Anda di halaman 1dari 73

BAB II

PEMBAHASAN

1. KONSEP DASAR TEORI


1.1 Definisi
Child abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang
dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan
yang melindungi anak tersebut.
Child abuse dimana termasuk malnutrisi dan mentelantarkan anak sebagai stadium awal dari
indrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari
spectrum perlakuan salah oleh orang tuanya / pengasuh.
Child abuse adalah setiap tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak
optimal lagi.Child Abuse adalah tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak
optimal lagi
Child abuse yaitu trauma fisik atau mental, penganiayaan seksual, kelalaian pengobatan
terhadap anak di bawah usia 18 tahun oleh orang yang seharusnya memberikan kesejahteraan
baginya. (Hukum masyarakat Amerika Serikat mendefinisikan, 1974)

1.2 Etiologi
Perlakuan salah terhadap anak bersifat multidimensional, tetapi ada 3 faktor penting yang berperan
dalam terjadinya perlakuan salah pada anak, yaitu:
a. Karakteristik orangtua dan keluarga
Faktor-faktor yang banyak terjadi dalam keluarga dengan child abuse antara lain:
1. Para orangtua juga penderita perlakuan salah pada masa kanak-kanak.
2. Orangtua yang agresif dan impulsif.
3. Keluarga dengan hanya satu orangtua.
4. Orangtua yang dipaksa menikah saat belasan tahun sebelum siap secara emosional dan ekonomi.
5. Perkawinan yang saling mencederai pasangan dalam perselisihan.
6. Tidak mempunyai pekerjaan.
7. Jumlah anak yang banyak.
8. Adanya konflik dengan hukum.
9. Ketergantungan obat, alkohol, atau sakit jiwa.
10. Kondisi lingkungan yang terlalu padat.
11. Keluarga yang baru pindah ke suatu tempat yang baru dan tidak mendapat dukungan dari sanak
keluarga serta kawan-kawan.
b. Karakteristik anak yang mengalami perlakuan salah
Beberapa faktor anak yang berisiko tinggi untuk perlakuan salah adalah:
1. Anak yang tidak diinginkan.
2. Anak yang lahir prematur, terutama yang mengalami komplikasi neonatal, berakibat adanya
keterikatan bayi dan orangtua yang membutuhkan perawatan yang berkepanjangan.
3. Anak dengan retardasi mental, orangtua merasa malu.
4. Anak dengan malformasi, anak mungkin ditolak.
5. Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin terlihat nakal.
6. Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orangtua bekerja.
c. Beban dari lingkungan: Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban terhadap perawatan anak.
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa penyiksaan anak dilakukan oleh orang tua dari
banyak etnis, letak geografis, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan dan social ekonomi. Kelompok
masyarakat yang hidup dalam kemiskinan meningkatkan laporan penyiksaan fisik terhadap anak-
anak. Hal ini mungkin disebabkan karena:
1. Peningkatan krisis di tempat tinggal mereka (contoh: tidak bekerja atau hidup yang berdesakan).
2. Akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
3. Peningkatan jumlah kekerasan di tempat tinggal mereka.
4. Hubungan antara kemiskinan dengan faktor resiko seperti remaja dan orang tua tunggal (single
parent).
1.4 Klasifikasi
Perlakuan salah pada anak, menurut sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Penganiayaan fisik
Kekerasan ringan atau berat berupa trauma, atau penganiayaan yang dapat menimbulkan risiko
kematian.Yang termasuk dalam katagori ini meliputi memar, perdarahan internal, perdarahan
subkutan, fraktur, trauma kepala, luka tikam dan luka bakar, keracunan, serta penganiayaan fisik
bersifat ritual.
b. Penganiayaan seksual
Penganiayaan seksual dapat berupa inces (penganiayaan seksual oleh orang yang masih mempunyai
hubungan keluarga), hubungan orogenital, pornografi, prostitusi, ekploitas, dan penganiayaan seksual
yang bersifat ritual.
c. Penganiayaan psikologis
Yang termasuk dalam kategori ini meliputi trauma psikologik yang dapat menganggu kehidupan
sehari-hari seperti ketakutan, ansietas, depresi, isolasi, tidak adanya respons dan agresi yang kuat.
d. Pengetahuan
Pengabaian disengaja, tetapi dapat juga karena ketidaktahuan atupun akibat kesulitan ekonomi. Yang
termasuk dalam kategori ini meliputi:
1. Pengabaian nutrisi atau dengan sengaja kurang memberikan makanan, paling sering dilakukan pada
bayi yang berat badan rendah. Gagal tumbuh, yaitu suatu kegagalan dalam pemenuhan masukan
kalori serta kebutuhan emosi anak yang cukup.
2. Pengabaian medis bagi anak penderita suatu penyakit akut atau kronik sehingga mengakibatkan
memburuknya keadaan, bahkan kematian.
3. Pengabaian pendidikan anak setelah mencapai usia sekolah, dengan tidak menyekolahkannya.
4. Pengabaian emosional, dimana orangtua kurang perhatian terhadap anaknya.
5. Pengabagian keamanan anak. Anak kurang pengawasan sehingga menyebabkan anak mengalami
risiko tinggi terhadap fisik dan jiwanya.
e. Sindroma munchausen
Sindroma munchausen merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit yang dibuat dengan
pemberian keterangan medis palsu oleh orang tua, yang menyebabkan anak banyak mendapat
pemeriksaan/prosedur rumah sakit.
f. Penganiayaan emosional
Ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak.
Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain

.8 Pencegahan
a. Konvensi Magna Carta atau Bill of Rights for Childrenmencakup banyak ketentuan proteksi dan
hak-hak anak sebagai berikut:
1. Hak kelangsungan hidup dan berkembang
2. Hak yang menyangkut lama, kebangsaan, dan identitas.
3. Proteksi anal, dari ekspioitasi seluruh bentuk kekerasan fisik, mental, dan pengabaian
(maltreatment).
4. Hak untuk mendapatkan pendidikan.
5. Proteksi anak dari semua bentuk perlakuan salah akibat proses adopsi.
6. Proteksi dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
7. Hak untuk berpartisipasi.
b. Lembaga Anak Indonesia menetapkan pendekatan pada penganiayaan dan pengabaian anak atas
dasar:
1. Sasaran jangka pendek dan jangka panjang.
2. Tujuan dan target yang akan dicapai.
3. Keterlibatan dokter anak, ahli hukum, pendidik dan lain-lain.
4. Perluasan hukum dan pendidikan pada kesejahteraan anak.
5. Indikator yang dipakai dalam mengevaluasi.
6. Meningkatkan persiapan dan aktivitas yang dibutuhkan.
7. Tersedianya fasilitas untuk intervensi.
c. Peran tenaga kesehatan paling penting adalah dalam upaya pencegahan perlakuan salah pada
anak yaitu:
1. Mengidentifikasi orangtua risiko tinggi yang tidak mampu mencintai, merawat, memelihara, ataupun
membesarkan keturunannya dengan memadai.
2. Penganiayaan dan pengabaian berat dapat dicegah kalau keluarga tersebut mendapat sebuah bentuk
perawatan dan pemeliharaan yang mencakup kursus merawat antenatal, persalinan, rawat gabung,
kontak orangtua dengan bayi prematur, serta kunjungan dokter dan perawat kesehatan masyarakat
yang lebih sering dan petunjuk yang terus menerus dari masing-masing disiplin ilmu.
d. Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak merupakan tanggung
jawab semua pihak, meliputi :
1. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang ditujukan pada individu,
keluarga dan masyarakat.
2. Pendidik
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang sangat pribadi, yaitu penis,
vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut sifatnya
sangat pribadi dan harus dijaga tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu meningkatkan
keamanan anak di sekolah.Sikap atau cara mendidik anak juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi
aniaya emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda-tanda aniaya fisik dan pengabaian
perawatan pada anak.
3. Penegak Hukum dan Keamanan
Hendaknya Undang-Undang No. 4 tahun 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan secara
konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II
pasal 2 menyebutkan bahwa anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
4. Media Massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh artikel-artikel
pencegahan dan penanggulangannya.Dampak pada anak baik jangka pendek maupun panjang
diberitakan agar program pencegahan lebih ditekankan.

e. Penatalaksanaan TAMBAHAKAN FISIK SEKSUAL


Karena perlakuan salah pada anak ini merupakan akibat dari penyebab yang kompleks, maka
penanganan harus dilakukan oleh suatu tim dari multidisiplin ilmu yang terdiri dari dokter anak,
psikiater, psikolog, petugas sosial, ahli hukum, pendidik, dan lain-lain. Seorang anak yang dicurigai
mengalami penganiayaan atau pengabaian harus dirumahsakitkan, terlepas dari luas dan hebatnya
jejas yang dialaminya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi anak tersebut.

Diagnosa Keperawatan
2.2.1 Analisa data
Analisa data merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi, menyeleksi,
mengelompokkan, mengaitkan data, menentukan kesenjangan informasi, melihat pola
data,membandingakan dengan standar, menginterpretasi dan akhirnya membuat kesimpulan. Hasil
analisa data adalah pernyataan masalah keperawatan atau yang disebut diagnosa
keperawatan.Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti tentang masalah
pasien/klien serta penyebabnya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan.

No Dx Symptom Etiologi Problem

1. DS : Orangtua yang agresif dan Resiko trauma


- biasanya ibu apatis terhadap anak
impulsif.
DO:
- biasanya anak terlihat murung,
- biasanya anak tertutup
Gangguan pemberianasuhan
- jarang beradaptasi dan bersosialisasi,
dan lingkungan.
- kurang konsentrasi
- prestasi akademik menurun.
Gangguan karakteristik anak
- Keterbatasan mental
- Keterbatasan fisik
- Menarik diri
- Malu
2. DS: kekerasan fisik (kekerasan Resiko tinggi
- biasanya anak takut orang tua) cedera
DO:
- biasanya anak tampak memar Pembentukan organ yang
kurang sempurna
- terjadi fraktur
- Keterbatasan aktivitas
- Keterlambatan pada hubungan sosial,
Gangguan pendengaran , &
motorik, dan kognitif hiperekstensibilitas sendi

3. DS:- Anak yang tidak di inginkan Resiko


- Biasanya ibu mengeluh anaknya kurang
terhadap
Gangguan karakteristik pada
bergaul
anak kerusakan
- biasanya ibu juga mengeluh anaknya nakal
kedekatan
DO:
Perlakuan kekerasan orang tua /
- Adanya peningkatan dan distress pada anak
anak / bayi.
- Kurang pengetahuan tentang
- Bentuk tubuh yang abnormal
4. DS : - Situasi kritis Cemas
DO :
- klien tampak gelisah Family problem
- tampak ketakutan
- tidak mau bicar Kurang pengetahuan

2.4 Implementasi
Setelah rencana keperawatan ditetapkan maka langkah selanjutnya diterapkan dalam bentuk
tindakan nyata. Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan
klien. hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi yang
dilakukan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi., penguasaan keterampilan interpersonal,
intelektual dan teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada waktu dan situasi
yang tepat. Keamanan fisik dan psikologis harus dilindungi dan didokumentasikan dalam
dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan. (La Ode Jumadi Gaffar, 1995: 64)
Ada 3 fase dalam melaksanakan implementasi keperawatan, yaitu:
a. Fase persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi, rencana, pengetahuan dan keterampilan.
Mengimplementasikan rencana, persiapan dan lingkungan.
b. Fase operasional
Merupakan puncak implementasi dengan berorientasi pada tujuan. pada fase ini, implementasi dapat
dilakukan secara independen, dependent dan interdependent. Selanjutnya perawat akan melakukan
pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien terhadap fisik, psikologis, sosial dan
spritual.
c. Fase Terminasi
Merupakan terminasi perawat dengan klien setelah implementasi dilakukan.

2.5 Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan physical abuse antara
lain :
2.5.1 Anak mengenali perlunya atau mencari perlindungan untuk mencegah dan mengatasi physical
abuse.
2.5.2 Keluarga berpartisipasi sebagai fungsi modal peran sebagai orang tua yang positif dan efektif.
2.5.3 Keluarga mampu menjaga situasi yang dapat menimbulkan stress.
2.5.4 Keluarga dan anak mampu mengembangkan strategi pemecahan masalah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Child abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang
dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan
yang melindungi anak tersebut. (Delsboro, 1993)
Child abuse dimana termasuk malnutrisi dan mentelantarkan anak sebagai stadium awal dari
indrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari
spectrum perlakuan salah oleh orang tuanya / pengasuh. (Fontana, 1998)
Child Abuse adalah tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal
lagi (David Gill, 1998)
B. Etiologi
Perlakuan salah terhadap anak bersifat multidimensional, tetapi ada 3 faktor penting yang berperan
dalam terjadinya perlakuan salah pada anak, yaitu:
1. Karakteristik orangtua dan keluarga
Faktor-faktor yang banyak terjadi dalam keluarga dengan child abuse antara lain:
a. Para orangtua juga penderita perlakuan salah pada masa kanak-kanak.
b. Orangtua yang agresif dan impulsif.
c. Keluarga dengan hanya satu orangtua.
d. Orangtua yang dipaksa menikah saat belasan tahun sebelum siap secara emosional dan ekonomi.
e. Perkawinan yang saling mencederai pasangan dalam perselisihan.
f. Tidak mempunyai pekerjaan.
g. Jumlah anak yang banyak.
h. Adanya konflik dengan hukum.
i. Ketergantungan obat, alkohol, atau sakit jiwa.
j. Kondisi lingkungan yang terlalu padat.
k. Keluarga yang baru pindah ke suatu tempat yang baru dan tidak mendapat dukungan dari sanak
keluarga serta kawan-kawan.

2. Karakteristik anak yang mengalami perlakuan salah


Beberapa faktor anak yang berisiko tinggi untuk perlakuan salah adalah:
a. Anak yang tidak diinginkan.
b. Anak yang lahir prematur, terutama yang mengalami komplikasi neonatal, berakibat adanya
keterikatan bayi dan orangtua yang membutuhkan perawatan yang berkepanjangan.
c. Anak dengan retardasi mental, orangtua merasa malu.
d. Anak dengan malformasi, anak mungkin ditolak.
e. Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin terlihat nakal.
f. Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orangtua bekerja.

3. Beban dari lingkungan: Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban terhadap perawatan anak.
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa penyiksaan anak dilakukan oleh orang tua
dari banyak etnis, letak geografis, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan dan social ekonomi.
Kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan meningkatkan laporan penyiksaan fisik
terhadap anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan karena:
a. Peningkatan krisis di tempat tinggal mereka (contoh: tidak bekerja atau hidup yang berdesakan).
b. Akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
c. Peningkatan jumlah kekerasan di tempat tinggal mereka.
d. Hubungan antara kemiskinan dengan faktor resiko seperti remaja dan orang tua tunggal (single
parent).
(Hidayat,2008)

. Manifestasi Klinis
1. Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan retina akibat dari adanya
subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam lainnya.
2. Sekuel atau cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan
pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.
3. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak, pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami
perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
a. Kecerdasan
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa,
membaca, dan motorik.
Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena
gangguan emosi.
b. Emosi
1) Terdapat gangguan emosi
Perkembangan konsep diri yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif,
perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
2) Terjadi pseudomaturitas emosi
Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya
menjadi menarik diri atau menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
3) Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki,
muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh
diri.
4) Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman sebayanya.
Sering tindakan egresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif
kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
5) Hubungan sosial
Pada anak anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan
orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya
dengan melempari batu atau perbuatan perbuatan kriminal lainnya.
a) Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda tanda penganiayaan seksual antara lain:
Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus.
b) Tanda gangguan emosi
Misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat
kelamin dilakukan dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.
c) Sindrom munchausen
Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:
Gejala yang tidak biasa atau tidak spesifik
Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya
Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa
Tingkah laku orangtua yang berlebihan.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat keluarga dari penganiayaan anak yang lalu.
2. Kecelakaan yang berulang-ulang, dengan fraktur/memar/jaringan yang berbeda waktu sembuhnya.
3. Orang tua yang lambat mencari pertolongan medis.
4. Orang tua yang mengaku tidak mengetahui bagaimana jelas tersebut terjadi.
5. Riwayat kecelakaan dari orangtua berbeda atau berubah-ubah pada anamnesis.
6. Keterangan yang tidak sesuai dengan penyebab jejas yang tampak atau stadium perkembangan
anak.
7. Orang tua yang mengabaikan jejas utama yang hanya membicarakan masalah kecil yang terus-
menerus.
8. Orangtua berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain sampai satu saat akhir bercerita bahwa ada
sesuatu yang salah dengan anak mereka.
9. Penyakit anak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
10. Anak yang gagal tumbuh tanpa alasan yang jelas.
11. Anak wanita yang tiba-tiba berubah tingkah lakunya, menyendiri atau sangat takut dengan orang
asing, harus diwaspadai kemungkinan terjadinya penganiayaan seksual.
12. Pada anak yang lebih tua, mungkin dapat menceritakan jejasnya, tetapi kemudian mengubah
uraiannya karena rasa takut akan pembalasan atau untuk mencegah pembalasan orangtua.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan lingkungan.
2. Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang, ketidakberdayaan dan potensial
kehilangan orang tua.
3. Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi berhubungan dengan perlakuan
kekerasan
4. Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orang tua)
5. Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social
6. Resiko keterlamnbatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan
(Nanda, 2012)
C. Intervensi
1. Dx 1 : Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian
asuhan dan lingkungan.
Tujuan: setelah dialakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
trauma pada anak
NOC : Abuse Protection
Kriteria hasil :
a. Keselamatan tempat tinggal
b. Rencana dalam menghindari kekerasan/ perlakuan yang salah
c. Rencanakan tindakan untuk menghindari perlakuan yang salah
d. Keselamatan diri sendiri
e. Keselamatan anak
NIC: Enviromental Mangemen: safety

Intervensi
a. Identifikasi kebutuhan rasa aman pasien berdasarkan tingkat fisik, fungsi kognitif dan perilaku masa
lalu
b. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
c. Monitor lingkungan dalam perubahan status keamanan
d. Bantu pasien dalam menyiapkan lingkungan yang aman
e. Ajarkan resiko tinggi individu dan kelompok tentang bahaya lingkungan
f. kolaborasi dengan agen lain untuk mengmbangkan keamanan lingkungan
2. Dx 2 : Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang
ketidakberdayaan dan potensial kehilangan orang tua.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatandiharapkan rasa cemas anak
dapat berkurang / hilang
NOC : Kontrol cemas
Kriteria hasil :
a. Monitor intensitas kecemasan
b. Menyingkirkan tanda kecemasan
c. Menurunkan stimulasi lingkuangan ketika cemas
d. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
e. Menggunakan strategi koping efektif
NIC : Penurunan cemas

Intervensi
a. Tenangkan klien
b. Berusaha memahami keadaan klien
c. Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa takut
d. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menciptakan cemas
e. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri dengan cara yang tepat
f. kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan

3. Dx 3 : Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi


berhubungan dengan perlakuan kekerasan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan tidak terjadi kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi
NOC : Parenting
Kriteria hasil :
a. Menyediakan kebutuhan fisik anak
b. Merangsang perkembangan kognitif
c. Merangsang perkembangan emosi
d. Merangsang perkembangan spiritual
e. Menggunakan masyarakat dan sumber lain yang tepat
f. Gunakan interaksi yang tepat untuk perkembangan emosi anak
NIC : Anticipatory guidance

Intervensi
a. Kaji pasien untuk mengidentifikasi perkembangan dan krisis situasional selanjutnya dalam efek
dari krisis yang ada pada kehidupan individu dan keluarga.
b. Instruksikan perkembangan dan perilaku yang tepat
c. sediakan informasi yang realistic yang berhubungan dengan perilaku pasien
d. tentukan kebiasaan pasien dalam mengatasi masalah
e. Bantu pasien dalam memutuskan bagaimana dalam memutuskan masalah
f. Bantu pasien berpartisipasi dalam mengantisipasi perubahan peraturan

4. Dx 4 : Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orangtua)


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi cidera
NOC : Pengendalian resiko
Kriteria hasil:
a. Pantau factor resiko perilaku pribadi dan lingkungan
b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko
d. Menghindari cidera fisik
e. Orang tua akan mengenali resiko dan membantu kekerasan.
NIC : Manajemen lingkungan: keselamatan

Intervensi:
a. Monitor lingkungan untuk perubahan status
b. Identifikasi keselamatan yang dibutuhkan pasien, fungsi kognitif dan level fisik
c. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
d. Gunakan alat-alat pelindung untuk mobilitas fisik yang sakit
e. Catat agen-agen berwenang untuk melindungi lingkungan

5. Dx 5 : Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social


Tujuan : Pasien tidak merasa takut.
NOC : Kontrol ketakutan
Kriteria hasil:
a. Mencari informasi untuk menurunkan ketakutan
b. Menghindari sumber ketakutan bila mungkin
c. Mengendalikan respon ketakutan
d. Mempertahan penampilan peran dan hubungan social
NIC 1 : Pengurangan Ansietas

Intervensi:
a. Sering berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan perilaku yang dapat menurunkan /
mengurangi takut
b. Tetap bersama pasien selama dalam situasi baru
c. Gendong / ayun-ayun anak
d. Sering berikan penguatan verbal / non verbal yang dapat membantu menurunkan ketakutan pasien
NIC 2 : Peningkatan koping
Intervensi:
a. Gunakan pendekatan yang tenang, meyakinkan
b. Bantu pasien dalam membangun penilaian yang objektif terhadap suatu peristiwa
c. Tidak membuat keputusan pada saat pasien berada dalam stress berat
d. Dukung untuk menyatukan perasaan, persepsi dan ketakutan secara verbal
e. Kurangi stimulasi dalam lingkungan yang dapat disalah interprestasikan sebagai ancaman

6. Dx 6: Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan


Tujuan : Tidak terjadi keterlambatan perkembangan
NOC : Abusive behavior self-control

Kriteria hasil:
a. Hindari perilaku kekerasan fisik
b. Hindari perilaku kekerasan emosi
c. Hindari perilaku kekerasan seksual
d. Gunakan alternative mekanisme koping untuk mengurangi stress
e. Identifikasi factor yang dapat menyebabkan perilaku kekerasan
NIC : Family terapi

Intervensi:
a. Tentukan terapi dengan keluarga
b. Rencanakanstrategi terminasi dan evaluasi
c. Tentukan ketidakmampuan spesifik dalam harapan peran
d. Gunakan komunikasi dalam berhubungan dengan keluarga
e. Berikan penghargaan yang positif pada anggota keluarga

D. Evaluasi
Dx 1: Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan lingkungan.

a. Keselamatan tempat tinggal

b. Rencana dalam menghindari kekerasan/ perlakuan yang salah

c. Rencanakan tindakan untuk menghindari perlakuan yang salah

d. Keselamatan diri sendiri

e. Keselamatan anak
Dx 2 : Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang,

a. ketidakberdayaan dan potensial kehilangan orang tua.


b. Monitor intensitas kecemasan
c. Menyingkirkan tanda kecemasan
d. Menurunkan stimulasi lingkuangan ketika cemas
e. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
f. Menggunakan strategi koping efektif
Dx 3 : Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua/ anak/ bayi berhubungan dengan perlakuan kekerasan

a. Menyediakan kebutuhan fisik anak


b. Merangsang perkembangan kognitif
c. Merangsang perkembangan emosi
d. Merangsang perkembangan spiritual
e. Menggunakan masyarakat dan sumber lain yang tepat
f. Gunakan interaksi yang tepat untuk perkembangan emosi anak
Dx 4 : Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orang tua)

a. Pantau factor resiko perilaku pribadi dan lingkungan


b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko
d. Menghindari cidera fisik
e. Orang tua akan mengenali resiko dan membantu kekerasan.
Dx 5 : Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social

a. Mencari informasi untuk menurunkan ketakutan


b. Menghindari sumber ketakutan bila mungkin
c. Mengendalikan respon ketakutan
d. Mempertahan penampilan peran dan hubungan social
Dx 6 : Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan

a. Hindari perilaku kekerasan fisik


b. Hindari perilaku kekerasan emosi
c. Hindari perilaku kekerasan seksual
d. Gunakan alternative mekanisme koping untuk mengurangi stress
e. Identifikasi factor yang dapat menyebabkan perilaku kekerasan
BAB
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Pada awalnya terminologi tindak kekerasan atau child abuse berasal dari dunia kedokteran.
Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Ibnu Anshori, 2007) melaporkan kasus berupa
gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak
atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia
kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh dalam Anshori, 2007).
Kasus yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe
tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan melaporkan
bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-
anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami
kerusakan otak yang permanen. Henry (dalam Anshori, 2007) menyebut kasus penelentaran dan
penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan
yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh
lain.
Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang
dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga
gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi,
pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan
dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Anshori, 2007).
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya
menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau
kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda
atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal
tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk
di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun
mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti
terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam
rumah.
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah
orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat
pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak
dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan
tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah
ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan
agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga
berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk
menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi
ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa
berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak
Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan
merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk,
Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak.
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh
mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas
anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik
maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua
tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-
anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing
bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Hoesin (2006) melihat kekerasan terhadap anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak
anak. dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga mencegahnya dapat dilakukan
oleh para petugas penegak hukum. Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan
perlakuan yang salah orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala
perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak,
baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala
bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Child
abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk terhadap
anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang seharusnya memelihara, menjaga, dan
merawat mereka.
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat
anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional,
dan perkembangan anak secara umum.
Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi
Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak
dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.
B. KLASIFIKASI CHILD ABUSE
Macam macam Child Abuse :
Emotional Abuse,
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror, mengabaikan anak,
atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa
buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan
emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan. Indikator
perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul ).
Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang dapat
menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa luka memar, luka bakar atau cedera di kepala
atau lengan.
Indikator fisik luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut, cakaran.
Indikator perilaku waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti agresif
atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.
Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti tidak
memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau meninggalkan anak sendirian
atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.
Indikator fisikkelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya perhatian,
masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah
kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim
dingin ), ditinggalkan.
Sexual Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar pornografi anak-anak,
atau aktifitas sexual lainnya kepada anak. Indikator fisik , kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya
noda atau darah di baju dalam, nyeri atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital /
rektal, berpenyakit kelamin.
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak sesuai
dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau
berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif / berperilaku yang menggairahkan,
penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).

Sedangkan menurut para ahli yang lain, sebagai berikut :


Terry E. Lawson (dalam harian-pikiran.rakyat.com, 2006), psikiater internasional yang
merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu
emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu
terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak
untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan
emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya
akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai
berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, kamu bodoh, kamu cerewet,
dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung
dalam satu periode.
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika
anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu
berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak.
Eksploitasi seksual pada anak adalah ketergantungan, perkembangan seksual aktivitas yang tidak
matur pada anak dan orang dewasa, dimana mereka tidak sepenuhnya secara komprenhensif dan tidak
mampu untuk memberikan persetujuan karena bertentangan dengan hal yang tabu di keluarga.
Menurut Moore (dalam Nataliani, 2004), kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak pada
umumnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, antara lain kekerasan fisik, seksual dan
emosional.
Purbani (2003) mengatakan kekerasan dalam rumah tangga baik dilakukan oleh suami kepada
istrinya atau orang tua terhadap anaknya bisa berbentuk fisik atau nonfisik. Kekerasan nonfisik bisa
berbentuk verbal seperti pelecehan, penghinaan, mencuekin (mendiamkan) istri, atau bentuk lain
seperti tidak membiayai selama berbulan-bulan, sedangkan kekerasan fisik bisa berbentuk pemukulan,
penjambakan, dll.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap bahwa kekerasan pada anak merupakan perlakuan
yang salah. Hamid mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak
yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik,
psikologi sosial, maupun mental. Perlakuan salah menurut DR. Irwanto (dalam Hamid, 2003), dapat
digolongkan ke dalam berbagai kategori menurut dampak dari perlakuan, yaitu:
1. Perlakuan salah secara seksual;
2. Perlakuan salah secara fisik; dan
3. Perlakuan salah secara mental.
Bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam Undang-undang no. 23 tahun 2004
(www.kowani.or.id) mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dimana
ingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi suami, isteri dan anak, yaitu;
1. Kekerasan fisik; Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;
2. Kekerasan psikis adalah; Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
3. Kekerasan seksual adalah kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetapkan dalam lingkup hidup
rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu,
4. Penelantaran rumah tangga. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Menurut Sitohang (2004), bentuk-bentuk kekerasan pada anak meliputi;


1. Penganiayaan fisik, Non Accidental injury mulai dari ringan bruiser laserasi sampai pada trauma
neurologic yang berat dan kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau
pemberian racun;
2. Penelantaran anak/kelalaian, yaitu kegiatan atau behavior yang langsung dapat menyebabkan efek
merusak pada kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya;
3. Penganiayaan emosional yaitu ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak
mengakui sebagai anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain;
4. Penganiayaan seksual, mempergunakan pendekatan persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk
mengajak berperilaku/mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan kegiatan
seperti : aktivitas seksual (oral genital, genital, anal atau sodomi) termasuk incest.

C. ETIOLOGI
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse, yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki kelainan mental, atau
kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak memahami tumbuh kembang anak,
sehingga mereka memiliki harapan yang tidak sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua
terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan
dari rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi pada anak
yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak
dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan
berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk
beberapa lama, padahal pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu berpengaruh jika hal
tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan
pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh
yang lebih besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat
terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka
child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.

Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena wanita
merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak melakukan sex
abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih besar untuk melakukannya daripada
ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun
kekerasan psikis, diantaranya adalah:
Stress yang berasal dari anak.
a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak berbeda dengan anak
yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan
fisik dan berbeda dengan anak lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak mengalami masalah
pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung mengalami banyak kekerasan
bila dibandingkan dengan anak yang memiliki temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak
yang memiliki temperamen keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak
bertemperamen lemah.
d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya dan berbeda dengan
anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di dalam keluarga dan lingkungan
sekitarnya.
e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan orangtua menganggap
bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak
ada hubungan emosional yang kuat antara anak angkat dan orang tua.
Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang menyebabkan
terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup.
Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya
termasuk harus mengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga berpengaruh besar terhadap
terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam
membentuk kepribadian dan tingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan kehilangan kasih sayang dari
kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku kekerasan pada
anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan fisik,
lemah mental, dsb.
Stress berasal dari orang tua,
a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak selalu merasa
dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah pada masa kecil
akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai bentuk pelampiasan atas
kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat orangtua
mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua
cenderung menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan
kekerasan.
D. DAMPAK CHILD ABUSE
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan
fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta
mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian
sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang
luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti
perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku
menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak
yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse),
antara lain;
1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi
sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua
agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan
mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.
Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan
cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban
meninggal dunia;
2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya,
apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti
bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut
gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia
(1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas
yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina
persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol,
ataupun kecenderungan bunuh diri;
3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih
merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi
seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual
yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam
prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang
ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut,
perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau
adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah
kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak
kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal
mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada
masa yang akan datang.
5. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan
menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi
kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan
atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
Berdasarkan uraian diatas dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain;
a. Kerusakan fisik atau luka fisik;
b. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
c. Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan
alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
d. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut
menikah, merasa rendah diri, dll;
e. Pendidikan anak yang terabaikan
Anak yang mengalami kekerasan/ penganiayaan akan berakibat panjang. Mereka akan mengalami
gangguan belajar, retardasi mental, gangguan perkembangan temasuk perkembangan bahasa, bicara,
motorik halusnya. Dalam penelitian juga diperoleh bahwa IQ anak yang mengalami
kekerasan/penganiayaan akan rendah daripada yang tidak. Mereka juga mengalami gangguan dalam
konsep diri dan hubungan sosial. Teman-teman menganggap mereka sebagai anak yang suka
menyendiri atau pembuat onar. Hal ini akan berlanjut hingga dewasa, dalam memilih pasangan hidup.
E. MANIFESTASI KLINIS
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah
tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam
lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan
pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami
perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
- Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak mendaapat
perlakuan salah.
- Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
Kecerdasan
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa,
membaca, dan motorik.
Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau
karena gangguan emosi.
Emosi
Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau bermusuh dalam
mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan
untuk percaya diri.
Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang
dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol,
hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram,
dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman sebayanya. Sering
tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada
teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
Hubungan social
Pada anak2 ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa.
Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari
batu atau perbuatan2 kriminal lainnya.
Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
- Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus.
- Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau
perubahan tingkah laku.
- Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat
kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.
- Sindrom munchausen
Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:
Gejala yang tidak biasa/tidak spesifik
Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya
Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa
Tingkah laku orangtua yang berlebihan.

F. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENGANIAYAAN PADA ANAK


Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak
dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan kesehatan
tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child abuse.
Hal yang dapat dilakukan oleh perawat adalah dengan memberikan pendidikan kepada keluarga
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, serta cara menghadapi stress saat menjadi orang tua.
Browne mengemukakan, setidaknya skrening melibatkan 3 orang perawat yang akan datang pada 9
bulan pertama kehidupan. Pada kunjungan pertama dilakukan pengkajian atas adanya faktor yang
berhubungan dengan abuse dan neglect, Pada kunjungan selanjutnya perawat mengexplorasi persepsi
orang tua tentang tentang anak dan stressor si keluarga. Pada kunjungan ke tiga perawat melihat
kembali tentang kebiasaan bayi dan pengasuhannya. Mengamati pertumbuhan dan perkembangannya,
dan membantu orang tua untuk mengenali perkembangan yang sesuai dengan usia anak. Orang tua
yang beresiko menjadi abusive parents akan memiliki perkiraan yang tidak realistik tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya bayi berusia 6 bulan dianggap harus didisiplinkan
karena tidak dapat mengikuti toilet training. (Smith and Maurer, 1995)
Selain hal di atas, perawat juga hendaknya mengamati hubungan antara orang tua dengan anak.
Salah satu indikator kunci adalah kurangnya bonding antara ibu dan anak. . Bila bonding lemah, maka
perawat dapat meningkatkan pegasuhan dan kepercayaan diri orang tua sebagai pengasuh anak.
Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak adalah melalui:
1. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang ditujukan pada individu,
keluarga, dan masyarakat.
a. Prevensi primer-tujuan: promosi orangtua dan keluarga sejahtera.
Individu
- Pendidikan kehidupan keluarga di sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat
- Pendidikan pada anak tentang cara penyelesaian konflik
- Pendidikan seksual pada remaja yang beresiko
- Pendidikan perawatan bayi bagi remaja yang merawat bayi
- Pelayanan referensi perawatan jiwa
- Pelatihan bagi tenaga profesional untuk deteksi dini perilaku kekerasan.

Keluarga
- Kelas persiapan menjadi orangtua di RS, sekolah, institusi di masyarakat
- Memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orangtua baru
- Rujuk orangtua baru pada perawat Puskesmas untuk tindak lanjut (follow up)
- Pelayanan sosial untuk keluarga
Komunitas
- Pendidikan kesehatan tentang kekerasan dalam keluarga
- Mengurangi media yang berisi kekerasan
- Mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat, seperti: pelayanan krisis, tempat penampungan
anak/keluarga/usia lanjut/wanita yang dianiaya
- Kontrol pemegang senjata api dan tajam

b. Prevensi sekunder-tujuan: diagnosa dan tindakan bagi keluarga yang stress


Individu
- Pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian kekerasan pada keluarga pada tiap pelayanan kesehatan
- Rencana penyelamatan diri bagi korban secara adekuat
- Pengetahuan tentang hukuman untuk meminta bantuan dan perlindungan
- Tempat perawatan atau Foster home untuk korban
Keluarga
- Pelayanan masyarakat untuk individu dan keluarga
- Rujuk pada kelompok pendukung di masyarakat (self-help-group). Misalnya: kelompok pemerhati
keluarga sejahtera
- Rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang memberikan pelayanan pada korban.

Komunitas
- Semua profesi kesehatan terampil memberikan pelayanan pada korban dengan standar prosedur
dalam menolong korban
- Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi respon, melaporkan, pelayanan kasus,
koordinasi dengan penegak hukum/dinas sosial untuk pelayanan segera.
- Tim pemeriksa mayat akibat kecelakaan/cedera khususnya bayi dan anak.
- Peran serta pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah setempat.
- Pendekatan epidemiologi untuk evaluasi
- Kontrol pemegang senjata api dan tajam

c. Prevensi tertier-tujuan: redukasi dan rehabilitasi keluarga dengan kekerasan


Individu
- Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi korban
- Konseling profesional pada individu

Keluarga
- Reedukasi orangtua dalam pola asuh anak
- Konseling profesional bagi keluarga
- Self-help-group (kelompok peduli)

Komunitas
- Foster home, tempat perlindungan
- Peran serta pemerintah
- follow up pada kasus penganiayaan dan kekerasan
- Kontrol pemegang senjata api dan tajam

2. Pendidikan
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang sangat pribadi, yaitu
penis, vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut
sifatnya sangat pribadi dan harud dijaga agar tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu
meningkatkan keamanan anak di sekolah. Sikap atau cara mendidik anak juga perlu diperhatikan agar
tidak terjadi aniaya emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda2 aniaya fisik dan
pengabaian perawatan pada anak.

3. Penegak hukum dan keamanan


Hendaknya UU no.4 thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan secara konsekuen.
Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II pasal 2
menyebutkan bahwa anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

4. Media massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh artikel2
pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada anak baik jangka pendek maupun jangka panjang
diberitakan agar program pencegahan lebih ditekankan.

G. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CHILD ABUSE


A. Pengkajian
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda adanya kekerasan
pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse
terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh gambarannya, bicaralah dahulu dengan
orang tua tanpa disertai anak, kemudian menginterview anak.
Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau saudaranya untuk
beberapa waktu.
Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah psikiatrik.
Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan tinggi (seperti
prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif,
dan gangguan kurang perhatian)
Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis kelamin anak yang
dilahirkan.
Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
Kaji respon psikologis pada trauma
Kaji keadekuatan dan adanya support system
Situasi Keluarga.

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa keperawatan berkaitan


dengan child abuse, antara lain:
a. Psikososial
- Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau
- Gagal tumbuh dengan baik
- Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan psikososial
- With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa

b. Muskuloskeletal
- Fraktur
- Dislokasi
- Keseleo (sprain)

c. Genito Urinaria
- Infeksi saluran kemih
- Perdarahan per vagina
- Luka pada vagina/penis
- Nyeri waktu miksi
- Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.

d. Integumen
- Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
- Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
- Adanya tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
- Bengkak.

EVALUASI DIAGNOSTIK
Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
a. Penganiayaan fisik. Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:
- Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
- Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam air panas,
atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat aliran listrik seperti oven atau
setrika.
- Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan fraktur tulang
panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.
- Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada penganiayaan
anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2 tahun.
b. Pengabaian
- Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan kegagalan
mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi respons baik terhadap
pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
- Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita penyakit
kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik. Tidak mampu imunisasi dan
perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga mencakup kelalaian
merawat kesehatan gigi dan mulut anak sehingga mengalami kerusakan gigi.

c. Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
- Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
- Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.
- Pubertas prematur pada wanita
- Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya, binatang, atau objek
tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan umur anak serta tingkah laku yang
menggairahkan.
- Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada orang dewasa, mimpi
buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri, depresi, gangguan stres post-traumatik, prostitusi,
gangguan makan, dsb.

2. Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada penganiayaan seksual, dilakukan
pemeriksaan:
- Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah penganiayaan seksual.
- Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk genokokus
- Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B
- Analisa rambut pubis
3. Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada anak, yaitu untuk:
o Identifiaksi fokus dari jejas
o Dokumentasi

Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya dilakukan untuk meneliti tulang,
sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan
dalam pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan
adanya penyaniayaan fisik.
- CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya diindikasikan pada
pengniayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma kepala yang berat.
- MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan kronik seperti
perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
- Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
- Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan seksual.

B. Diagnosa Keperawatan
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan Harga diri rendah, baik pada orang tua atau anak.
Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping keluarga inefektif.

C. Intervensi Keperawatan
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan
Tujuan umum : klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
.Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
Klien dapat menggunakan obat yang benar.

Tindakan keperawatan :
1. Bina hubungan saling percaya.
Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan
lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk
intervensi selanjutnya.
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan
masalah yang konstruktif.
3. Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong
pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4. Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang
konstruktif pula.
5. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi.
6. Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
10. Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11. Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
12. Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
13. Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
14. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau pekerjaan yang
memerlukan tenaga.
Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan
manajemen perilaku kekerasan.
Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar diberi kesabaran.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
15. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
16. Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17. Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
19. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga
terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
21. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku klien.
22. Jelaskan cara-cara merawat klien.
Terkait dengan cara mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif.
Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.
Bantu keluarga mengenal penyebab marah.
Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.
23. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
Rasional : mengetahui sejauh mana keluarga menggunakan cara yang dianjurkan.
24. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.
Rasional : mengetahui respon keluarga dalam merawat klien.
25. Jelaskan pada klien dan keluarga jenis-jenis obat yang diminum klien seperti : CPZ, haloperidol,
Artame.
Rasional : menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.
26. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter.
Rasional : memberikan informasi pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.

Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah


Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain :
Tujuan khusus :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Tindakan keperawatan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai dasar
untuk intervensi selanjutnya.
2. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3. Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
4. Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7. Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8. Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang dimiliki.
9. Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10. Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11. Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon koping
mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13. Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
14. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.

Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Psikoterapeutik.
Bina hubungan saling percaya
Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat dan waktu interaksi dan tujuan.
Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien, untuk menunjukkan penghargaan yang
tulus.
Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien tidak akan diberitahukan kepada
orang lain yang tidak berkepentingan.
Selalu memperhatikan kebutuhan klien.

Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka


Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai istilah yang sederhana
Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas dan teratur.
Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan perawat.
Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaanya

Kenal dan dukung kelebihan klien


Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa digunakan klien, cara menceritakan
perasaanya kepada orang lain yang terdekat/dipercaya.
Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif
Dukung koping klien yang konstruktif
Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.

Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal


Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal terapi.
Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin.
Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.
Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara bertahap, dimulai dari klien dengan
perawat, kemudian dengan dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan seterusnya.
Libatkan klien dalam aktivitas kelompok.

Pendidikan kesehatan
Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan kata-kata seperti dengan
menulis, menangis, menggambar, berolah-raga, bermain musik, cara berhubungan dengan orang lain :
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.
Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan hubungan dengan klien.
Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam aktivitas dilingkungan masyarakat.

Kegiatan hidup sehari-hari


Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat melaksanakannya sendiri.
Bimbing klien berpakaian yang rapi
Batasi kesempatan untuk tidur
Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat kabar, radio dan televisi.
Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.

Terapi Somatik
Beri obat sesuai dengan prinsip lima benar (benar klien, obat,dosis, waktu dan cara)
Pantau reaksi obat
Catat pemberian obat antipsikotik yang telah dilaksanakan.
Pastikan apakah obat yang telah diminum, periksa tempat-tempat yang memungkinkan klien
menyimpan obat.

Lingkungan Terapeutik
Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun orang lain dari ruangan.
Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam jangka waktu yang lama.
Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di ruangan.

Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping keluarga inefektif.


Tujuan umum : Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal.
Tujuan khusus : Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan menyelesaikannya dengan
tindakan yang tepat.
intervensi
1. Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .
Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima perasaannya sehingga
mempermudah pemberian asuhan kepada anak dengan benar.
2. Beri reinforcement positif atas tindakan keluarga yang adaptif.
Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara baik dan benar tanpa
menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan yang buruk.
3. Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya terhadap anak.
Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya dapat dilaksanakan keluarga
terhadap anak.
4. Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua sebagai status pendukung dalam
proses tumbuh kembang anak.
Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk meningkatkan peran sertanya dalam
pengasuhan dan proses tumbuh kembang anaknya.
5. Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.
Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga ( orang tua ),tentang
pentingnya peran orang tua dalam tumbuh kembang anak,memiliki pengetahuan tentang metode
pengasuhan yang baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima anaknya dalam keadaan apapun.
BAB II
PEMBAHASAN

1. KONSEP DASAR TEORI


1.1 Definisi
Child abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang
dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan
yang melindungi anak tersebut.
Child abuse dimana termasuk malnutrisi dan mentelantarkan anak sebagai stadium awal dari
indrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari
spectrum perlakuan salah oleh orang tuanya / pengasuh.
Child abuse adalah setiap tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak
optimal lagi.Child Abuse adalah tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak
optimal lagi
Child abuse yaitu trauma fisik atau mental, penganiayaan seksual, kelalaian pengobatan
terhadap anak di bawah usia 18 tahun oleh orang yang seharusnya memberikan kesejahteraan
baginya. (Hukum masyarakat Amerika Serikat mendefinisikan, 1974)

1.2 Etiologi
Perlakuan salah terhadap anak bersifat multidimensional, tetapi ada 3 faktor penting yang berperan
dalam terjadinya perlakuan salah pada anak, yaitu:
a. Karakteristik orangtua dan keluarga
Faktor-faktor yang banyak terjadi dalam keluarga dengan child abuse antara lain:
1. Para orangtua juga penderita perlakuan salah pada masa kanak-kanak.
2. Orangtua yang agresif dan impulsif.
3. Keluarga dengan hanya satu orangtua.
4. Orangtua yang dipaksa menikah saat belasan tahun sebelum siap secara emosional dan ekonomi.
5. Perkawinan yang saling mencederai pasangan dalam perselisihan.
6. Tidak mempunyai pekerjaan.
7. Jumlah anak yang banyak.
8. Adanya konflik dengan hukum.
9. Ketergantungan obat, alkohol, atau sakit jiwa.
10. Kondisi lingkungan yang terlalu padat.
11. Keluarga yang baru pindah ke suatu tempat yang baru dan tidak mendapat dukungan dari sanak
keluarga serta kawan-kawan.
b. Karakteristik anak yang mengalami perlakuan salah
Beberapa faktor anak yang berisiko tinggi untuk perlakuan salah adalah:
1. Anak yang tidak diinginkan.
2. Anak yang lahir prematur, terutama yang mengalami komplikasi neonatal, berakibat adanya
keterikatan bayi dan orangtua yang membutuhkan perawatan yang berkepanjangan.
3. Anak dengan retardasi mental, orangtua merasa malu.
4. Anak dengan malformasi, anak mungkin ditolak.
5. Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin terlihat nakal.
6. Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orangtua bekerja.
c. Beban dari lingkungan: Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban terhadap perawatan anak.
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa penyiksaan anak dilakukan oleh orang tua dari
banyak etnis, letak geografis, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan dan social ekonomi. Kelompok
masyarakat yang hidup dalam kemiskinan meningkatkan laporan penyiksaan fisik terhadap anak-
anak. Hal ini mungkin disebabkan karena:
1. Peningkatan krisis di tempat tinggal mereka (contoh: tidak bekerja atau hidup yang berdesakan).
2. Akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
3. Peningkatan jumlah kekerasan di tempat tinggal mereka.
4. Hubungan antara kemiskinan dengan faktor resiko seperti remaja dan orang tua tunggal (single
parent).
1.4 Klasifikasi
Perlakuan salah pada anak, menurut sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Penganiayaan fisik
Kekerasan ringan atau berat berupa trauma, atau penganiayaan yang dapat menimbulkan risiko
kematian.Yang termasuk dalam katagori ini meliputi memar, perdarahan internal, perdarahan
subkutan, fraktur, trauma kepala, luka tikam dan luka bakar, keracunan, serta penganiayaan fisik
bersifat ritual.
b. Penganiayaan seksual
Penganiayaan seksual dapat berupa inces (penganiayaan seksual oleh orang yang masih mempunyai
hubungan keluarga), hubungan orogenital, pornografi, prostitusi, ekploitas, dan penganiayaan seksual
yang bersifat ritual.
c. Penganiayaan psikologis
Yang termasuk dalam kategori ini meliputi trauma psikologik yang dapat menganggu kehidupan
sehari-hari seperti ketakutan, ansietas, depresi, isolasi, tidak adanya respons dan agresi yang kuat.
d. Pengetahuan
Pengabaian disengaja, tetapi dapat juga karena ketidaktahuan atupun akibat kesulitan ekonomi. Yang
termasuk dalam kategori ini meliputi:
1. Pengabaian nutrisi atau dengan sengaja kurang memberikan makanan, paling sering dilakukan pada
bayi yang berat badan rendah. Gagal tumbuh, yaitu suatu kegagalan dalam pemenuhan masukan
kalori serta kebutuhan emosi anak yang cukup.
2. Pengabaian medis bagi anak penderita suatu penyakit akut atau kronik sehingga mengakibatkan
memburuknya keadaan, bahkan kematian.
3. Pengabaian pendidikan anak setelah mencapai usia sekolah, dengan tidak menyekolahkannya.
4. Pengabaian emosional, dimana orangtua kurang perhatian terhadap anaknya.
5. Pengabagian keamanan anak. Anak kurang pengawasan sehingga menyebabkan anak mengalami
risiko tinggi terhadap fisik dan jiwanya.
e. Sindroma munchausen
Sindroma munchausen merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit yang dibuat dengan
pemberian keterangan medis palsu oleh orang tua, yang menyebabkan anak banyak mendapat
pemeriksaan/prosedur rumah sakit.
f. Penganiayaan emosional
Ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak.
Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain

1.5 Manifestasi Klinis


Anak- anak yang menjadi korban child abuse rata-rata perkembangan psikologis mengalami
gangguan.Mereka terlihat murung, tertutup, jarang beradaptasi dan bersosialisasi, kurang konsentrasi,
dan prestasi akademik menurun.Studi lain menemukan bahwa anak-anak usia di bawah 25 bulan yang
menjadi korban child abuse, skor perkembangan kognitifnya lemah. Hal ini ditandai oleh empat
perbedaan perilaku dan perkembangan anak, yakni perbuatan kognitif, penyesuaian fungsi-fungsi di
sekolah, perilaku di ruang kelas.Dan perilaku di rumah.
Anak yang berulang kali mengalami jelas pada susunan saraf pusatnya dapat mengalami
keterlambatan dan keterbelakangan mental, kejang-kejang hidrosefalus, atau ataksia. Selanjutnya,
keluarga-keluarga yang tidak mendapat pengobatan serta perawatan yang memadai cenderung akan
menghasilkan anak remaja yang nakal dan menjadi penganiaya anak sendiri pada generasi berikutnya.
Anak yang telah mengalami penganiayaan seksual dapat menyebabkan perubahan tingkah
laku dan emosi anak, antara lain depresi, percobaan bunuh diri. Gangguan stress post traumatik, dan
penggunaan makan. Seorang anak laki-laki korban penganiayaan seksual di kemudian hari.
Wanita yang secara fisik mengalami kekerasan pada waktu anak-anak akan dua kali lebih
tinggi rentan atas penyakit atau gejala kegagalan untuk makan. Sebuah dampak yang membuat para
wanita itu ketika beranjak dewasa mengalami masalah dengan mengkonsumsi makanan.Namun
dampak yang paling besar dialami adalah akibat perlakuan keras dan pelecehan seksual saat mereka
masih gadis.Kekerasan saat kecil memang sudah lama menjadi satu faktor penyebab timbulnya gejala
atau penyakit sulit makan seperti anorexia dan bulimia.
1.8 Pencegahan
a. Konvensi Magna Carta atau Bill of Rights for Childrenmencakup banyak ketentuan proteksi dan
hak-hak anak sebagai berikut:
1. Hak kelangsungan hidup dan berkembang
2. Hak yang menyangkut lama, kebangsaan, dan identitas.
3. Proteksi anal, dari ekspioitasi seluruh bentuk kekerasan fisik, mental, dan pengabaian
(maltreatment).
4. Hak untuk mendapatkan pendidikan.
5. Proteksi anak dari semua bentuk perlakuan salah akibat proses adopsi.
6. Proteksi dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
7. Hak untuk berpartisipasi.
b. Lembaga Anak Indonesia menetapkan pendekatan pada penganiayaan dan pengabaian anak atas
dasar:
1. Sasaran jangka pendek dan jangka panjang.
2. Tujuan dan target yang akan dicapai.
3. Keterlibatan dokter anak, ahli hukum, pendidik dan lain-lain.
4. Perluasan hukum dan pendidikan pada kesejahteraan anak.
5. Indikator yang dipakai dalam mengevaluasi.
6. Meningkatkan persiapan dan aktivitas yang dibutuhkan.
7. Tersedianya fasilitas untuk intervensi.
c. Peran tenaga kesehatan paling penting adalah dalam upaya pencegahan perlakuan salah pada
anak yaitu:
1. Mengidentifikasi orangtua risiko tinggi yang tidak mampu mencintai, merawat, memelihara, ataupun
membesarkan keturunannya dengan memadai.
2. Penganiayaan dan pengabaian berat dapat dicegah kalau keluarga tersebut mendapat sebuah bentuk
perawatan dan pemeliharaan yang mencakup kursus merawat antenatal, persalinan, rawat gabung,
kontak orangtua dengan bayi prematur, serta kunjungan dokter dan perawat kesehatan masyarakat
yang lebih sering dan petunjuk yang terus menerus dari masing-masing disiplin ilmu.
d. Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak merupakan tanggung
jawab semua pihak, meliputi :
1. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang ditujukan pada individu,
keluarga dan masyarakat.
2. Pendidik
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang sangat pribadi, yaitu penis,
vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut sifatnya
sangat pribadi dan harus dijaga tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu meningkatkan
keamanan anak di sekolah.Sikap atau cara mendidik anak juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi
aniaya emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda-tanda aniaya fisik dan pengabaian
perawatan pada anak.
3. Penegak Hukum dan Keamanan
Hendaknya Undang-Undang No. 4 tahun 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan secara
konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II
pasal 2 menyebutkan bahwa anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
4. Media Massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh artikel-artikel
pencegahan dan penanggulangannya.Dampak pada anak baik jangka pendek maupun panjang
diberitakan agar program pencegahan lebih ditekankan.

e. Penatalaksanaan TAMBAHAKAN FISIK SEKSUAL


Karena perlakuan salah pada anak ini merupakan akibat dari penyebab yang kompleks, maka
penanganan harus dilakukan oleh suatu tim dari multidisiplin ilmu yang terdiri dari dokter anak,
psikiater, psikolog, petugas sosial, ahli hukum, pendidik, dan lain-lain. Seorang anak yang dicurigai
mengalami penganiayaan atau pengabaian harus dirumahsakitkan, terlepas dari luas dan hebatnya
jejas yang dialaminya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi anak tersebut.

2.4 Implementasi
Setelah rencana keperawatan ditetapkan maka langkah selanjutnya diterapkan dalam bentuk
tindakan nyata. Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan
klien. hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan implementasi adalah intervensi yang
dilakukan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi., penguasaan keterampilan interpersonal,
intelektual dan teknikal. Intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada waktu dan situasi
yang tepat. Keamanan fisik dan psikologis harus dilindungi dan didokumentasikan dalam
dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan. (La Ode Jumadi Gaffar, 1995: 64)
Ada 3 fase dalam melaksanakan implementasi keperawatan, yaitu:
a. Fase persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi, rencana, pengetahuan dan keterampilan.
Mengimplementasikan rencana, persiapan dan lingkungan.
b. Fase operasional
Merupakan puncak implementasi dengan berorientasi pada tujuan. pada fase ini, implementasi dapat
dilakukan secara independen, dependent dan interdependent. Selanjutnya perawat akan melakukan
pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien terhadap fisik, psikologis, sosial dan
spritual.
c. Fase Terminasi
Merupakan terminasi perawat dengan klien setelah implementasi dilakukan.

2.5 Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan physical abuse antara
lain :
2.5.1 Anak mengenali perlunya atau mencari perlindungan untuk mencegah dan mengatasi physical
abuse.
2.5.2 Keluarga berpartisipasi sebagai fungsi modal peran sebagai orang tua yang positif dan efektif.
2.5.3 Keluarga mampu menjaga situasi yang dapat menimbulkan stress.
2.5.4 Keluarga dan anak mampu mengembangkan strategi pemecahan masalah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Child abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang
dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan
yang melindungi anak tersebut. (Delsboro, 1993)
Child abuse dimana termasuk malnutrisi dan mentelantarkan anak sebagai stadium awal dari
indrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari
spectrum perlakuan salah oleh orang tuanya / pengasuh. (Fontana, 1998)
Child Abuse adalah tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal
lagi (David Gill, 1998)
Child Abuse adalah perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan
dan kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual (Synder, 2000)
Child abuse adalah sebagai suatu kelalaian tindakan / perbuatan oleh orang tua atau yang
merawat anak yang mengakibatkan terganggu kesehatan fisik emosional serta perkembangan anak.
(Patricia, 2005)
B. Etiologi
Perlakuan salah terhadap anak bersifat multidimensional, tetapi ada 3 faktor penting yang berperan
dalam terjadinya perlakuan salah pada anak, yaitu:
1. Karakteristik orangtua dan keluarga
Faktor-faktor yang banyak terjadi dalam keluarga dengan child abuse antara lain:
a. Para orangtua juga penderita perlakuan salah pada masa kanak-kanak.
b. Orangtua yang agresif dan impulsif.
c. Keluarga dengan hanya satu orangtua.
d. Orangtua yang dipaksa menikah saat belasan tahun sebelum siap secara emosional dan ekonomi.
e. Perkawinan yang saling mencederai pasangan dalam perselisihan.
f. Tidak mempunyai pekerjaan.
g. Jumlah anak yang banyak.
h. Adanya konflik dengan hukum.
i. Ketergantungan obat, alkohol, atau sakit jiwa.
j. Kondisi lingkungan yang terlalu padat.
k. Keluarga yang baru pindah ke suatu tempat yang baru dan tidak mendapat dukungan dari sanak
keluarga serta kawan-kawan.

2. Karakteristik anak yang mengalami perlakuan salah


Beberapa faktor anak yang berisiko tinggi untuk perlakuan salah adalah:
a. Anak yang tidak diinginkan.
b. Anak yang lahir prematur, terutama yang mengalami komplikasi neonatal, berakibat adanya
keterikatan bayi dan orangtua yang membutuhkan perawatan yang berkepanjangan.
c. Anak dengan retardasi mental, orangtua merasa malu.
d. Anak dengan malformasi, anak mungkin ditolak.
e. Anak dengan kelainan tingkah laku seperti hiperaktif mungkin terlihat nakal.
f. Anak normal, tetapi diasuh oleh pengasuh karena orangtua bekerja.

3. Beban dari lingkungan: Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban terhadap perawatan anak.
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa penyiksaan anak dilakukan oleh orang tua
dari banyak etnis, letak geografis, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan dan social ekonomi.
Kelompok masyarakat yang hidup dalam kemiskinan meningkatkan laporan penyiksaan fisik
terhadap anak-anak. Hal ini mungkin disebabkan karena:
a. Peningkatan krisis di tempat tinggal mereka (contoh: tidak bekerja atau hidup yang berdesakan).
b. Akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
c. Peningkatan jumlah kekerasan di tempat tinggal mereka.
d. Hubungan antara kemiskinan dengan faktor resiko seperti remaja dan orang tua tunggal (single
parent).
(Hidayat,2008)

C. Patofisiologi
Lebih dari 2,5 juta kasus child abuse anak dan pengabaian (neglect) dilaporkan dalam kurun
waktu beberapa tahun terakhir. 35% diantaranya melibatkan penganiayaan fisik, 15% melibatkan
penganiayaan seksual, dan 50% melibatkan neglect. Berdasarkan dari hasil studi satu dari 20 anak
anak secara umum mengalami penganiayaan fisik physical abuse setiap tahun. Penganiayaan fisik
melibatkan melukai/ merusak badan anak dengan membakar, memukul dan mematahkan tulang anak.
Adanya suatu memar menunjukkan ada jaringan tubuh yang rusak dan pembuluh darah sudah
memerah. Penerapan metode disiplin dari orang tua ke anak dengan cara kekerasan seperti menjewer,
menampar, dan mencubit hingga meninggalkan luka atau tanda memar adalah cara yang tidak tepat
(American Academy of Pediatrics, 2007).
D. Manifestasi Klinis
1. Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan retina akibat dari adanya
subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam lainnya.
2. Sekuel atau cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan
pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.
3. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak, pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami
perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
a. Kecerdasan
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa,
membaca, dan motorik.
Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena
gangguan emosi.
b. Emosi
1) Terdapat gangguan emosi
Perkembangan konsep diri yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif,
perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
2) Terjadi pseudomaturitas emosi
Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya
menjadi menarik diri atau menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
3) Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki,
muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh
diri.
4) Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman sebayanya.
Sering tindakan egresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif
kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
5) Hubungan sosial
Pada anak anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan
orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya
dengan melempari batu atau perbuatan perbuatan kriminal lainnya.
a) Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda tanda penganiayaan seksual antara lain:
Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus.
b) Tanda gangguan emosi
Misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat
kelamin dilakukan dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.
c) Sindrom munchausen
Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:
Gejala yang tidak biasa atau tidak spesifik
Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya
Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa
Tingkah laku orangtua yang berlebihan.

E. Komplikasi
1. Mengalami keterlambatan dan keterbelakangan mental
2. Kejang-kejang
3. Hidrocepalus
4. Ataksia
5. Kenakalan remaja
6. Depresi dan percobaan bunuh diri
7. Gangguan Stress post traumatic
8. Gangguan makan
(Soegeng,2002)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakukan skrining perdarahan pada penganiayaan seksual,
dilakukan pemeriksaan.
a. Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa, dalam 72 jam setelah penganiayaan seksual.
b. Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk gonokokus.
c. Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B.
d. Analisa rambut pubis.

2. Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada anak, yaitu
untuk:
a. Identifikasi fokus dari bekas
b. Dokumentasi
Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia dua tahun sebaiknya dilakukan untuk meneliti
tulang, sedangkan pada anak di atas 4-5 tahun hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang,
keterbatasan dalam pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multipel dengan tingkat
penyembuhan yang berbeda, merupakan suatu kemungkinan adanya penganiayaan fisik.
Ultrasonografi (USG) digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi viseral. CTscan lebih sensitif dan
spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya diindikasikan pada penganiayaan anak atau
seorang bayi yang mengalami trauma kepala yang berat.

3. Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang
teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.
a. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
1) Penganiayaan fisik
Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:
Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam air panas, atau
luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat aliran listrik seperti oven atau setrika.
Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan fraktur tulang
panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.
Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada penganiayaan anak.
Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2 tahun.
Pengabaian
Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan kegagalan
mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi respons baik terhadap
pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita
penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik. Tidak mampu
imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga mencakup
kelalaian merawat kesehatan gigi dan mulut anak sehingga mengalami kerusakan gigi.

BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Riwayat keluarga dari penganiayaan anak yang lalu.
2. Kecelakaan yang berulang-ulang, dengan fraktur/memar/jaringan yang berbeda waktu sembuhnya.
3. Orang tua yang lambat mencari pertolongan medis.
4. Orang tua yang mengaku tidak mengetahui bagaimana jelas tersebut terjadi.
5. Riwayat kecelakaan dari orangtua berbeda atau berubah-ubah pada anamnesis.
6. Keterangan yang tidak sesuai dengan penyebab jejas yang tampak atau stadium perkembangan
anak.
7. Orang tua yang mengabaikan jejas utama yang hanya membicarakan masalah kecil yang terus-
menerus.
8. Orangtua berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain sampai satu saat akhir bercerita bahwa ada
sesuatu yang salah dengan anak mereka.
9. Penyakit anak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
10. Anak yang gagal tumbuh tanpa alasan yang jelas.
11. Anak wanita yang tiba-tiba berubah tingkah lakunya, menyendiri atau sangat takut dengan orang
asing, harus diwaspadai kemungkinan terjadinya penganiayaan seksual.
12. Pada anak yang lebih tua, mungkin dapat menceritakan jejasnya, tetapi kemudian mengubah
uraiannya karena rasa takut akan pembalasan atau untuk mencegah pembalasan orangtua.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan lingkungan.
2. Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang, ketidakberdayaan dan potensial
kehilangan orang tua.
3. Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi berhubungan dengan perlakuan
kekerasan
4. Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orang tua)
5. Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social
6. Resiko keterlamnbatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan
(Nanda, 2012)

C. Intervensi
1. Dx 1 : Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian
asuhan dan lingkungan.
Tujuan: setelah dialakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
trauma pada anak
NOC : Abuse Protection
Kriteria hasil :
a. Keselamatan tempat tinggal
b. Rencana dalam menghindari kekerasan/ perlakuan yang salah
c. Rencanakan tindakan untuk menghindari perlakuan yang salah
d. Keselamatan diri sendiri
e. Keselamatan anak
NIC: Enviromental Mangemen: safety

Intervensi
a. Identifikasi kebutuhan rasa aman pasien berdasarkan tingkat fisik, fungsi kognitif dan perilaku masa
lalu
b. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
c. Monitor lingkungan dalam perubahan status keamanan
d. Bantu pasien dalam menyiapkan lingkungan yang aman
e. Ajarkan resiko tinggi individu dan kelompok tentang bahaya lingkungan
f. kolaborasi dengan agen lain untuk mengmbangkan keamanan lingkungan

2. Dx 2 : Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang


ketidakberdayaan dan potensial kehilangan orang tua.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatandiharapkan rasa cemas anak
dapat berkurang / hilang
NOC : Kontrol cemas

Kriteria hasil :
a. Monitor intensitas kecemasan
b. Menyingkirkan tanda kecemasan
c. Menurunkan stimulasi lingkuangan ketika cemas
d. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
e. Menggunakan strategi koping efektif
NIC : Penurunan cemas

Intervensi
a. Tenangkan klien
b. Berusaha memahami keadaan klien
c. Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa takut
d. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menciptakan cemas
e. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri dengan cara yang tepat
f. kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan

3. Dx 3 : Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi


berhubungan dengan perlakuan kekerasan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan tidak terjadi kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi
NOC : Parenting
Kriteria hasil :
a. Menyediakan kebutuhan fisik anak
b. Merangsang perkembangan kognitif
c. Merangsang perkembangan emosi
d. Merangsang perkembangan spiritual
e. Menggunakan masyarakat dan sumber lain yang tepat
f. Gunakan interaksi yang tepat untuk perkembangan emosi anak
NIC : Anticipatory guidance

Intervensi
a. Kaji pasien untuk mengidentifikasi perkembangan dan krisis situasional selanjutnya dalam efek
dari krisis yang ada pada kehidupan individu dan keluarga.
b. Instruksikan perkembangan dan perilaku yang tepat
c. sediakan informasi yang realistic yang berhubungan dengan perilaku pasien
d. tentukan kebiasaan pasien dalam mengatasi masalah
e. Bantu pasien dalam memutuskan bagaimana dalam memutuskan masalah
f. Bantu pasien berpartisipasi dalam mengantisipasi perubahan peraturan

4. Dx 4 : Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orangtua)


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi cidera
NOC : Pengendalian resiko
Kriteria hasil:
a. Pantau factor resiko perilaku pribadi dan lingkungan
b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko
d. Menghindari cidera fisik
e. Orang tua akan mengenali resiko dan membantu kekerasan.
NIC : Manajemen lingkungan: keselamatan

Intervensi:
a. Monitor lingkungan untuk perubahan status
b. Identifikasi keselamatan yang dibutuhkan pasien, fungsi kognitif dan level fisik
c. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
d. Gunakan alat-alat pelindung untuk mobilitas fisik yang sakit
e. Catat agen-agen berwenang untuk melindungi lingkungan
5. Dx 5 : Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social
Tujuan : Pasien tidak merasa takut.

NOC : Kontrol ketakutan


Kriteria hasil:
a. Mencari informasi untuk menurunkan ketakutan
b. Menghindari sumber ketakutan bila mungkin
c. Mengendalikan respon ketakutan
d. Mempertahan penampilan peran dan hubungan social
NIC 1 : Pengurangan Ansietas

Intervensi:
a. Sering berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan perilaku yang dapat menurunkan /
mengurangi takut
b. Tetap bersama pasien selama dalam situasi baru
c. Gendong / ayun-ayun anak
d. Sering berikan penguatan verbal / non verbal yang dapat membantu menurunkan ketakutan pasien
NIC 2 : Peningkatan koping
Intervensi:
a. Gunakan pendekatan yang tenang, meyakinkan
b. Bantu pasien dalam membangun penilaian yang objektif terhadap suatu peristiwa
c. Tidak membuat keputusan pada saat pasien berada dalam stress berat
d. Dukung untuk menyatukan perasaan, persepsi dan ketakutan secara verbal
e. Kurangi stimulasi dalam lingkungan yang dapat disalah interprestasikan sebagai ancaman

6. Dx 6: Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan


Tujuan : Tidak terjadi keterlambatan perkembangan
NOC : Abusive behavior self-control

Kriteria hasil:
a. Hindari perilaku kekerasan fisik
b. Hindari perilaku kekerasan emosi
c. Hindari perilaku kekerasan seksual
d. Gunakan alternative mekanisme koping untuk mengurangi stress
e. Identifikasi factor yang dapat menyebabkan perilaku kekerasan
NIC : Family terapi

Intervensi:
a. Tentukan terapi dengan keluarga
b. Rencanakanstrategi terminasi dan evaluasi
c. Tentukan ketidakmampuan spesifik dalam harapan peran
d. Gunakan komunikasi dalam berhubungan dengan keluarga
e. Berikan penghargaan yang positif pada anggota keluarga

D. Evaluasi
Dx 1: Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan lingkungan.

a. Keselamatan tempat tinggal

b. Rencana dalam menghindari kekerasan/ perlakuan yang salah

c. Rencanakan tindakan untuk menghindari perlakuan yang salah

d. Keselamatan diri sendiri

e. Keselamatan anak

Dx 2 : Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang,

a. ketidakberdayaan dan potensial kehilangan orang tua.


b. Monitor intensitas kecemasan
c. Menyingkirkan tanda kecemasan
d. Menurunkan stimulasi lingkuangan ketika cemas
e. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
f. Menggunakan strategi koping efektif
Dx 3 : Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua/ anak/ bayi berhubungan dengan perlakuan kekerasan

a. Menyediakan kebutuhan fisik anak


b. Merangsang perkembangan kognitif
c. Merangsang perkembangan emosi
d. Merangsang perkembangan spiritual
e. Menggunakan masyarakat dan sumber lain yang tepat
f. Gunakan interaksi yang tepat untuk perkembangan emosi anak
Dx 4 : Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orang tua)

a. Pantau factor resiko perilaku pribadi dan lingkungan


b. Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko
c. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko
d. Menghindari cidera fisik
e. Orang tua akan mengenali resiko dan membantu kekerasan.
Dx 5 : Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social

a. Mencari informasi untuk menurunkan ketakutan


b. Menghindari sumber ketakutan bila mungkin
c. Mengendalikan respon ketakutan
d. Mempertahan penampilan peran dan hubungan social
Dx 6 : Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan

a. Hindari perilaku kekerasan fisik


b. Hindari perilaku kekerasan emosi
c. Hindari perilaku kekerasan seksual
d. Gunakan alternative mekanisme koping untuk mengurangi stress
e. Identifikasi factor yang dapat menyebabkan perilaku kekerasan

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Child abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, dimana
termasuk malnutrisi dan mentelantarkan anak sebagai stadium awal dari indrom perlakuan salah, dan
penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spectrum perlakuan salah oleh
orang tuanya/ pengasuh.
Child Abuse adalah tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak sehingga tidak optimal
lagi.

Diagnosa Keperawatan
1. Resiko trauma berhubungan dengan karakteristik anak, pemberian asuhan dan lingkungan.
2. Cemas berhubungan dengan perlakuan salah yang berulang-ulang, ketidakberdayaan dan potensial
kehilangan orang tua.
3. Resiko terhadap kerusakan kedekatan orang tua / anak / bayi berhubungan dengan perlakuan
kekerasan
4. Risiko cidera berhubungan dengan kekerasan fisik (kekerasan orang tua)
5. Ketakutan berhubungan dengan kondisi fisik / social
6. Resiko keterlamnbatan perkembangan berhubungan dengan perilaku kekerasan
BAB
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Pada awalnya terminologi tindak kekerasan atau child abuse berasal dari dunia kedokteran.
Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Ibnu Anshori, 2007) melaporkan kasus berupa
gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak
atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia
kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh dalam Anshori, 2007).
Kasus yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe
tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan melaporkan
bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-
anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami
kerusakan otak yang permanen. Henry (dalam Anshori, 2007) menyebut kasus penelentaran dan
penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan
yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh
lain.
Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang
dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga
gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi,
pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan
dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Anshori, 2007).
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya
menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau
kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda
atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal
tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk
di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun
mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti
terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam
rumah.
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah
orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat
pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak
dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan
tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah
ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.
bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan
agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga
berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk
menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi
ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa
berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak
Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan
merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk,
Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak.
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh
mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas
anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik
maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan
segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua
tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-
anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing
bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Hoesin (2006) melihat kekerasan terhadap anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak
anak. dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga mencegahnya dapat dilakukan
oleh para petugas penegak hukum. Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan
perlakuan yang salah orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala
perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak,
baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala
bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Child
abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk terhadap
anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang seharusnya memelihara, menjaga, dan
merawat mereka.
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat
anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional,
dan perkembangan anak secara umum.
Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi
Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak
dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.

B. KLASIFIKASI CHILD ABUSE


Macam macam Child Abuse :
Emotional Abuse,
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror, mengabaikan anak,
atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa
buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan
emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan. Indikator
perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul ).
Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang dapat
menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa luka memar, luka bakar atau cedera di kepala
atau lengan.
Indikator fisik luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut, cakaran.
Indikator perilaku waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti agresif
atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.
Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti tidak
memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau meninggalkan anak sendirian
atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.
Indikator fisikkelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya perhatian,
masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah
kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim
dingin ), ditinggalkan.
Sexual Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar pornografi anak-anak,
atau aktifitas sexual lainnya kepada anak. Indikator fisik , kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya
noda atau darah di baju dalam, nyeri atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital /
rektal, berpenyakit kelamin.
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak sesuai
dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau
berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif / berperilaku yang menggairahkan,
penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).

Sedangkan menurut para ahli yang lain, sebagai berikut :


Terry E. Lawson (dalam harian-pikiran.rakyat.com, 2006), psikiater internasional yang
merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu
emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu
terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak
untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan
emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya
akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai
berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, kamu bodoh, kamu cerewet,
dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung
dalam satu periode.
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika
anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu
berlangsung dalam periode tertentu.
Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak.
Eksploitasi seksual pada anak adalah ketergantungan, perkembangan seksual aktivitas yang tidak
matur pada anak dan orang dewasa, dimana mereka tidak sepenuhnya secara komprenhensif dan tidak
mampu untuk memberikan persetujuan karena bertentangan dengan hal yang tabu di keluarga.
Menurut Moore (dalam Nataliani, 2004), kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak pada
umumnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, antara lain kekerasan fisik, seksual dan
emosional.
Purbani (2003) mengatakan kekerasan dalam rumah tangga baik dilakukan oleh suami kepada
istrinya atau orang tua terhadap anaknya bisa berbentuk fisik atau nonfisik. Kekerasan nonfisik bisa
berbentuk verbal seperti pelecehan, penghinaan, mencuekin (mendiamkan) istri, atau bentuk lain
seperti tidak membiayai selama berbulan-bulan, sedangkan kekerasan fisik bisa berbentuk pemukulan,
penjambakan, dll.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap bahwa kekerasan pada anak merupakan perlakuan
yang salah. Hamid mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak
yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik,
psikologi sosial, maupun mental. Perlakuan salah menurut DR. Irwanto (dalam Hamid, 2003), dapat
digolongkan ke dalam berbagai kategori menurut dampak dari perlakuan, yaitu:
1. Perlakuan salah secara seksual;
2. Perlakuan salah secara fisik; dan
3. Perlakuan salah secara mental.

Bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam Undang-undang no. 23 tahun 2004


(www.kowani.or.id) mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dimana
ingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi suami, isteri dan anak, yaitu;
1. Kekerasan fisik; Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;
2. Kekerasan psikis adalah; Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
3. Kekerasan seksual adalah kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetapkan dalam lingkup hidup
rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu,
4. Penelantaran rumah tangga. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Menurut Sitohang (2004), bentuk-bentuk kekerasan pada anak meliputi;


1. Penganiayaan fisik, Non Accidental injury mulai dari ringan bruiser laserasi sampai pada trauma
neurologic yang berat dan kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau
pemberian racun;
2. Penelantaran anak/kelalaian, yaitu kegiatan atau behavior yang langsung dapat menyebabkan efek
merusak pada kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya;
3. Penganiayaan emosional yaitu ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak
mengakui sebagai anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain;
4. Penganiayaan seksual, mempergunakan pendekatan persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk
mengajak berperilaku/mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan kegiatan
seperti : aktivitas seksual (oral genital, genital, anal atau sodomi) termasuk incest.

C. ETIOLOGI
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse, yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki kelainan mental, atau
kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak memahami tumbuh kembang anak,
sehingga mereka memiliki harapan yang tidak sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua
terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan
dari rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi pada anak
yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak
dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan
berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk
beberapa lama, padahal pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu berpengaruh jika hal
tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan
pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh
yang lebih besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat
terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka
child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.

Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena wanita
merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak melakukan sex
abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih besar untuk melakukannya daripada
ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun
kekerasan psikis, diantaranya adalah:
Stress yang berasal dari anak.
a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak berbeda dengan anak
yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan
fisik dan berbeda dengan anak lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak mengalami masalah
pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung mengalami banyak kekerasan
bila dibandingkan dengan anak yang memiliki temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak
yang memiliki temperamen keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak
bertemperamen lemah.
d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya dan berbeda dengan
anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di dalam keluarga dan lingkungan
sekitarnya.
e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan orangtua menganggap
bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak
ada hubungan emosional yang kuat antara anak angkat dan orang tua.

Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang menyebabkan
terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup.
Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya
termasuk harus mengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga berpengaruh besar terhadap
terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam
membentuk kepribadian dan tingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan kehilangan kasih sayang dari
kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku kekerasan pada
anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan fisik,
lemah mental, dsb.

Stress berasal dari orang tua,


a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak selalu merasa
dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah pada masa kecil
akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai bentuk pelampiasan atas
kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat orangtua
mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua
cenderung menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan
kekerasan.

D. DAMPAK CHILD ABUSE


Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan
fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta
mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian
sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang
luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti
perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku
menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak
yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse),
antara lain;
1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi
sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua
agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan
mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.
Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan
cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban
meninggal dunia;
2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya,
apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti
bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut
gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia
(1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas
yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina
persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol,
ataupun kecenderungan bunuh diri;
3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih
merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi
seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual
yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam
prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang
ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut,
perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau
adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah
kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak
kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal
mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada
masa yang akan datang.
5. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan
menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi
kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan
atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

Berdasarkan uraian diatas dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain;
a. Kerusakan fisik atau luka fisik;
b. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
c. Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan
alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
d. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut
menikah, merasa rendah diri, dll;
e. Pendidikan anak yang terabaikan
Anak yang mengalami kekerasan/ penganiayaan akan berakibat panjang. Mereka akan mengalami
gangguan belajar, retardasi mental, gangguan perkembangan temasuk perkembangan bahasa, bicara,
motorik halusnya. Dalam penelitian juga diperoleh bahwa IQ anak yang mengalami
kekerasan/penganiayaan akan rendah daripada yang tidak. Mereka juga mengalami gangguan dalam
konsep diri dan hubungan sosial. Teman-teman menganggap mereka sebagai anak yang suka
menyendiri atau pembuat onar. Hal ini akan berlanjut hingga dewasa, dalam memilih pasangan hidup.

E. MANIFESTASI KLINIS
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah
tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam
lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan
pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami
perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
- Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak mendaapat
perlakuan salah.
- Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
Kecerdasan
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa,
membaca, dan motorik.
Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau
karena gangguan emosi.

Emosi
Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau bermusuh dalam
mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan
untuk percaya diri.
Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang
dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol,
hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram,
dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman sebayanya. Sering
tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada
teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
Hubungan social
Pada anak2 ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa.
Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari
batu atau perbuatan2 kriminal lainnya.
Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
- Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus.
- Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau
perubahan tingkah laku.
- Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat
kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.
- Sindrom munchausen
Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:
Gejala yang tidak biasa/tidak spesifik
Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya
Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa
Tingkah laku orangtua yang berlebihan.

F. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENGANIAYAAN PADA ANAK


Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak
dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan kesehatan
tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child abuse.
Hal yang dapat dilakukan oleh perawat adalah dengan memberikan pendidikan kepada keluarga
tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, serta cara menghadapi stress saat menjadi orang tua.
Browne mengemukakan, setidaknya skrening melibatkan 3 orang perawat yang akan datang pada 9
bulan pertama kehidupan. Pada kunjungan pertama dilakukan pengkajian atas adanya faktor yang
berhubungan dengan abuse dan neglect, Pada kunjungan selanjutnya perawat mengexplorasi persepsi
orang tua tentang tentang anak dan stressor si keluarga. Pada kunjungan ke tiga perawat melihat
kembali tentang kebiasaan bayi dan pengasuhannya. Mengamati pertumbuhan dan perkembangannya,
dan membantu orang tua untuk mengenali perkembangan yang sesuai dengan usia anak. Orang tua
yang beresiko menjadi abusive parents akan memiliki perkiraan yang tidak realistik tentang
pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya bayi berusia 6 bulan dianggap harus didisiplinkan
karena tidak dapat mengikuti toilet training. (Smith and Maurer, 1995)
Selain hal di atas, perawat juga hendaknya mengamati hubungan antara orang tua dengan anak.
Salah satu indikator kunci adalah kurangnya bonding antara ibu dan anak. . Bila bonding lemah, maka
perawat dapat meningkatkan pegasuhan dan kepercayaan diri orang tua sebagai pengasuh anak.
Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak adalah melalui:

1. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang ditujukan pada individu,
keluarga, dan masyarakat.
a. Prevensi primer-tujuan: promosi orangtua dan keluarga sejahtera.
Individu
- Pendidikan kehidupan keluarga di sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat
- Pendidikan pada anak tentang cara penyelesaian konflik
- Pendidikan seksual pada remaja yang beresiko
- Pendidikan perawatan bayi bagi remaja yang merawat bayi
- Pelayanan referensi perawatan jiwa
- Pelatihan bagi tenaga profesional untuk deteksi dini perilaku kekerasan.

Keluarga
- Kelas persiapan menjadi orangtua di RS, sekolah, institusi di masyarakat
- Memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orangtua baru
- Rujuk orangtua baru pada perawat Puskesmas untuk tindak lanjut (follow up)
- Pelayanan sosial untuk keluarga
Komunitas
- Pendidikan kesehatan tentang kekerasan dalam keluarga
- Mengurangi media yang berisi kekerasan
- Mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat, seperti: pelayanan krisis, tempat penampungan
anak/keluarga/usia lanjut/wanita yang dianiaya
- Kontrol pemegang senjata api dan tajam

b. Prevensi sekunder-tujuan: diagnosa dan tindakan bagi keluarga yang stress


Individu
- Pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian kekerasan pada keluarga pada tiap pelayanan kesehatan
- Rencana penyelamatan diri bagi korban secara adekuat
- Pengetahuan tentang hukuman untuk meminta bantuan dan perlindungan
- Tempat perawatan atau Foster home untuk korban

Keluarga
- Pelayanan masyarakat untuk individu dan keluarga
- Rujuk pada kelompok pendukung di masyarakat (self-help-group). Misalnya: kelompok pemerhati
keluarga sejahtera
- Rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang memberikan pelayanan pada korban.

Komunitas
- Semua profesi kesehatan terampil memberikan pelayanan pada korban dengan standar prosedur
dalam menolong korban
- Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi respon, melaporkan, pelayanan kasus,
koordinasi dengan penegak hukum/dinas sosial untuk pelayanan segera.
- Tim pemeriksa mayat akibat kecelakaan/cedera khususnya bayi dan anak.
- Peran serta pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah setempat.
- Pendekatan epidemiologi untuk evaluasi
- Kontrol pemegang senjata api dan tajam

c. Prevensi tertier-tujuan: redukasi dan rehabilitasi keluarga dengan kekerasan


Individu
- Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi korban
- Konseling profesional pada individu

Keluarga
- Reedukasi orangtua dalam pola asuh anak
- Konseling profesional bagi keluarga
- Self-help-group (kelompok peduli)

Komunitas
- Foster home, tempat perlindungan
- Peran serta pemerintah
- follow up pada kasus penganiayaan dan kekerasan
- Kontrol pemegang senjata api dan tajam

2. Pendidikan
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang sangat pribadi, yaitu
penis, vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut
sifatnya sangat pribadi dan harud dijaga agar tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu
meningkatkan keamanan anak di sekolah. Sikap atau cara mendidik anak juga perlu diperhatikan agar
tidak terjadi aniaya emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda2 aniaya fisik dan
pengabaian perawatan pada anak.

3. Penegak hukum dan keamanan


Hendaknya UU no.4 thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan secara konsekuen.
Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II pasal 2
menyebutkan bahwa anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

4. Media massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh artikel2
pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada anak baik jangka pendek maupun jangka panjang
diberitakan agar program pencegahan lebih ditekankan.

G. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CHILD ABUSE


A. Pengkajian
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda adanya kekerasan
pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse
terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh gambarannya, bicaralah dahulu dengan
orang tua tanpa disertai anak, kemudian menginterview anak.
Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau saudaranya untuk
beberapa waktu.
Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah psikiatrik.
Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan tinggi (seperti
prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif,
dan gangguan kurang perhatian)
Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis kelamin anak yang
dilahirkan.
Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
Kaji respon psikologis pada trauma
Kaji keadekuatan dan adanya support system
Situasi Keluarga.

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa keperawatan berkaitan


dengan child abuse, antara lain:
a. Psikososial
- Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau
- Gagal tumbuh dengan baik
- Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan psikososial
- With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa

b. Muskuloskeletal
- Fraktur
- Dislokasi
- Keseleo (sprain)

c. Genito Urinaria
- Infeksi saluran kemih
- Perdarahan per vagina
- Luka pada vagina/penis
- Nyeri waktu miksi
- Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.

d. Integumen
- Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
- Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
- Adanya tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
- Bengkak.
EVALUASI DIAGNOSTIK
Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
a. Penganiayaan fisik. Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:
- Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
- Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam air panas,
atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat aliran listrik seperti oven atau
setrika.
- Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan fraktur tulang
panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.
- Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada penganiayaan
anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2 tahun.
b. Pengabaian
- Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan kegagalan
mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi respons baik terhadap
pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
- Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita penyakit
kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik. Tidak mampu imunisasi dan
perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga mencakup kelalaian
merawat kesehatan gigi dan mulut anak sehingga mengalami kerusakan gigi.

c. Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
- Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
- Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.
- Pubertas prematur pada wanita
- Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya, binatang, atau objek
tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan umur anak serta tingkah laku yang
menggairahkan.
- Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada orang dewasa, mimpi
buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri, depresi, gangguan stres post-traumatik, prostitusi,
gangguan makan, dsb.

2. Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada penganiayaan seksual, dilakukan
pemeriksaan:
- Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah penganiayaan seksual.
- Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk genokokus
- Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B
- Analisa rambut pubis
3. Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada anak, yaitu untuk:
o Identifiaksi fokus dari jejas
o Dokumentasi

Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya dilakukan untuk meneliti tulang,
sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan
dalam pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan
adanya penyaniayaan fisik.
- CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya diindikasikan pada
pengniayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma kepala yang berat.
- MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan kronik seperti
perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
- Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
- Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan seksual.

B. Diagnosa Keperawatan
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan Harga diri rendah, baik pada orang tua atau anak.
Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping keluarga inefektif.

C. Intervensi Keperawatan
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan
Tujuan umum : klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan.
Tujuan khusus :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan.
Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
.Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan.
Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
Klien dapat menggunakan obat yang benar.

Tindakan keperawatan :
1. Bina hubungan saling percaya.
Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan
lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk
intervensi selanjutnya.
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan
masalah yang konstruktif.
3. Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong
pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4. Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang
konstruktif pula.
5. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi.
6. Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya.
10. Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11. Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
12. Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
13. Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien.
14. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau pekerjaan yang
memerlukan tenaga.
Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan
manajemen perilaku kekerasan.
Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar diberi kesabaran.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
15. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
16. Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
17. Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
18. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
19. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
20. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga
terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
21. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku klien.
22. Jelaskan cara-cara merawat klien.
Terkait dengan cara mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif.
Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.
Bantu keluarga mengenal penyebab marah.
Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama.
23. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
Rasional : mengetahui sejauh mana keluarga menggunakan cara yang dianjurkan.
24. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.
Rasional : mengetahui respon keluarga dalam merawat klien.
25. Jelaskan pada klien dan keluarga jenis-jenis obat yang diminum klien seperti : CPZ, haloperidol,
Artame.
Rasional : menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya.
26. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter.
Rasional : memberikan informasi pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain :
Tujuan khusus :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki.
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.
Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Tindakan keperawatan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai dasar
untuk intervensi selanjutnya.
2. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien.
3. Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif.
Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya.
4. Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
5. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan.
6. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit.
Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan.
7. Berikan pujian.
Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.
8. Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.
Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang dimiliki.
9. Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh.
Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan.
10. Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik.
11. Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.
Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur.
12. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon koping
mal adaptif dengan yang lebih adaptif.
13. Beri pujian atas keberhasilan klien.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
14. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.

Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Psikoterapeutik.
Bina hubungan saling percaya
Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat dan waktu interaksi dan tujuan.
Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien, untuk menunjukkan penghargaan yang
tulus.
Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien tidak akan diberitahukan kepada
orang lain yang tidak berkepentingan.
Selalu memperhatikan kebutuhan klien.

Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka


Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai istilah yang sederhana
Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas dan teratur.
Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan perawat.
Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaanya

Kenal dan dukung kelebihan klien


Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa digunakan klien, cara menceritakan
perasaanya kepada orang lain yang terdekat/dipercaya.
Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif
Dukung koping klien yang konstruktif
Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.

Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal


Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal terapi.
Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin.
Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.
Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara bertahap, dimulai dari klien dengan
perawat, kemudian dengan dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan seterusnya.
Libatkan klien dalam aktivitas kelompok.

Pendidikan kesehatan
Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan kata-kata seperti dengan
menulis, menangis, menggambar, berolah-raga, bermain musik, cara berhubungan dengan orang lain :
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.
Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan hubungan dengan klien.
Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam aktivitas dilingkungan masyarakat.

Kegiatan hidup sehari-hari


Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat melaksanakannya sendiri.
Bimbing klien berpakaian yang rapi
Batasi kesempatan untuk tidur
Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat kabar, radio dan televisi.
Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.

Terapi Somatik
Beri obat sesuai dengan prinsip lima benar (benar klien, obat,dosis, waktu dan cara)
Pantau reaksi obat
Catat pemberian obat antipsikotik yang telah dilaksanakan.
Pastikan apakah obat yang telah diminum, periksa tempat-tempat yang memungkinkan klien
menyimpan obat.

Lingkungan Terapeutik
Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun orang lain dari ruangan.
Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam jangka waktu yang lama.
Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di ruangan.

Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping keluarga inefektif.


Tujuan umum : Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal.
Tujuan khusus : Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan menyelesaikannya dengan
tindakan yang tepat.
intervensi
1. Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif .
Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima perasaannya sehingga
mempermudah pemberian asuhan kepada anak dengan benar.
2. Beri reinforcement positif atas tindakan keluarga yang adaptif.
Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara baik dan benar tanpa
menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan yang buruk.
3. Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya terhadap anak.
Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya dapat dilaksanakan keluarga
terhadap anak.
4. Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua sebagai status pendukung dalam
proses tumbuh kembang anak.
Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk meningkatkan peran sertanya dalam
pengasuhan dan proses tumbuh kembang anaknya.
5. Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua.
Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga ( orang tua ),tentang
pentingnya peran orang tua dalam tumbuh kembang anak,memiliki pengetahuan tentang metode
pengasuhan yang baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima anaknya dalam keadaan apapun.

Anda mungkin juga menyukai