Anda di halaman 1dari 20

1.1.

Epidemiologi
Herpes zoster ditemukan pada lebih kurang 20% dewasa sehat dan lebih
kurang 50% pada orang dengan imunokompromais yang pernah terinfeksi VZV.
Kebanyakan kasus berumur lebih dari 45 tahun dan insidennya meningkat sesuai
dengan pertambahan usia. Insiden herpes zoster pada individu kurang dari 50 tahun
ratio insidennya 2,5/1000, pada individu lebih tua (60-79 tahun) adalah 6,5/1000,
sedangkan pada usia di atas 80 tahun meningkat menjadi 101/1000.6
Herpes zoster sangat jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 10
tahun, dengan insiden 0,74 per 1000 anak. Adanya herpes zoster pada anak
disebabkan infeksi primer VZV selama tahun-tahun pertama kehidupan atau infeksi
intra uteri dari ibu selama kehamilan.6
Di Indonesia insiden kasus herpes zoster belum ada yang dipublikasikan. Data
dari Sub Bagian Dermatologi Umum Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI / RSCM selama tahun 2000 tercatat sejumlah 122 pasien.4 Sedangkan insiden di
Poli Kulit RS dr M Djamil Padang tahun 2002 – 2006 berkisar lebih kurang 1,01%
dari total pasien baru. Dimana pada tahun 2002 sebanyak 95 kasus dari 9311 pasien
(1,02%), tahun 2003 sebanyak 89 kasus dari 9512 pasien (0,93%), tahun 2004
sebanyak 80 kasus dari 9032 pasien (0,88%), tahun 2005 sebanyak 105 kasus dari
9353 pasien (1,12%) dan tahun 2006 sebanyak 98 kasus dari 9380 pasien (1,14%).7

1.2. Gejala klinis


Gejala prodormal
Manifestasi klinis herpes zoster didahului dengan gejala prodormal diawali
dengan nyeri pada daerah lesi. Keadaan ini berlangsung 1 – 4 hari sebelum erupsi
kulit. Nyeri bersifat segmental sesuai dermatom bervariasi secara intermiten. Kadang-
kadang subjektifnya berupa rasa gatal, kesemutan, panas, pedih bahkan sampai rasa
ditusuk- tusuk. Gejala umum berupa malaise, sefalgia, nausea yang mana keadaan ini
hilang setelah erupsi kulit muncul.1-4
Erupsi kulit
Kemudian diikuti dengan erupsi kulit pada daerah yang nyeri tersebut. Lesi
awal berupa makula eritem dan papula eritem yang dalam 12 - 24 jam menjadi vesikel
berkelompok terletak pada satu sisi (unilateral) dan dapat berkembang menjadi pustul
dalam 3 hari. Lesi akan mengering dan menjadi krusta dalam 7 – 10 hari. Krusta

1
biasanya bertahan selama 2 – 3 minggu kemudian mengelupas. Pada individu normal,
lesi baru tetap muncul dalam 1 – 4 hari. Lesi lebih berat dan bertahan lebih lama pada
penderita usia tua dan lebih ringan serta lebih singkat pada anak-anak.1-4
Ciri khas herpes zoster adalah lesi yang berlokasi dan terdistribusi hampir
selalu unilateral, tidak melewati garis tengah tubuh dan biasanya terbatas pada daerah
yang dipersarafi oleh ganglion sensorik.1-4

1.3. Variasi klinis


Secara klinis manifestasi herpes zoster antara lain :
 Zoster sine herpete : Adanya nyeri dermatom yang jelas tanpa disertai dengan
erupsi kulit. Hal ini disebabkan gagalnya penyebaran VZV ke kulit saat fase
reaktivasi.4,5,8,9
 Herpes zoster abortif : Perjalanan penyakit sangat singkat disertai dengan
kelainan kulit yang sangat ringan.4,5,8,9
 Herpes zoster oftalmikus : Herpes zoster yang menyerang ganglion oftalmikus
yang merupakan cabang I nervus trigeminal. Bila mengenai anak cabang
nervus nasosiliaris dapat menimbulkan kelainan pada mata yang bisa berupa
konjungtivitis, keratitis, uveitis anterior, iridosiklitis bahkan panoftalmitis.4,5,8,9
 Sindrom Ramsay Hunt : Herpes zoster pada liang telinga eksterna atau
membran timpani, terdapat paralisis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan
mengecap pada 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo dan tuli. Pada keadaan
ini virus menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius.4,5,8,9
 Herpes zoster generalisata atau diseminata : Lesi utama disertai penyebaran
vesikel-vesikel soliter pada tubuh.4,5,8,9
 Herpes zoster pada pasien imunokompromais : Lesi cukup berat bisa multi
dermatom, ditemukan bula hemoragik, nyeri hebat, dapat mengenai organ
dalam dengan gejala prodormal hebat dan erupsi kulit yang berlangsung lebih
lama.10

1.4. Komplikasi
Komplikasi herpes zoster secara garis besar bisa dikelompokan pada
komplikasi di kulit, organ viseral dan neurologik.3,9
Infeksi sekunder oleh bakteri memperlambat proses penyembuhan. Pada
erupsi kulit yang disertai infeksi sekunder dapat meninggalkan bekas berupa jaringan

2
parut, dan pada penderita dengan bakat keloid dapat terjadi keloid. Pada keadaan
dengan gangguan imunitas dapat terjadi herpes zoster dengan lesi kulit yang luas yang
dikenal dengan herpes zoster diseminata.3,4,9
Komplikasi terhadap organ viseral yang sering dijumpai adalah pneumonitis,
hepatitis, pericarditis dan lain-lain. Sedangkan komplikasi neurologik yang paling
sering ditemui adalah neuralgia paska herpetik (NPH), meningoensefalitis, myelitis
transversa, komplikasi pada mata berupa keratitis akut, skleritis, uveitis, glaukoma
sekunder, ptosis, korioretinitis, neuritis optika dan parese otot penggerak bola
mata.3,4,5,9
Pada NPH nyeri menetap 1 - 3 bulan atau lebih sesudah lesi herpes
menyembuh. Terjadinya NPH ini sangat erat hubungannya dengan umur penderita
saat timbulnya herpes zoster. NPH menimbulkan gejala nyeri hebat yang kadang sulit
diatasi sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sesudah herpes zoster
menghilang. Hal ini disebabkan karena kerusakan neuron yang terjadi pada fase akut
menjadi permanen karena daya regenerasi sel neuron yang rendah.3,8,11

Tabel 1 : Komplikasi herpes zoster

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 3

1.5. Pengobatan
Untuk gejala ringan pengobatan cukup dengan analgetik, seperti asam
mefenamat 3x500mg / hari, parasetamol 3x500mg / hari yang dikombinasikan dengan
kodein 3x10mg / hari atau dengan tramadol 3x50mg / hari. Kodein merupakan

3
analgetik yang bekerja secara sentral di susunan saraf pusat untuk memperkuat efek
analgetik parasetamol yang bekerja di perifer.5
Pada lesi luas dan berat selain analgetik juga diberikan antivirus seperti
asiklovir oral 5x800mg / hari selama 7 hari, atau valasiklovir oral 3x1000mg / hari
selama 5-7 hari, atau alternatif lain famsiklovir oral 3x250mg / hari. Terapi antivirus
memberikan hasil optimal jika diberikan pada 3 hari pertama sejak erupsi kulit
muncul.5
Pada keadaan yang disertai keterlibatan organ-organ viseral diberikan asiklovir
intravena 10mg/kgBB 3x / hari selama 5-10 hari. Asiklovir dilarutkan dalam 100cc
NaCl 0,9% dan diberikan dengan tetes selama 1 jam.5
Pada penderita HIV/AIDS merupakan penyulit pada herpes zoster ini karena
terdapat gangguan imunologis, diberikan foscarnet intravena 60mg/kgBB / hari setiap
8 jam selama 14-21 hari.5
Kortikosteroid sistemik diindikasikan pada penderita sindrom Ramsay Hunt.
Dosis kortikosteroid yang digunakan adalah 40-60mg / hari. Penggunaan
kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada herpes zoster yang disertai dengan nyeri
hebat dengan tujuan menghambat inflamasi yang terjadi pada ganglion sensorik
sehingga dapat mengurangi lamanya nyeri pada fase akut, tetapi penggunaan
kortikosteroid pada keadaan ini masih diperdebatkan.5

1.6. Latar belakangy


Di dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas mengenai Varicella zoster
virus dan patogenesis herpes zoster. Hal ini didasari data epidemilogi tampak bahwa
insiden herpes zoster yang masih tinggi yaitu sekitar 20% dari individu dewasa yang
pernah terinfeksi VZV dan semakin meningkat dengan pertambahan usia. Seiring
dengan bertambahnya angka harapan hidup akan berakibat meningkatnya insiden
herpes zoster.
Terdapatnya berbagai variasi klinis herpes zoster, diharapkan dengan
memahami patogenesis penyakit tersebut dapat membantu dalam penegakan diagnosis
sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat. Komplikasi yang muncul
selama perjalanan penyakit seperti NPH yang merupakan komplikasi yang paling
sering ditemui juga menjadi dasar penulisan refrat ini, diharapkan dengan lebih
memahami patogenesisnya dapat memberikan pemahaman tentang pengobatan yang
tepat terhadap berbagai komplikasi yang timbul.

4
BAB II
HUMAN HERPES VIRUS

2.1. Klasifikasi
Varicella zoster virus adalah 1 dari 8 vrus dalam famili Herpesviridae yang
menyerang manusia, dikenal dengan human Herpes virus (HHV). Famili
Herpesviridae ini dibedakan lagi atas 3 sub-famili yaitu Alfaherpesvirus,
Betaherpesvirus dan Gammaherpesvirus. Pembagian ini berdasarkan kepada properti
biologis, seperti kemampuan menjadi laten pada sel-sel tertentu dan manifestasi klinis
yang ditimbulkan. Akan tetapi saat ini sudah ditetapkan pembagian virus berdasarkan
kepada kandungan gen dan kemiripan susunan gen tersebut.12,13

Tabel 2. Klasifikasi virus Herpes

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 13

5
Varicella zoster virus termasuk dalam subfamili Alfaherpesvirus dengan
karakteristik siklus reproduksi relatif singkat, penyebaran sel yang cepat,
kemampuannya menetap sebagai infeksi primer laten di ganglion sensorik.
Alfaherpesvirus ini dibagi menjadi 2 genus, yaitu genus Varicellovirus dan
Simplexvirus. Varicella zoster virus termasuk dalam kelompok genus Varicellovirus
yang hanya menginfeksi manusia.12-17
Saat ini sudah ditetapkan juga pembagian virus berdasarkan kandungan gen
dan kemiripan susunan gen tersebut. Gen virus herpes mempunyai kestabilan genetik
dengan sedikit perbedaan nukleotida dari isolasi virus dari penderita yang sama.
Varicella zoster virus memperlihatkan variasi nukleotida yang paling sedikit
dibanding virus herpes lainnya, dengan estimasi sekitar 0,05%-0,06%. Tampak bahwa
variasi nukleotioda ini 10 kali lebih rendah dibanding HSV, HHV8, CMV, dan PRV
dengan estimasi 0,32-0,81%, 1,5-2%, 2,5% dan 2-3%. Dari perbandingan tersebut
terlihat bahwa VZV mempunyai varian yang lebih sedikit dibanding HHV
lainnya.12,13,14
Meskipun VZV mempunyai kehomogenan genome, strain VZV masih bisa
dibedakan melalui analisis terhadap berbagai tipe mutasi yang terjadi pada susunan
genetik virus tersebut. Pembedaan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti
analisis terhadap restriction fragmen length polymorphisms (RFLPs), komposisi
variabel repeat region dan identifikasi single nukleotida polymorphisms (SNPs).12,13
Saat ini dikenal 3 tipe genotip utama VZV, yaitu yang sudah bisa diketahui
susunan genetiknya secara lengkap, seperti strain European Dumas, strain Japanese
Oka Vaccine dan Parental virus.12,13
Keunikan VZV dibanding HHV lainnya adalah kemampuan untuk menyebar
melalui inhalasi partikel virus yang terdapat di udara. Penyebaran VZV melalui
inhalasi berdasarkan fakta bahwa VZV mempunyai kestabilan biologik untuk
bertahan di lingkungan luar. Berdasarkan proses penyebaran ini, varicella zoster virus
menginfeksi mukosa traktus respiratorius bagian atas. Varicella zoster virus ini hanya
dapat bereplikasi di sel neuron, sel-sel kulit dan mukosa, dan perifer blood
mononucleus cells (PBMCs) yang dikenal sebagai sel host.12,13,16,17

2.2. Struktur virus


Seperti semua famili herpes virus, Varicella zoster virus merupakan virus
dengan DNA rantai ganda. Varicella zoster virus merupakan virus terkecil dalam

6
kelompok human Herpes virus. Genome virus ditutupi oleh nucleocapsid yaitu
membran yang membungkus inti sel virus yang berbentuk ikosahedral dengan ukuran
80-120 nm yang terdiri dari 162 kapsomer yang isometrik. Lapisan luar disebut lipid
envelope merupakan suatu lapisan lipid bilayer dan glikoprotein. Glikoprotein yang
terdapat pada VZV adalah glikoprotein B, C, D, E, H, I, L dan M (gB, gC, gD, gE,
gH, gI, gL dan gM). Glikoprotein ini mempunyai peranan penting pada proses
masuknya virus ke sel host, pembentukan virion, penyebaran virus dari sel host ke sel
host lainnya dan berfungsi sebagai target respon imun sel host. Antara lipid envelope
dan nucleocapsid terdapat tegumen, suatu amorfik yang kaya protein yang berfungsi
dalam memulai dan mengontrol transkripsi gen virus.13

Gambar 1 : Struktur Varicella Zoster Virus

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 13

2.3. Multiplikasi virus


Sama dengan virus lainnya, proses multiplikasi VZV terjadi di dalam sel host.
Proses multiplikasi VZV dimulai dengan invasi, pembentukan virus, dan penyebaran
virus ke sel host lain yang belum terinfeksi.13
Invasi
Proses invasi dimulai dengan :
 Masuknya virus
Masuknya virus kedalam sel host dimulai dengan perlengketan antara
envelope virus dengan membran sel host. Perlengketan ini dilakukan dengan interaksi
antara mannose 6 phosphat (M6P); suatu molekul di bagian luar envelope virus

7
dengan heparan sulphate, yaitu suatu proteoglycan yang terdapat di permukaan
membran sel host yang berfungsi sebagai reseptor terhadap virus.13
Kemudian dilanjutkan dengan fusi membran sel host dengan envelope virus
yang terjadi melalui interaksi residu mannose 6 phosphate yang terdapat di
ektodomain virus pada permukaan envelope virus dengan reseptor mannosa 6
phosphate (heparan sulfat) di permukaan sel host. Glikprotein virus yang berperanan
dalam proses perlengketan ini adalah gB, gC dan gD.12-16
Proses selanjutnya berupa penetrasi virus yang terjadi dengan masuknya
protein tegumen virus ke dalam sitosol sel host. Kemudian tegumen ini menuju
nukleus sel host, dilanjutkan pembukaan nucleocapsid sehingga terjadi fusi gen DNA
virus ke nukleus sel host. Saat fusi tersebut protein-protein yang terdapat dalam
tegumen berikatan dengan DNA virus.12-16

Gambar 2 : Proses perlengketan virus

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 16

8
 Sintesis protein
Setelah gen virus berada dalam nukleus sel host, ekspresi gen virus ini
dikontrol oleh berbagai protein dalam tegumen yang berikatan dengan DNA virus.
Sintesis protein VZV ini terdiri dari tahapan yaitu ; ekspresi gen immediate early (IE)
yang menghasilkan protein yang berfungsi dalam regulator dan mengaktivasi proses
transkripsi. Salah satu gen terpenting sebagai regulator dalam proses transkripsi
adalah gen IE62. Gen IE62 berfungsi dalam mensinergiskan protein virus dan protein
sel host pada awal proses transkripsi. Gen IE lainnya adalah IE61 yang berfungsi
menekan proses aktivasi transkripsi DNA virus ketika virus memasuki tahapan
berikutnya (replikasi DNA virus), dan IE17 dengan fungsi “host shut-off”, yaitu gen
yang berperanan terjadinya kematian sel host setelah terinfeksi VZV.12,13,16
Proses selanjutnya adalah sintesis early (E) protein. Dimana di sintesis
protein-protein seperti DNA helicase / primase, DNA polymerase, dan rantai tunggal
DNA, merupakan protein-protein yang berperanan dalam replikasi DNA virus.12,13,16
Tahap yang ketiga adalah sintesis late (L) protein. Merupakan protein-protein
yang dibutuhkan dalam pembentukan struktur virion (virus imatur yang belum
infeksius) seperti protein nucleocapsid dan glikoprotein virus M, L, I dan E.12,13,16
 Replikasi DNA
Replikasi DNA virus terjadi dalam nukleus dimulai dengan terjadinya jarak
antara rantai-rantai DNA virus, sehingga rantai DNA terpisah. Pemisahan ini
disebabkan oleh suatu binding protein yang dikenal dengan Ul9 ori. Kemudian
dilanjutkan dengan pemutusan rantai DNA tersebut yang disebabkan adanya komplek
enzim polimerase / Ul42. Proses selanjutnya adalah pembentukan rantai DNA virus
yang baru melalui mekanisme perputaran lingkaran rantai DNA. Dimana rantai DNA
berubah bentuk menjadi lingkaran yang berputar dan menghasilkan satu rantai DNA
baru pada setiap satu kali putarannya.13,16
Pembentukan virus
 Pembentukan nucleocapsid
Primer nucleocapsid dibentuk di dalam nukleus sel host dimana pada fase ini
nucleocapsid masih bersifat imatur. Selanjutnya nucleocapsid primer melewati
membran nukleus sel host. Komponen glikoprotein virus yang terdapat pada membran
nukleus sel host berperanan saat transisi nucleocapsid primer dari nukleus ke
sitoplasma melewati membran tersebut.13,16

9
 Pembentukan virion
Proses selanjutnya adalah pembentukan envelope virus primer terjadi di
sitoplasma sel host yang diproses retikulum endoplasma, sesudah envelope
membungkus nucleocapsid virion baru tersebut melewati sitoplasma sel untuk keluar
dari retikulum endoplasma melalui trans-Golgi network (TGN). Dalam TGN terjadi
re-envelope virion sehingga virion menjadi matur dan infeksius.13,16
 Pelepasan virion dari sel
Infeksius virion dengan bantuan TGN mengalami fusi dengan membran sel
host dan keluar dari sel host.13,16

Gambar 3 : Pembentukan virion

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 16

Penyebaran virus ke sel


Varicella zoster virus bisa dengan cepat menyebar ke 3 tipe sel, yaitu sel
epidermal kulit, sel mononukleus darah perifer dan sel neuron sensorik untuk
bereplikasi. Di sel epidermal kulit replikasi virus menimbulkan lesi vesikuler herpes
zoster. Sel mono nukleus darah perifer juga berperan sebagai transpor VZV ke sel

10
epidermal kulit. Sel neuron sensorik juga berfungsi sebagai tempat infeksi laten
VZV.12-16
Pada sel host yang setipe penyebaran terjadi dengan cara fusi antara sel-sel
yang terinfeksi virus dengan sel-sel di sekitarnya yang belum terinfeksi. Pada kulit
manusia terdapat respon imun alami dan respon imun didapat yang mengontrol
penyebaran virus dari sel yang sudah terinfeksi ke sel belum terinfeksi.12,13
Bukti keterlibatan respon imun alami tampak dari ditemukannya keratinosit
dan sel Langerhans dan adanya sel raksasa berinti banyak pada lesi infeksi virus
Varicella zoster. Keterlibatan antibodi dalam melawan infeksi VZV didasari adanya
glikoprotein virus yang menjadi antigen pada permukaan membran sel host. Adanya
glikoprotein tersebut karena telah terjadi fusi antara membran sel virus dengan
membran sel host saat proses perlengketan di awal infeksi VZV. Glikoprotein yang
berperanan ditemukan pada membran sel host antara lain glikoprotein H, L, B dan E
(gH, gL, gB, gE). Bagaimana persisnya keempat glikoprotein ini menyebabkan
terjadinya fusi antara sel host masih belum diketahui. Penelitian terhadap glikoprotein
E memperlihatkan bahwa protein ini mempunyai cadherin E (suatu domain ekstra
seluler) yang berfungsi sebagai protein adhesi terhadap sel host yang sudah terinfeksi
dan yang belum terinfeksi.12,13,16
.

11
BAB III
PATOGENESIS HERPES ZOSTER

Pada sebagian besar individu satu kali infeksi VZV biasanya memberikan
perlindungan seumur hidup terhadap infeksi ulang VZV dari luar. Tetapi sudah
diketahui bahwa infeksi ulang dapat terjadi baik klinis atau sub-klinis; yang diketahui
dengan peningkatan titer antibodi VZV setelah terpapar sumber infeksi.3,6
Hal ini biasa dijumpai pada orang dewasa yang sudah pernah menderita
varisela, tetapi mempunyai kontak serumah dengan penderita varisela. Salah satu
penelitian mengatakan infeksi ulang VZV ditemukan 64% asimtomatik pada individu
imunokompeten, yang ditandai dengan peningkatan antibodi VZV sampai 4 kali lipat.
Infeksi ulang dengan gejala klinis varisela ditemukan sekitar 13% pada kelompok
imunokompeten dan 19% pada kelompok imunokompromais.6,8
Faktor-faktor yang diduga memungkinkan timbulnya infeksi ulang dengan
gejala klinis adalah : (1) usia muda (kurang dari 12 bulan), (2) infeksi primer yang
terlalu ringan sehingga tidak bisa memproduksi respon sel memori yang adekuat
untuk melawan infeksi berikutnya, (3) faktor genetik, yang didasari pada
ditemukannya 45% individu dengan infeksi ulang dengan gejala klinis mempunyai 1
atau lebih anggota keluarga yang pernah menderita varisela berulang.6,8
Herpes zoster tidak bisa dipisahkan dengan infeksi primernya yaitu varisela.
Untuk lebih memahami patogenesis herpes zoster ini juga dibicarakan perjalanan
penyakit yang dimulai dari munculnya varisela.
3.1. Patogenesis varisela
3.1.1. Infeksi primer Varicella zoster virus
Infeksi primer VZV 90% terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun
dan 5% pada usia di atas 15 tahun. Pada anak imunokompetan gejala klinis biasanya
ringan, dapat sembuh sendiri dan jarang terjadi komplikasi. Pada sebagian individu,
infeksi VZV tidak menimbulkan gejala klinis.6,8
Manusia akan terinfeksi oleh VZV ketika virus berkontak dengan mukosa
traktus respiratorius bagian atas atau konjungtiva. Varicella zoster virus tersebut bisa
berasal dari sekret mukosa traktus respiratorius bagian atas, cairan vesikel penderita

12
varisela atau cairan vesikel penderita herpes zoster. Dari mukosa traktus respiratorius
bagian atas VZV menuju kelenjar limfe regional dan mengalami replikasi pertama.6,8

3.1.2. Viremia primer


Di kelenjar limfe regional virus mengalami replikasi pertama di sel-sel
mononukleus darah perifer / PBMCs, diikuti dengan fase viremia primer dimana VZV
dalam jumlah yang sedikit menyebar melalui aliran limfe dan darah ke seluruh bagian
tubuh untuk selanjutnya mengalami replikasi kedua di liver, limfa atau sel
mononukleus dalam jumlah yang lebih banyak. Masa inkubasi ini biasanya
berlangsung selama 2 minggu. Adanya DNA VZV di PBMCs pasien imunokompeten
dengan varisela sudah dibuktikan dengan metode PCR setelah 24-72 jam munculnya
lesi kulit. Pada pasien imunokompeten perkiraan jumlah PBMCs yang terinfeksi VZV
sekitar 0,01% - 0,001%.6,8,12
Varicella zoster virus dimusnahkan oleh sel sistim retikuloendotelial, yang
merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Infeksi virus dihambat
sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh alami dan respon imun didapat yang
timbul.8,12
Pada sebagian besar individu replikasi virus tidak dapat diatasi oleh sistim
pertahanan tubuh yang belum berkembang. Sehingga terjadi viremia sekunder dalam
jumlah virus yang lebih banyak.6,12

Gambar 4 : Skema viremia primer

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 12

13
3.1.3. Viremia sekunder
Viremia sekunder terjadi setelah virus yang bertambah banyak dan menyebar
ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam dan malaise. Pada viremia
sekunder virus terutama menyebar ke kulit, mukosa dan neuron ganglion dorsalis
untuk menjadi infeksi laten. Varicella zoster virus dibawa ke kulit oleh sel
mononukleus darah perifer yang sudah terinfeksi VZV sebelum muncul lesi di kulit.
Di kulit VZV mengalami replikasi pada sel endotel kapiler, fibroblas, epitel kulit dan
menimbulkan vaskulitis di pembuluh darah kecil, degenerasi sel-sel epitel kulit yang
bermanifestasi sebagai lesi varisela.6,12
Respon imun alami dan didapat menghambat berlanjutnya viremia sekunder
ini, sehingga menghambat berkembangnya lesi di kulit, timbulnya varisela yang luas
dan varisela pada organ viseral seperti paru yang dikenal dengan varisela pneumonia.
Respon imun seluler yang berperan dalam menghambat penyebaran VZV adalah
natural killer cells, dengan cara membunuh sel yang terinfeksi oleh VZV. Terjadinya
komplikasi varisela mencerminkan gagalnya sistim imun dalam menghentikan
replikasi dan penyebaran virus.6,8,10,11,12

Gambar 5 : Skema viremia sekunder

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 12

14
3.2. Patogenesis herpes zoster
3.2.1. Infeksi laten Varicella zoster virus
Selama penyembuhan varisela, Varicella zoster virus menjadi laten di nervus
kranialis seperti nervus trigeminal, fasialis dan di serabut ganglion posterior medula
spinalis. Pada sebagian besar individu virus ini menjadi laten seumur hidup.
Perjalanan virus ke ganglion sensoris diduga dengan cara hematogenik, transport
neuronal retrograde atau keduanya. Selama infeksi laten di serabut ganglion posterior
ini tidak menimbulkan apoptosis sel saraf, karena pada infeksi laten tidak terjadi
inflamasi sehingga tidak merusak sel-sel neuron.18-20
Pada fase laten ini VZV tidak infeksius dan sebagian besar ekspresi gen VZV
tidak ditemukan pada sel neuron dari ganglion dorsalis yang merupakan tempat
infeksi laten VZV. Sehingga virus tidak bisa dideteksi dan dibersihkan oleh sistim
imun. Sistim imun yang berperan dalam mempertahankan keadaan laten ini adalah
sistim imun seluler. Hal ini terbukti dengan tingginya insiden herpes zoster pada
pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun dibandingkan insiden pada individu dengan
status imun yang baik.13,19
Hanya beberapa material genetik VZV yang diekspresikan di ganglion
posteriror. Gen-gen yang biasa ditemukan pada fase ini adalah gen 21, 29, 62, dan 63.
Gen-gen tersebut umumnya ditemukan dalam sitoplasma neuron ganglion dorsalis.
Kadang-kadang juga ditemukan di sel-sel satelit ganglion seperti sel Schwann dan
astrosit. Berbeda pada fase reaktivasi, gen-gen tersebut terdapat di dalam nukleus sel
neuron yang terinfeksi VZV. Gen 63 berfungsi sebagai protein yang menekan
apoptosis neuron selama fase laten. Gen 62 berfungsi sebagai regulator transkripsi
ketika gen tersebut berada di dalam nukleus pada fase reaktivasi. Tidak adanya gen-
gen regulator transkripsi lainnya menyebabkan tidak terjadi replikasi VZV selama
fase laten.13,19
Dari penelitian kuantitatif PCR mengindikasikan sangat sedikit jumlah gen
VZV, yaitu sekitar 6-31 per 100.000 sel ganglion yang terinfeksi laten. Pengetahuan
mengenai gen mana yang diekspresikan selama fase laten penting untuk berbagai
alasan. Dengan diketahuinya berbagai fungsi gen VZV diharapkan dapat lebih
memahami proses yang terjadi pada fase laten ini. Ekspresi gen VZV tersebut dapat
digunakan sebagai dasar terapi antivirus dalam mencegah terjadinya reaktivasi virus,

15
dan selanjutnya dapat mengidentifikasi secara spesifik enzim-enzim yang dapat
menghambat reaktivasi VZV, seperti enzim anti-sense oligonukleotidase dapat
menghambat reaktivasi virus laten dan kemungkinan pengembangan vaksin melawan
protein VZV.13,19
Komponen genetik VZV terdapat ekstrakromosomal dalam bentuk yang tidak
infeksius. Hal ini berbeda dengan retrovirus, dimana komponen genetiknya terdapat di
DNA sel host. Sebagian besar penelitian memperlihatkan bahwa komponen DNA
virus berada di dalam sitoplasma sel neuron serabut saraf baik nervus trigeminal
ataupun di neuron serabut ganglion posterior. Pada infeksi ini ditemukan sedikit
perubahan morfologi tanpa disertai peradangan pada neuron-neuron tersebut.13,19

3.2.2. Reaktivasi Varicella zoster virus


Reaktivasi VZV bisa terjadi secara spontan atau mengikuti berbagai faktor
pencetus, seperti infeksi, imunosupresi, trauma, radiasi dan keganasan. Selama fase
klinis aktivasi terjadi berbagai perubahan patologik pada serabut ganglion. Perubahan
utama adalah nekrosis dari sel-sel neuron baik sebagian maupun keseluruhan
ganglion. Perubahan lain adalah infiltrasi limfosit dan hemoragik pada sel-sel
neuron.3,14,15,18

Gambar 6 : Varisela, fase laten dan reaktivasi

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 3

16
Proses patologik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
neuralgia. VZV kemudian menyebar secara sentrifugal ke saraf sensorik dan
menyebabkan neuritis. Virus yang terdapat pada ujung saraf sensorik menyebar di
kulit menimbulkan kelompok-kelompok vesikel herpes zoster. Biasanya keadaan ini
berada pada satu unilateral dermatom.3,18,19
Pada keadaan reaktivasi didahului dengan keberadaan komponen genetik virus
yang sebelumnya berada di sitoplasma neuron selama fase laten, mencapai nukleus
dan mengaktifkan proses replikasi virus, kemudian memproduksi virus yang
infeksius. Virus tersebut kemudian keluar dari sel neuron ganglion posterior ke saraf
sensorik, dan mencapai kulit menginfeksi sel-sel epitel kulit dan menimbulkan lesi
herpes zoster.13,19,20
Pada keadaan reaktivasi ini, VZV menstimulasi respon imun yang mampu
mencegah reaktivasi pada ganglion lainnya dan reaktivasi klinis berikutnya. Sehingga
herpes zoster hanya menyerang satu dermatom dan muncul hanya sekali seumur
hidup.13,18,19

Gambar 7 : Dermatom kulit

Sumber : sesuai asli dari kepustakaan no 20

17
Reaktivasi bisa menghasilkan klinis herpes zoster yang generalisata hal ini
disebabkan karena gagalnya sistem imun menghamabat perkembangan lesi herpes
yang terjadi. Keadaan ini biasanya ditemui pada pasien-pasien imunokompromais
seperti penderita HIV, pasien yang mendapat pengobatan dengan imunosupresan atau
sitostatik.21
Hal ini bertolak belakang dengan variasi klinis herpes zoster lainnya seperti
pada zoster sine herpete dimana klinis hanya berupa rasa nyeri pada dermatom yang
terkena tanpa disertai munculnya erupsi kulit. Pada keadaan tersebut sistim imun
dapat mencegah penyebaran virus ke kulit saat reaktivasi sehingga lesi kulit tidak
muncul. Herpes zoster abortif dimana klinis yang muncul sangat ringan dan
berlangsung sebentar disebabkan sistim imun dapat menekan perkembangan lebih
lanjut virus sehingga tidak menimbulkan lesi yang lebih berat.21

3.2.3 Patogenesis nyeri pada herpes zoster dan neuralgia paska herpetik
Nyeri merupakan keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster. Khususnya
pada pasien tua, nyeri yang terdistribusi pada saraf sensorik bisa menetap sampai
beberapa minggu, bulan, bahkan tahun setelah lesi kulit sembuh. Nyeri kronis yang
menetap ini disebut neuralgia paska herpetik, didefinisikan dengan nyeri yang
menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang menetap lebih dari 4 minggu, tanpa
melihat derajat perbaikan.3,6,21,22
Tidak seperti nyeri yang menyertai kerusakan jaringan akut dimana pada NPH
tidak ditemukan kelainan biologik. Nyeri pada herpes merupakan hasil dari aktifitas
jaras spinotalamikus dan pontin hipotalamik. Nyeri ini adalah suatu bentuk nyeri
neuropati yang disebabkan oleh kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri tersebut
merupakan hasil dari proses komplek sensorik pada level tertinggi di susunan saraf
pusat.23
Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh herpes
zoster yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini
menyebabkan nyeri pada suatu dermatom kemudian meluas ke perifer sepanjang saraf
sensorik dan kadang-kadang ke bagian proksimal saraf sensorik dan motorik dari
dermatom yang terkena. Replikasi VZV di sel neuron ganglion posterior
menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut, sehingga terjadi peningkatan
sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor / reseptor taktil yang dikenal
dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini terjadi pelepasan sitokin-sitokin

18
yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri pada herpes tidak disebabkan oleh
kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik, tetapi disebabkan oleh gangguan fungsi
transmisi pada serat saraf sensorik setelah rangsangan taktil pada nosireseptor di
kulit.21-23
Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri pada
herpes zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang mengalami
hipersensitifitas hanya terjadi di dermatom yang terkena, seperti allodynia atau
hiperalgesia yang merupakan hasil dari sensitisasi sentral, yaitu perubahan yang
terjadi pada kornu posterior medula spinalis sebagai konsekuensi rangsangan pada
nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena herpes zoster menimbulkan gangguan
impuls yang menyebabkan depolarisasi terus-menerus pada medula spinalis
menimbulkan respon yang berlebihan pada kornu posterior medula spinalis terhadap
semua rangsangan (wind up mechanism). 21,23
Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior medula
spinalis juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk ke sel neuron.
Masuknya kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartat terhadap reseptor N-
metil-d-asam glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel neuron yang rusak di kornu
posterior menghantarkan impuls. Glutamat atau aspartat merupakan neurotransmiter
yang dikeluarkan oleh sel neuron yang rusak akibat proses peradangan. 24 Akibat
gangguan fungsi pada kornu posterior medula spinalis terjadi sensitisasi sentral
temporer bahkan permanen meskipun tidak ada rangsangan taktil pada nosireseptor.23
Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan yang
susah dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan nyeri
sesudah terjadinya kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan neurotransmiter
timbul dalam beberapa detik setelah kerusakan saraf. Hipersensitifitas dan sensitisasi
sel neuron terjadi dalam beberapa menit, remodeling sel-sel neuron terjadi dalam
beberapa jam, responstruktural terjadi dalam beberapa hari atau dalam beberapa
bulan. Hal ini berarti setiap usaha pengobatan bisa mengurangi kerusakan saraf lebih
lanjut selama dilakukan pada fase akut.23

19
BAB IV
KESIMPULAN

 Varicella zoster virus bisa berasal dari sekret mukosa traktus respiratorius bagian
atas, cairan vesikel penderita varisela atau cairan vesikel penderita herpes zoster.
 Varicella zoster virus dari luar yang berkontak dengan mukosa traktus
respiratorius bagian atas kemudian ke kelenjar getah bening regional.
 Di kelenjar getah bening regional VZV mengalami replikasi pertama dan
kemudian mengalami viremia primer dalam jumlah yang sedikit menyebar ke
liver dan limfa.
 Di liver dan limfa VZV mengalami replikasi ke dua dalam jumlah yang lebih
banyak mengalami viremia sekunder ke kulit muncul lesi varisela dan akhirnya ke
ganglion posterior atau saraf kranialis menjadi laten.
 Selama fase laten VZV tidak mengalami replikasi.
 Reaktivasi terjadi saat penurunan sistem imun menyebabkan replikasi VZV di
ganglion posterior atau saraf kranialis yang berakibat peradangan dan
menimbulkan nyeri herpes zoster, virus menyebar ke kulit membentuk lesi herpes
zoster.
 Nyeri pada herpes zoster disebabkan terjadinya sensitisasi perifer dan sentral pada
saraf sensorik.

20

Anda mungkin juga menyukai