Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom ovarium polikistik (SOPK)merupakan salah satu masalah
endokrinologi pada perempuan masa reproduksi yang berhubungan dengan
kelainan hormonal dan dapat mempengaruhi kesehatan perempuan tersebut
secara umum. Pada kenyataannya, baik gejala klinik, pemeriksaan
biokimiawi maupun pemeriksaan penunjangnya dapat memberikan hasil
yang bervariasi.1
Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kelainan pada
perempuan yang ditandai dengan adanya hiperandrogenisme dengan
anovulasi kronik yang saling berhubungan dan tidak disertai dengan kelainan
pada kelenjar adrenal maupun kelenjar hipofisis.1 Sindrom ovarium polikistik
(Polycystic Ovarium Syndrome) juga dikenal sebagai sindroma stein-
leventhal (1935) merupakan salah satu gangguan hormonal yang paling
sering pada perempuan (5 dari 10 % dari perempuan usia reproduksi (12-45
tahun)) dan diduga menjadi salah satu penyebab utama infertilitas pada
perempuan. Sindrom ini diartikan sebagai kumpulan sebagai akibat
peningkatan hormon androgen (hiperandrogenisme) dan adanya gangguan
ovulasi, dimana gambaran berupa polikistik ovarium bilateral dan terdapat
gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil,
hirsutisme, retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. Sindroma ini
dicirikan dengan sekresigonadotropin yang tidak sesuai, hiperandrogenemia,
peningkatan konversi perifer dari androgen menjadi estrogen, anovulasi
kronik dan ovarium yang skerokistik dengan demikian sindroma ini
merupakan satu dari penyebab paling umum dari infertilitas.2
Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindrom
ini datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi dan
infertilitas, masalah obesitas dan pertumbuhan rambut yang berlebihan serta
kelainan lainnya seperti hipertensi, kadar lemak darah dan gula darah yang
meningkat.3

1
Saat ini sudah terbukti bahwa sindrom ovarium polikistik tidak hanya
menyebabkan kelainan pada bidang ginekologi saja tetapi juga berkaitan
dengan kelainan metabolisme lain, yaitu adanya resistensi insulin yang
berimplikasi pada kesehatan jangka panjang pasien. perempuan dengan
kelainan ini mempunyai risiko lebih besar untuk mendapat penyakit diabetes
melitus, penyakit jantung koroner dan karsinoma endometrium.4
Oleh karena SOPK sering menunjukkan beragam manifestasi klinis
maka pemahaman gejala klinis sangat penting sehingga diagnosis dapat
ditegakkan seakurat mungkin, dengan demikian penatalaksanaan yang
diberikan dapat serasional mungkin dan bermanfaat baik secara
medikamentosa ataupun operatif.
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang
sindroma polikistik ovarium meliputi definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, dan terapi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK)


Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) adalah suatu kelainan
heterogen berupa anovulasi kronik dan hiperandrogenik yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, dimana semua penyebab sekunder (neoplasma yang
mensekresi androgen) telah disingkirkan. SOPK bukanlah suatu penyakit
namun merupakan suatu kumpulan gejala dengan karakteristik berupa
adanya anovulasi persisten dan manifestasi klinik berupa kista multipel pada
ovarium, amenore sekunder atau oligomenore dan infertilitas.6
Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan serangkaian gejala
yang dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang
berhubungan dengan kelainan endokrin dan metabolik pada perempuan tanpa
adanya penyakit primer pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari.1
Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai
akibat dari kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi dan
amplitudo pulsasi GnRH dengan akibat terjadi peningkatan kadar LH serum
dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen.2
Hiperandrogenisme secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme,
timbulnya jerawat (akne), alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi
serum androgen khususnya testosteron dan androstenedion. Sedangkan
kelainan metabolik berhubungan dengan timbulnya keadaan
hiperandrogenisme dan anovulasi kronik.3

2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah salah
satu gangguan endokrin yang paling sering pada perempuan usia reproduktif,
dengan prevalensi 4-12%. Hingga 10% dari wanita dalam kunjungan
ginekologi terdiagnosis SOPK. Pada beberapa penelitian di Eropa, prevalensi
SOPK telah dilaporkan mencapai 6,5-8%.9

3
Terdapat banyak variabilitas etnis pada hirsutisme telah diamati.
Sebagai contoh, perempuan Asia (Timur dan Asia Tenggara) memiliki
hirsutisme yang kurang daripada wanita kulit putih dengan nilai serum
androgen yang sama. Dalam sebuah studi yang menilai hirsutisme pada
perempuan China selatan, peneliti menemukan prevalensi 10,5%. Pada
wanita dengan hirsutisme, ada peningkatan yang signifikan dalam
kemunculan jerawat, ketidakteraturan menstruasi, ovarium polikistik, dan
acanthosis nigricans.9

2.3. Etiologi dan faktor risiko


Penyebab yang mendasari terjadinya SOPK belum diketahui. SOPK
diyakini sebagai gangguan yang kompleks, dengan faktor genetik serta
lingkungan berkontribusi terhadap perkembangan penyakit ini. Berdasarkan
data, 20-40% dari keluarga tingkat pertama perempuan dari pasien dengan
SOPK juga memiliki sindrom ini, menunjukkan bahwa penyakit ini
diwariskan secara parsial dan kluster dalam keluarga. Prevalensi dan
keparahan presentasi bervariasi dengan etnis, dengan orang Asia Selatan
memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit. Beberapa kandidat gen
telah diidentifikasi sebagai kontribusi untuk risiko penyakit, termasuk 7-
hidroksisteroid-dehidrogenase tipe 6 (HSD17B6).4,5
Pajanan testosteron dalam rahim bisa menyebabkan kerentanan
terhadap perkembangan lanjut dari SOPK. Penelitian pada hewan telah
menunjukkan bahwa pajanan dalam rahim berkorelasi dengan perkembangan
sindroma mirip SOPK termasuk hiperinsulinemia, hiperandrogenisme,
oligoanovulasi, dan ovarium polikistik. Pajanan androgen dapat mengganggu
hormon estrogen dan progesteron dalam menghambatan GnRH, sehingga
berkontribusi dalam peningkatan frekuensi pulsasi.5
Lingkungan/gaya hidup juga merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh. Sejumlah faktor gaya hidup dan pajanan dari lingkungan telah
dikaitkan dengan fenotip SOPK yang lebih parah. Gaya hidup sedentari
dikaitkan dengan peningkatan disfungsi metabolik, dan peningkatan berat
badan berhubungan dengan oligoanovulasi dan hiperandrogenisme. BPA

4
(bisphenol A) dan zat kimia pengganggu-androgen dari lingkungan dapat
berakumulasi dalam jumlah besar pada individu dengan SOPK karena
berkurangnya klirens hati; hal ini juga menginduksi produksi androgen dan
resistensi insulin.5
Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor endokrine (kenaikan
LH/FSH ratio, hiperandrogenisme) dan faktor metabolik (resistensi
insulin).4Obesitas, meskipun tidak diyakini menyebabkan PCOS, diketahui
memperburuk gejala penyakit. Obesitas ada pada 30-75% dari perempuan
dengan SOPK. disfungsi adiposa memberikan kontribusi terhadap
munculnya intoleransi glukosa dan hiperinsulinemia, yang kemudian dapat
memperparah manifestasi dari hiperandrogenisme. Perempuan obesitas
dengan SOPK berada pada peningkatan risiko untuk anovulasi dan
selanjutnya subfertilitas.5

2.4. Patofisiologi
Patofisiologi dari SOPK sangat kompleks. Pada SOPK terjadi suatu
anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas dan bersifat hiperandrogenik,
di mana terjadi gangguan hubungan umpan balik antara pusat
hipotalamushipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi
yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup
adekuat.1
a) Hiperandrogenisme5
Hiperandrogenisme adalah fitur yang paling karakteristik dari
SOPK, dan beberapa berpendapat bahwa itu adalah ciri dari penyakit.
Hiperandrogenisme diperburuk oleh hiperinsulinemia dan arrest folikel
antral dan dapat sendirinya meningkatkan risiko arrest folikel.
Karakteristik ovarium serupa telah diketahui pada perempuan dengan
kondisi lain berupa kelebihan androgen seperti hiperplasia adrenal
kongenital.
b) Kelainan Neuroendokrin5
Perempuan dengan SOPK memiliki peningkatan frekuensi pulsasi
GnRH; pulsasi yang lebih pendek terutama mendorong produksi

5
luteinizing hormone (LH) dan mengakibatkan penurunan produksi
hormon perangsang folikel (FSH). Pasien dengan SOPK sering
menunjukkan peningkatan rasio LH:FSH, yang dapat berkontribusi
terhadap kelebihan androgen ovarium relatif terhadap estrogen.
Belum diketahui apakah pasien dengan SOPK secara intrinsik
memiliki mekanisme pulsasi GnRH yang lebih cepat yang menyebabkan
hiperandrogenisme di ovarium, atau jika oligoanovulasi sendiri
mendorong pulsasi lebih cepat pada GnRH melalui pengurangan
progesteron yang beredar.
Biasanya, progesteron dilepaskan oleh korpus luteum setelah
ovulasi. Progesteron bertindak untuk memperlambat pulsasi GnRH. Pada
SOPK, penurunan peristiwa ovulasi dapat menyebabkan penurunan
sirkulasi progesteron.
Paparan terhadap androgen ketika dalam rahim atau prepubertas
dapat menurunkan efek penghambatan estrogen dan progesteron pada
hipotalamus dan berkontribusi terhadap peningkatan pulsatilitas.
c) Resistensi insulin dan DM Tipe 25
Pada SOPK, 50-70% pasien menunjukkan kelainan metabolik,
termasuk toleransi glukosa yang buruk dan hiperinsulinemia. Ini bukan
semata-mata konsekuensi dari peningkatan obesitas sentral; melainkan,
obesitas dan kelainan hormonal diduga memberikan kontribusi tambahan
terhadap resistensi insulin. Pasien dengan SOPK menunjukkan tingkat
resistensi insulin yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan BMI dan
adipositas viseral yang sama yang tidak memiliki SOPK.
Resistensi insulin fungsional dianggap sebagai konsekuensi dari
defek pada transportasi glukosa yang dimediasi insulin dan penyinalan
pada adiposit dan miosit; ini mungkin akibat dari disregulasi produksi
adipokine dan penyinalan dari jaringan adiposa tetapi mekanisme ini tidak
sepenuhnya dimengerti.
Hiperinsulinemia yang dihasilkan berujung kepada luapan insulin
ke jaringan lain, terutama kulit. Insulin bekerja melalui insulin-like

6
growth factor receptor menyebabkan pertumbuhan keratinosit berlebih
yang menyebabkan acanthosis nigricans.

d) Ovarium polikistik5
Ovarium polikistik ada pada 20-30% perempuan dan tidak penting
dalam mendiagnosis SOPK. Kista pada ovarium polikistik bukan kista
sejati, melainkan folikel antral yang telah arrest dalam perkembangannya.
Hal ini diduga terjadi karena kelainan hormonal:
Hiperandrogenisme: arrest terjadi ketika sel-sel granulosa ovarium
secara normal mulai memproduksi estrogen dengan aromatisasi
androstenedion yang diproduksi oleh sel-sel teka; kelebihan 5a-
reduced androgen pada ovarium dianggap menghambat aksi
aromatisasi dan karena itu mengurangi sintesis estradiol, yang
diperlukan untuk pematangan lebih lanjut.
Hiperinsulinemia: memperparah hiperandrogenisme ovarium
dengan (1) meningkatkan aktivitas 17a-hidroksilase dalam sel teka
dan mendorong produksi androstenedion dan testosteron; (2)
mendorong produksi androgen yang distimulasi oleh LH dan IGF1
(Insulin-like growth factor 1); dan (3) meningkatkan testosteron
bebas dengan mengurangi produksi globulin pengikat hormon seks
(SHBG).

7
Gambar 1. Patofisiologi Sindroma Ovarium Polikistik5

Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk dapat mengetahui


mengapa sindrom ovarium polikistik ini dapat menyebabkan infertilitas. Secara
normal, kadar estrogen mencapai titik terendah pada saat seorang wanita dalam
keadaan menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar LH dan FSH mulai
8
meningkat dan merangsang pembentukan folikel ovarium yang mengandung
ovum. Folikel yang matang memproduksi hormon androgen seperti testosteron
dan androstenedion yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa dari
hormon androgen tersebut akan berikatan dengan sex hormone binding globulin
(SHBG) di dalam darah. Androgen yang berikatan ini tidak aktif dan tidak
memberikan efek pada tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif dan
berubah menjadi hormon estrogen di jaringan lunak tubuh. Perubahan ini
menyebabkan kadar estrogen meningkat, yang mengakibatkan kadar LH dan FSH
menurun. Selain itu kadar estrogen yang terus meningkat akhirnya menyebabkan
lonjakan LH yang merangsang ovum lepas dari folikel sehingga terjadi ovulasi.
Setelah ovulasi terjadi luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar
progesteron yang diikuti penurunan kadar estrogen, LH dan FSH. Progesteron
akan mencapai puncak pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan turun
sampai terjadi menstruasi berikutnya.11
Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu. Karena adanya
peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk
pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga peningkatan kadar LH yang
tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing hormone(GnRH) yang meningkat.
Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah karena
ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi
gonadotropin. Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya
perkembangan folikel sehingga tidak dapat memproduksi folikel yang matang.
Hal ini mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan
tidak adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya
resistensi insulin menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada
keadaan hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi androgen dan
menghambat sekresi SHBG hati sehingga androgen bebas meningkat. Pada
sebagian kasus diikuti dengan tanda klinis akantosis nigrikans dan obesitas tipe
android.1
2.5. Gambaran Klinis5
Manifestasi dari SOPK bervariasi, namun banyak tanda-tanda SOPK yang
sangat erat berkaitan dengan patofisiologi penyakit.

9
a. Hiperandrogenisme:
hirsutisme
jerawat
b. Alopecia: alopesia androgenik
c. hiperinsulinemia:
nigricans acanthosis
Sejumlah besar pasienSOPK mengalami obesitas (30-75%); obesitas
diperkirakan memperburuk gejala hiperandrogenisme dan
hiperinsulinemia.Sebagian pasien mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda jelas
dari hiperandrogenisme atau hiperinsulinemia, dan riwayat klinis mereka harus
dipertimbangkan bersama dengan tanda-tanda fisik dan tanda-tanda biokimia
mereka.
2.6. Dampak Klinis
1) Infertilitas
Infertilitas pada sindrom ovarium polikistik berkaitan dengan dua
hal. Pertama karena adanya oligoovulasi/anovulasi. Keadaan ini berkaitan
dengan hiperinsulinemia di mana terdapat resistensi insulin karena sel-sel
jaringan perifer khususnya otot dan jaringan lemak tidak dapat
menggunakan insulin sehingga banyak dijumpai pada sirkulasi darah.
Makin tinggi kadar insulin seorang perempuan, makin jarang perempuan
tersebut mengalami menstruasi.11 Penyebab yang kedua adalah adanya
kadar LH yang tinggi sehingga merangsang sintesa androgen. Testosteron
menekan sekresi SHBG oleh hati sehingga kadar testosteron dan estradiol
bebas meningkat. Kenaikan kadar estradiol memberi umpan balik positif
terhadap LH sehingga kadar LH makin meningkat lagi sedangkan kadar
FSH tetap rendah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan folikel terhambat,
tidak pernah menjadi matang apalagi terjadi ovulasi.13
2) Hipertensi dan penyakit jantung koroner1
Diketahui bahwa obesitas sering diderita oleh pasien sindrom
ovarium polikistik. Lemak tubuh yang berlebihan ini memberi
konsekuensi terjadinya resistensi insulin. Obesitas dan resistensi insulin

10
mengarah pada perubahan respons sel-sel lemak terhadap insulin, di mana
terjadi gangguan supresi pengeluaran lemak bebas dari jaringan lemak.
Peningkatan lemak bebas yang masuk ke dalam sirkulasi portal
meningkatkan produksi trigliserida, selain itu juga terdapat peningkatan
aktivitas enzim lipase yang bertugas mengubah partikel lipoprotein yang
besar menjadi lebih kecil. Akibatnya ditemukan penurunan konsentrasi
kolesterol high density lipoprotein (HDL) dan peningkatan kadar
kolesterol low density lipoprotein (LDL) yang bersifat aterogenik
sehingga mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah dengan
akibat berkurangnya kelenturan yang berhubungan dengan terjadinya
hipertensi. Kombinasi trigliserida yang tinggi dan kolesterol HDL yang
rendah berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskuler, yang pada pasien
sindrom ovarium polikistik muncul di usia yang relatif lebih muda.
3) Diabetes melitus
Sindrom ovarium polikistik berkaitan erat dengan masalah insulin.
Adanya resistensi sel-sel tubuh terhadap insulin menyebabkan organ
tubuh tidak dapat menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen sehingga
kadarnya meningkat di dalam darah.1
4) Masalah kulit dan hirsutisme
Keadaan ini berkaitan dengan hiperandrogenisme. Kadar androgen
yang tinggi menyebabkan pengeluaran sebum yang berlebihan sehingga
menyebabkan masalah pada kulit dan rambut. Pasien mengeluhkan
seringnya terjadi peradangan pada kulit akibat penyumbatan pori serta
pertumbuhan rambut pada tubuh yang berlebihan. Kelainan yang biasanya
timbul adalah dermatitis seboroik, hidradenitis supuratif, akantosis
nigrikans dan kebotakan. Akantosis nigrikans selain berhubungan dengan
keadaan hiperandrogen juga terkait dengan adanya
hiperinsulinemia.10,12,13
5) Obesitas
Obesitas pada sindrom ovarium polikistik dideskripsikan sebagai
obesitas sentripetal, di mana distribusi lemak ada di bagian sentral tubuh
terutama di punggung dan paha. perempuan dengan sindrom ini sangat

11
mudah bertambah berat tubuhnya. Obesitas tipe ini berkaitan dengan
peningkatan risiko menderita hipertensi dan diabetes.1

6) Kanker endometrium
Risiko lain yang dihadapi perempuan dengan sindrom ini adalah
meningkatnya insiden kejadian kanker endometrium. Hal ini berhubungan
dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga endometrium selalu
terpapar oleh estrogen ditambah adanya defisiensi progesteron. Kanker ini
biasanya berdiferensiasi baik, angka kesembuhan lesi tingkat I mencapai
angka >90%. Kadar estrogen yang tinggi kemungkinan juga
meningkatkan terjadinya kanker payudara.1

2.7. Diagnosis Banding

1. Sindroma Cushing

Korteks adrenal memproduksi tiga kelas hormon tiroid yaitu


glukokortikoid, mineralokortikoid, dan steroid seks (androgen dan
prekursor estrogen). Pada keadaan tertentu dapat terjadi hiperfungsi
kelenjar adrenal yang secara klinis terjadi peningkatan pada hormon-
hormon tersebut. Peningkatan glukortikod disertai dengan intoleransi
glukosa akan mengakibatkan peningkatan glukoneogenesis dan antagonis
aksi insulin. Sedangkan overproduksi prekursor steroid seks
mengakibatkan perempuan penderita sindroma cushing mengalami
hiperandrogenisme (hirsutisme, acne, oligomenore atau amenore, dan
berkurangnya rambut atau mengalami kebotakan).6

2. Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH)

Congenital adrenal hyperplasia merupakan suatu penyakit yang


diturunkan secara resesif autosomal dengan klinis hiperandrogenisme
pada saat pubertas. perempuan dengan hyperplasia adrenal congenital
dapat mengalami virilisasi dan maskulinisasi pada usia 3-7 tahun. Pada
39% perempuan dengan congenital adrenal hyperplasia mengalami

12
gangguan menstruasi, dengan hirsurtisme tanpa oligomenore, serta
sebanyak 22% mengalami peningkatan androgen sirkulasi tanpa
manifestasi klinis.6

3. Androgenproducing Ovarian Neoplasms

Kejadian neoplasma ovarii yang memperoduksi androgen,


misalnya pada tumor sel granulosa lebih banyak ditemukan pada
perempuan postmenopause dibandingkan dengan premenopause. Penyakit
ini berhubungan dengan fungsi pembentukan estrogen dini sehingga
biasanya ditemukan dengan pubertas prekoks. Total abdominal
hysterectomy (TAH) dan bilateral salpingooophorectomy (BSO)
merupakan terapi pilihan untuk penyakit ini. Salah satu tumor penghasil
androgenik lainnya adalah tumor stromal sklerosing, yang biasanya
ditemukan pada perempuan usia kurang dari 30 tahun. Manifestasi klinis
pada penyakit ini tampak sebagai hiperandrogenisme atau estrogen
berlebih, dan virilisasi atau maskulinisasi.6

2.8. Diagnosis
1. Anamnesis

Anamnesis harus difokuskan pada pola menstruasi, kehamilan


sebelumnya (jika ada), obat-obatan yang sedang dikonsumsi, konsumsi
merokok, konsumsi alkohol, pola makan, dan riwayat anggota keluarga
dengan diabetes atau penyakit kardiovaskular. Ketidakteraturan
menstruasi (80%) terjadi segera setelah menarke, termasuk amenore
sekunder dan atau oligomenore.8

Pada 75% penderita SOPK mengalami infertilitas akibat anovulasi


kronik, dan beberapa ditemukan memiliki gejala sisa pada jangka

13
panjang. Gejala sisa pada penderita SOPK dapat berupa penyakit
kardiovaskular dan dislipidemia, intoleransi glukosa atau diabetes mellitus
yang tidak tergantung insulin (DM tipe 2), hiperplasia endometrium atau
adenokarsinoma akibat pajanan estrogen kronik pada uterus.8

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita SOPK harus ditujukan pada


tanda-tanda hirsutisme yaitu kebotakan, jerawat (akne), klitoromegali
(pembesaran klitoris), distribusi rambut pada tubuh (muka, di atas bibir,
dada, linea alba), pengecilan payudara, dan tanda-tanda resistensi insulin
(obesitas, distribusi lemak sentripetal, akantosis nigrikans). Sedangkan
pada pemeriksaan bimanual dapat juga ditemukan ovarium yang
membesar atau dapat juga tidak teraba.7,8

Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola


pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada
seorang perempuan. Sedangkan akantosis nigrikans adalah penanda
dermatologis akibat resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang ditandai
dengan perubahan warna kulit menjadi abu-abu kecoklatan, halus,
kadang-kadang seperti veruka pada leher, selangkangan dan aksila. Oleh
sebab itu, efek-efek ekstrem dari anovulasi kronik hiperandrogenik dari
SOPK disebut sebagai Sindrom HAIR-AN (hiperandrogenisme, resistensi
insulin, dan akantosis nigrikans).8

Menurut National Institute of Health National Institute of Child


Health and Human Development NIH-NICHD untuk mendiagnosa SOPK
ditetapkan :1
Kriteria mayor :
Anovulasi
Hiperandrogenemia
Kriteria minor :
Resistensi insulin
Hirsutisme

14
Obesitas
Meningkatnya rasio LH:FSH> 2,5
Gambaran ovarium polikistik pada USG
Pada tabel di atas, terdapat dua kriteria mayor dan 5 kriteria minor
untuk mendiagnosis SOPK. Diagnosis SOPK ditegakkan bilapaling sedikit
ditemukan 1 kriteria mayor dan 2kriteria minor.
Sedangkan berdasarkan Konsensus Rotterdam (2003) SOPK
didiagnosis dengan adanya minimal 2 dari 3 hal di bawah:5
hiperandrogenisme klinis dan/atau hiperandrogenemia
Oligoanovulasi
ovarium polikistik pada USG
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau
dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan
hiperandrogenisme ovarium. Tumor yang mensekresi androgen pada
ovarium atau kelenjar adrenal juga selalu disertai dengan kadar androgen
dalam sirkulasi yang meningkat, tetapi tidak terdapat kadar absolut yang
bersifat patognomonik untuk suatu tumor atau kadar minimum yang dapat
menyingkirkan kemungkinan adanya tumor. Kadar T yang tinggi selalu
berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi
selalu berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml).7,8

Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di lihat dari ringan


beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat hanya
sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya androgen
serum adalah akibat gangguan pada ovarium yaitu berupa anovulasi kronik,
sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang mencolok, maka
peningkatan androgen kemungkinan besar berasal dari kelenjar supra renal
yang dapat berupa hiperplasia, atau tumor.7

USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis


SOPK. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Pada USG
terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-

15
10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau salah
satu ovarium pasti tampak membesar.7

Dengan USG pada 25% perempuan normal ditemukan adanya


ovarium polikistik. perempuandengan ovarium polikistik meunjukkan kadar
FSH, Prolaktin dan estrogen normal, sedangkan LH sedikit tinggi (nisba
LH/FSH>3). LH yang tinggi akan meningkatkan sintesis testosteron di
ovarium, dan membuat stroma ovarium menjadi tebal dan membuat folikel
atresi.1,4
Kriteria Ultrasonografis (USG) :
Kriteria diagnostik jika memakai USG transabdominal:
1. Penebalan stroma
2. Lebih dari 10 folikel berdiameter 2-8 mm di subkorteks dalam satu
bidang.
Kriteria diagnostik jika memakai USG transvaginal:
1. Penebalan stroma 50%
2. Volume ovarium lebih dari 8 cm3
3. Lebih dari 15 folikel dengan diameter 2-10 mm dalam satu bidang
Pemeriksaan penunjang pada SOPK beserta tujuan pemeriksaannya
akan dijelaskan: 1,4
TabelPemeriksaan Laboratorium Pada SOPK
Pemeriksaan Nilai normal Tujuan
-hCG Menyingkirkan kehamilan
TSH 0,5-4,5 U/mL (0,5-4,5 mU/L) Menyingkirkan gangguan
tiroid

Prolaktin Menyingkirkan
hiperprolaktinemia

Testosteron (total) Menyingkirkan tumor yang


menghasilkan androgen

16
Testosteron (bebas) 20-30 tahun: 0,06-2,57 pg/mL Menegakkan diagnosis atau
(0,20-8,90 pmol/L) monitoring terapi
40-59 tahun: 0,4-2,03 pg/mL (1,40-
7,00 pmol/L)
DHEAS 600-3.400 ng/mL (1,6-9,2 mol/L) Menyingkirkan tumor yang
menghasilkan androgen
Androstenedione 0,4-2,7 ng/mL (1,4-9,4 nmol/L) Menegakkan diagnosis
17- Menyingkirkan NCAH (non-
hydroxyprogesterone classic congenital adrenal
hyperplasia)
Insulin puasa Menyingkirkan
hiperinsulinemia
Glukosa puasa 65-119 mg/dL (3,6-6,6 mmol/L) Menyingkirkan diabetes tipe
2 atau intoleransi glukosa
Rasio glukosa puasa 4,5 Menyingkirkan resistensi
: insulin insulin
Kolesterol (total) 150-200 mg/dL (1,5-2 g/L) Monitor perubahan gaya
hidup
Kolesterol HDL 35-85 mg/dL (0,9-2,2 mmol/L) Monitor perubahan gaya
hidup

Kolesterol LDL 80-130 mg/dL (2,1-3,4 mmol/L) Monitor perubahan gaya


hidup
Biopsi endometrium Tidak ada tanda Menyingkirkan keganasan
hiperplasia/keganasan atau hiperplasia
Diagnosis SOPK ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain oligomenorea atau
hiperandrogenisme.
-hCG = beta subunit human chorionic gonadotropin;
TSH = thyroid-stimulating hormone;
DHEAS = dehydroepiandrosterone sulfate;
NCAH = nonclassic adrenal hyperplasia;

17
HDL = high-density lipoprotein;
LDL = low-density lipoprotein

2.9. Penatalaksanaan 1,4


Tujuan dari terapi pada SOPK adalah
(1) menghilangkan gejala dan tanda hiperandrogenisme,
(2)mengembalikan silus haid menjadi normal
(3) memperbaiki fertilitas
(4) menghilangkan gangguan metabolisme yang terjadi.
Pendekatan terapi dilakukan dengan 3 macam:
a. Non farmakologi
Tanda dan gejala hirsutisme akan memakan waktu yang cukup
lama untuk kembali normal setelah pemberian anti androgen. Untuk
menghiangkan bulu-bulu yang tumbuh pada penderita SOPK, banyak
perempuan melakukan tindakan elektolisis atau laser untu tujuan
kosmetik.
Penurunan berat badan akan memberikan pengaruh terhadap kadar
hormon dalam sirkulasi. Penelitian menerangkan pada 6 orang penderita
yang mengalami penurunan berat badan sebesar 16,2 kg akan
menyebabkan penurunan kadar testosteron, 4 orang diantaranya terjadi
ovulasi.
b. Farmakologi
Kontrasepsi oral
Tujuannya untuk menurunkan produksi steroid ovarium dan
produksi androgen adrenal, meningkatkan sex hormon binding
globulin (SHBG), menormalkan rasio gonadotropin dan
menurunkan kosentrasi total testosteron dan androstenedione di
dalam sirkulasi, mengembalikan haid yang normal sehingga dapat
mencegah hiperplasi endometrium dan kanker endometrium.
Medroxyprogesteron asetat dapat dijadikan sebagai terapi untuk

18
mengembalikan gejala hirsutisme. Dosis 150 mg intramuskuler
setiap 6 minggu selama 3 bulan atau 20-40 mg perhari.
Antiandrogen
Fungsinya untuk menurunkan produksi testosteron maupun
untuk mengurangi kerja dari testosteron. Beberapa antiandrogen
yang tersedia adalah : Cyproteron acetat yang bersifat kompetitif-
inhibisi terhadap testosteron dan dyhirotestosteron pada reseptor
androgen. Dosis 100mg per hari pada hari 5-15 siklus haid.
Flutamide bersifat menekan biosintesa testosteron. Dosis 250 mg 3
kali pemberian perhari selama 3 bulan. Finasteride yang merupakan
inhibitor spesifik enzym 5 reduktase digunakan dengan dosis 5
mg/hari.
GnRh analog
Pemberian GnRh agonis akan memperbaiki denyut sekresi
LH sehingga luteinisasi prematur dari folikel dapat di cegah dan
dapat memperbaiki rasio FSH/LH.

Metformin
Betujuan untuk menekan aktifitas cytochrom P450c-17
ovarium, yang akan menurunkan kadar androgen, LH dan
hiperinsulinemia. Diberikan dosis 500 mg 3 kali pemberian perhari
selama 30 hari.
Clomiphene Citrat
Merupakan terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan
mengembalikan fungsi fertilisasi. Pada keadaan hiperandrogen pada
perempuan yang anovulasi. Dosisnya 50 mg satu kali pemberian
perhari dengan dosis maksimal perhari dapat ditingkatkan menjadi
200 mg.
c. Operatif
Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus
infertilitas akibat SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah
pemberian terapi medikamentosa. Melalui pembedahan, fungsi ovarium di

19
pulihkan dengan mengangkat sejumlah kista kecil. Pilihan tindakan
diantara lain:2

a. Wedge Resection

Yaitu mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini dilakukan untuk


membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi berlangsung secara
normal. Tindakan ini sudah jarang dikerjakan oleh karena memiliki
potensi merusak ovarium dan menimbulkan jaringan parut.

b. Laparoscopic ovarian drilling

Merupakan tindakan pembedahan untuk memicu terjadinya ovulasi pada


penderita SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah
menurunkan berat badan dan memperoleh obat-obat pemicu ovulasi. Pada
tindakan ini dilakukan elektrokauter atau laser untuk merusak sebagian
ovarium. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan
tindakan ini dilaporkan angka ovulasi sebesar 80% dan angka kehamilan
sebesar 50%. perempuan yang lebih muda dan dengan BMI dalam batas
normal akan lebih memperoleh manfaat melalui tindakan ini.

Pengobatan SOPK harus disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan


suami istri untuk memiliki anak atau tidak.

a. Jika pasien menginginkan anak

Dapat diberikan pemicu ovulasi, seperti klomifen sitrat, atau gonadotropin


yang mengandung FSH/LH atau LH saja. Klomifen sitrat meningkatkan
aromatisasi Testosterone menjadi estradiol (E2), dan E2 ini menekan sekresi LH.
Gonadotropin dapat mengembalikan keseimbangan FSH/LH. Hati-hati terjadi
hiperstimulasi ovarium. Bila belum juga berhasil mendapatkan anak, maka
diberikan pil kontrasepsi, atau Gn-RH analog (agonis/antagonis) sampai nisbah
LH/FSH 1, dan baru kemudian diberikan induksi ovulasi.

20
Dewasa ini tindakan pembedahan reseksi baji tidak dilakukan lagi.
Dengan berkembangnya laparoskopi, dapat dilakukan drilling pada ovarium.
Tujuannya untuk mengeluarkan cairan folikel yang banyak mengandung T.
Jumlah lubang lebih kurang 10 buah.7

b. Jika pasien belum menginginkan anak

Pada perempuan yang belum menginginkan anak, maka dapat di berikan


pil kontrasepsi yang mengandung estrogen-progesteron sintetik. Pil kontrasepsi
menekan fungsi ovarium, sehingga produksi testosterone menurun. Selain itu, pil
kontrasepsi menekan sekresi LH, sehingga sintesis testosteron pun berhenti.
Estrogen sintetik memicu sintesis SHBG di hati, dan SHBG ini akan mengikat
lebih banyak lagi testosteron dalam darah.7

Pada perempuan dengan hirsutisme lebih efektif dengan pemberian anti


androgen, seperti siprosteronasetat (SPA). SPA menghambat kerja androgen
langsung pada target organ. SPA yang termasuk jenis progesteron alamiah, juga
memiliki sifat glukokortikoid, sehingga dapat menghambat ACTH, dan dengan
sindirinya pula menekan produksi androgen di suprarenal. Bila belum tersedia
sediaan SPA, maka dapat di gunakan pil kontrasepsi yang mengandung SPA.
Prognosis pengobatan dengan SPA sangat tergantung dari 1) perempuan dengan
kadar T yang tinggi, memiliki respon yang baik; 2) Bila hirsutismus sudah
berlangsung lama, prognosis jelek; 3) perempuan muda keberhasilannya lebih
baik; 4) Rambut/bulu di daerah dada dan perut memiliki respon baik; 5) SPA
diberikan 1-2 tahun. Bila ternyata hirsustismus tetap juga tidak hilang, maka
perlu di pikirkan adanya kelainan kongenital adrenal. Dianjurkan untuk
pemeriksaan hormon 17 alfa hidroksiprogesteron. Kadar yang tinggi,
menunjukkan adanya defisiensi enzim 21 hidroksilase. Dewasa ini mulai di
gunakan Gn-RH Analog (agonis atau antagonis) untuk menekan fungsi ovarium.7

2.10. Prognosis

21
SOPK meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular
dengan adanya hiperandrogenisme dan peningkatan apolipoprotein. Sekitar 40%
pasien dengan SOPK memiliki resiko resistensi insulin, independen dari berat
badan, sehingga meningkatkan resiko diabetes mellitus tipe 2 dengan
konsekuensi komplikasi kardiovaskular. Penderita SOPK juga beresiko
mengalami karsinoma endometrium.9

BAB III
KESIMPULAN

SOPK merupakan kumpulan gejala, bukan merupakan suatu penyakit.


Diagnosis SOPK sindrom ovarium polikistik ditegakkan bila paling sedikit
ditemukan 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Kriteria mayor terdiri dari
anovulasi dan hiperandrogenisme, sedangkan kriteria minor berupa resistensi
insulin, hirsutisme, obesitas, LH/ FSH >2,5 dan pada USG terdapat gambaran
ovarium polikistik. Dapat juga berdasarkan Konsensus Rotterdam (2003) SOPK

22
didiagnosis dengan adanya minimal 2 dari 3 hal yaitu hiperandrogenisme klinis
dan/atau hiperandrogenemia, oligoanovulasi, ovarium polikistik pada USG.

Etiologi SOPK masih belum jelas, namun terdapat faktor-faktor yang


berhubungan termasuk: genetik, pajanan testosteron dalam rahim, resistensi
insulin, obesitas, dan DM tipe 2.

Penanganan SOPK meliputi terapi medikamentosa dan penanganan


bedah. Terapi medikamentosa meliputi kontrasepsi oral berupa progesteron, agen
yang mesensitisasi insulin (metformin), GnRh analog, antiandrogen dan klomifen
sitrat. Sedangkan penanganan bedah meliputi ovarian drilling dan wedge
resection

Penderita SOPK beresiko mengalami gangguan kardiovaskular,


infertilitas dan gangguan metabolic (DM tipe 2), hirsutism dan masalah kulit,
obesitas, dan kanker endometrium.

DAFTAR PUSTAKA

1. Maharani, L., R. Wratsangka. 2002. Sindroma Ovarium Polikistik:


permasalahan dan penatalaksanaannya. Jakarta: Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta.

23
2. Budi R. Hadibroto. 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. Medan: Departemen
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
RSUP H. Adam Malik Medan.
3. Impey, Lawrence. Oxford Obstetrics and Gynaecology: Fertility and
Subfertility. USA: Blackwell Science; 2002. p: 69 71.
4. Schorge, J.O., Schaffer, J.I., Halvorson, L.M., Hoffman, B.L., Bradshaw,
K.D., Cunningham,F.G. 2008. Williams Gynecology. The Mcgraw-Hill
Companies: USA
5. Rotstein A. Polycystic ovarian syndrome (PCOS) | McMaster
Pathophysiology Review. Pathophys.org. 2016 [dikutip 8 April 2017].
Tersedia dari: http://www.pathophys.org/pcos/
6. William, Lippincott., Wilkins. Berek & Novak's Gynecology: The Polycystic
Ovary Syndrome. Edisi 14. California: Johns Hopkins University School of
Medicine; 2011. p: 256 71.
7. POGI. Standar pelayanan medik obstetrik dan ginekologi: sindroma ovarium
polikistik. Jakarta: Perkumpulan obstetrik dan ginekologi indonesia; 2006. p:
100 102.
8. Norwitz, Errol, Schorge, John. At Glance: Obstetrik dan Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta: Erlangga medical series (EMS); 2012. p: 74 78
9. Lucidi R. Polycystic Ovarian Syndrome: Practice Essentials, Background,
Etiology. Emedicine.medscape.com. 2016 [dikutip 8 April 2017]. Tersedia
dari: http://emedicine.medscape.com/article/256806-overview#a6
10. Franks S. Medical progress: polycystic ovarysyndrome. N Engl J Med 1995;
333: 853-61.
11. Samsulhadi. Ovarium polikistik danpermasalahannya. Maj Obstet Ginekol
1999; 8:9-13.
12. Thatcher SS. What is polycystic ovariansyndrome?. The Center For Applied
ReproductiveScience. Tersedia dari: URL:
http://www.ivfet.com/pcosstate.html.
13. Hershlag A, Peterson CM. Endocrine disorders.In: Berek JS, Adashi EY,
Hillard PA, editors. Novaksgynecology. 12th ed. Baltimore: Williams &
Wilkins;1996. p 837-45.

24

Anda mungkin juga menyukai