Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama
Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu
penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi
setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh
Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat
gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan
basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan


granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula
dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis
ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 2.
Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus
vertebrae.

Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya
memberikan hasil yang baik, namun pada kasus kasus tertentu diperlukan tindakan
operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun
setelah penderita menjalani tindakan operatif.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Vertebra

Gambar 1. Anatomi Vertebra.

Vertebra adalah tulang yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33
vertebra pada manusia, 7 ruas vertebra cervicalis, 12 ruas vertebra thoracalis, 5 ruas vertebra
lumbalis, 5 ruas vertebra sacralis yang membentuk os sacrum, dan 4 ruas vertebra coccygealis
yang membentuk os coccygeus.
Sebuah vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari corpus
vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh
dua pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh procesus articularis, procesus transversus,
dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut foramen vertebrale.
Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat medulla
spinalis. Di antara dua vertebra dapat ditemui celah yang disebut foramen intervertebrale. Dan
di antara satu corpus vertebra dengan corpus vertebra lainnya terdapat discus intervertebralis.

2
2.2 Spondilitis tuberkulosis
Spondilitis tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi oleh kuman Micobacterium
tuberculosis yang menyerang tulang belakang. Kuman ini menyerang terutama di daerah paru
yang penderitanya banyak sekali kita temui di Indonesia. Ternyata dalam perjalanannya,
kuman ini tidak hanya menyerang paru, tetapi juga diketahui menyerang tulang belakang.
Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia (kelumpuhan) terbanyak setelah trauma, dan
banyak dijumpai di Negara berkembang. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra
T8 L3 dan paling jarang pada vertebra C1 2.
Spondilitis tuberkulosa juga merupakan penyakit kronik dan lambat berkembang
dengan gejala yang telah berlangsung lama.

2.2.1 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine
tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita
HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi
obat.

Gambar 2 Organ Target Tuberculosis.

2.2.2 Patogenesis
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari
fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya,

3
fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer
di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus,
ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang memberikan
suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya
dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi
columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang
menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua
vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal tiga bentuk spondilitis :
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps
vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal
yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma.
Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian
anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya
pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum
longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang
(tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi

4
artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang
melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%.

Gambar 3. Bentuk Spondilitis Tuberkulosa.

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area
infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus
vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebra yang
berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung
melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang
dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang
jauh melalui abses paravertebral.
Terjadinya nekrosis perkejuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan
pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan
tuberculous sequestra, terutama di regio thorakal. Discus intervertebralis yang avaskular,
relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena
perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai
dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,
sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin
terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga
kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung saraf posterior
tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi
posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi, dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila

5
sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas.
Di regio thorakal, kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal di
area lumbal hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbal lordosis dimana sebagian besar
dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps, sedangkan di
bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena
sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular.
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio thorakal, tulang-tulang iga akan
menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan
kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami
osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya
korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkejuan, dan tulang nekrotik
serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah
ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh
gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu
dari tempat lesi aslinya.
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat
paha dibawah ligamentum inguinal. Di regio thorakal, ligamentum longitudinal menghambat
jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform
radioopak pada atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang
besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral
yang menyerupai sarang burung. Terkadang, abses thorakal dapat mencapai dinding dada
anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke
lateral menuju bagian tepi leher.
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien
dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi saraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada
tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi
granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural
granuloma, tuberculous arachnoiditis).
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal
dengan nama Potts paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah
hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula

6
spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi
pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi
berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.

2.2.3 Diagnosis
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.
Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari
bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi
tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik :kehilangan berat badan, keringat malam, demam
yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu)berdahak atau berdarah disertai nyeri
dada.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi
yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang
menjalar ke tangan. Lesi di thorakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan
intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke
bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi
nyeri, pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek,
karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disanggah
oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat
bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga
mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak
pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong
trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor
respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan
tetraparesis.
6. Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat

7
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau
kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada.
Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbal, abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di
atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis
dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut
dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan
tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa: kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),
skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada
kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan
pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas
dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik
dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung
kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri akut seperti
pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi
mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa
sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba
panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher
(di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di
sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif
dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

8
Perkusi :
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosessus spinosus vertebrae
yang terkena, sering tampak tenderness.

Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
b.
Tuberculin skin tes/ Mantoux test/ Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)
positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang
baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak
area berindurasi, kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan
selama 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus dengan
tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya
tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain).
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru- paru yang aktif).
d. Hapusan darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.

2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
o Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
o Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu
onset penyakit.
o Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus
vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.
o Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah
lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari
lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya).
Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya
stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih

9
tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan
korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang
melibatkan vertebra thorakal.
o Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.
Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami
peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi
(evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu
indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

Gambar 4. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis.

10
Gambar 5. Gambaran Foto Polos Spondilitis Tuberkulosis.

o CT Scan bermanfaat untuk memvisualisasi regio thorakal dan keterlibatan iga yang sulit
dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior seperti pedikel tampak
lebih baik dengan CT Scan.

Gambar 6. Gambaran CT Scan menunjukkan


penghancuran signifikan elemen posterior tulang.

o MRI dapat membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat


konservatif atau operatif, serta membantu menilai respon terapi.

11
A B

C
Gambar 7. MRI Spondilitis Tuberkulosis. A dan B gambaran potongan sagital dari vertebra thorakal,
menunjukkan gambar disk space loss dan kompresi vertebral dengan ekstensi jaringan lunak
paravertebral (panah). C menunjukkan abses paraspinal multiloculated besar.

12
2.2.4 Diagnosis Banding
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya sklerosis
atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik.
Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan
adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium.
3. Tumor/ penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma). Metastase dapat menyebabkan destruksi dan
kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang
diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk
yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak
adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian
anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

2.2.5 Tatalaksana
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit.
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis.
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :
A. Terapi Konservatif
1. Pemberian nutrisi yang bergizi.
2. Terapi antituberkulosa.
Pemberian antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus termasuk
tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara signifikan
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk
tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah dengan regimen isoniazid dan
rifamipicin selama 6-9 bulan. Pemberian antituberkulosis dilakukan pada penyakit yang
sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan
selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah
yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi
pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang

13
lama 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi,
sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh
akan dapat mengalami resistensi OAT. Obat antituberkulosa yang utama adalah isoniazid
(INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol
(EMB).
Pada pasien-pasien yang diberikan OAT harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

3. Istirahat tirah baring (resting)


Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame/
plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian OAT.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk mencegah pergerakan dan
mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat
berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium.
Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.

B. Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami
perbaikan dengan pemberian OAT saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien
yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan
neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi OAT dan
tirah baring dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling
efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan untuk mengevakuasi pus tuberkulosa,
mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang
belakang yang terlibat.

14
2.2.6 Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis
yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas,
meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi
ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial.

2.2.7 Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural
sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis
(contoh: Potts paraplegia-prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan
korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh: menigomyelitis-prognosa
buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada
tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau
karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di thorakal ke dalam pleura.

2.2.8 Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi
kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh
dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis
saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa
operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya
operasi dini.

15
BAB III

MODALITAS RADIOLOGI

3.1 Foto Thoracolumbal.

Pemeriksaan radiologis merupakan suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan
keterangan mengenai:
Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi
Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior
atau sudah mencapai kolumna posterior
Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi
diskus interverbralis
Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai
penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah
servikal berbentuk sarang burung (birds net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada
daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi
vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.

Gambar 3.1.1 Destruksi vertebra disertai kiphosis.

16
Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat
suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut
suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian
depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya
(korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.

Gambar 3.1.2 Gambaran Gibbus pada tulang belakang.

Dekplate korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk
kumparan (Spindle). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan
paling jarang pada vertebra C1-2.

Gambar 3.1.3 Seorang laki-laki dengan spondylitis tuberkulosa mengalami low back pain
(LBP) selama 5 bulan. Gambaran radiografi nteroposterior (A) dan lateral (B) menunjukkan
adanya destrukdi corpus vertebra lumbal I dan II dengan hilangnya discus intervertebralis.

17
Destruksi corpus vertebra terletak pada bagian anterior corpus, yang menyebabkan deformitas
khas berupa gibbus. Terdapat sklerosis reaktif yang merupakan ciri khas dari infeksi
tuberkulosa.

Gambar 3.1.4 Anak laki-laki berusia 5 tahun dengan infeksi tuberculosis pada vertebra
thoracalis. Gambaran radiografi lateral pada corpus vertebra thoracalis menunjukkan destruksi
total dari corpus vertebra thoracalis VI yang menyebabkan deformitas plana pada vertebra.
Diskus intervertebralis yang berdekatan tidak tervisualisasi dengan baik. Terdapat pula
destruksi dari corpus vertebra thoracalis VII bagian anterior dan posterior sehingga
menyebabkan deformitas gibbus.

Gambar 3.1.5 Seorang laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. A. gambaran
radiografi lateral dari vertebra lumbal menunjukkan erosi fokal (tanda panah) pada aspek
antero-superior dari corpus vertebra lumbal IV. Subtle erosion juga terdapat pada endplate
vertebra lumbal III antero-inferior. B. gambaran radiografi didapat 3 bulan sebelumnya
menunjukkan perubahan erosi pada corpus vertebra, sklerosis pada end plate vertebra,
hilangnya discus intervertebralis yang berdekatan, tampak suatu massa jaringan lunak pada
bagian anterior (tanda panah), dan ada pembentukan gibbus awal.

18
Gambar 3.1.6 Pria berusia 18 tahun dengan abses paraspinal tuberkulosa. Gambaran
radiografi thorax menunjukkan fusiform soft-tissue swelling (tanda panah) pada regio thorax
bawah yang menunjukkan adanya abses tuberkulosa paraspinal.

3.2 Pemeriksaaan CT-scan.


CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi lesi lebih
dini dibandingkan foto polos. Pada suatu penelitian, didapatkan 25% penderita memperlihatkan
gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI. CT scan secara efektif dapat melihat
kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan untuk memandu
prosedur biopsy.
Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar sehingga
vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur. CT scan dapat
menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan berakibat instabilitas tulang
belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan prosedur anterior strut grafting
mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan instrumentasi posterior.
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis,
kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam)
dengan abses soft-tissue (panah putih).13

19
Gambar 3.2.1 Pria berusia 42 tahun dengan infeksi tuberkulosa pada sacrum. Unenhanced CT
scan dari pelvis menunjukkan destruksi dari bagian anterior sacrum dan abses tuberkulosa luas
pada presacral (tanda panah putih). Terdapat pula sequestrum (tanda panah hitam).

Gambar 3.2.2 Pria berusia 45 tahun dengan tuberculosis yang melibatkan vertebra thoracalis.
A. Gambaran posterior dari whole-body CT scan menunjukkan peningkatan uptake
radionuclide pada vertebra thoracalis bagian tengah dan bawah. B. Axial single-photon
emission CT scan menunjukkan keterlibatan corpus vertebra dan meluas sampai bagian
posterior (tanda panah) yang tidak tampak pada foto polos.

20
Gambar 3.2.3 Laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. Pada CT scan dengan
kontras abdomen menunjuuka destruksi litik pada bagian anterior dari corpus vertebra lumal I
(tanda panah hitam) dan pembentukan abses pada paraspinal terdekat dan psoas kanan (tanda
panah putih).

Gambar 3.2.4 Laki-laki berusia 42 tahun dengan spondylitis tuberculosis. Unenhanced CT


scan dari spine menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus vertebra lumbal I. Abses
interosseosa meluas sampai ke bagian posterior (tanda panah), menyebabkan perluasan
minimal pada saccus thecal.

21
Gambar 3.2.5 Laki-laki 33 tahun dengan spinal tuberculosis. Gambar A, Terdapat
penyengatan kontras pada CT-scan abdomen dengan teknik bone window menunjukkan cloaca
(panah) di bagian anterolateral dari corpus vertebrae thorax XII. Gambar B, Gambaran CT-
scan beberapa sentimeter di bagian caudal dari gambar A menunjukkan abses besar pada
muskulus psoas kiri yang disebabkan oleh dekompresi spontan abses T12 intraosseous.
Gambar C, CT-scan yang melalui bagian bawah dada menunjukkan efusi pleura kiri yang besar
dan atelektasis lobus bawah kiri. Efusi ini disebabkan oleh perluasan cephalic dari rupture dan
abses paraspinal ke dalam rongga pleura kiri.

.
Gambar 3.2.6 Gambar 6, laki-laki usia 43 tahun dengan spinal tuberculosis. Penyengatan
kontras CT-scan abdomen menunjukkan destruksi litik dari bagian anterior corpus vertebrae
lumbal I (panah hitam) dan pembentukan abses di psoas kanan dan paraspinal. Gambar 7, laki-
laki 42 tahun dengan spondilitis tuberkulosa. CT-scan tanpa penyengatan spina menunjukkan
destruksi dan fragmentasi dari corpus vertebrae lumbal I. Terdapat perluasan posterior dari
abses intraosseus (panah) yang menghasilkan gangguan ringan pada saccus thecal.

3.3 Pemeriksaan MRI


Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar dan dalam spesifitas
terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik sehingga dapat mendeteksi lesi lebih
awal dan lebih menyeluruh.
Pada MRI akan ditemui penurunan intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran T1-
weighted dan peningkatan sinyal yang heterogen pada gambaran T2-weighted. Pada pemberian
kontras infeksi tuberkulosis memperlihatkan penyangatan inhomogen pada infiltrasi sumsum
tulang dengan tepi lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada pemberian kontras akan
memperlihatkan penyangatan perifer dengan nekrosis sentral. Keterlibatan diskus invertebralis
sebagian besar akan menampilkan gambran klasik diskitis berupa peningkatan singal pada
gambaran T2-weighted, penurunan sinyal pada gambaran T1-weighted dan menyangat setelah
pemberian kontras.
MRI menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat memperlihatkan
penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum longitudinal anterior dan posterior.
MRI dapat membedakan jaringan patologis yang mengakibatkan penekanan pada struktur
22
neurologis. Hal ini penting karena intervensi bedah dibutuhkan pada defisit neurologis yang
disebabkan penekanan oleh deformitas tulang berupa kifosis atau oleh konstriksi akibat fibrosis
di sekeliling kanalis neuralis.
Mehta mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal berdasarkan ekstensi lesi
yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi pembedahan.
Mengevaluasi infeksi diskus intervertebrata dan osteomielitis tulang belakang.
Menunjukkan adanya penekanan saraf.
Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-
Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-Scan
efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat digunakan
untuk memandu prosedur biopsy.

Gambar 3.3.1 Terdapat keterlibatan endplate anterior dan pelebaran diskus intervertebrae dan
corpus vertebrae posterior. Pemeriksaan MRI ini dapat menunjukkan pembentukan abses dan
metode terbaik untuk menunjukkan kompresi saraf tulang belakang dan akar saraf.

23
Gambar 3.3.2 Seorang laki-laki 41 tahun dengan spinal tuberculosis. Gambar A, MRI
potongan sagital T1-weighted enhanced menunjukkan peningkatan secara luas dalam corpus
vertebrae thorax VIII yang disebabkan infeksi tuberkulosa. Abses intraosseus dalam corpus
vertebrae thorax IX menunjukkan penebalan lingkar dari penyangatan. Terdapat penyangatan
dari abses epidural dan perluasan bagian cephalic dan caudal secara jelas tergambar dengan
penggunaan kontras. Gambar B, MRI potongan coronal T1 weighted (600/11) enhanced dari
spina thorak menunjukkan ketebalan lingkar dari penyangatan disekitar abses intraosseous.
Abses paraspinal kecil terlihat secara bilateral (panah).

Gambar 3.3.3 Anak laki-laki usia 5 tahun dengan spinal tuberculosis. MRI potongan sagital
T2 weighted yang berdekatan menunjukkan 2 level dari infeksi tuberkulosa. Adanya gibbus
pada region thorax atas karena destruksi lengkap dan kolaps dari corpus vertebrae thorax VI.
Corpus vertebrae VII sebagian hancur dan bersudut serta ruang diskus intervertebralis sulit
tervisualisasi. Adanya kolaps dan penyudutan dari corpus vertebrae lumbal IV pada setengah
bagian anterior dengan penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan. Corpus vertebrae
lumbal V menunjukkan peningkatan sinyal yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Kanalis
medulla spinalis terganggu secara minimal pada kedua level.

24
Gambar 3.3.4 Laki-laki 45 tahun dengan spinal tuberculosis.
Gambar A MRI potongan sagital T1 weight menunjukkan penurunan sinyal pada corpus
vertebrae thorax bagian bawah (T8-T11). Destruksi endplate vertebrae dan keterlibatan diskus
intervertebralis juga terdapat pada level ini. Abses paraspinal terlihat meluas secara anterior
dan posterior ke ruang epidural dan mengganggu saccus thecal. Gambar B dan C, MRI
potongan sagital proton densitas weighted (A) dan T2 weighted dari spina thoraks
menunjukkan peningkatan intensitas sinyal dalam corpus vertebrae dan ruang diskus
intervertebralis. Perluasan abses paraspinal secara anterior tervisualisasi lebih baik pada proton
densitas weighted dan T2 weighted dibandingkan T1 weighted. Abses epidural tidak tergambar
baik pada T2 weighted image karena intensitas sinyal tinggi dari CSF.

Gambar 3.3.5 Laki-laki 45 tahun dengan spinal tuberculosis. MRI axial enhanced T1 weighted
pada corpus vertebrae thorax IX menunjukkan ketebalan lingkar dari penyangatan disekitar
abses intraosseus. Lingkar penyangatan juga terdapat disekitar abses paraspinal (panah).
Penyangatan abses epidural (panah) terlihat penekanan sacus thecal.

25
Gambar 3.3.6 Gambar A, Anak perempuan usia 3 tahun dengan tuberculosis spinal dan paru. MRI
potongan coronal enhanced T1- weighted dari spina menunjukkan perluasan abses paraspinal.
Penyebaran infeksi subligamental dan abses intraosseus tervisualisasi baik pada pencitraan coronal ini.
Adanya infiltrate tuberkulosa pada lobus atas kiri. Gambar B, Laki-laki 42 tahun dengan tuberkulosa
spinal. Pada MRI potongan sagital T2 weighted fast spin-echo menunjukkan peningkatan sinyal dalam
corpus vertebrae lumbal I yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Adanya gangguan margo
anterosuperior dari corpus vertebrae menghasilkan abses paraspinal dan penyebaran subligamen secara
anterior. Penurunan intensitas sinyal dan penyempitan diskus intervertebralis Thorax XII-Lumbal I
yang disebabkan penetrasi dari infeksi melalui diskus. Adanya abses intraosseus pada corpus vertebrae
lumbal IV. Gambar 3, Laki-laki 45 tahun dengan riwayat tuberkulosa spinal. MRI potongan sagital
contiguous T1 weighted yang didapat postoperative menunjukkan cangkokan fibular autolog. Abses
intraosseus tuberkulosa multiple didrainase dan dibersihkan selama operasi sebelum penempatan
cangkok dan stabilisasi spinal. Canalis spinalis tervisualisasi baik dan tidak ada compromised.

Gambar 3.3.7 Tuberkulosis spondilitis dari thorax VIII-IX (a, b, c). MRI pada spina thorax pada wanita
usia 58 tahun dengan adanya nyeri pinggang. (a) potongan sagital pre-gadolinum T1-weighted. (b)
Potongan sagital T2-weighted. (c) Potongan sagital post-gadolinum T1-weighted menunjukkan pola
tipical dari kerusakan corpus vertebrae dengan keterlibatan diskus, intensitas sinyal tinggi linear dari
diskus pada T2-weighted image tervisualisasi baik (panah putih). Setelah pemberian gadolinium,
terdapat penyangatan dari vertebrae bagian posterior, linkar diskus intervertebralis yang irregular
(panah putih), dan kolaps dari vertebrae thorax VIII.

26
BAB V
KESIMPULAN

Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada beberapa
dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan
regimen OAT yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara
yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat
tertunda.

Obat yang tepat biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan
deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi
operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.

Modalitas radiologi untuk menegakan diagnosis dan terapi dapat menggunakan foto thoracal
lumbal, CT Scan dan MRI

27
DAFTAR PUSTAKA

Berquist, M.D. Thomas, H. dkk. 2007. Musculoskeletal Imaging Companion.2nd ed. Wolters
Kluwer.

Buranda T, Djayalangkara H, Datu A, dkk. Anatomi Umum. FKUH; Makassar: 2008.

Clifford, R. Wheeleess. 2013. Tuberculous Spondylitis. (Online).


(http://www.wheelessonline.com/ortho/tuberculous_spondylitis, diakses tanggal 29 Agustus
2017)

Danchaivijitr, N et all. 2007. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis.


(Online), (www.si.mahidol.ac.th/th/publication/2007/Vol90_No.8_1581_3140.pdf. Diakses
tanggal 29 Agustus 2017)

Gunawan S, Setiabudy R, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI; Jakarta: 2009.

Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2007. Hal.
195, 271.
Marjono, Mahar. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat. 2008. Hal.
427.

Markam Soemarmo. Neurologi Praktis. Jakarta. Widya Medika. 2002. Hal. 104-106.

Newanda, JM. 2009. Spondilitis tuberkulosa. (Online),


(http://newandajm.wordpress.com/2009/09/03/spondilitis-tuberkulosa/. Diakses tanggal 29
Agustus 2017).

Rasad S, Ekayuda I, dkk. Radiologi Diagnostik. Edisi II. FKUI; Jakarta: 2009.

Rasuoli, M. Mirkoohi, M. Vaccaro, A., dkk. 2012. Spinal Tuberculosis. (Online).


(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3530707/, diakses tanggal 30 Agustus 2017)

Rauf, A. 2010. Spondylitis TB. (Online).


(http://www.afrisusnawatirauf.wordpress.com/2010/07/02/they-called-it-spondylitis-tb/ ,
diakses tanggal 29 Agustus 2017)

Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Prakter Umum. Jakarta. Dian Rakyat. 2008.
Hal.334, 340-42.
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2010.

28

Anda mungkin juga menyukai