Disusun oleh:
Asnawati 112016067
2017
Pendahuluan
1
Setiap orang minimal akan mengalami satu peristiwa traumatik, dan dapat bereaksi
dalam berbagai cara, mereka mungkin merasa gugup, sulit untuk tidur, atau kembali teringat
tentang peristiwa yang membuat mereka takut. Pikiran atau pengalaman ini adalah reaksi
normal, yang lama kelamaan akan berkurang intensitasnya dari waktu ke waktu, dan orang
yang terlibat dapat kembali menjalani kehidupan mereka seperti biasanya. Di sisi lain,
gangguan stres pasca trauma berlangsung lebih lama dan dapat mengganggu kehidupan
seseorang. Di samping gangguan stres pasca trauma, mereka yang mengalami peristiwa
traumatik juga berisiko untuk mengalami berbagai jenis gangguan psikiatrik lainnya, seperti
gangguan depresi mayor, gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, dan penyalahgunaan
zat.1,2
Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder-PTSD) adalah suatu
sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat di dalam, atau mendengar stresor
traumatik yang ekstrem. Stresor dapat berupa peristiwa bencana alam yang mengancam
nyawa, cedera serius atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
Seseorang bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara
menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal
itu. Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus bertahan lebih dari satu bulan setelah
peristiwa dan harus memengaruhi area penting kehidupan secara signifikan, seperti keluarga
dan pekerjaan. Edisi keempat revisi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM-IV-TR) mendefinisikan gangguan yang serupa dengan PTSD sebagai gangguan stres
akut, yang terjadi lebih dini dari PTSD (dalam 4 minggu setelah peristiwa) membaik dalam 2
hari hingga 4 minggu. Jika gejala bertahan setelah waktu tersebut, diagnosis PTSD
diperlukan.2,3
Epidemiologi
2
penginduksi. Anak dan remaja juga dapat mengalami gangguan ini. Seperti yang mungkin
diperkirakan, prevalensi PTSD lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa yang terpajan
stresor yang sama. Pada situasi tertentu, hingga 90 persen anak akan mengalami gangguan
tersebut. Studi kasus kontrol mendokumentasikan sekitar 15 hingga 90 persen yang
mengalami peristiwa traumatik akan berlanjut menjadi PTSD. Persentase bervariasi
tergantung pada peristiwa kejadian. Sebuah sampel singkat dari studi terbaru memberikan
data mengenai kejadian PTSD setelah peristiwa traumatik, 35 persen dari sampel remaja yang
didiagnosis kanker akan memenuhi kriteria PTSD seumur hidup. Lima belas persen anak-
anak yang bertahan dari kanker mempunyai PTSD sedang sampai berat. Sembilan puluh tiga
persen dari sampel anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga akan memiliki
PTSD.3,4
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka
dan kecenderungan untuk mengalami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara bermakna lebih
tinggi pada perempuan dan proporsi perempuan yang terus mengalami gangguan ini lebih
tinggi. Berdasarkan sejarah, trauma laki-laki biasanya berupa pengalaman berperang dan
trauma perempuan paling lazim adalah kekerasan atau perkosaan. Gangguan ini lebih
cenderung terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat
sosialekonomi yang rendah. Meskipun demikian, faktor risiko paling penting gangguan ini
adalah keparahan, durasi dan kedekatan pajanan seseorang dengan trauma yang sebenarnya.
Tampaknya terdapat pola familial untuk gangguan ini dan kerabat biologis derajat pertama
orang dengan riwayat depresi memiliki peningkatan risiko untuk timbulnya PTSD setelah
peristiwa traumatik.3,4
Etiologi
Terjadinya gangguan stres pasca trauma didahului oleh adanya suatu stresor berat yang
melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang.
Kondisi psikologis seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatik tersebut akan
berdampak terhadap respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut.1
1. Stresor
Stresor yang menyebabkan stres akut dan PTSD cukup hebat untuk memengaruhi
hampir setiap orang. Stresor dapat timbul dari bencana alam, pengalaman perang,
3
kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan),
penyiksaan, penculikan, penyanderaan, penyerangan, perkosaan, ditahan dalam
penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang, didiagnosis mengalami penyakit
berat yang mengancam kehidupan dan kecelakaan serius (contohnya di dalam mobil
dan gedung terbakar).1,3
Meskipun demikian, tidak semua orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa
traumatik karena stresornya sendiri tidak cukup menimbulkan gangguan ini. Pada
umumnya individu yang mempunyai karakter yang extrovert atau lebih berpikir
positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari
peristiwa traumatik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis
yang akan terjadi, seperti:
Durasi dan intensitas dari stresor yang dialami.
Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang.
Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal).
Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik
tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian
atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.1
2. Faktor risiko
4
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan ketika menghadapi trauma yang
hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comorbidity
Study menemukan bahwa 60 persen laki-laki dan 50 persen perempuan mengalami
sejumlah trauma yang signifikan, tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7
persen. Demikian juga, peristiwa yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap
sebagai bencana besar bagi sebagian besar orang dapat menimbulkan PTSD pada
sejumlah orang lainnya.1
Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stres
pasca trauma adalah:
Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya.
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
problem menyesuaikan diri.
Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya
baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang
bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan
penderitaan bagi dirinya.1
1. Faktor psikodinamik
5
trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sebelumnya telah ada secara
simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa traumatik yang baru. Ego
menghidupkan kembali dan dengan demikian mencoba menguasai dan mengurangi
ansietas. Orang yang menderita aleksitimia, yaitu ketidakmampuan mengidentifikasi
atau memverbalisasikan keadaan perasaan, tidak mampu menenangkan dirinya ketika
berada dalam stres.3
2. Faktor perilaku-kognitif
Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang mengalaminya tidak
mampu memproses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan ini.
Mereka terus mengalami stres dan berupaya menghindari mengalami hal itu dengan
teknik menghindari. Konsisten dengan kemampuan parsial mereka mengahadi
peristiwa tersebut secara kognitif, orang tersebut mengalami periode bergantian antara
memahami dan memblok peristiwa. Upaya otak untuk memproses jumlah informasi
yang banyak yang dicetuskan trauma dianggap menimbulkan periode bergantian
antara memahami dan memblok peristiwa.3
Sejumlah orang juga menerima keuntungan sekunder dari dunia luar, umumnya
berupa kompensasi keuangan, meningkatnya perhatian atau simpati, pemuasan akan
kebutuhan ketergantungan. Keuntungan ini menyokong gangguan dan menetapnya
gangguan.3
3. Faktor biologis
6
Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons
takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa
yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini,
amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar, yang akan mengaktivasi
beberapa neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang
menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh
untuk menghadapi peristiwa tersebut.3
Sistem noradrenergik
Sistem opioid
7
respons hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang tumpul. Lebih lagi, supresi
kortisol melalui tantangan dengan dosis rendah deksametason (Decadron)
meningkat pada PTSD. Hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada
PTSD. 3
Gambaran Klinis
Komorbiditas
8
Angka komorbiditas tinggi pada pasien dengan PTSD, dengan sekitar dua pertiga
memiliki sedikitnya dua gangguan lain. Keadaan komorbid yang lazim mencakup gangguan
depresif, gangguan panik, gangguan terkait zat, gangguan ansietas lain, dan gangguan bipolar.
Gangguan komorbid membuat orang menjadi lebih rentan untuk mengalami PTSD.13
Kriteria Diagnosis
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu sequele menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya
saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0
(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).5
9
A. Orang tersebut telah terpajan dengan peristiwa traumatik dan kedua hal ini ada:
(1) Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan peristiwa atau
sejumlah peristiwa yang melibatkan kematian atau cedera serius yang sebenarnya
atau mengancam, atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya atau orang lain.
(2) Respons orang tersebut melibatkan rada takut yang intens, rasa tiadk berdaya, atau
horor. Catatan: pada anak, hal ini dapat ditunjukkan dengan perilaku agitasi atau
kacau.
B. Peristiwa traumatik secara terus menerus dialami kembali pada satu (atau lebih) cara
berikut ini:
(3) Bertindak atau merasakan seolah-olah peristiwa traumatik tersebut terjdi kembali
(termasuk rasa membangkitkan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode
kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat bangun atau ketika mengalami
intoksikasi). Catatan: pada anak yang masih kecil, anak dapat melakukan kembali
hal yang spesifik trauma.
(4) Penderitaan psikologis yang intens pada pajanan terhadap sinyal internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.
(5) Reaktivitas fisiologis pada pajanan sinyal internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.
C. Penghindaran persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma serta membuat kebas
responsivitas umum (tidak terjadi sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan dengan
tiga (atau lebih) hal berikut ini:
10
(1) Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berkaitan dengan
trauma.
(2) Upaya menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang membangkitkan ingatan
akan trauma.
(4) Minat atau partisipasi berkurang nyata pada aktivitas yang signifikan.
(6) Kisaran afek yang terbatas (contoh tidak mampu memiliki rasa cinta).
(7) Rasa masa depan yang memendek (contoh tidak berharap memiliki karir,
menikah, anak atau masa hidup normal).
D. Menetapnya peningkatan keadaan terjaga (tidak terjadi sebelum trauma), seperti yang
ditunjukkan dengan dua (atau lebih) hal berikut:
(4) Hypervigilance
F. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau gangguan
di dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain.
Tentukan jika:
Tentukan jika:
11
dengan awitan tertunda: jika awitan gejala sedikitnya 6 bulan setelah stresor. 3
PTSD terdapat pada anak dan remaja, tetapi sebagian besar studi gangguan ini telah
berpusat pada orang dewasa. DSM-IV-TR hanya mengemukakan sedikit mengenai PTSD
pada anak yang masih kecil, kecuali dengan menggambarkan gejala seperti mimpi berulang
mengenai peristiwa tersebut, mimpi buruk tentang monster, serta timbulnya gejala fisik
seperti sakit perut dan sakit kepala.6,8
Tingginya angka PTSD belum didokumentasikan pada anak yang terpajan peristiwa
yang mengancam jiwa seperti peperangan dan trauma terkait perang lain, penculikan,
penyakit berat atau terbakar, transplantasi sumsum tulang, dan sejumlah bencana alam buatan
dan manusia. Studi pada korban yang masih muda atau saksi penyerangan kriminal,
kekerasan rumah tangga, dan kekerasan masyarakat mengungkapkan morbiditas psikiatri
yang tinggi setelah pajanan terhadap kekerasan tersebut. Seperti yang mungkin diperkirakan,
prevalensi PTSD lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa yang terpajan stresor yang
sama. Pada situasi tertentu, hingga 90 persen anak akan mengalami gangguan tersebut.
Umumnya, PTSD diremehkan pada anak dan remaja.6,8
Faktor risiko anak mencakup faktor demografik (contoh usia, jenis kelamin, status
sosioekonomi), peristiwa hidup lain (positif dan negatif), kognisi sosial dan budaya,
komorbiditas psikiatri, strategi koping yang diturunkan. Faktor keluarga (contoh
psikopatologi dan fungsi orang tua, status perkawinan, dan edukasi) memerankan peran kunci
dalam menentukan gejala pada anak. Respons orang tua terhadap perisstiwa traumatik
terutama memengaruhi anak yang masih kecil yang belum benar-benar mengerti sifat trauma
atau bahaya yang terkandung.6,8
Stresor pada anak dapat mendadak, berupa trauma peristiwa tunggal yang mendadak
atau trauma kronis atau terus menerus seperti penyiksaan fisik atau seksual. Anak juga
12
menderita akibat pajanan tidak langsung yaitu kematian, atau cedera orang yang dicintai
yang tidak disaksikan, seperti pada situasi bencana, perang, atau kekerasan masyarakat.6,8
Anak, seperti dewasa, mengalami kembali peristiwa traumatik dalam bentuk pikiran
atau ingatan, kilas balik, dan mimpi yang mengganggu serta menimbulkan distres. Mimpi
buruk pada anak secara khusus dapat terkait dengan tema trauma atau dapat menjadi umum
sebagai rasa takut lainnya. Kilas balik terjadi pada anak dan sesama korban remaja maupun
dewasa. Sandiwara traumatik, suatu bentuk khusus mengalami kembali yang terlihat pada
anak yang masih kecil, terdiri atas memerankan berulang trauma atau tema yang terkait
trauma di dalam permainan. Anak yang lebih tua dapat menggabungkan aspek trauma ke
dalam hidup mereka di dalam suatu proses yang disebut mengidupkan kembali
(reenactment).6,8
Tindakan khayalan mengenai intervensi atau balas dendam lazim ada; remaja harus
dipertimbangkan memiliki peningkatan risiko untuk bertindak impulsif akibat kemarahan dan
khayalan balas dendam. Perilaku terkait pada anak dan remaja korban trauma mencakup
memainkan peran seksual, penggunaan zat, dan kenakalan remaja. Anak sering menarik diri
dan menunjukkan kurangnya minat pada aktivitas yang sebelumnya menyenangkan. Perilaku
regresif seperti enuresis atau takut tidur sendiri juga dapat terjadi.3,6,8
Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa pasien juga
menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organic lain yang dapat menyebabkan
dan memperberat gejala adalah epilepsy, gangguan penggunaan alcohol, dang gangguan
terkait zat lain. Intoksikasi akut atau putus zat juga dapat menunjukkan gambaran klinis yang
sulit dibedakan dengan gangguan ini sampai efek zat hilang.
PTSD lazim salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian diobati
dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien yang
memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan ansietas lain, dan gangguan mood.
Pada umumunya PTSD dapat dibedakan dengan gangguan jiwa lain dengan mewawancarai
pasien mengenai pengalaman traumatic sebelumnya dan dengan sifat gejala saat ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan dan malingering, juga
harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang dapat sulit dibedakan dengan PTSD.
Kedua gangguan ini dapat ada bersamaan atau bahkan penyebabnya dapat berkaitan. Pasien
13
dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,
hyperarousal autonomy, atau riwayat trauma yang dimiliki pasien PTSD. Sebagian karena
publisitas yang didapat PTSD, klinisi juga harus mempertimbangkan kemungkinan gangguan
buatan dan malingering.3
PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat selama 1
minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi
paling intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30 persen pasien akan pulih
sempurna, 40 persen akan terus memiliki gejala ringan, 20 persen akan terus memiliki gejala
sedang, dan 10 persen tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar
50 persen pasien akan pulih. Prognosis yang baik diperkirakan dengan adanya awitan gejala
cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi premorbid baik, dukungan sosial
baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor
risiko lain. 3
Umumnya, orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memiliki kesulitan dengan
peristiwa traumatik daripada orang usia pertengahan. Contohnya, sekitar 80 persen anak yang
masih kecil yang mengalami cedera terbakar menunjukkan gejala PTSD 1 atau 2 tahun
setelah cedera awal; hanya 30 persen orang dewasa yang menderita cedera yang sama
mengalami PTSD setelah 1 tahun. Kemungkinan, anak yang masih kecil belum memiliki
mekanisme koping yang adekuat untuk menghadapi akibat buruk emosional dan fisik trauma.
Sama halnya dengan orang yang sudah tua, yang bila dibandingkan dengan orang dewasa
yang lebih muda, cenderung memiliki mekanisme koping yang lebih kaku dan kurang dapat
menggunakan pendekatan fleksibel dalam menghadapi efek trauma.3,9
Lebih jauh lagi, efek traumatik dapat diperberat ketidakmampuan fisik yang menjadi
ciri khas kehidupan lanjut, terutama ketidakmampuan sistem saraf dan sistem kardiovaskular,
seperti berkurangnya aliran darah otak, gangguan penglihatan, palpitasi dan aritmia.
Ketidakmampuan psikiatri yang sebelumnya ada, baik gangguan kepribadian atau suatu
keadaan yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. PTSD yang terjadi
bersamaan dengan gangguan lain sering lebih berat, dapat lebih kronis, dan dapat sulit
diobati. Ketersediaan dukungan sosial juga dapat memengaruhi timbulnya, keparahan, dan
durasi PTSD. Umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik lebih
14
kecil kemungkinannya memiliki gangguan ini dan lebih jarang mengalami PTSD dalam
bentuk yang berat, serta lebih besar kemungkinannya pulih dalam waktu yang lebih singkat.3,9
Pencegahan
Terapi
Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhbitor (SSRI), seperti sertralin (Zoloft) dan paroksetin
(Paxil) diertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas,
tolerabilitas, dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala semua kelompok gejala
PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala PTSD yang khas, tidak hanya gejala yang
serupa dengan depresi atau gangguan ansietas lain.10
Efektivitas imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil), dua obat trisiklik untuk
terapi PTSD didukung oleh sejumlah percobaan klinis yang terkontrol baik. Walaupun
beberapa percobaan kedua obat tersebut memberikan temuan negatif, sebagian besar
percobaan ini memiliki kecacatan desain yang serius, termasuk durasi yang terlalu singkat.
Dosis imipramin dan amitriptilin harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati
15
gangguan depresif, dan lama minimum suatu percobaan yang adekuat adalah 8 minggu.
Pasien yang memberikan respons baik mungkin harus meneruskan farmakoterapi sedikitnya
satu tahun sebelum farmakoterapi lebih efektif dalam tatalaksana depresi, ansietas, dan
hyperarousal, daripada tatalaksana penghindaran, penyangkalan, dan penumpulan
emosional.6,10
Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah momoanime oxidase
inhibitors (MAOI) seperti, fenelzin (Nardil), trazodon ( Desyrel), dan antikonvulsan
(contohnya karbamazepin (Tegretol) dan valproat (Depakene)). Sejumlah studi juga
mengungkapkan perbaikan PTSD pada pasien yang diberikan reversible monoamine oxidase
inhibitors (RIMA) seperti brofaromin. Penggunaan klonidin (Catapres) dan propranolol
(Inderal), yang merupakan agen antiadrenergik, diajukan oleh teori mengenai hiperaktivitas
noradrenergik pada gangguan ini. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan
antipsikotik pada gangguan ini sehingga penggunaan obat ini (contohnya haloperidol
(Haldol) harus dicadangkan untuk kontrol jangka pendek agresi dan agitasi berat.3,6
Psikoterapi
Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak pasien PTSD. Di
sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis terakit dapat
bersifat terapeutik, terapi psikoterapi harus diindividualisasi, karena mengalami kembali
trauma dapat terlalu berat untuk sejumlah pasien.11
16
pasien. Wawancara dengan amobarbital (Amytal) telah digunakan untuk mempermudah
proses ini.11
Psikoterapi setelah peristiwa traumtik harus mengikuti model intervensi krisis dengan
dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping serta penerimaan peristiwa. Ketika
timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik utama dapat diambil. Pendekatan pertama
adalah pajanan terhadap peristiwa traumatik melalui teknik membayangkan atau pajanan in
vivo. Pajanan ini dapat intens seperti pada terapi implosif, atau bertahap seperti pada
desensitisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah mengajari pasien metode penatalaksanaan
stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi stres. Sejumlah
data pendahuluan menunjukkan bahwa walaupun teknik penatalaksanaan stres efektif lebih
cepat daripada teknik pemajanan, hasil teknik pemajanan lebih bertahan lama.11
Teknik psikoterapeutik lainnya yang relatif baru dan kontroversial adalah eye
movement desensitization and reprocessing (EMDR), di sini pasien berfokus pada gerakan
lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang pengalaman trauma.
Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika pasien mengingat peristiwa
traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi dalam. Penggagas terapi ini mengatakan
terapi ini sama efektif dan mungkin lebih efektif daripada terapi PTSD lain dan lebih disukai
klinisi maupun pasien yang telah mencobanya.11
Di samping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga sering
dilaporkan efektif pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi
pengalaman traumatik dan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok terutama
berhasil pada veteran Vietnam dan orang yang selamat dari bencana menakutkan seperti
gempa bumi. Terapi keluarga sering membantu mempertahanan perkawinan saat periode
gejala memberat. Rawat inap dapat diperlukan jika gejala berat atau jika terdapat risiko
bunuh diri maupun kekerasan lain.3
Kesimpulan
17
merupakan stresor yang berat sampai mengancam nyawa dan mempunyai karakteristik
tertentu. Aspek yang berpengaruha adalah faktor psikodinamika, faktor perilaku-kognitif, dan
faktor biologis. Gambaran klinis pada pasien PTSD berupa mengingat kembali, menghindari
dan mematikan emosi, keadaan terus terjaga, mimpi buruk, keadaaan disosiatif dan aktivitas
otonom. Untuk menegakkan diagnosis PTSD dapat menggunakan kriteria diagnosis PPDGJ
III atau DSM-IV-TR. Farmakoterapi yang bermanfaat untuk menangani gangguan ini adalah
SSRI seperti sertralin dan paroksetin. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah
amitriptilin dan imipramin. Selain itu psikoterapi dapat juga bermanfaat. Prognosis mengarah
ke baik apabila awitan gejala cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi
premorbid baik, dukungan sosial baik, tidak ada ggn psikiatri medis, zat, atau faktor risiko
lain.
18
Daftar Pustaka
2. Bisson JI. Post-traumatic stress disorder. Occup Med (Chic Ill). 2007;57(6):399403.
3. Sadock BJ. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2010.
252-9 p.
5. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2013. 79 p.
6. J.A. Cohen, et al. Practice Parameter for the Assessment and Treatment of Children
and Adolescents With Posttraumatic Stress Disorder. J Am Acad Child Adolesc
Psychiatry. 2010;49(4):41430.
10. Hoskins M, et al. Pharmacotherapy for Post-Traumatic Stress Disorder. The British
Journal of Psychiatry. 2015. 93-100.
11. Sareen J. Posttraumatic Stress Disorder in Adults: Impact, Comorbidity, Risk Factors
and Treatment. The Canadian Journal of Psychiatry. 2014; 460-67.
12. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri edisi 2. Jakarta: EGC; 2011.
214-5.
19
20