Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang
lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini
pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan
adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang
belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga
ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk
kejadian tersebut menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 5
tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia
ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering
terkena dibandingkan anak-anak. Terapi konservatif yang diberikan pada pasien
tuberkulosa tulang belakang sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada
kasus kasus tertentu diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang
harus dilakukandengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan
operatif.
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah
berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris
insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma
lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research
Council TB and Chest Diseases Unit).

1
Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan
pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit
ini. Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai
dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian
besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini
mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi
tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan
sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat
terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight
bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar lebih sering terkena
dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang
merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50%
kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki,
sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama
torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat
yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight
bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab
paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi
lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini
berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang
belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan
ini.
A. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah membicarakan mengenai Spondilitis
Tuberkulosa

2
II. PEMBAHASAN

A. Definisi
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa
yang mengenai tulang vertebra.
B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering
tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat
acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.
Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
C. Patogenesa
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri
menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi
immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan
bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta
polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan
merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa
antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.
Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host
akan menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai
progresi yang cepat ; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadi
dalam hitungan hari. Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan

3
serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapat
diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan
perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkan
meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa
tergantung dari:
1. Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan
hingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai
kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam
bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang
berasal dari penyebaran secara hematogen. Setelah usia 1 tahun dan sebelum
pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit tuberkulosa milier atau
meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa seperti
infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi primer di
paru merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada
orang dewasa dapat juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia,
terutama perempuan usia 10-14 tahun.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam
mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah
penyebaran penyakit di paru-paru. Angka kejadian pada pria terus meningkat
pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat
setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita
setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-
50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan
menurunkan resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya
tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau
immunosupresan lain.

4
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya
malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau
Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.

pada vertebra abses berekspansi di sepanjang ligamen

cervical Thorakal Lumbal


Abses faringeal membentuk massa menonjol mengikuti M.
Psoas
& fusiform krista iliaka

Tracea, Esopagus menekan medulla spinalis dibwh lig inguinal


cavum pleura bagian medial paha

paraplegia cold abses

5
Gambar 2.2 Patofisiologi Spondilitis TB

D. Patologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur
limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang
belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat
tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan
genitourinarius.

6
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari
fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari
fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui
arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang
berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas
vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna
vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang
menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan
terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan
tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan
pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di
atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped
karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini
diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui
abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya
perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

4. Bentuk atipikal

7
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak
dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak
diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari
vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke
dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior,
melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah
ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus
intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan
oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang
jauh melalui abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas
mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan
tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama
di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten
terhadap infeksi tuberkulosa.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke
dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya
corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder
karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan
semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang
menjadi nekrosis.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut
akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan
sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan
lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis
yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level
lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal
tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas. Di regio torakal kifosis

8
tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbar hanya
tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari
berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps;
sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal
itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus
artikular. Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang
iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel
chest.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya
fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan
fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra
yang kolaps.
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus.
Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan
perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui
korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss
ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang
fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi
Aslinya.
Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan
menuju lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum
longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai
gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah level
vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke
dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai
sarang burung. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di
area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke
lateral menuju bagian tepi leher(3).
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul
pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi
karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan
langsung dari infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural

9
granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis). Salah satu defisit
neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama
Potts paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah
hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik
kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland,
paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang
lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian
ini.
E. Potts Paraplegia
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Potts paraplegia menjadi:
1. Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
2. Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit
Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi
tiga tipe:
1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan
dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
2. Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat
permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang. Penyebab
timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis
spinalis, adanya abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau
karena subluksasi atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien
akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang
bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan reflek
withdrawal.

b. Invasi duramater oleh tuberkulosa

10
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis
tuberkulosa.Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat
dengan spasme otot involunter dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini
buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara
umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan
paraplegia.
3. Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah
dapat membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma
epidural, fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan
pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi
penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai
corda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebab Potts paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh
Hodgson menjadi :
I. Penyebab ekstrinsik :
a. Pada penyakit yang aktif
1. abses (cairan atau perkijuan)
2. jaringan granulasi
3. sekuester tulang dan diskus
4. subluksasi patologis
5. dislokasi vertebra
b. Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
1. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
2. fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan
meningen dan corda spinalis.
III. Penyebab yang jarang :
a. Trombosis corda spinalis yang infektif
b. Spinal tumor syndrome

11
F. KLASIFIKASI
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada
daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
1) Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-
3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus
vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
2) Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi
tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu
dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.

iii. Derajat III

12
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau
aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan
defekasi dan miksi. TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat
terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi
karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau kerusakan
langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan
jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa.
TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi
tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra
3) Stadium deformitas residua
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi.
Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang
massif di depan (Savant, 2007).

G. Penegakkan Diagnosa
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan
berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu
diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa
sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
1. Anamnesa
a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat
malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan
malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat
berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas
pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang

13
gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan
berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari
nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan
menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa
nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien
akan menahan punggungnya menjadi kaku.
d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam
posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di
oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan
timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri
di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di
kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong
trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan
adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi
atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu
penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal
ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di
regio servikal (Lal et al. 1992).
f. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.
Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara
tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses,
maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada

14
dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini
berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis.
g. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui
fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien
tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang
belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur
otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
h. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).
Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis
lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul
paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan otorik yang
bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
i. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri
akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang
ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
b. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan
abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa
iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar
dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi
destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
c. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
d. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus
spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. Pemeriksaan

15
3. Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72
jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus
dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang
immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi
atau disertai penyakit lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-
paru yang aktif)
d. Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-
streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada
kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang
cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
e. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik.
2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas
infeksi.
- Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).

16
- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat
terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian
berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang
berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk
scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.
- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus
transversus atau prosesus spinosus.
- Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan
timbulnya deformita scoliosis (jarang)
- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder
tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang
mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal
mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini
dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena
adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga
vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus
tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum
menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra
torakal.
- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral
dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk
globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai
bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan
atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi)
adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah
satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
3. Computed Tomography (CT Scan)

17
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan
iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior
seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
- Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang
bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada
tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
- Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat
konservatif atau operatif.
- Membantu menilai respon terapi.
- Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan
kalsifikasi di abses.

Gambar 2.3. MRI Spondilitis TB


5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal
mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman
dan pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang
absolut)(berhasil pada 50% kasus).
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus
paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil
tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea
babi.

H. Komplikasi
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari

18
diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat
juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi
sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena
invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke
dalam pleura.
I. Diagnosa Banding
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih
corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.
2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari
pemeriksaan laboratorium.
3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic
granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma) Metastase dapat
menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan
spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara
radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus
sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh
karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut
superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
J. Manajemen terapi
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis. Untuk
mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi

19
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama
terapi pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang.
Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara signifikan
mengurangi morbiditas dan mortalitas.Hasil penelitian Tuli dan
Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga
obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang
memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara
yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini
merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi
bakteri tidak harus menunda pemberian terapi. Adanya pola resistensi
obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang
ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas
terhadap obat anti tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-
8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis
membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun
tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon
yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk
penegakkan diagnostik.
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan
menjadi
- Resistensi primer : Infeksi dengan organisme yang resisten
terhadap obat pada pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi.
Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM
ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau
EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen dengan dua obat yang biasa
diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus ini.
- Resistensi sekunder Resistensi yang timbul selama pemberian
terapi pasien dengan infeks yang awalnya masih bersifat sensitif
terhadap obat tersebut. The Medical Research Council telah
menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di
negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi ambulatori

20
dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya
dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi
dapat diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen
menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari
pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan
hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat
menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi,
sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps.
Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),
rifamipicin, (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan
ethambutol (EMB). Obat antituberkulosa sekuder adalah para-
aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, kanamycin
dan capreomycin.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local
rest pada turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai
dengan pemberian kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada
penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan
fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior,
atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk
melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada
keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk
mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih
lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu,
sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan
berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu
makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara

21
laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test
umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai
bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah
servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah
vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan
body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral
dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari
gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama
immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak
penderita diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Potts paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu
immobilisasi di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi
ini perawatan selama tirah baring untuk mencegah timbulnya
kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat
gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam
posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus
paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan
oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang
menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan
penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan
kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya
resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester
yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang
belakang mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja
(Medical Research Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk
pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan

22
menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi
pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian
terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan
tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling
efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk
mengevakuasi pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta
tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang
terlibat.
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan
dekompresi juga diindikasikan bila :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan
mengancam atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Potts paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu
tindakan operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon
mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi:
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak
dilakukan bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis,
tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun
diberikan terapi konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan
walaupun telah diberi terapi konservatif.
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga
tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak
memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan
pada kulit.

23
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan
yang besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan
mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis vaskuler yang
tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi,
hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan
motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa
percobaan pemberikan terapi konservatif)
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena
spasme atau kompresi syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa
melalui pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi
utama di anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior
dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi
dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan
menggunakan pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong)
merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat
kesehatan. Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi
antituberkulosa tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari
sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan
bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa
dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik
dengan perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi
dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh
autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal
ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini
tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi spinal

24
posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus
vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau
konsolidasi tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari
anterior.
K. PENCEGAHAN
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain
Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG
akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan
hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk
pencegahannya masih kontroversial. Percobaan terkontrol di beberapa negara
Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan
efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum
timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang
sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG.
Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek
proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa.
Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis Committee merekomendasikan vaksinasi
BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang
baru lahir pada populasi immigran di Inggris.
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang
rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada
beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk
neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh
karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya
anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya
mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa.
Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih
penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil
tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular.
Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat
sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.

25
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian
5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa.
L. Prognosa
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia
dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta
terapi yang diberikan.
3. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
4. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

5. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi
kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit
neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi
paru. Rajasekaran dan Soundarapandian dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan nyata antara sudut akhir deformitas dan jumlah
hilangnya corpus vertebra. Untuk memprediksikan sudut deformitas yang
mungkin timbul peneliti menggunakan rumus :
Y = a + bX
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90%
pada pasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka
operasi sedini mungkin harus dipertimbangkan.

26
6. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik
secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis
membaik dengan dilakukannya operasi dini.
7. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In :


Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle
River, 2001: 132,151
2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley
E,Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and
Management. London : Springer-Verlag, 2007: 378-87.
3. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 2000 : 1449-54
4. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In :
Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill
Livingstone,2001 : 388.
5. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB,
Guyer RD., editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St.
Louis : Mosby-Year Book, Inc., 2003 : 387-90.
6. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics.
2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders,2006 : 270-91
7. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.
Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 2002 : 1353-64
8. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical
Disorders of The Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic
Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders, 2005 : 615-32.
9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In :
http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics
and traumatoloty.
10. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical
Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 2009 : 62-6.
11. Wood.G.W. Infections of Spine. In : Campbells Operative Orthopaedics. 7th
ed. Crenshaw A.H editor. St. Louis : C.V. Mosby Company, 1997 : 3323-45.

28
12. Terry R. Y, Lindsay R. Infection : Non Suppurative Osteomyelitis
(tuberkulosis). In : Essential of Skeletal Radiology. 2nd ed. Baltiomore :
Williams and Wilkins, 2006 : 1227.
13. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries
of The Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2009
: 228-31
14. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :
Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York :
Thieme, 2001 : 150, 334-36.

29

Anda mungkin juga menyukai