Anda di halaman 1dari 20

REFERAT ILMU KESEHATAN JIWA

Gangguan Stres Pasca Trauma

Disusun oleh:

Henok Nugrahawanto 112015268

Febriane Adeleide Everdine 112015343

Chintia Armelia Golf 112015357

Asnawati 112016067

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 24 APRIL2017 27 MEI 2017

RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA

2017

Pendahuluan

1
Setiap orang minimal akan mengalami satu peristiwa traumatik, dan dapat bereaksi
dalam berbagai cara, mereka mungkin merasa gugup, sulit untuk tidur, atau kembali teringat
tentang peristiwa yang membuat mereka takut. Pikiran atau pengalaman ini adalah reaksi
normal, yang lama kelamaan akan berkurang intensitasnya dari waktu ke waktu, dan orang
yang terlibat dapat kembali menjalani kehidupan mereka seperti biasanya. Di sisi lain,
gangguan stres pasca trauma berlangsung lebih lama dan dapat mengganggu kehidupan
seseorang. Di samping gangguan stres pasca trauma, mereka yang mengalami peristiwa
traumatik juga berisiko untuk mengalami berbagai jenis gangguan psikiatrik lainnya, seperti
gangguan depresi mayor, gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, dan penyalahgunaan
zat.1,2

Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder-PTSD) adalah suatu
sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat di dalam, atau mendengar stresor
traumatik yang ekstrem. Stresor dapat berupa peristiwa bencana alam yang mengancam
nyawa, cedera serius atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
Seseorang bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara
menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal
itu. Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus bertahan lebih dari satu bulan setelah
peristiwa dan harus memengaruhi area penting kehidupan secara signifikan, seperti keluarga
dan pekerjaan. Edisi keempat revisi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(DSM-IV-TR) mendefinisikan gangguan yang serupa dengan PTSD sebagai gangguan stres
akut, yang terjadi lebih dini dari PTSD (dalam 4 minggu setelah peristiwa) membaik dalam 2
hari hingga 4 minggu. Jika gejala bertahan setelah waktu tersebut, diagnosis PTSD
diperlukan.2,3

Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup PTSD diperkirakan sekitar 8 persen populasi umum


walaupun tambahan 5 sampai 15 persen dapat mengalami bentuk subklinis gangguan ini. Di
antara kelompok risiko tinggi yang anggotanya mengalami peristiwa traumatik, angka
prevalensi seumur hidupnya berkisar 5 hingga 75 persen. Sekitar 30 persen veteran Vietnam
mengalami PTSD dan tambahan 25 persen mengalami bentuk subklinis gangguan tersebut.
Prevalensi seumur hidup pada perempuan berkisar sekitar 10 hingga 12 persen dan 5 hingga 6
persen pada laki-laki. Walaupun PTSD dapat timbul pada usia berapapun, gangguan ini
paling prevalen pada dewasa muda karena mereka cenderung lebih terpajan dengan situasi

2
penginduksi. Anak dan remaja juga dapat mengalami gangguan ini. Seperti yang mungkin
diperkirakan, prevalensi PTSD lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa yang terpajan
stresor yang sama. Pada situasi tertentu, hingga 90 persen anak akan mengalami gangguan
tersebut. Studi kasus kontrol mendokumentasikan sekitar 15 hingga 90 persen yang
mengalami peristiwa traumatik akan berlanjut menjadi PTSD. Persentase bervariasi
tergantung pada peristiwa kejadian. Sebuah sampel singkat dari studi terbaru memberikan
data mengenai kejadian PTSD setelah peristiwa traumatik, 35 persen dari sampel remaja yang
didiagnosis kanker akan memenuhi kriteria PTSD seumur hidup. Lima belas persen anak-
anak yang bertahan dari kanker mempunyai PTSD sedang sampai berat. Sembilan puluh tiga
persen dari sampel anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga akan memiliki
PTSD.3,4

Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tipe trauma yang memajankan mereka
dan kecenderungan untuk mengalami PTSD. Prevalensi seumur hidup secara bermakna lebih
tinggi pada perempuan dan proporsi perempuan yang terus mengalami gangguan ini lebih
tinggi. Berdasarkan sejarah, trauma laki-laki biasanya berupa pengalaman berperang dan
trauma perempuan paling lazim adalah kekerasan atau perkosaan. Gangguan ini lebih
cenderung terjadi pada orang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat
sosialekonomi yang rendah. Meskipun demikian, faktor risiko paling penting gangguan ini
adalah keparahan, durasi dan kedekatan pajanan seseorang dengan trauma yang sebenarnya.
Tampaknya terdapat pola familial untuk gangguan ini dan kerabat biologis derajat pertama
orang dengan riwayat depresi memiliki peningkatan risiko untuk timbulnya PTSD setelah
peristiwa traumatik.3,4

Etiologi

Terjadinya gangguan stres pasca trauma didahului oleh adanya suatu stresor berat yang
melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang.
Kondisi psikologis seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatik tersebut akan
berdampak terhadap respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut.1

1. Stresor

Stresor yang menyebabkan stres akut dan PTSD cukup hebat untuk memengaruhi
hampir setiap orang. Stresor dapat timbul dari bencana alam, pengalaman perang,
3
kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan),
penyiksaan, penculikan, penyanderaan, penyerangan, perkosaan, ditahan dalam
penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang, didiagnosis mengalami penyakit
berat yang mengancam kehidupan dan kecelakaan serius (contohnya di dalam mobil
dan gedung terbakar).1,3

Meskipun demikian, tidak semua orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa
traumatik karena stresornya sendiri tidak cukup menimbulkan gangguan ini. Pada
umumnya individu yang mempunyai karakter yang extrovert atau lebih berpikir
positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari
peristiwa traumatik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis
yang akan terjadi, seperti:


Durasi dan intensitas dari stresor yang dialami.


Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang.


Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal).


Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik
tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian
atau dia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.1

Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikososial dan biologis yang sebelumnya


ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan setelah trauma. Contohnya, seorang
anggota suatu kelompok yang bertahan hidup pada bencana kadang-kadang dapat
menangani trauma karena anggota lainnya juga mengalami pengalaman yang sama.
Arti subjektif suatu stresor pada seseorang juga penting. Contohnya, orang yang
selamat dari bencana dapat mengalami rasa bersalah (survivor guilt) yang dapat
menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.3

2. Faktor risiko

4
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan ketika menghadapi trauma yang
hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comorbidity
Study menemukan bahwa 60 persen laki-laki dan 50 persen perempuan mengalami
sejumlah trauma yang signifikan, tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7
persen. Demikian juga, peristiwa yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap
sebagai bencana besar bagi sebagian besar orang dapat menimbulkan PTSD pada
sejumlah orang lainnya.1

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stres
pasca trauma adalah:


Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya.


Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.


Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.


Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.


Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
problem menyesuaikan diri.


Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.


Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya
baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang
bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan
penderitaan bagi dirinya.1

Aspek yang berpengaruh dari gangguan stres pasca trauma:

1. Faktor psikodinamik

Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan


kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tetapi tidak terselesaikan.
Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak menimbulkan regresi dan
penggunaan mekanisme defens represi, penyangkalan, reaksi formasi, dan undoing.
Menurut Freud, pemecahan kesadaran terjadi pada pasien yang melaporkan riwayat

5
trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sebelumnya telah ada secara
simbolis dibangkitkan kembali oleh peristiwa traumatik yang baru. Ego
menghidupkan kembali dan dengan demikian mencoba menguasai dan mengurangi
ansietas. Orang yang menderita aleksitimia, yaitu ketidakmampuan mengidentifikasi
atau memverbalisasikan keadaan perasaan, tidak mampu menenangkan dirinya ketika
berada dalam stres.3

2. Faktor perilaku-kognitif

Model kognitif PTSD membuat postulat bahwa orang yang mengalaminya tidak
mampu memproses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan ini.
Mereka terus mengalami stres dan berupaya menghindari mengalami hal itu dengan
teknik menghindari. Konsisten dengan kemampuan parsial mereka mengahadi
peristiwa tersebut secara kognitif, orang tersebut mengalami periode bergantian antara
memahami dan memblok peristiwa. Upaya otak untuk memproses jumlah informasi
yang banyak yang dicetuskan trauma dianggap menimbulkan periode bergantian
antara memahami dan memblok peristiwa.3

Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase di dalam perkembangannya.


Pertama, trauma (stimulus yang tidak dipelajari), yang menimbulkan respons akut,
dipasangkan, melalui pembelajaran klasik, dengan stimulus yang dipelajari (pengingat
fisik atau mental terhadap trauma, seperti pengelihatan, bau, atau suara). Kedua,
melalui pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari mencetuskan respons
takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak dipelajari, dan orang mengembangkan
pola penghindaran terhadap stimulus yang dipelajari maupun stimulus yang tidak
dipelajari.3

Sejumlah orang juga menerima keuntungan sekunder dari dunia luar, umumnya
berupa kompensasi keuangan, meningkatnya perhatian atau simpati, pemuasan akan
kebutuhan ketergantungan. Keuntungan ini menyokong gangguan dan menetapnya
gangguan.3

3. Faktor biologis

6
Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan menimbulkan respons
takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa
yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini,
amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar, yang akan mengaktivasi
beberapa neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang
menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh
untuk menghadapi peristiwa tersebut.3

Sistem noradrenergik

Para tentara dengan gejala mirip PTSD menunjukkan kegugupan, peningkatan


tekanan darah dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah di wajah dan
tremor yaitu gejala yang berkaitan dengan obat adrenergik. Sejumlah studi
menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada veteran dengan
PTSD dan meningkatnya konsentrasi katekolamin urin pada anak perempuan
yang mengalami penyiksaan seksual. Lebih jauh lagi, reseptor -adrenergik
limfosit dan 2 trombosit mengalami downregulation pada PTSD, kemungkinan
sebagai respons terhadap konsentrasi katekolamin yang meningkat kronis. Sekitar
30 hingga 40 persen pasien PTSD melaporkan kilas balik setelah pemberian
yohimbin (Yocon). Temuan ini adalah bukti kuat perubahan fungsi sistem
noradrenergik pada PTSD. 3

Sistem opioid

Abnormalitas sistem opiod dikesankan dengan adanya penurunan konsentrasi -


endorfin plasma pada PTSD. Veteran perang dengan PTSD menunjukkan respons
analgetik yang reversibel dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan
perang sehingga meningkatkan kemungkinan hiperregulasi sistem opiad yang
serupa dengan hiperegulasi pada aksis HPA.3

Faktor pelepas kortikotropin dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal

Beberapa faktor mengacu pada disfungsi aksis HPA. Sejumlah studi


menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan urin
pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor glukokortikoid pada limfosit dan
tantangan dengan faktor pelepas kortikotropin (CRF) eksogen menunjukkan

7
respons hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang tumpul. Lebih lagi, supresi
kortisol melalui tantangan dengan dosis rendah deksametason (Decadron)
meningkat pada PTSD. Hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada
PTSD. 3

Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada


pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang
terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang terpajan trauma
tetapi tidak mengalami PTSD, sehingga mungkin hipersupresi ini secara spesifik
berkaitan dengan PTSD bukan hanya dengan trauma. Secara keseluruhan
hiperregulasi aksis HPA berbeda dengan aktivitas neuroendokrin yang biasanya
terlihat selama stres dan pada gangguan lain seperti depresi.3

Baru-baru ini, peran hipokampus mendapatkan peningkatan perhatian walaupun


masalah ini teteap keontrversial. Studi hewan menunjukkan bahwa stres terkait
dengan perubahan struktural hipokampus dan studi pada veteran perang dengan
PTSD menunjukkan volume rerata yang lebih rendah di regio hipokampus otak.
Lebih lagi, peneliti mengajukan bahwa hipokampus bukanlah satu-satunya area di
otak yang menunjukkan adanya perubahan struktural PTSD karena studi
mengenai depresi menunjukkan efek serupa di amigdala dan korteks prafrontal.3

Gambaran Klinis

Gambaran klinis utama PTSD adalah mengingat/mengalami kembali suatu peristiwa


yang menyakitkan, suatu pola menghindari dan mematikan emosi, serta keadaan terus terjaga
yang cukup konstan sampai timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi buruk.
Gangguan ini dapat tidak timbul sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah
peristiwa tersebut. Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah,
penolakan, dan cemoohan. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan disosiatif dan
serangan panik, serta ilusi dan halusinasi dapat timbul. Uji kognitif dapat menunjukkan
bahwa pasien memiliki hendaya memori dan perhatian. Gejala terkait dapat mencakup agresi,
kekerasan, kendali impuls yang buruk, depresi, dan gangguan terkait zat. Pasien memiliki
peningkatan skor Sc, D, F, dan Ps pada Minnesota Multiphasic Personality Inventory, dan
temuan uji Rorschach sering mencakup hal-hal yang agresif dan kasar. 1,3

Komorbiditas

8
Angka komorbiditas tinggi pada pasien dengan PTSD, dengan sekitar dua pertiga
memiliki sedikitnya dua gangguan lain. Keadaan komorbid yang lazim mencakup gangguan
depresif, gangguan panik, gangguan terkait zat, gangguan ansietas lain, dan gangguan bipolar.
Gangguan komorbid membuat orang menjadi lebih rentan untuk mengalami PTSD.13

Kriteria Diagnosis

Pedoman diagnositik ganggun stres pascatrauma berdasarkan PPDGJ III:

1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).

Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.

2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-
mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback).

3. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

4. Suatu sequele menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya
saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0
(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).5

Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk PTSD merinci bahwa gejala mengalami,


menghindari, dan terus terjaga telah ada lebih dari 1 bulan. Untuk pasien yang gejalanya ada,
tetapi kurang dari 1 bulan, diagnosis yang sesuai adalah gangguan stres akut. Kriteria
diagnosis DMS-IV-TR PTSD menungkinkan klinisi merinci apakah gangguan tersebut akut
(jika gejala kurang dari 3 bulan) atau kronis (jika gejala telah ada selama 3 bulan atau lebih).
DSM-IV-TR juga memungkinkan klinisi merinci bahwa gangguan tersebut dengan awitan
yang tertunda jika awitan gejala 6 bulan atau lebih setelah peristiwa yang memberikan stres. 3

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Stres Pascatrauma

9
A. Orang tersebut telah terpajan dengan peristiwa traumatik dan kedua hal ini ada:

(1) Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan peristiwa atau
sejumlah peristiwa yang melibatkan kematian atau cedera serius yang sebenarnya
atau mengancam, atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya atau orang lain.

(2) Respons orang tersebut melibatkan rada takut yang intens, rasa tiadk berdaya, atau
horor. Catatan: pada anak, hal ini dapat ditunjukkan dengan perilaku agitasi atau
kacau.

B. Peristiwa traumatik secara terus menerus dialami kembali pada satu (atau lebih) cara
berikut ini:

(1) Mengingat kembali peristiwa secara berulang dan mengganggu yang


menimbulkan distres, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada
anak yang masih kecil, dapat terjadi permainan berulang yang mengekspresikan
tema atau aspek trauma.

(2) Mimpi berulang mengenai peristiwa tersebut yang menimbulkan penderitaan.


Catatan: pada anak, bisa terdapat mimpi yang menakutkan tanpa kandungan yang
dapat dikenali.

(3) Bertindak atau merasakan seolah-olah peristiwa traumatik tersebut terjdi kembali
(termasuk rasa membangkitkan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode
kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi saat bangun atau ketika mengalami
intoksikasi). Catatan: pada anak yang masih kecil, anak dapat melakukan kembali
hal yang spesifik trauma.

(4) Penderitaan psikologis yang intens pada pajanan terhadap sinyal internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.

(5) Reaktivitas fisiologis pada pajanan sinyal internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.

C. Penghindaran persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma serta membuat kebas
responsivitas umum (tidak terjadi sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan dengan
tiga (atau lebih) hal berikut ini:

10
(1) Upaya menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berkaitan dengan
trauma.

(2) Upaya menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang membangkitkan ingatan
akan trauma.

(3) Ketidakmampuan mengingat kembali aspek penting trauma.

(4) Minat atau partisipasi berkurang nyata pada aktivitas yang signifikan.

(5) Perasaan lepas atau menjadi asing dari orang lain.

(6) Kisaran afek yang terbatas (contoh tidak mampu memiliki rasa cinta).

(7) Rasa masa depan yang memendek (contoh tidak berharap memiliki karir,
menikah, anak atau masa hidup normal).

D. Menetapnya peningkatan keadaan terjaga (tidak terjadi sebelum trauma), seperti yang
ditunjukkan dengan dua (atau lebih) hal berikut:

(1) Sulit tidur atau sulit tetap tidur

(2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan

(3) Sulit berkonsentrasi

(4) Hypervigilance

(5) Respons kaget yang berlebihan

E. Durasi gangguan (gejala kriteria B, C, dan D) lebih dari satu bulan.

F. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau gangguan
di dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain.

Tentukan jika:

Akut: jika durasi gejala kurang dari tiga bulan

Kronis: jika durasi gejala tiga bulan atau lebih

Tentukan jika:

11
dengan awitan tertunda: jika awitan gejala sedikitnya 6 bulan setelah stresor. 3

Terdapat perbedaan antara DSM IV dengan DSM V mengenai klasifikasi PTSD.


Dalam DSM IV dikatakan bahwa PTSD masuk dalam anxiety disorder, tetapi tidak
pada DSM V. PTSD masuk dalam stress related disorder diklasifikasi yang terbaru.

Gangguan Stres Pascatrauma pada Anak dan Remaja

PTSD terdapat pada anak dan remaja, tetapi sebagian besar studi gangguan ini telah
berpusat pada orang dewasa. DSM-IV-TR hanya mengemukakan sedikit mengenai PTSD
pada anak yang masih kecil, kecuali dengan menggambarkan gejala seperti mimpi berulang
mengenai peristiwa tersebut, mimpi buruk tentang monster, serta timbulnya gejala fisik
seperti sakit perut dan sakit kepala.6,8

Tingginya angka PTSD belum didokumentasikan pada anak yang terpajan peristiwa
yang mengancam jiwa seperti peperangan dan trauma terkait perang lain, penculikan,
penyakit berat atau terbakar, transplantasi sumsum tulang, dan sejumlah bencana alam buatan
dan manusia. Studi pada korban yang masih muda atau saksi penyerangan kriminal,
kekerasan rumah tangga, dan kekerasan masyarakat mengungkapkan morbiditas psikiatri
yang tinggi setelah pajanan terhadap kekerasan tersebut. Seperti yang mungkin diperkirakan,
prevalensi PTSD lebih tinggi pada anak daripada orang dewasa yang terpajan stresor yang
sama. Pada situasi tertentu, hingga 90 persen anak akan mengalami gangguan tersebut.
Umumnya, PTSD diremehkan pada anak dan remaja.6,8

Faktor risiko anak mencakup faktor demografik (contoh usia, jenis kelamin, status
sosioekonomi), peristiwa hidup lain (positif dan negatif), kognisi sosial dan budaya,
komorbiditas psikiatri, strategi koping yang diturunkan. Faktor keluarga (contoh
psikopatologi dan fungsi orang tua, status perkawinan, dan edukasi) memerankan peran kunci
dalam menentukan gejala pada anak. Respons orang tua terhadap perisstiwa traumatik
terutama memengaruhi anak yang masih kecil yang belum benar-benar mengerti sifat trauma
atau bahaya yang terkandung.6,8

Stresor pada anak dapat mendadak, berupa trauma peristiwa tunggal yang mendadak
atau trauma kronis atau terus menerus seperti penyiksaan fisik atau seksual. Anak juga

12
menderita akibat pajanan tidak langsung yaitu kematian, atau cedera orang yang dicintai
yang tidak disaksikan, seperti pada situasi bencana, perang, atau kekerasan masyarakat.6,8

Anak, seperti dewasa, mengalami kembali peristiwa traumatik dalam bentuk pikiran
atau ingatan, kilas balik, dan mimpi yang mengganggu serta menimbulkan distres. Mimpi
buruk pada anak secara khusus dapat terkait dengan tema trauma atau dapat menjadi umum
sebagai rasa takut lainnya. Kilas balik terjadi pada anak dan sesama korban remaja maupun
dewasa. Sandiwara traumatik, suatu bentuk khusus mengalami kembali yang terlihat pada
anak yang masih kecil, terdiri atas memerankan berulang trauma atau tema yang terkait
trauma di dalam permainan. Anak yang lebih tua dapat menggabungkan aspek trauma ke
dalam hidup mereka di dalam suatu proses yang disebut mengidupkan kembali
(reenactment).6,8

Tindakan khayalan mengenai intervensi atau balas dendam lazim ada; remaja harus
dipertimbangkan memiliki peningkatan risiko untuk bertindak impulsif akibat kemarahan dan
khayalan balas dendam. Perilaku terkait pada anak dan remaja korban trauma mencakup
memainkan peran seksual, penggunaan zat, dan kenakalan remaja. Anak sering menarik diri
dan menunjukkan kurangnya minat pada aktivitas yang sebelumnya menyenangkan. Perilaku
regresif seperti enuresis atau takut tidur sendiri juga dapat terjadi.3,6,8

Diagnosis Banding

Pertimbangan utama dalam diagnosis PTSD adalah kemungkinan bahwa pasien juga
menderita cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organic lain yang dapat menyebabkan
dan memperberat gejala adalah epilepsy, gangguan penggunaan alcohol, dang gangguan
terkait zat lain. Intoksikasi akut atau putus zat juga dapat menunjukkan gambaran klinis yang
sulit dibedakan dengan gangguan ini sampai efek zat hilang.

PTSD lazim salah didiagnosis sebagai gangguan jiwa lain dan kemudian diobati
dengan tidak sesuai. Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis PTSD pada pasien yang
memiliki gangguan nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan ansietas lain, dan gangguan mood.
Pada umumunya PTSD dapat dibedakan dengan gangguan jiwa lain dengan mewawancarai
pasien mengenai pengalaman traumatic sebelumnya dan dengan sifat gejala saat ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan dan malingering, juga
harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang dapat sulit dibedakan dengan PTSD.
Kedua gangguan ini dapat ada bersamaan atau bahkan penyebabnya dapat berkaitan. Pasien

13
dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,
hyperarousal autonomy, atau riwayat trauma yang dimiliki pasien PTSD. Sebagian karena
publisitas yang didapat PTSD, klinisi juga harus mempertimbangkan kemungkinan gangguan
buatan dan malingering.3

Perjalanan Gangguan dan Prognosis

PTSD biasanya timbul beberapa waktu setelah trauma. Penundaan dapat selama 1
minggu atau hingga 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi
paling intens selama periode stres. Jika tidak diobati, sekitar 30 persen pasien akan pulih
sempurna, 40 persen akan terus memiliki gejala ringan, 20 persen akan terus memiliki gejala
sedang, dan 10 persen tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah satu tahun, sekitar
50 persen pasien akan pulih. Prognosis yang baik diperkirakan dengan adanya awitan gejala
cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi premorbid baik, dukungan sosial
baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor
risiko lain. 3

Umumnya, orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memiliki kesulitan dengan
peristiwa traumatik daripada orang usia pertengahan. Contohnya, sekitar 80 persen anak yang
masih kecil yang mengalami cedera terbakar menunjukkan gejala PTSD 1 atau 2 tahun
setelah cedera awal; hanya 30 persen orang dewasa yang menderita cedera yang sama
mengalami PTSD setelah 1 tahun. Kemungkinan, anak yang masih kecil belum memiliki
mekanisme koping yang adekuat untuk menghadapi akibat buruk emosional dan fisik trauma.
Sama halnya dengan orang yang sudah tua, yang bila dibandingkan dengan orang dewasa
yang lebih muda, cenderung memiliki mekanisme koping yang lebih kaku dan kurang dapat
menggunakan pendekatan fleksibel dalam menghadapi efek trauma.3,9

Lebih jauh lagi, efek traumatik dapat diperberat ketidakmampuan fisik yang menjadi
ciri khas kehidupan lanjut, terutama ketidakmampuan sistem saraf dan sistem kardiovaskular,
seperti berkurangnya aliran darah otak, gangguan penglihatan, palpitasi dan aritmia.
Ketidakmampuan psikiatri yang sebelumnya ada, baik gangguan kepribadian atau suatu
keadaan yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. PTSD yang terjadi
bersamaan dengan gangguan lain sering lebih berat, dapat lebih kronis, dan dapat sulit
diobati. Ketersediaan dukungan sosial juga dapat memengaruhi timbulnya, keparahan, dan
durasi PTSD. Umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik lebih

14
kecil kemungkinannya memiliki gangguan ini dan lebih jarang mengalami PTSD dalam
bentuk yang berat, serta lebih besar kemungkinannya pulih dalam waktu yang lebih singkat.3,9

Pencegahan

Pencegahan primer telah diusahakan dengan menanamkan stress pada kelompok


resiko tinggi. Strategi pencegahan sekunder yang diketahui bermanfaat dalam membantu
proses emosi dini meliputi pertemuan dengan kelompok yang telah berhasil melwatinya,
dalam 1-2 hari jika memungkinkan, agar terjadi diskusi kelompok untuk mengatur reaksi
emosi seseorang dalam kisaran normal dan wawancara insiden kritis. Namun, efektivitas
jangka panjang tindakan ini belum terbukti. Selain itu, tindakan yang tidak tepat dam
terlambat atau tindakan yanhg menyebabkan ruminasi yang tidak tepat terhadap trauma dapat
membahayakan.7,12

Terapi

Ketika klinisi menghadapi pasien yang telah mengalami trauma bermakna,


pendekatan utamanya adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa tersebut,
dan edukasi mengenai berbagai mekanisme koping (contohnya relaksasi). Penggunaan sedatif
dan hipnotik juga dapat membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa traumatik di masa
lalu dan sekarang memiliki PTSD, penekatan harus pada edukasi mengenai gangguan dan
terapinya, baik farmakologis maupun psikoterapeutik. Klinisi juga harus bekerja untuk
menghilangkan stigma pada penyakit jiwa dan PTSD.6,10

Farmakoterapi

Selective serotonin reuptake inhbitor (SSRI), seperti sertralin (Zoloft) dan paroksetin
(Paxil) diertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas,
tolerabilitas, dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala semua kelompok gejala
PTSD dan efektif dalam memperbaiki gejala PTSD yang khas, tidak hanya gejala yang
serupa dengan depresi atau gangguan ansietas lain.10

Efektivitas imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil), dua obat trisiklik untuk
terapi PTSD didukung oleh sejumlah percobaan klinis yang terkontrol baik. Walaupun
beberapa percobaan kedua obat tersebut memberikan temuan negatif, sebagian besar
percobaan ini memiliki kecacatan desain yang serius, termasuk durasi yang terlalu singkat.
Dosis imipramin dan amitriptilin harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati

15
gangguan depresif, dan lama minimum suatu percobaan yang adekuat adalah 8 minggu.
Pasien yang memberikan respons baik mungkin harus meneruskan farmakoterapi sedikitnya
satu tahun sebelum farmakoterapi lebih efektif dalam tatalaksana depresi, ansietas, dan
hyperarousal, daripada tatalaksana penghindaran, penyangkalan, dan penumpulan
emosional.6,10

Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah momoanime oxidase
inhibitors (MAOI) seperti, fenelzin (Nardil), trazodon ( Desyrel), dan antikonvulsan
(contohnya karbamazepin (Tegretol) dan valproat (Depakene)). Sejumlah studi juga
mengungkapkan perbaikan PTSD pada pasien yang diberikan reversible monoamine oxidase
inhibitors (RIMA) seperti brofaromin. Penggunaan klonidin (Catapres) dan propranolol
(Inderal), yang merupakan agen antiadrenergik, diajukan oleh teori mengenai hiperaktivitas
noradrenergik pada gangguan ini. Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan
antipsikotik pada gangguan ini sehingga penggunaan obat ini (contohnya haloperidol
(Haldol) harus dicadangkan untuk kontrol jangka pendek agresi dan agitasi berat.3,6

Psikoterapi

Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak pasien PTSD. Di
sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis terakit dapat
bersifat terapeutik, terapi psikoterapi harus diindividualisasi, karena mengalami kembali
trauma dapat terlalu berat untuk sejumlah pasien.11

Intervensi psikoterapeutik PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan


hipnosis. Banyak klinisi menyarankan psikoterapi terbatas waktu untuk korban trauma.
Terapi seperti ini biasanya memerlukan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan
serta keamanan. Sifat psikoterapi jangka pendek meminimalkan risiko ketergantungan dan
menjadi kronis, tetapi masalah kecurigaan, paranoid, dan kepercayaan sering memberi
pengaruh buruk terhadap kepatuhan. Terapis harus menghadapi penyangkalan pasien
mengenai peristiwa traumatik, menyarankan mereka bersantai, dan menjauhkan mereka dari
sumber stres. Pasien harus disarankan tidur, menggunakan obat jika perlu. Dukungan dari
orang di lingkungan mereka (seperti teman dan kerabat) harus diberikan. Pasien harus
diminta mengingat kembali dan melakukan abreaksi perasaan emosional yang berkaitan
dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan masa mendatang. Abreaksi
mengalai emosi yang berkaitan dengan suatu peristiwa dapat membantu bagi sejumlah

16
pasien. Wawancara dengan amobarbital (Amytal) telah digunakan untuk mempermudah
proses ini.11

Psikoterapi setelah peristiwa traumtik harus mengikuti model intervensi krisis dengan
dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping serta penerimaan peristiwa. Ketika
timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik utama dapat diambil. Pendekatan pertama
adalah pajanan terhadap peristiwa traumatik melalui teknik membayangkan atau pajanan in
vivo. Pajanan ini dapat intens seperti pada terapi implosif, atau bertahap seperti pada
desensitisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah mengajari pasien metode penatalaksanaan
stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi stres. Sejumlah
data pendahuluan menunjukkan bahwa walaupun teknik penatalaksanaan stres efektif lebih
cepat daripada teknik pemajanan, hasil teknik pemajanan lebih bertahan lama.11

Teknik psikoterapeutik lainnya yang relatif baru dan kontroversial adalah eye
movement desensitization and reprocessing (EMDR), di sini pasien berfokus pada gerakan
lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang pengalaman trauma.
Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika pasien mengingat peristiwa
traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi dalam. Penggagas terapi ini mengatakan
terapi ini sama efektif dan mungkin lebih efektif daripada terapi PTSD lain dan lebih disukai
klinisi maupun pasien yang telah mencobanya.11

Di samping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga sering
dilaporkan efektif pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi
pengalaman traumatik dan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok terutama
berhasil pada veteran Vietnam dan orang yang selamat dari bencana menakutkan seperti
gempa bumi. Terapi keluarga sering membantu mempertahanan perkawinan saat periode
gejala memberat. Rawat inap dapat diperlukan jika gejala berat atau jika terdapat risiko
bunuh diri maupun kekerasan lain.3

Kesimpulan

Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder-PTSD) adalah


suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat di dalam, atau mendengar
stresor traumatik yang ekstrem. Peristiwa traumatik dapat menyebabkan PTSD sekitar 15-
90%, prevalensi seumur hidup PTSD pada 8% populasi umum, lebih banyak terjadi pada
anak-anak dibandingkan dewasa dan pada perempuan. Stresor yang menyebabkan PTSD

17
merupakan stresor yang berat sampai mengancam nyawa dan mempunyai karakteristik
tertentu. Aspek yang berpengaruha adalah faktor psikodinamika, faktor perilaku-kognitif, dan
faktor biologis. Gambaran klinis pada pasien PTSD berupa mengingat kembali, menghindari
dan mematikan emosi, keadaan terus terjaga, mimpi buruk, keadaaan disosiatif dan aktivitas
otonom. Untuk menegakkan diagnosis PTSD dapat menggunakan kriteria diagnosis PPDGJ
III atau DSM-IV-TR. Farmakoterapi yang bermanfaat untuk menangani gangguan ini adalah
SSRI seperti sertralin dan paroksetin. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah
amitriptilin dan imipramin. Selain itu psikoterapi dapat juga bermanfaat. Prognosis mengarah
ke baik apabila awitan gejala cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi
premorbid baik, dukungan sosial baik, tidak ada ggn psikiatri medis, zat, atau faktor risiko
lain.

18
Daftar Pustaka

1. Elvira S, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. 254-64 p.

2. Bisson JI. Post-traumatic stress disorder. Occup Med (Chic Ill). 2007;57(6):399403.

3. Sadock BJ. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2010.
252-9 p.

4. Perry BD, Ph D. Stress , Trauma and Post-traumatic Stress Disorders in Children.


2007;

5. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2013. 79 p.

6. J.A. Cohen, et al. Practice Parameter for the Assessment and Treatment of Children
and Adolescents With Posttraumatic Stress Disorder. J Am Acad Child Adolesc
Psychiatry. 2010;49(4):41430.

7. Fomeris C.A, et al. Interventions to Prevent Poat-Traumatic Stress Disorder A


Systematic Review. American Journal of Preventive Medicine. 2013; 635-50.

8. Gerson R, Rapaport N. Traumatic Stress and Posttraumatic Stress Disorder in Youth:


Recent Research Findings on Clinical Impact, Assessment and Treatment. Journal of
Adolescent Health. 2013; 137-43.

9. Arnaudova M, Aleksandrov I, et al. Diagnostic Challenges In Assessing Post-


Traumatic Stress Disorder. Journal of IMAB. 2015; vol. 21.

10. Hoskins M, et al. Pharmacotherapy for Post-Traumatic Stress Disorder. The British
Journal of Psychiatry. 2015. 93-100.

11. Sareen J. Posttraumatic Stress Disorder in Adults: Impact, Comorbidity, Risk Factors
and Treatment. The Canadian Journal of Psychiatry. 2014; 460-67.

12. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku Ajar Psikiatri edisi 2. Jakarta: EGC; 2011.
214-5.

19
20

Anda mungkin juga menyukai

  • Trauma Thoraks Henok
    Trauma Thoraks Henok
    Dokumen37 halaman
    Trauma Thoraks Henok
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif
    Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif
    Dokumen41 halaman
    Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif
    Shelvy Tucunan
    Belum ada peringkat
  • PTSD Kelompok I
    PTSD Kelompok I
    Dokumen21 halaman
    PTSD Kelompok I
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Refrat Panik
    Refrat Panik
    Dokumen15 halaman
    Refrat Panik
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Hernia Inguinalis
    Hernia Inguinalis
    Dokumen18 halaman
    Hernia Inguinalis
    Ade Vianis Plester
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat
    Cover Referat
    Dokumen2 halaman
    Cover Referat
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • HERNIA INGUINALIS
    HERNIA INGUINALIS
    Dokumen29 halaman
    HERNIA INGUINALIS
    Aizat Azher
    50% (2)
  • Hernia
    Hernia
    Dokumen9 halaman
    Hernia
    FìtRíex Pivin
    Belum ada peringkat
  • Psoriasis
    Psoriasis
    Dokumen17 halaman
    Psoriasis
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Menular Seksual Ims
    Infeksi Menular Seksual Ims
    Dokumen120 halaman
    Infeksi Menular Seksual Ims
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • TM 6 Ims
    TM 6 Ims
    Dokumen33 halaman
    TM 6 Ims
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Hernia Inguinalis
    Hernia Inguinalis
    Dokumen18 halaman
    Hernia Inguinalis
    Ade Vianis Plester
    Belum ada peringkat
  • Hernia
    Hernia
    Dokumen16 halaman
    Hernia
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Hernia
    Hernia
    Dokumen30 halaman
    Hernia
    putridjaen
    Belum ada peringkat
  • Case OE
    Case OE
    Dokumen15 halaman
    Case OE
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen16 halaman
    Case
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Menular Seksual
    Penyakit Menular Seksual
    Dokumen29 halaman
    Penyakit Menular Seksual
    amoet_122
    Belum ada peringkat
  • Data
    Data
    Dokumen1 halaman
    Data
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Case OE
    Case OE
    Dokumen15 halaman
    Case OE
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Meningioma Cesar Dr. J
    Meningioma Cesar Dr. J
    Dokumen23 halaman
    Meningioma Cesar Dr. J
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Ga Tau Ini Apa
    Ga Tau Ini Apa
    Dokumen2 halaman
    Ga Tau Ini Apa
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Laporan Ujian Kasus Appendisitis Kronik
    Laporan Ujian Kasus Appendisitis Kronik
    Dokumen11 halaman
    Laporan Ujian Kasus Appendisitis Kronik
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Kepaniteraan
    Kepaniteraan
    Dokumen1 halaman
    Kepaniteraan
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat
    Cover Referat
    Dokumen2 halaman
    Cover Referat
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Data
    Data
    Dokumen2 halaman
    Data
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Psoriasis
    Psoriasis
    Dokumen17 halaman
    Psoriasis
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • HPV
    HPV
    Dokumen2 halaman
    HPV
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Referat Ola
    Referat Ola
    Dokumen16 halaman
    Referat Ola
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat
  • Psoriasis
    Psoriasis
    Dokumen17 halaman
    Psoriasis
    Henok Nugrahawanto
    Belum ada peringkat