PERTUSIS
0
BAB I
PENDAHULUAN
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai batuk rejan atau
batuk 100 hari merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang
sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah
kuman gram (-) Bordetella pertussis1.
Pertusis ditularkan kepada orang lain melalui tetesan dari batuk atau bersin.
Tanpa perawatan, penderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain sampai
tiga minggu setelah batuk mulai terjadi.1,6.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak
kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih
mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau
anak yang belum diimunisasi 1.
Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. 90% kasus
ini terjadi dinegara berkembang. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh Bakterium
Bordetella namun tidak jarang diakibatkan oleh Bordetella Parapertussis. Pertussis
dikenal dengan batuk serius yang diakhiri bunyi apabila anak-anak bernafas. Berikut
akan dibahas sebuah refleksi kasus mengenai pertusis pada pasien anak yang dirawat
di ruang catelia RS. Undata Palu.
1
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : By. NK
Umur : 1 bulan 3 hari
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Dewi Sartika
Agama : Islam
Tanggal masuk : 20 Mei 2017
ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk
Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan batuk. Batuk sudah dialami sejak
1 minggu yang lalu. Keluhan bertambah berat berat 3 hari yang lalu, batuk pertama
kali dikeluhkan pada saat malam hari kemudian terjadi sepanjang hari, batuk juga
disertai lendir (+) , darah (-) pada akhir serangan batuk. Pasien menarik nafas dalam
sehingga terdengar bunyi mendengkur, saat batuk wajah pasien juga tampak
kemerahan hingga kebiruan. Pada akhir batuk pasien juga terkadang muntah (+)
Ibu pasien juga mengeluh pasien panas yang dialami sejak 3 hari yang lalu,
panas naik turun, naik biasanya tidak menentu hampir sepanjang waktu dan panas
turun biasanya setelah dikompres oleh ibunya. Saat demam pasien tidak ada kejang
serta menggigil. Ibu pasien juga mengeluhkan adanya pilek (+), tidak ada mual. BAB
biasa dan BAK lancar.
2
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya
Riwayat sosial-ekonomi :
Menengah ke atas
Anamnesis Makanan :
Riwayat Imunisasi:
- BCG: 1 kali
- Hepatitis B: 0 (pada saat lahir)
3
A. PEMERIKSAAN FISIK :
Keadaan umum : Sakit sedang
Berat badan : 4 kg
Suhu : 36,80C
Respirasi : 42 x/ menit
Rhinorhea : (-)
Gusi :-
4
Lidah : Tidak kotor
Leher :
Pembesaran kelenjar leher : Getah bening -/-,
Pembesaran kelenjar di ketiak : Getah bening -/-,
Faring : Hiperemis
Tonsil : T1/T1 tidak hiperemis
Toraks
a.Dinding dada/paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris bilateral, retraksi
subcostal (+), retraksi intercostal (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Bronchovesikuler +/+, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
b. Jantung
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Cardiomegali (-)
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni, regular. Murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :Bentuk datar
Auskultasi :Bising usus (+) kesan normal
Perkusi :Bunyi timpani
Palpasi :Nyeri tekan (-)
Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
Genitalia : Dalam batas normal
Otot-otot : Hipotrofi (-), kesan normal
Refleks : Fisiologis +/+, patologis -/-
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Laboratorium :
5
RBC 4,5 4,7-6,1 106 / uL
HGB 15,3 14-18 g / dL
HCT 30 42-52 %
3
PLT 335 150-450 10 / uL
Radiologi:
Foto thorax: -
RESUME
Anamnesis : Pasien perempuan usia 1 bulan 3 hari, masuk dengan keluhan
batuk (+) sejak 1 minggu yang lalu, lendir(+), pada saat akhir batuk terdengar
suara mendengkur disertai muntah (+), keluhan disertai febris (+) sejak 3 hari
yang lalu, kejang (-) BAK lancar BAB biasa
Pem. Radiologi : -
DIAGNOSIS :
Pertussis
DIAGNOSIS BANDING:
Bronkopneumonia
TERAPI :
6
- IVFD RL 10 tpm
- Azytromycin 40mgx1
- Paracetamol drop 0,4 ml x 4
- Puyer batuk:
Ambroxol 2mg
CTM 0,4 mg 3x1 pulv
Salbutamol 0,3 mg
ANJURAN
Foto Thorax
FOLLOW UP
1) Follow up 21 Mei 2017 (Perawatan hari 2)
S : Panas (-) hari ke empat, bebas panas hari pertama batuk berlendir (+), flu (-)
beringus(-), sesak (-), muntah (+) 2 kali, BAK biasa, BAB lancar
O :Nadi : 130 kali/menit
Suhu :36,9C
RR : 45 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat adanya
massa, retraksi subcostal (+), retraksi intercostal (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : Pertusis
P :
- IVFD RL 10 tpm
- Azytromycin 40mgx1
7
- Paracetamol drop 0,4 ml x 4
- Puyer batuk:
Ambroxol 2mg
CTM 0,4 mg 3x1 pulv
Salbutamol 0,3 mg
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : Pertusis
P :
- IVFD RL 10 tpm
- Azytromycin 40mgx1
- Paracetamol drop 0,4 ml x 4
- Puyer batuk:
Ambroxol 2mg
CTM 0,4 mg 3x1 pulv
Salbutamol 0,3 mg
8
O :Nadi : 114 kali/menit
Suhu : 36,5C
RR : 30 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat adanya
massa, retraksi subcostal (+), retraksi intercostal (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : Pertusis
P :
- IVFD RL 10 tpm
- Azytromycin 40mgx1
- Paracetamol drop 0,4 ml x 4
- Puyer batuk:
Ambroxol 2mg
CTM 0,4 mg 3x1 pulv
Salbutamol 0,3 mg
4) Follow up 24 Mei 2017 (Perawatan hari 5)
S : Panas (-), batuk berlendir (-), flu(-), sesak (-), muntah (-), BAK biasa, BAB
lancar
O :Nadi : 105 kali/menit
Suhu :36,4C
RR : 34 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat adanya
massa, retraksi subcostal (+), retraksi intercostal (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
9
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (+/+),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : Pertusis
P :
- IVFD RL 10 tpm
- Azytromycin 40mgx1
- Paracetamol drop 0,4 ml x 4
- Puyer batuk:
Ambroxol 2mg
CTM 0,4 mg 3x1 pulv
Salbutamol 0,3 mg
5) Follow up 25 Mei 2017 (Perawatan hari 6)
S : Panas (-), batuk berlendir (-), flu(-), sesak (-), muntah (-), BAK biasa, BAB
lancar
O :Nadi : 102 kali/menit
Suhu :36,4C
RR : 35 kali/menit
Pemeriksaan fisik :
Hidung : pernapasan cuping hidung (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-)
Paru :
Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, tidak terlihat adanya
massa, retraksi subcostal (+), retraksi intercostal (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan sama
Auskultasi : Suara napas bronchovesikuler (+/+), ronchi (-/-),
wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (-)
Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-)
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-)
A : Pertusis
10
P :
- IVFD RL 10 tpm
- Paracetamol drop 0,4 ml x 4
- Puyer batuk:
Ambroxol 2mg
CTM 0,4 mg 3x1 pulv
Salbutamol 0,3 mg
11
DISKUSI
Pertusis (atau batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
tenggorok dengan bakteri Bordetella pertussis. Pertusis (batuk rejan) disebut juga
whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari.
Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun
1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan
individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang
berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi
saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada
anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000
kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.
Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum
ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup
tinggi. Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit
pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.. Di
seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta
meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab
utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika
Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen
adalah anak kurang dari 5 tahun,5,6.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram
negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. awalnya mirip dengan
infeksi saluran nafas atau lainnya yaitu pilek dengan lendir cair dan jernih, mata
merah dan berair, batuk ringan, demam ringan. Pada stadium ini, kuman paling
12
mudah menular. Setelah 1-2 minggu, timbullah stadium kedua dimana frekuensi dan
derajat batuk bertambah. Stadium penyembuhan terjadi 2-4 minggu kemudian, namun
batuk bisa menetap hingga lebih dari 1 bulan.5.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah
diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan
pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih
tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1.
Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica,
B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis
adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak
sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca
penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama
FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin
(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya
timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi
dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh
karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella
pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang
dikenal dengan whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
13
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A
yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke daerah infeksi 9.
Toksin pertusis terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal,
sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa darinya
merupakan manifestasi sistemik penyakit. Toksin pertusis menyebabkan limfositisis
segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam
sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal
dalam patogenesis.9
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan
lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu
7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan
saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan10.
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,
ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
Bersin-bersin
Mata berair
Nafsu makan berkurang
Lesu
Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
14
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-
15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk
bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh
bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).
Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.
Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat
sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi
dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.
Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran
pernafasan.
15
setelah pertussis10,12. Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan
infiltrat perihiler, atelektasis atau emfisema.
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,
pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.
Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya
gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan
endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat
menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman
penyebab 10.
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati
keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi,
istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas
adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang
mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati
komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa
komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam 11. Paroksismal khas
yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang
dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau
desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal,
berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal,
mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan
tidak berespons1,11.
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan
faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,
oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan
lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien
12
pertussis adalah sebagai berikut : Pilihan utama agen antimikroba dalam
16
penatalaksanaan pertusis dengan menggunakan, azitromosin <1 bulan 10
mg/kg/bb/ hari dosis tunggal selama 5 hari pertama, 1-5 bulan,> 6 bulan 10
mg/kgbb dosis tunggal pada hari ke 1 (maksimal 500 mg), kemudian 5
mg/kgbb/hari dosis tunggal pada hari ke 2-5 (maksimal 250 mg/hari). Remaja
500 mg dosis tunggal pada hari ke-1 kemudian 250 mg dosis tunggal pada
hari ke 2-5 13.
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau
diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran
infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi
empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.
Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat
juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan
dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24
jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis
40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan
organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,
Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi
pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul
daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-
satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.
Penggunaan salbutamol, mencegah obtruksi dan mengurangi whoop.
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan
gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada
trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian
kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu
paroksismal.
Penggunaan Kortikosteroid untuk mengurangi batuk tidak ada trial
klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan mengevaluasi
penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada
binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit
17
yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia.
Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.
Pencegahan yang dapat dilakukan, (a) Imunisasi aktif : Dosis total 12
unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8
minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria
dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4
minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi11 . Imunitas
tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi
pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi
B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25
ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang
terpapar13 Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi
umum seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan
sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada
saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam 11.
18
50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang
berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan
eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan
12
mengurangi gejala-gejala penyakit . Orang-orang yang kontak dengan
penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan
eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak
dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau
mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan
eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemic 12.
Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat 1,11.,
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-
anak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder
(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes) 1, TBC laten dapat juga
menjadi aktif, Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan
lendir yang kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan
pneumonia. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh
bakteria, Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli,
empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul
dan menetap, Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh
S.pneumonia, Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk
dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan
epidural, perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia
inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi1,11, Dapat pula
terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat
disebabkan oleh temperatur tinggi1,10, Kejang-kejang oleh karena hiponatremia
yang sekunder terhadap Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic
Hormone (SIADH)10.
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000
kasus. Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-
19
2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa
tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami
patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh
ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Long, Sarah. (2010). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol III.
Jakarta : EGC. 181: 960-965.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (2013). Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2011). Pertusis. Staf pengajar
I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia.
FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
21
12. Tejpratap Tiwari. (2010). Recommended Antimicrobial Agents for the
Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
13. Pedoman pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Penerbit IDAI,
2011.
22