Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

C. Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Definisi ........................................................................................................... 3

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persyarafan .................................................... 3

C. Etiologi ........................................................................................................... 8

D. Patofisiologi ................................................................................................... 8

E. Penyimpangan KDM ................................................................................... 12

F. Tanda dan Gejala ......................................................................................... 13

G. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 15

H. Penatalaksanaan ........................................................................................... 15

I. Masalah yang Lazim Muncul ....................................................................... 18

J. Discharge Planing ........................................................................................ 18

K. Komplikasi ................................................................................................... 19

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian .................................................................................................... 20

B. Diagnosa Prioritas ........................................................................................ 21

C. Intervensi ...................................................................................................... 21

ii
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................. 24

B. Saran ............................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tetanus merupakan penyakit yang terjadi hampir di seluruh Negara.

Angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas

yang berkisar dari 6% hingga 60%. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus

tetanus yang dilaporkan ke WHO. Berdasarkan data dari WHO, penelitian

yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam

diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000

1.000.000 kasus per tahun. Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah

menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian,

hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah

divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun

penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta

pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi. Di Amerika

Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan

50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka

kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup

di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40

kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun,

18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi <12 bulan. Di Indonesia,

tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada

anak. Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran

1
tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun

angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih

belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah

diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian

lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna

menurunkan angka kematian.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan tetanus?

2. Apa etiologi dari tetanus?

3. Apa saja klasifikasi dari tetanus?

4. Bagaimana patofisiologi dari tetanus?

5. Bagaimana manifestasi klinis dari klien dengan tetanus?

6. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan tetanus?

7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan tetanus?

C. Tujuan Khusus

1. Memahami definisi penyakit tetanus.

2. Memahami etiologi penyakit tetanus.

3. Mengetahui klasifikasi dari tetanus.

4. Mengetahui patofisiologi dari tetanus.

5. Mengetahui manifestasi klinis dari klien dengan tetanus

6. Mengetahui penatalaksanaan klien dengan tetanus.

7. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan tetanus.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman

Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksisme

dan diikuti kekuatan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini tampak pada

otot maseter dan otot-otot rangka (Batticaca, Fransisca B, 2008). Tetanus

adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang

menghasilkan exotoksin (Suriadi, 2010).

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekauan otot (spasme)

tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman

secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang

dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang

belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular jungtion) dan saraf

autonom(Sumarno, 2002).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persyarafan

3
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Cerebrum (Otak Besar)

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga

disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan.

Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan

binatang.Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir,

analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan

visual.Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas

bagian ini.

Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut

Lobus.Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang

menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing

adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus

Temporal.

a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari

Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat

alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian

masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol

perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.

b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor

perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

c. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan

kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam

bentuk suara.

4
d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan

rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan

interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi

menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak

kiri.Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian

bawahnya.Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh,

dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.Otak kanan terlibat

dalam kreativitas dan kemampuan artistik.Sedangkan otak kiri untuk

logika dan berpikir rasional.

2. Cerebellum (Otak Kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat

dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi

otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol

5
keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga

menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang

dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat

menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan

pada sikap dan koordinasi gerak otot.Gerakan menjadi tidak terkoordinasi,

misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam

mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.

3. Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau

rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung

atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar

manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh,

mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar

manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya.

Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya.Oleh

karena itu, batang otak sering juga disebut denganotak reptil.Otak reptil

mengatur perasaan teritorial sebagai insting primitif. Contohnya anda

akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak Anda

kenal terlalu dekat dengan anda.Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah

bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan

Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon

6
penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan

tubuh dan pendengaran.

b. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah

kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya.

Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung,

sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.

c. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat

otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah

kita terjaga atau tertidur.

Kelompok tertentu mengklaim bahwa Otak Tengah berhubungan

dengan kemampuan supranatural seperti melihat dengan mata

tertutup.Klaim ini ditentang oleh para ilmuwan dan para dokter saraf

karena tidak terbukti dan tidak ada dasar ilmiahnya.

4. Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang

otak ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah.

Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering

disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus,

7
thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik.Sistem limbik

berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara

homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang,

metabolisme dan juga memori jangka panjang.Bagian terpenting dari

Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah

bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang

tidak.

C. Etiologi

Gangguan neurologis tetanus disebabkan oleh tetanoplasmin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani. Kuman ini mengeluarkan toxin yang

bersifat neurotoksik (tetanospasmin) yang menyebabkan kejang otot dan saraf

perifer setempat. Termasuk bakteri gram positif. Bentuk : batang. Terdapat :

ditanah, kotoran manusia dan binatang (khususnya kuda) sebagai spora, debu,

instrument lain. Spora bersifat dorman dapat bertahan bertahun-tahun (>40

tahun ).

D. Patofisiologi

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran

lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan

attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port

dentree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka

bakar yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

8
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat

dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan

merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat

yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. Spora

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang

masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa

faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan

berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi.

Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel

vegetatif yang sedang tumbuh Clostridium tetani menghasilkan dua

eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin

menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala

klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan

pengaruhnya di keempat sistem saraf:

a. Motor end plate di otot rangka

b. Medula spinalis

c. Otak

d. Pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis.

Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram

per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175

nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat

motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang

belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada

9
lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf

motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion

menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui

proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra

aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan

enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar

asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin

menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus

otot,sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus

makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.

Dampak toksin antara lain:

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena

eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan

dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi

kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada

gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang

khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,

hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

Berdasarkan Suriadi (2010), menjelaskan patofisiologi tetanus sebagai

berikut:

10
1. Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti; luka

tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka

yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat.

2. Organisme multiple membentuk dua toksin yaitu tetanospasmin yang

merupakan toksin kuat dan atau neurotropic yang dapat menyebabkan

ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi system saraf pusat.

Kemudian tetanolysin yang tampaknya tidak signifikan.

3. Exsotoksin yang dihasilkanakan mencapai pada system saraf pusat

dengan melewati akson neuron atau system vascular. Kuman ini menjadi

terikat pada sel saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan

oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran

darah sangat mudah dinetralkan oleh arititoksin.

4. Hipotesa cara absorbs dan cara bekerjanya toksin; adalah pertama toksin

diabsorbsi pada ujung saraf motoric dan melalui aksis silindrik dibawa ke

kornu anterior susunan saraf pusat. Kedua toksin diabsorbsi oleh susunan

limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke

dalam susunan saraf pusat.

5. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot

menjadi kejang dan mudah sekali terangsang.

6. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata- rata 10 hari.Kasus yang

sering terjadi adalah 14 hari. Sedangkan untuk neonates biasanya 5

11
E. Penyimpangan KDM
Spora untuk Invasi kuman melalui,
Tetanolisin vegetative otitis media, luka tusuk,
masuk ke infeksi gigi, ulkus kulit
dalam tubuh kronis, tali pusat

Masuk dan
Tetanospasmi
menyebar ke
n
SSP
Keringat berlebihan,
Ke SSP Mengenai sistem peningkatan
saraf simpatis suhu,takikardi, aritmia

Mengahambat
Retensi urine dan Hipoksia
pelepasan
alvi berat
asetikolin

Gangguan Penurunan O2 di
Tonus otot meningkat eliminasi otak
& kontaksi otot
menigkat
Otot rahang trismus Kesadaran menurun

Spasme otot
Ketidak seimbangan Penurunan
nutrisi kurang dari kapasitas adaptif
Otot faring dan kebutuhan tubuh intrakranial
laring

Penngkatan secret, Akumulasi secresi


ronchi saliva, reflek batuk Resiko aspirasi
menurun kesulitan
Ketidakefektifan menelan
bersihan jalan nafas

Otot ekstremitas Otot tubuh, otot Otot ekstremitas


muka, perut
papan
Fleksi tangan dan Resiko cidera
ekstensi kaki Gangguan rasa
nyaman Nyeri

Hospitalisasi Cortek serebri Kejang umum


spontan
Ansietas

12
F. Tanda dan Gejala

Periode inkubasi (rentang waktu antar trauma dengan gejala pertama)

rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara

gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu

pertama regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya dimulai

beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi

kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4

minggu (sudoyo Aru, dkk 2009).

Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi yaitu: (Sudoyo Aru,

dkk 2009)

1. Tetanus general : yang merupakan bentuk paling sering, spasme otot,

kaku kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang

terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang menimbulkan aduksi lengan

dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme

berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh

periode relaksasi.

2. Tetanus neonatorum : biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal

apabila tidak ditangani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu

yang tidak imunisasi secara adekuat, rigiditas, sulit menelan ASI,

iritabilitas, spasme.

3. Tetanus local : biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul

rebiditas dan spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat

menetap dalam beberapa minggu dan menghilang.

13
4. Tetanus sefalik : varian tetanus local jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2

hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling

menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf

otak VII diikuti tetanus umum.

Pemeriksaan fisis : (Sumarno, 2002)

1. Trismus adalah kekauan otot mengunyah sehingga sukar membuka

mulut.

2. Risus Sardonicus, terjadi sebagai kekakuan otot mimic, sehingga tampak

dahi mengkerut, mata agak tertutup , dan sudut mulut tertarik keluar

bawah.

3. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot

punggung, otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang

sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

4. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

5. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya

hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit digerakan secara

kasar,atau terkena sinar yang kuat.

6. Pada tetanus yang berat akan gterjadi gangguan pernapasan akibat kejang

yang terus menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat

menimbulkan anoksia dan kematian.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Albert : (Sudoyo Aru, dkk 2009)

1. Derajat I (ringan): trismus ( kekakuan otot mengunyah) ringan sampai

sedang, spastisitas general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasma,

sedikit atau tanpa disfagia

14
2. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasma

singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang RR 30 kali

permenit, disfagia ringan.

3. Derajat III (berat ) : trismus berat, spastisitas generaisata, spasma reflek

berkepanjangan, RR40 kali permenit, serangan apnea, disfagia berat,

takikardia 120

4. Derajat IV (sangat berat) : derajat III dengan gangguan otomik berat

melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi

berselingan dengan hipotensi dan brakikardia, salah satunya dapat

menetap komplikasi-komplikasi tetanus.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. EKG : interval CT memanjang karena segmen ST. Bentuk takikardi

ventrikuler (torsaderde pointters).

2. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih

rendah kadar fosfat dalam serum meningkat.

3. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto rontgen pada jaringan

subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi.

H. Penatalaksanaan

1. Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan

peredaran toksin, mencegah spasme otot, dan memberikan bantuan

pernafasan sampai pulih.

a. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa

membersihkan luka. Irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan

15
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan

H202. Dalam hal ini, penatalaksanaan terhadap luka tersebut dilakukan

1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotika sekitar luka disuntik

ATS.

b. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung

kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan

dapat diberikan personde atau parenteral.

c. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan

terhadap penderita.

d. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.

e. Mengukur keseimbangan cairan elektrolit.

2. Obat-obatan

a. Antibiotika

Diberikan parenteral peniciline 1,2 juta unit/hari selama 10 hari, IM.

Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan peniciline dosis 50.000

unit/KgBB/12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif

terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti

tetrasiklin dosis 30-40 mg/KgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2

gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia

penicilin intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000

unit/KgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini

hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari Clostridium tetani,

bukan untuk toksin yang dihasilkannya.

16
b. Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobin (TIG)

dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM, tidak

boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung anti

complementary aggregates of globulin, yang mana ini dapat

mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan

untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan,

dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U

dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaCl fisiologis dan

diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam

waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan

secara IM pada daerah pada sebelah luar.

c. Tetanus Toksoid (TT)

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan

dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat

suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT

harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.

Berikut ini, tabel dibawah ini memperlihatkan petunjuk pencegahan

terhadap tetanus pada keadaan luka.

d. Antikonvulsan

Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang

klonik yang hebat, musculay dan laryngeal spasm beserta

komplikasinya. Dengan penggunaan obat-obatan sedasi/muscle

relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.

17
I. Masalah yang Lazim Muncul

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d terkumpulnya liur di dalam

rongga mulut (adanya spasme otot-otot faring)

2. Ketidakefektifan pola napas b/d jalan napas tertanggu akibat spasme otot-

otot pernapasan

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

4. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial

5. Gangguan ventilasi spontan b/d keletihan otot pernafasan karena adanya

obstruksi trachea brachial

6. Ketidakefektifan termoregulasi b/d efek toksin (bakterimia)

7. Resiko infeksi b/d tindakan invasif (indikasi trakeostomi

8. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d penurunan sirkulasi

(hipoksia berat)

9. Resiko cedera b/d kejang spontan yang terus-menerus (kurang suplai

oksigen karena adanya oedem laring)

10. Nyeri akut b/d agen injury fisik, spasme otot, gerakan fragmen tulang

11. Intoleran aktivitas b/d kelemahan umum,imobilitas

J. Discharge planing

1. Perawatan luka dengan benar jika ada

2. Pemberian ATS dan Toksoid pada luka

3. Imunisasi aktif

4. Bersihkan luka yang terbuka dan biarkan terbuka dan segera bawa ke

rumah sakit

5. Kenali gejala dan tanda-tanda tetanus

18
K. Komplikasi

Komplikasi tetanus terjadi akibat penyakitnya seperti:

1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva)

didalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi

sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.

2. Asfiksia ini terjadi karena adanya kekakuaan otot-otot pernafasan

sehingga pengembangan paru tidak dapat maksimal.

3. Atelektasis karena obstruksi oleh secret hal ini karena seseorang dengan

tetanus akan mengalami trismus (mult terkunci) sehingga klien tidak

dapat mengeluarkan sekret yang menumpuk di tenggorokan, atau pun

menelanya.

4. Fraktura kompresi ini dapat terjadi bila saat kejang klien difiksasi kuat

sehingga tubuh tidak dapat menahan kekuatan luar.

19
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas klien : nama, jenis kelamin, umur, alamat

2. Riwayat kesehatan dahulu

3. Riwayat kesehatan sekarang

a. Pengkajian umum : riwayat penyakit sekarang,adanya luka parah dan

luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat

b. Pengkajian khusus

1) Sistem persarafan : dyspnea, asfiksia, dan sianosis akibat kontraksi

otot pernafasan

2) System kardiovaskular : disritmia, takikardi, hipertensi, dan

perdarahan, suhu tubuh awalnya 380-400 C atau febris sampai ke

terminal 430-440 C

3) Sistem neurologis : irritability ( awal) kelemahan konvulsi (akhir),

kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.

4) Sistem perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan

urine output tidak ada / oliguria)

5) Sistem pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.

6) Sistem integumen dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada

tempat luka, berkeringat atau hiperhidrasi, pada awalnya didahului

trismus, spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata,

risus sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.

20
Apabila ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan

kejang umum.( Marlyn doengoes, nursing care plan, 1993)

c. Riwayat kesehatan keluarga : apakah anggota keluarga ada yang

terkena tetanus.

B. Diagnosa prioritas

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

2. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

4. Ansietas

5. Resiko aspirasi

C. Intervensi

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d spasma jalan nafas

Kriteria hasil :

a. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,

irama nafas, frekuensi nafas dalam rentang normal, tidak ada suara

nafas abnormal).

NIC :

a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.

b. Monitor respirasi dan status O2.

c. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.

d. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suction.

2. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b/d peningkatan TIK secara

kontinue 10-15 mmHg

Kriteria hasil:

21
a. Menunjukkan sensori motorik cranial yang utuh :

1) Tingkat kesadaran membaik.

2) Tidak ada gerakan involunter.

NIC

a. Berikan informasi kepada keluarga.

b. Monitor tekanan perfusi serebral.

c. Kolaborasi pemberian antibiotik.

d. Posisikan pasien pada posisi semifowler.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d ketidakmampuan

menelan makanan

Kriteria hasil :

a. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.

b. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.

NIC :

a. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli

gizi).

b. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

c. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.

d. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.

4. Ansietas b/d herediter

Kriteria hasil :

a. Mengidentifikasi, mengungkapan dan menunjukkan tekhnik untuk

mengontrol cemas.

22
b. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktifitas

menunjukkan berkurangnya kecemasan.

NIC :

a. Identifikasi tingkat kecemasan.

b. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi.

c. Instruksikan pasien menggunakan tekhnik relaksasi.

d. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan.

5. Resiko aspirasi

Kriteria hasil :

a. Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan

mampu melakukan oral hygine.

NIC:

a. Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan.

b. Monitor status paru pelihara jalan nafas.

c. Penawaran makanan atau cairan yang dapat dibentuk menjadi bolus

sebelum menelan.

23
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman

Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksisme

dan diikuti kekuatan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini tampak pada

otot maseter dan otot-otot rangka (Batticaca, Fransisca B, 2008).

Gangguan neurologis tetanus disebabkan oleh tetanoplasmin yang

dihasilkan oleh clostridium tetani. Kuman ini mengeluarkan toxin yang

bersifat neurotoksik (tetanospasmin) yang menyebabkan kejang otot dan saraf

perifer setempat.

Periode inkubasi (rentang waktu antar trauma dengan gejala pertama)

rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara

gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu

pertama regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya dimulai

beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi

kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4

minggu (sudoyo Aru, dkk 2009). Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan

tetanus adalah EKG, pemeriksaan laboratorium, sinar X.

Pengobatan yang dilakukan untuk pasien dengan tetanus adalah merawat

dan membersihkan luka sebaik-baiknya, diet cukup kalori dan protein, isolasi

24
untuk menghindari rangsang luar, oksigen, mengukur keseimbangan cairan

elektrolit, antibiotika, antitoksin, tetanus toksoid (tt), antikonvulsan

B. Saran

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai