Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Kakao merupakan tumbuhan


tahunan (perennial) berbentuk pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Tanaman Kakao
dapat tumbuh subur dan berbuah di daerah tropis dengan ketinggian 1-600 m di atas
permukaan laut.Dari tumbuhan Kakao dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai
cokelat (Poedjiwidodo, 1996). Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia
lapangan pekerjaan, sumber pendapatan, dan devisa Negara. Indonesia merupakan
negara pemasok utama kakao dunia urutan ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana
(Askindo, 2005). Daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia berasal dari daerah
Sulawesi. Dimana 60% dari luas kakao Indonesia terdapat di Sulawesi (Ditjenbun, 2013).
Merujuk pada wilayah pengembangan kakao tersebut, salah satu daerah potensial di
Indonesia yang telah mengembangkan komoditas kakao adalah wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) dengan spesies fine cacao (kakao mulia).
Sejalan dengan arah perkembangan komoditas kakao oleh pemerintah provinsi NTB,
sasaran utama pengembangan kakao diwilayah NTB adalah Kabupaten Lombok Utara
(KLU) yang dimulai oleh adanya Proyek P2WK (Pengembangan Perkebunan Wilayah
Khusus) pada tahun 1990/1991 yang sampai saat ini relatif masih terus berjalan. Jika
dilihat dari data perkembangan luas areal produksi tanaman kakao pada tahun 2013 luas
areal pengembangan kakao di Provinsi NTB mengalami peningkatan mencapai 7.846,48
hektar (Ha) dengan produksi sebesar 1.536,30 ton. Dari pencapaian tersebut pemerintah
provinsi NTB melalui Dinas Perkebunan NTB berupaya untuk melakukan pengembangan
luas areal dan potensi lahan untuk memenuhi target pencapaian kinerja pengembangan
kakao di Provinsi NTB 2013 sampai dengan 2018 (Dinas Perkebunan NTB, 2014).
Sebagian besar petani di daerah KLU, mengusahakan tanaman Kakao sebagai
komoditas andalan yang menjadi sumber pendapatan keluarga. Pembudidayaan tanaman
kakao oleh sebagian besar masyarakat KLU cukup lama, akan tetapi aplikasi teknologi
mulai dari teknis budidaya hingga pengolahan masih perlu ditingkatkan. Menurut Asosiasi
Penelitian Perkebunan Indonesia (2002) dalam Towaha dkk, (2012), salah satu
permasalahan yang dihadapi petani adalah pengolahan mutu biji kakao yang masih
rendah, terutama disebabkan oleh penanganan pasca panen yang belum dilakukan
dengan baik dan benar, seperti biji kakao yang tidak difermentasi atau proses fermentasi
yang kurang baik. Selama ini pengolahan kakao yang dilakukan petani khususnya petani
kakao di daerah KLU masih menggunakan cara pengolahan non fermentasi. Buah Kakao
yang telah dipanen diambil bijinya dan segera dilakukan pengeringan di bawah sinar
matahari selama 6-7 hari tanpa melalui fermentasi (Chaerani, 2008). Pengolahan kakao
yang tidak melalui tahap fermentasi biji akan menghasilkan rasa pahit, sepat, dan tidak
akan menghasilkan aroma khas coklat ketika diolah (Thompson, 2001 dalam Widianto,
2013). Hal ini menyebabkan mutu biji kakao yang dihasilkan bermutu rendah tidak
seperti bji kakao yang dilakukan dengan fermentasi.
Fermentasi kakao pada dasarnya merupakan proses perombakan gula dan asam
sitrat dalam pulp menjadi asam-asam organik yang dilakukan oleh mikrobia fermentasi
(Lopez dan Dimick, 1996 dalam Widianto, 2013). Selama fermentasi sebagian besar pulp
yang menempel pada biji kakao akan terkonversi menjadi alkohol, asam asetat dan asam
laktat (Afoaka, 2010 dalam Amraini 2011). Perubahan komposisi kimia biji selama proses
fermentasi akan mengarah pada terbentuknya cita rasa, aroma dan perbaikan
kenampakan mutu biji kakao (Beckett, 2008). Proses Fermentasi kakao dilakukan dengan
cara memeram biji kakao pada wadah tertutup menggunakan daun pisang atau karung
goni selama 5-7 hari dan disertai pembalikan setiap 2 hari sekali (Palupi dkk., 2007).
Penggunaan daun pisang atau karung goni sebagai wadah penutup fermentasi tidak
cukup praktis dalam penanganannya. Daun pisang yang dibutuhkan sebagai wadah
fermentasi dalam penggunaannya tentu dibutuhkan jumlah daun yang lebih banyak serta
tidak dapat digunakan berulang kali. Sedangkan penggunaan karung goni sebagai wadah
fermentasi saat ini akan semakin sulit digunakan. Karung goni yang rusak dan tidak layak
pakai akan sulit dicari penggantinya disebabkan semakin terbatas penggunaannya.
Kelemahan dan kekurangan daun pisang atau karung goni sebagai wadah fermentasi
disisi lain yaitu rendahnya sifat proteksi wadah terhadap cemaran kotoran-kotoran dan
serangga dari luar sehingga akan berdampak negatif terhadap proses fermentasi. Oleh
karena itu perlu adanya wadah fermentasi yang lebih efektif dan efisien dalam
penggunaanya yang mampu memberikan hasil fermentasi yang optimal.
Percobaan penggunaan terpal sebagai wadah fermentasi pengganti daun pisang
atau karung goni belum pernah diterapkan secara khusus. Penggunaan penutupan
dengan terpal lebih sederhana dan tidak memerlukan banyak waktu sehingga akan lebih
efektif dan efisien karena dapat menjangkau areal yang lebih luas dibandingkan
menggunakan daun pisang dan karung goni. Disamping itu, karakteristik terpal dengan
permeabilitas udara dan uap air yang rendah diduga akan mempercepat proses
fermentasi. Penelitian yang secara khusus meneliti pengaruh lama fermentasi kakao
selama ini hanya dilakukan dengan penutupan daun pisang atau karung goni. Sehingga
pada penelitian ini dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi
dengan penggunaan terpal terhadap mutu biji kakao (Theobroma cacao L.).
BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: buah kakao, varietas
Trinitario, aquades, medium Plate Count Agar (PCA), Potato Dectrose Agar (PCA) merk
OXOID, dan medium De Man Rogosand Sharpe Agar (MRSA) merk MERCK, alkohol, dan
buffer fosfat.
Alat
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: terpal modifikasi,
ember, baskom plastik, pisau, timbangan analitik, cabinet dryer merk OMRON,
stopwatch, pH meter merk SCHOOT.
Tahapan Penelitian
Adapun tahap-tahap dalam proses penelitian ini meliputi:
Persiapan Bahan Baku
Semua alat-alat dipersiapkan untuk kebutuhan fermentasi biji kakao. Terpall yang
telah dimodifikasi ukuran 40 cm x 40 cm dibersihkan dari debu-debu dan kotoran yang
masih menempel. Ember air yang digunakan untuk membersihkan biji gelondong basah
kakao.
Persiapan bahan baku
Bahan baku yang digunakan adalah biji kakao varietas Trinitario Desa Santong,
Kabupaten Lombok Utara dengan total berat 8 kg yang diperoleh dari hasil panen
perkebunan kakao Desa Santong, KLU, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sortasi
Sortasi dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan atau membedakan kakao
matang penuh berwarna ungu tidak terserang penyakit dengan kakao setengah matang
atau matang tidak merata dan terserang penyakit.
Pemecahan
Pemecahan kulit buah kakao dari kulit buah yang tebal. Pemecahan dilakukan
dengan cara memecah buah kakao menggunakan pisau secara manual dan dilakukan
dengan cara hati-hati agar tidak merusak keping biji. Biji kakao yang bermutu baik
kemudian dipisahkan dari biji kakao yang bermutu buruk atau rusak.
Fermentasi
Fermentasi bertujuan untuk membantu melepaskan lapisan lendir yang masih
menempel pada permukaan kulit tanduk. Fermentasi kering dilakukan dengan cara
menumpuk kakao yang telah selesai dipisahkan dari kulit buahnya untuk kemudian
ditutup menggunakan terpal berukuran 40 cm x 40 cm untuk tiap unit sampel dengan
lama waktu 0 hari, 2 hari, 4 hari, 6 hari, 8 hari dan diletakkan ditempat yang teduh.
Pencucian
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran dan lendir yang masih
tertinggal saat proses fermentasi. Pencucian dilakukan pada air yang mengalir. Pencucian
dilakukan dengan menggunakan keranjang sehingga sisa-sisa kotoran dapat terangkat
dan terlepas dari permukaan kulit kakao.
Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada biji kakao hingga mencapai
kadar air 7,5 % SNI. Pengeringan dilakukan dengan cara pengovenan.
Metode
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang terdiri dari satu variabel yaitu lama fermentasi kakao (F)
menggunakan terpal yang terdiri dari 5 aras yaitu:
F1 = Fermentasi 0 hari
F2 = Fermentasi 2 hari
F3 = Fermentasi 4 hari
F4 = Fermentasi 6 hari
F5 = Fermentasi 8 hari
Setiap unit perlakuan akan diulang tiga kali sehingga diperoleh 15 sampel
percobaan. Setiap satuan percobaan menggunakan 500 g kakao biji basah. Data hasil
pengamatan kimia dan organoleptik dianalisis dengan analisis keragaman (Analysis of
Variance) pada taraf nyata 5 % dengan menggunakan software Co-Stat. Apabila terdapat
beda nyata, data kimia dan organoleptik dilakukan uji lanjut dengan uji Beda Nyata Jujur
(BNJ) (Hanafiah, 2002). Seluruh data pengamatan mulai dilakukan pada hari ke-0, uji
kadar air dilakukan setelah proses pengeringan dan uji cacat fisik dilakukan secara visual.
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah mutu biji kakao. Mutu yang
diamati meliputi sifat kimia, organoleptik, mikrobiologi, dan fisik. Sifat kimia yaitu pH,
Kadar air. Sifat organoleptik yaitu warna dan aroma secara scoring. Sifat mikrobiologis
yaitu total bakteri dan total bakteri asam laktat (BAL). Sifat fisik yaitu total biji berjamur,
total biji berkecambah, total biji berserangga, dan mutu biji kakao berdasarkan ukuran
biji/100 g.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data hasil pengamatan dan hasil analisa keragaman setiap parameter dapat dilihat
sebagai berikut
Mutu Kimia
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang
dimiliki oleh suatu bahan. Tingkat keasaman suatu bahan dapat diketahui dari laju perubahan derajat
keasaman (pH) bahan. Selama proses fermentasi kakao, terjadi perubahan pH sebagai akibat dari
aktivitas mikroba dalam bahan. Hubungan lama fermentasi dengan pH biji kakao dapat dilihat pada tabel
1.
Tabel 1. Purata Hasil Pengamatan Pengaruh Lama Fermentasi dengan Penggunaan Terpal Terhadap Derajat
Keasaman (pH) biji kakao.
Purata
Lama Fermentasi (Hari)
Nilai pH
0 4,96 a
0,05
2 4,55 ab
0,08
4 4,51 ab
0,04
6 4,49 ab
0,04
8 4,23 b
0,08
BNJ 0,05 0,4
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf-huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan terdapat perbedaan yang
nyata pada taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 1. memperlihatkan bahwa pada faktor lama fermentasi hari (F) dengan
penggunaan terpal, untuk semua perlakuan berpengaruh terhadap nilai pH. Perlakuan lama fermentasi
hari ke-nol (0) berbeda nyata dengan lama fermentasi hari ke-delapan (8).Tetapi tidak berbeda nyata
dengan lama fermentasi biji kakao hari ke-dua (2), hari ke-empat (4), dan hari ke-enam (6). Adanya
perbedaan nilai pH pada setiap perlakuan disebabkan oleh penurunan nilai pH selama proses fermentasi
disebabkan oleh adanya aktivitas dari mikroorganisme yang menghasilkan asam-asam organik seperti
asam laktat dan asam asetat yang berpenetrasi kedalam biji dan menyebabkan nilai pH biji menurun. Hal
ini sesuai dengan pendapat Lukito (2004) menyatakan bahwa selama proses fermentasi berlangsung
akan terjadi penurunan nilai pH sebagai akibat adanya aktivitas dari mikroorganisme fermentasi.
Penggunaan terpal sebagai wadah penutup fermentasi diduga berpengaruh terhadap perubahan
pH selama fermentasi, hal ini disebabkan pengaruh pada peningkatan laju fermentasi. Karakteristik terpal
sebagai lembar plastik High Density Polyethylene (HDPE) dengan tingkat kerapatan yang tinggi,
permeabilitas yang rendah terhadap oksigen, uap air dan air menyebabkan perombakan senyawa-
senyawa gula dan asam oleh mikroba pelaku fermentasi akan berlangsung dengan cepat (Lopez dan
Dimick, 2003 dalam Widianto, 2013) sehingga menyebabkan laju perubahan pH terjadi dengan cepat
Kadar Air (%)
Kadar air merupakan komponen penting dalam pangan karena dapat mempengaruhi kualitas
suatu bahan.Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air
dalam biji kakao akan menentukan mutu dan daya simpan biji kakao. Hubungan lama fermentasi dengan
kadar air biji kakao dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2.Purata Hasil Pengamatan Pengaruh Lama Fermentasi dengan Penggunaan Terpal Terhadap Kadar Air Biji
Kakao Kering
Lama Fermentasi Purata
(Hari) Kadar Air (%)
0 6,6
2 5,4
4 6,0
6 7,0
8 6,4
BNJ 0,05 1,1
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf-huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang nyata pada taraf nyata 5%.

Tabel 2. Memperlihatkan bahwa pada faktor lama fermentasi hari (F) dengan penggunaan terpal,
untuk semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air biji kakao
kering pada fermentasi hari ke-nol (0), dua (2), empat (4), enam (6), dan delapan (8).Hal ini diduga
adanya pengaruh penggunaan terpal sebagai wadah fermentasi mempengaruhi kestabilan persentase
kadar air dalam bahan. Karakteristik terpal sebagai lembar plastik High Density Polyethylene (HDPE) yang
memiliki ukuran kepadatan molekul dalam plastik (densitas) yang tinggi dan kerapatan yang tinggi,
sehingga mampu menekan laju udara dan uap air pada bahan. Lembar terpal memiliki permeabilitas
yang rendah sehingga dapat menekan laju keluar masuknya uap air. Hal ini sesuai dengan pendapat
Johansyah, Prihastanti dan Kusdyantini (2014), permeabilitas uap air yang rendah akan meningkatkan
kelembaban dalam kemasan dan menyebabkan penurunan suhu selama kemasan sehingga menekan
proses kehilangan air akibat transpirasi. Kemudian menurut Sedani (2014), semakin tinggi permeabilitas
suatu pengemas maka bahan tersebut akan semakin cepat pula untuk menyerap atau melepaskan uap
air. Selain itu menurut Muchtadi dan Sugiyo (2013), menyatakan kadar air pada permukaan bahan
dipengaruhi oleh kelembaban nisbi RH udara sekitarnya dan apabila kadar air rendah tetapi RH sekitrnya
tinggi maka kadar air bahan dapat meningkat dan begitu pula sebaliknya. Meskipun demikian, hasil
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase kadar air biji kakao yang dicapai melalui proses
fermentasi masih dapat diterima. Karena menurut SNI 2323-2008, bahwa standar kadar air pada biji
kakao tidak boleh melebihi 7,5%. Hal ini dikarenakan jika kadar air melebihi standar maka yang turun
bukan hanya hasil rendemen saja melainkan juga dapat beresiko terserang bakteri dan jamur, namun
apabila kadar air kurang dari 5%, maka kulit biji akan mudah pecah atau rapuh (Wahyudi dkk, 2008).

Anda mungkin juga menyukai