Anda di halaman 1dari 37

DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
2.1 Anatomi........................................................................................... 3
2.2 Fisiologi........................................................................................... 3
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................... 7
3.1 Hipertiroid .......................................................................................... 7
3.1.1 Definisi, epidemiologi, dan etiologi ......................................... 7
3.1.2 Gambaran klinik ..................................................................... 12
3.1.3 Komplikasi ............................................................................. 13
3.1.4 Pemeriksaan laboratorium ..................................................... 13
3.1.5 Pengobatan .......................................................................... 14
3.2 Tirotoksikosis..................................................................................... 17
3.2.1 Definisi tirotoksikosis ............................................................ 17
3.2.2 Etiologi ................................................................................. 18
3.2.3 Gambaran klinik.................................................................... 18
3.2.4 Diagnosa .............................................................................. 20
3.2.5 Penatalaksanaan .................................................................. 21
3.2.6 Komplikasi ............................................................................ 24
BAB IVDAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 27
BAB I

PENDAHULUAN

Insindensi gangguan ginjal akut (GGA) atau Acute Kidney Injury (AKI) semakin
meningkat beberapa tahun terakhir, baik di masyarakat secara umum maupun di
dalam unit perawatan rumah sakit. Insidensi kejadian GGA kurang lebih 2-3 per
1000 orang. Tujuh persen dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit
mendapatkan GGA, yang biasanya merupakan bagian dari sindorm disfungsi
organ multiple.1,2,3 Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat
diartikansebagai penurunan cepat dan tibatiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal
Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau
azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah
cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin. Selain
itu, peningkatan nilai BUN juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal,
seperti pada perdarahan mukosa atau saluran pencernaan, penggunaan steroid,
pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang teliti dan hati-hati
dalam menentukan apakah seseorang mengalami kerusakan ginjal atau tidak.4
Angka kematian dari GGA berkisar antara 25 sampai dengan 80 persen
tergantung penyebab dan keadaan klinis dari pasien. Dilaporkan, bahwa angka
kematian akibat gagal ginjal akut di Amerika Serikat berkisar antara 20-90%.,
dimana yang terjadi di rumah sakit sebesar 40-50% dan di ICU sebesar 70-89%.
Maka dari itu, pengenalan dan diagnosis GGA dini serta penanganan yang baik
perlu dilakukan untuk menghindari dan menurunkan angka kejadian dan kematian
akibat GGA.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi

2.1 Ginjal
2.1.1 Anatomi Ginjal
Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus menghasilkan urin,
dan berbagai saluran reservoir yang dibutuhkan untuk membawa urin keluar
tubuh. Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua
sisi columna vertebralis (Price dan Wilson, 2006).
Kedua ginjal terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing–
masing di sisi kanan dan sisi kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12
sampai vertebra L3. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri
karena besarnya lobus hepatis dekstra. Masing– masing ginjal memiliki facies
anterior dan facies posterior, margo medialis dan margo lateralis, ekstremitas
superior dan ekstremitas inferior (Moore dan Agur, 2002). Pada orang dewasa,
panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm
dan beratnya sekitar 150 g. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran
tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm
atau perubahan 13 bentuk merupakan tanda yang penting, karena sebagian besar
manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur dari ginjal tersebut (Price
dan Wilson, 2006).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut
kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perineal. Di
sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula
adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama ginjal dan
jaringan lemak perineal dibungkus oleh fascia gerota. Di luar fascia gerota
terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal. Di
bagian posterior, ginjal dilindungi oleh otot–otot punggung yang tebal serta costae
ke XI dan XII, sedangkan di bagian anterior dilindungi oleh organ–organ
intraperitoneal (Purnomo, 2003). Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian
korteks dan medula ginjal (Junquiera dan Carneiro, 2002). Di dalam korteks
terdapat berjuta–juta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli
ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus
kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus koligentes (Purnomo,
2003). Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya
syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta14
keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung (Junquiera dan
Carneiro, 2002). Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum,
kaliks major, dan pielum/pelvis renalis (Junquiera dan Carneiro, 2002). Ginjal
mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari
aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang
bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries
yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri
lain, sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat
timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo,
2003).
Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabang cabang
secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri arkuarta, arteri
interlobularis, dan arteriol aferen yang menuju ke kapiler glomerulus tempat
sejumlah besar cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung
distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol eferen,
yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubulus yang mengelilingi
tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh
sistem vena, yang berjalan secara paralel dengan pembuluh arteriol secara
prorgesif untuk membentuk vena interlobularis, vena arkuarta,
16
vena interlobaris, dan vena renalis, yang meninggalkan ginjal di
samping arteri renalis dan ureter (Guyton dan Hall, 2008).

Gambar 4. Sistem perdarahan ginjal manusia (Slomianka, 2009).

2.2 Fisiologi

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah berkembang
untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting ekskresi produk sisa metabolisme,
pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai dan
sekresi berbagai hormon autokoid
(Robbins dan Kummar, 2004).
Menurut Guyton dan Hall (2006), ginjal adalah organ utama untuk membuang
produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini
meliputi urea, kreatin asam urat, produk akhir dari pemecahan hemoglobin. Ginjal
tersusun dari beberapa juta nefron yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait
dengan ekskresi dan reabsorpsi. Kerja ginjal dimulai saat dinding kapiler
glomerulus melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah dari sebagian
besar air, ion-ion dan molekul-molekul. Ultrafiltrat hasil dari ultrafiltrasi dialirkan
ketubulus proksimalis untuk direabsorpsi melalui brush broder dengan
mengambil bahan-bahan yang diperlukan tubuh seperti gula, asam-asam amino,
vitamin dan sebagainya. Sisa-sisa buangan yang tidak diperlukan disalurkan
kesaluran penampung dan diekskresikan sebagai urin. Fungsi ini dilakukan
dengan filtrasi darah plasma melalui glomerulus diikuti dengan reabsorpsi
disepanjang tubulus ginjal (Soeksmanto, 2006).24 Berikut ini adalah fungsi
spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukkan untuk
mempertahankan kestabilan lingkungan cairan internal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES,
termasuk Na+, Cl-, K+,HCO3-, Ca2+, Mg2+, SO4 2-, PO4 2-, dan H+.
Bahkan fluktuasi minor pada konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat
menimbulkan pengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ di CES
dapat menimbulkan disfungsi jantung yang fatal.
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui
peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O.
4. Membantu memelihara keseimbangan asam–basa tubuh dan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.
5. Memelihara osmolaritas berbagai cairan, terutama melalui pengaturan
keseimbangan H2O.
6. Mengekskresikan produk–produk sisa dari metabolisme tubuh, misalnya urea,
asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat–zat sisa tersebut bersifat
toksik bagi tubuh, terutama otak.
7. Mensekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat zat penambah pada
makanan, pestisida, dan bahan–bahan eksogen non nutrisi lainnya yang berhasil
masuk ke dalam tubuh.25
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah.
9. Mensekresikan renin, suatu hormonn enzimatik yang memicu reaksi berantai
yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya (Sherwood, 2001).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 AKI

3.1.1 Definisi , epidemiologi dan etiologi AKI

Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan


kadar kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50%
(1,5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang
tercatat ≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam.6 Kriteria untuk diagnosis
dan klasifikasi AKI sesuai rekomendasi Acute Dialysis Quantitative Initiative
(ADQI) yang pada tahun 2002 memperkenalkan istilah 'acute kidney injury' serta
memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit AKI,
dan untuk pertama kalinya dipresentasikan pada International Conference on
Continuous Renal Replacement Therapies di San Diego pada tahun 2003.7

8
Tabel 2.l Kriteria RIFLE Menurut ADQI
Kriteria LFG Kriteria Urine Output (UO)

Risk Kenaikan SCr 1,5 × UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 25% (selama 6 jam)

Injury Kenaikan SCr 2 × UO < 0,5 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 50% (selama 12 jam)

Failure Kenaikan SCr 3 × UO < 0,3 ml/kg/jam

atau penurunan LFG > 75% (selama 24 jam)

atau SCr ≥ 4 mg/dL atau anuria dalam 12 jam

Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4 minggu)

ESRD End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan

*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN) menggunakan


istilah AKI untuk menggambarkan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu
proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikan
sebagai peningkatan kreatinin serum (≥ 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau
penurunan produksi urin (keadaan oliguria < 0,5 ml/kg/jam lebih dari 6 jam).
Kriteria AKI menurut AKIN dibagi atas beberapa tahapan seperti pada Tabel 2
dibawah ini.9,10

Tabel 2.2 Kriteria AKI Menurut AKIN9

Tahap Kriteria Klinis Kriteria Jumlah Urine

1
1 (RIFLE – R) Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL atau < 0,5 ml/kg/jam selama
6 jam
peningkatan kreatinin serum 1,5 sampai 2 kali
dari keadaan normal

2 (RIFLE – I) Peningkatan kreatinin serum 2 sampai 3 kali < 0,5 ml/kg/jam


dari keadaan normal
selama 12 jam

3 (RIFLE – F) Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari < 0,3 mL/kg/jam selama
normal atau 24 jam atau

kreatinin serum > 4 mg/dL dengan peningkatan anuria selama 12 jam


akut > 0,5 mg/dL

Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria RIFLE.
Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l, 2 dan 3. Pada
kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena dianggap sebagai
prognosis, bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan pada kriteria laju filtrasi
glomerulus (LFG) dilakukan berdasarkan penelitian terbaru bahwa kenaikan
serum kreatinin sebesar 0,3 mg/dl sudah meningkatkan angka kematian 4 kali
lebih banyak, serta sulitnya penggunaan LFG sebagai parameter penurunan fungsi
ginjal, terutama jika pasien berada dalam keadaan kritis atau dirawat di ruang
intensif.9Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat kita menggunakan
kriteria tersebut, yaitu :9
❖ Tidak ada perbedaan dalam umur dan jenis kelamin
❖ Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali
dalam 48 jam
❖ Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan
normal dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
❖ Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai
kriteria RIFLE atau kriteria AKIN.

2
❖ Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau
perburukan fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi mengenai AKI sulit ditemukan, antara lain dikarenakan


tidak adanya keseragaman mengenai definisi dan variasi gejala klinik yang luas
sehingga sulit untuk membuat review kepusatakaan atau meta analisis. Dengan
digunakannya kriteria RIFLE sebagai dasar diagnosis, ternyata ditemukan angka
kejadiannya jauh meningkat. Angka kejadian AKI dapat dikelompokkan menjadi
yang terjadi di populasi umum (community based) dan yang terjadi di rumah sakit
(hospital based).7Tergantung kepada definisi yang digunakan, AKI merupakan
komplikasi yang terjadi pada 5-7% pasien yang masuk ke rumah sakit serta 30%
pasien yang dirawat di ICU. Dari seluruh kasus AKI, AKI pre renal mencakup
sekitar 55%, AKI intrinsik sekitar 40%, sedangkan AKI post renal mencakup 5%
kasus.10Pada sebuah penelitian di Inggris, dengan kriteria RIFLE dilaporkan
angka kejadian AKI di populasi umum yang cukup tinggi, yaitu 1.811 kasus/juta
penduduk dan acute on CKD sebesar 336 kasus/juta penduduk.11 Angka kejadian
AKI yang terjadi di rumah sakit juga dilaporkan mencapai 180 kasus dari 1000
pasien yang dirawat.12

2.3 ETIOLOGI

Etiolog i AKI dibagi berdasarkan lokasi terjadinya kelainan dan gambaran


AKI yang ditimbulkan, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal seperti terlihat
pada Tabel 3. Angka kejadian etiologi prerenal mencapai 70% dari seluruh AKI
yang terjadi di luar rumah sakit dan 40% yang terjadi di dalam rumah sakit.
Etiologi AKI prerenal yang terjadi di luar rumah sakit biasanya disebabkan oleh
diare, muntah-muntah, demam, dan kekurangan cairan (cth: perdarahan). Pada
AKI prerenal yang terjadi di dalam rumah sakit paling sering disebabkan oleh
sepsis dan gagal jantung.7Etiologi intra renal dapat disebabkan oleh semua

3
gangguan yang terjadi intra renal, yaitu di tubulus, parenkim, glomerulus, dan di
pembuluh darah renal. Etiologi intra renal dapat terjadi pada penderita di dalam
rumah sakit atau merupakan kelanjutan proses AKI prerenal yang terjadi di luar
rumah sakit dikarenakan keterlambatan mendapatkan terapi sehingga berlanjut
menjadi tubular nekrosis akut (ATN). Penyebab tersering ATN adalah sepsis
(50%), nefrotoksik (35%) dan keadaan iskemia (15%).7Etiologi post renal dapat
terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran kemih yang terjadi di ureter, pelvis
renal, uretra, dan vesika urinaria. Pada keadaan obstruksi terjadi peningkatan
tekanan dalam kapsula bowman dan penurunan tekanan hidrostatik sehingga
terjadi penurunan LFG. Kejadian AKI post renal lebih sering terjadi pada laki-laki
dengan usia lanjut, dengan adanya pembesaran prostat, atau dengan riwayat batu
saluran kemih. Pada wanita, obstruksi sering terjadi karena adanya keganasan
yang menimbulkan obstruksi pada saluran kemih.7

Tabel 2.3 Klasifikasi dan Penyebab Utama AKI13

AKI Pre Renal :

1. Hipovolemia
a. Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
b. Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
c. Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM),
hipoadrenalisme.
d. Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
2. Penurunan cadiac output:
a. Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
b. Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
3. Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
a. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
b. Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin,
tacrolimus, amfoterisin
c. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)

4
4. Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase
inhibitor, ACE inhibitor
5. Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia

AKI Intrinsik :

1. Obstruksi vaskular renal (bilateral atau unilateral)


a. Obstruksi arteri renal: plak arteriosklerotik, trombosis, emboli, aneurisma,
vaskulitis
b. Obstruksi vena renal: trombosis, kompresi
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular renal
a. Glomerulonefritis dan vaskulitis
b. Sindrom hemolitik uremik, TTP, DlC, kehamilan toksik, hipertensi, nefritis
radiasi, SLE dan skleroderma
3. Nekrosis tubular akut
a. lskemik akibat AKI pre renal (hipovolemik, penurunan cardiac output,
vasokonstriksi renal, vasodilatasi sistemik), komplikasi obstetri (ruptur plasenta,
perdarahan post partum)
b. Toksin
❖ Eksogen: kontras, siklosporin, antibiotik (misalnya aminoglikosida),
kemoterapi (misalnya cisplatin), bahan organik (misalnya etilen glikol),
asetaminofen.
❖ Endogen: rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, diskrasia sel plasma
(misalnya mieloma)
4. Nefritis interstitial
1. Alergi antibiotik (misalnya β laktam, sulfonamida, trimetoprim, rifampisin), anti

5
inflamasi non steroid, diuretik, kaptopril
2. lnfeksi bakteri (misalnya pielonefritis akut, leptospirosis), cytomegalovirus,
jamur kandida
3. lnfiltrasi: limfoma, leukemia, sarkoidosis
4. ldiopatik
5. Obstruksi tubulus: protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,
sulfonamid
6. Renal allograft rejection

AKI Post Renal :

1. Ureter : Kalkuli, bekuan darah, sumbatan pada papilla, keganasan, kompresi


ekstemal (misalnya fibrosis retroperitoneal)
2. Bladder neck : neurogenic bladder, hipertropi prostat, kalkuli, keganasan, bekuan
darah
3. Uretra : striktur, katup kongenital, fimosis

2.4 PATOFISIOLOGI

Gangguan ginjal akut adalah suatu proses multifaktor yang meliputi


gangguan pada sistem hemodinamik renal, obstruksi tubulus renalis, gangguan
sel, dan metabolik. Patofisiologi terjadinya AKI terdiri dari kumpulan kejadian
yang sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada etiologi penyebab AKI.

6
Patofisiologi AKI memiliki gambaran yang berbeda pada setiap klasifikasi
penyebab AKI, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal.13

2.4.1 Patofisiologi AKI Prerenal

Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi
ginjal terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan pada
struktur ginjal. Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih terpelihara
dengan adanya mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya perfusi ginjal akan
menyebabkan perangsangan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS)
yang mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar
angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal.
Angiotensin II juga berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan
meningkatkan hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya
kontraregulasi. Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk
mempertahankan tekanan kapiler intra glomerulus serta LFG agar tetap normal.13
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

7
Gambar 1. Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan
Penurunan Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG14

Gangguan hemodinamik juga merangsang sistem saraf simpatis sehingga


terjadi perangsangan sekresi dari hormon-hormon aldosteron dan vasopressin
yang berakibat pada peningkatan reabsorbsi natrium, urea, dan air pada segmen
distal nefron sehingga terjadi retensi urine dan natrium. Mekanisme autoregulasi
ini dapat terganggu atau tidak dapat dipertahankan apabila gangguan hipoperfusi
ginjal menjadi lebih berat atau berlangsung lama.13

2.4.2 Patofisiologi AKI Intra Renal

Penyebab utama AKI intra renal adalah terjadinya ATN akibat proses
iskemia atau toksik. Nekrosis tubular akut sering diakibatkan oleh etiologi
multifaktorial dan biasa terjadi pada penyakit akut yang disertai sepsis, hipotensi,

8
atau penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik. Sepsis merupakan
penyebab utama ATN pada pasien-pasien yang dirawat di ICU (35-50%) dan
setelah tindakan operasi (20-25%). Berbeda dengan AKI prerenal, pada AKI intra
renal telah terjadi gangguan pada struktural ginjal Proses kerusakan diawali
dengan keadaan oliguria yang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah
terjadi gangguan (injury). Fase oliguria dapat berlangsung selama l-2 minggu
diikuti oleh fase diuresis yang menandakan terjadinya perbaikan fungsi.7Proses
penyebab AKI intra renal dapat merupakan kelanjutan AKI prerenal (azotemia
prerenal) akibat hipoperfusi yang bertambah berat atau berlanjut sehingga terjadi
gangguan pada sel-sel tubulus ginjal disertai gangguan pada fungsi ginjal. Proses
iskemia ini terjadi melalui beberapa tahapan seperti terlihat pada Gambar 2
berikut.15

Gambar 2 Beberapa Tahapan Terjadinya AKI 15

Pada Gambar 2 di atas, tahapan AKI prerenal akan berlanjut pada tahap
inisiasi yang ditandai dengan kerusakan pada sel-sel epitel dan endotel. Proses
kerusakan pada sel-sel epitel diawali dengan terjadinya perenggangan dan

9
hilangnya brush border tubulus proksimal disertai penurunan polaritas sel.
Perbaikan gangguan ginjal pada tahap ini akan menyebabkan penyembuhan
secara sempurna. Tetapi bila berlanjut pada tahap ekstensi, akan terjadi apoptosis
dan nekrosis sel-sel epitel, proses deskuamasi yang akan menyebabkan sumbatan
pada lumen tubulus, dan terjadinya proses inflamasi seperti terlihat pada Gambar
3 berikut.15

Gambar 3 Gangguan yang Terjadi pada Struktur Sel Tubuli Setelah


Terjadinya Iskemia16

Apoptosis merupakan mekanisme utama penyebab kematian sel-sel


tubulus setelah iskemia yang berhubungan dengan berkurangnya ukuran sel secara
progresif dan keutuhan fungsi maupun struktur plasma membran. Berkurangnya
ukuran sel ini menyebabkan hilangnya volume sitosol dan berkurangnya ukuran
nukleus sel. Gambaran spesifik pada apoptosis adalah terjadinya kondensasi

10
kromatin inti dan fragmentasi DNA intranukleus. Pada nekrosis terjadi
pembengkakan dan pembesaran sel sehingga terjadi gangguan pada mitokondria.
Integritas plasma sel akan menghilang diikuti dengan hilangnya komponen sitosol
termasuk lisosom protease yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada
jaringan sekitar. Kematian sel terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis
sel-sel epitel.17Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan
stress oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan
penurunan prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS).
Kerusakan vaskular secara langsung dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi
intra renal. Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor utama penyebab
gangguan hemodinamik renal pada AKI. Kelainan pada vaskular dapat juga
terjadi akibat peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-I dan p-selectin
dari sel endotel sehingga terjadi perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil
yang menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.7,13Kerusakan tubulus
merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan sitoskeleton karena peningkatan
calpain, cytosolic phospholipase A2, dan kerusakan actin karena peningkatan
Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini menyebabkan gangguan pada basolateral
Na+K+ATP-ase sehingga terjadi penurunan reabsorbsi natrium di tubulus
proksimal. Obstruksi tubulus akibat sumbatan mikrovili yang terlepas bersama
sel-sel debris juga akan diikuti pembentukan silinder cast dari matriks
ekstraseluler. Kerusakan pada sel tubulus berakibat terjadinya kebocoran kembali
(backleak) cairan intra tubular ke dalam sirkulasi peritubular. Keseluruhan
mekanisme di atas secara keseluruhan akan menyebabkan penurunan LFG dan
terjadinya oliguria. Keseluruhan proses tersebut dapat terlihat pada Gambar 4
berikut.7,13

11
Gambar 4 Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia 14

2.4.3 Patofisiologi AKI post renal


Penyebab terjadinya AKI post renal dapat terjadi akibat sumbatan dari
sistem traktus urogenital seperti ureter, pelvis renal, vesika urinaria, dan uretra.
Penyebab sumbatan dapat bermacam-macam seperti adanya striktur, pembesaran
prostat, dan keganasan. Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (
mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi
intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan
retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate)
dan uretra (striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli
dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana salah satu ginjal tidak berfungsi.
7, 18

12
\

3.1.2 Gambaran Klinis

Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI, dan
penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai sedang tidak
menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan pemeriksaan laboratorium. Pasien
dengan severe AKImungkin dapat menunjukan gejala, berupa lesu, rasa bingung, fatique,
anoreksia, mual, muntah, penambahan berat badan, atau edema. Selain itu oliguria (urine
output kurang dari 400 ml per hari), anuria (urin output kurang dari 100 ml per hari), atau
dengan urin output normal (non-oligouric AKI) juga dapat ditemukan pada pasien severe
AKI. 5,xiv

Tabel 2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik GGA berdasarkan Etiologixv

Tipe AKI Hasil Anamnesis Hasil Pemeriksaan Fisik


Pre-Renal Riwayat kehilangan cairan (cth: Penurunan BB, hipotensi
riwayat muntah, diare, penggunaan ortostatik, dan takikardi
diuretik berlebih, perdarahan, luka
bakar)
Rasa haus dan penurunan intake cairan Turgor kulit buruk

Kelainan Jantung S3 jantung, edema perifer, dll

Kelainan Hepar Asites, caput medusae, spider


nevi
Renalis

Glomerurlar Lupus, sistemik sklerosis, ruam, Edema peri-orbital, sacral,


artritis, uveitis, penurunan BB, fatigue, dan ekstremita bawah; ruam;
HIV, hematuria, batuk, sinusitis ulkus di daerah oral/nasal
Interstisial Riwayat penggunaan obat-obatan (cth: Demam, ruam akibat
antibiotik, PPI), ruam, arthralgia, penggunaan obat-obatan
demam, penyakit infeksi
Vascular Sindroma Nefrotik, riwayat trauma, Pemeriksaan funduskopi
flank pain, riwayat oprasi vaskular (ditemukan hipertensi

13
maligna), abdominal bruits

Post- Renal Urgency atau Hesistancy, gross Distensi vesica urinaria,


Hematuria, poliuri, batu, riwayat obat- pembesaran prostat
obatan, kanker

2.6 Diagnosis

Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA
renal, dan GGA post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut perlu
dilakukan pemeriksaan6 :

1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab GGA seperti
misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, ISK),
riwayat bengkak, riwayat kencing batu
2. Membedakan GGA dan GGK, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang kecil
menunjukkan GGK
3. Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis GGA, yaitu kadar ureum,
kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiksa asupan
dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan untuk memperkirakan adanya
kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA yang berat dengan berkurangnya
fungsi ginjal, ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema
bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang
berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan
kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi
atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GGA:
a. Kadar kreatinin Serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali
kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG
karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh
ginjal.

14
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C
dapat menjadi indikator GGA tahap awal yang cukup dapat dipercaya
c. Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik
untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah.
Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-renal
biasanya hampir selalu disertai oliguria (<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang
tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh
anuria maupun poliuria.
o Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan dengan perubahan
pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang lebih 50-60% dari seluruh etiologi
AKI adalah non-oligourik. Namun, mengidentifikasi anuria, oliguria, ataupun
non-oliguria mungkin dapat berguna untuk mengetahui diferensial diagnosis dari
AKI, seperti:xvi
 Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly progressive
glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical necrosis
 Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
 Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis akut, Partial
Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced AKI.
d. Kelainan analisis urin.5
o Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk membedakan
pre-renal dengan GGA renal yang menyebabkan GGA. FENa dapat dijelaskan
dengan hasil sebagai berikut: Nilai kurang dari 1 persen menunjukkan GGA
akibat pre-renal, dimana FNEa > 2% menunjukkan GGA akibat gangguan renal.
Pada pasien yang menjalani terapi diuretik, FNEa> 1% dapat disebabkan oleh
proses natriuresis yang disebabkan oleh diuretik, sehingga kurang dapat
diandalakn sebagai GGA akibat pre-renal. Di beberapa kasus, fractional excretion
of urea (FE urea) dapat membantu, dengan hasil kurang dari 35% yang
menunjukkan GGA akibat pre-renal. FENa kurang dari 1 persen tidak spesifik
untuk GGA pre-renal karena hasil tersebut dapat disebabkan oleh kondisi lainnya,
seperti contrast nephropathy, rhabdomyolisis, acute glomerulonephritis, dan
infeksi saluran kemih.
e. Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi
sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksanya.
15
Biomarkers diperlukan untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria
RIFLE/AKIN maka perlu dicari pertanda utnuk membuat diagnosis seawal mungin.
Beberapa biomarkers mungkin bisa dikembangkan. Biomarkers ini merupakan zat-zat
yang dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang rusak, seperti IL-18, enzim tubular, dll.

3.1.4 Komplikasi

2.7 Tatalaksana dan Komplikasi

2.7.1 Terapi Konservatif (Suportif)


Terapi konservatif (suportif) adalah penggunaan obat-obatan atau cairan
dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi progresivitas, morbiditas, dan
mortalitas penyakit akibat komplikasi AKI. Bilamana terapi konservatif tidak dapat
memperbaiki kondisi klinik pasien, maka harus diputuskan untuk melakukan Terapi
Pengganti Ginjal (TPG).

Tujuan terapi konservatif adalah :xvii


❖ Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal.
❖ Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
❖ Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
❖ Memelihara keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.

Beberapa prinsip terapi konservatif adalah sebagai berikut :22


❖ Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
❖ Hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan ekstraseluler dan
hipotensi
❖ Hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolic
❖ Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
❖ Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi medis yang
kuat
❖ Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular.
❖ Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeki saluran kemih (lSK).
❖ Diet protein yang proporsional.
16
❖ Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI

Pada dasarnya terapi konservatif (suportif) adalah untuk menjaga homeostasis tubuh
dengan rnengurangi efek buruk akibat komplikasi AKI. Beberapa terapi suportif beserta dosis
obat yang dianjurkan dapat terlihat pada tabel di bawah.22

Tabel 2.5 Terapi Konservatif (Suportif) pada AKI22

Komplikasi Terapi

Kelebihan cairan Batasi garam (l-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)

Intravaskuler Diuretik (biasanya furosemide/thiazide)

Batasi cairan (<1 liter/hari)


Hiponatremia Hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk
dekstrosa 5%)

Batasi asupan kalium (<40 mmol/hari)


Hindari suplemen kalium dan diuretik hemat
kalium
Beri resin potassium-binding ion exchange
Hiperkalemia (kayexalate)
Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc + insulin 10 unit
Beri natrium bikarbonat (50-100 mmol)
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-l mg lV
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)

Batasi asupan protein (0,8-1,0 g/kgBB/hari)


Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
Asidosis metabolik
bikarbonat plasma > 15 mmol/l dan pH arteri >
7,2)

Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)


Hiperfosfatemia Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat,
alumunium HCl, sevalamer)

17
Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10%
Hipokalsemia
(10-20 cc)

Hiperurisemia Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl

Komplikasi AKI yang esensial dapat menyebabkan kematian dengan segera.


Mengingat bahwa AKI dapat disebabkan oleh etiologi yang berbeda, maka sukar mencari
patofisiologi yang seragam terhadap komplikasi yang terjadi. Sebagian kasus AKI terjadi
akibat hipoperfusi, sebagian lain terjadi akibat iskemia, dan tidak jarang keduanya terjadi
secara bersamaan. Pada pasien AKI dengan penyakit kritis harus pula diperhatikan kegagalan
multi-organ akibat penyakit etiologinya. Dapat dimengerti bahwa tidak dapat dibuat suatu
panduan yang seragam mengenai pengelolaan komplikasi AKI, bahkan sering terjadi
kontroversi mengenai cara pengelolaannya.xviiiBerikut dibahas mengenai beberapa
kornplikasi AKI yang dapat menyebabkan kematian dengan segera dan memerlukan
pengelolaan dengan cepat dan tepat, antara lain:7
1. Kelebihan cairan intravaskuler (volume overload)
Pada pasien AKI terutama yang disertai oliguri atau anuria sering sekali terjadi
kelebihan cairan intravaskuler (volume overload), sehingga tindakan yang harus
dilakukan adalah :xix
❖ Membatasi intake garam menjadi 1-2 gram/hari
❖ Membatasi intake cairan dengan menyesuaikan dengan jumlah urine dan IWL
(insensible water loss). Contoh rumus yang dapat digunakan adalah :

Jumlah intake/jam = jumlah urine jam sebelumnya + 25 cc.

Bila terjadi anuria atau oligouria, sebaiknya jumlah intake dibatasi menjadi < 1000
cc/hari, kecuali jika ada pengeluaran cairan lain seperti muntah atau diare.24
2. Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan salah satu komplikasi esensial AKI yang dapat
menimbulkan kematian dengan segera. Pengelolaan hiperkalemia pada AKI secara
bertahap dibagi atas hiperkalemia sedang dan hiperkalemia dengan kelainan EKG.7

18
Hiperkalemia sedang (5,5 – 6,5 mmol/liter) tanpa kelainan gambaran EKG dapat
dikelola secara konservatif dengan cara :7
❖ Mengurangi intake kalium dalam diet
❖ Menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar kalium (antagonis aldosteron,
ACE inhibitor, heparin, β blocker non selektif)
❖ Pemberian resin ion-exchange, misalnya Kayexalate dengan dosis 15-30 gram (3-4
kali per hari) atau digabung dengan pemberian sorbitol 20% per oral.
❖ Untuk mempercepat ekskresi kalium melalui ginjal, dapat diberikan furosemide
oral/IV jika pasien masih responsif terhadap diuretik.
Hiperkalemia dengan kelainan EKG membutuhkan penanganan emergensi yang perlu
dilakukan segera untuk menghindari terjadinya gangguan irama jantung atau henti
jantung (cardiac arrest) Pengelolaan yang dapat dilakukan adalah :7

 Kalsium glukonat 10% 5-10 cc secara IV perlahan (> 5 menit), dapat diulang
setelah 15 menit jika gambaran EKG belum membaik. Obat ini onset kerjanya
cepat (3-5 menit), tetapi hanya bertahan sekitar 30-60 menit. Fungsinya
menstabilkan sel jantung (miosit membran jantung), tetapi tidak menurunkan
kadar kalium darah.

 Berikan obat-obat yang dapat menyebabkan translokasi K+ dari ekstraseluler ke


intraseluler, seperti insulin, bikarbonat, dan β agonis.

o Insulin

 Pemberian insulin akan meningkatkan Na+/K+-ATPase, sehingga


translokasi K+ dari ekstraseluler ke intraseluler meningkat, tetapi
tidak menyebabkan ekskresi kalium keluar tubuh. Onset obat ini
15-30 menit dan berlangsung selama 4-6 jam. Untuk menghindari
hipoglikemia, insulin biasanya diberikan dalam infus glukosa
dengan dosis 10-20 unit insulin reaksi cepat (Actrapid atau
Humulin) diberikan dalam 50 cc glukosa 50% selama 10-20 menit.
Bila pasien menderita hiperglikemia (GDS > 360 mg), insulin
dapat diberikan tanpa dekstrosa, tetapi dengan monitoring gula
darah.

19
o Bikarbonat

 Bikarbonat dapat diberikan secara bolus 1 ampul (50% mEq


natrium bikarbonat) atau diberikan secara infus. Pengaruh
bikarbonat dalam penurunan kadar kalium darah baru bermakna
jika pasien juga mengalami asidosis metabolik

o β-agonis

 Salbutamol dapat diberikan secara infus (0,5 mg) atau nebulisasi


(10-20 mg dalam 4 cc NaCl 0,9%). Onset obat ini 1-2 menit dan
berlangsung selama 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah
takikardia, rasa cemas, dan flushing. Harus diberikan secara hati-
hati jika pasien menderita komplikasi jantung. Lebih sering
digunakan pada anak-anak.

❖ Memberikan obat-obatan yang dapat mengekskresi K+ ke luar tubuh


Ekskresi kalium dapat melalui urine, dan bila pasien masih responsif terhadap
diuretik, dapat diberikan furosemide oral atau intravena yang akan meningkatkan
ekskresi kalium melalui urine. Ekskresi kalium melalui feses dapat dilakukan
dengan pemberian resin penukar kation (Kayaxalate) yang akan mengikat kalium
dalam saluran cerna dan menukarnya dengan natrium (sodium polystyrene) atau
kalsium (calcium polystyrene) kemudian diekskresi lewat feses. Dosis yang
diberikan 15-30 gram per oral, untuk meningkatkan ekskresi lewat feses dapat
diberikan bersamaan dengan sorbitol 20% (50-100 cc). Onset obat ini lambat (> 2
jam) dan berlangsung selama 4-6 jam. Bila semua usaha di atas tidak berhasil,
atau keadaan hiperkalemia mengancam nyawa maka kadar kalium harus
diturunkan dengan melakukan terapi pengganti ginjal.7

3. Asidosis metabolik
Penurunan kadar bikarbonat serum < 24 mEq/liter (normal = 24-28 mEq/liter)
dengan diikuti penurunan pH darah (normal = 7,35-7,45) merupakan salah satu
komplikasi esensial AKI. Seringkali komplikasi ini disertai dengan hiperkalemía.
Keadaan asidosis metabolik berat (pH < 7,2 dan kadar bikarbonat < 13 mEq/liter)
20
merupakan kondisi gawat darurat karena dapat menimbulkan komplikasi pada sistem
saraf, sistem gastrointestinal, gagal napas, dan gagal jantung.7
Pada asidosis metabolik ringan, pengobatan ditujukan untuk menghilangkan
penyebab terjadinya komplikasi ini dan pemberian cairan isotonis (NaCl 0,9%) untuk
rehidrasi. Pada asidosis metabolik berat atau mengancam nyawa dapat diberikan natrium
bikarbonat (NaHCO3), dengan cara sebagai berikut :7
❖ Bila pH darah < 7,1 diberikan dengan cepat (l -3 jam) sampai dicapai pH > 7,2
dengan dosis 1 - 2 mEq/kg BB (100-200 mEq) dengan infus lambat.
❖ Selanjutnya diberikan dengan lebih lambat dengan dosis :
o Kebutuhan bikarbonat (mEq/L) = (kadar bikarbonat diharapkan − kadar
bikarbonat terukur) × 40% BB (kg)
o atau berdasarkan SBE (standard base excess) : Kebutuhan bikarbonat
(mEq/L) = 0,3 × BB(kg) × SBE.
Efek samping pengobatan natrium bikarbonat adalah alkalosis metabolik,
hipokalemia, hipokalsemia, gangguan gastrointestinal, volume overload, atau edema
paru.7Beberapa komplikasi AKI lain berikut perlu diperhatikan, dan walaupun tidak
segera menimbulkan kematian, tetapi dapat memengaruhi prognosis pasien.7
1. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Hiperfosfatemia sering terjadi pada AKI, terutama pada pasien dengan hiperkatabolik.
Untuk mengatasi hal ini, intake fosfat harus dibatasi dan diberikan obat pengikat fosfat
(fosfobinder), misalnya kalsium karbonat 3 × 500 mg/oral. Bila dengan diet dan terapi
konservatif tidak berhasil, dapat dipikirkan untuk melakukan dialisis. Hipokalsemia,
hipermagnesemia, dan hiperurisemia sering terjadi pada AKI, tetapi biasanya tidak
memerlukan pengobatan kecuali jika ada gejala-gejala klinik seperti kejang-kejang (pada
hipokalsemia), hiporefleksia, dan depresi pernapasan (pada hipermagnesemia).7

2. Komplikasi hematologi

Pada AKI biasanya terjadi anemia ringan akibat proses inflamasi. Transfusi hanya
diperlukan jika terjadi perdarahan aktif atau anemia menimbulkan gangguan
hemodinamik. Pada kasus AKI pemberian eritropoieitin tidak bermanfaat. Pada AKI yang
berat terutama yang disertai dengan sepsis dapat terjadi gangguan perdarahan. Pada kasus
semacam ini dapat diberikan desmopresin, terapi estrogen, atau segera dilakukan dialisis.7

21
3. Komplikasi gastro-intestinal

Akibat azotemia dapat terjadi perdarahan gastrointestinal karena ulkus uremik atau
ulkus stress. Untuk pengobatan atau pencegahan dapat diberikan H2 antagonis atau
inhibitor pompa proton. Jangan diberikan antasida yang berbasis magnesium atau
alumunium karena dapat berakumulasi dan menjadi toksik.7

4. lnfeksi

Akibat berbagai sebab sering terjadi infeksi pada AKI. Harus dimonitor
kemungkinan terjadinya infeksi, termasuk perawatan aseptik yang baik terhadap saluran
infus kateter, saluran CVP, saluran nasogastrik, dll. Bila dicurigai adanya infeksi segera
diatasi dengan pemberian antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur.7

2.7.2 Terapi Pengganti Ginjal pada AKI

Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Therapy (RRT) adalah usaha
untuk menggambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan menggunakan ginjal buatan
(dializer) dengan teknik dialisis atau hemofiltrasi. Pada TPG seperti dialisis atau hemofiltrasi,
yang dapat digantikan hanya fungsi ekskresi, yaitu fungsi pengaturan cairan dan elektrolit,
serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi
pengaturan tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal, maupun integritas tulang
tidak dapat digantikan oleh terapi jenis ini.xxPasien AKI dalam kondisi kritis (critically ill)
yang dirawat di ruang rawat intensif (lCU) sangat bervariasi. Mereka merupakan kelompok
pasien yang heterogen, baík dalam diagnosis penyakit etiologi, umur, penyakit lain yang
menyertai (komorbid), atau derajat gangguan fisiologis pada saat masuk. Kondisi klinik
pasien dapat berubah-ubah setiap saat. Tahapan penyakit dapat berganti dengan cepat, yang
tidak hanya disebabkan oleh satu mekanisme patofisiologis tubuh yang tunggal, melainkan
berbagai faktor yang saling memperburuk dan terkait. Seringkali pasien AKI disertai dengan
berbagai gangguan organ (multiple organ failure) di mana keadaan hemodinamiknya sangat
tidak stabil. Oleh karena itu, strategi TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis diharapkan
dapat mencapai tujuan berikut :25
❖ Mencegah perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.

22
❖ Membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit dan pemulihan fungsi
ginjal dan fungsi organ lain yang terganggu.
❖ Memungkinkan dilakukan tindakan pengobatan yang banyak memerlukan cairan,
misalnya resusitasi cairan, pemberian nutrisi, dan obat-obatan.

Tujuan TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis adalah untuk memberi bantuan
kepada ginjal (renal support) dan kepada berbagai organ tubuh lainnya supaya kembali
berfungsi. Pasien AKI dalam kondisi kritis membutuhkan cairan, obat-obatan, maupun nutrisi
dalarn jumlah besar. Dengan melakukan TPG, dapat dilakukan ultrafiltrasi sehingga dapat
diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Jadi, diciptakan lingkungan yang memberi
kesempatan kepada tubuh untuk pulih dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya.
Tujuan tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan TPG pada pasien gagal ginjal
terminal (chronic kidney disease) di mana tujuan utamanya adalah mengambil alih fungsi
ginjal (renal replacement) secara rutin seumur hidup untuk memperbaiki keadaan azotemia
sehingga yang menjadi patokan keberhasilan adalah survival dan kualitas hidup.25Pada pasien
AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari kondisi klinik yang dihadapi. Saat ini kriteria
yang biasa dipakai menjadi dasar untuk inisiasi dialisis pada AKI adalah gejala klinik
kelebihan (overload) cairan dan penanda biokimia tentang terjadinya ketidak-seimbangan
elektrolit, misal hiperkalemia, azotemia, atau asidosis metabolik. Berikut adalah kriteria
praktis yang sangat bermanfaat sebagai indikasi inisiasi TPG, sehingga memungkinkan bagi
pasien untuk mendapatkan TPG yang lebih tepat waktu, lebih aman, dan lebih
fisiologis.25Berikut adalah indikasi dan kriteria untuk inisiasi dialisis pada AKI di ICU :25
1. Oliguria (output urine < 200 cc/12 jam)
2. Anuria/oliguria berat (output urine < 50 cc/ l2 jam)
3. Hiperkalemia (K+> 6,5 mmol/L)
4. Asidosis berat (pH < 7,1)
5. Azotemia (urea > 30 mmol/liter)
6. Gejala klinik berat (terutama edema paru)
7. Ensefalopati uremik
8. Perikarditis uremik
9. Neuropati/miopati uremik
10. Disnatremia berat (Na > 160 atau < 115 mmol/L)
11. Hipertermia/hipotermia
23
12. Overdosis obat -obatan yang terdialisis jika kadar asam urat <15 mg/dl
Bila didapatkan satu gejala di atas sudah dapat merupakan indikasi untuk inisiasi dialisis,
dua gejala di atas merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis, dan lebih dari dua
merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis walaupun kadarnya belum mencapai yang
tertulis.

2.8 Prognosis
Pasien dengan AKI memiliki resiko yang cukup besar untuk selanjutnya berkembang
menjadi gangguan ginjal kronis. Pasien dengan AKi juga memiliki resiko tinggi menjadi end-
stage renal disease dan kematian prematur. Sehingga, pasien AKI harus terus di monitor
terutama terhadap perkembangan penyakitnya atau perburukan menjadi gangguan ginjal
kronis.xxi,xxii

BAB III

KESIMPULAN

Acute Kidney Injury (AKI) merupakan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu proses
yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan didefinisikans ebagai
peningkatan kreatinin serum >= 0,3 mg/dl atau peningkatan 50%) atau penurunan produksi
urin berdasarkan kriteria AKIN. Penyebab dari AKI dapat dikelompokkan menjadi pre-renal,
renalis, dan post-renal, dimana untuk membedakannya diperlukan langkah diagnosis yang
baik.

Anamnesis dapat dilakukan untuk mendapatkan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi perfusi ginjal atau langsung merusak ginjal, atau apakah terdapat tanda-tanda
obstruski, dan sebagainya. Pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan untuk menilai kelainan
yang juga berfungsi untuk menegakkan diagnosis penyebab AKI.

Pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju filtrasi glomerulus
harus dilakukan untuk memastikan tingkat keparahan dan kemungkinan komplikasi dari AKI.
Selain itu, analisis urin dan biomarkers juga dapat dilakukan jika dibutuhkan diagnosis
segera. Tatalaksana dari AKI dapat berupa terapi konservatif dan juga terapi

24
pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan juga pasien sudah memenuhi kriteria
untuk dilakukan terapi dialisis segera. Beberapa komplikasi dari AKI ada yang bersifat
emergency sehingga dibutuhkan pengelolaan yang cepat dan tepat, seperti volume overload,
hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Tindakan yang dilakukan untuk dapat mendiagnosis
AKI secara dini sangat dibutuhkan, sehingga tatalaksana yang diberikan juga dapat
memperbaiki prognosis pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hsu CY, McCulloch CE, Fan D, Ordoñez JD,Chertow GM, Go AS. Community-
based incidence of acute renal failure. Kidney Int. 2007;72(2):208-212.
2. Nash K,Hafeez A,Hou S. Hospital-acquired renal insufficiency. Am J Kidney Dis.
2002;39(5):930-936.
3. Hoste EA,Schurgers M. Epidemiology of acute kidney injury: how big is the
problem? Crit Care Med. 2008;36(4 suppl):S146-S151.
4. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J Clin Invest. 2004 Jul. 114(1):5-14
5. R Mahboob, S Fariha, CS Michael. Acute Kidney Injury: A Guide to Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):631-639.
6. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed.
Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke -4. 2006. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
7. Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta:
Puspa Swara.
8. Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The
Vicenza Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
9. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network (AKIN): Report
of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney Injury. Critical Care
2007;11:R31.

25
10. Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed.
2008: New York: McGraw-Hill.
11. Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute Kidney Injury:
A Comprehensive Population-based Study. J Am Soc Nephrol 2007;18:1292-1298
12. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of the RIFLE
Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot Care Med
2006;34:1913-1917
13. Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
14. Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med
2007;357:797-805.
15. Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury and
Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int 2002;62:1539-49.
16. Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J Am Soc
Nephrol. 2006;17 :1503-20.
17. Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal Failure.
Dalam: Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic Strategies. New York.
Churcill Livingstone.1995;l-23.
18. Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
19. Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-1325.
20. Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In: Greenberg A,
Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed. Philadelphia, Pa.: National
Kidney Foundation; 2009.
21. Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed
on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
22. Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute Renal
Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd ed.
Mosby 2000;183-207
23. Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest
2007;131:300-308.
24. Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med J.
2006;82:106-116.

26
25. Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal Replacement
Therapy in the Intensive Care Unit. Kidney Int 198;53(66):S106-S109.
26. Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv Chronic
Kidney Dis. 2008;15(3):297-307.
27. Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of mortality
and other adverse outcomes after acute kidney injury: a systematic review and meta-
analysis. Am J Kidney Dis. 2009;53(6):961-973.

6
Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, ed. Buku
Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke -4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
7
Roesli, RMA. Diagnosis dan Pengelolaan Gangguan Ginjal Akut. 2008. Jakarta: Puspa
Swara.
8
Bellomo R, Kellum JA, Mehta R, et al. Acute Dialysis Quality Initiative II.The Vicenza
Conference. Curr Opin Crit Care 2002;8(6):505-508
3. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, et al. Acute Kidney Injury Network (AKIN): Report
of an Initiative to Improve Outcomes in Acute Kidney Injury. Critical Care
2007;11:R31.
10
Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed.
2008: New York: McGraw-Hill.
5. Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute Kidney Injury:
A Comprehensive Population-based Study. J Am Soc Nephrol 2007;18:1292-1298
6. Uchino S, Bellomo R, Goldsmith D, Bates S, Ronco C. An Assessment of the RIFLE
Criteria for Acute Renal Failure in Hospitalized Patients. Crot Care Med
2006;34:1913-1917
13
Sudoyo K, Setiyohadi B, et al, ed. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
ke-4. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
8. Abuelo JG. Normotensive Ischemic Acute Renal Failure. N Engl J Med
2007;357:797-805.
9. Sutton TA, Fischer CJ, Molitoris BA. Microvascular Endothelial Injury and
Dysfunction during Ischemic Acute Renal Failure. Kidney Int 2002;62:1539-49.
10. Devarajan P. Update on Mechanisms of Ischemic Acute Kidney Injury.J Am Soc
Nephrol. 2006;17 :1503-20.
11. Goligorsky MS, Lieberthal W. Pathophysiology of Ischemic Acute Renal Failure.
Dalam: Acute Renal Failure: New Concepts and Therapeutic Strategies. New York.
Churcill Livingstone.1995;l-23.
18
Jacob. Acute Renal Failure. Indian J Anaesth. 2003; 47(5): 367-72.
xiv
Meyer TW, Hostetter TH. Uremia. N Engl J Med. 2007;357(13):1316-1325.
27
xv
Holley JL. Clinical approach to the diagnosis of acute renal failure. In: Greenberg A,
Cheung AK, eds. Primer on Kidney Diseases. 5th ed. Philadelphia, Pa.: National Kidney
Foundation; 2009.
xvi
Workeneh BT. Acute Kidney Injury Differential Diagnosis.Accessed
on: http://emedicine.medscape.com/article/243492-differential.
xvii
Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute Renal
Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 2nd ed. Mosby
2000;183-207
xviii
Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of Acute Renal Failure. Chest 2007;131:300-
308.
xix
Fry AC, Farrington K. Management of Acute Renal Failure. Postgrad Med J. 2006;82:106-
116.
xx
Bellomo R, Ronco C. Indications and Criteria for Initiating Renal Replacement Therapy in
the Intensive Care Unit. Kidney Int 198;53(66):S106-S109.
xxi
Goldberg R, Dennen P. Long-term outcomes of acute kidney injury. Adv Chronic Kidney
Dis. 2008;15(3):297-307.

xxii
Coca SG, Yusuf B, Shlipak MG, Garg AX, Parikh CR. Long-term risk of mortality and
other adverse outcomes after acute kidney injury: a systematic review and meta-analysis. Am
J Kidney Dis. 2009;53(6):961-973.

28

Anda mungkin juga menyukai