Anda di halaman 1dari 25

KEPERAWATAN PERKEMIHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN OTHER URINARY


TRACT DISORDERS: HIPOSPADIA/EPISPADIA

Fasilitator:
Praba Diyan Rachmawati, S.Kep,.Ns.,M.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 3 Kelas A3
Aviati Faradhika 131411131039
Astrid Anggreswari N.S 131411131042
Annisha Zuchrufiany 131411131045
Fitriana Nur Aidah 131411131048
Cholilatul Zuhriya 131411131051
Eva Dwi Agustin 131411131057
Diana Rachmawati 131411131060

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen fasilitator yang telah


membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Terima kasih pula kepada teman-teman yang secara ikhlas mengerjakan tugas ini
dengan semangat dan kerja sama yang baik. Adapun makalah keperawatan
tentang "Gangguan pada Fungsi Sistem Perkemihan" ini telah kami buat dengan
semaksimal mungkin, dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat tersusun dengan baik..

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Surabaya, 10 April 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ...................................................................................................... i


Kata Pengantar ........................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 4
2.1 Definisi ..................................................................................................... 4
2.2 Klasifikasi ................................................................................................. 4
2.3 Etiologi ..................................................................................................... 6
2.4 Patofisiologi.............................................................................................. 7
2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................... 8
2.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 9
2.7 Penatalaksanaan ...................................................................................... 10
2.8 Komplikasi ............................................................................................. 11
2.9 Prognosis ................................................................................................ 13
2.10 WOC ....................................................................................................... 14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ................................................................ 16
3.1 Pengkajian .............................................................................................. 16
3.2 Diagnosa Keperawatan ........................................................................... 17
3.3 Intervensi Keperawatan .......................................................................... 17
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 20
4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 20
4.2 Saran ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra.................................. 4


Gambar 2.2 Hipospadia berdasarkan letak muara uretra ...................................... 5

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Defek atau kelainan sejak lahir, atau yang biasa disebut kelainan
kongenital, sangatlah beragam. Misalnya, kelainan pada sistem anatomi
genital laki-laki, atau yang disebut hipospadia dan epispadia dalam dunia
medis. Kelainan-kelainan kongenital ini menjadi suatu masalah yang sangat
penting, karena selain penis berfungsi sebagai pengeluaran urine, juga
berfungsi sebagai alat seksual yang pada kemudian hari dapat berpengaruh
terhadap fertilitas. Salah satu kelainan konginetal terbanyak kedua pada penis
setelah cryptorchidism yaitu hipospadia dan epispadia.
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang
terletak di bagian bawah dekat pangkal penis (Ngastiyah, 2005: 288). Muara
dari uretra dapat pula terletak pada skrotum atau perineum. Semakin ke
proksimal defek uretra, maka penis akan semakin mengalami pemendekan dan
membentuk kurvatur yang disebut chordee. Kelainan ini dapat
menyebabkan terjadinya berbagai tingkatan defisiensi uretra. Jaringan fibrosis
yang menyebabkan chordee menggantikan fascia Bucks dan tunika dartos.
Kulit dan preputium pada bagian ventral menjadi tipis, tidak sempurna dan
membentuk kerudung dorsal di atas glans (Duckett, 1986, Mc Aninch,1992).
Epispadia adalah kelainan kongenital berupa tidak adanya dinding uretra
bagian atas penis. Berbagai derajat mungkin terjadi: meatus uretra mungkin
terletak tepat di bawah glan penis, atau uretra terbuka sepanjang penis.
Kelianan ini terjadi pada laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
dialami oleh laki-laki. Ditandai dengan adanya lubang uretra disuatu tempat
permukaan dorsum penis. Epispadia adalah anomali sangat jarang (1:30.000
kelahiran) dan sering dikaitkan dengan komplikasi lain. Angka kejadian
epispadia dibandingkan dengan hipospadia relative lebih kecil.
Banyak penulis melaporkan angka kejadian hipospadia yang bervariasi,
yang berkisar antara 1:350 per kelahiran laki-laki. Bila ini kita asumsikan ke

1
negara Indonesia, maka berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2000
menurut kelompok umur dan jenis kelamin usia 04 tahun yaitu 10.295.701,
anak yang menderita hipospadia berjumlah sekitar 29 ribu anak, yang
memerlukan repair atau perbaikan.
Pengobatan yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan hipospadia dan
epispadia: ada tahapan-tahapan rekonstruksi, melakukan koreksi korde
(ortoplasti), membuat neouretra dari kulit penis (uretroplasti), dan membuat
glans. Reparasi hipospadia dianjurkan pada usia pra sekolah. Pada hipospadia
posterior dengan disertai testis maldesensus dianjurkan untuk melakukan
uteroskopi praoperatif yang mungkin terdapat keraguan jenis kelamin (sexual
ambiguity).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi saluran reproduksi laki-laki?
2. Apa definisi dari hipospadia/epispadia?
3. Apa sajakah klasifikasi dari hipospadia/epispadia?
4. Bagaimana etiologi dari hipospadia/epispadia?
5. Bagaimana patofisiologi dari hipospadia/epispadia?
6. Apa sajakah manifestasi klinis dari hipospadia/epispadia?
7. Bagaimanakah penatalaksanaan dari hipospadia/epispadia?
8. Apa saja komplikasi dari hipospadia/epispadia?
9. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostic untuk klien dengan
hipospadia/epispadia?
10. Bagaimanakah prognosis dari hipospadia/epispadia?
11. Bagaimana WOC dari hipospadia/epispadia?
12. Bagaimanakah asuhan keperawatan umum pada klien dengan
hipospadia/epispadia?
13. Bagaimana asuhan keperawatan kasus pada klien dengan
hipospadia/epispadia?

2
1.3 Tujuan

1. 3. 1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menyusun asuhan keperawatan pada pasien
dengan kelainan pada system perkemihan hipospadia/ epispadia.

1. 3. 2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi saluran reproduksi laki-laki
2. Mengetahui definisi hipospadia/epispadia
3. Mengetahui klasifikasi dari hipospadia/epispadia
4. Mengetahui etiologi dari hipospadia/epispadia
5. Mengetahui patofisiologi dari hipospadia/epispadia
6. Mengetahui manifestasi klinis dari hipospadia/epispadia
7. Mengetahui penatalaksanaan dari hipospadia/epispadia
8. Mengetahui komplikasi dari hipospadia/epispadia
9. Mengetahui pemeriksaan diagnostiK untuk klien dengan
hipospadia/epispadia
10. Mengetahui prognosis dari hipospadia/epispadia
11. Mengetahui WOC dari hipospadia/epispadia
12. Memahami asuhan keperawatan umum pada klien dengan
hipospadia/epispadia
13. Memahami asuhan keperawatan kasus pada klien dengan
hipospadia/epispadia

1.4 Manfaat
Sebagai perawat mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit hipospadia/epispadia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang
terletak di sebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis
(Muttaqin & Sari, 2011).
Epispadia merupakan kelainan kongenital berupa tidak adanya dinding
uretra bagian atas. kelainan ini dapat terjadi pada laki-laki maupun
perempuan, namun lebihh sering dialami oleh laki-laki. Kelainan ini
merupakan kelainan bawaan, dimana lubang uretra terdapat di bagian
punggung penis, atau dapat dikatakan uretra tidak berbentuk tabung tetapi
terbuka (Muscary, 2005).

2.2 Klasifikasi
A. Hipospadia
Menurut letak orifisium uretra eksternum, hipospadia dibagi menjadi
beberapa tipe sebagai berikut:
1. Tipe sederhana adalah tipe grandula, meatus terletak pada pangkal glans
penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat asimtomatik.
2. Tipe penil, yaitu meatus terletak antara glans penis dan skrotum.
3. Tipe penoskrotal dan tipe perineal, kelainan cuku.p besar, umumnya
pertumbuhan penis akan terganggu (Purnomo, 2011)

Gambar 2.1 Hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra

4
Berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan koreksi chordee,
Browne 1936 dalam Purnomo (2011), membagi hipospadia dalam tiga
bagian besar, yaitu:
1. Hipospadia anterior terdiri atas tipe granular, subkoronal, dan penis
distal.
2. Hipospadia medius terdiri atas: midshaft dan penis proksimal.
3. Hipospadia posterior terdiri atas: penoskrotal, skotal, dan perineal.

Gambar 2.2. Hipospadia berdasarkan letak muara uretra


B. Epispadia
Berdasarkan posisi meatus, epispadia dibagi ke dalam tiga jenis,
yaitu:
1. Balanica atau epispadia kelenjar
Malformasi terbatas pada kelenjar, meatus terletak pada permukaan,
alur dari meatus di puncak kepala penis. Ini adalah jenis epispadia
jarang dan lebih mudah diperbaiki.
2. Epispadia penis
Derajat pemendekan lebih besar dengan meatus uretra terletak di titik
variabel antara kelenjar dan simfisis pubis.
3. Penopubica epispadia
Varian yang lebih parah dan lebih sering. Uretra terbuka sepanjang
perpanjangan seluruh hingga leher kandung kemih yang lebar dan
pendek
.

5
2.3 Etiologi
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya hipospadia dan epispadia,
antara lain:
1. Faktor Genetik
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi
karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut
sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi (Purnomo, 2011).
2. Faktor Hormon
Hormon androgen yang berperan dalam mengatur organogenesis
kelamin pria jumlahnya kurang. Penyebab lainnya yaitu karena reseptor
hormon androgen di dalam tubuh terlalu sedikit atau tidak ada.
Sehingga walaupun hormon androgen telah terbentuk cukup, akan
tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap tidak akan memberikan suatu
efek yang semestinya. Enzim yang berperan dalam sintesis hormon
androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama (Purnomo, 2011).
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan
dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi
(Purnomo, 2011).
4. Faktor Endokrin
Penurunan androgen atau ketidakmampuan untuk menggunakan
androgen dapat mengakibatkan hipospadia. Dalam sebuah laporan
tahun 1997 oleh Aaronson dkk., 66% dari anak laki-laki dengan
hipospadia ringan dan 40% dengan hipospadia berat ditemukan
memiliki cacat dalam biosintesis testoteron testis.
Mutasi alfa reductase enzim-5, yang mengubah testoteron (T)
menjadi dihidrotestosteron (DHT), secara signifikan telah dihubungkan
dengan kondisi hipospadia. Sebuah laporan tahun 1999 oleh Silver dkk.
Ditemukan hampir 1 % dari anak laki-laki dengan hipospadia terisolasi
memiliki setidaknya satu alel terpengaruh dengan alpha reductase
mutasi-5 (Muttaqin & Sari, 2011).

6
2.4 Patofisiologi
A. Hipospadia
Hipospadia merupakan suatu cacat bawaaan yang diperkirakan terjadi
pada masa embrio selama pengembangan uretra, dari kehamilan 820
minggu. Perkembangan terjadinya fusi dari garis tengah dari lipatan uretra
tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari
penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan
yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian di sepanjang batang penis
hingga akhirnya di perineum.
Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang
menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai
chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral
dari penis.
Chordee atau lengkungan ventral dari penis, sering dikaitkan dengan
hipospadia, terutama bentuk-bentuk yang lebih berat. Hal ini diduga
akibat dari perbedaan pertumbuhan antara pertumbuhan jaringan normal
tubuh kopral atau uretra ventral dilemahkan dan jaringan terkait. Pada
kondisi yang lebih jarang, kegagalan jaringan spongiosum dan
pembentukan fasia pada bagian distal meatus uretra dapat membentuk
balutan berserat yang menarik meatus uretra sehingga memberikan
kontribusi untuk terbantuknya suatu korda.
B. Epispadia
Epispadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra in
utero. Pada anak laki-laki yang terkena, penis biasanya luas, dipersingkat
dan melengkung ke arah perut (chordee dorsal). Pada anak laki-laki
normal, meatus terletak di ujung penis, namun anak laki-laki dengan
epispadia, terletak di atas penis. Dari posisi yang abnormal ke ujung,
penis dibagi dan dibuka, membentuk selokan. Epispadia digambarkan
seolah-olah pisau dimasukkan ke meatus normal dan kulit dilucuti di
bagian atas penis. Klasifikasi epispadia didasarkan pada lokasi meatus
pada penis. Hal ini dapat diposisikan pada kepala penis (glanular), di
sepanjang batang penis (penis) atau dekat tulang kemaluan (penopubik).
Posisi meatus penting dalam hal itu memprediksi sejauh mana kandung

7
kemih dapat menyimpan urine. Semakin dekat meatus, semakin besar
kemungkinan kandung kemih tidak akan menahan kencing.
Dalam kebanyakan kasus epispadia penopubik, tulang panggul tidak
tumbuh bersama-sama di depan. Dalam situasi ini, leher kandung kemih
tidak dapat menutup sepenuhnya dan hasilnya adalah kebocoran urine.
Kebanyakan anak laki-laki dengan epispadia penopubik dan sekitar dua
pertiga dari mereka dengan epispadia penis memiliki inkontinensia urine
stres (misalnya dengan batuk atau aktivitas yang berat). Pada akhirnya,
mereka mungkin membutuhkan bedah rekonstruksi pada leher kandung
kemih. Hampir semua anak laki-laki dengan epispadia glanular memiliki
leher kandung kemih yang baik. Mereka dapat menahan kencing dan
melatih BAK normal. Namun, kelainan penis (membungkuk ke atas dan
pembukaan abnormal) masih memerlukan operasi perbaikan.
Epispadia jauh lebih jarang pada anak perempuan, dengan hanya satu
dari 565.000. Mereka yang terpengaruh memiliki tulang kemaluan yang
dipisahkan dengan berbagai derajat. Hal ini menyebabkan klitoris tidak
menyatu selama perkembangan, sehingga menjadi dua bagian klitoris.
Selanjutnya, leher kandung kemih hampir selalu terpengaruh. Akibatnya,
anak perempuan dengan epispadia selalu inkontinensia urine stres.

2.5 Manifestasi Klinis


A. Hipospadia
a. Jika berkemih, anak harus duduk.
b. Pembukaan uretra di lokasi selain ujung penis.
c. Penis tampak seperti berbalut karena adanya kelainan pada kulit
depan penis.
d. Penis melengkung ke bawah.
e. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah
atau di dasar penis.
f. Semprotan air seni yang keluar abnormal.

8
B. Epispadia
a. Lubang uretra terdapat di punggung penis.
b. Lubang uretra terdapat di sepanjang punggung penis. (Muscary,
2005).

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Corwin (2009), pemeriksaan diagnostik pada hipospadia lebih
sering dilakukan dan jelas terlihat pada pemeriksaan fisik. Tidak ada tes
rutin lainnya. Pemeriksan fisik dilakukan pada bayi. Pemeriksaan yang
menyeluruh serta pemeriksaan kromosom perlu dilakukan karena kelainan
lain dapat menyertai hipospadia dan epispadia. Hanya sedikit penderita
hipospadia berat yang mungkin mengalami abnormalitas pada genitalia.
Tes kromosom CT scan pada genitalia dapat mempercepat penemuan
dan mencegah komplikasi jika sindrom lain sering dirasakan. Pemeriksaan
lain yang dapat dilakukan adalah USG pelvis, MRI, Sistogram mikturasi,
kultur urine, sistografi, dan BNO-IVP. Pemeriksaan BNO-IVP dilakukan
karena biasanya pada hipospadia diisertai dengan kelainan kongenital ginjal
(Corwin, 2009).
Berbeda dengan hipospadia, di mana ada sejumlah besar teknik bedah
yang menawarkan pilihan terapi yang berbeda, koreksi epispadia termasuk
alternatif bedah dan hasil dari sudut pandang fungsional sering tidak
memuaskan. Ketika epispadia tidak terkait dengan inkontinensia urine,
perawatan bedah terbatas pada rekonstruksi kepala penis dan uretra
menggunakan plat uretra (Muscary, 2005).
Ketika epispadia dikaitkan dengan inkontinensia urine, pengobatan
menjadi lebih kompleks. Dalam rangka meminimalkan dampak psikologis,
usia yang paling cocok untuk perbaikan bertepatan dengan tahun pertama
atau kedua kehidupan. Yang penting untuk perbaikan epispadia sukses
meliputi:
1. Pemanjangan penis
2. Uretroplasti
3. Cakupan cacat kulit dorsal penis

9
2.7 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Beberapa abnormalitas hipospadia sangat sedikit sehingga tidak
banyak hal yang dilakukan. Kebanyakan penangan dari hipospadia
adalah dengan pembedahan. Pembedahan ini dilakukan dengan
membuat lubang kencing pada ujung penis dan melakukan sirkumsisi
pada saat itu juga. Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia
adalah merekomendasikan penis menjadi lurus dengan meatus uretra di
tempat yang normal atau dekat dengan normal sehingga arah aliran
urine ke depan dan dapat melakukan koitus dengan normal. Operasi
harus dilakukan sejak dini. Sebelum operasi dilakukan, bayi atau anak
tidak boleh sirkumsisi karena kulit depan penis digunakan untuk
pembedahan nanti. Penanganan yang tepat dapat dilihat pada aliran
urine, yaitu anak dapat berkemih saat berdiri. Selain itu, penanganan
yang tepat jika anak bebas dari nyeri ketika penis ereksi.
Berikut adalah tahap pembedahan yang dilakukan pada hipospadia:
a) Tahap I
Pembedahan tahap pertama mencakup pembuangan jaringan
ikat (chordee release), pembuatan lubang kencing pada ujung
kepala penis sesuai dengan bentuk anatomi yang baik dan membuat
saluran kencing baru (tunneling) di dalam kepala penis yang
dindingnya dibentuk dari kulit tudung (preputium) kepala penis.
Operasi tahap pertama ini menentukan hasil akhir operasi
hipospadia secara keseluruhan; operasi tahap pertama yang baik
akan menghasilkan bentuk estetik penis yang anatomispenis lurus
dan lubang kencing tepat di ujung kepala penis dan bebas dari
risiko striktura.
b) Tahap 2
Pembedahan tahap kedua dilakukan setelah proses
penyembuhan pembedahan tahap pertama tuntas, paling dini 6
bulan setelah pembedahan pertama. Pembedahan tahap kedua
membentuk saluran kencing baru (uretroplasti) di batang penis
yang menghubungkan lubang kencing abnormal, saluran kencing di

10
dalam kepala penis, dan lubang kencing baru di ujung penis. Jika
teknik pembedahan dilakukan dengan baik maka risiko komplikasi
kebocoran saluran kencing dapat diminimalkan.

b. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Informasikan orang tua bahwa pengenalan lebih dini adalah penting
sehingga sirkumsisi dapat dihindari; kulit prepusium digunakan
untuk bedah perbaikan.
2. Beri kesempatan orang tua untuk mengungkapkan perasaannya
tentang masalah struktural anak.
3. Persiapkan orang tua dan anak untuk menjalani prosedur bedah yang
diinginkan. Perbaikan dengan pembedahan dilakukan untuk
memperbaiki kemampuan anak berdiri selama berkemih, untuk
memperbaiki bentuk penis, dan untuk memelihara keadekuatan
seksual. Hal ini biasanya dilakukan antara usia 6 dan 12 tahun
dengan satu atau dua tahap perbaikan.
4. Jelaskan hasil bedah kosmetik yang diharapkan; orang tua dan anak
dapat merasa sangat kecewa dengan kecacatan fisik ini.
5. Pantau asupan dan haluaran cairan dan pola urinee, anjurkan banyak
minum, pertahankan kepatenan, dan awasi tindakan pencegahan
infeksi jika anak dikateterisasi.
6. Persiapkan orang tua dan anak untuk pengalihan urinee, jika perlu,
sementara meatus baru dibuat.
7. Ajarkan orang tua bagaimana merawat kateter menetap, jika perlu.
(Muscary, 2005)

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipospadia antara lain:
1. Dapat terjadi disfungsi ejakulasi pada pria dewasa. Apabila chordeenya
parah, maka penetrasi selama berhubungan intim tidak dapat dilakukan
(Corwin, 2009).

11
2. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat
kelamin dalam jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri seksual
tertentu (Ramali & Pamoentjak, 2005).
3. Saat dewasa akan mengalami kesulitan berhubungan seksual apabila
tidak segera dioperasi.
4. Infertilitas.
5. Risiko hernia inguinal karena riwayat hipospadia dapat meningkatkan
resiko terjdinya hernia inguinal.
6. Gangguan psikososial pada anak karena merasa malu akibat bentuk
penis yang berbeda dengan teman-temannya (Suriadi, 2001).

Komplikasi pascaoperasi yang mungkin dapat terjadi :


1. Edema yang terjadi akibat reaksi jaringan yang besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom/ kumpulan darah di bawah kulit,
yang biasanya dicegah dengan balutan ditekan selama 2 sampai 3 hari
pascaoperasi.
2. Striktur, pada proksimal anastomis yang kemungkinan disebabkan oleh
angulasi dari anastomis.
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran
kencing berulang atau pembentukan batu saat pubertas.
4. Fistula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan
sebagai parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur
satu tahap saat ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5%
10%.
5. Residual chordee/rekuren chrodee, akibat dari chordee yang tidak
sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau
pembentukan scar yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat
jarang
6. Divertikulum (kantung abnormal yang menonjol ke luar dari saluran
atau alat berongga) terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu
lebar atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang
dilanjut. (Ramali & Pamoentjak, 2005)

12
2.9 Prognosis
Prognosis hispospadia dan epispadia bergantung pada berat
ringannya kasus dan keberhasilan pembedahan. Kesuksesan bedah
rekontruksi untuk kasus sedang dan berat terus meningkat. Perawatan post
operasi juga merupakan faktor penting yang memengaruhi
prognosisnya.

13
2.10 WOC
Lingkungan
Embriologi Genetik Hormonal

Minggu ke-2 terbentuk lapisan Mutasi gen yang Tidak ada sintesis
Konsumsi Zat polutan mengode sintesis
ektoderm dan endoderm hormon androgen
sayur buah yang androgen
mengandung bersifat
Dipisahkan oleh lekukan di tengah yaitu pestisida tetragonik
Androgen tidak Penghentian diri
mesoderm yang kemudian bermigrasi ke
terbentuk perkembangan sel-sel
perifer dan bagian kaudal membentuk
membran kloaka penghasil androgen

Diferensiasi uretra pada


Mutasi Penurunan
Pada minggu ke-6 terbentuk penis tidak terbentuk
secara sempurna androgen
tuberkel genital

Testosterone tdk dapat diubah


Di bagian tengah bawah terdapat jadi dihidrotestosteron
lekukan dimana sisi lateralnya ada
2 lipatan memanjang: genital fold
Gangguan pembentukan
Perkembangan terjadinya fusi dari tuberkel genital
garis tengah lipatan uretra tidak
Minggu ke-7 genital Genital fold
lengkap
tuberkel membentuk glans: membentuk sisi-sisi
laki-laki: penis dari sinus
perempuan: klitoris urogenitalis Tuberkel genital membentuk
lipatan uretra di bagian anterior,
glans : laki-laki skrotum menonjol dan bergerak
=penis ke kaudal
perempuan= klitoris

14
Genital fold gagal bersatu di HIPOSPADIA EPISPADIA
atas sinus urogenitalia

dari sinus urogenitalis

glans : laki-laki =penisPre op Chordectomy dan uretroplasty


Chordee Post op
perempuan= klitoris

Kurangnya pengetahuan Meatus uretra terletak di bagian Luka pasca bedah Terputusnya kontinuitas
mengenai kondisi, punggung, bawah, atau dasar penis jaringan
prognosis penyakit, dan
prosedur pembedahan Port de entry
Urine tidak memancar secara Merangsang saraf nyeri di
sempurna (merembes) radix dorsal medulla spinalis
MK: Ansietas pada MK: Risiko Infeksi
orangtua Urine merembes ke perianal MK : Nyeri

Perbedaan bentuk alat Iritasi di area sekitar perianal


kelamin Hospitalisasi pada
anak
MK : Kerusakan integritas
kulit
MK: Ketakutan
pada anak

15
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a) Anamnesis
1. Identitas Pasien
Identitas pasien, terdiri dari nama, usia, jenis kelamin (lebih banyak
pada anak laki-laki), tempat tanggal lahir, alamat, tanggal masuk
rumah sakit, dan informasi lain yang penting tentang pasien.
2. Keluhan Utama
Lubang penis tidak berada pada ujung sehingga pancaran urine bisa
jadi ke samping. Penderita lebih suka buang air kecil dengan
duduk.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada masa kehamilan minggu ke 10 sampai ke 14, terjadi
hambatan penutupan uretra penis yang mengakibatkan orifisium
uretra tertinggal di suatu tempat di bagian ventral penis antara
skrotum dan glans penis.
4. Riwayat Pengobatan Ibu Saat Hamil
Penggunaan dietilbestrol (DES) antara minggu kedelapan dan
enam belas kehamilan sebagai pengobatan untuk mencegah
terjadinya abortus spontan menjadi risiko terjadinya hipospadia
pada anak.
5. Pengkajian Setelah Pembedahan
Kaji apaakan ada pembengkakan penis, perdarahan, dan disuria.

b) Pemeriksaan Fisik
Pasa hipospadia, meatus uretra eksternal ditemukan berada di bagian
ventral penis. Sedangkan pada epispadia, meatus uretra eksternal
terletak pada bagian dorsal penis (Ngastiyah, 2005).

16
3.2 Diagnosa Keperawatan

Pre-op:
1. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan statis urine.
2. Ketakutan pada anak berhubungan dengan hospitalisasi.
3. Ansietas orangtua berhubungan dengan prosedur pembedahan
(Herdman & S.Kamitsuru, 2014).

Post-op
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan pascabedah.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan luka bekas insisi (Herdman &
S.Kamitsuru, 2014).

3.3 Intervensi Keperawatan

Pre-op:

1. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan statis urine.


NOC NIC
Tujuan: Setelah dilakukan 1. Kaji kulit anak untuk melihat tanda
tindakan keperawatan iritasi dan kerusakan seperti
selama 3x24 jam, pasien kemerahan, edema, dan abrasi setiap
tidak memperlihatkan tanda 4 8 jam.
atau gejala kerusakan kulit 2. Lakukan perawatan kulit yang tepat,
termasuk mandi dengan
Kriteria hasil : menggunakan sabun, pelembab,
1. Klien tidak menunjukkan masase, perubahan posisi,
adanya kemerahan dan penggantian linen dan pakaian
iritasi. kotor.
2. Klien menunjukkan 3. Anjurkan untuk segera mengganti
integritas kulit yang celana bila basah.
baik, yang dibuktikan 4. Jelaskan mengenai pentingnya
dengan tidak adanya menjaga kebersihan area perineal
lecet, warna kulit dan ajarkan cara membersihkannya.
normal. 5. Anjurkan anak dan/atau orangtuanya
untuk membersihkan area perineal
dengan air hangat setelah BAB .dan
dikeringkan dengan handuk
6. Ajarkan pada klien dan keluarga

17
mengeni tanda-tanda klinis
kerusakan integritas kulit.

2. Ketakutan pada anak berhubungan dengan hospitalisasi.


NOC NIC
Tujuan: setelah dilakukan 1. Kaji tingkat dan penyebab
asuhan keperawatan 1x24 kecemasan pada anak.
jam, ketakutan pada anak 2. Berikan gambaran pada anak
hilang mengenai lingkungan sekitar rumah
. sakit (ruang perawatan).
Kriteria hasil: 3. Berikan penjelasan pada anak
1. Klien tidak menangis sebelum melakukan prosedur
saat dilakukan perwatan. tindakan dan alat digunakan.
2. Klien tidak takut saat 4. Memberikan pengarahan pada
berinteraksi dengan perawat yang merawat anak agar
tenaga kesehatan. selalu sabar dan telaten terhadap
tingkah laku anak.

3. Ansietas orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan.


NOC NIC
Tujuan: Setelah dilakukan 1. Jelaskan pada anak dan orangtua
tindakan keperawatan tentang prosedur bedah dan
selama 1x24 jam, perawatan pasca operasi.
kecemasan orang tua 2. Evaluasi tingkat pemahaman
menjadi hilang. keluarga tentang penyakit.
3. Motivasi klien dan orangtuanya
Kriteria Hasil: orangtua untuk mengekspresikan masalah dan
mengalami penurunan rasa berikan kesempatan untuk bertanya
cemas yang ditandai oleh dan jawab dengan jujur.
ungkapan pemahaman 4. Libatkan klien dan keluarga dalam
tentang prosedur bedah. perencanaan keperawatan dan
berikan kenyamanan fisik.

Post-op
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan pascabedah.
NOC NIC
Tujuan: setelah dilakukan 1. Kaji nyeri dengan pendekatan
asuhan keperawatan 1x24 PQRST.
jam, klien tidak merasa 2. Monitor tanda-tanda vital.
nyeri. 3. Lakukan manajemen nyeri
keperawatan:

18
Kriteria hasil: a. Atur posisi fisiologis.
1. Klien tidak menangis. b. Berikan lingkungan tenang dan
2. Klien dapat tidur sesuai batasi pengunjung.
kebutuhan. c. Ajarkan teknik relaksasi
3. Ekspresi wajah rileks. pernapasan dalam.
4. Skala nyeri menurun. d. Ajarkan teknik distraksi pada
saat nyeri.
e. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian analgesik

2. Risiko infeksi berhubungan dengan luka bekas insisi.


NOC NIC
Tujuan: Setelah dilakukan 1. Kaji lebar luka, letak luka.
tindakan keperawatan selama 2. Kaji faktor yang dapat
2 x24 jam, diharapkan tidak menyebabkan infeksi.
muncul tanda-tanda infeksi. 3. Bersihkan lingkungan dengan benar
4. Ganti balut setiap hari.
Kriteria hasil: Tidak ada 5. Kolaborasi untuk pemberian
tanda-tanda infeksi seperti antibiotik dan anti pendarahan.
(rubor, tumor, kalor, dolor,
fungiolesa).

19
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang
terletak di sebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis.
Hipospadia merupakan salah satu kelainan bawaan pada anak yang cukup
sering ditemukan. Epispadia adalah kelainan kongenital berupa tidak adanya
dinding uretra bagian atas penis. Kelainan ini terjadi pada laki-laki maupun
perempuan , tetapi lebih sering dialami oleh laki-laki. Ini merupakan
kelainan bawaan, dimana lubang uretra terdapat di bagian punggung penis,
atau dapat dikatakan uretra tidak berbentuk tabung tetapi terbuka
Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe menurut letak orifisium uretra
eksternum, posisi meatus kemih. Hipospadia dapat disebabkan karena faktor
gangguan dan ketidakseimbangan hormon, genetik, dan faktor lingkungan.
Sedangkan epispadia penyebab sebenarnya multifaktor dan sampai
sekarang belum diketahui penyebab pastinya. Penatalaksanaan medis yang
dapat dilakukan pada kasus hipospadia dan epispadia yaitu dengan cara
operasi atau pembedahan. Jika tidak ditangani dengan tepat dan segera
dapat menimbulkan komplikasi infertilitas karena bentuk penis yang
bengkok menyebabkan penis susah masuk kedalam vagina saat copulasi,
resiko hernia inguinal, gangguan psikososial.

4.2 Saran
Sebaiknya untuk mencegah terjadinya hipospadia/epispadia, pada saat
hamil ibu harus memperhatikan pemenuhan nutrisi dan juga menghindari
pajanan zat polutan yang beresiko terhadap kehamilannya. Seorang perawat
sebagai tenaga kesehatan harus menjelaskan tentang penyakit dan
perjalanan penyakitnya kepada orang tua pasien sehingga dalam proses
penyembuhan seorang perawat dapat bekerja sama dalam menentukan
keputusan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi (3 ed.). Jakarta: EGC.

Gray, M., & Moore, K. N. (2009). Urologic Disorders Adult and Pediatric Care.
USA: Mosby Elsevier.

Herdman, T., & S.Kamitsuru. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses:


Definition and Classification, 2015-1017. Oxford: Wiley Blackwell.

Muscary, M. E. (2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Sagung Seto.

Ramali, A., & Pamoentjak, K. S. (2005). Kamus Kedokteran. Jakarta: Jakarta


Djambatan.

Suriadi, Y. R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto.

http://www.bedah-plastik.com/hypospadia.html. Diakses pada 9 April 2017 pukul


17.15.

21

Anda mungkin juga menyukai