Anda di halaman 1dari 33

SINDROM NEFROTIK

Definisi
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat
badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5
gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi,
hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.1,2

Epidemiologi
Sindrom nefrotik adalah gangguan yang dapat terjadi baik pada orang dewasa
maupun pada anak-anak, tetapi umumnya anak-anak lebih sering terjadi 15 kali lipat
daripada orang dewasa, dengan kejadian 2-3/100.000 anak-anak per tahun. Pada anak-
anak umumnya lebih sering terjadi antara umur 2-5 tahun. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada pria daripada wanita, dengan rasio 2:1. Meskipun penyakit ini tidak bersifat
herediter, ada kecenderungan yang berhubungan dengan keluarga pada 2-8% pasien
dari penyakit ini dan cenderung terjadi pada keluarga yang mempunyai riwayat
alergi.3,9
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom
nefrotik primer, yang merupakan 90 % dari kasus anak, sedangkan sindrom bila timbul
sebagai bagian dari penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka
disebut sindrom nefrotik sekunder. Dan bila sindrom nefrotik tidak diketahui
penyebabya maka disebut sindrom nefrotik idiopatik.

Etiologi

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :3

1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus
itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.

22
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu
jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan


menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children).
Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya,
dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi:

1. Kelainan minimal (KM)


Ciri-ciri klinis dari sindrom nefrotik adalah terganggunya glomerolus,
sedangkan ciri-ciri patologisnya adalah meleburnya atau berpadunya foot prosesus
dengan sel epitel viseral (perubahan dinding kapiler glomerolus yang dapat terlihat
dengan mikroskop electron pada spesimen renal biopsi). Kondisi ini disebut minimal
change disease karena anak dengan tipe sindrom nefrotik seperti ini memiliki renal
biopsi yang normal/hampir normal di bawah mikroskop cahaya. Dengan cara
imunofloresensi ternyata terdapat deposit Ig M. Tipe ini paling sering ditemukan pada
anak-anak yang menderita sindrom nefrotik. Prognosisnya lebih baik dibandingkan
golongan lain.
2. Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerolus fokal segmental adalah penyakit dimana jaringan parut terbentuk
dari beberapa glomerolus ginjal. Kata fokal maksudnya adalah beberapa
glomerolus menjadi jaringan parut, sedangkan yang lainnya tetap normal. Kata
segmental maksudnya adalah hanya bagian dari glomerolus individu saja yang
rusak. Pada kelainan ini yang mencolok adalah sclerosis glomerolus yang
sering disertai atrofi tubulus. Tipe ini 10-15% penyebab dari sindrom nefrotik.
Prognosis buruk.
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
3. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan terjadi penebalan batang
lobular.
4. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

23
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel PMN. Pembengkakan
sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Prognosisnya jarang yang
baik, tapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama.
5. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Bentuk yang jarang dari glomerulonefritis dimana sel mesangial (bagian dari
kapiler glomerolus) bertambah ukurannya, membuat glomerolus tampak bergumpal-
gumpal. Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan visceral. Keadaan ini terlihat berhubungan dengan beberapa tipe dari
respon imun, karena inflamasi dari glomerolus berhubungan dengan deposit Ig M.
Prognosis buruk.
6. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
Gangguan ginjal dengan terjadinya proliferasi sel mesangial dan penempatan
fibrin yang menyerupai membran basalis di mesangium interglobulin beta 1C/ bata
1A rendah dan terjadinya inflamasi glomerolus yang menyebabkan respon imun yang
abnormal dan menimbunya antibodi selama ultrastruktur glomerolus. MPGN adalah
tipe yang paling sering ditemukan pada orang dewasa. Deposit imun dtemukan pada
kapiler ginjal, yang menyebabkan terjadinya penebalan dan merusak system
penyaringan ginjal. Pasien didapati dengan tekanan darah yang tinggi dan gejala-
gejala dari sindrom nefrotik. Prognosis tidak baik.
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
7. Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit ginjal yang berkaitan dengan terjadinya inflamasi glomerolus dan
membran basalis. Tipe ini ditandai dengan penebalan yang menyeluruh dari
membrane basalis dari kapiler glomerolus tanpa proliferasi sel. Penyebab pasti tidak
diketahui, tapi terdapat hubungan dengan kompleks imun pada membran basalis.
Gangguan ini adalah penyebab yang sering terjadi pada sindrom nefrotik. Faktor
resiko termasuk penyakit ginjal primer, panyakit infeksi seperti malaria dan hepatitis
B, keadaan sistemik seperti lupus dan kanker, efek samping dari obat. Semua
glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel.
Golongan ini jarang ditemukan pada anak, kira-kira hanya 1% dari sindrom nefrotik
dan prognosisnya kurang baik.

24
8. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.

2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :

a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,


miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa
ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

Patofisiologi

Untuk mengetahui apa itu sindrom nefrotik, mari kita mengerti secara singkat dulu
struktur dan fungsi dari ginjal. Ginjal adalah organ yang berbentuk seperti dua kacang yang
ditemukan di punggung bagian bawah. Ukuran dari ginjal ini sebesar kepalan tangan. Ginjal
seperti penyaring tubuh, yang memindahkan kotoran atau sampah dari darah melalui urin
dan mengembalikan darah bersih ke tubuh. Tiap ginjal ini memiliki jutaan unit untuk
menyaring darah yang disebut glomerolus. Glomerolus adalah pembuluh darah kecil yang
membentuk hubungan melalui ginjal dimana darahnya disaring untuk membuang kelebihan
air dan sampah-sampah. Ketika ginjal bekerja dengan baik, ginjal membersihkan darah dan
membuang sampah-sampah tubuh, kelebihan garam, dan air. Tetapi, saat ginjal sakit, ginjal
dapat membuang apa saja yang tubuh perlukan untuk disimpan, seperti protein dan sel
darah.3

Arsitektur normal dari glomerolus mencegah terbuangnya sebagian besar protein


melalui urin dan menahan protein di dalam darah. Yang mendasari gangguan dari sindrom

25
nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerolus, yang memicu
terjadinya proteinuria massif dan hipoalbuminemia. Penyebab meningkatnya permeabilitas
tidak dapat dimengerti sepenuhnya. Pada sebagian besar kejadian, kehilangan protein melalui
urin memicu terjadinya hipoalbuminemia, yang menyebabkan menurunnya tekanan onkotik
plasma dan terjadinya transudasi cairan dari intravascular ke ruang interstitial, sehingga
terjadi edema dan menurunnya tekanan perfusi renal. Hal tersebut mengaktifkan system
renin-angiotensin-aldosteron , yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus. Volume
intravascular yang berkurang juga merangsang pelepasan hormone ADH.3

Pada tipe kelainan minimal, meningkatnya permeabilitas kapiler juga tidak


sepenuhnya dapat dimengerti, namun diyakini adanya gangguan imun dimana sel-T
melepaskan sitokin, yang merusak foot processes epitel glomeruli. Hal ini menyebabkan
bocornya albumin di ginjal. Salah satu fungsi protein ialah untuk menahan penyerapan
plasma dari peredaran darah ke jaringan-jaringan tubuh. Jadi dengan kekurangan albumin di
dalam darah maka pembengkakan (edema) akan tetap berlaku.9

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom


nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang
dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang
endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler
glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab
muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik
plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.4

Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia & hiperlipidemia dan kenaikan ini
tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. umumnya terdapat korelasi terbalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat
normal pada pasien dengan dengan hipoalbuminemia ringan.5

Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan


lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadangsangat mencolok.
Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan
SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada

26
hipalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena
degradasi yang menurun.3,5

Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali.
Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya. Lipid dapat juga
ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dam maltese cross.5

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma


intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding
kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan
volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk
menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.5

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan


aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga
produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal
dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita
sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.3

27
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume
plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah
konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi
karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang
meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.3

28
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik
dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada
waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin
merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3

Gejala klinis

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah oedem, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali oedem timbul secara lambat
sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal oedem sering
bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi
jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya oedem menjadi
menyeluruh dan masif (anasarka).6

Oedem berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada
pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada
siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada
penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau
GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada
pasien SNKM.6

29
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.
Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus.
Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada
beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik
yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan
menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat
terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan
hernia umbilikalis dan prolaps ani. Pada beberapa pasien, nyeri diperut kadang-kadang berat,
kemungkinan adanya peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi tersebut tidak ada kemungkinan penyebab nyeri dapat
disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. 6

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.6

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang
dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja
pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta
perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak
menjadi terganggu. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab,
didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah
yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia.
Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering
menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan
kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.6

Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam
atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya
mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.1,2

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL.
Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi

30
terbalik dengan kadar albumin serum. Jika kadar albumin terlalu rendah, tubuh bisa shock
mendadak yang mengakibatkan kematian dalam waktu singkat. Dalam waktu lama,
rendahnya albumin dapat mengakibatkan penderita mudah terkena infeksi karena fungsi
protein salah satunya adalah menangkal infeksi. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat,
sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah
remisi sempurna dari proteinuria.1,2

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak


dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.7

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi
pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.1

Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar
albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal
meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas
yang normal.1

PEMERIKSAAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

I. Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau
seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat
ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

II. Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.

31
III. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

- Urinalisa yang menyatakan proteinuria 3+ atau 4+


- hematuri mikroskopik mungkin terjadi pada 20% anak-anak.
- Ekskresi protein dalam urin melebihi 40 mg/m/jam pada anak-anak.
- Nilai kreatinin serum biasanya normal, tapi mungkin bisa meningkat karena berkurangnya
perfusi renal, yang mempengaruhi volume intravaskuler.
- Albumin serum pada umumnya berkurang lebih dari 2,5 g/dl
- Kolesterol serum dan level trigliserida meningkat
- Level C3 dan C4 normal
- Hematokrit, hemoglobin, dan trombosit meningkat karena terjadinya hemokonsentrasi
- Kadar natrium rendah, yang bisa disebabkan karena kadarnya benar-benar rendah atau
pseudohiponatremi, yang lebih mirip dengan keadan hiperlipidemia

Biopsi ginjal

Biasanya tidak diperlukan untuk mendiagnosis sindrom nefrotik pada anak atau sindrom
nefrotik dengan kelainan minimal. Diagnosis pada kelainan minimal diambil berdasarkan
umur penderita, respon dari pengobatan, dan perkiraan relaps pada beberapa bulan kemudian
yang lebih sering dari biasanya. Hanya pada anak dengan corak kurang seperti minimal
change disease (hematuria, hipertensi, insuffisiensi renal, hipocomplementemia, umur < 1
thn atau > 8 thn) yang memerlukan renal biopsy.

DIAGNOSIS BANDING

1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema
Quincke.
2. Glomerulonefritis akut
3. Lupus sistemik eritematosus.

Penyulit
1. Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
2. Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
3. Infeksi

32
4. Hambatan pertumbuhan
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku.

PENATALAKSANAAN

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa


memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid
dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk


memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar
40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu
setelah itu pengobatan dihentikan.8

A. Sindroma nefrotik serangan pertama

1. Perbaiki keadaan umum penderita :

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
c. Atasi infeksi.
d. Lakukan observasi untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika
ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.

2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah


diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita

33
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan,
prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi
pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

B. Sindroma nefrotik kambuh (relaps)

1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse


ditegakkan.
2. Perbaiki keadaan umum penderita.

a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4
kali dalam masa 12 bulan.

1) Induksi: Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)


maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari
selama 3 minggu.
2) Rumatan: Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.

b. Sindrom nefrotik kambuh sering

Adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4
kali dalam masa 12 bulan.

1) Induksi: Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)


maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari
selama 3 minggu.
2) Rumatan: selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40
mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam
selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,

34
akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison
dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid, atau untuk biopsi ginjal.

Efek samping kortikosteroid

- Berkurangnya pertahanan tubuh terhadap infeksi seperti batuk dan pilek


- Bertambahnya nafsu makan yang dapat memicu bertambahnya berat badan secara cepat
- Kulit pada pipi menjadi merah, bengkak, dan melar, dan juga berjerawat
- Meningkatnya tekanan darah
- Masalah tingkah laku seperti cepat naik darah atau perubahan suasana hati dan/atau depresi
- Steroid dengan dosis yang sangat tinggi dapat menyebabkan meningkatnya kadar gula
dalam darah dan lemak
- Atherosklerosis oleh karena menebalnya arteri
- Pelannya tingkat tumbuh-kembang menyebabkan pertumbuhan berbantut
- Osteoporosis (tulang menjadi berongga karena kekurangan kalsium)
- Kulit menjadi tipis, terdapat striae
- Gastritis
- Katarak
- Diabetes

PENATALAKSANAAN DIETETIK

Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi karena dapat menambah beban ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sclerosis glomerolus. Jadi cukup diberikan diet
protein normal 2 gram/kgbb. Diet rendah garam hanya diperlukan selama anak menderita
edema. Masukan natrium harus dibatasi 2 gram/hari untuk mengurangi keseimbangan
natrium yang positif. Pembatasan garam yang ketat hanya diperlukan terhadap pasien yang

35
tidak memberikan respons terhadap diuretika. Diet penurunan lipid umumnya dianjurkan
untuk pasien dengan hiperkolesterolemia.

Bila pemberian diuretic tidak berhasil, biasanya terjadi karena hipovolemia atau
hipalbuminemia berat ( 1 g/L) diperlukan pemberian infuse albumin (20-25%) rendah
garam (1g/kgbb) selama 4 jam, untuk menarik cairan dari jaringan intertisial dan di akhiri
dengan pemberian furosemid (1-2 mg/kgbb). Bila pasien tidak mampu, dapat diberikan
plasma 20 ml/kgbb secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung / edema paru. Pemberian plasma berpotensi untuk menyebabkan
penularan infeksi hepatitis, HIV, dll.

PENATALAKSANAAN EDEMA
Apabila edema tidak memberikan respons dengan membatasi pemasukan garam
dalam makanan, maka sering diperlukan pemberian diuretika. Biasanya diberikan Loop
diuretic seperti furosemid 1-2 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasi dengan spironolakton
(antagonis aldosteron) 2-3 mg/kgbb/hari. Namun banyak pasien terutama dengan anasarka
atau kongesti paru-paru tidak memberikan respon terhadap obat tiazid. Untuk keadaan ini
diperlukan furosemide, asam etakrin atau bumetamid. Diantara obat-obat ini furosemid yang
paling banyak dipakai karena toleransi yang baik bahkan dengan dosis yang sangat tinggi.
Furosemid dapat diberikan baik secara intravena maupun oral, dengan dosis 25-100 mg/hari,
bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan.terhadap pasien yang refrakter
terhadap furosemid sebagai monoterapi, kombinasi obat diuretika yang bekerja pada tingkat
lain dari furosemid, seperti hidroklorotiazid (2,5-10 mg/hari) dapat meningkatkan respons
diuretika. Selama pengobatan diuretika, pasien harus dipantau untuk mendeteksi
kemungkinan adanya komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan
cairan intravascular berat.

PENATALAKSANAAN HIPOALBUMINEMIA DAN PROTEINURIA

Infus albumin hanya diberikan untuk pasien dengan deplesi volume plasma
simtomatik dengan hipotensi. Beberapa obat dapat mengurangi keluarnya protein di dalam
urin antara lain ACE inhibitor mempunyai efek proteinuria yang penting. Efek antiproteinuria
ini bergantung pada dosis, lama pengobatan, dan masukan natrium. Pengobatan ACE

36
inhibitor biasanya dapat ditoleransi beberapa pasien, namun dapat timbul anemia, hipotensi,
batuk kering. Pemberian ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah untuk menguji
toleransinya, kemudian dinaikkan secara progresif sampai dosis toleransi maksimal.

Obat-obat anti inflamasi juga dapat menurunkan proteinuria sampai 50% atau lebih,
yang disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein, menurunnya
tekanan kapiler intraglomerolus dan menurunya luas permukaan filtrasi. Indometasin (150
mg/hari) dan meklofenamat (200-300 mg/hari) merupakan dua obat yang sering dipakai.
Obat-obat ini dapat menimbulkan hiperkalemia dan pada SN dapat memperberat retensi
natrium, menurunkan respons terhadap diuretika dan mengganggu hipertensi arteri. Selain itu
juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut, nefritis interstisial, akut, atau kerusakan ginjal
kronik. Obat-obat ini tidak boleh diberikan pabila klirens kreatinin < 50 ml/menit.

PENATALAKSANAAN HIPERLIPIDEMIA
Pada kebanyakan pasien SN, diet saja tidak cukup untuk menurunkan hiperlipidemia.
Pada saat ini, penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin, dan simvastatin
merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemi9a pada SN. Obat-obat ini
menghambat enzim dalam biosintesis kolesterol. Pada pasien SN obat ini menurunkan
sevcara bermakna pada kolesterol serum, lipoprotein densitas rendah (LDL), apolipoprotein
B, dan juga trigliserida. Bisanya pasien dapat bertoleransi dengan baik, walaupun terjadi
kenaikan transaminase serum pada bulan pertama pengobatan. Jarang terjadi miositis dan
mialgia, namun ada baiknya diperiksa fotokinase kreatinin secara teratur.

KOMPLIKASI10

Infeksi adalah komplikasi terbesar dari sindrom nefrotik. Anak dengan relaps
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap infeksi bakteri oleh karena kehilangan
immunoglobulin dan properdin faktor B pada urin. Kelainan imunitas sel media, terapi
imunosupresif, malnutrisi, dan edema/ascites bereaksi sebagai media kultur yang
potensial.
Beberapa sebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah:
1. kadar immunoglobulin yang rendah
2. defisiensi protein secara umum
3. gangguan opsonisasi terhap bakteri

37
4. hipofungsi limpa, dan
5. akibat pengobatan imunosupresif

Peritonitis bakterial spontan adalah tipe infeksi yang paling sering terjadi,
meskipun sepsis, pneumonia, selulitis dan infeksi saluran kemih juga dapat ditemukan.
Meskipun streptokokus pneumonia adalah penyebab tersering peritonitis, bakteri gram
negative seperti E. coli juga dapat ditemui. Karena demam dan gejala klinis mungkin
minimal pada pemberian terapi kortikosteroid, kecurigaan yang tinggi, evaluasi yang
tertunda, (termasuk kultur darah dan cairan peritoneal), dan inisiasi awal dari terapi
antibiotik adalah penting. Peran dari terapi antibiotik profilaksis selama relaps masih
merupakan kontroversial.
Semua anak dengan sindrom nefrotik sebaiknya menerima vaksin pneumokokus
polivalen (jika sebelumnya tidak diimunisasi), yang secara ideal diberikan ketika anak
sedang terjadi remisi dan sudah tidak lagi menerima terapi prednison harian. Anak
dengan titer varisela negative sebaiknya diberikan vaksin varisela ketika sedang remisi
atau pada saat terapi steroid hari pilihan diberikan dengan dosis yang rendah. Anak
dengan nefrotik non-imun yang relaps yang terpapar varisela sebaiknya menerima
vaksin varisella zoster immunoglobulin (VZIG) selama 72 jam dari waktu paparan.
Vaksin influenza sebaiknya diberikan pada basis tahunan.
Anak dengan sindrom nefrotik juga beresiko tinggi terhadap terjadinya
tromboembolik. Kejadian komplikasi ini pada anak adalah 2-5%, yang beresiko lebih
rendah daripada orang dewasa dengan sindrom nefrotik. Trombus pada arteri maupun
vena dapat terlihat, termasuk trombosis vena renal, embolus paru, trombosis sinus
sagital, dan trombosis dari indwelling kateter arteri dan vena. Resiko trombosis
berhubungan dengan meningkatnya faktor protrombotik (fibrinogen, trombositosis,
hemokonsentrasi, imobilisasi relatif) dan menurunnya faktor fibrinolitik (urin
kehilangan antitrombin, protein C dan S). Antikoagulasi profilaktik tidak dianjurkan
pada anak-anak jika mereka tidak mengalami tromboembolik sebelumnya. Diuresis
yang terlalu berlebihan sebaiknya dihindari dan pemakaian dari kateter indwelling
terbatas karena faktor ini dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi pembekuan.
Pada pasien SN berbagai gangguan hormone timbul karena protein pengikat
hormone hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada
beberapa pasien SN dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria. Pada SN penelitian mengenai fungsi teroid menunjukkan nilai dalam batas

38
normal namun nilai mean T3 dan TBG, lebih rendah dari control. Terdapat juga
peningkatan eksresi T3 urin dan T4. walaupun begitu, TSH normal dan pasien secara
klinis eutiroid. Hipokalsemia pada SN disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan
berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan
menetap. Disamping itu pasien ini sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali
normal dengan membaiknya protein uria. Mereka juga menderita absorpsi kalsium
gastrointestinal yang menurun, dengan eksresi kalsium dalam feses seharinya sama atau
lebih besar dari pemasukan lewat makanan meningkatnya reabsorpsi kalsium dalam
tubles ginjal mungkin sebagai akibat sedikitnya reabsorpsi natrium. Hubungan antara
hipokalsemia, hipokalsiuria dan menurunnya absorpsi kalsium dalam gastrointestinal
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D.
Telah diketahui sejak lama bahwa pertumbuhan badan sangat menurun dan
terhenti sama sekali pada anak dengan SN yang tidak dikontrol. Penyebab utama
retardasi pertumbuhan tersebut adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan
sekunder, hilangnya protein dalam urin, dan malabsorpsi karena edema saluran gastro
intestinal. Sekarang penyebab utamanya karena pengobatan dengan kortikosteroid.
Pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dan waktu lama dapat memperlambat maturasi
tulang dan terhentinya pertumbuhan linear; terutama apabila dosis melampaui 5
mg/m2/hari.
Hiponatremia sering ditemukan pada anak dengan SN. Keadaan ini sering
disebabkan oleh retensi air dari pada kekurangan nantrium. Walaupun telah dibuktikan
danya ganguan pada klirens air bebas pada pasien SN, yang mungkin desebabkan oleh
meningkatnya reabsorpsi natrium ditubulus proksimal dan berkurangnya hantaran
natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan peng asaman urin ditandai oleh
ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam. Pengamatan
menunjukkan bahwa kelainan bagian distal ini disebabkan oleh menurunnya hantaran
natrium kearah asidifikasi distal. Gangguan fungsi tubulus proksimal terlihat pada
bikarbonaturia atau glukosuria pada SN, terutama pada GSFS. Gangguan fungsi tubulus
proksimal secara keseluruhan agak jarang ditemukan, yaitu dengan asidosis tubulus
renal, pembuangan kalium, fosfaturia, dan hipofosfatemia dan aminoasiduria.
Umumnya pasien dengan kelainan ini timbul pada usia muda dengan SN berat dengan
resisten steroid awal atau terlambat. Walaupun biopsy pda awalnya menunjukkan
SNKM, tetapi pada biopsy ulang kemudian menunjukkan kelainan sklerosis fokal.
Terjadinya gagal ginjal kronik sering ditemukan pada pasien ini dan bukan disebabkan

39
oleh ATN dan fraksi filtrasi berkurang bertentangan dengan vasokonstriksi renal
sebagai penyebab. Disimpulkan bahwa penyebab primer gagal ginjal akut adalah edema
interstisial dengan akibat meningkatnya tekanan tubulus proksimal yang menyebabkan
turunnya LFG.

PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan
relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

40
DAFTAR PUSTAKA SN

1. Patel, Parul. 2009. Nephrotic Syndrome. Diunduh dari:


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000490.htm (15 Februari 2011)
2. Orth et al.Harrisons Text of Internal Medicine, 15th edition, halaman 1585-1600.

3. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

4. Primary nephrotic syndrome in children: Clinical significance of histopathologic


variants of minimal change and of diffuse mesangial hypercellularity. Kidney
International, Vol. 20 (198/), pp. 765771. Diunduh dari:
http://www.nature.com/ki/journal/v20/n6/abs/ki1981209a.html (15 Februari 2011)

5. Kelepouris. Ellie. 1999. Overview of heavy proteinuria and the nephrotic syndrome.
Diunduh dari:
http://pedneph.info/NewFiles/Overview%20of%20heavy%20proteinuria%20and%20th
e%20nephrotic%20syndrome.pdf (15 Februari 2011)

6. C Lane, Jerome. 2010. Pediatric Nephrotic Syndrome. Diunduh dari:


http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview (15 Januari 2011

7. Niaudet, Patrick. 2004. Congenital Nephrotic Syndrome, Finnish Type. Diunduh


dari: http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-CNF.pdf (15 Februari 2011)

8. Niaudet, Patrick. 2010. Treatment of Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children.


Diunduh dari: http://www.uptodate.com/contents/treatment-of-idiopathic-nephrotic-
syndrome-in-children.htm (15 Februari 2011)

9. Nephrotic Syndrome. Diunduh dari : http://www.emedicine.com/ped/topic1564.htm


(15 Februari 2011)

10. Complication of Nephrotic Syndrome. Diunduh dari: http:// www.


nephrologychannel. Com/nephrotic/ (15 Februari 2011)

41
GLOMERULONEFRITIS AKUT

Pendahuluan

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan
tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini
adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus,
bukan pada struktur ginjal yang lain.1

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan


dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria.
Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami
kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard
Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan
berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk
glomerulonefritis.2

Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah
sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian
disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien
laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun
(40,6%).3

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara


menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya
dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa
sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi.
Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10%
berakibat fatal.3

Definisi

Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post sterptokokus


(GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat

42
infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain.
Penyakit ini sering mengenai anak-anak.7

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap
bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam
penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh
suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan
adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis.3

Etiologi

Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah


infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60
menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala
klinis. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya
glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.3,7

Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907
dengan alasan bahwa :4,5

1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina


2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.

Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:1,6,8

43
1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi dll.
2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika dll.
3. Parasit : malaria dan toksoplasma

Streptokokus

Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan
bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan
oleh Streptococcus hemolisis kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S.
pyogenes.9,10

S. pyogenes -hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:

a. Sterptolisin O

adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan
tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen.
Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika
pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar
darah. Sterptolisisn O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul
pada manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang menghasilkan sterptolisin
O. antibody ini menghambat hemolisis oleh sterptolisin O. fenomena ini merupakan
dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum antisterptolisin O (ASO) yang melebihi
160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang
baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi
pada orang yang hipersensitifitas.9

44
b. Sterptolisin S

Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus


yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi
zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum
manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan
sterptokokus.9

Patofisiologi

Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.


Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-
antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut
secara mekanis terperangkap dalam membran basalis.selanjutnya komplomen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear
(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom
juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon
terhadap lesi yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel
mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler
gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang
sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya
kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul
subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-
bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus
tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.2

Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat


dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari
infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang
menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.11

45
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap merupakan
mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini
dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis
glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel.
Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis
dengan komponen glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks
imun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium,
subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula
pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi
dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini
terkadang dapat diidentifikasi.12,13

Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi
terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam
sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.7

Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada


terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga
terjadi cascade dari sistem komplemen.7

Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang
dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi
perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapt
meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta menghambat fungsi filtrasi
simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon
cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel.
Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan
proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur
menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel.12,13

46
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian
ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-
kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan
berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel, sementara kompleks-
kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi
masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi pada tempat-tempat lain.

Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal
antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau
dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun
dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung singkat, seperti
pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.1,2

Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang


menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa
penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :4

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis


glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana
basalis ginjal.

Gejala klinis

Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi


tidak jarang anak datang dengan gejala berat.. Kerusakan pada rumbai kapiler
gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan
albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak
kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas

47
di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan
bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen
mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron
dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada
wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggotaGFR
biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi
air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.
Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari
sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling
nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya
tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai dnegan payah jantung
kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.1,2,7,8

Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian
pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal,
maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila
keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi
sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala
infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.1,4,7

Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang.
Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme
masih belum diketahui dengna jelas.1,2

Laboratorium

Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria makroskopik


ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik,
leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan
lain-lain. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal
ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang
tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplomen hemolitik
total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam

48
minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin
menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif
komplomen.1,4,7

Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus


dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan C3 tidak
berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai
kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa,
karena pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3,
ternyata berlangsung lebih lama.2,12

Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan
kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis
terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain
antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus.
Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan
faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya
serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan,
lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada
hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen
sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum
meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti
adanya infeksi.1,3,7

Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3. kompleks
imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan
tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.1

Diagnosis

Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan


gejalan klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut

49
setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya
infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai
glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan
glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria
nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada
saat faringitas (synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab
jarang tampak pada nefropati-IgA.1,2,7,12

Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria


makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik
yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis
lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut
pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit.1,2,7,12

Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat membaik


(hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria
masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada
glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan
tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok
dengan glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada
glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO
> 100 kesatuan Todd.1,2

Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik


akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada
glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak
perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan
fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi
merupakan indikasi.1,2,7

50
Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di


glomerulus.

1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8
minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi
penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu
dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi
Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya
untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya
sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang
menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen
lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika
alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi
dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah,
maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi
seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa
untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam
kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03
mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis.

51
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas
tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun
dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen. 1,4,11

Komplikasi

Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia,
hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang
terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di
perlukan.

Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat


gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.

Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran


jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan
terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.

Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik


yang menurun.1,3,4,7

52
Prognosis

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan


penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis
akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan
menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi
ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4
minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan
sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian
besar pasien.1,12

Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok yang


terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna
sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan
yang persisten. Sebaliknya prognosis glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa
kurang baik.1,4,12

Kelainan sedimen urin yang menetap (proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534
pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad. Prevalensi hipertensi tidak berbeda
dengan kontrol. Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut
pascastreptokok baik. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis
penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum
pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara
seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis
kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.1,4,12

53
DAFTAR PUSTAKA GNA

1. Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, EGC,


Jakarta.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985, Glomerulonefritis akut, 835-839,
Infomedika, Jakarta.
3. Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis
akut pasca streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta.
4. http://www/.5mcc.com/ Assets/ SUMMARY/TP0373.html. Accessed April 8th, 2009.
5. http://www.Findarticles.com/cf0/g2601/0005/2601000596/pi/article.jhtm?term=g
lomerunopritis+salt+dialysis. Accessed April 8th, 2009.
6. markum. M.S, Wiguno .P, Siregar.P,1990, Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit Dalam
II, 274-281, Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
7. Donna J. Lager, M.D.http;//www.vh.org/adult/provider/pathologi/GN/GNHP.html.
Accessed April 8th, 2009.
8. http;//www.enh.org/encyclopedia/ency/article/000475.asp. Accessed April 8th, 2009.
9. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/08_KlarifikasiHistopatologik.pdf/08_Klari
fikasiHistopatologik.html. Accessed April 8th, 2009.
10. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_HematuriPadaAnak.pdf/11_HematuriPadaA
nak.html. Accessed April 8th, 2009.
11. http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Streptococcus.html. Accessed April 8th, 2009.
12. http://medlinux.blogspot.com/2007/09/glomerulonephritis-akut.html. Accessed April
8th, 2009.
13. http://www.uam.es/departamentos/medicina/patologia/19-20x.JPG. Accessed April
8th, 2009.

54

Anda mungkin juga menyukai