Anda di halaman 1dari 23

Peran Generasi Muda Dalam Pembangunan

Bangsa
Sunday, May 6, 2012
Pemuda dan Sosialisasi Serta Peran Pemuda dalam Pembangunan Masyarakat

Pemuda/pemudi merupakan suatu identitas dan penerus perjuangan


generasi terdahulu untuk mewujukan cita-cita bangsa. Pemuda menjadi
harapan dalam setiap kemajuan di dalam suatu bangsa, Pemuda lah yang
dapat merubah pandangan orang terhadap suatu bangsa dan menjadi
tumpuan para generasi terdahulu untuk mengembangkan suatu bangsa
dengan ide-ide ataupun gagasan yang berilmu, wawasan yang luas, serta
berdasarkan kepada nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalam
masyarakat.
Pemuda-pemuda generasi sekarang sangat berbeda dengan generasi
terdahulu dari segi pergaulan atau sosialisasi, cara berpikir, dan cara
menyelesaikan masalah. Pemuda-pemuda zaman dahulu lebih berpikir secara
rasional dan jauh ke depan. Dalam arti, mereka tidak asal dalam berpikir maupun
bertindak, tetapi mereka merumuskannya secara matang dan mengkajinya kembali
dengan melihat dampak-dampak yang akan muncul dari berbagai aspek. Pemuda
zaman dahulu juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Contohnya saja, sejarah
telah mencatat kiprah-kiprah pemuda Indonesia dalam memerdekakan Negara ini.
Bung Tomo, Bung Hatta, Ir. Soekarno, Sutan Syahrir, dan lain-lain rela
mengorbankan harta, bahkan mempertaruhkan nyawa mereka untuk kepentingan
bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan pemuda zaman sekarang, masih terkesan acuh terhadap masalah-
masalah sosial di lingkungannya. Pemuda-pemuda saat ini telah terpengaruh dalam
hal pergaulan bebas, penyalahgunaan narkotika, kenakalan remaja, bahkan
kemajuan teknologi pun yang seharusnya membuat mereka lebih terfasilitasi untuk
menambah wawasan ataupun bertukar informasi justru malah disalahgunakan.
Tidak jarang kaum-kaum muda saat ini yang menggunakan internet untuk hal-hal
yang tidak sepatutnya dilakukan seorang pemuda, seperti membuka situs-situs
porno dan sebagainya.
Peranan pemuda saat ini dalam sosialisasi bermasyarakat menurun drastis.
Mereka lebih mengutamakan kesenangan untuk dirinya sendiri dan lebih sering
bermain-main dengan kelompoknya. Padahal, dulu biasanya pemuda lah yang
berperan aktif dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan di masyarakat seperti acara
keagamaan, peringatan Hari Kemerdekaan, kerja bakti dan lain-lain. Seandainya
saja pemuda-pemuda zaman dahulu seperti Ir. Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo
dan lain-lain masih hidup pasti mereka sedih melihat pemuda-pemuda sekarang ini
yang lebih mementingkan kesenangan pribadi. Generasi yang menjadi harapan
mereka melanjutkan perjuangan mereka, tidak punya lagi semangat nasionalisme.
Sebagai pemuda kita harus sadar diri Negara ini membutuhkan pendekar
sakti untuk mewujudkan kesejahteraan di lingkungan masyarakat. Mungkin di
mata kita pemerintah sendiri tidak cukup baik mengusahakan kesejahteraan bangsa
ini, tetapi kita tinggal di negeri ini. Dampak dari baik atau buruknya negeri ini,
secara langsung maupun tidak langsung pasti akan berhubungan dengan kehidupan
kita di negeri ini. Jadi jangan hanya bisa mengkritik, menyanggah, atau mencela
saja, itu semua tidak dapat membangun Negara kita. Tetapi terjunlah langsung
seperti bergabung dalam kegiatan politik, organisasi masyarakat, dan sebagainya.
Belajarlah untuk peduli terhadap bangsa dan lingkungan sekitar.
Masyarakat masih membutuhkan pemuda-pemudi yang memiliki kematangan
intelektual, kreatif, percaya diri, inovatif, memiliki kesetiakawanan sosial dan
semangat nasionalisme yang tinggi dalam pembangunan nasional. Pemuda
diharapkan mampu bertanggung jawab dalam membina kesatuan dan persatuan
NKRI, serta mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalam pancasila agar terciptanya
kedamaian, kesejahteraan umum, serta kerukunan antar bangsa. Bangun pemuda-
pemudi Indonesia. Tanamkan semangat yang berkobar di dadamu. Bersatulah
membangun Negara tercinta. Seperti isi sumpah pemuda yang di ikrarkan pada
tanggal 28 Oktober 1928 satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa.
Semoga Negara kita ini tetap bersatu seperti slogan budaya bangsa yang tercermin
dalam Bhineka Tunggal Ika. Berkarya lah pemuda-pemudi Indonesia, Majukan
Negara Kita, Jadilah Soekarno dan Moh Hatta berikutnya yang memiliki semangat
juang tinggi dalam membangun bangsa.

Peran Pemuda dalam 3 Pilar Pembangunan


Bangsa
Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2011 merupakan peringatan yang ke 83 tahun, bukanlah
hanya sekedar peringatan saja, melainkan warning bagi pemuda sekarang sebagai generasi yang
harus berperan untuk pembangunan bangsa. Peringatan tersebut mengisyaratkan bahwa pemuda
pemudi Indonesia mempunyai tugas terhadap kompleknya persoalan di negeri ini. Kompleknya
persoalan tersebut harus diselesaikan bukan untuk di tambah atau bahkan di kembangkan
masalahnya hingga tanpa penyelesaian yang pasti. Muh.Yamin, Tan Malaka, Soekarno,
Mohammad Hatta, dan Mohammad Natsir adalah sedikit dari sekian banyak pemuda yang telah
memberi solusi bagi bangsa ini.
Setidaknya ada tiga pilar penting dalam bangsa ini yang menjadikan pemuda harus bergerak dan
berkarya. Walaupun tidak mengesampingkan elemen elemen bangsa lainnya. Ketiga pilar
tersebut adalah Pendidikan, Ekonomi dan Kebudayaan bangsa. Pendidikan adalah pilar yang
menjadi bersifat primer bagi pemuda abad 21 ini. Kebutuhan pendidikan bagi pemuda tidak
dapat ditolak lagi, karena bangsa ini membutuhkan Sumber Daya Manusia yang cerdas dan
handal dalam mengelolah bangsa, sehingga tidak berlebihan jika menjadikan pendidikan adalah
hal yang wajib dan mendasar yang harus di penuhi oleh pemuda. Lantas bagaimana jika ada
ketidakmampuan pemuda dalam memperoleh pendidikan ? maka pemerintahlah yang harus sadar
dan wajib memenuhi ketidakmampuan tersebut. Pendidikan saja tidak cukup jika hanya
mengandalkan mata pelajaran yang tidak mendidik, seharusnya untuk mencegah lahirnya
pemuda yang anarkis, harus ada ajaran yang mendidik untuk menjadi pemuda yang bermoral dan
bermartabat. Pendidikan menjadikan pemuda tidak hanya berpikir lokal tapi berpikir secara
global. Hokenstad dan Midgley (1997), mengatakanthink globally and act locally. Pemuda
Indonesia hendaknya mampu berpikir global namun bertindak berdasarkan kearifan lokal.
Perubahan mindset dari nasional ke Internasional ini merupakan cara menjawab tantangan
global.

Selanjutnya adalah pemuda harus menjadi salah satu aktor dalam pembangunan dan
pertumbuhan perekonomian bangsa. Bagian penting ini hendaknya menjadikan bagi pemuda
menjiwai perekonomian sebagai salah satu kunci kesejahteraan bangsa. Asian Development
Bank (ADB) per 2011 merilis dengan datanya yaitu negara dengan jumlah penduduk miskinnya
terkecil adalah Thailand, yaitu 0,11 juta per 2010. Kemudian ada negara Laos dan Kamboja,
masing-masing 2,04 juta jiwa dan 4,09 juta jiwa. Data Perkumpulan Prakarsa selama tiga tahun
terakhir, jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat hingga 2,7 juta orang. Pada 2008, masih
berada di angka 40,4 juta orang. Sedangkan tahun 2010 meningkat jadi 43,1 juta jiwa. Angka
kemiskinan ini, menunjukkan bangsa kita jauh dari kesejahteraan. Peran pemuda dalam bagian
ini adalah bisa berkontribusi dalam bidang pengembangan entrepreneurship disegala bidang,
karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya sumber daya alam maka sudah selayaknya
pemuda berinovasi terhadap kekayaan tersebut, jangan sampai menjadi pemuda yang konsumtif
belaka.

Selain pilar diatas, maka kebudayaan harus menjadi bagian dalam misi pemuda berkarya, yang
menjadi penting adalah pemuda harus menunjukkan identitas bangsa melalui kebudayaan bangsa
Indonesia. Budaya bangsa adalah karakter bangsa, maka pemuda yang berbudaya suatu bangsa,
maka dapat memiliki karakter suatu bangsa tersebut. Bartelemus (1999) mengatakan tanpa
adanya bingkai nilai sosial-budaya yang sehat dan kuat, keinginan menjadikan bangsa memiliki
keberlanjutan adalah impian seorang paranonia. Bahkan Socrates mengatakan Gejala kematian
bangsa, identik dengan memudarnya atau tereliminasinya budaya bangsa itu sendiri.

Peran pemuda dalam tiga pilar inilah yang diharapkan pemuda sebagai Agent of Change, yaitu
sebagai agen perubahan ke arah yang lebih baik, dan perubahan yang memberikan solusi bagi
bangsa bukan memberi masalah bangsa.
PERAN GENERASI MUDA BAGI BANGSANYA
Secara definitif seseorang dianggap pemuda jika dari sisi usia adalah dalam bentangan usia 10-
24 tahun. Di sisi lain, seseorang bisa saja dianggap muda jika yang bersangkutan memiliki
semangat sebagaimana kaum muda. Bisa jadi usianya tua kira-kira 40 tahunan akan tetapi masih
berjiwa muda.

Generasi muda adalah the leader of tomorrow. Makanya di tangan kaum mudalah nasib sebuah
bangsa dipertaruhkan. Jika kaum mudanya memiliki semangat dan kemampuan untuk
membangun bangsa dan negaranya, maka sesungguhnya semuanya itu akan kembali kepadanya.
Hasil pembangunan dalam aspek apapun sebenarnya adalah untuk kepentingan dirinya dan
masyarakatnya.

Para generasi pendahulu telah menghasilkan karya besar bagi bangsa ini. Kemerdekaan bangsa
merupakan karya monumental yang luar biasa yang dihasilkan oleh para founding fathers negeri
ini, yang tidak lain adalah para pemuda. Kemerdekaan bangsa ini bukan dihasilkan melalui
warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat dan
aktivitas, retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu.

Peran pemuda dalam sejarah negara dan bangsa Indonesia pertama kali dapat dilihat dari
kebangkitan bangsa tahun 1908 atau tepatnya ketika berdiri Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908.
Melalui proses kebangkitan bangsa ini, maka para pemuda telah menggelorakan semangat agar
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak terserak-serak dalam arti wilayah, suku, ras, agama
dan sebagainya akan tetapi telah memiliki kesadaran berorganisasi sebagai persyaratan untuk
kebangkitan nasional. Mereka dikenal sebagai generasi 08.

Salah satu tonggak lain, persatuan dan kesatuan bangsa sebenarnya ketika terjadi Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini berarti bahwa pemuda telah memiliki peran yang
sangat signifikan dalam proses pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia. Melalui
Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia merupakan titik awal bagi
proses pembentukan negara bangsa yang kemudian dikenal sebagai negara dan bangsa Indonesia.
Kongres para pemuda di tahun tersebut tentunya tidak bisa dibayangkan seperti rapat umum di
zaman sekarang. Rapat Umum para pemuda kala itu tentu berada di bawah bayang-bayang
kekuasaan kaum kolonialis, sehingga akan terdapat banyak kesulitan yang dihadapi. Meskipun
begitu, para pemuda dengan sangat antusias dan semangat akhirnya dapat mencetuskan gagasan
mengenai Indonesia pasca penjajahan, Indonesia merdeka. Mereka inilah yang kemudian disebut
sebagai generasi tahun 28.

Generasi muda kemudian juga berhasil menorehkan tinta emas bagi perjalanan bangsa ini ketika
di tahun 1945 kembali mereka merenda dan mengimplementasikan gagasan mengenai satu nusa,
satu bangsa dan satu bahasa dalam bentuk kemerdekaan bangsa, yang teks proklamasinya
dibacakan oleh Ir. Soekarno tepat jam 10 tanggal 17 Agustus 1945. Melalui proklamasi
kemerdekaan ini, maka bangsa Indonesia yang selama ini tidak memiliki kedaulatan yang
terfragmentasi dalam kerajaan-kerajaan, maka menyatu menjadi satu yaitu bangsa Indonesia.
Lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang sering dikumandangkan pada waktu upacara merupakan
simbol dan substansi dari menyatunya segenap elemen bangsa Indonesia. Mereka dikenal
sebagai generasi 45.

Ketika terjadi krisis kekuasaan akibat gerakan makar yang dilakukan oleh PKI di tahun 1966,
maka pemuda juga bangkit melakukan perlawanan. Para aktivis organisasi kemahasiswaan,
seperti GMNI, PMII, HMI, PMKRI, GMKI dan segenap elemen mahasiswa melakukan tiga
tuntutan rakyat (Tritura) yang sangat dikenang, yaitu: Bubarkan PKI, Bersihkan pemerintahan
dari unsur-unsur PKI dan Turunkan harga. Tritura ini menjadi salah satu power pressure bagi
pemerintahan Orde Lama untuk melakukan berbagai perubahan sehingga memunculkan Orde
Baru yang kemudian berkuasa dalam puluhan tahun. Mereka dikenal sebagai generasi 66.

Kekuasaan Orde Baru yang tiranic, gigantic and powerfull ternyata juga tidak mampu
menghadang kekuatan mahasiswa yang di tahun 1998 melakukan berbagai aksi untuk
menurunkan Jenderal Besar Soeharto dari panggung kekuasaan. Melalui gerakan people power
akhirnya kekuasaan otoriter Soeharto pun harus berakhir. Gerakan mahasiswa yang terjadi saat
itu sungguh sekali lagi membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk melakukan
perubahan sosial. Melalui gerakan mahasiswa tersebut maka muncullah Orde reformasi yang
berlangsung sekarang. Mereka dikenal sebagai generasi 98.

Mencermati terhadap gerakan para pemuda ini, maka kiranya tidak salah jika kemudian para
pemuda dapat menjadi agent of social change, baik dalam skala nasional maupun lokal. Gerakan
para pemuda dalam kiprahnya ini juga memberikan catatan bahwa ada siklus 20 tahunan, di
mana para pemuda memainkan peranan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara.

Wallahu alam bi al-shawab.

PERANAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA

Pepatah mengatakan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa


yang mengenal sejarahnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang selama tiga setengah abad hidup dalam cengkeraman
Belanda di tambah lagi hidup dalam penjajahan Jepang
selama tiga setengah tahun. Kemudian, kemerdekaan yang
kita raih adalah bukti nyata dari sebuah pengorbanan yang
sangat besar dari semua komponen bangsa. Pembangunan
Nasional dalam rangka mewujudkan bangsa yang adil, makmur
serta berdaulat dengan berlandaskan azas pancasila serta
UUD 1945 tidak akan pernah tercapai jika tidak di dukung
oleh semua rakyat Indonesia. Negara Kesatuan Republik
Indonesia menganut asas demokrasi yang bersumber kepada
nilai- nilai kehidupan yang berakar pada budaya bangsa
Indonesia. Perwujudan dari asas demokrasi itu diartikan
sebagai paham kedaulatan rakyat, yang bersumber kepada
nilai kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Demokrasi ini juga memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap nilai- nilai musyawarah yang mencerminkan
kesungguhan dan tekad dari bangsa Indonesia untuk berdiri
diatas kebenaran dan keadilan.
Nilai- nilai kesanggupan dan kerelaan untuk berkorban
dengan penuh keikhlasan dan kejujuran dalam mengisi
kemerdekaan demi kepentingan bangsa dan negara telah
digantikan oleh kerelaan berkorban hanya untuk mengisi
kesenangan dan kemakmuran pribadi pihak- pihak tertentu.
Terjadinya Kolusi Korupsi Nepotisme pada masa pemerintahan
Orde Baru merupakan bukti nyata pengingkaran terhadap
sikap keikhlasan dan kejujuran. Tidak hanya itu Indonesia
mengalami krisis multi dimensi yang demikian pelik, mulai
dari krisis moral, krisis ekonomi, krisis kepercayaan,
hingga krisis kepemimpinan. Tumbanganya pemerintahan Orde
Baru pada 21 Mei 1998 masih segar dalam ingatan kita bahwa
pemerintahan yang tidak bersih dan mengabaikan rasa
keadilan tidak akan mendapat dukungan dan kepercayaan dari
rakyat. Benarlah apa yang dikatakan pujangga Mesir Syauqy
Beyq : Suatu bangsa yang kokoh bertahan. Selama akhlak
mewarnai kehidupan.
Setiap orang pasti merindukan pemerintah yang bersih,
jujur, kuat, berani dan berwibawa. Harapan itu merupakan
amanat dari Pancasila dan UUD 1945 yang selalu mendambakan
pemerintahan yang memiliki moral kemanusiaan dengan
semangat kebangsaan. Disamping itu, peran pemuda dalam
mengisi kemerdekaan serta pembangunan nasional telah
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan bangsa.
Kepeloporan pemuda dalam pembangunan bangsa dan negara
harus dipertahankan sebagai generasi penerus yang memiliki
jiwa pejuang, perintis dan kepekaan terhadap social,
politik dan lingkungan. Hal ini dibarengi pula oleh sikap
mandiri, disiplin, dan memiliki sifat yang
bertanggungjawab, inovatif, ulet, tangguh, jujur, berani
dan rela berkorban dengan dilandasi oleh semangat cinta
tanah air.
Maka hasil dari sebuah refleksi dari kepemimpinan
pemerintah selama ini mengatakan generasi terdahulu belum
bisa menunjukan dirinya sebagai pemimpin. Dalam berbagai
kebijakan-kebijakannya pemerintah tidak pro rakyat.
Kenaikan harga BBM, kenaikan harga bahan-bahan pokok,
serta bahan-bahan baku lainnya adalah bukti dari dampak
kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Mereka masih
berpegang teguh pada aturan lama yang selalu memihak
kelompok berduit.
Kenyataan ini telah disadari oleh kaum muda Indonesia.
Kesadaran yang diharapkan mendorong segenap kaum muda
untuk segera mempersiapkan dan merancang prosesi
pergantian generasi. Karena pada hakikatnya kita
membutuhkan wajah-wajah baru. Sehingga muka lama yang
hampir usang itu bisa tergantikan dengan muka baru yang
lebih muda serta juga memiliki cita-cita dan semangat
baru.
Indonesia membutuhkan pemimpin dari kaum muda yang mampu
merepresentasikan wajah baru kepemimpinan bangsa. Ini
bukan tanpa alasan, karena kaum muda dapat dipastikan
hanya memiliki masa depan dan nyaris tidak memiliki masa
lalu. Dan ini sesuai dengan kebutuhan Indonesia kini dan
ke depannya yang perlu mulai belajar melihat ke depan, dan
tidak lagi berasyik-masyuk dengan tabiat yang suka melihat
ke belakang. Kita harus segera maju ke kepan dan bukan
berjalan ke masa lalu. Dan secara filosofisnya, masa depan
itu adalah milik kaum muda. Mereka lebih steril dari
berbagai penyimpangan orde yang telah lalu. Mereka tidak
memiliki dendam masa lalu dengan lawan politiknya. Mereka
tidak memiliki kekelaman masa lalu. Mereka juga tidak
memiliki trauma masa lalu yang sangat mungkin akan
membayang-bayangi jika nanti ditakdirkan memimpin. Lebih
dari itu, kaum muda paling memiliki masa depan yang bisa
mereka tatap dengan ketajaman dan kecemerlangan visi serta
memperjuangkannya dengan keberanian dan energi yang lebih
baru.
Dalam perjalanan zaman, sejarah baru selalu ditandai
dengan lahirnya generasi baru. Dalam kancah sejarah,
generasi baru yang mengukir sejarah baru itu adalah dari
kalangan kaum muda. Perputaran sejarah juga telah
membuktikan bahwa setiap generasi itu ada umurnya. Dengan
demikian, nama-nama yang muncul sekarang sebagai calon
pemimpin yang sebenarnya adalah satu generasi, juga ada
umurnya.
Inilah peluang yang mesti dijemput oleh kaum muda saat
ini. Sebuah peluang untuk mempertemukan berakhirnya umur
generasi itu dengan muara dari gerakan kaum muda untuk
menyambut pergantian generasi dan menjaga perputaran
sejarah dengan ukiran-ukiran prestasi baru. Maka,
harapannya adalah bagaimana kaum muda tidak membiarkan
begitu saja sejarah melakukan pergantian generasi itu
tanpa kaum muda menjadi subjek di dalamnya.
MENGENAL SEPTINUS GEORGE SAA (Penemu Rumus
Penghitung Hambatan antara Dua Titik
Rangkaian Resistor).
Pada pertengahan April 2004, media-media massa di Indonesia tiba-tiba santer
memberitakan tentang Septinus George Saa. Pemuda ini telah memenangi lomba First
Step to Noble Prize in Physics. Ini adalah lomba bergengsi bagi siswa sekolah menengah
seantero jagad selain Olimpiade Fisika.

Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya
melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika. Hasil penelitian tersebut
kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri Internasional di Polandia. Sementara
dalam Olimpiade Fisika para peserta diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam
waktu yang sudah ditentukan. Pada kompetisi First Step to Nobel Prize in Physics hasil
riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.

Oge, demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua
titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula
hitungan yang ia tuangkan dalam papernya Infinite Triangle and Hexagonal Lattice
Networks of Identical Resistor itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk
ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya
membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini
menggondol emas.

Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir lomba itu dinilai orisinil,
kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya Profesor Yohanes Surya
mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula.

Kemenangan Oge mengikuti jejak para genius Indonesia sebelumnya. Lima tahun lalu I
Made Agus Wirawan dari Bali juga meraih emas pada kompetisi serupa.

Oge adalah putera asli Papua. Tanah kelahirannya, di ujung timur Indonesia, hingga kini
tak usai didera konflik. Lima orang presiden yang datang dan pergi selama 59 tahun
Indonesia merdeka tak pernah berhenti berjanji meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di bumi cendrawasih sana. Tapi janji hanya janji. Kemunculan Oge di panggung
internasional seperti mengingatkan bahwa ada mutiara-mutiara bersinar yang perlu
mendapat perhatian di kawasan timur Indonesia.

Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan
Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai.
Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce
Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang, menanam umbi-umbian.
Kelima anak Silas mewarisi keenceran otaknya. Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan
Menengah Atas tahun 1969, sebuah jenjang pendidikan yang tinggi bagi orang Papua kala
itu.
Apulena Saa, puteri sulung Silas, mengikuti jejak ayahnya. Ia adalah Sarjana Kehutanan
lulusan Universitas Cendrawasih. Franky Albert Saa, putera kedua, saat ini tengah
menempuh Program Magister Manajemen pada Universitas Cendrawasih. Yopi Saa,
putera ketiga, adalah mahasiswa kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.
Agustinus Saa, putera keempat, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua,
Manokwari. Sementara si Bungsu, Oge, meraih emas di panggung internasional. Semua
anak mama tidak manja dengan uang, sebab kami tidak punya uang, tutur mama Nelce
usai menemani puteranya menerima penghargaan dari Departemen Kehutanan, Selasa
(22/6/2004), di Departemen Kehutanan, Jakarta.

Ia bertutur, karena minimnya ekonomi keluarga, Oge sering tidak masuk sekolah ketika
SD hingga SMP. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 10 km. Oge harus naik taksi
(angkutan umum) dengan ongkos Rp 1.500 sekali jalan. Itu berarti Rp 3.000 pulang pergi.
Tidak bisa jajan. Untuk naik taksi saja mama sering tidak punya uang. Kalau Oge mau
makan harus pulang ke rumah, katanya.

Oge lahir 22 September 1986. Ia memang pintar sejak kecil. Tidak seperti Einstein yang
pernah tinggal kelas, Oge kecil selalu juara kelas sejak di bangku SD hingga SMP. Bahkan
ketika kelas IV SD gurunya menawari untuk ikut Ebtanas kelas VI. Namun, mamanya
melarang karena saat itu kakaknya, Agustinus Saa, juga duduk di kelas VI.

Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti karena uang. Pemuda yang dikenal sebagai
playmaker di lapangan basket ini adalah orang yang haus untuk belajar. Selalu ada jalan
untuk orang-orang yang haus seperti Oge. Prestasinya di bidang fisika bukan semata-mata
karena ia menggilai ilmu yang menurut sebagian anak muda rumit ini.

Saya tertarik fisika sejak SMP. Tidak ada yang khusus kenapa saya suka fisika karena
pada dasarnya saya suka belajar saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar
semuanya, katanya. Semua mata pelajaran di sekolah saya suka kecuali PPKN
(Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan). Pelajaran itu membosankan dan terlalu
banyak mencatat. Saya suka kimia, sejarah, geografi, matematika, apalagi bahasa
Indonesia. Saya selalu bagus nilai Bahasa Indonesia, tambahnya.

Selepas SD dan SMP yang kerap diwarnai bolos sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3
Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin
semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan
intelektualnya seperti menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad
maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika
dunia.

Kebrilianan otak mutiara hitam dari timur Indonesia ini mulai bersinar ketika pada 2001
ia menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah. Karena prestasinya itu, ia mendapat
beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun mamanya melarang putera
bungsunya berangkat ke Ibu Kota. Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan
kenekatan. Dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru memberitahu
niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat. Mamanya
menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah Papua.

Oge kemudian membuktikan bahwa kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis
sedih mamanya berganti menjadi tangis haru ketika November 2003 ia menduduki
peringkat delapan dari 60 perserta lomba matematika kuantum di India. Prestasinya
memuncak tahun ini dengan menggenggam emas hasil riset fisikanya. Mamanya pun tidak
pernah menangis lagi.

Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu
pengetahuan dan teknologi itu membuat hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap
kalau saya menjadi ilmuwan, saya dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman,
kata dia.

Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya.
Awal November 2006 ia harus mempresentasikan hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di
Polandia. Ia harus membuktikan bahwa risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor
itu adalah orisinil gagasannya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di
Polish Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan
jempolan.

Sepulang dari Polandia nanti, Oge sudah memutuskan untuk mengambil studi S1-nya di
Indonesia di Jurusan Fisika Universitas Pelita Harapan. Meski sejumlah tawaran bantuan
terus mengalir kepadanya untuk melanjutkan studi di luar negeri, di antaranya dari
Group Bakrie dan Freeport, Oge merasa belum siap untuk meninggalkan tanah air.
Nantilah, untuk S2 dan S3 saya ke luar negeri. Kalau sekarang saya belajar di Amerika,
saya belum siap. Saya harus belajar lagi bahasa. Selain itu, fisika itu kan luas. Ada banyak
yang harus saya pelajari. Harus ada orang yang betul-betul mendampingi saya, ujar dia.

Ya, Oge mengaku masih membutuhkan Yohanes Surya. Ia masih membutuhkan tangan
dingin guru sekaligus sosok yang dikaguminya itu mengasah otaknya. Dia (Yohanes
Surya) orangnya beriman. Dia ilmuwan tapi tidak atheis. Dia sangat membantu saya,
kata Oge tentang gurunya itu.

Sumber: Harian Kompas,

ago Matematika Septinus George Saa setelah Lulus Kuliah


di Amerika
Jumat, 28 Mei 2010 | 07:22 WIB 462 Kali Dibaca
OTAK ENCER: Septinus
George Saa, penerima Share on facebook
penghargaan First Step to Share on twitter
Nobel Prize in Physics Share on google
pada 2004, kini sudah Share on myspace
pulang ke Indonesia More Sharing
setelah kuliah lima tahun
Services
di Amerika. (FOTO
AGUNG P.I./JPNN)

Nama Septinus George Saa meroket pada 2004. Saat usianya 18 tahun, dia
menyabet penghargaan Firts Step to Nobel Prize in Physics 2004. Penghargaan Email Berita
itu mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Kini, dia telah lulus
kuliah di Amerika. Print Berita

Laporan Agung P.I., JAKARTA


PDF Berita
KETIKA ditemui di kompleks studio Trans TV di Jakarta, Rabu (26/5)
malam lalu, Septinus George Saa tampak lelah. Pria itu memang baru saja
digilir beberapa studio televisi. Dalam satu minggu ini, dua stasiun TV mengundang dia.
Yakni, Global TV dalam acara talkshow Rossy dan Trans 7 di acara Bukan Empat Mata. Capek
sih, tetapi menyenangkan, katanya.

Penampilan George sudah berbeda dibanding saat berusia belasan tahun dahulu. Dia lebih
gemuk dan cool. Penampilannya juga seperti eksekutif muda, berkemeja lengan panjang dan
celana licin. George kini mirip rapper asal Kanada, Aubrey Graham (also known as) Drake, yang
populer dengan lagu Forever.

Ah, enggak juga. Waktu kuliah di Amerika dahulu malah ada yang mengira saya berasal dari
Karibia dan Brazil. Tidak ada yang mengira dari Indonesia, katanya lantas terkekeh.

George kini memang lebih klimis dan trendi. Maklum, pria murah senyum itu kini bekerja di
sebuah perusahaan migas asing yang beroperasi di Teluk Bintuni, Papua Barat, Papua. Aku
menikmati pekerjaanku, katanya lantas membisikkan gaji dolar yang dia terima tiap tiga
minggu.

Kini dia juga enggan dipanggil Oge, nama kecilnya, yang populer saat masih tinggal di
Kotaraja, Jayapura. George saja lah. Oge itu panggilan kecil saya, ujarnya.

Penampilannya yang modis itu sempat menjadi sasaran kelakar Rosiana Silalahi dalam talk
show Rossy. Ini kalau kita ketemu di jalanan New York, enggak tahu kalau dia orang
Indonesia. Orang menyangka dia rapper yang kesasar, kata Rosi (panggilan Rosiana) lantas
tertawa. George pun membalas. Yeah, wazzup dude, katanya.

Nasib Georga memang mujur. Pada 2004, dia mendapat First Step to Nobel Prize in Physics
setelah mengikuti lomba fisika internasional itu di Polandia. Dalam kompetisi yang diikuti
pelajar tingkat sekolah menengah di seluruh dunia itu, George menjagokan tesis berjudul Infinite
Triangle and Hexagonal Latice Network of Identical. Dia menemukan rumus yang diberi
namanya sendiri, George Saa Formula (Radar Lampung, 21 Mei 2004). Tesis itu merupakan
hasil risetnya selama setahun. Dia menyisihkan ratusan peserta dari 73 negara setelah melalui
penjurian yang sangat ketat.

First Step to Nobel Prize in Physics adalah kompetisi bergengsi bagi pelajar sekolah tingkat
menengah dari seluruh dunia. Waktu itu, dewan juri kompetisi yang telah berlangsung sejak
1993 tersebut terdiri 30 fisikawan yang berasal dari 25 negara lebih.

Seusai menerima penghargaan itu, George diganjar banyak fasilitas. Menteri Pendidikan saat
itu, Malik Fajar, meminta George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes.
Kampus tempat dia kuliah juga diwajibkan memberi fasilitas belajar.

George sempat bingung memilih kampus sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute
Rizal Mallarangeng mendatangi dia. Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie, kata pria
kelahiran 22 September 1986 itu.

Freedom Institute menawari George kuliah di luar negeri. Negara mana pun yang dia pilih
akan dikabulkan. Mau di benua Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George.
Beasiswa itu tak hanya uang kuliah, tetapi juga uang saku dan biaya hidup.

Pria penghobi basket ini sempat bingung memilih negara. Rizal Mallarangeng mengusulkan agar
dia memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama itu bagus untuk belajar dan
melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke Jurusan Aerospace Engineering di Florida
Institute of Technology. Kampus yang berada di pesisir timur Amerika di Brevard County.
Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA
(National Aeronautics and Space Administration).

Di Jurusan Aerospace Engineering alias Teknik Dirgantara itu, George mempelajari semua hal
tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga
mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni Rocket Science. Saking sulitnya,
orang Amerika sering bilang, you dont need rocket science to figure it out (Anda tidak perlu
ilmu roket untuk mengetahuinya), katanya lantas terkekeh. Dari 200-an mahasiswa seangkatan,
hanya 40 orang yang lulus.

George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat,
aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.

Ada alasan khusus kenapa dia suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi Presiden Ke-
3 Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal tersebut semula
ingin jadi pilot. Namun karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya.
Kalau enggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Paling tidak,
memahami teknologi pesawat terbang, katanya.
Tahun pertama di Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris.
Pernah, dia tertahan satu jam di bagian imigrasi. Saya hanya duduk dan diam saja selama satu
jam gara-gara tidak bisa bahasa Inggris, tuturnya.

Karena itu, tahun pertama George tak langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa
Inggris, English Language Service di Cleveland, negara bagian Ohio, Amerika Serikat. Selama
setahun, dia ngebut belajar bahasa. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-
materi bahasa Inggris. Saya mempelajari lagi grammar dan kosa kata, kata anak bungsu
pasangan Silas Saa dan Nelly Wafom itu.

Belajar bahasa sudah. Kendala lain mulai muncul. Yakni, pergaulan. George susah bergaul
dengan teman-teman kampus. Biasanya, setiap break makan siang, dia duduk sendiri di kantin
kampus. Kalau tidak diajak bicara, dia tak menyahut. Kondisi itu dia alami selama kurang lebih
dua tahun. Saya bingung. Pergaulan saya di Papua dahulu jelas berbeda dengan anak-anak
kampus di Amerika, katanya.

George mencoba mendekati dengan cara lain. Yakni, dengan bermain basket. Tiap anak-anak
kampus main basket, dia tak pernah absen. Apalagi, George cukup lihai bermain, sebagai
forward maupun playmaker. Saya juga bisa three points, katanya.

Cara itu terbukti manjur. Banyak yang mendekat dan mengajak George berteman. Selain itu,
George juga kerap menggarap PR (pekerjaan rumah) teman-teman kampusnya. Apalagi, mereka
kebanyakan lemah di matematika. Lama kelamaan, posisi George mulai diperhitungkan di antara
teman-temannya. Dia mulai punya massa.

Saya bilang dalam hati, oke saya enggak pintar ngomong bahasa Inggris, tetapi saya yang
jadi juragan mereka. Mereka kalau mau mengerjakan matematika pasti larinya ke saya, kata
George lantas tertawa lepas.

Tahun ketiga adalah tahun yang paling enak bagi George. Dia sudah punya banyak teman.
Bahkan, tiap dua bulan sekali, anak-anak kampus ramai-ramai menyewa mobil untuk jalan-jalan
ke Pantai Miami. Jarak Miami dan asrama mahasiswa George memang tak terlalu jauh. Cukup
tiga jam perjalanan darat, katanya.

George lulus pada akhir 2009. Kini dia bekerja di perusahaan internasional yang bergerak di
bidang minyak dan gas sembari bantu-bantu di lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom
Institute. Tiga minggu ini aku di Jakarta. Nanti ke laut lagi, katanya.

Kok tidak di perusahaan pesawat terbang? George sebenarnya sangat berharap bekerja di
industri pesawat terbang. Namun, peluangnya baru di perusahaan migas asal Inggris tersebut.
Dia di bagian rotating engineering, yakni memproses gas alam agar bisa dieksplorasi. Gas alam
itu dibekukan dengan propane agar menjadi cair. Teknologinya hampir sama seperti teknologi
pemrosesan bahan bakar pesawat terbang, katanya.
George ingin melanjutkan kuliah di Norwegia. Sebab, di negara Eropa itu, teknologi
pengolahan migas cukup maju. Sekarang nabung dahulu, biar bisa melanjutkan sampai Ph.D.,
katanya. Semoga George. (jpnn/niz)

25342 com_content

Septinus George Saa, Mutiara Hitam dari Papua


GENERASI HIBRIDA TELAH LAHIR (1)

PAGI ITU di Warsawa menjelang akhir tahun 2009 saya dikejutkan dengan dering telpon
berkali-kali. Bunyi dering yang panjang dan tidak biasa membangunkan firasat saya itu telpon
penting.

Benar, di seberang berbicara dari Jakarta Dr. Dino Patti Djalal yang penasehat politik luar negeri
Presiden RI. Sesama pegawai di Deplu atau kini Kemlu, kami memang pernah sama-sama di
Direktorat Jenderal Amerika, dan akrab.

Fakta bahwa beliau orang dekat Presiden, saya pun serius mendengarkan instruksi. Beliau
mengatakan, laporan di pers Indonesia ramai memberitakan tentang keberhasilan anak-anak kita
pada olimpiade sains di Polandia pada bulan April 2009 dan menjadi juara dunia.

Tolong mas Pohan buatkan catatan singkat dan lengkap tentang keberhasilan anak-anak kita itu.
Kehebatan anak-anak kita itu patut dicatat sebagai prestasi besar dan pantas dimasukkan ke
dalam buku yang sedang saya rancang, demikian Dino.

Intinya saya diminta menjadi kontributor dalam buku ketiga beliau, yang telah diterbitkan
dengan judul ENERGI POSITIF: Opini 100 Tokoh Indonesia di Era SBY (2009), dengan
editornya beliau sendiri.

Sejenak saya termangu, pasti saya bukanlah menjadi 100 tokoh pilihan karena memiliki prestasi
yang hebat. Tetapi mereka, anak-anak kita yang menjadi juara dunia di bidang sains itu, karena
mereka telah mengalahkan berbagai superpower di bidang keilmuan. Saya hanya saksi belaka.

Saya mengangkat tema generasi hibrida yang diam-diam telah lahir di sekeliling kita. Maklum,
dalam berbagai kompetisi keilmuan tingkat dunia anak-anak kita selalu memenangkan medali
emas. Hanya, kemenangan menjadi juara dunia di Polandia itu patut dicatat, karena untuk
pertama kalinya. Dan tentu harapan untuk seterusnya anak-anak Indonesia akan membukukan
berbagai prestasi yang membuka mata dunia.
Orang-orang Eropa dan Amerika memang kagum pada sumberdaya manusia kita. Dikatakan,
kita bangsa yang berusia muda. Dengan rating lebih dari 60 persen berusia muda (berusia 1-20
tahun), Indonesia memiliki tenaga kerja yang produktif yang mendukung kemajuan ekonomi.

Berbeda misalnya jika suatu negara, seperti di Eropa atau di China dan Jepang dengan komposisi
penduduk lebih banyak berusia tua (senior), maka lebih banyak dana diperlukan untuk
pemeliharaan kesehatan dan berbagai fasilitas lainnya. Di sisi lain, mereka berada dalam posisi
menikmati masa tua dan kurang bersemangat untuk mengisi sector produksi.

Sang Juara

SAYA mencatat baik pada Rabu malam, 29 April tahun 2009, di Wisma Duta KBRI Warsawa.
Anak-anak pelajar yang baru saja menjulangkan nama Indonesia di kalangan elit sains dunia
saya undang untuk syukuran bersama masyarakat Indonesia di Polandia.

Mereka adalah ilmuwan remaja kita yang memenangkan perolehan medali emas terbanyak pada
International Conference of Young Scientists (ICYS) ke-16 yang berlangsung di Pszczyna,
Polandia pada akhir pekan sebelumnya, mengalahkan raksasa sains seperti Jerman, Belanda, AS,
Rusia, Hongaria, Polandia, Brazil, bahkanTurki.

Selama 4 hari, 24-28 April 2009, 12 siswa SMP dan SMA dari Surabaya, Tangerang, Magelang
dan Jakarta bertarung mempertahankan 10 hasil penelitian mereka di bidang fisika, matematika,
informatika, dan lingkungan hidup.

Indonesia berhasil menggondol medali terbanyak 6 emas, 1 medali perak, 3 medali perunggu,
unggul jauh dari Jerman (3,4,2), Belanda (3,1,2), Amerika Serikat (3,0,0), Rusia (2,3,3),
Hongaria (2,2,2), Polandia (2,2,1) Belarus (1,1,0), Georgia (0,3,2), Ukraina (0,1,2), Ceko (0,0,2),
dan Kroasia (0,0,1). Peserta lainnya Turki dan Brazil pulang dengan tangan hampa.

Hasil itu menjadi prestasi terbesar yang pernah diraih oleh Indonesia. 3 medali emas didapat dari
penelitian lingkungan hidup yang disumbangkan oleh pasangan Jessica Karli dan Yosephine
Livia Pratiknyo, pasangan Gabriella Alicia Kosasih dan Teresa Maria Karina, serta pasangan
Vincentius Gunawan dan Fernanda Novelia. 2 medali emas dari penelitian fisika sumbangan
pasangan Idelia Chandra dan Christopher Alexander Sanjaya, serta Guinandra Lutfan
Jatikusumo, dan 1 emas dari ilmu komputer sumbangan Nugra Akbari.
Sebuah medali perak bidang lingkungan hidup disumbangkan oleh Dwiky Rendra Graha
Subekti, sedangkan dari 3 medali perunggu 2 diantaranya dari bidang lingkungan hidup yang
diraih oleh pasangan Lydia Felita Limbri dan Allen Michelle Wihono, serta pasangan Melissa
Nadia Natasha dan Terrenz Kelly Tjong, dan satu medali perunggu diperoleh dari bidang
matematika oleh pasangan I Made Rayo Putra Indrawan dan Andika Setia Budi.

Kemenangan itu lebih memantapkan rasa percaya diri Indonesia yang dipilih menjadi tuan rumah
dalam penyelenggaraan ICYS ke-17 berikutnya pada bulan April 2010. Indonesia akan menjadi
negara Asia yang pertama dipercaya menjadi tuan rumah sejak ICYS diselenggarakan pada tahun
1994.

Maka, Indonesia tidak saja dikenal dunia memiliki angkatan kerja berusia muda, tetapi juga
pintar!

ICYS adalah lomba presentasi karya ilmiah remaja bergengsi tingkat dunia di bidang penelitian
ilmu fisika, matematika, ilmu komputer, dan ekologi yang diselenggarakan setiap tahunnya
mulai 1994. Pertemuan tahunan ilmuwan remaja pada tingkat dunia itu dimaksudkan untuk
menggali potensi peneliti muda yang kelak dapat berperan dalam penemuan dan pengembangan
keilmuan untuk meningkatkan kualitas hidup seluruh umat manusia di dunia.

ICYS berdiri pada tahun 1994 diprakarsai oleh Eotvos Lorand University, Budapest Hungaria,
dan Belarussian State University, Minsk, Belarus. Indonesia yang bersama India dan Jepang
mewakili Asia di ICYS, mulai mengirimkan delegasi untuk pertandingan ilmiah tersebut mulai
tahun 2005. Prof. Yohanes Surya, Ph.D ditunjuk menjadi representatif ICYS untuk Indonesia
sejak tahun 2004.

Berbicaralah Kepada Dunia

TIDAKLAH berlebihan untuk menyatakan era kebangkitan nasional telah memasuki tahap baru.
Partisipasi siswa-siswa Indonesia dalam berbagai kompetisi sains tingkat dunia, sebenarnya baru
diawali pada tahun 1993.

Setelah bekerja keras selama 6 tahun, tepatnya pada tahun 1999 kita baru mulai mendulang
medali emas, untuk pertama kalinya, ketika I Made Agus Wirawan, siswa SMAN 2 Bangli Bali,
di Padova Italia.

Selanjutnya, 3 medali emas berikutnya diperoleh dalam tahun 2002 pada kompetisi di Bali
kontribusi dari Agus Peter Sahanggamu (SMAN 8 Jakarta), Widagdo Setiawan (SMA 1
Denpasar) dan Fajar Ardian (SMA Insan Cendekia Serpong), serta 2 medali emas sumbangan
Widagdo Setiawan (SMA 1 Denpasar) untuk kedua kalinya pada tahun 2003 di Taiwan, dan oleh
Yudistira Virgus di Pohang, Korea Selatan, dalam tahun 2004.

Dalam kompetisi ICYS, Indonesia pertama kali mengikuti lomba ini pada ICYS ke-12 pada
tahun 2005 di kota Katowice, Polandia, dengan menampilkan penelitian di bidang Fisika yang
berjudul "The Physics of Badminton" karya Dhina Pramita Susanti (SMAN 1 Semarang)
bersama Chrisanthy Rebecca Surya (SMA Dian Harapan Tangerang) yang berhasil memperoleh
satu medali perunggu.

Penelitian bidang Fisika lainnya "Chaos in The Experimental Problem of The IPHO 35", karya
pasangan Anneke Nelce Bowaire (SMAN 1 Serui, Papua) bersama Diatra Zulaika Husodo (SMA
Al Izhar Pondok Labu, Jakarta.) yang memperoleh Special Award.

Dalam kompetisi ICYS ke-13 tahun 2006 di Stuttgart, Jerman, Tim Indonesia mengirimkan
enam peserta (lima bidang Fisika dan satu bidang Ekologi) berhasil meraih dua perunggu dalam
bidang penelitian fisika. Pada penyelenggaraan ICYS ke-13 ini untuk pertama kalinya Indonesia
mendapat kehormatan menjadi juri bidang fisika, yakni Monika Raharti, M.Si. yang juga sebagai
team leader memimpin kontingen Indonesia di Pszczyna.

Sebuah medali perak dalam bidang Fisika berhasil diraih oleh Tim Indonesia pada ICYS ke- 14
pada tahun 2007 yang diadakan di kota Saint-Petersburg, Rusia.

Prestasi Tim Indonesia meningkat terus, pada tahun 2008 ICYS ke-15 yang diselenggarakan di
kota Chernivtsky, Ukraina, Tim Indonesia meraih satu perak di bidang Ekologi, satu perunggu di
bidang Ekologi, dua perunggu di bidang Fisika, empat Special Award yaitu untuk Best
Performance bidang Fisika, untuk Teaching in Physics bidang Fisika, untuk Most Creative
Research bidang Computer Science dan untuk Best Research bidang Matematika.

Juara Dunia!

PENYELENGGARAAN ICYS ke-16 di Pszczyna mendapat tempat yang paling istimewa dalam
sejarah keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kompetisi sains dunia pada tingkat pelajar.
Berdasar catatan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, dengan demikian Indonesia telah mengoleksi
sekitar 48 medali dari berbagai jenis kategori.

Malam syukuran di Wisma Duta juga menjadi catatan khusus bagi Andrzej Rosanoff, 70 tahun,
seorang pegawai lokal berkebangsaan Polandia yang telah bekerja di KBRI dalam kurun waktu
kurang lebih 45 tahun, hadir pada malam itu. Rosanoff tidak mampu menahan diri, mendatangi
saya. Dalam bahasa Inggeris dia menyatakan dirinya terkesima menyaksikan perubahan besar
yang belum pernah dilihatnya selama dia berada di lingkungan Indonesia, sejak mulai tahun
1960-an.

Selama saya bekerja di KBRI saya bertemu dengan banyak orang Indonesia, tetapi anak-anak
ini sangat mengesankan. Mereka cerdas, santun, percaya diri, mahir berbahasa Inggeris, tetapi
tetap ceria seperti anak-anak lainnya bercengkerama dengan sesama. Saya percaya dan optimis
masa kejayaan Indonesia sudah diambang pintu. Dan, maaf jika saya mengatakan bahwa
generasi Anda berbeda dengan anak-anak itu, ujarnya.

Menurut Rosanoff, anak-anak itu luar biasa mampu mengalahkan siswa-siswa dari negara-negara
superpower di bidang sains yang telah memenangkan ratusan hadiah Nobel. Yang lebih
mengagumkan Rosanoff adalah bahwa anak-anak Juara Dunia kita itu bukanlah bersekolah di
Amerika atau di negara-negara Eropa, tetapi di Indonesia. Dan, mereka adalah anak-anak daerah
dari berbagai provinsi!

Ini mencerminkan dua hal, pertama siswa-siswa cemerlang adalah produk dari sistem
pendidikan yang sudah baik. Kedua, memang pada dasarnya anak-anak Indonesia sangat
potensial di bidang sains, ujarnya.

Dia mengaku miris dan berbahagia karena hadir dalam malam bersejarah itu. Sebagai orang
asing yang telah menjadikan Indonesia sebagai bagian dirinya, sukma Rosanoff, sama seperti
kita semua, bergetar.

Bangsa Unggul

KARENA itu, acara syukuran malam itu merupakan pernyataan kegembiraan dan kebahagiaan
masyarakat Indonesia di Polandia, seperti juga masyarakat di tanah air.

Saya dan masyarakat Indonesia di Polandia malam itu mengucap syukur pada akhirnya anak-
anak Indonesia berhasil mengerek bendera Merah Putih di tempat tertinggi. Team leader Ibu
Monika Raharti, yang ditugasi Prof Yohanes Surya untuk memimpin delegasi ke Polandia, tidak
urung berlinang-linang bahagia. Padahal, katanya siswa-siswa kita berlatih sendiri, dengan
fasilitas sekolah yang minim, tanpa laboratorium yang canggih seperti dimiliki Jepang, Jerman,
bahkan Amerika Serikat. Dan, tim dengan biaya minim dan dukungan orangtua dan sponsor
terbatas, para siswa berangkat bermodalkan semangat Merah Putih.

Dulu menjadi pertanyaan saya ketika memulai bekerja untuk tim, mampukah anak-anak didik
kita bersaing dengan dunia. Hari ini terbukti bahwa kita bisa!", katanya.

Dan ibu-ibu dan masyarakat Indonesia di Polandia tidak bosan-bosannya menciumi anak-anak
yang polos itu, dan bersama mengajak berfoto dengan para Juara Dunia!
Bangsa unggul telah berada di sekitar kita!

Saya ingat betul, pada hari Jumat, 24 April, kami baru bisa berangkat menuju kota Pszczyna, di
selatan Polandia, yang jaraknya sekitar 350 kilometer dari Warsawa agak siang. Saya sangat
khawatir terlambat untuk menghadiri acara pembukaan memenuhi undangan panitia. Ketika
kami terjebak kemacetan di kota, maklumlah pada akhir pekan, dan tertahan pula sepanjang 50
kilometer di dipinggir kota, kecemasan saya memuncak.

Saya bilang kepada isteri yang setia menemani perjalanan, kehadiran kita penting untuk
memberikan semangat juang bagi anak-anak. Maka, mobil van Mercy Viano milik KBRI pun
dikebut dengan kecepatan 180 km/jam, hampir maksimal! Setelah lolos dari jepitan kemacetan,
Alhamdulillah dalam 2 setengah jam kami pun tiba di Istana Pszczyna. Anak-anak sudah tiba 5
menit lebih awal, dan mulai masuk ke aula tempat acara pembukaan. Kami tiba tepat waktu.

Pembukaan ICYS) ke-16 dilakukan di Museum Istana Pszczyna, bekas Istana bergaya gothic
yang dibangun pada abad ke-13, direnovasi berkali-kali: bergaya renaissance di abad ke-17,
bergaya barok pada abad ke-18 dan klassik pada abad ke-19, sehingga tampak anggun.

Acara pembukaan dihadiri oleh Presiden ICYS dan pejabat pemerintahan Polandia, pada dewan
juri dan seluruh peserta dari berbagai penjuru dunia. Tetapi, ternyata hanya saya sendiri dari
undangan dubes negara peserta yang hadir, membuat kontingen lainnya iri karena mereka hanya
didampingi oleh ketua tim masing-masing. Dan, saya pun diundang berpidato.

Saya mengenalkan delegasi Indonesia, dan menjelaskan bahwa kehadiran Indonesia dalam
kompetisi ICYS di Polandia adalah untuk kedua kalinya di Polandia. Pada tahun 2005 yang lalu
Delegasi Indonesia telah turut dalam pertandingan di Katowice. Saya mengharapkan, dengan tim
yang lebih siap Indonesia akan meningkatkan prestasinya dalam kompetisi kali ini.

Tidak lupa, saya juga mengambil kesempatan untuk mengundang bagi peneliti muda dari seluruh
dunia untuk ambil bagian dalam pertemuan ICYS ke-17 yang akan dilangsungkan di Bali pada
bulan April 2010. karena Indonesia terpilih menjadi tuan-rumah kompetisi berikutnya.

Sebelum kembali ke Warsawa, saya berpesan kepada kontingen Indonesia, agar para siswa
bertanding dengan percaya diri dan menajamkan kemampuan artikulasi dalam mempresentasikan
temuannya di depan juri internasional. Ini menjadi kunci keberhasilan, karena semua presentasi
dan tanya-jawab dilakukan dalam bahasa Inggeris.

Mulai malam itu sampai kompetisi berakhir tanggal 28 April di kota yang indah itu, anak-anak
Indonesia bertarung dengan gigih mempertahankan 10 makalah ilmiah mereka di depan juri
internasional. Dalam perjalanan kembali ke Warsawa, kami berdoa untuk keberhasilan putera-
puteri bangsa itu.

Saya merasa turut berbahagia, meskipun dengan kontribusi kecil sebagai pengawal generasi
hibrida saya telah menjadi bagian dari pekerjaan besar kita semua dalam mempersiapkan
mereka.

Pendidikan adalah pekerjaan besar mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus
mempersiapkan munculnya generasi hibrida, manusia-manusia unggul berikutnya. Anak-anak
kita itu telah memberikan inspirasi kepada teman-teman mereka jutaan anak Indonesia usia
sekolah lainnya.

Sebagai orangtua dari anak-anak yang juga bersekolah di Indonesia, saya menyadari betapa
pentingnya arti kemenangan itu untuk mereka sendiri, orangtua, guru dan teman-teman, dan
sekolah. Kemenangan itu memberi makna dan menumbuhkan rasa percaya diri, sekaligus
menginspirasi jutaan teman-teman mereka di tanah air untuk tidak menyia-nyiakan bakat yang
dimiliki.

Dalam acara syukuran di Wisma Duta, di depan Delegasi Indonesia dan masyarakat hadirin, saya
mengungkapkan perasaan saya.

Setua ini saya belum pernah menyumbang satu medali pun kepada Republik, kata saya. Jadi,
anak-anak kita ini manusia luar biasa jasanya kepada bangsa dan negara, kata saya ketika
mengawali sambutan.

Adalah suatu tradisi yang baik bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan
perhatian khusus kepada para siswa yang berhasil meraih medali emas dalam berbagai kompetisi
sains internasional. Kepada mereka Presiden telah menjanjikan untuk membiayai pendidikan
mereka sampai pada tingkat Ph D, baik di dalam maupun di luar negeri.

Saya mengekspresikan kebanggaan kami masyarakat Indonesia yang bermukim di luar negeri,
bahwa para anak-anak kita telah berbicara kepada dunia sains dalam bahasa yang terhormat.
Keberhasilan ini telah menempatkan Indonesia dalam peta sains dunia, dan bilamana prestasi ini
dipupuk terus dan ditingkatkan oleh para juara dunia ini, maka tidak lama lagi bangsa Indonesia
akan memperoleh Nobel di bidang sains, dan juga di bidang kesusasteraan, seni dan sebagainya.

Kita patut menghargai prestasi ini. Saya yakin, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan
masuk dalam jajaran negara penerima hadiah nobel, dan ini menjadi tugas dari anak-anak para
generasi muda yang telah direpresentasikan dengan baik oleh para pemenang ICYS 2009, ujar
saya.

Enam makalah tentang bidang lingkungan hidup adalah pilihan yang selaras dengan peranan
global Indonesia untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan. Indonesia telah dipercaya
PBB menjadi salah satu troika dalam mengatasi perubahan iklim global, kata saya bersemangat.

Saya juga membuat catatan khusus, bahwa medali emas juga diraih oleh Vincentius Gunawan
dan Fernanda Novelia yang notabene adalah pelajar pada tingkat SMP. Ini menunjukkan minat
keilmuan yang bahkan telah tumbuh pada tingkat pelajar SMP di tanah air juga telah mendapat
mendapat pengakuan dunia.

Tidak lupa, saya berpesan agar anak-anak jangan cepat berpuas diri dan terus bekerja keras guna
mempersiapkan diri dalam menghadapi kompetisi berikutnya yang akan diselenggarakan di Bali
pada tahun 2010.

Mewakili pimpinan rombongan, Ir Srisetiowati Seiful MBA, Director External Affairs the Surya
Institute, menyatakan syukur dan sukacita karena berkat dukungan dan doa masyarakat Indonesia
di Warsawa dan di tanah air para anak-didik dapat tampil luar biasa, sehingga menjadi juara
dunia.

Acara ramah-tamah diisi dengan berbagai makanan Indonesia yang disiapkan sesuai dengan
permintaan anak-anak setelah hampir satu minggu berada di Eropa. Di Pszczyina, isteri saya
telah berjanji kepada mereka untuk menyediakan makanan kegemaran mereka di Warsawa,
setelah pertandingan sebelum kembali ke tanah air: lontong sate, bakso, soto rawon, dan berbagai
jajanan pasar.

Mereka menari-nari, menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Para ibu-ibu rumahtangga di Warsawa


tidak henti-hentinya memeluk dan mencium mereka, bernyanyi bersama-sama sampai tengah
malam. Di Buku Tamu resmi, anak-anak kita itu menuliskan perasaan mereka dengan kata-kata
yang tulus, dihiasi pula dengan gambar-gambar lucu-lucu.

Saya fikir, observasi Pak Andrzej Rosanoff, staf lokal KBRI Warsawa itu benar. Mereka adalah
anak-anak bangsa, anak-anak kita sendiri yang menjadi representasi munculnya generasi baru,
hibrida baru, yang pintar, percaya diri, dan santun.

Ketika mereka diminta pimpinan rombongan mengenalkan diri, mereka semuanya berpidato
dalam bahasa Inggeris dengan lancar.

Dan, anak-anak ini rendah hati, dan dengan ceria menyanyikan lagu-lagu yang mengekspresikan
rasa cinta mendalam kepada bangsa yang sedang mengelu-elukan mereka di tanah; seakan
mereka berada dalam karnaval, kembali dengan kemenangan terhormat dari medan pertempuran
di kancah internasional.

Mereka baru saja berbicara kepada dunia, bahwa di belahan dunia sana ada sebuah bangsa
bernama Indonesia yang patut diperhitungkan! Mereka telah menjadi contoh bagi kita semua.
Tanpa mereka sadari, dalam usia dini mereka telah menjadi berbicara mewakili bangsanya
kepada dunia. Mereka telah membuat sejarah bagi negerinya.

Malam itu, Wisma Duta pun menjadi milik anak-anak kita itu. Mereka, dengan mengalungkan di
dada masing-masing medali yang diperoleh pada acara yang berlanjut sampai tengah malam itu,
menjadi tamu-tamu terhormat saya dan isteri.

Diterima Presiden

PESTA medali emas boleh berakhir, tetapi saya tetap memelihara komunikasi dengan anak-anak
jenius itu, sampai sekarang.

Maka, ketika kapten tim Indonesia, Guinandra Lutfan Jatikusumo, peraih medali emas dari
bidang fisika, bahwa dia dan teman-temannya para juara dunia dari ICYS 2009 itu telah diterima
dan berdialog dengan Presiden RI dan Ibu Ani Yudhoyono pada upacara peringatan Hari
Kebangkitan Nasional, tanggal 20 Mei 2009 yang lalu di Surabaya, saya terharu. Itu doa saya.

Kerjasama dengan team the Surya Institute dalam partisipasi Indonesia pada ICYS ke-16 di
Polandia ini yang menghantarkan saya bertemu langsung dengan Prof. Yohanes Surya dalam
suatu acara makan siang di Hotel Niko Jakarta. Bu Sri Setyowati sebagai motor juga hadir
bersama, sekaligus menyampaikan informasi mengenai rencana Olimpiade Astronomi di
Tolikara, Papua.

Cerita mengenai the spirit of Tolikara, akan saya muat dalam bagian ke-2 tulisan.

Jakarta, 8 Januari 2010


Posted by Haz Pohan at 11:25 PM

Anda mungkin juga menyukai