi, Ca2+ dalam selular kembali
terpisahkan oleh Ca2+ sarkoplasma retikuler -ATPase (SERCA2), dan juga akan dikeluarkan
dari sel oleh penukar Na+- Ca2+ (NCX) dan oleh Ca2+ sarcolemmal -ATPase.
Kapasitas dari penukar untuk mengeluarkan Ca2+ dari sel tergantung pada konsentrasi
Na+ intrasel.
Selain itu, digoksin juga bekerja secara aksi langsung pada otot lunak vascular dan efek
tidak langsung yang umumnya dimediasi oleh system saraf otonom dan peningkatan aktivitas
vagal (refleks dari system saraf otonom yang menyebabkan penurunan kerja jantung).
Farmakodinamik
Metabolisme : melalui sequential sugar hydrolysis dalam lambung atau melalui reduksi
cincin lakton oleh bakteri di intestinal , metabolisme diturunkan dengan adanya gagal
jantung kongestif
Ekskresi : urin (50% hingga 70% dalam bentuk obat yang tidak berubah
4. Pada keadaan obstruksi, tekanan hidrostatik dalam anyaman kapiler bagian hulu dari
obstruksi meningkat, sehingga cairan dalam jumlah abnormal berpindah dari vaskuler ke
ruang interstitial. Karena rute alternatif (yaitu limfatik) dapat juga mengalami obstruksi,
maka terjadi peningkatan volume cairan interstital di ekstremitas (terdapat cairan terjebak
dalam ekstremitas) yang menyebabkan edema lokal. Keadaan tersebut akan mengurangi
volume darah efektif arteri.
Apabila obstruksi vena dan limfatik terjadi pada sebelah ekstremitas, cairan akan
terakumulasi dalam interstitial, sehingga mengurangi volume plasma. Volume plasma yang
berkurang akan merangsang retensi garam dan air sampai defisist volume plasma terkoreksi.
Pada ekstremitas yang terkena akan terjadi regangan jaringan sampai keseimbangan hukum
Starling dapat dicapai, di mana tidak terjadi lagi akumulasi cairan. Efek yang terjadi adalah
peningkatan volume cairan interstitial lokal. Keadaan yang sama terjadi pada asites dan
hidrotoraks, di mana cairan terjebak atau terakumulasi di dalam kavitas, mengurangi volume
intravaskuler, dan menyebabkan retensi garam dan air sekunder.
5. Penanganan komorbiditas (penyakit penyerta) merupakan hal yang sangat penting pada
tatalaksana pasien denagan gagal jantung. Terdapat 4 alasan utama hal ini, yaitu :
1. penyakit penyerta dapat mempengaruhi pengobatan gagal jantung itu sendiri
2. terapi untuk penyakit penyerta dapat memperburuk gejala dan kondisi gagal jantung
(misalnya penggunaan NSAID)
3. obat yang digunakan gagal jantung dan yang digunakan untuk penyakit penyerta dapat
saling beinteraksi (misalnya penggunaan penyekat pada penderita asma berat), sehingga
akan mengurangi kepatuhan pasien dalam berobat
4. sebagian peserta penyakit penyerta berhubungan dengan keadan klinis gagal jantung dan
prognosis yang lebih buruk (misalnya diabetes, hipertensi dll)
ANGINA
Penyekat merupakan pilihan utama dalam tatalaksana penyakit penyerta ini. Revaskularisasi
dapat menjadi pendekatan alternative untuk pengbatan kondisi ini.
Rekomendasi terapi farmakologis angina pectoris stabil pada pasien gagal jantung
Langkah I :
Penyekat , merupakan rekomendasi lini pertama untuk mengurangi angina karena memiliki
keunutngan pada terapi gagal jantung
Alternatif penyekat :
ivabradin, harus dipertimbangkan pada pasien dengan irama sinus yang intoleran
terhadap Penyekat , untuk menghilangkan angina
nitrat peroral atau transkutan, harus dipertimbangkan pada pasien yang intoleran terhadap
Penyekat , untuk menghilangkan angina
Amlodipin, harus dipertimbangkan pada pasien yang intoleran terhadap Penyekat ,
untuk menghilangkan angina
Nicorandil, harus dipertimbangkan pada pasien yang intoleran terhadap Penyekat ,
untuk menghilangkan angina
Revaskularisasi koroner direkomendasikan bila angina persisten walaupun sudah mendapat dua
obat anti angina
Alternative revaskularisasi koroner : obat angina ke-3 dari yang telah disebutkan diatas dapat
dipertimbangakan bila angina persisten walaupun sudah mendapat dua obat anti angina
Diltiazem dan verapamil tidak direkomendasikan karena bersifat inotropik negative, dan adapat
memperburuk kondisi gagal jantung
HIPERTENSI
Hiperrtensi berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung. Terapi antihipertensi secara
jelas menurunkan angka kejadian gagal jantung (kecuali penghambat adrenoreseptor alfa, yang
kurang efektif dibanding antihipertensi lain dalam pencegahan gagal jantung) penghambat kanal
kalsium (CCB) dengan inotropik negative (verapamil dan diltiazem) seharusnya tidak digunakan
untuk mengobati hipertensi pada pasien gagal jantung sistolik (tetapi masih dapat digunaan pada
gagal jantung diastolic). Bila tekanan darah belum terkontrol dengan pemberian ACE/ARB,
penyekat , MRA dan diuretic, maka hidralzin dan amlodipine dapat diberikan. Pada pasien
gagal jantung akut, direkomendasikan pemberian nitrat untuk menurunkan tekanan darah.
Rekomendasi terapi hipertensi pasien gagal jantung NYHA fc II-IV dan disfungsi sistolik
Langkah I :
Satu atau lebih dari ACE/ARB, penyekat , dan MRA direkomendasikan sebagai terpai lini
pertama, kedua, dan ketiga, secara berurutan, karena memiliki keuntungan yang saling
berhubungan dengan gagal jantung
Langkah II :
Diuretic Tiazid (atau bila pasien dalam pengobatan diuretic tiazid, diganti dengan diuretic loop)
direkomendasikan bila hipertensi persisten walaupun sudah mendapat terapi kombinasi
ACE/ARB, penyekat , dan MRA
Langkah III :
Amlodipin
Hidralazin
Antagonis Adenoreseptor Alfa TIDAK direkomendasikan, karena keselamatan (retensi
cairan, aktifasi neurohormonal, perburukan gagal jantung
Diabetes
Diabetes merupakan penyakit penyerta yang sering terjadi pada gagal jantung, dan
berhubungan dengan perburukan prognosis dan status fungsional. Diabetes dapat dicegahkan
pemberian ACE/ARB.Penyekat beta bukan merupakan kontraindikasi pada diabetes dan
memiliki efek yang samadalam memperbaiki prognosis pada pasien diabetes maupun non
diabetes. Golongan Tiazolidinfion (glitazon) menyebabkan retensi garam dan cairan serta
meningkatkan perburukan gagal jantung dan hospitliasi, sehingga pemberiannya harus
dihindarkan. Metformin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan gangguan ginjal atau hati
yang berat, karena risiko asidosis laktat, tetapi sampai saat ini merupakan terapi yang paling
sering digunakan dan aman bagi pasien gagal jantung lain. Obat anti diabetik yang baru belum
diketahui keamanannya bagi pasien gagal jantung
7. Gagal jantung kongestif menyebabkan edema paru akibat retensi cairan tubuh (AHA,
2001). Namun, edema paru sendiri dapat memperparah kondisi CHF. Penum pukan cairan di
alveolus paru menimbulkan sesak nafas. Berbeda dengan edema paru, efusi pleura terjadi
penumpukan cairan di ekstraparu intrathorakal. Hal ini menyebabkan paru tidak dapat me
ngembang secara maksimal yang menimbulkan short of breathness.
8. ANAMNESIS
Selain keluhan utama, riwayat penyakit sekaraang dan penyakit terdahulu, harus digali
berbagai informasi mengenai factor risiko penyakit jantung misalnya hipertensi, merokok,
diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, kebiasaan olahraga atau aktivitas, konsumsi alcohol
serta riwayat penyakit jantung dalam keluarga. Jika terdapat penyakit tertentu perlu
ditanyakan jenis obat dan dosis yang sedang digunakan. Pada wanita perlu ditanyakan
mengenai siklus menstruasi serta kontrasepsi yang digunakan.
Pada keadaan tertentu riwayat penyakit jantung perlu ditanyakan, misalnya penyakit
tiroid, anemia, perdarahan saluran cerna, asma, infeksi saluran nafas, karena keadaan
tersebut sering berhubungan dengan keluhan utama.
PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi
Saat inspeksi umum dinilai perawakan pasien, posisi tubuh dan adanya gangguan. Postur
pendek abnormal, yaitu pada osteogenesis imperfekta berhubungan dengan adanya
regurgitasi aorta, mitral dan kalsifikasi pada system arterial. Sedangkan postur tinggi
abnormal pada sindrom Marfan berhubungan dengan aneurisma aorta, regurgitasi aorta
dan mitral.
Pada bentuk dinding dada anterior yang menonjol pada dua pertiga atas sternum dapat
dicurigai adanya kelainan jantung bawaan berupa VSD besar. Penonjolan unilateral pada
ICS 4 dan 5 dibawa garis sternum dapat dijumpai pada pasien dewasa dengan VSD.
Adanya hiperekstensibilitas sendi serta hiperelastisitas kulit berhubungan dengan adanya
dilatasi arteri, regurgitasi aorta serta porlaps katup mitral.
Adanya jari-jari tabuh dan kulit yang sianotik harus dicurigai kelainan jantung bawaan
dengan pirau dari kanan ke kiri. Jika ditemukan nodus Osler, lesi janeway, jari tabuh,
perdarahan splinter kuku serta ptekie harus dicurigai adanya endokarditid infektif.
Pemeriksaan yang dapat juga perlu dilakukan ialah pengukuran tekanan darah dan pulsasi
arteri, the ankle-brachial indeks dan palpasi pulsasi arteri dsb.1
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Elektrokardiogram
Nilai normal untuk interval-interval :
Interval PR (durasi) : <0,12 detik
Interval PA : 0,12-0,20 detik
Interval QRS : 0,07-0,10 detik. 2
Pemeriksaan Laboratorium
Hs CRP : penanda inflamasi, ini berkaitan dengan perkembangan aterosklerosis.
BNP (brain nutriuetic peptide) : bermaanfaat untuk diagnosis dini CHF, dan untuk
memperkirakan morbiditas dan mortalitas pada pasien CHF.
Troponin I : penanda adanya kerusakan otot jantung yang sangat sensitive dan spesifik,
sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi infark miokard akut.3
Etiologi
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari gagal jantung harus dipertimbangkan relative terhadap derajat
latihan fisik yang menyababkan timbulnya gejala.Pada permulaan,secara khas gejala-gejala
hanya muncul pada latihan atau aktivitas fisik;toleransi terhadap latihan semakin menurun dan
gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
Menurut Hudak dan Gallo (1997) tanda dan gejala yang terjadi pada gagal jantung kiri
antara lain kongesti vaskuler pulmonal, dyspnea, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal,
batuk, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung, gallop atrial (S3), gallop ventrikel
(S4), crackles paru, disritmia, bunyi nafas mengi, pulsus alternans, pernafasan cheyne-stokes,
bukti-bukti radiologi tentang kongesti vaskuler pulmonal. Sedangkan untuk gagal jantung
kanan antara lain curah jantung rendah, peningkatan JVP, edema, disritmia, S3 dan S4
ventrikel kanan, hiperresonan pada perkusi.
Diagnosa gagal jantung kongestif menurutFramingham ( Mansjoer, 2001) dibagi menjadi
2 yaitu:
Kriteria mayor :
1.Dispnea nocturnal paroksismal atau ortopnea.
2.Peningkatan tekanan vena jugularis
3.Ronkhi basah tidak nyaring
4.Kardiomegali
5.Edema paru akut
6.Irama derap S3
7.Peningkatan tekanan vena >16 cm H20
8.Refluks hepatojugular.
Kriteria minor :
1.Edema pergelangan kaki
2.Batuk malam hari
3.Dispneu deffort
4.Hepatomegali
5.Efusi pleura
6.Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7.Takikardi (>120x/menit)
Kriteria mayor atau minor :
Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi.
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus
ada pada saat yang bersamaan.
Patogenesis
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh
melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu
respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik
berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah
peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload.
Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan
untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer
dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme
kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi
system saraf adrenergik. Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa
(pump function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa
terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung
intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung
yang ringan.
Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan
aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin
vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah
jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri
yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral.
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah
sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum
Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload
dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal
jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik
(penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung
yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas
.Selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas.
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada
gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural,
dan disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu keadaan penyakit jantung koroner sebagai
salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan
iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung.
Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan
peningkatan presentase kematian jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan
fibrilasi ventrikel menurun. WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi
akibat penurunan fungsi mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan
seperti emboli sistemik (emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas
jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep
curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung
adalah fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup. Curah jantung yang berkurang
mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi
jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri
untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama
kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung
normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada
setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu: 1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir
yaitu jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang
ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung. 2) Kontraktilitas: mengacu pada
perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan
perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium. 3) Afterload: mengacu pada besarnya
ventrikel yang harus di hasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di
timbulkan oleh tekanan arteriole.
Komplikasi
1).Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep
venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF
berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2).Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau blocker
dan pemberian warfarin).
3)Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis
ditinggikan.
4).Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-
50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, blocker, dan
vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.
Penatalaksanaan
Terapi Farmakologi
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume berlebihan
seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya
menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga
menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.
2) Antagonis aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4) Glikosida digitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan volume
distribusi.
5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)
Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena. Inhibitor
ACE Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi aldosteron
sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini juga menurunkan
retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan peningkatan curah jantung. Terapi
non farmakologi Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan
seperti: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress
psikis, menghindari rokok, olahraga teratur
Pemeriksaan penunjang
Menurut Dongoes (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosa CHF yaitu :
a.Elektrokardiogram (EKG)
Hipertropi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi,
fibrilasi atrial.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh
penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus.
Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi
ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada
keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai
penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
b.Scan jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding .
d.Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan
dan gagal jantung kiri dan stenosis katup atau insufisiensi.
e.Rongent dada
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi atau
hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio
thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap
awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20mmHg dapat timbul gambaran cairan pada
fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25
mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema
paru bermakna.
Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih
banyak terkena adalah bagian kanan.
f.Enzim hepar
Meningkat dalam gagal/kongesti hepar.
g.Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal,terapi diuretik.
h.Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung kongestif akut menjadi
kronis.
k.Pemeriksaan tiroid
Peningkatan aktifitas tiroid menunjukkan hiperaktifitas tiroid sebagai pre pencetus gagal
jantung kongestif.
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung
dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium,baik secara
sendiri-sendiri maupun secara gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas,dan 3) beban
akhir.
Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure adalah:
1.Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui
istirahat/pembatasan aktivitas.
2.Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
Mengatasi keadaan yang reversible,termasuk tirotoksikosis,miksedema,dan aritmia.
Digitalisasi ;
a.Dosis digitalis :
Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan
dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4 hari, Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
b.Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari.Untuk pasien usia lanjut dan
gagal ginjal dosis disesuaikan
c.Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
d.Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat :
Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan
Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.
3.Menurunkan beban jantung
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretic dan vasodilator
a)Diet rendah garam
Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV,penggunaan diuretic,digoksin dan penghambat
angiotensin converting enzyme (ACE), diperlukan mengingat usia harapan hidup yang
pendek.Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan ;
1)Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80 mg)
2)Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan sinus
3)Penghambat ACE (captopril mulai dari dosis 2 X 6,25 mg atau setara penghambat ACE
yang lain,dosis ditingkatkan secara bertahap dengan memperhatikan tekanan darah pasien);
isorbid dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya
iskemia yang menetap,dosis dimulai 3 X 10-15 mg.Semua obat harus dititrasi secara bertahap.
b)Diuretik
Yang digunakan furosemid 40-80 mg.Dosis penunjang rata-rata 20 mg.Efek samping berupa
hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan
spironolakton.Diuretik lain yang dapat digunakan antara lain hidroklorotiazid, klortalidon,
triamteren, amilorid, dan asam etakrinat.
Dampak diuretic yang mengurangi beban awal tidak mengurangi curah jantung atau
kelangsungan ,tapi merupakan pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan
pengobatan dan perawatan di rumah sakit.Penggunaan penghambat ACE bersama diuretic
hemat kalium harus berhati hati karena memungkinkan timbulnya hiperkalemia.
c)Vasodilator
1)Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 g/kg BB/menit iv.
2)Nitroprusid 0,5-1 g/kgBB/menit iv
3)Prazosin per oral 2-5 mg
4)Penghambat ACE: kaptopril 2 X 6,25 mg.
Komplikasi
1. Efusi Pleura
Merupakan akibat dari peningkatan tekanan dikapiler pleura, transudasi dari kapiler ini
memasuki rongga pleura. Efusi pleura ini biasanya terjadi pada lobus sebelah kanan
bawah
2. Arrhytmia
Pasien dengan gagal jantung kongestif memiliki resiko tinggi mengalami aritmia, hampir
setengah kejadian kematian jantung mendadak disebabkan oleh ventrikuler arrhytmia
3. Trombus pada ventrikel kiri
Pada kejadian gagal jantung kongestif akut ataupun kronik, dimana terjadinya
pembesaran dari ventrikel kiri dan penurunan cardiac output hal ini akan meningkatkan
kemungkinan pembentukan thrombus diventrikel kiri, sehingga American college of
cardiologydan AHA merekomendasikan pemberian antikoagulan pada pasien dengan
gagal jantung kongestif dan atrial fibrilasi atau fungsi penurunan ventrikel kiri (Cth:
ejection fraction kurang dari 20%). Sekali terbentuk thrombus, hal ini bisa menyebabkan
penurunan kontraksi ventrikel kiri, penurunan cardiac output dan kerusakan perfusi
pasien akan menjadi lebih parah. Pembentukan emboli dari thrombus juga mungkin
mengakibatkan terjadinyacerebrovaskular accident (CVA).
Diagnosis Differential: Insufisiensi Katup
Insufisiensi adalah suatu keadaan dimana katup kehilangan fungsi yang normal dan gagal
menghambat kembali darah setelah kontraksi dari setiap ruang jantung atau refluks darah dari
aorta adendens ke dalam ventrikel selama diastole (trinoval, 2009).
Insufisiensi aorta adalah kembalinya darah ke ventrikel kiri dari aorta selama diastole (vanvid,
2011).
Insufisiensi aorta adalah suatu keadaan dimana terjadi refluk (aliran balik) darah dari aorta ke
dalam ventrikel kiri sewaktu relaksasi (wajan, 2010).
Insufisiensi aorta adalah penyakit katup jantung dimana katup aorta atau balon melemah,
mencegah katup menutup erat-erat. Hal ini menyebabkan mundurnya aliran darah dari aorta
(pembuluh darah terbesar) ke dalam ventrikel kiri (evan, 2010).
B. Etiologi
Insufisiensi darah dari aorta ke ventrikel kiri dapat terjadi dalam 3 macam kelainan artifisial,
yaitu:
a. Penyakit kolagen
b. Aortitis sifilitika
c. Diseksi aorta
b. Endokarditis bakterialis
3. Genetik
a. Sindrom marfan
b. Mukopolisakaridosis
C. Manifestasi Klinis
Selama mekanisme kompensasi ventrikel kiri masih baik, gejala bersifat asimtomatik Adapun
tanda dan gejala insufisiensi aorta adalah
2. Palpitasi, fatigue
4. Rasa lelah
7. Palpasi:
b. Tekanan nadi melebar (tekanan sistolik meningkat dan tekanan diastolik menurun)
8. EKG
b. Sinus takikardia
9. Auskultasi
D. Pemeriksaan Diagnostik
4. Katerisasi jantung : Ventrikel kiri tampak opag selama penyuntikan bahan kontras ke
dalam pangkal aorta.
5. Aortography
E. Penatalaksanaan
1. Terapi Umum
a. Istirahat
b. Medikamentosa
Obat pertama:
2) Diuretika
3) vasolidator hidralazin
4) ACE inhibitor
2. Obat Alternatif
Antibiotik preventif menjelang tindakan invasif
3.Operasi
Penggantian katup aorta adalah terapi pilihan, tetapi kapan waktu yang tepat untuk penggantian
katup masih kontroversial. Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan,
kontraindikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Pembedahan dianjurkan pada semua
pasien dengan hipertropi ventrikel kiri tanpa memperhatikan ada atau tidaknya gejala lain. Bila
pasien mengalami gejala gagal jantung kongestif, harus diberikan penatalaksanaan medis sampai
dilakukan pembedahan.
F. Komplikasi
1. Kardiomegali
Pada insufisiensi katup aorta, darah mengalir kembali ke ventrikel dari aorta tepat setalah
ventrikel memompakan darah ke aorta. Pada issufisiensi aorta otot ventrikel kiri mengalami
hypertropi akibat peningkatan beban kerja. Massa otot ventrikel kiri juga bertambah empat
sampai lima kali lipat sehingga membuat jantung kiri sangat besar.
Pada stadium awal, kemampuan intrinsik ventrikel kiri untuk beradaptasi terhadap peningkatan
beban dapat menghindari gangguan yang berarti pada fungsi sirkulasi selama beristirahat, diluar
peningkatan hasil kerja yang dibutuhkan oleh ventrikel kiri.
3. Edema paru
Diatas tingkat kritis kelainan katup aorta, ventrikel kiri akhirnya tidak dapat menyesuaikan
dengan beban kerja. Akibatnya ventrikel kiri melebar dan curah jantung mulai menurun pada
saat yang bersamaan darah tertimbun di atrium kiri dan di paru-paru di belakang ventrikel kiri
yang kepayahan. Tekanan atrium kiri meningkat secara progresif dan muncul edema di pari-paru.
4. Hipoksia Jaringan
Efek lain yang membantu mengompensasi penurunan hasil bersih pemopaan ventrikel kiri ialah
peningkatan volume darah. Hal ini adalah akibat dari penurunan awal dari tekanan arteri
ditambah refleks sirkulasi perifer yang menurunkan induksi tekanan. Peningkatan volume darah
cenderung meningkatkan aliran balik vena ke jantung, hal ini selanjutnya menyebabkan ventrikel
kiri memompakan darah dengan takanan ekstra yang dibutuhkan untuk mengimbangi dinamika
pemompaan yang abnormal.
G. Prognosis
Tujuh belas persen pasien insufisiensi aorta kronik dapat bertahan 5 tahun, sedangkan 50%
mampu bertahan 10 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Pasien mampu hidup secara normal
tetapi mudah terkena endokarditis infektif. Jika timbul gejala gagal jantung bisa bertahan 2 tahun
dan setelah timbul gejala angina biasanya bertahan 5 tahun. Pasien dengan insufisiensi airta akut
dan edema paru memiliki prognosis buruk biasanya harus dilakukan operasi.
Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel
kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup mitral. Penyebab stenosis mitral paling sering
demam rematik, penyebab lain adalah karsinoid, sistemik lupus erimatosus, reumatoid artritis,
mukopolisakaridosis dan kelainan bawaan
Mucopolysaccharidosis
Penyakit Fabry
Carcinoid
Terapi Methysergide
Patofisiologi stenosis mitral
Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2. Adanya obstruksi yang
signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang dari 2 cm2, darah dapat mengalir dari
atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika didorong oleh gradien tekanan atrioventrikel kiri yang
meningkat secara abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium katup mitral
berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan untuk
mempertahankan curah jantung (cardiac output) yang normal. Tekanan atrium kiri yang
meningkat, selanjutnya, meningkatkan tekanan vena dan kapiler pulmonalis, yang mengurangi
daya kembang (compliance) paru dan menyebabkan dispnea pada waktu pengerahan tenaga
(exertional dyspnea, dyspnea d effort). Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh
kejadian klinis yang meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang
selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk menilai beratnya obstruksi,
penting untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler maupun kecepatan aliran. Gradien
tekanan bergantung tidak hanya pada curah jantung tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut
jantung memperpendek diastolik secara proporsional lebih daripada sistolik dan mengurangi
waktu yang tersedia untuk aliran yang melalui katup mitral. Oleh karena itu, pada setiap tingkat
curah jantung tertentu, takikardia menambah tekanan gradien transvalvuler dan selanjutnya
meningkatkan tekanan atrium kiri.
Tekanan diastolik ventrikel kiri normal pada stenosis mitral saja; penyakit katup aorta, hipertensi
sistemik, regurgitasi mitral, penyakit jantung iskemik yang terjadi secara bersamaan dan
mungkin kerusakan sisa yang ditimbulkan oleh miokarditis reumatik kadang-kadang
bertanggung jawab terhadap kenaikan yang menunjukan fungsi ventrikel kiri yang terganggu
dan/atau menurunkan daya kembang ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri, seperti yang
ditunjukan dalam berkurangnya fraksi ejeksi dan kecepatan memendek serabut yang
mengelilingi, terjadi pada sekitar seperempat pasien dengan stenosis mitral berat, sebagai akibat
berkurangnya preload kronik dan luasnya jaringan parut dari katup ke dalam miokardium yang
berdekatan.
Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-rata dan pulmonal artery
wedge pressure biasanya meningkat,denyut tekanan menunjukan kontraksi atrium yang menonjol
(gelombang a) dan tekanan bertahap menurun setelah pembukaan katup mitral (y descent). Pada
pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang tanpa peningkatan resistensi vaskuler paru,
tekanan arteri pulmonalis mungkin mendekati batas atas normal pada waktu istirahat dan
meningkat seiring dengan exercise. Pada stenosis mitral berat dan kapan saja ketika resistensi
vaskuler paru naik, tekanan arteri pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien sedang istirahat,
dan pada kasus ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik. Kenaikan tekanan atrium kiri,
kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonalis selanjutnya terjadi selama latihan. Jika tekanan
sistolik arteri pulmonalis melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien dengan stenosis mitral, atau
pada keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan afterload 10 ventrikel
kanan menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan diastolik akhir dan volume
ventrikel kanan biasanya meningkat sebagai mekanisme kompensasi
Gejala yang lazim dirasakan oleh pasien dengan stenosis mitral adalah cepat lelah, sesak
nafas bila aktivitas (dyspnea d effort) yang makin lama makin berat. Pada stenosis mitral yang
berat, keluhan sesak nafas dapat timbul saat tidur malam (nocturnal dyspnea), bahkan dalam
keadaan istirahat sambil berbaring (orthopnea).
Irama jantung berdebar terkadang juga dapat didengar apabila terdapat fibrilasi atrium.
Keadaan lebih lanjut bisa ditemukan batuk darah (hemoptysis), akibat pecahnya kapiler
pulmonalis karena tingginya tekanan arteri pulmonalis; keluhan ini bisa disalahartikan sebagai
batuk darah akibat TBC, apalagi pasien stenosis mitral berat biasanya kurus. Pasien stenosis
mitral juga kadang baru diketahui setelah terkena stroke, terutama bila ada fibrilasi atrium yang
mempermudah terbentuknya trombus di atrium kiri dan kemudian lepas menyumbat pembuluh
darah otak
Pemeriksaan fisik dapat dijumpai malar facial flush, gambaran pipi yang merah keunguan
akibat curah jantung yang rendah, tekanan vena jugularis yang meningkat akibat gagal ventrikel
kanan. Kasus yang lanjut dapat terjadi sianosis perifer. Denyut apikal tidak bergeser ke lateral,
dorongan kontraksi ventrikel kanan pada bagian parasternal dapat dirasakan akibat dari adanya
hipertensi arteri pulmonalis. Auskultasi dapat dijumpai adanya S1 akan mengeras, hal ini hanya
terjadi bila pergerakan katup mitral masih dapat fleksibel. Bila sudah terdapat kalsifikasi dan
atau penebalan pada katup mitral, S1 akan melemah. S2 (P2) akan mengeras sebagai akibat
adanya hipertensi arteri pulmonalis. Opening snap terdengar sebagai akibat gerakan katup mitral
ke ventrikel kiri yang mendadak berhenti, opening snap terjadi setelah tekanan ventrikel kiri
jatuh di bawah tekanan atrium kiri pada diastolik awal. Jika tekanan atrium kiri tinggi seperti
pada stenosis mitral berat, opening snap terdengar lebih awal. Opening snap tidak terdengar pada
kasus dengan kekakuan, fibrotik, atau kalsifikasi daun katup. Bising diastolik bersifat low-
pitched, rumbling dan dekresendo, makin berat stenosis mitral makin lama bisingnya. Tanda
auskultasi stenosis mitral yang terpenting untuk menyokong beratnya stenosis adalah A2-OS
interval yang pendek dan lamanya rumble diastolik terdengar pada kasus dengan kekakuan,
fibrotik, atau kalsifikasi daun katup. Bising diastolik bersifat low-pitched, rumbling dan
dekresendo, makin berat stenosis mitral makin lama bisingnya. Tanda auskultasi stenosis mitral
yang terpenting untuk menyokong beratnya stenosis adalah A2-OS interval yang pendek dan
lamanya rumble diastolic
Pemeriksaan penunjang dari rontgen toraks pada pasien stenosis mitral didapatkan
pembesaran segmen pulmonal, pembesaran atrium kiri, karina bronkus yang melebar dan bisa
didapatkan gambaran hipertensi vena pulmonalis, serta efusi pleura
1. Lily I. Rilantono. Penyakit Kardiovaskular. 2015. Badan Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 44
2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22853/4/Chapter%20II.pdf diakses pada
tanggal 23 Maret 2016 pukul 5.29 Wita
3. Gan Gunawan, Sulistia. 2012. Farmakologi dan terapi. Ed. 5 Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 305)
4. Gan Gunawan, Sulistia. 2012. Farmakologi dan terapi. Ed. 5 Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 344-345)
5. http://eprints.undip.ac.id/44518/3/Christian_Suryajaya_22010110120086_BAB_II_KTI.p
df diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pukul 21.30
6. Gan Gunawan, Sulistia. 2012. Farmakologi dan terapi. Ed. 5 Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 94
7. http://eprints.undip.ac.id/46167/3/Mada_AJi_Prakoso_22010111130098_Lap.KTI_Bab2.
pdf diakses pada tanggal 23 maret 2016 pukul 5.28 Wita
8. Umesh, R.D. (2000). Cardiac Glycosides. Diakses dari
http://www.people.vcu.edu/~urdesai/car.htm, 23 Maret 2016
9. Sanjoyo, Raden. (2005). Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.
Diakses dari http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/farmakologi.pdf, 23 Maret 2016
10. Setiyohadi B dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2011.
11. http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_tatalaksana_Sindrom_Koroner_Akut_2015
.pdf 3:23:2016 [22.01]
12. http://repository.usu.ac.id
13. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Penerbit Media Ausculapius FKUI, 2014.
14. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. Diagnosis dan
tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
15. Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrison`s Manual of
Medicine,16thed, 2005.
16. Mariyono H, Santoso A. Gagal Jantung.FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar
17. Ilmu penyakit dalam jilid 1
18. http://eprints.undip.ac.id/44621/3/Fachri_Setiawan_22010110130172_Bab2KTI.pdf
diakses tanggal 24 Maret 2016