Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Sulawesi Selatan yang mempunyai luas 45.764,53 km2 beribukota di

Makassar terletak antara 0o12- 8o Lintang Selatan dan 116o48' 122o36' Bujur

Timur. Provinsi Sulawesi selatan adalah provinsi yang yang berbatasan dengan

Provinsi Sulawesi Barat di sebelah Utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi

Tenggara di sebelah Timur. Batas sebelah Barat dan Timur masing-masing adalah

Selat Makassar dan Laut Flores.

Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 46.083,94 km2 persegi yang

meliputi 21 Kabupaten dan 3 kota. 3 tersebut meliputi Palopo, Pare-Pare dan

Makassar. 21 Kabupaten yaitu meliputi Bantaeng, Bulukumba, Barru, Bone,

Enrekang, Gowa, Jeneponto, Selayar, Maros, Pangkajene, Sidrap, Soppeng,

Sinjai, Takalar, Tana Toraja, Toraja Utara, Wajo, Luwu Timur, Luwu Utara,

Luwu dan Pinrang.

Kabupaten Pinrang merupakan wilayah provinsi Sulawesi Selatan yang secara

geografis terletak pada koordinat antara 31913 sampai 41030 Lintang

Selatan dan 1192630 sampai 1194720Bujur Timur. Daerah ini berada pada

ketinggian 0-2.600 meter dari permukaan laut. Kabupaten Pinrang berada 180

Km dari Kota Makassar, dengan memiliki luas 1.961,77 Km2, terdiri dari tiga

dimensi kewilayahan meliputi dataran rendah, laut dan dataran tinggi.

Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan

diameter 0.5 mm atau lebih. Jika jatuhnya sampai ketanah maka disebut hujan,
akan tetapi apabila jatuhannya tidak dapat mencapai tanah karena menguap lagi

maka jatuhan tersebut disebut Virga. Hujan juga dapat didefinisikan dengan uap

yang mengkondensasi dan jatuh ketanah dalam rangkaian proses hidrologi.

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan

yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Untuk

dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam

belerang.

Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama

periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas

permukaan horizontal. Dalam penjelasan lain curah hujan juga dapat diartikan

sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak

menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Indonesia merupakan negara yang

memiliki angka curah hujan yang bervariasi dikarenakan daerahnya yang berada

pada ketinggian yang berbeda-beda.

Iklim adalah perubahan nilai unsur-unsur cuaca (hari demi hari dan bulan

demi bulan) dalam jangka panjang di suatu wilayah, sintetis tersebut bisa diartikan

pula sebagai statistik yang meliputi rata-rata, maksimum, minimum, frekuensi

kejadian, dan sebagainya. Maka iklim sering dikatakan sebagai nilai statistik

cuaca jangka panjang di suatu wilayah. Dimana dalam menentukan iklim suatu

daeah digunakan perhitungan beradasarkan Schmidt-Ferguson dan Oldemen.

Klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson didasarkan kepada perbandingan

antara Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB). Kriteria BK dan BB yang
digunakan dalam klasifikasi Schmidt-Ferguson cara perhitungan BK dan BB akhir

selama jangka waktu data curah hujan itu dihitung.

Sedangkan klasifikasi iklim menurut Oldemen, ia membuat dan

menggolongkan tipe-tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan

basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut. Kriteria dalam klasifikasi

iklim didasarkan pada perhitungan bulan basah (BB), bulan lembab (BL) dan

bulan kering (BK) dengan batasan memperhatikan peluang hujan, hujan efektif

dan kebutuhan air tanaman.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Adapun Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui curah hujan yang

terjadi pada Kabupaten Pinrang dan untuk menentukan penggolongan iklim

berdasarkan Schmidt-Ferguson dan Oldemen.

Adapun kegunaan dari oraktikum ini adalah sebagai tambahan informasi dan

wawasan bagi mahasiswa tentang curah hujan dan klasifikasi iklim.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Data Kabupaten Pinrang

Kabupaten Pinrang merupakan wilayah provinsi Sulawesi Selatan yang

secara geografis terletak pada koordinat antara 31913 sampai 41030 Lintang

Selatan dan 1192630 sampai 1194720Bujur Timur. Daerah ini berada pada

ketinggian 0-2.600 meter dari permukaan laut. Kabupaten Pinrang berada 180

Km dari Kota Makassar, dengan memiliki luas 1.961,77 Km2, terdiri dari tiga

dimensi kewilayahan meliputi dataran rendah, laut dan dataran tinggi. Kabupaten

Pinrang secara administratif pemerintahan terdiri dari 12 (dua belas) Kecamatan,

39 Kelurahan dan 65 Desa yang meliputi 96 Lingkungan dan 181 Dusun.

Sebagian besar dari wilayah kecamatan merupakan daerah pesisir yang memiliki

luas 1.457,19 Km2 atau 74,27% dari luas keseluruhan Wilayah Kabupaten

Pinrang dengan panjang garis pantai 101 Km (Pojka AMPL, 2012).

Adapun batas wilayah Kabupaten Pinrang sebagai berikut: Sebelah Utara

berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja. Sebelah Timur berbatasan dengan

Kabupaten Enrekang dan Sidrap. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar

serta Kabupaten Polewali Mandar. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota

Parepare. Kondisi topografi Kabupaten Pinrang memiliki rentang yang cukup

lebar, mulai dari dataran dengan ketinggian 0 m di atas permukaan laut hingga

dataran yang memiliki ketinggian di atas 1000 m di atas permukaan laut (dpl).

Dataran yang terletak pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut sebagian
besar terletak di bagian tengah hingga utara Kabupaten Pinrang terutama pada

daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Toraja (Pokja AMPL, 2012).

2.2 Curah Hujan Kabupaten Pinrang 5 Tahun Terakhir

TAHUN
Bln Dkd
2010 2011 2012 2013 2014 Rtaan
1 x 123 13 85 123 100
2 105 86 17 61 40 62
Jan
3 5 51 62 34 3 102
Jum 107 256 95 177 161 253
1 223 55 63 34 x 74
2 351 9 79 19 28 86
Feb
3 98 57 199 19 4 79
Jum 699 119 323 73 33 223
1 30 20 66 45 78 69
2 20 30 41 20 54 57
Mar
3 65 145 49 21 93 87
Jum 117 202 156 85 226 207
1 38 15 164 169 205 121.5
2 25 74 124 101 77 82
Apr
3 135 218 39 101 x 133
Jum 198 307 327 371 282 286
1 134 40 124 38 57 99
2 163 119 46 99 213 100.25
Mei
3 209 121 44 85 266 118
Jum 510 283 211 223 545 286
1 61 4 44 264 15 111
2 69 X 17 231 110 89
Jun
3 168 7 1 13 37 60
Jum 298 11 62 508 162 226
1 173 X 195 147 9 83
2 125 75 219 249 136 93
Jul
3 215 X x 53 x 77
Jum 518 75 401 449 140 154
1 85 X 4 124 2 51
2 58 X x 71 x 19
Ags
3 115 X 16 113 x 34
Jum 261 0 21 309 2 58
1 413 13 5 39 x 84
2 68 27 34 17 28 32
Sep
3 182 X 35 x x 60
Jum 663 40 74 56 28 104
1 178 69 4 12 x 77
2 37 69 69 2 x 42
Okt
3 167 160 113 19 x 73
Jum 386 304 191 34 0 144
1 204 77 198 117 52 104
2 189 37 32 61 113 99
Nop
3 74 247 61 162 73 103
Jum 467 361 291 340 238 287
1 59 59 115 94 124 88
2 24 93 343 130 128 128
Des
3 161 255 77 69 43 136
Jum 252 418 525 290 289 353

2.3 Hujan Spesifik

Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air dengan

diameter 0.5 mm atau lebih. Jika jatuhnya sampai ketanah maka disebut hujan,

akan tetapi apabila jatuhannya tidak dapat mencapai tanah karena menguap lagi

maka jatuhan tersebut disebut Virga. Hujan juga dapat didefinisikan dengan uap

yang mengkondensasi dan jatuh ketanah (Wibowo, 2008).

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan

yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es. Untuk

dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik kondensasi, amoniak, debu dan asam

belerang. Titik-titik kondensasi ini mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari

udara. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau inchi

namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam

satuan millimeter (mm) (Wibowo, 2008).


Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat

yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1

milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar

tertampung air setinggi satu milimeter atau satu liter (Wibowo, 2008).

Menurut Tjasyono (2004), adapun jenis-jenis hujan yaitu sebagai berikut :

1. Hujan Konvektif

Akibat pemanasan radiasi matahari udara permukaan akan memuai dan naik ke

atas, kemudian udara yang naik akan mengembung. Gerakan vertical udara

lembab yang mengalami pendinginan dengan cepat akan menghasilkan hujan

deras.Awan cumulonimbus yang terjadi, pada umumnya mencakup daerah yang

nisbih kecil sehingga hujan deras berlangsung dalam waktu tidak lama. Hujan

konvektif biasanya tidak efektif untuk pertumbuhan tanaman karena air hujan

sebagian besar akan hilang dalam bentuk arus permukaan.

2. Hujan Orografik

Jika gerakan udara melalui pegunungan atau bukit yang tinggi, maka udara

akan dipaksa naik. Setelah terjadi kondensasi, tumbuh awan pada lereng di atas

angina (windward side)dan hujannya di sebut hujan orografik, sedangkan pada

lereng di bawah angina (leeward side), udara yang turun akan mengalami

pemanasan dengan sifat kering, dan daerah ini disebut daerah bayangan hujan.

3. Hujan Konvergensi dan frontal

Jika ada konvergensi pada arus udara horizontal dari massa udaraa yang besar

dan tebal, maka akan terjadi gerakan ke atas. Kenaikan udara di daerah

konvergensi dapat menyebabkan pertumbuhan awan dan hujan.


Jika dua massa udara yang konvergen horizontal mempunyai suhu dan massa

jenis berbed, maka massa udara yang lebih panas akan dipaksa naik di atas massa

udara dingin. Bdang batas antara kedua massa udara yang berbeda sifat fisisnya di

sebut front.

2.4 Iklim Spesifik

Iklim adalah sintestis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca

(hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu wilayah,

sintetis tersebut bisa diartikan pula sebagai statistik yang meliputi rata-rata,

maksimum, minimum, frekuensi kejadian, dan sebagainya. Maka iklim dikatakan

sebagai nilai statistik cuaca jangka panjang di suatu wilayah (Tjasyono, 2004).

Ilmu yang mempelajari iklim adalah Klimatologi yang berasal dari bahasa

Yunani, yaitu klima dan logos yang berarti kemiringan (slope) yang diarahkan ke

lintang tempat sedangkan logos berarti ilmu. Jadi definisi dari klimatologi adalah

ilmu yang menggambarkan dan menjelaskan sifat iklim, mengapa iklim di

berbagai tempat di bumi berbeda, dan bagaimana kaitan antara iklim dengan

aktifitas manusia. Klimatologi memerlukan intepretasi dari data-data yang banyak

sehingga memerlukan statistik dalam pengajaranya, kebanyakan orang-orang

sering mengatakan klimatologi sebagai meterorologi statistik (Tjasyono, 2004).

Menurut Kartasapoetra (2010) menyatakan bahwa iklim dan tanaman

mempunyai hubungan yang erat, hubungan antara pola iklim dengan distribusi

tanaman banyak digunakan sebagai dasar dalam klasifikasi iklim. Hasil suatu jenis

tanaman bergantung pada interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan

seperti jenis tanah, topografi, pengelolaan pola iklim dan teknologi, dalam buku
yang sama dia juga mengatakan bahwa cuaca dan iklim merupakan salah satu

faktor peubah dalam produksi pangan yang sukar dikendalikan.

Iklim merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi distribusi

tanaman. Wilayah dengan kondisi iklim tertentu akan didominasi iklim tertentu

akan didominasi pula oleh spesies tumbuhan tertentu, yakni tumbuhan yang dapat

beradaptasi secara baiki pada kondisi iklim tersebut. Berdasarkan keterkaitan yang

erat antara kondisi iklim dengan spesies tumbuhan yang dominan pada suatu

wilayah, beberapa ahli mengkasifikasikan iklim berdasarkan jenis tumbuhan yang

dapat beradaptasi baik pada wilayah tersebut (Kartasapoetra, 2010).

2.5 Schmidt-Ferguson dan Oldemen

2.5.1 Schmidt-Ferguson

Schmidt dan Fergusson menerima metode Mohr dalam menetukan bulan

kering dan bulan basah, tetapi cara perhitungannya berbeda. Schmidt dan

Fergusson menghitung jumlah bulan kering dan bulan basah dari tiap-tiap tahun

kemudian diambil rata-ratanya. Periode pengamatan yang diikutsertakan di dalam

perhitungan jumlah bulan kering dan bulan basah adalah stasiun hujan yang

datanya kurang dari 10 tahun di hilangkan (Tjasyono, 2004).

Menurut Tjasyono (2004), untuk menentukan bulan kering dan bulan basah

maka kategorinya adalah sebagai berikut:

a. Bulan Kering: Jika dalam satu bulan mempunyai jumlah curah hujan < 60 mm.

b. Bulan Lembab: Jika dalam satu bulan jumlah curah hujan 60 100 mm.

c. Bulan Basah: Jika dalam satu bulan mempunyai jumlah curah hujan > 100 mm.
Sedangkan untuk menentukan rata-rata bulan kering dan rata-rata bulan basah

digunakan rumus sebagai berikut:

a. Rata-rata bulan kering :

d
Md = Dimana: Md : Rata-rata bulan kering

fd : Frekuensi bulan kering

T : Banyaknya tahun penelitian

b. Rata-rata bulan basah

w
Mw = Dimana: Mw : Rata-rata bulan basah

fw : Frekuensi bulan basah

T : Banyaknya tahun penelitian

Tahapan Selanjutnya dalam metode Schmidt-Ferguson adalah menentukan nilai Q

dengan rumus sebagai berikut:


Q = X 100% Dimana : Q : Tipe iklim SF

Md : Rata-rata bulan kering selama 10 tahun

Mw : Rata-rata bulan basah selama 10 tahun

Tipe Iklim Keterangan Kriteria (%)

A Sangat Basah 0 < Q < 14,3

B Basah 14,3 < Q < 33,3

C Agak Basah 33,3 < Q < 60,0

D Sedang 60,0 < Q < 100,0

E Agak Kering 100,0 < Q < 167,0

F Kering 167,0 < Q < 300,0


G Sangat Kering 300,0 < Q < 700,0

H Luar Biasa Kering 700,0 < Q

Sumber: Tjasyono, 2004


Menurut Tjasyono (2004), tipe Vegetasi Iklim Klasifikasi Schmidt-Ferguson:

1. Tipe A : Daerah sangat basah dengan ciri vegetasi hutan hujan tropika

2. Tipe B : Daerah basah dengan ciri vegetasi hutan hujan tropika

3. Tipe C : Daerah agak basah dengan ciri vegetasi hutan rimba,

4. Tipe D : Daerah sedang dengan ciri vegetasi hutan musim

5. Tipe E : Daerah agak kering dengan ciri vegetasi hutan sabana

6. Tipe F : Daerah kering dengan ciri vegetasi hutan sabana

7. Tipe G : Daerah sangat kering dengan ciri vegetasi padang ilalang

8. Tipe H : Daerah ekstrim kering dengan ciri vegetasi padang ilalang

2.5.2 Oldemen

Seperti halnya metode Schmidt-Ferguson, metode Oldeman juga memakai

unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim, yaitu bulan basah dan bulan

kering secara berturut turut yang dikaitkan dengan pertanian untuk daerah daerah

tertentu, misalnya jumlah curah hujan sebesar 200 mm tiap bulan dipandang

cukup untuk membudidayakan padi sawah, sedangkan untuk sebagian besar

palawija maka jumlah curah hujan minimal yang diperlukan adalah 100 mm tiap

bulan. Musim hujan selama 5 bulan cukup untuk membudidayakan padi selama

satu musim, dalam metode ini, bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang

mempunyai jumlah curah hujan sekurang-kurangnya 200 mm (Lakitan, 2002).

Lamanya periode pertumbuhan padi ditentukan oleh jenis padi yang

digunakan, periode 5 bulan basah berurutan dalam satu tahun dipandang optimal
untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat menanam

padi sebanyak 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka

tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi tambahan (Lakitan,2002).

Menurut Lakitan (2002), Oldeman membagi iklim berdasarkan kebutuhan air

masing-masing tanaman sehingga setiap zone memiliki jenis tanaman dan cara

pengelolaan yang berbeda sehingga disebut zona agroklimat, berikut zona

agroklimat klasifikasi Oldeman:

1. A1 10-12 bulan basah berurutan dan 0-1 bulan kering

2. B1 7-9 bulan basah berurutan dan satu bulan kering

3. B2 7-9 bulan basah berurutan dan 2-3 bulan kering

4. B3 7-8 bulan basah berurutan dan 4-5 bulan kering

5. C1 5-6 bulan basah berurutan dan 0-1 bulan kering

6. C2 5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering

7. C3 5-6 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering

8. D1 3-4 bulan basah berurutan dan satu bulan kering

9. D2 3-4 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering

10. D3 3-4 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering

11. D4 3-4 bulan basah berurutan dan lebih dari 6 bulan bulan kering 11

12. E1 kurang dari 3 bulan basah berurutan dan kurang dari 2 bulan kering

13. E2 kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering

14. E3 kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering

15. E4 kurang dari 3 bulan basah berurutan lebih dari 6 bulan


BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu

Praktikum ini dilaksanakan di laboratorium Agrokmatologi dan Statistika di

Universitas Hasanuddin, Makassar pada hari Senin, tanggal 14, 21,28 Maret 2016

pada pukul 08.00 WITA sampai selesai.

3.2 Bahan dan Alat

Alat yang digunakan yaitu Laptop, LCD (proyektor), alat tulis menulis,dan

buku sumber. Sedangkan bahan yang dignakan adalah data iklim dan curah hujan

pada kecamatan masing-masing kelompok selama 10 tahun terakhir.

3.3 Metode Percobaan

3.3.1.Cara Penentuan Tipe Iklim Menurut Oldeman

Prosedur penentuan tipe iklim menurut Oldeman adalah sebagai berikut :

1. Menyiapkan data mentah 15 tahun terakhir pada kecamatan tertentu yang

ingin diolah datanya

2. Menentukan jumlah curah hujan dan rata-ratanya yang terjadi dalam waktu

perhari, kemudian perbulan, lalu pertahun

3. Menggabungkan data dengan teman satu kelompok yang mengerjakan pada

tahun yang lain (jangka 15 tahun terakhir)

4. Menghitung jumlah bobot curah hujan bulan dengan rumus =30/31*CH

dengan 30 merupakan angka rata-rata hari dalam satu bulan, 31

merupakan jumlah hari dalam bulan yang diamati dan CH merupakan

cells curah hujan yang terjadi pada bulan tersebut (dalam tahun tertentu).
5. Menghitung dan memilah jumlah bobot hujan yang ada dengan ketetapan

Oldeman, yaitu jika ia termasuk :

Bulan Basah (BB) .> 200mm/bulan

Bulan Lembab (BL) 100-200 mm/bulan

Bulan kering (BK) < 100 mm/bulan

6. Memasukkan kedalam tipe utama (Huruf) dan sub tipe (angka), sehingga

akan diperoleh tipe iklim.

3.3.2.Cara Penentuan Tipe Iklim Menurut Scmidt dan Fergusson

1. Pengolahan datanya sama dengan klasifikasi Oldemen akan tetapi jumlah

bobotnya yang berbeda

2. Menghitung dan memilah jumlah bobot hujan yang ada dengan ketetapan

Oldeman, yaitu jika ia termasuk :

Bulan Basah (BB) .>100mm/bulan

Bulan Lembab (BL) 60 100 mm/bulan

Bulan kering (BK) < 60 mm/bulan

3. Menghitung jumlah Bulan Basah (BB) dan Bulan Kering (BK) yang terjadi

dalam bobot curah hujan yang ada, sehingga dapat menentukan pada bulan

berapa sebaiknya dilakukan pola penanaman yang sesuai.

4. Menghitung nilai Q, yaitu banyak bulan kering/banyak bulan basah x 100%

5. Memasukkan nilai Q yang ada kedalam 8 pembagian tipe Iklim menurut

sifatnya (Oldeman)

3.3.2.Cara Penentuan Peluang


1. Menyiapkan data mentah 15 tahun terakhir pada kecamatan tertentu yang

ingin diolah datanya.

2. Menentukan jumlah rata-rata curah hujan, peluang 40 %, 50 % dan 60%. rata-

ratanya yang terjadi dalam waktu perhari, perbulan dan pertahun.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1. Data Curah Hujan 15 Tahun Terakhir


Tabel 2. Data Curah Hujan Setelah Pembobotan

Tabel 3. Schmidt-Ferguson

Tabel 4. Oldemen
Grafik 1. Peluang 40 %

350 GRAFIK PELUANG 40%


300

250

200

150

100

50

Grafik 2. Peluang 50%

GRAFIK PELUANG 60%


350

300

250

200

150

100

50

0
Grafik 3. Peluang 60%

GRAFIK PELUANG 80%


300

250

200

150

100

50

0
4.2 Pembahasan

Pada hasil pengamatan berupa data curah hujan 15 tahun terakhir diatas

maka pada wilayah tersebut dapat ditentukan klasifikasi iklimnya. Berdasarkan

klasifikasi Schmidt-Ferguson dapat diketahui bahwa bulan keringnya berjumlah

40 dan bulan basahnya 134. Kemudian dimasukkan ke dalam rumus

menghasilkan Q = 0.298507. Hasil tersebut meunjukkan bahwa berdasarkan

klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson, wilayah tersebut termasuk pada

iklim B. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjasyono (2004) bahawa tipe iklim

berkisar jika nilai Q nya berada pada 0,143 dengan 0,333. Dimana iklim tipe B

merupakan daerah basah dengan ciri vegetasi hutan hujan tropika. Dimana bulan

keringnya lebih sering terjadi antara bulan Juni dan Oktober. Sedangkan bulan

basahnya sering terjadi pada bulan November hingga Mei.

Berdasarkan klasifikasi iklim Oldemen, data curah hujan 15 tahun terakhir

tersebut setelah dihitung jumlah bulan kering dan bulan basahnya mendapatkan

hasil: jumlah bulan keringnya yang berurut sebanyak 3 dan bulan basahnya

sebanyak 5. Dimana bulan kering sering terjadi pada bulan Juli hingga November

sedangkan bulan basahnya sering terjadi pada bulan Desember hingga Juni.

Setelah menghitung jumlah BK dan BB yang berurut, wilayah ini masuk ke dalam

tipe iklim C2. Hal ini sesuai dengan pendapat Lakitan (2012) yang menyatakan

bahwa tipe iklim C2 adalah iklim yang mempuyai 5-6 bulan basah yang berurutan

berurutan dan 2-4 bulan kering berurutan. Tipe iklim C2 juga memungkinkan

tanaman padi yang dapat dipanen 2 kali setahun yang berarti wilayah ini termasuk

daerah yang basah.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pada daerah pinrang

rata-rata hujan terjadi (musim hujan) pada sekitar Juni sampai Desember dan

musim panasnya terjadi sekitar bulan Januari hingga Mei.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, wilayah pinrang termasuk

pada iklim B yang berarti termasuk daerah basah. Hal ini hampir sama dengan

klasifikasi iklim Oldemen, dimana wilayah pinrang termasuk ke dalam iklim C2,

yang merupakan daerah basah sehingga pada wilayah pinrang memungkinkan

untuk menanam palawija seperti padi.

5.2 Saran

Saran untuk praktikan sebaiknya menggunakan ketelitian dan kecermatan

yang tinggi pada saat pengelolaan data curah hujan, agar data yang diperoleh valid

sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengelolaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Pokja AMPL Kabupaten Pinrang. 2012. Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi

Selatan. Pinrang.

Wibowo, H. 2008. Desain Prototipe Alat Pengukur Curah Hujan Jarak Jauh

Dengan Pengendali Komputer. Universitas Jember. Jember.

Tjasyono, Bayong. 2004. Klimatologi. Penerbit ITB. Bandung.

Kartasapoetra da Mul Mulyani Sutedjo. 2010. Pengantar Ilmu Tanah, Rineka

Cipta, Jakarta.

Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Rajagarfindo Persada.

Jakarta.
Laporan Praktikum II
Agroklimatologi

CURAH HUJAN DAN SPESIFIKASI IKLIM

Nama : Lisna Maulydia

NIM : G111 15 004

Kelompok :5

Asisten : Nurhadi R Parewasi

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016

Anda mungkin juga menyukai