PENDAHULUAN
1
BAB II
BRONKIEKTASIS
1. ETIOLOGI
Bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas. Namun diduga
bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. (Aru W.
Sudoyo et al, 2006)
1.1. Kelainan kongenital
Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan.
Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang
peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai
hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu,
bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital
seperti Fibrosis kistik, Kertagener Syndrome, William Campbell syndrome,
Mounier-Kuhn Syndrome, dll. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)
Diskinesia silia primer merupakan suatu kondisi di mana fungsi
silia berkurang berhubungan dalam mempertahankan sekresi dan infeksi
berulang yang akhirnya menyebabkan bronkiektasis. Sindrom ini
diturunkan sebagai autosomal resesif dengan penetrasi variabel. Frekuensi
1 dalam 15.000 : 1 dalam 40.000 kelahiran. Penyebab defek silia pada
sindrom ini adalah tidak adanya atau memendeknya lengan dynein lengan
yang bertanggung jawab akan kelenturan akson. Sekitar setengah dari
pasien dengan diskinesia silia primer memiliki Sindrom Kartagener's
(bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus atau partial lateralizing
abnormality). (Barker AF, 2002)
1.2. Kelainan didapat
Bronkietasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi
bronkus. Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kelainan didapat
dan kebanyakan merupakan akibat dari proses berikut:
2
1.2.1. Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa
anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)
Imunisasi pada masa kanak-kanak yang efektif ditandai dengan
penurunan insidensi bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis atau
batuk rejan. Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak lainnya dapat
menyebabkan kerusakan permanen pada saluran pernapasan. Kehadiran
Staphylococcus aureus dikaitkan dengan fibrosis kistik atau aspergillosis
bronkopulmonalis alergi. Aspergillus fumigatus merupakan organisme
komensal. Aspergillosis bronkopulmonalis alergi adalah suatu keadaan
yang mempengaruhi pasien asma dan melibatkan kerusakan saluran napas
yang disebabkan oleh beberapa faktor. Bronkiektasis pada pasien dengan
aspergillosis bronkopulmonalis alergi ini disebabkan oleh reaksi imun
pada aspergillus, kerja dari mikotoksin, elastase dan interleukin-4 dan
interleukin-5 dan pada tahap kemudian terjadi invasi jamur secara
langsung pada saluran napas. Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan
peningkatan dan penurunan fungsi paru dengan penggunaan kortikosteroid
setelah terapi itrakonazol menunjukkan organisme Aspergillus juga
mungkin menginfeksi. Tidak mengherankan bahwa bronkiektasis dapat
digambarkan pada pasien dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS), menyebabkan terjadinya infeksi saluran pernapasan berulang dan
merusak respons host. Kebanyakan pasien memiliki jumlah CD4 yang
rendah, sebelumnya ada infeksi piogenik, pneumocystic, dan infeksi
mikobakteri, dan pneumonia interstisial limfositik (pada anak). (Barker
AF, 2002)
1.2.2. Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab
seperti korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya
terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa infeksi
3
ataupun obstruksi bronkus tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan
bronkiektasis. Diduga mungkin masih ada faktor instrinsik (yang sampai
sekarang belum diketahui) ikut berperan dalam timbulnya bronkiektasis.
(Sudoyo Aru W et al, 2006)
1.3. Lokasi
Berdasarkan lokasinya, bronkiektasis dibagi menjadi:
Setempat (localized), yaitu di lobus bawah, lobus tengah kanan
atau lingula, biasanya sebagai komplikasi dari pneumonia berat,
dapat juga karena penyumbatan oleh benda asing, tumor atau
penekanan dari luar (kompresi oleh tuberkulosis kelenjar limfa).
Bronkiektasis di lobus tas biasanya disebabkan oleh tuberkulosis
atau aspergilosis bronkopulmonar.
Menyeluruh (generalized), biasanya karena infeksi sistem
pernapasan yang berulang disertai kelainan imunitas ataupun
kelainan mucocilliary clearance. Penyebab lainnya adalah
vaskulitis, defisiensi -1-antitripsin, AIDS, sindrom merfan, SLE,
sindrom syorgen dan sarkoidosis. (Sumber : Patel Pradip R, 2005;
Patrick Davey, 2005)
4
pertukaran gas terjadi. Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan
unit fungsional dari paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang
disebut lobulus primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat
sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris
terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum.
Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan
komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika
seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan
seluas satu lapangan tenis. ( Wilson LM, 2006)
5
permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus mencegah
kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus
dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya
alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi
ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta
mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang
mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan
penyakit lainnya. ( Wilson LM, 2006)
Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus
dextra dan bronchus sinistra:
Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih
pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini
disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke
arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus
dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis
setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah
cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior,
kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus
sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan
lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior
letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis.
Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di
sebelah caudal a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya
bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju
ke segmen pulmo.( Luhulima JW, 2004)
Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi
bentuknya lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah
caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus
thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior
arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah
inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan
6
lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas
trachea dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior
dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus
tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh vascularisasi dari
a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens, dan
truncus sympathicus. ( Luhulima JW, 2004)
2.2. Fisiologi
2.2.1. Struktur dan fungsi saluran napas normal
2.2.1.1. Sel epitel permukaan
Sel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya
dibentuk oleh dua tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori
dibagi menjadi subtipe berdasarkan penampakan mikroskopik (misalnya
Sel clara, goblet dan serous ). Selain musin, sel sekretori juga melepaskan
beberapa molekul antikmikroba (sebagai contaoh defensin, lisosim, dan
IgA), molekul immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul
pelindung (protein trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam
mukus. (Fahy JV&Dickey BF, 2010)
2.2.1.2. Kelenjar submukosa
Pada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar
submukosa berkontribusi pada sekresi musin (gambar 2). Kelenjar
dihubungan dengan lumen saluran napas oleh duktus silia superfisial yang
mendorong sekresi keluar dan duktus kolektus nonsilia profundus.
Kelenjar sumukosa berlokasi diantara otot polos dan kartilago. Sel mukous
membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous yang berlokasi didistal,
membentuk 40% volume kelenjar, mensekresi proyeoglikan dan protein
antimikroba. Pada keadaan patologi, volume kenjar submukosa dapat
meningkat melebihi volume normal. (Fahy JV&Dickey BF, 2010)
2.2.1.3. Lapisan mukosa (lapisan lendir)
Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan
terbanyaknya adalah cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan
normal mukus adalah 97% air dan 3 % solid (musin, protein nonmusin,
garam, lemak dan sel debris). (Fahy JV&Dickey BF, 2010)
7
Gambar 2. Mukus klirens pada saluran napas yang normal.
(Sumber :Fahy JV&Dickey BF, 2010)
3. PATOGENESIS
8
Belum diketahui secara sempurna, namun diperkirakan yang
menjadi penyebab utama adalah peradangan dengan destruksi otot,
jaringan elastik dan tulang rawan dinding bronkus, oleh mukopus yang
terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus (gambar 3).
(Fahy JV&Dickey BF, 2010)
9
Inflammatory insult yang pertama akan diikuti oleh kolonisasi bakteri
yang akan menyebabkan kerusakan bronkus lebih lanjut dan predisposisi
untuk kolonisasi lagi dan ini merupakan lingkaran yang tidak terputus.
Pada akhirnya terjadi fibrosis dinding bronkus dan jaringan paru
sekitarnya menyebabkan penarikan dinding bronkus yang sudah lemah
sehingga terjadi distorsi. Distensi juga bisa diperberat oleh atelektasis paru
sekitar bronkus yang menyebabkan bronkus mendapatkan tekanan
intratorakal yang lebih besar. (Benditt, JO, 2008; Barker AF, 2002)
4. PATOLOGI
4.1. Gambaran makroskopis
Makroskopis paru bronkiektasis tampak dilatasi permanen dari
jalan napas subsegmental yang mengalami inflamasi, berliku-liku, dan
sebagian atau seluruhnya dipenuhi mukus (gambar 4). Proses ini meliputi
bronkiolus, dan bagian akhir jalan napas yang ditandai dengan fibrosis
jalan napas kecil. Klasifikasi menurut Reid (atas dasar hubungan patologi
dan bronkografi):
4.1.1. Bronkiektasis silindris, merupakan bronkiektasis yang paling ringan.
Bentuk ini sering dijumpai pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis
kronik. Bronkus tampak seperti bentukan pipa berdilatasi, jalan napas
yang lebih kecil dipenuhi mukus.
4.1.2. Bronkiektasis varikosa, merupakan bentuk intermediet, istilah ini
digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang menyerupai varises
vena.
4.1.3. Bronkiektasis sakuler atau kistik, merupakan bentuk bronkiektasis yang
klasik, ditamdai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang
bersifat ireguler. Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista. (Aru W.
Sudoyo et al, 2006)
10
Gambar 4. Bermacam-macam tipe bronkiektasis
(Sumber : Davey Patrick, 2005)
5. DIAGNOSIS
5.1. Gambaran klinis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi
sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai
tahunan. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol.
Terjadi hampir 90% pasien. (Barker AF, 2002; Aru W. Sudoyo et al, 2006)
Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi
akibat dari kerusakan jalan napas dengan infeksi akut. Sputum yang
dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit dan
ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid,
mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum
menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total
sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya
bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml digolongkan sebagai
11
bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari
digolongkan sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml
digolongkan sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya
bronkiektasis dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien
fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding
penyakit penyebab bronkiektasis lainnya. Dispnea dan mengi terjadi pada
75 % pasien. Nyeri dada pleuritis terjadi pada 50 % pasien dan
mencerminkan adanya distensi saluran napas perifer atau pneumonitis
distal yang berdekatan dengan permukaan pleura viseral. (Barker AF,
2002)
5.2. Pemeriksaan fisik
Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik dada,
termasuk crackles (70 %), wheezing (34 %), dan ronki (44 %) adalah
petunjuk untuk diagnosis. Dahulu, clubbing finger atau jari tabuh adalah
gambaran yang sering ditemukan, tapi saat ini prevalensi gambaran
tersebut hanya 3 %. Penyakit utama yang mengaburkan bronkiektasis
adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Perbandingan gambaran
dari dua kondisi disajikan pada Tabel 1. (Barker AF, 2002)
12
(Sumber : Barker AF, 2002)
7.3. Pemeriksaan penunjang
7.3.1. Spirometri
Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara,
dengan rasio penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1)
untuk memaksa volume kapasitas paksa (FVC), FVC normal atau sedikit
berkurang dan FEV1 menurun. Penurunan FVC menunjukkan bahwa
saluran udara tertutup oleh lendir, dimana saluran napas kolaps saat
ekspirasi paksa atau adanya pneumonitis pada paru. Merokok dapat
memperburuk fungsi paru dan mempercepat kerusakan.
Hyperresponsiveness saluran napas dapat ditunjukkan, dimana 40 %
pasien memiliki 15 % atau peningkatan yang lebih besar pada FEV 1
setelah pemberian agonis beta-adrenergik, dan 30 sampai 69 % pasien
yang tidak memiliki terlihat penurunan FEV1 memiliki 20 % penurunan
FEV1 setelah pemberian histamin atau methacholine. (Barker AF, 2002)
13
Gambar 5. Gambaran honeycomb appearance.
( Sumber : Sutton D, 2003)
(A) (B)
Gambar 6. (A). Tanda panah menunjukan gambaran Ring shadow,
(B). Gambaran tubular shadow. (Sumber : Sutton D, 2003)
14
Gambar 7. Bronkografi; kini teknik yang kuno namun elegan dapat
menunjukkan bronkiektasis silindris yang disertai dilatasi bronkus lobus
bawah (Sumber : Patel Pradip R, 2005)
7.3.2.2. Bronkografi
Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke dalam
sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini
selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-
bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis),
sakuler (kistik) dan varikosis. (Sutton D, 2003)
Pada gambar 7, didapatkan gambaran glove finger shadow yang
menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat seperti jari-jari pada
sarung tangan. (Sutton D, 2003)
15
1,55 mm (Gambar 9 dan 10). Sebagai konsekuensinya, saat ini
pemeriksaan ini adalah teknik standar atau untuk mengkonfirmasi
diagnosis bronkiektasis. (Fauci et al, 2008)
16
sering ada hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik paru sering ditemukan ronki
basah kasar pada daerah paru yang terkena, gambaran foto dada boleh
dikatakan masih normal. (Sudoyo Aru W et al, 2006)
9. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalau
berhadapan dengan bronkiektasis :
Bronkitis kronik
Tuberkulosis paru (penyakit ini dapat disertai kelainan anatomis
paru berupa bronkiektasis)
Abses paru (terutama bila telah ada hubungan dengan bronkus
besar)
Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru.
(Sudoyo Aru W et al, 2006)
17
Gambar
10. 9. High-Resolution Computed Tomographic Images of Lungs
KOMPLIKASI
withAda
Bronchiectasis.
beberapa komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien bronkiektasis
Panel A shows dilated and thickened airways (arrow); Panel B shows
antara
airways lain:
that do not taper (arrows) toward the periphery in a patient with
Kartageners syndrome;dengan
Pneumonia Panel Catau
showstanpa atelektasis.
varicose changesBronkiektasis
(dilated and sering
beaded airways [arrows]);
mengalami Panel
infeksi D shows
berulang, clustered
biasanya cysts orterhadap
sekunder sacculesinfeksi
(arrow) as well as a peripheral infiltrate; Panel E shows middle-lobe
saluran
bronchiectasis napasinbagian
(arrows) atas.with
a patient HalMycobacterium
ini sering terjadiavium
pada complex
pasien dengan
infection. (Sumber
drainase:sputum
Barkerkurang
AF, 2002)
baik.
18
Pleuritis, komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya
pneumonia. Umumnya merupakan pleuritis sicca pada daerah yang
terkena.
Hemoptisis, terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena
(arteri pulmonalis), cabang arteri (arteri bronkial) atau anastomosis
pembuluh darah. Hemoptisis hebat dan tidak terkendali merupakan
tindakan bedah gawat darurat.
Korpulmonale, sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang
berat dan lanjut.
Kegagalan pernapasan, merupakan komplikasi paling akhir yang
timbul pada bronkiektasis lanjut dan luas.
11. PENATALAKSANAAN
11.1. Konservatif
11.1.1. Pengelolaan umum
Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis, meliputi:
11.1.1.1. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
Contohnya membuat ruangan hangat, udara ruangan kering, mencegah
atau menghentikan merokok, mencegah atau menghindari debu, asap dan
sebagainya. (Sudoyo Aru W et al, 2006)
11.1.1.1. Memperbaiki drainase sekret bronkus
Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang paling
efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus terjadi secara terus-menerus. Pasien
diletakkan dengan posisi tubuh sedemikaian rupa sehingga dapat dicapai drainase
sputum secara maksimal. Tiap kali melakukan drainase postural dikerjakan selama
10-20 menit samapi sputum tidak keluar lagi dan tiap hari dikerjakan 2 sampai 4
kali. Prinsip drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum dengan
bantuan gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase
postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya adalah untuk
menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi agar menuju ke hilus
paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga mudah dibatukkan keluar.
Apabila dengan mengatur posisi tubuh pasien seperti tersebut diatas belum
19
diperoleh drainase sputum secara maksimal dapat dibantu dengan tindakan
memberikan ketukan dengan jari pada punggung pasien (tabotage). (Sudoyo Aru
W et al, 2006)
20
Pengobatan ini hanya diberikan jika timbul gejala yang mungkin
menganggu atau membahayakan pasien.
11.1.3.1. Pengobatan obstruksi bronkus
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari hasil uji
faal paru (% VEP1 < 70%) dapat diberikan obat bronkodilator. Sebaiknya sewaktu
dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda obstruksi saluran napas
sekaligus dilakukan tes terhadap obat bronkodilator. Apabila hasil tes
bronkodilator positif, pasien perlu diberikan obat bronkodilator tersebut. (Sudoyo
Aru W et al, 2006)
11.1.3.2. Pengobatan hipoksia
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu terjadinya
eksaserbasi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada pasien telah terdapat
komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen harus hati-hati, harus dengan
aliran rendah (cukup 1 liter/menit). (Sudoyo Aru W et al, 2006)
11.1.3.3. Pengobatan hemoptisis
Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin merupakan
perdarahan arterial yang memerlukan tidakan operatif segera untuk menghentikan
perdarahannya, dan sementara harus diberikan transfusi darah untuk
menggantikan darah yang hilang. (Sudoyo Aru W et al, 2006)
Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari 600 ml darah per hari)
dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis. Setelah jalan napas telah
dilindungi dengan pasien berbaring di sisi tempat perdarahan yang dicurigai atau
dengan intubasi endotrakeal, bronkoskopi atau CT dari thoraks diyakinkan
membantu menentukan lobus atau sisi yang mengalami perdarahan. Jika
intervensi radiologi tersedia, aortography dan kanulasi dari arteri bronkial untuk
memgambarkan lokasi ekstravasasi darah atau neovaskularisasi sehingga
embolisasi yang dapat ditunjukan. Pembedahan mungkin masih diperlukan untuk
direseksi daerah yang dicurigai mengalami perdarahan. (Barker AF, 2002)
11.1.3.3. Pengobatan demam
Pada psein dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam, terlebih jika
terjadi septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan antibiotik yang sesuai,
21
dosis cukup, perlu ditambahkan abat antipiretik lainnya. (Aru W. Sudoyo et al,
2006)
11.2. Pembedahan
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi tidak
menghilang. Tujuan dari operasi pengangkatan tumor termasuk menghilangkan
tumor obstruktif atau residu dari benda asing, pengangkatan segmen atau lobus
yang paling rusak dan diduga berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang
sangat kental, impaksi lendir. Pengambilan daerah yang memiliki perdarahan
abnormal yang tidak terkontrol, dan pengambilan dari paru rusak yang dicurigai
menyembunyikan organisme seperti M. MDR-TB atau avium M. complex. Tiga
pusat bedah telah menggambarkan pengalaman mereka dengan operasi tersebut
selama dekade terakhir, dengan rata-rata tindak lanjut empat sampai enam tahun.
Mereka telah mencatat perbaikan dalam gejala di lebih dari 90 % pasien, dengan
mortalitas perioperatif kurang dari 3 %. (Barker AF, 2002)
Reseksi komplit dilaporkan pada 118 dari 143 pasien bronkiektasis (rata-
rata usia 23,4 tahun) dengan angka morbiditas 23% dan angka mortilitas 1,3%.
Bronkiektasis stadium berhasil diterapi dengan transplantasi paru. Beime et al
melaporkan 86% pasien yang menerima satu atau dua transplantasi paru memiliki
angka kelangsungan hidup 1 tahun. (ODonnel, 2008)
Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang terbatas dan
resektabel yang tidak berespon terhadap tindakan konservatif yang adekuat, dan
pasien bronkiektasis yang terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau
hemoptisis masif. Kontraindikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis dengan
PPOK, pasien bronkiektasis berat dan pasien dengan komplikasi korpulmonum
kronik dekompensata. (Aru W. Sudoyo et al, 2006)
22
digunakan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi eksaserbasi. Pada pasien
dengan bronkiektasis kronis, sputumnya merupakan purulen kronis. Dalam studi
prospektif, pasien dengan bronkiektasis, eksaserbasi didefinisikan sebagai
termasuk empat dari sembilan gejala yang tercantum dalam Tabel 2. Terapi
antibiotik awal untuk eksaserbasi dicurigai pada pasien dengan bronkiektasis
mungkin membatasi lingkaran setan. Antibiotik pilihan pertama adalah
fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau levofloksasin. Durasi terapi yang tepat
belum ditentukan, tapi setidaknya 7 sampai 10 hari. Kultur sputum dan uji
sensitivitas diindikasikan pada pasien yang tidak memiliki respon terhadap insiasi
antibiotik. (Barker AF, 2002; ODonnel, 2008)
13. PROGNOSIS
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta
luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara
tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada
kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya buruk, survivalnya tidak akan
lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia,
empiema, payah jantung kanan, hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa
23
komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan. (Aru
W. Sudoyo et al, 2006)
BAB III
SIMPULAN
24
mengendalikan infeksi, mengendalikan pembentukan dahak, membebaskan
penyumbatan saluran pernapasan serta mencegah komplikasi.
Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat
memperbaiki prognosis penyakit. B r o n k i e k t a s i s d a p a t d i c e g a h d e n g a n
m e l a k u k a n i m u n i s a s i c a m p a k d a n p e r t u s i s p a d a m a s a k a n a k - kanak.
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya
tidak akan lebih dari 5-15 tahun.
25