Anda di halaman 1dari 55

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sehat menurut WHO merupakan suatu keadaan baik fisik maupun

mental, tidak hanya terbebas dari penyakit dan kelemahan, kecacatan serta

sehat sosial konomi (Effendi 1998, p.156). Untuk mencapai derajat kesehatan

yang optimal sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, maka salah satu

aspek yang tidak boleh diabaikan adalah kesehatan jiwa, dimana dalam

Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 disebutkan bahwa kesehatan

jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara optimal baik

dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan dan

lingkungan masyarakat yang didukung oleh sarana pelayanan kesehatan jiwa

(Majalah Bina Diknakes 1994, p.20)

Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri

penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa, dan kecelakaan. Gangguan jiwa

tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara

langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan

serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat

pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari 2006).

Kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi

merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa

adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi masalah

1
2

kehidupan, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, serta mempunyai

sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. (Hawari 2006,p.2).

Di Amerika penyakit ini menimpa kurang lebih 1% dari jumlah

penduduk. Lebih dari 2 juta orang Amerika menderita skizofrenia pada waktu

tertentu, dan 100,000-200,000 tahun baru diagnosedevery peopleare. Separuh

dari pasien gangguan jiwa yang di rawat di RS Jiwa adalah pasien dengan

skizofrenia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010, 237,6 juta. Dengan

asumsi angka 1 % tersebut di atas maka jumlah penderita di Indonesia pada

tahun 2012 ini sekitar 2.377.600 orang (Januarti 2008,p.1).

Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa

berat sebesar 2,5 Juta jiwa, yang diambil dari data RSJ se-Indonesia.

Sementara itu 10% dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa maka

harus mendapatkan perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa. Di Jawa

Tengah sendiri terdapat 3 orang perseribu penduduk yang mengalami

gangguan jiwa dan 50% adalah akibat dari kehilangan pekerjaan. Dengan

demikian dari 32.952.040 penduduk Jawa Tengah terdapat sekitar 98.856

orang yang mengalami gangguan jiwa.

Di Sumatera Barat tahun 2012 didapatkan jumlah kunjungan pasien

gangguan jiwa di sarana pelayanan kesehatan yang ada di provinsi Sumatera

Barat yaitu sebanyak 48.873 orang.

Di Kota Solok jumlah kunjungan pasien gangguan jiwa ke Puskesmas

yang ada di Kota Solok pada tahun 2013 dapat dilihat dalam tabel di bawah

ini:
3

Tabel 1.1
Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Jiwa Berdasarkan Puskesmas
Kota Solok Tahun 2013

No Puskesmas Jumlah %
1 Tanah Garam 154 20
2 KTK 245 32
3 Nan Balimo 76 10
4 TanjungPaku 287 38
Jumlah 608 100

Dari tabel di atas terlihat bahwa pasien gangguan jiwa terbanyak yang

ada di Kota Solok adalah Puskesmas Tanjung Paku yaitu sebanyak 287 orang

(38%) dari total jumlah pasien jiwa.

Berdasarkan data Puskesmas Tanjung Paku distribusi pasien gangguan

jiwa per kelurahan di wilayah kerja Puskesmas dapat dilihat pada tabel di

bawah ini:

Tabel 1.2
Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Jiwa Berdasarkan Kelurahan
di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok
Tahun 2013

No Kelurahan Jumlah
1 Tanjung Paku 102
2 Pasar Pandan Air Mati 95
3 Koto Panjang 17
4 Kampung Jawa 73
Jumlah 287

Dari tabel di atas terlihat bahwa pasien gangguan jiwa yang terbanyak

adalah di kelurahan Tanjung Paku yaitu sebanyak 102 orang. Dengan jumlah

kunjungan baru sebanyak 57 orang dan kunjungan lama sebanyak 78 orang, 5

orang diantaranya DO minum obat.

Proses penyembuhan pada pasien gangguan jiwa harus dilakukan

secara holistik dan melibatkan anggota keluarga. Tanpa itu, sama halnya

dengan penyakit umum, penyakit jiwapun bisa kambuh. Keluarga sangat


4

penting untuk ikut berpartisipasi dalarn proses penyembuhan karena keluarga

merupakan pendukung utama dalam merawat pasien dalam memberikan

asuhan keperawatan pasien dengan gangguan jiwa. Oleh karena itu, asuhan

keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan

pasien tapi bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan

keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dalam keiuarga (Keliat

1996,p.23).

Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan

pasien jiwa. Ketika penderita gangguan jiwa melakukan rawat jalan atau inap

di rumah sakit jiwa, keluarga harus tetap memberikan perhatian dan dukungan

sesuai dengan petunjuk tim medis rumah sakit. Dukungan keluarga sangat

diperlukan oleh penderita gangguan jiwa dalam memotivasi mereka selama

perawatan dan pengobatan.

Hal lain yang bisa memperpanjang proses perawatan gangguan jiwa

yang dialami oleh pasien, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak

kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan

dari dokter. Selain itu, pasien sering mengatakan sudah minum obat, padahal

obatnya disimpan disaku baju, terkadang dibuang, dan beberapa pasien sering

meletakkan obat dibawah lidahnya (Purwanto 2010,p.25).

Menurut Carpenito L.j. (2000) yang dikutip oleh Niven (2002, p.194)

berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak

mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh

dan tidak patuh. Adapun faktr-faktor yang mempengaruhi kepatuhan


5

diantaranya adalah persepsi, pengetahuan, pengobatan, keyakinan, sikap,

dukungan keluarga, dukungan sosial perilaku sehat dan dukungan profesi

keperawatan.

Hasil studi pendahuluan bulan 4 Juni 2013 yang dilakukan di

Puskesmas Tanjung Paku dengan mewawancarai 6 orang penderita gangguan

jiwa, 3 orang mengatakan bahwa mereka malas minum obat karena

membuatnya gantuk, 3 orang mengatakan mereka hanya mengkonsumsi obat

jika diingatkan keluarga. Berdasarkan observasi pada salah satu rumah

penderita gangguan jiwa dapat dilihat bahwa dalam pemberian obat keluarga

hanya memberikan obat, tetapi tidak mengawasi obat tersebut dimakan atau

belum oleh klien. Keluarga juga mengasingkan klien gangguan jiwa dengan

menempatkan klien dikamar belakang dan terpisah dari kamar yang lain.

Berdasarkan fenomena tersebut diatas maka peneliti akan melakukan

penelitian tentang Faktor faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

klien gangguan jiwa dalam mengkonsumsi obat di rumah di Kelurahan

Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belang masih banyak penderita gangguan jiwa dan

belum diketahui faktor faktor apa saja yang berhubungan dengan

kepatuhan klien gangguan jiwa dalam mengkonsumsi obat di rumah di

Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013.
6

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan klien gangguan jiwa dalam mengkonsumsi obat di rumah di

Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun

2013

2. Tujuan Khusus

a. Diperoleh gambaran tingkat pengetahuan keluarga pasien gangguan

jiwa di Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung

Paku tahun 2013.

b. Diperoleh gambaran persepsi keluarga pasien gangguan jiwa di

Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun

2013.

c. Diperoleh gambaran dukungan keluarga kepada pasien gangguan jiwa

dalam mengkonsumsi obat di Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013.

d. Diperoleh gambaran dukungan petugas kepada pasien gangguan jiwa

dalam mengkonsumsi obat di Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013

e. Diperoleh gambaran kepatuhan klien gangguan jiwa dalam

mengkonsumsi obat di rumah di Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013.


7

f. Diperoleh hubungan tingkat pengetahuan keluarga pasien gangguan

jiwa dengan kepatuhan mengkonsumsi obat jiwa di Kelurahan Tanjung

Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013.

g. Diperoleh hubungan persepsi keluarga pasien gangguan jiwa dengan

kepatuhan mengkonsumsi obat jiwa di Kelurahan Tanjung Paku

wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013.

h. Diperoleh hubungan dukungan keluarga terhadap pasien gangguan jiwa

dengan kepatuhan mengkonsumsi obat jiwa di Kelurahan Tanjung Paku

wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013.

i. Diperoleh hubungan dukungan petugas terhadap pasien gangguan jiwa

dengan kepatuhan mengkonsumsi obat jiwa di Kelurahan Tanjung Paku

wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku tahun 2013.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Menerapkan ilmu yang telah diperoleh dibangku perkuliahan dan untuk

menambah pengetahuan yang didapatkan selama pendidikan, khususnya

menambah wawasan dalam bidang riset keperawatan.

2. Bagi Puskesmas Tanjung Paku

Dapat menjadi pedoman bagi petugas jiwa puskesmas tentang kepatuhan

klien jiwa dalam mengkonsumsi obat dan meningkatkan penyuluhan pada

keluarga pasien jiwa serta sebagai bahan informasi dan umpan balik dalam

rangka penyuluhan kepada keluarga dalam rangka perawatan klien jiwa di

rumah.
8

3. Bagi keluarga

Menambah pengetahuan keluarga tentang penyakit gangguan jiwa dan

penerapan dalam kehidupan sehari-hari dalam memberikan pengawasan

minum obat pada klien gangguan jiwa.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan data awal bagi peneliti

selanjutnya yang ingin melanjutkan penelitian variabel dan lokasi yang

berbeda.

5. Ruang Lingkup

Penelitian ini telah dilakukan di Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Paku pada 30 Desember 2013 sampai dengan 12 Januari

2014, untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

klien gangguan jiwa dalam mengkonsumsi obat di rumah, dimana variabel yang

akan diteliti adalah pengetahuan, persepsi, dukungan keluarga, dukungan petugas,

dan ekonomi. populasi adalah keluarga klien gangguan jiwa sebanyak 278 orang

dengan jumlah sampel 43 orang, dengan teknik pengambilan sampel adalah

simpel random sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Jiwa

1. Pengertian Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus

dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan

karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya

sendiri-sendiri (Djamaludin 2001,p.3). Gangguan jiwa adalah gangguan

dalam cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective),

tindakan (psychomotor) (Yosep 2007,p.32).

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000,p.4) adalah suatu

perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada

fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau

hambatan dalam melaksanakan peran sosial.

2. Penyebab Timbulnya Gangguan Jiwa

Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang

bersumber dan berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan

seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak

terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan

lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor

organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak (Djainaludin 2001,p.20).

Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa menurut Santrock (1999)

dibedakan atas:

9
10

a. Sebab-sebab jasmaniah/biologic

1) Keturunan

Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin terbatas

dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami gangguan jiwa

tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor lingkungan

kejiwaan yang tidak sehat.

2) Jasmaniah

Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang

berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu, Misalnya yang

bertubuh gemuk/endoform cenderung menderita psikosa manik

depresif, sedang yang kurus/ectoform cendenmg menjadi

skizofrenia.

3) Temperamen

Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah

kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan

mengalami gangguan jiwa.

4) Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker dan

sebagainya, mungkin menyebabkan merasa murung dan sedih.

Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa

rendah diri.

b. Sebab Psikologik

Bermacam pengalarnan frustasi, kegagalan dan keberhasilan yang

dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya dikemudian han.


11

Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa dan pada keadaan

tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.

1) Masa bayi

Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2-3 tahun, dasar

perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi

dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan

rasa hangat/aman bagi bayi dan dikemudian hari menyebabkan

kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya,

sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak dikemudian

hari akan berkembang kepribadian yang bersifat menolak dan

menentang terhadap lingkungan. Sebaiknya dilakukan dengan

tenang, hangat yang akan memberi rasa aman dan terlindungi,

sebaliknya, pemberian yang kaku, keras dan tergesa-gesa akan

menimbulkan rasa cemas dan tekanan.

2) Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)

Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh disiplin

dan otoritas. Penolakan orang tua pada masa ini, yang mendalam

atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan ia akan

mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia mungkin

menurut, menarik diri atau malah menentang dan memberontak.

Anak yang tidak mendapat kasih sayang tidak dapat menghayati

disiplin tak ada panutan, pertengkaran dan keributan

membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak

aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya


12

tuntutan tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak

dikemudian hari.

3) Masa Anak sekolah

Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan intelektual

yang pesat. Pada masa ini, anak mulai memperluas lingkungan

pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga. Kekurangan atau

cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan penyesuaian diri.

Dalam hal ini sikap lingkungan sangat berpengaruh, anak mungkin

menjadi rendah diri atau sebaliknya melakukan kompensasi yang

positif atau kompensasi negatif. Sekolah adalah tempat yang baik

untuk seorang anak mengembangkan kemampuan bergaul dan

memperluas sosialisasi, menguji kemampuan, dituntut prestasi,

mengekang atau memaksakan kehendaknya meskipun tak disukai

oleh si anak.

4) Masa Remaja

Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang

penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri diri

kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang secara kejiwaan, pada masa

ini terjadi pergolakan-pergolakan yang hebat. pada masa ini,

seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di suatu

pihak ia merasa sudah dewasa (hak-hak seperti orang dewasa),

sedang di lain pihak belum sanggup dan belum ingin menerima

tanggung jawab atas semua perbuatannya. Egosentris bersifat

menentang terhadap otoritas, senang berkelompok, idealis adalah


13

sifat-sifat yang sering terlihat. Suatu lingkungan yang baik dan

penuh pengertian akan sangat membantu proses kematangan

kepribadian di usia remaja.

5) Masa Dewasa muda

Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan

bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri

dan umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada

masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan pada masa

sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa iin mungkin akan

mengalami gangguan jiwa.

6) Masa dewasa tua

Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan dan sosial

seseorang sudah mantap. Sebagian orang berpendapat perubahan

ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri, pesimis. Keluhan

psikomatik sampai berat seperti murung, kesedihan yang

mendalam disertai kegelisahan hebat dan mungkin usaha bunuh

diri.

7) Masa Tua

Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada masa ini

Berkurangnya daya tanggap, daya ingat, berkurangnya daya

belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial ekonomi

menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta sering

mengakibatkan kesalahpahaman orang tua terhadap orang di


14

lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan teman sebaya

keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan emosional yang

cukup hebat.

c. Sebab Sosio Kultural

Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat

dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan

penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa, biasanya terbatas

menentukan warna gejala-gejala. Disamping mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya

melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan

tersebut.

Menurut Santrock (1999) Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut:

1) Cara-cara membesarkan anak

Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter, hubungan

orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah

dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak

suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.

2) Sistem Nilai

Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang

satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering

menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan

moral yang diajarkan di rumah/sekolah dengan yang dipraktekkan

di masyarakat sehari-hari.
15

3) Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada iklan-

iklan di radio, televisi, surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan

bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern

yang mungkin jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat rasa

kecewa yang timbul, seseorang mencoba mengatasinya dengan

khayalan atau melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat.

4) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi dalam

masyarakat modern kebutuhan dan persaingan makin meningkat

dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi

modern. Memacu orang untuk bekerja lebih keras agar dapat

memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari

kebutuhan sehingga pengangguran meningkat, demikian pula

urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah menjadi rendah.

Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu

istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan

sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan

kepribadian yang abnormal.

5) Perpindahan kesatuan keluarga

Khusus untuk anak yang sedang berkembang kepribadiannya,

perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan dan pergaulan),

sangat cukup mengganggu.

6) Masalah golongan minoritas

Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari

lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang


16

selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan

tindakan-tindakan yang merugikan orang banyak.

3. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa

Tanda dan gejala gangguan jiwa menurut Yosep (2007,p.22)

adalah sebagai berikut:

a. Ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,

perbuatan-perbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah,

tidak mampu mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk.

b. Gangguan kognisi pada persepsi: merasa mendengar

(mempersepsikan) sesuatu bisikan yang menyuruh membunuh,

melempar, naik genting, membakar rumah, padahal orang di sekitarnya

tidak mendengarnya dan suara tersebut sebenarnya tidak ada hanya

muncul dari dalam diri individu sebagai bentuk kecemasan yang sangat

berat dia rasakan. Hal ini sering disebut halusinasi, klien bisa

mendengar sesuatu, melihat sesuatu atau merasakan sesuatu yang

sebenarnya tidak ada menurut orang lain.

c. Gangguan kemauan: klien memiliki kemauan yang lemah (abulia)

susah membuat keputusan atau memulai tingkah laku, susah sekali

bangun pagi, mandi, merawat diri sendiri sehingga terlihat kotor, bau

dan acak-acakan.

d. Gangguan emosi: klien merasa senang, gembira yang berlebihan

(Waham kebesaran). Klien merasa sebagai orang penting, sebagai raja,

pengusaha, orang kaya, titisan Bung Karno tetapi di lain waktu ia bisa
17

merasa sangat sedih, menangis, tak berdaya (depresi) sampai ada ide

ingin mengakhiri hidupnya.

e. Gangguan psikomotor : Hiperaktivitas, klien melakukan pergerakan

yang berlebihan naik ke atas genting berlari, berjalan maju mundur,

meloncat-loncat, melakukan apa-apa yang tidak disuruh atau

menentang apa yang disuruh, diam lama tidak bergerak atau

melakukan gerakan aneh. (Yosep 2007,p.23).

4. Penanganan Gangguan Jiwa

a. Terapi psikofarmaka

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara

selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan rnempunyai efek utama

terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi

gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup

klien (Hawari 2001,p.12).

Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya:

antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, anti-

panik, dan anti obsesif-kompulsif. Pembagian lainnya dari obat

psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan

psikomimetika (Hawari 2001,p.12).

b. Terapi somatic

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat

gangguan jiwa sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem

tubuh lain. Salah sata bentuk terapi ini adalah Electro Convulsive

Therapy. Terapi elektro konvulsif (ECT) merupakan suatu jenis


18

pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui

elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup

menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang

terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui,

tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan

biokimia di dalam otak (Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin)

mirip dengan obat anti depresan. (Townsend alih bahasa Daulima

2006,p.21).

c. Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah suatu pendekatan penanganan klien gangguan

yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan

jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif.

Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:

1) Terapi Individual

Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan

pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan

seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara

perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang

dijalin adalah hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi,

dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui

hubungan ini terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan

tujuan yang ditetapkan di awal hubungan. Hubungan terstruktur

dalam terapi individual bertujuan agar klien mampu menyelesaikan

konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga diharapkan mampu


19

meredakan penderitaan (distress) emosional, serta mengembangkan

cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

2) Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan

agar terjadi perubahan perilaku pada klien dan perilaku

maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan

semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya

adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah

perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas

dan interaksi.

3) Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap

yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang

diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan

kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan

keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan

perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir

yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku

adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut.

Fokus asuhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai

yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan

menyusun perubahan kognitif.


20

4) Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh

anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan

terapi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan

fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga

yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi

yang dituntut oleh anggotanya. Dalam terapi keluarga semua

masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari

masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah

tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing

anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga,

apa kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk

kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan

keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga

seperti yang seharusnya.

5) Terapi Kelompok

Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk

dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui

media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi

dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah

meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan

interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive. Terapi Perilaku

Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa

perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh


21

karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak

sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah:

Role model, Kondisioning operan, Desensitisasi sistematis,

Pengendalian diri dan Terapi aversi atau rileks kondisi.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Carpenito L.j. (2000) yang dikutip oleh Niven (2002, p.194)

berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah

segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu

lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak

patuh. Adapun faktr-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya adalah

persepsi, pengetahuan, pengobatan, keyakinan, sikap, dukungan keluarga,

dukungan sosial perilaku sehat dan dukungan profesi keperawatan.

1. Pengetahuan

a. Definisi

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

orang nelakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Notoadmojo

2007, p.141). Pengetahun (knowledge) terjadi melalui penginderaan oleh

panca indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagian

besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telingga (Notoadmodjo

2007, p.140).

1. Tingkat Pengetahuan

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah


22

mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab

itu tahu ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang rendah

(Notoadmojo 2007, p.140).

2) Memahami

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan objek

yang diketahui dan data menginterprestasikan materi tersebut dengan

orang yang telah paham. Terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan atau menyebutkan. Contoh: menyimpulkan, meramalkan

dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. (Notoadmojo 2007,

p.140).

3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya. Aplikasi

disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaaan hukum-hukum,

rumus, metode dan prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi

lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-

perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus

pemecahan masalah dan kasus yang diberikan (Notoadmojo 2007,

p.141)

4) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk melakukan atau

menghubungkan bagian ke dalam suatu bentuk keluruhan yang baru


23

dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan. Yang menyusun

formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada, misalnya dapat

rnenyusun, dapat merencanakan dan meringkaskan dapat menyebutkan

dan sebagainya. Terdapat suatu teori atau rumus-rumus yang telah ada

(Notoadmojo 2007, p.141).

5) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian ini

berdasarkan suatu kriteria. Yang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada. Misalkan dapat membandingkan anak-

anak yang cukup gizi, dengan anak-anak yang kekurangan gizi.

(Notoadmojo 2007, p.141).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakuan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan sabjek

penelitian/responden. (Notoatmodjo 2007, p.140-141)

2. Dukungan Keluarga

a. Pengertian Keluarga

Dukungan keluarga adalah: Suatu dorongan yang diberikan

keluarga dalam merawat anggota keluarga. (Friedman 2002, p.6) Menurut

Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003, p.13) menjelaskan bahwa

salah satu faktor dan tiga faktor yang melatar belakangi individu

berprilaku adalah faktor pendorong (reinforcing factor) antara lain adalah

dukungan keluarga yang meliputi suami, anak, dan orangtua.


24

Menurut Friedman (1998), keluarga merupakan unit terkecll dalam

masyarakat yang merupakan klien penerima asuhan keperawatan, keluarga

berperan dalam menentukan cara asuhan keperawatan yang diperlukan

bagi anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. Bila salah satu

dari anggota keluarga mengalami masalah kesehatan, maka sistem didalam

keluarga akan terganggu.

Burgess dkk (1963) dalam Friedman (1998), mengemukakan

tentang definisi keluarga adalah sebagai berikut:

a. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan

perkawinan, darah dan ikatan adopsi.

b. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam

satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka

tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.

c. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain

dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu,

saudara kandung.

d. Penggunaan kultur yang sama didalam keluarga.

1. Tugas dan Fungsi Keluarga

Beberapa fungsi keluarga menurut Friedman (1998,p.23) yaitu:

a. Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian): Untuk stabilitas

kepribadian keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota

keluarganya termasuk dalam mendapatkan kesehatan yang layak.

b. Fungsi sosialisasi: Untuk sosialisasi primer yang bertujuan membuat

anggota keluarga menjadi anggota masyarakat yang produktif.


25

c. Fungsi reproduktif: Menjaga kelangsungan generasi dan

keberlangsungan hidup anggota keluarga.

d. Fungsi ekonomis: Mengadakan sumber-sumber ekonomi yang

memadai dan pengalokasian secara efektif.

e. Fungsi-fungsi perawatan kesehatan: Untuk pengadaan, perawatan dan

penyedia kebutuhan-kebutuhan fisik hingga kebutuhan akan perawatan

kesehatan bagi anggota keluarga.

Sedangkan beberapa tugas dari sebuah keluarga menurut Friedman,

(1998) adalah:

a. Mengenal masalah, keluarga dituntut mampu mengenali masalah

kesehatan yang terjadi dikeluarga.

b. Mampu mengambil keputusan yang tepat bila menemukan masalah

pada keluarga tersebut.

c. Merawat anggota keluarga.

d. Memelihara lingkungan.

e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.

Menurut tugas dan fungsi keluarga diatas, keluarga merupakan

faktor penting dalam pemberian atau penerimaan sebuah layanan

kesehatan, terutama bagi anggota keluarga yang mengalami masalah

kesehatan.

2. Jenis Dukungan Keluarga

Menurut Friedman (1998,p.24 menyatakan bahwa keluarga

berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya. Anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap


26

memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Terdapat empat

dimensi dari dukungan keluarga yaitu:

a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian orang-orang yang bersangkutan kepada anggota keluarga

yang mengalami masalah kesehatan, misalnya umpan balik dan

penegasan dari anggota keluarga. Keluarga merupakan tempat yang

aman untuk istirahat serta pemulihan penguasaan emosi. (Smet Bart

1999).

b. Dukungan informasi, Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan

diseminator (penyebar) informasi tentang dunia (Friedman 1998).

Apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi

maka dukungan ini diberikan dengan cara memberi informasi, nasehat,

dan petunjuk tentang cara penyelesaian masalah. Keluarga juga

merupakan penyebar informasi yang dapat diwujudkan dengan

pemberian dukungan semangat, serta pengawasan terhadap pola

kegiatan sehari-hari.

c. Dukungan instrumental, Keluarga merupakan sebuah sumber

pertolongan praktis dan kongkrit (Friedman 1998,p.24). Dukungan ini

bersifat nyata dan bentuk materi bertujuan untuk meringankan beban

bagi individu yang membentuk dan keluarga dapat memenuhinya,

sehingga keluarga merupakan sumber pertolongan yang praktis dan

konkrit yang mencakup dukungan atau bantuan seperti uang, peralatan,

waktu, serta modifikasi lingkungan.


27

d. Dukungan penghargaan, keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan

umpan balik, membimbing dan mempengaruhi pemecahan masalah

dan sebagai sumber dan validator identitas anggota (Cohen 1999).

Terjadi lewat ungkapan hormat atau positif untuk pasien, misalnya:

pujian atau reward terhadap tindakan atau upaya penyampaian pesan

ataupun masalah, keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik

seperti dorongan bagi anggota keluarga.

3. Sumber dan Manfaat Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga mengacu pada dukungan yang dipandang oleh

keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses diadakan untuk keluarga

(dukungan bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keiuarga memandang

bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan keluarga dapat

berupa dukungan keluarga internal, seperti dukungan dari suami istri atau

dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal.

3. Dukungan Petugas

Dukungan petugas kesehatan merupakan factor lain yang mempengaruhi

kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa

perilaku sehat tersebut merupakan hal yang penting. Begitu juga mereka dapat

mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka

terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus menerus memberikan

penghargaan positif bagi pasien yang telah mampu mengikuti program

pengobatannya.
28

Factor lain adalah PMO, kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga

yang ditunjuk untuk mendampingi penderita ketika meminum obat juga factor

yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat kepatuhan dan keberhsilannya

(Purwanta 2005,p.35)

Pengobatan yang dilakukan setiap hari dalam jangka panjang, sehingga

kepatuhan meminum obat juga sering menjadi permasalahan yang harus

dipikirkan dalam pengobatan. Minum obat tidak rutin terbukti mengakibatkan

resistensi obat yang mengakibatkan kegagalan dalam pengobatan. Berdaarkan hal

terebut, tentu perlu adanya pengaturan penggunaan obat sesuai tujuannya

terutama seperti obat yang dikehendaki, aturan minum obat sangat berpengaruh

pada kepatuhan penderita (Nirmala 2003,p.5)

4. Persepsi

1. Pengertian Persepsi
Terdapat berbagai pengertian mengenai persepsi yang

dikemukakan oleh para ahli. Menurut Rokhmat ( 2000 ), persepsi adalah

pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang

diperoleh dengan menyipulkan informasi dan menafsirkannya. Persepsi

merupakan suatu proses yang dilakukan oleh penginderaan yaitu

merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui responnya.

Stimulus dilanjutkan ke susunan saraf otak dan terjadilah proses kognitif

sehingga individu mengalami persepsi (Walgito 1994,p.34).

Menurut Sunaryo ( 2004 ) persepsi dapat diartikan sebagai proses

diterimanya rangsang melalui panca indera dengan didahului oleh

perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan


29

menghayati tentang hal yang di amati, baik yang ada diluar maupun di

dalam diri individu.

Dengan demikian, rangsangan yang diterima alat indra setiap individu tiap

keluarga yang kemudian diterima oleh otak menjadi sebuah informasi dan

merupakan interpretasi yang dimiliki oleh keluarga terhadap anggota

keluarga yang menderita gangguan jiwa. Informasi yang diperoleh tersebut

akan digunakan sebagai pengetahuan dalam merawat anggota keluarga

yang menderita gangguan jiwa.

2. Macam- macam Persepsi

Menurut Sunaryo ( 2004 ), persepsi ada dua macam yakni :

a. Eksternal Perseption yaitu persepsi yang terjadi karena adanya

rangsang yang datang dari luar individu.

b. Self perception yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang

datang dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi obyek

adalah dirinya sendiri.

3. Syarat Terjadinya Persepsi

Syarat dari adanya persepsi menurut Walgito (1994) dan Sunaryo

(2004) agar individu dapat mengadakan persepsi yaitu dengan :

a. Adanya obyek yang dipersepsi, obyek menimbulkan stimulus yang

mengenahi alat indera atau reseptor

b. Adanya perhatian sebagai langkah pertama unutk mengadakan

persepsi.

c. Adanya alat indera atau reseptor sebagai penerima stimulus.


30

d. Sebagai reseptor untuk meneruskan stimulus yang diterima ke pusat

susunan syaraf otak sebagai ousat kesadaran.

Dari syarat di atas, individu mempersepsikan tentang gangguan

jiwa berawal dari adanya obyek, dimana ada anggota keluarga yang

mengalami atau menderita gangguan jiwa. Sebagaimana berawal dari

penglihatan terhadap anggota keluarganya sehingga anggota keluarga

menerima sebagai stimulus yang diterima dan sampai ke otak sebagai

informasi bahwa anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa.

4. Proses terjadinya Persepsi

Menurut Walgito ( 1994 ) proses terjadinya persepsi terdiri dari

beberapa proses diantaranya :

a. Proses Fisik, dimana proses rangsangan mengenahi alat indera.

b. Proses Fisiologis, merupakan rangsangan yang diterima oleh alat

indera kemudian diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak.

c. Proses Psikologis adalah proses yang terjadi di dalam otak dalam pusat

kesadaran.

Dengan demikian, psoses persepsi disadari oleh individu tentang

apa yang dilihat, dirasakan atau apa yang diraba sebagai rangsangan yang

diterima oleh alat indera. Proses terbentuknya persepsi tentang gangguan

jiwa yang dialami tiap orang didahului adanya penginderaan yaitu

merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu

melalui alat reseptornya. Seperti apa yang terjadi dalam keadaaan nyata

ketika seseorang bersikap aneh, hal inilah yang awal diterima sebagai
31

rangrangan pertama yang diterima tiap individu. Namun proses itu tidak

berhenti sampai disitu saja. Melainkan stimulus tersebut diteruskan ke

pusat susunan syaraf pusat yaitu otak, dan terjadilah proses psikologis,

sehingga individu mengalami persepsi. Karena itu proses penginderaan

tidak dapat lepas dari proses persepsi, dan proses penginderaan merupakan

pendahulu persepsi ( Walgito 1994,p.33 ).

5. Gangguan Persepsi

Persepsi dapat terganggu oleh gangguan otak ( karena kerusakan

otak, keracunan, obat halusinogenik) oleh gangguan jiwa( emosi tertentu

dapat mengakibatkan illusi ; psikosa dapat menimbulkan halusinasi) atau

oleh pengaruh lingkungan sosiobudaya.

a. Halusinasi yaitu penyerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca

indera seorang penderita, yang terjadi dalam keadaan sadar/ bangun,

dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik

(Maramis 1990,p.12).

b. Ilusi ialah interpretasi atau penilaian yang salah tentang pencerapan

yang sungguh terjadi, Karena rangsang panca indera. Ilusi dipengaruhi

oleh emosi pada suatu waktu terntentu dan biasanya yang bersangkutan

dapt mengoreksinya sesudahnya (Maramis 1990,p.12).

c. Depersonalisasi adalah perasaan yang aneh tentang dirinya bahwa

pribadinya sudah tidak seperti biasa lagi, tidak menurut kenyataan.

Depersonalisasi itu ada kalanya ditemukan juga pada sindroma lobus

parietalis (Maramis 1990,p.12).


32

d. Derealisasi yaitu perasaan aneh tentang lingkungan dan tidak menurut

kenyataan, segala sesuatu yang dialami seperti dalam impiannya

(Maramis 1990,p.12).

e. Gangguan somatosensorik pada reaksi konversi dimana sering secara

sombolik menggambarkan sesuatu konflik emosional dibedakan dari

gangguan psikofisiologik dari penipuan dan dari gangguan nerologik

(Maramis 1990,p.12).

f. Gangguan Psikofisiologik, ialah gangguan pada bagian tubuh yang

yang disarafi oleh susunan saraf vegetative dan yang disebabkan oleh

gangguan emosi (Maramis 1990,p.12).

g. Agnosia merupakan ketidakmampuan untuk mengenal dan mengartikan

pencerapan sebagai akibat kerusakan otak (Maramis 1990,p.12).

Keluarga mengetahui bahwa ada salah satu dari anggota

keluarganya yang menderita gangguan jiwa inilah yang diterima sebagai

obyek. Oleh panca indra diteruskan ke dalam pikiran tiap individu sebagai

informasi. Sehingga timbul beberapa pendapat keluarga tentang anggota

keluarga yang menderita gangguan jiwa. Jika dalam mempersepsikan

mengalami gangguan, maka informasi yang diterima masing-masing

individu akan berbeda. Oleh karena itu, informasi yang diterima keluarga

tentang penderita gangguan jiwa terkadang tidak sesuai dengan benar.

Perbedaan daya tangkap dan pola pikir masing-masing keluarga dalam

menerima informasi dan kemampuan berpikir tentang penderita gangguan

jiwa.
33

5.Pengertian Kepatuhan

Menurut (Niven 2008,p.194) faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kepatuhan adalah:

a. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengndalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara. Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang

bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

b. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian klien

yang dapat mempengaruhi kepatuhan antenatal care adalah jarak dan

waktu, biasanya ibu cenderung malas melakukan antenatal care pada

tempat yang jauh.

c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-

teman, kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk

membantu kepatuhan terhadap program pengobatan seperti

pengurangan berat badan, berhenti merokok dan menurunkan

konsumsi alkohol. Lingkungan berpengaruh besar pada antenatal care,

lingkungan yang harmonis dan positif akan membawa dampak yang


34

positit pula pada ibu dan bayinya, kebalikannya lingkungan negatif

akan membawa dampak buruk pada proses antenatal care.

d. Perubahan model terapi

Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan klien

terlihat aktif dalam pembuatan program pengobatan (terapi).

Keteraturan ibu hamil melakukan antenatal care dipengaruhi oleh

kesehatan saat hamil. Keluhan yang diderita ibu akan membuat ibu

semakin aktif dalam kunjungan antenatal care.

e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien

Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien adalah

suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada klien setelah

memperoieh infomasi tentang diagnosis. Suatu penjelasan penyebab

penyakit dan bagaimana pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan,

semakin baik pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, semakin

teratur pula ibu melakukan kunjungan antenatal care.

f. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari

pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo 2007,p.12). Menurut

fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu,

untuk rnencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan

pengalamannya. Adanya unsur pengalaman yang semula tidak


35

konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun, ditata

kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu

konsistensi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin baik pula

ibu melaksanakan antenatal care (Azwar 2007,p.25).

g. Usia

Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat

akan berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan

kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.

Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih dewasa akan lebih

dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat

kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan

kematangan jiwanya. Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir

semakin matang dan teratur melakukan pengobatan (Notoatmodjo

2007).

h. Dukungan Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri atas 2 orang atau

lebih, adanya ikatan persaudaraan atau pertalian darah, hidup dalam

satu rumah tangga berinteraksi satu sama lain, mempertahankan satu

kebudayaan (Effendy 2006).


36
37

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Menurut Carpenito L.j. (2000) yang dikutip oleh Niven (2002, p.194)

berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah

segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu

lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak

patuh. Adapun faktr-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya adalah

persepsi, pengetahuan, pengobatan, keyakinan, sikap, dukungan keluarga,

dukungan sosial perilaku sehat dan dukungan profesi keperawatan.

Dalam penelitian ini penulis hanya menfokuskan penelitian pada variabel

pengetahuan,dukungan keluarga, dukungan petugas dan persepsi, . Untuk

melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen dalam

penelitian ini dapat dilihat pada skema sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan
keluarga

Persepsi
keluaraga Kepatuhan pasien
jiwa
Dukungan
keluarga

Dukungan petugas

36
38

B. Defenisi Operasional

N Defenisi Skala
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasi Ukur
o Operasional Ukur

Variabel
Independen
1 Suatu Kuesioner Wawancara Ordinal 1. Rendah
Penegatahuan bila < bila
informasiyang
diperoleh mean
respondenbaik 2. Tinggi bila
formal maupun mean
informal tentang
gangguan jiwa
2 Dukungan Dukungan yang Kuesioner Wawancara Ordinal 1. Kurang
Keluarga diberikan oleh bila <
anggota mean
keluarga/orang 2. baik bila
terdekatkepada mean
klien dalam
mengkonsumsi
obat
3 Dukungan Dukungan yang Kuesioner Wawancara Ordinal 1. Tidak ada
Petugas diberikan oleh bila <
tenaga mean
kesehatan klien 2. Ada bila
dalam mean
mengkonsumsi
obat
3 Persepsi informasi dan kuesioner Wawancara Ordinal 1. Negatif
merupakan
bila <
interpretasi yang
dimiliki oleh mean
keluarga
terhadap 2. Positif bila
anggota
mean
keluarga yang
menderita
gangguan jiwa
mengkonsumsi
obat
4 Kepatuhan klien Suatu tindakan kuesioner Wawancara Ordinal 1. Tidak
dalam dimana patuh bila
mengkonsumsi seseorang pasien tidak
obat mengikuti mengkons
ketentuan umsi obat
39

/petunjuk dalam sesuai


mengkonsumsi aturan
obat sesuai 2. patuh bila
jadwal yang mengkons
ditentukan umsi obat
sesuai
aturan

C. Hipotesa

1. Ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan pasien dalam

mengkonsumsi obat di Puskesmas Tanjung Paku kota solok.

2. Ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien dalam

mengkonsumsi obat di Puskesmas Tanjung Paku kota solok.

3. Ada hubungan dukungan petugas dengan kepatuhan pasien dalam

mengkonsumsi obat di Puskesmas Tanjung Paku kota solok.

4. Ada hubungan Persepsi dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi

obat di Puskesmas Tanjung Paku kota solok.


40

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian yang dilaksanakan di Keluranan Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok pada 30 Desember 2013 sampai dengan 12

Januari 2014 dengan jumlah sampel 43 orang. Adapun hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut :

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

1. Geografis dan Demografi

Kelurahan Tanjung Paku adalah salah satu Kelurahan yang berada dalam

wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Paku yang terletak di Kecamatan Tanjung

Harapan Kota Solok. Luas daerah 42,35 Ha. Batas Kelurahan Tanjung Paku

sebelah Utara berbatasan dengan Aripan, sebelah Selatan berbatasan dengan Aro

dan Simpang Rumbio, sebelah Barat berbatasan dengan Lubuak Sikarah, dan

sebelah Timur berbatasan dengan Saok Laweh. Di Kelurahan Tanjung Paku

terdapat 8.782 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk 24.465 jiwa. Jumlah

Pustu 9 buah, Nan Balimo 2, PPA 1, Kampung Jawa 3, Laing 2, Koto Panjang 1.

Jumlah Kader Posyandu 156 orang. Puskesmas Tanjung Paku mempunyai 1 orang

perawat jiwa dan 1 orang dokter jiwa yang hadir 3 kali seminggu
41

B. Analisa Univariat

Dari pengumpulan data yang telah dilakukan didapatkan data sebagai berikut :

1. Pengetahuan Responden

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan di
Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku

Tahun 2013

Pengetahuan F %

Rendah 10 29,4

Tinggi 24 70,6

Jumlah 43 100,0

Dari tabel 5.1 dapat dilihat dari 34 responden, bahwa lebih dari sebahagian

responden 24 (70,9%) berpengetahuan tinggi.

2. Persepsi Responden

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Persepsi di
Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku
Tahun 2013
Persepsi F %

Negatif 10 29,4

Positif 24 70,6

Jumlah 34 100,0

Berdasarkan tabel 5.2 diatas dapat dilihat dari 34 responden,lebih dari

sebahagian responden 24 (70,6%) berpersepsi positif.


42

3. Dukungan Keluarga

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga di
Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku
Tahun 2013

Dukungan Keluarga F %

tidak 7 20,6

ada 27 80,4

Jumlah 34 100,0

Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa dari 34 responden, sebahagian besar 27

(80,4%) responden ada dukungan keluarga

4. Dukungan Petugas

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas di
Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku
Tahun 2013

Dukungan Petugas F %

Tidak 15 44,1

Ada 19 55,9

Jumlah 34 100,0

Tabel 5.4 dapat dilihat dari 34 responden, lebih dari sebahagian 19

(55,9%) responden ada dukungan petugas.


43

5. Kepatuhan Minum Obat

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Minum Obat
di Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku
Tahun 2013

Kepatuhan Minum Obat F %

Tidak 20 58,8

Ya 14 41,2

Jumlah 34 100,0

Tabel 5.5 dapat dilihat dari 34 responden, lebih dari sebahagian 20

(58,8%) responden tidak patuh minum obat.


44

C. Analisis Bivariat

1. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat

Tabel 5.6
Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat di Kelurahan
Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013

Pengetahuan Kepatuhan minum obat Total P OR


value
Tidak Patuh N %
Patuh

n % n %
Rendah 9 90,0 1 10, 10 100,
% 0% 0
Tinggi 11 45,8 1 54, 24 100, 0,045 10,63
6
3 2 0
Jumlah 20 58,8 1 41, 34 100,
4 2 0

Tabel 5.5 diatas dapat dilihat bahwa dari 10 responden yang memiliki

tingkat pengetahuan rendah 9 (90,0%) tidak pauh minum obat. Dari 24 orang

responden yang tingkat pengetahuan tinggi 13 (54,2%) ada minum obat.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,024 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan

dengan kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013. Denngan nilai OR 10,636 ini berarti

responden yang berpengetahuan rendah mempunyai peluang10,6 kali untuk tidak

patuh minum obat jiwa dibandingkan responden yang berpengetahuan tunggi.


45

2. Hubungan Persepsi dengan Kepatuhan Minum Obat

Tabel 5.7
Hubungan Persepsi dengan Kepatuhan Minum Obat di Kelurahan
Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013

Persepsi Kepatuhan minum obat Total P value OR

Tidak Patuh
patuh

n % n % N %

Negativ 9 90,0 1 10,0 10 100,0

Positif 11 45,8 13 54,2 24 100,0 0,045 10,636

Jumlah 20 58,8 14 41,2 34 100,0

Tabel 5.7 diatas dapat dilihat bahwa dari 10 responden yang tidak

mempunyai persepsi 9 (90,0%) tidak pauh minum obat. Dari 24 orang responden

yang ada persepsi 13 (54,2%) ada minum obat.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,024 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara perspsi dengan

kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Paku Tahun 2013. Denngan nilai OR 10,636 ini berarti responden yang

berpersepsi negatif mempunyai peluang10,6 kali untuk tidak patuh minum obat

jiwa dibandingkan responden yang berpersepsi positif.


46

3. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat

Tabel 5.8

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat di


Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku
Tahun 2013
Dukungan Kepatuhan minum obat Total P value OR
keluarga
Tidak Patuh
patuh

n % n % N %

Kurang 6 85,7 1 14,3 7 100,0

Baik 13 48,1 14 51,9 27 100,0 0,045 5,571

Jumlah 20 58,8 14 41,2 34 100,0

Tabel 5.7 diatas dapat dilihat bahwa dari 7 responden yang tidak ada

dukungan Keluarga 7 (100%) tidak pauh minum obat. Dari 27 orang responden

yang ada dukungan keluarga 14 (51,9%) ada minum obat.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,026 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga

dengan kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013. Denngan nilai OR 5,571 ini berarti

responden yang kurang dukungan keluarganya mempunyai peluang 5,5 kali untuk

tidak patuh minum obat jiwa dibandingkan responden yang baik dukungan

keluarganya.
47

4. Hubungan Dukungan Petugas dengan Kepatuhan Minum Obat

Tabel 5.8

Hubungan Dukungan Petugas dengan Kepatuhan Minum Obat di


Kelurahan Tanjung Paku wilayah kerja Puskesmas Tanjung Paku
Tahun 2013

Kepatuhan minum obat Total P value OR

Dukungan Tidak Patuh


petugas patuh

n % n % N %

Ada 13 86,7 2 13,3 15 100,0

Tidak ada 7 36,8 12 63,2 19 100,0 0,010 11,143

Jumlah 20 58,8 14 41,2 34 100,0

Tabel 5.7 diatas dapat dilihat bahwa dari 15 responden yang tidak ada

dukungan petugas 13 (86,7%) tidak pauh minum obat. Dari 19 orang responden

yang ada dukungan petugas 12 (63,2%) ada minum obat.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,010 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara dukungan petugas

dengan kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013. Denngan nilai OR 11,143 ini berarti

responden yang dukungan petugasnya kurang mempunyai peluang 11,143 kali

untuk tidak patuh minum obat jiwa dibandingkan responden yang baik dukungan

petugasnya
48

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Tingkat Pendidikan

Dari tabel 5.1 dapat dilihat dari 34 responden, bahwa lebih dari sebahagian

responden 24 (70,9%) berpengetahuan tinggi.

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi sampai menghasilkan pengetahuan

tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui pendengaran (telinga),

dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo 2007, p.140).

Ini sama dengan penelitian Muklis Riza (2009) tentang hubungan

pengetahuan, persepsi dan tindakan keluarga dengan kepatuhan pada pasien jiwa

di poli rumah sakit ernaldi vahar palambenng didapatkan tingkat pengetahuan

tinggi sebanyak 77 orang dari 103 orang responden.

Asumsi peneliti berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Muklis

(2009) tentang kepatuhan, peneliti mempunyai asumsi keluarga sudah banyak

yang mengenal tentang gangguan jiwa, penyebab, bagaimana tindakan dan

perawatan jika terjadi kekambuhan pada penderia gangguan jiwa. Sehingga

keluarga membantu dalam kepatuhan minum obat pasien.


49

B. Persepsi

Berdasarkan tabel 5.2 diatas dapat dilihat dari 34 orang responden, bahwa

lebih dari sebahagian responden 24 (70,6%) berpersepsi positif.

Menurut Sunaryo ( 2004 ) persepsi dapat diartikan sebagai proses

diterimanya rangsang melalui panca indera dengan didahului oleh perhatian

sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal

yang di amati, baik yang ada diluar maupun di dalam diri individu.

Asumsi peneliti banyak persepsi yang positif terhadap kepatuhan minum

obat pada pasien gangguan jiwa disebabkan karena banyak keluarga yang sudah

setuju bahwa penyakit jiwa adalah penyakit kutukan atau karena guna-guna dan

memasikan bahwa obat yang diberikan harus diminum sampai habis.

C. Dukungan Keluarga

Tabel 5.3 dapat dilihat dari 34 responden,bahwa sebahagian besar 27

(80,4%) responden ada dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah: Suatu dorongan yang diberikan keluarga

dalam merawat anggota keluarga. (Friedman 2002, p.6) Menurut Green yang

dikutip oleh Notoatmodjo (2003, p.13) menjelaskan bahwa salah satu faktor dan

tiga faktor yang melatar belakangi individu berprilaku adalah faktor pendorong

(reinforcing factor) antara lain adalah dukungan keluarga yang meliputi suami,

anak, dan orangtua.

Ini sama dengan penelitian Muklis Riza (2009) tentang hubungan

pengetahuan, persepsi dan tindakan keluarga dengan kepatuhan pada pasien jiwa

di poli rumah sakit ernaldi vahar palambenng didapatkan tingkat pengetahuan

tinggi sebanyak 77 orang dari 103 orang responden.


50

Asumsi peneliti adanya dukungan dari keluarga dapat membantuh pasien

gangguan jiwa dalam mengkonsumsi obat sampai pasien sembuh. Kepatuhan

dalam minum obat pasien gangguan jiwa disebabkan karena keluarga sudah bisa

memastikan obat yang diberikan diminum sesuai aturan dan keluarga juga

membantu menjemput obat ke puskesmas jika obat sudah habis.

D. Dukungan Petugas

Tabel 5.4 dapat dilihat dari 34 responden, bahwa lebih dari sebahagian 19

(55,9% ) responden ada dukungan petugas.

Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk

mendampingi penderita ketika meminum obat juga factor yang perlu dievaluasi

untuk menentukan tingkat kepatuhan dan keberhsilannya (Purwanta 2005,p.35)

Ini sama dengan penelitian Muklis Riza (2009) tentang hubungan

pengetahuan, persepsi dan tindakan keluarga dengan kepatuhan pada pasien jiwa

di poli rumah sakit ernaldi vahar palambenng didapatkan tingkat pengetahuan

tinggi sebanyak 77 orang dari 103 orang responden.

Asumsi peneliti adanya dukungan yang diberikan petugas dapat

memotivasi keluarga untuk membantu keluarganya yang menderita gangguan jiwa

untuh patuh minum obat. Dukungan yang diberikan petugas salah satunya adalah

petugas memastikan obat yang diberikan diminum sesuai aturan, mengigatkan

agar menjemput obat kepuskesmas jika sudah habis. Dan mengingat oba sudah

habis diminum.
51

E. Kepatuhan Meminum Obat

Tabel 5.5 dapat dilihat dari 34 responden, bahwa lebih dari sebahagian 20

(58,8% ) responden tidak patuh minum obat

Kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga

penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi

kurang patuh dan tidak patuh.

Asumsi peneliti banyak pasien gangguan jiwa tidak patuh minum obat

bukan karena keluarga responden yang tidak ada mendampingi minum obat tetapi

kurang memperhatikan tanggal berapa minum obat dan kapan jadwal minum obat

sehingga sewaktu peneliti melihat sisa obat sewaktu peneliian masih ada yang

bersisa seharusnya sudah habis.

F. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,024 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan

dengan kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013.

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi sampai menghasilkan pengetahuan

tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui pendengaran (telinga),

dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo 2007, p.140).


52

Asumsi peneliti ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan minum obat

karena berdasarkan kuesioner responden belum tahu bagaimana cara perawatan

seperti ketika kondisi sudah membaik mereka masih banyak memberhentikan

minum obat, belum paham perawatan apa yang benar untuk pasien jiwa.

G. Hubungna persepsi dengan kepatuhan Minum Obat

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,024 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara perspsi dengan

kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Paku Tahun 2013.

Menurut Sunaryo ( 2004 ) persepsi dapat diartikan sebagai proses

diterimanya rangsang melalui panca indera dengan didahului oleh perhatian

sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal

yang di amati, baik yang ada diluar maupun di dalam diri individu.

Asumsi peneliti responden yang berpersepsi negatif tidak patuh minum

obat karena responden masih beranggapan bahwa penyakit jiwa adalah penyakit

kutukan dan penyakit karena diguna-guna jadi pengobatan jiwa masih diiringi

obat dari orang pintar

H. Hubungna Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,026 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga

dengan kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013.


53

Dukungan keluarga adalah: Suatu dorongan yang diberikan keluarga

dalam merawat anggota keluarga. (Friedman 2002, p.6) Menurut Green yang

dikutip oleh Notoatmodjo (2003, p.13) menjelaskan bahwa salah satu faktor dan

tiga faktor yang melatar belakangi individu berprilaku adalah faktor pendorong

(reinforcing factor) antara lain adalah dukungan keluarga yang meliputi suami,

anak, dan orangtua.

Asumsi peneliti responden ada hubungan dukungan keluarga dengan

kepatuhan karena keluraga sudah membantu pasien dalam mengkonsumsi obat

dan keluarga juga memastikan obat habis atau tidak membantu menjemput obat

jika habis

I. Hubungna Dukungan Petugas dengan Kepatuhan Minum Obat

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p = 0,010 (p<0,05) hal ini berarti

Ho ditolak sehingga terdapat hubungan bermakna antara dukungan petugas

dengan kepatuhan minum obat di kelurahan Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Tahun 2013.

Factor lain adalah PMO, kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga

yang ditunjuk untuk mendampingi penderita ketika meminum obat juga factor

yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat kepatuhan dan keberhsilannya

(Purwanta 2005,p.35)

Asumsi peneliti responden ada hubungan dukungan petugas dengan

kepatuhan karena keluraga sudah membatu menjelaskan tentang cara minum obat,

mengajarkan pengaturan minum obat, dan mengingatkan obat agar diminum

sesuai aturan
54

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian yang dilaksanakan di Keluran Tanjung Paku Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok tahun 2013, maka hasil penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa sebagai berikut :

1. Lebih dari sebahagian responden 24 (70,9%) berpengetahuan tinggi di

Keluran Tanjung Paku Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok

tahun 2013

2. Lebih dari sebahagian responden 24 (70,9%) persepsi nya negative di Keluran

Tanjung Paku Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok tahun

2013

3. Lebih dari sebahagian responden 27 (79,4%) ada dukungan keluarga di

Keluran Tanjung Paku Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok

tahun 2013

4. Lebih dari sebahagian responden 19 (55,9%) ada dukungan petugas di

Keluran Tanjung Paku Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok

tahun 2013

5. Lebih dari sebahagian responden 20 (58,8%) ada tidak patuh minum obat di

Keluran Tanjung Paku Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Paku Kota Solok

tahun 2013
55

6. Terdapat hubungan bermakna antara pengetahun dengan kepatuhan minum

obat dengan nilai p value 0.024 (p<0,05)

7. Terdapat hubungan bermakna antara persepsi dengan kepatuhan minum obat

dengan nilai p value 0.024 (p<0,05)

8. Terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuhan

minum obat dengan nilai p value 0.026 (p<0,05)

9. Terdapat hubungan bermakna antara dukungan petugas dengan kepatuhan

minum obat dengan nilai p value 0.010 (p<0,05)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka masih ada beberapa masalah yang

dapat disampaikan dalam bentuk saran yakni sebagai berikut :

1. Bagi Puskesmas

Diharapkan kepada kepala puskesmas agar dapat mengintensifkan

frekuensi pengawasan terhadap PMO dan keluarga terutama tentang

bagaimana pentingnya minum obat jiwa secra teratur dan bagaimana

memotifasi keluarga untuk memastikan obat jiwa harus habis,

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti lebih lanjut

tentang kepatuhan minum obat dengan dengan variabel, jenis dan desain

yang berbeda sehingga dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di

masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai