HIPERTENSI GRADE II
Pembimbing :
dr. Heppy Oktavianto, Sp. PD
Disusun oleh:
Alfin Caesario Satria Putra 1610221125
Dita Nur Habibah G4A015128
Azahra Firdausi Harisa G4A016033
2017
LEMBAR PENGESAHAN
HIPERTENSI GRADE II
Disusun oleh:
Alfin Caesario Satria Putra 1610221125
Dita Nur Habibah G4A015128
Azahra Firdausi Harisa G4A016033
2
I. PENDAHULUAN
3
II. PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn S
Umur : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status : Menikah
Alamat : Sokaraja Wetan 04/06 Sokaraja
Tanggal masuk RSMS : 1 April 2017
Tanggal periksa : 2 April 2017
No. CM : 00796204
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Nyeri kepala
2. Keluhan tambahan : Sesak, Batuk, Pilek
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala yang dirasakan sejak
kurang lebih 2 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan hulang timbul. Keluhan
biasanya timbul saat pasien stress dan berkurang jika digunakan
beristirahat. sejak 1 minggu terakhir keluhan nyeri kepala dirasakan terus
menerus, tidak berkurang dengan beristirahat dan semakin memberat
hingga mengganggu aktivitas. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak,
batuk dan pilek. BAB dan BAK (+) normal.
Pasien mengaku seringkali mengkonsumsi makanan yang asin, dan
makanan yang digoreng. Pasien mengaku jarang berolah raga dan tidak
rutin kontrol ke puskesmas terdekat.
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : diakui
b. Riwayat hipertensi : diakui
c. Riwayat DM : disangkal
4
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat operasi : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat cuci darah : disangkal
h. Riwayat penyakit paru : disangkal
i. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital sign
TD : 190/100 mmHg
N : 96 x / menit
RR : 24 x / menit
S : 37oC
TB : 169 CM
BB : 75 Kg
Status Generalis
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)
Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
terdistribusi merata
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil
lidah (-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5
2 cm
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (-)
6
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal
(-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas ataskanan : SIC II LPSD
Batas ataskiri : SIC II LPSS
Batas bawahkanan : SIC IV LPSD
Batas bawahkiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 01/04/2017
Jenis pemeriksaan Hasil Keterangan
Hb 18.2 Meningkat
Leukosit 8450 Normal
Ht 56 Meningkat
Eritrosit 7.8 Meningkat
Trombosit 196000 Normal
7
Hitung jenis :
Basofil 0.6 Normal
Eosinofil 4.0 Normal
Batang 0.7 Menurun
Segmen 78.8 Meningkat
Limfosit 8.0 Menurun
Monosit 7.9 Normal
Kimia klinik :
SGOT 28 Normal
SGPT 36 Normal
Ureum darah 30.1 Normal
Kreatinin darah 1.54 Meningkat
GDS 421 Meningkat
Natrium 134 Normal
Kalium 3.8 Normal
Klorida 98 Normal
8
E. RESUME
1. Anamnesis
a. Keluhan utama nyeri kepala
b. Nyeri kepala dirasakan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu.
Keluhan dirasakan hilang timbul. Keluahn biasanya timbul saat
pasien stress dan berkurang jika digunakan beristirahat. sejak 1
minggu terakhir keluhan nyeri kepala dirasakan terus menerus,
tidak berkurang dengan beristirahat dan semakin memberat hingga
mengganggu aktivitas. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak,
batuk dan pilek.
c. Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan kencing manis namun
tidak rutin kontrol ke rumah sakit atau puskesmas.
d. Pasien mengaku seringkali mengkonsumsi makanan yang asin, dan
makanan yang digoreng. Pasien mengaku jarang berolah raga.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda Vital
Tekanan darah : 190/100 mmHg
Nadi : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37 0C
b. Status Generalis
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5
2 cm
c. Pemeriksaan Lokalis
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-),
ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan
hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
9
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicula
sinistra, kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-),
pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas ataskanan : SIC II LPSD
Batas ataskiri : SIC II LPSS
Batas bawahkanan : SIC IV LPSD
Batas bawahkiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
3. Pemeriksaan Penunjang
GDS : 421 mg/dL (Meningkat)
Pemantauan Harian
Tanggal Subject & Assessment Plan
Object
02-04-17 Nyeri kepala, - Hipertensi - IVFD RL 20 tpm
sesak, batuk grade II - PO Amlodipin 1x10 mg
kering, pilek - DM - PO metformin 2x500 mg
- Cephalgia - PO ibuprofen 3x1 tablet
TD: 150/100 - PO mecobalamin 1x1 tablet
mmHg
N: 120 x/m
RR: 28 x/m
S: 36.7oC
03-04-17 Nyeri kepala - Hipertensi - IVFD RL 20 tpm
berkurang, grade II - PO Amlodipin 1x10 mg
batuk kering, - DM - PO metformin 2x500 mg
pilek - Cephalgia - PO ibuprofen 3x1 tablet
10
TD: 120/80 - PO mecobalamin 1x1 tablet
mmHg
N: 96 x/m
RR: 24 x/m
S: 36.4oC
03-04-17 batuk kering, - Hipertensi - IVFD RL 20 tpm
pilek grade II - PO Amlodipin 1x10 mg
- DM - PO metformin 2x500 mg
TD: 120/80 - Cephalgia - PO ibuprofen 3x1 tablet
mmHg - PO mecobalamin 1x1 tablet
N: 96 x/m
RR: 24 x/m
S: 36.4oC
F. DIAGNOSIS KERJA
Hipertensi grade II
Febris
Cephalgia
G. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi :
IVFD RL 20 tpm
PO Amlodipin 1x10 mg
PO metformin 2x500 mg
PO ibuprofen 3x1 tablet
PO mecobalamin 1x1 tablet
b. Non-Farmakologi :
Mengubah gaya hidup sehat
Olahraga teratur
Kontrol tekanan darah dan gula darah rutin
11
H. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad Bonam
Ad fungsionam : Dubia ad Bonam
Ad sanamtionam : Dubia ad Malam
12
III. TINJAUAN PUSTAKA
Hipertensi
A. Definisi
Hipertensi adalah suatu kondisi peningkatan tekanan darah sistolik
140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg secara kronis (Tanto et
al., 2014). Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7), hipertensi diklasifikasikan menjadi empat macam sebagai berikut:
Tabel 3.2 Klasifikasi Hipertensi JNC 7 (Christensen, 2014).
Kategori TD Sistolik TD Diastolik
B. Etiologi
Menurut penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua yaitu hipertensi
esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder (Yogiantoro, 2009).
Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya,
sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi akibat suatu penyakit atau
kelainan yang mendasari seperti stenosis arteri renalis, penyakit parenkim
ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronisme, dan sebagainya (Tanto et al.,
2014).
C. Faktor Risiko
Terjadinya hipertensi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu:
1. Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan
rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan
13
orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai
keluarga dengan riwayat hipertensi (Wade, 2003).
2. Umur
Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur.
Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50 60 % mempunyai tekanan
darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan
pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya
(Wade, 2003).
3. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.
Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum
menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh
hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi
merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
aterosklerosis (Kumar,2005).
4. Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari
pada yang berkulit putih. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin
yang lebih rendah dan sensitifitas terhadap vasopresin lebih besar
(Yogiantoro, 2006).
5. Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah
pada kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National
Institutes for Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi
pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah
38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan
prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki
IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional) (Cortas,
2014).
14
6. Pola asupan garam
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi
natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk
menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume
cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan
ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi (Shapo, 2003).
7. Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat
dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan
risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis
(Bowman ST et al, 2007).
D. Patogenesis
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul karena interaksi antara
faktor-faktor risiko tertentu (stres, obesitas, merokok, genetis, dll). Tekanan
darah dalam arteri ditentukan oleh dua faktor, yaitu curah jantung dan
tahanan perifer. Kedua hal ini dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain
(Corwin, 2005).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion
ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Saraf simpatis mengeluarkan
norepineprin di sebagian besar pembuluh, yang berikatan dengan reseptor
spesifik di sel sel otot polos yang disebut reseptor . Sel otot polos
kemudian berkontraksi, yang menyebabkan pembuluh mengalami
penyempitan. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan TPR dan tekanan
darah (Corwin, 2005).
15
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin dihimpun dan disekresi oleh sel
juxtaglomelurar yang terdapat pada dinding anterior aferen ginjal. (Guyton
dan Hall, 2008). Pengeluaran renin disebabkan karena adanya aktivasi saraf
simpatis melalui 1 adrenoceptor, penurunan tekanan arteri, dan penurunan
asupan garam ke tubulus ginjal. Renin bekerja secara enzimatik pada protein
plasma lain yaitu angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II oleh ACE (Angiotensin Converting Enzyme) yang
menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah melalui vasokonstriksi
pembuluh darah dan retensi garam dan air (Price dan Wison, 2005).
Mekanisme kerja Angiotensin II yang pertama adalah vasokonstriksi
pembuluh darah sehingga pembuluh darah menyempit dan mengakibatkan
tekanan di arteri meningkat akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah. Aksi
yang kedua adalah meningkatkan sekresi antidiuretic hormone (ADH) dan
rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, urin
yang diekskresikan keluar tubuh menjadi sangat sedikit, sehingga
osmolalitasnya menjadi tinggi. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah (Price dan Wison, 2005).
Aksi selanjutnya adalah dengan menstimulasi sekresi aldosterone dari
korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosterone
akan mengurangi ekskresi NaCl dengan cara mereabsorbsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler sehingga volume darah meningkat,
akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah (Price dan Wison, 2005).
Selain hal hal diatas, perubahan struktural dan fungsional pada sistem
pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah
yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos
16
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan
daya regang pembuluh darah. Akibatnya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), yang mengakibatkan penurunan curah jantung
dan peningkatan tahanan perifer (Corwin, 2005).
E. Patofisiologi
Pada hipertensi primer terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatik yang
menyebabkan peningkatan sekresi katekolamin kemudian berpengaruh pada
kenaikan kadar estrogen (Babyminakshi et al., 2006). Kadar estrogen tersebut
berperan dalam terjadinya stress melalui mekanisme kortisol (Harper, 2003).
Pada stress terjadi penurunan kadar serotonin yang menimbulkan beberapa
gejala pada premenstrual syndrome. Serta sifat serotonin adalah hormone
yang mengatur irama sirkardian manusia. Irama sirkadian adalah irama alami
tubuh manusia untuk beristirahat yang biasa dilakukan dengan tidur.
Serotonin yang kurang dapat menyebabkan susah tidur (Steiner, 2000).
17
Serta manifestasi yang lain dalam peningkatan saraf simpatis adalah
vasokontriksi vascular baik yang diperifer maupun yang memperdarahi
cerebral. Apabila vasokontriksi terjadi di vascular yang ada di perifer maka
akan bagian distal tubuh akan sedikit menerima nutrisi sehingga tubuh akan
melakukan pengambilan energy dengan siklus anaerob dan efek dari siklus
anaerob adalah akumulasi asam laktat yang berlebih sehingga pada akhirnya
bila asam laktat yang tertumpuk semakin banyak mengakibatkan ATP yang
dihasilkan berkurang dan tubuh menjadi kelelahan karena kurangnya ATP.
(Guyton, 2014)
Apabila terjadi vasokontriksi di vascular yang memperdarahi cerebral
maka akan meningkatkan tekanan intra cranial dan dapat menyebkan iskemik
pada sel-sel yang ada di cerebral karena kurangnya asupan nutrisi. Pada
akhirnya tubuh akan melakukan kompensasi otoregulasi yang akan
18
memvasodilatasi vasakular di cerebral sehingga dapat terjadi neurologic
inflamasi yang akan bermanifestasi dalam hal sakit kepala (Guyton, 2014).
Selain itu vasokontriksi vascular cerebral dapat mengaktivasi saraf
caranial ke v (trigeminus) yang akan menyebabkan aktivasi chemoreseptor
yang bermanifestasi mual dan muntah pada pasien hipertensi (Guyton, 2014).
F. Diagnosis
Hipertensi ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut (Tanto et al., 2014) :
a. Anamnesis
Kebanyakan kasus hipertensi bersifat asimptomatik. Namun,
beberapa pasien umumnya mengeluhkan sakit kepala, penglihatan kabur,
dan leher terasa kaku serta kencang. Pada anamnesis kita juga perlu
menanyakan kemungkinan hipertensi sekunder, faktor risiko, dan
kemungkinan komplikasi yang terdapat pada pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
Nilai tekanan darah diambil dari rerata dua kali pengukuran pada
setiap kali kunjungan ke dokter. Jika tekanan darah 140/90 mmHg pada
kunjungan kedua atau lebih, maka hipertensi dapat ditegakkan.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi
yang mungkin terjadi dan menegakkan diagnosis bila curiga hipertensi
sekunder. Pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan arah
kecurigaan, seperti pemeriksaan TSH, FT3, dan FT4 bila kita curiga pasien
mengalami hipertensi sekunder akbiat hipertiroidisme.
C. Terapi
1. Non farmakologis
Secara non farmakologis, JNC 7 merekomendasikan menurunkan
tekanan darah sekaligus menurunkan risiko kardiovaskular dengan
kombinasi dua atau lebih program modifikasi gaya hidup sebagai berikut
(Madhur, 2014) :
19
a. Menurunkan berat badan
Penelitian menunjukkan tekanan darah dapat menurun 5-20 mmHg
tiap 10 kg. Rekomendasi diet DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension) dapat menurunkan tekanan darah 8-14 mmHg dengan
nasi, buah, sayuran, dan susu rendah lemak.
b. Pembatasan konsumsi alkohol
Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah 2-4
mmHg.
c. Pembatasan intake garam
Konsumsi garam dibatas hingga tidak lebih dari 100 mmol/hari
sehingga dapat menurunkan tekanan darah 2-8 mmHg.
d. Pengaturan intake kalium mendekati 90 mmol/hari.
e. Pengaturan intake kalsium dan magnesium.
f. Berhenti merokok dan mengurangi makanan dengan lemak jenuh
serta kolesterol tinggi.
g. Olahraga
Aktivitas fisik yang bersifat aerobik selama 30 menit per hari dapat
menurunkan 4-9 mmHg.
2. Farmakologis
Menurut National Institute for Health and Care Excellence (NICE)
2013, pada usia pasien <55 tahun lebih disarankan menggunakan anti
hipertensi golongan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor dan
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), sedangkan usia pasien >55 tahun
lebih disarankan menggunakan Calcium Channel Blocker (CCB). Pilihan
obat yang dapat digunakan ialah sebagai berikut.
20
Tabel 3.3 Pilihan Anti Hipertensi (Tanto et al., 2014)
Sekali terapi anti hipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan
mendapat pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah
tercapai. Tekanan darah (terutama pada pasien hipertensi derajat 2),
elektrolit, dan LFG harus tetap terpantau. Setelah tekanan darah
mencapai target dan stabil, frekuensi kunjungan dapat turun menjadi 3-6
bulan sekali. Apabila tekanan darah sudah mencapai target, pengobatan
harus tetap berlanjut dengan memperhatikan efk samping obat dan
komplikasi hipertensi. Pasien perlu diedukasi bahwa terapi hipertensi
berlaku seumur hidup dan terus dievaluasi berkala (Tanto et al., 2014).
21
Algoritma Penanganan Hipertensi
22
ada penyakit lain seperti gagal jantung dan diabetes, kunjungan harus lebih
sering dilakukan (Benowitz, 2004).
H. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit hipertensi
antara lain (Sherwood, 2004):
1. Congestive Heart Failure (CHF)
Congestive heart failure atau gagal ginjal merupakan
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah melawan kenaikan
tekanan arteri .
2. Stroke
Stroke terjadi akibat adanya ruptur pada pembuluh darah otak
akibat tekanan darah arteri yang terlalu tinggi.
3. Serangan Jantung
Serangan jantung terjadi akibat adanya rupture pada pembuluh
coroner .
4. Gagal Ginjal
Tekanan darah arteri yang terlalu tinggi mengakibatkan
berkurangnya pasokan darah ke ginjal akibat kerusakan pembuluh
darah renalis.
5. Penurunan Daya Lihat (Visualisasi)
23
Adanya kerusakan retina akibat terganggunya aliran darah ke
mata mengakibatkan edema pada retina bahkan sobeknya retinya yang
berpotensi pada penurunan daya lihat bahkan kebutaan.
6. Aneurysm
Aneurysm merupakan penggelembungan pembuluh darah yang
dapat berpotensi ruptur pada semua tempat di seluruh tubuh.
7. Perdarahan Spontan
Perdarahan spontan dapat diakibatkan rupturnya pembuluh darah
kecil di tubuh, misalnya di hidung yang menyebabkan epistaksis.
8. Sindroma Metabolik
Sindoma metabolik terjadi bila hipertensi diikuti obesitas sentral,
tingginya kadar insulin dan trigliserida, serta rendahnya HDL. Hal ini
dapat meningkatkan resiko terkena diabetes, penyakit jantung, dan
stroke.
9. Masalah pada Kemampuan Pemahaman dan Mengingat
Anggapan penurunan kemampuan daya ingat dan pemahaman
banyak dikaitkan pada kurangnya oksigenasi pada sel-sel di otak akibat
resistensi pembuluh darah yang bertambah.
I. Prognosis
Hipertensi yang tidak ditangani akan meningkatkan risiko mortalitas
dan sering dideskripsikan sebagai silent killer. Jika tidak ditangani,
kemungkinan berhubungan dengan risiko penyakit atherosklerotik sebanyak
30% dan kerusakan organ 50% dari pasien dalam 8-10 tahun setelah onset
(Madhur, 2013).
Morbiditas dan mortalitas dari hipertensi bergantung pada pengontrolan
tekanan darah dan medikasi yang adekuat. Hal ini dapat meningkatkan 10-
years suvival rate pada pasien dengan hipertensi krisis sebanyak 70%.
Penelitian klinis telah mendemonstrasikan keuntungan dengan
antihipertensi, antara lain :
1. 35-40% pengurangan dalam insidensi stroke
2. 20-25% pengurangan kejadian infark miokard
3. > 50 pengurangan kejadian gagal ginjal
24
Diabetes Mellitus
A. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu gangguan metabolisme kronis dengan
berbagai penyabab yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
25
dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal, keadaan ini disebut resietensi insulin.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul
gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.
Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel langerhans secara autoimun
sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin
pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut.
Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin,
merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian
besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan
kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar
dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu
defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel terhadap
glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua
kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang
mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
C. Gejala Klinis
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala
kronik.
a. Gejala Akut Penyakit Diabetes melitus
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi
bahkan, mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.
1. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan pada penderita diabetes
mellitus sebagai berikut :
26
- Banyak makan (poliphagia),
- Banyak minum (polidipsia),
- Banyak kencing (poliuria)
2. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
- Banyak minum
- Banyak kencing
- Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat
(turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu)
- Mudah lelah
- Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan
penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetic
27
D. Patofisiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu :
a. Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia
tertentu, dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pancreas
c. Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan
perifer
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan :
a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi
kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel.
b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang
difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan
menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan
glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai
oleh poliuria (sering berkemih).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila
tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran
darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan
filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
28
f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan sel kelaparan akibatnya nafsu
makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan
makanan yang berlebihan).
g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan
sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan
mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida.
Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel
sebagai sumber energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto
kearah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan
otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan
(Sherwood, 2001).
29
F. Terapi non Farmakologi
Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang
terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal
dan pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian
utamanya pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk
mencapai dan memelihara berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah
dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel
terhadap stimulus glukosa
Olah Raga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak jumlah
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
Terapi Farmakologi
Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun
dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30
30
asam amino. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme, efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa
dari darah ke dalam sel. Macam-macam sediaan insulin adalah sebagai berikut :
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru
sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin,
Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam
darah. Metoda yang digunakan adalah mencampurkan insulin dengan
protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard
Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan,
contoh: Mixtard 30 HM (Tjay dan Rahardja, 2002).
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien
yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi
metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah
insulin (Waspadji, 2010).
31
terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini
merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal
dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Sulfonilurea Generasi Pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme
dalam hati. Masa kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh
eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam darah tolbutamid terikat
protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi
karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan
Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami
biotransformasi, masa paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh
obat ini diubah menjadi 1-hidroksilheksamid yang ternyata lebih kuat
efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-
hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih
panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di
dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam
darah terikat albumin, masa paruh kira-kira 36 jam sehingga efeknya
masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan (Handoko
dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea
lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam
beberapa jam setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam
(Katzung, 2002).
32
dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan sulfonilurea yang
lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi
insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan
Rahardja, 2002). Obat ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit
diekresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan
ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid
dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif dan 10%
diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung, 2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan
dosis paling rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal
besar 1 mg terbukti efektif dan dosis harian maksimal yang dianjurkan
adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5 jam dan
dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak
aktif (Katzung, 2002).
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat
selular dan menurunkan produksi gula hati. Metformin juga menekan
nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak
diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan
berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan
kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya
penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat.
Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan
yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
33
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar
insulin. Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).
G. Algoritme Tatalaksana DM
34
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 9, 29, 30, 32,
39, 43
Guyton, Arthur C, John E Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC
Handoko, T., dan Suharto, B., 1995, Insulin, Glukogen, dan Antidiabetik Oral
Dalam Ganiswara, S. G., Setiabudy, R., Suyatna, F .D., Purwantyastuti dan
Nafrialdi, (eds), Farmakologi Dan Terapi, Edisi IV, 467-481, Bagian
Farmakokinetika, FKUI, Jakarta.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2005. Hypertensive Vascular Disease at: Robin
and Cotran Pathologic Basis of Disease, 7th edition. Philadelpia: Elsevier
Saunders.
35
Madhur MS. 2013. Hypertension. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview#aw2aa6b2b6b2a
(Diakses pada: April 2013)
Sherwood, Lauralee. 2004. Human Physiology: from Cells to System. 5th Edition.
Belmont: Thomson Learning Inc.
U.S. Department of Health and Human Services. 2004. Complete Report: The
Seventh Report pf the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, dan Treatment of High Blood Pressure. United States: U.S.
Department of Health and Human Services.
36
Wade, A Hwheir, D N Cameron, A. 2003. Using a Problem Detection Study
(PDS) to Identify and Compare Health Care Privider and Consumer Views of
Antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension. Vol 17 Issue 6, p
397.
Waspadji S., 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam: Komplikasi Kronik Diabestes,
Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan, Jilid III, Edisi 4,
Jakarta: FK UI pp. 1923-24.
Yogiantoro M. 2006. Hipertensi Esensial at: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi ke IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam.
37