Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih


merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih
cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan
Saraf Pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis. Meningitis atau
bisa disebut juga leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak yang
melibatkan arachnoid dan piamater sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada
jaringan parenkim otak.1

Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika
seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari
lumpuh hingga koma.1

Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum ditandai oleh
demam dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala
lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera lakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini memang tidak mudah, karenanya
dibutuhkan proses pencarian etiologinya sehingga dapat ditangani dengan tepat.1

Untuk diagnosis pasti, dapat dilakukan pemeriksaan cairan otak agar dapat
diketahui penyebab pastinya apakah infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing
pita. Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat maka diharapkan dapat mengurangi
kecacatan yang timbul.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam
jaringan tubuh. Jadi infeksi susunan saraf pusat ialah invasi dan multiplikasi
kuman (mikro-organisme) di dalam susunan saraf.1

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka
kematian akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh
kematian yang terjadi pada semua golongan umur. Pada penelitian tersebut
didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati peringkat ke-7 atau 3,2% dari
seluruh kematian akibat penyakit menular.2
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi susunan saraf menurut organ yang terkena peradangan,
tidak memberikan pegangan klinis yang berarti. Radang pada saraf tepi
dinamakan neuritis, pada meningen disebut meningitis, pada jaringan medulla
spinalis dinamakan mielitis dan pada otak dikenal sebagai ensefalitis.
Sebaliknya pembagian menurut jenis kuman mencakup sekaligus diagnosis
kausal. Berdasarkan diagnosis kausal, infeksi susunan saraf pusat dibagi
menjadi infeksi viral dan infeksi bakteri. Berdasarkan kondisi host, infeksi
susunan saraf pusat dapat terjadi pada host yang imunokompeten ataupun
imunokompromais.1,3

2
2.4 Meningitis
2.4.1 Definisi Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal
dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat1

2.4.2 Anatomi Meningen3,4,5


Otak dilindungi oleh kranium, meningea/selaput otak dan LCS (Liquor
Cerebro Spinal). Meningea terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
1) Duramater
Luar : Melapisi tengkorak
Dalam : Membentuk falk serebri, falk serebelli, tentorium serebellin.
Membentuk sinus sagitalis/longitudinalis superior dan inferior.
2) Arakhnoid : Terdapat granulasi arackhnoid, yang dilalui LCS
3) Piamater : Melekat pada otak / sumsum tulang.

Gambar 2.1 Anatomi lapisan meningea cranium

3
LCS (Liquor Cerebro Spinal) berada pada rongga-rongga otak (ventrikel) di
dalam ruang subarakhnoid, diproduksi oleh plexus khoroid. Pada sumsum
tulang berada di kanalis sentralis & ruang subarakhnoid. Bersifat bening, alkali,
tekanan 60 140 mm air. LCS berfungsi sebagai buffer, bantalan fisik, dan
nutrisi jaringan syaraf. Pemeriksaan LCS dilakukan dengan punksi Lumbal (VL
1-2) dan punksi fontanel(4)

2.4.3 Etiologi2,4,5
1. Bakteri
Merupakan penyebab tersering dari meningitis, adapun beberapa bakteri yang
secara umum diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah :
Haemophillus influenzae
Nesseria meningitides (meningococcal)
Diplococcus pneumoniae (pneumococcal)
Streptococcus, grup A
Staphylococcus aureus
Escherichia coli
Klebsiella
Proteus
Pseudomonas
2. Virus
Merupakan penyebab sering lainnya selain bakteri. Infeksi karena virus ini
biasanya bersifat self-limitting, dimana akan mengalami penyembuhan
sendiri dan penyembuhan bersifat sempurna
3. Jamur
4. Protozoa (Donna D., 1999)

4
2.4.4 Klasifikasi 3,4,5
1. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta adalah radang selaput otak (aracnoid dan piamater) yang
menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman non-spesifik dan
non-virus. Penyakit ini lebih sering didapatkan pada anak daripada orang
dewasa. Meningitis purulenta pada umumnya sebagai akibat komplikasi
penyakit lain. Kuman secara hematogen sampai keselaput otak; misalnya pada
penyakit penyakit faringotonsilitis, pneumonia, bronchopneumonia,
endokarditis dan lain lain. Dapat pula sebagai perluasan perkontinuitatum dari
peradangan organ / jaringan didekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis
media, mastoiditis dan lain lain. Penyebab meningitis purulenta adalah sejenis
kuman pneomococcus, hemofilus influenza, stafhylococcus, streptococcus,
E.coli, meningococcus, dan salmonella.
2. Meningitis serosa ( Tuberculosa )
Meningitis tuberculosa masih sering dijumpai di Indonesia, pada anak dan
orang dewasa. Meningitis tuberculosa terjadi akibat komplikasi penyebab
tuberculosis primer, biasanya dari paru paru. Meningitis bukan terjadi karena
terinfeksi selaput otak langsung penyebaran hematogen, tetapi biasanya
sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang
belakang atau vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga archnoid.
2.4.5 Patofisiologi

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan
saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya
ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme masuk ke
dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di
bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah

5
serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat
meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai
dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran
ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis
intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah
pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.

2.4.6 Manifestasi Klinis4,5,6


Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.

3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:


a) Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernig positif: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam
keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi
lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah
pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi
ektremitas yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),

6
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

2.4.7 Pemeriksaan Penunjang5,6


1. Analisis CSS dari pungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut,
jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat,
kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur
biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi
bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah
pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/CT-scan : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Rontgen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra
kranial.

2.4.8 Diagnosis Banding4,5


1. Perdarahan subaracnoid
2. Tumor fossa posteriol
3. Sindroma neural neurotropik

7
2.4.9 Komplikasi7,8
Komplikasi akut meningitis adalah kejang pembentukan abses, hidrosefalus,
sekresi hormone deuretik yang tidak sesuai, dan syok septik.

2.4.10 Tatalaksana5,6,8
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur. Pada
orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan secara
intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8
juta unit/hari,anak dengan berat badan kurang dari 10 kg diberikan 4 juta
unit/hari.
Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari untuk
dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak. Untuk pasien yang alergi
terhadap penicillin, dapat dibrikan sampai 5 hari bebas panas.
Terapi suportive seperti memelihara status hidrasi danoksigenasi harus
diperhatikan untuk keberhasilan terapi. Untuk DIC, beberapa penulis
merekomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit diberikan dengan
pemberian cepat secara intravena dan dipertahankan pada dosis yang cukup
untuk memperpanjang clotting time danpartial thromboplastin time menjadi 2
atau 3 kali harga normal. Untuk mengontrol kejang diberikan anticonvulsan.
Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau corticosteroid, tetapi
hanya bila didapatkan tanda awal dari impending herniasi.

2.4.11 Prognosis7
Mortalitas meningitis bacterial akut kira-kira 10% dari keseluruhan lebih
tinggi pada infeksi Streptococcus pneumonia. Penyakit pnemokokus juga lebih
sering menyebabkan gejala sisa jangka panjang seperti hidrosefalus palsi nervus
cranial, defisit visual dan motorik, serta epilepsi.

8
Anak dengan meningitis bakterialis akut dapat mengalami gangguan perilaku
kesulitan belajar,hilangnya pendengaran dan epilepsi.

2.5 Ensefalitis
2.5.1 Definisi9
Ensefalitis merupakan infeksi difus yang menyebabkan inflamasi jaringan
parenkim otak. Ensefalitis dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus,seperti
virus herpes dan beberapa jenis Arbo virus. Mikroorganisme lainnya juga dapat
menyebabkan ensefalitis diantaranya protozoa terutama Toxoplasmosis gondii
dan bakteri seperti Mycoplasma pneumonia.
Ensefalitis merupakan diagnosis patologi yang seharusnya ditegakkan dengan
mengkonfirmasi dari sampel jaringan otak baik dengan autopsi atau biopsi.
Namun, pada prakteknya diagnosis ensefalitis dapat ditegakkan jika pada pasien
ditemukan gejala-gejala berupa demam, nyeri kepala hebat, penurunan
kesadaran, kejang dan tanda-tanda neurologik fokal serta pada pemeriksaan
penunjang ditemukan sel-sel inflamasi pada cairan serebrospinal atau
pencitraan yang menunjukkan adanya inflamasi. Luasnya kerusakan jaringan
otak dan munculan klinis tidak hanya bergantung pada virulensi kuman tetapi
juga status imunitas dari host.

2.5.2 Etiologi9,10
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin berdasarkan etiologi virus:
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis
encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian
spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.

9
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes
zoster, Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis
lain yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca
vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti
infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik

Klasifikasi berdasarkan penyebab :


Ensefalitis supurativa :
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,
streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.
Ensefalitis Viral:
1. Virus DNA: herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2), virus herpes lainnya
(HHV-6, EBV, VZV, cytomegalovirus) dan adenovirus (sebagai contoh
serotype1,6,7,12,32)
2. Virus RNA: paramikso virus(virus parotitis,morbili),rabdovirus(virus
rabies)entero virus(virus polio,coxsakie)
Bakterial:
Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumoniae, Listeria
monocytogenes, Borrelia burdgorferi (lyme disease), Tropheryma whippeli
(Whipples disease), lepstospira, brucella, legionella, Salmonella typhii (typhoid
fever), nocardia, actinomyces, Treponema pallidum (meningovascular syphilis)
dan seluruh penyebab meningitis bakterial (piogenik).

10
Rickettsia:
Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain Spotted Fever), Rickettsia typhii
(endemic typhus) Rickettsia prowazekii (epidemic typhus), Coxiella burnetii (Q
fever).
Fungal:
Cryptococcosis, coccidioidomycosis, histoplasmosis, North American
Blastomycosis, candidiasis
Parasit:
Human African Trypanosomiasis, Toxoplasma gondii, Nagleria fowleri,
Echinococcus granulosus, schistosomiasis.

2.5.3 Patofisiologi6,9,10
Virus dapat menyebabkan kerusakan neural SSP melalui invasi langsung dan
akibat multiplikasi aktif virus (ensefalitis primer atau infeksius) atau melalui
mekanisme respon autoimun jaringan SSP terhadap antigen virus pada infeksi
sistemik ( acute disseminated encephalomyelitis - ADEM).
Virus menyebar ke SSP melalui dua mekanisme utama :
(1) Penyebaran hematogen
Setelah masuk ke tubuh, virus bermultiplikasi secara lokal kemudian dapat
terjadi viremia dan bersarangnya virus diretikulo-endotelial sistem (RES);
terutama dihati. Limpa, kelenjar limfe, dan kadang-kadang muskulus. Dengan
berlanjutnya replikasi, viremia sekunder memungkinkan bersarangnya virus
diorgan lain termasuk SSP.
Pada umumnya virus dapat dicegah masuk kejaringan SSP oleh sawar darah
otak. Virus dibersihkan dalam darah oleh sistem retikuolendotelial, teteapi bila
terjadi viremia masif atau terdapat keadaan lain yang menguntungkan virus,
maka virus akan masuk SSP melalui pleksus koroideus, migrasi fagosit yang

11
terinfeksi, replikasi virus dalam sel endotel atau transfer pasif melalui sawar
darah otak.
(2) Penyebaran neuronal
Penyebaran neuronal (lebih jarang) terjadi melaui saraf perifer dan kranial.
Virus masuk jaringan SSP secara sentripetal melalui transmisi aksonal
sepanjang endoneurium, sel Schwann dan fibrosit sraf. Penyebaran neuronal
dapat terjadi pada rabies, herpes simpleks, VZV, dan virus polio. HSV dapat
menyebar ke SSP melalui neuron olfaktorius dimukosa hidung, kemudian
melaui N.olfaktorius terjadi sinaps dibulbus olfaktorius diotak.
Virus tertentu lebih menyenangi sel otak tertentu, misalnya virus polio
menyukai sel motorik, rabies menyukai sel limbik dan mumps menyukai sel
ependimal. Korteks serebral, terutama lobus temporal sering mengalami
kerusakan berat oleh virus herpes simpleks; arbovirus cendrung melibatkan
seluruh otak; sedangkan predileksi kelainan pada rabies ialah pada daerah basal
otak. Keterlibatan medula spinalis, akar saraf dan saraf perifer bervariasi.

Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :


Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak
Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vascular, dan paravaskular.
Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.
Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :
1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok
herpes simpleks,virus influenza, ECHO ( Enteric Cytophatic Human
Orphan ), Coxsackie, dan virus arbo.
2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya.

12
3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai
komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela,
herpes zoster, parotitis epidemika, mononukleosis infeksiosa dan lain-lain.
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat
menghambat multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui
manusia. Nyamuk atau kutu menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies
ditularkan melalui gigitan binatang. Pada beberapa virus seperti varisella-zoster
dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun yang lemah, merupakan
faktor resiko utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui
peredaran darah atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus
Varisella Zoster). Setelah melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel
neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti
perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus menyebabkan
ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran
sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai
contoh, virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal
medial dan inferior.
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum
jelas dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi
neural secara langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau
olfaktorius.

13
Gambar 2.2 Jalur Penyebaran Virus

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan saliva. Infeksi
primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya subklinis atau
berupa somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis
merupakan komplikasi dari reaktivasi virus. Pada infeksi primer, virus menjadi
laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian,rangsangan non
spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes
labialis.
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui
peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran
melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di
bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebitis,
osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus paranasalis. Mula-mula
terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di bagian
substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses

14
peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh
darah dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami
peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan kongesti jaringan otak disertai
peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah dan infiltrasi
leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses. Mula-
mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat
membentuk kapsul yang konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit
PMN, sel-sel plasma dan limfosit. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan
masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subarakhnoid yang dapat
mengakibatkan meningitis. Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi
jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu
ensefalitis virus lebih tepat bila disebut sebagai meningo ensefalitis.
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi lengket.
Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapat menyumbat kapiler-kapiler
dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala
neurologist timbul karena kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria
serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma. Pada toxoplasmosis kongenital,
radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar dalam jaringan otak terutama
dalam jaringan korteks.
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada
postmortem. Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan
ensefalitis fungal, dimana dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus
viral, gambaran khas dapat dijumpai pada rabies (badan negri) atau virus herpes
(badan inklusi intranuklear).

15
Gambar 2.3. Patofisiologi ensefalitis viral.11

2.5.4 Manifestasi Klinis9,10,11


Masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari. Pada fase prodromal, pasien mengalami
malaise, dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai
dengan sakit kepala, muntah, perubahan personalitas dan gangguan daya ingat
yang sulit di deteksi terutama pada anak kecil,kemudian pasien dapat
mengalami kejang dan penurunan kesadaran,kejang dapat berupa kejang fokal
atau umum. Kejang pada HSV dapat diawali oleh kejang fokal yang
berkembang menjadi kejang umum.
Pemeriksaan neurologis biasanya menunjukkan adanya hemiparesis.
Hemiparesis ini adalah manifestasi fokal yang terpenting. Gejala lain dapat
berupa disfasia, ataksia, gangguan sistem otonom, paresis saraf kranialis, dan
edema papil N II. Dapat juga ditemukan tanda rangsangan SSP (koma, stupor,
letargi), kaku kuduk, dan peningkatan reflek tendon.
Gejala klinis yang muncul pada Japanese ensefalitis hampir sama dengan
ensefalitis lainnya seperti demam, nyeri kepala, muntah, meningismus dan
koma. Kejang dilaporkan terjadi pada 85% pasien anak. Gambaran muka topeng

16
dengan pandangan kosong atau meringis bisa saja di temukan serta paralisis
yang menyerupai poliomyelitis akut dapat terjadi.
Subakut sklerosing panencephalitis memiliki gejala klinis yang hampir sama.
Penelitian Saha, dkk di Bangladesh pada 20 kasus ditemukan gangguan
kognitif (85%), kejang mioklonik (80%), gangguan bicara (70%), gangguan
berjalan (60%), disfagia (50%) dan kebutaan (20%).

2.5.5 Pemeriksaan Penunjang10,1


1. Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan darah tepi rutin pada HSV tidak spesifik. Jumlah leukosit darah
tepi dapat normal atau sedikit meningkat, kadang-kadang dengan pergeseran ke
kiri.
2. Analisis Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal normal didapatkan pada seperempat jumlah pasien,
sisanya abnormal. Pada fase awal, leukosit PNM predominan, kemudian
berubah menjadi limfositosis. Penelitian Zhang di Shanghai dari bulan Mei
sampai Juni 2008, pada 19 pasien dengan ensefalitis didapatkan abnormalitas
cairan cerebrospinal pada 15 pasien (78,9%). Tiga belas pasien memiliki
peningkatan jumlah sel darah putih LCS (12-800 x 10/L), dan 12 pasien
memiliki kadar protein LCS yang tinggi (600-1163 g/L) tetapi kadar glukosa
LCS normal.
Analisis LCS pada pasien ensefalitis umumnya menunjukkan adanya
pleositosis mononuklear ringan. Konsentrasi protein biasanya meningkat ringan
atau sedang. Ditemukan juga peningkatan eosinofil yang menunjukkan agent
penyebab (terbanyak pada infeksi cacing, T.pallidum, M.pneumoniae, ricketsiia,
C.immitis dan T.gondii). Kadar glukosa biasanya menurun secara signifikan
pada ensefalitis bakteri, sedangkan pada ensefalitis virus bisa menurun ataupun
normal.

17
Tabel 2.1. Cairan serebrospinal pada infeksi susunan saraf pusat. 5
Mening Meningi Meningitis Fungi Normal
o- tis tuberkulosa
ensefalit bacteria
is virus l akut
Tekanan Normal/ / 10-20 cm
Warna Keruh Keruh/ Jernih/ke Jernih
Jernih kekuningan ruh
Sel/mm3 100- 25-500 <5
Diff count 5-1000 50000 Limfosit 0-1000 Limfosit
LCS/gluko Limfosit Netrofil -(<30%) Limfosit 66%
sa plasma N N-
rasio - <0.45
Protein(g/l) N/ 1.0-5.0 N-
0.5-1 >1 0.2-0.5

3. Neuroimaging
Brain CT Scan dan MRI berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain yang memiliki gejala yang mirip dengan gejala ensefalitis. CT
scan ( dengan atau tanpa kontras) hanya bisa dilakukan jika MRI tidak bisa
dilakukan, atau tidak tersedia. Walaupun sebenarnya MRI merupakan
pemeriksaan yang dapat mendeteksi secara cepat terjadinya ensefalitis.
Setiap agen penyebab biasanya memiliki ciri tersendiri dalam penampakan
secara neuroimaging. Pada pasien dengan ensefalitis herpes simpleks, terdapat
edema dan perdarahan yang signifikan pada bagian temporal; keterlibatan lobus
temporal bilateral adalah ciri yang patognomonis pada ensefalitis herpes
simpleks. Pada pasien dengan ensefalitis yang disebabkan oleh flavivirus, MRI
menunjukkan pola intensitas campuran atau lesi hipodens pada thalamus,
ganglia basalis, dan otak tengah. Pada pasien dengan ensefalitis enterovirus,
MRI memperlihatkan FLAIR lesions pada otak tengah, pons dan medulla.

18
Gambar 2.4 Gambaran MRI pada Ensefalitis herpes simpleks26

4. EEG
EEG adalah indikator yang sensitif pada disfungsi otak dan dapat
menunjukkan keterlibatan otak selama tahap awal ensefalitis. Hasil EEG
biasanya tidak spesifik tapi bisa membantu dalam menunjukkan diagnosis
etiologi dari ensefalitis. Sensitifitas EEG kira-kira 84%, tetapi spesifisitasnya
hanya 32,5%. Lebih dari 80% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks,
memberikan gambaran periodic lateralizing epileptiform discharges
(perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal). Gelombang tajam
dan lambat yang stereotip terjadi pada interval 2-3 detik dan terlihat pada hari 2-
14 setelah onset gejala.1 Sedangkan pada Subacute sklerosing panencephalitis
ditemukan gambaran periodic complexes (kompleks gelombang lambat dan
gelombang dengan amplitudo tinggi yang timbul secara periodik) .

19
Gambar 2.5. Periodic lateralizing epileptiform discharges pada ensefalitis
herpes simplek.

Gambar 2.6. Gambaran EEG pada subacute sclerosing panencephalitis. 28

20
5. Test Serologi
Titer antibodi terhadap ensefalitis herpes simplek dapat diperiksa dalam serum
dan cairan cerebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi
merupakan infeksi primer atau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi
dalam serum menjadi positif setelah satu sampai beberapa minggu, sedangkan
pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi dalam
dua pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada
fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi ensefalitis herpes simplek
sedang aktif.
Titer antibodi dalam cairan cerebrospinal merupakan indikator yang lebih baik,
karena hanya bisa diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak. Namun
kemunculan antibodi dalam cairan cerebrospinal sering terlambat, dan baru
dapat dideteksi pada hari 10-12 setelah permulaan sakit. Subacute sklerosing
panencephalitis juga dapat dilakukan pemeriksaan antibody measles pada LCS
dan serum.

6. Biopsi otak
Baku emas dalam diagnosis EHS adalah biopsi otak dan isolasi virus dari
jaringan otak. Banyak pusat penelitian yang tidak mengerjakan prosedur ini
karena bahaya dan kurangnya fasilitas untuk isolasi virus. Kelemahan lainnya
adalah kesulitan yang tinggi dan kemungkinan ditemukannya hasil negatif palsu
karena biopsi dilakukan bukan pada tempat yang tepat. Secara makroskopis
pada biopsi ditemukan perdarahan dan nekrosis pada lobus frontal inferior dan
lobus temporal. Pemeriksaan mikroskopik pada fase akut menunjukkan adanya
inflamasi pada daerah perivaskuler. Kemudian peningkatan aktifitas mikroglia,
mikroglia nodul, dan badan inklusi intranuklear. Jika tidak diberikan terapi yang
adekuat, akan terjadi nekrosis yang kuat, peningkatan aktifitas makrofag, dan
neovaskularisasi. Pada tahap lanjut akan terjadi brain atrofi dan gliosis. Derajat

21
kerusakan otak pada ensefalitis herpes simplek lebih berat dibandingkan
penyebab ensefalitis lainnya.1

Gambar 2.7. Gambaran makroskopis dan mikroskopis ensefalitis herpes


simpleks. 29

2.5.6 Diagnosis Banding10,11


Ada beberapa kondisi medis yang munculan klinisnya menyerupai ensefalitis
virus diantaranya meningitis dan abses serebri. Ensefalitis adalah infeksi di
otak, sedangkan meningitis adalah infeksi yang terjadi di selaput otak
(leptomeningen). Ensefalitis dapat dibedakan dengan meningitis dengan
melakukan pemeriksaan tanda rangsangan meningeal. Penyebab terbanyak
abses otak adalah bakteri piogenik, sedangkan ensefalitis disebabkan oleh virus.

2.5.7 Tatalaksana11
Pengobatan simtomatik dan suportif meliputi pengobatan kejang, edema otak,
peninggian tekanan intrakranial, hiperpireksia, gangguan respirasi dan infeksi
sekunder. Pada ensefalitis herpes simpleks (EHS) kita dapat memberikan
antivirus yang spesifik. Pengobatan dengan antivirus harus dimulai sedini

22
mungkin untuk mencegah terjadinya nekrosis hemoragis yang ireversibel yang
biasanya terjadi 4 hari setelah awitan ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan,
karena pada fase awal tidak terdapat cara untuk membuktikan diagnosis.
Patokan yang dianut saat ini adalah pengobatan segera pada pasien yang
dicurigai mengalami EHS, kemudian pengobatan dapat dilanjutkan atau
dihentikan sesuai konfirmasi laboratorium.
Vidarabin telah diteliti pada tahun 70-an dan dapat menurunkan mortalitas
dari 70% sampai 40%. Saat ini, acyclovir intravena telah terbukti lebih baik
dibandingkan vidarabin dan merupakan obat pilihan pertama. Acyclovir relatif
lebih aman dan cara pemberian lebih mudah, tersedia dalam sediaan 250 mg
dan 500 mg, yang harus diencerkan dengan akuades atau larutan garam
fisiologis. Dosis yang digunakan adalah 30 mg/kgbb/ 24jam dibagi dalam 3
dosis. Cara pemberian secara perlahan-lahan dengan pompa suntik atau
diencerkan lagi menjadi 100ml dalam larutan glukosa 5% diberikan selama 1
jam. Efek samping adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin, tergantung
kadar obat dalam plasma. Pemberian acyclovir perlahan-lahan akan mengurangi
efek samping ini.
Neonatus yang dicuriga terbukti terinfeksi herpes harus segera diberikan
terapi asiklovir 20 mg / kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari. Jika penyakitnya
mengenai kulit, mata dan mulut tetapi belum mengenai sistem saraf pusat
diberikan selama 14 hari. Tetapi jika telah mengenai saraf pusat lama
pengobatan selama 21 hari.
Beberapa penelitian menunjukan asiklovir dan vidarabin dapat mengurangi
mortalitas dan morbiditas ensefalitis akibat infeksi HSV, suatu penelitian yang
membandingkan pemakaian asiklovir 10 mg/kgbb setiap 8 jam selama 12 hari
dibandingkan dengan vidarabin dengan dosis dan lama terapi yang sama
menunjukan, bahwa kedua regimen pengobatan dapat menurunkan angka
kematian 14% pada infeksi virus yang telah mengenai system saraf pusat dan
50% infeksi HSV diseaminata.

23
Penelitian pada neonatus yang mengalami infeksi HSV membuktikan bahwa
pemberian Asiklovir dosis tinggi dan pengobatan jangka lama terbukti cukup
aman. Suatu penelitian pada bayi berusia 1 bulan dengan infeksi HSV (baik
yang mengenai susunan saraf pusat ataupun disaminata) dan diberikan asiklovir
45-60 mg / kgBB/ hari dibagi dalam tiga dosis selama 21 hari. Dalam
pengamatan selama 4 tahun pasien yang mnerima asiklovir dosis tinggi (60
mg/kgBB/hari) terbukti memilki angka ketahanan hidup lebih tinggi dibanding
bayi yang mendapat dosis 30 mg/kgBB/hari.

2.5.8 Komplikasi dan Prognosis9,10.11


Komplikasi yang umum dijumpai pada ensefalitis adalah epilepsi. Pasien yang
mengalami ensefalitis memiliki kemungkinan 22% mengalami epilepsi 20 tahun
paska onset. Di antara banyak virus penyebab ensefalitis, ensefalitis herpes
simpleks paling sering menyebabkan epilepsi. Ensefalitis juga dapat
menyebabkan status epileptikus sehingga memerlukan pengobatan yang agresif.
Ensefalitis juga dapat menyebakan gangguan kejiwaan pada anak, berupa
kegelisahan, heiperaktif, delirium, halusinasi penciuman, amnesia dan retardasi
mental. Gejala deficit neurologis yang umum dijumpai paska ensefalitis adalah
gangguan perkembangan dan perilaku, gangguan berbahasa, defisit neurologis
dan epilepsi. Relaps dapat terjadi pada 5-30% kasusa dan beberapa kasus dapat
menjadi ensefalitis kronis.
Angka mortalitas ensefalitis pada anak cukup tinggi (35-50%), jika diberikan
terapi asiklovir, angka mortalitas menurun berkisar 0-10%. Prognosis ensefalitis
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur pasien (prognosis akan lebih
buruk untuk anak berumur < 12 bulan), status imun, defisit neurologis yang
terjadi paska onset, dan virulensi virus.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjiono, Prof.dr. Mahar dan Sidharta, Prof.dr. Priguna, 2008, mekanisme


infeksi susunan saraf, hal 303-331, Dian Rakyat, Jakarta.
2. Laporan Nasional, 2007. Riset Kesehatan Dasar.
3. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall
4. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC, Jakarta.
5. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
6. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
7. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech.
Available at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
8. Markam, S., 1992. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara,
Jakarta.
9. Roos L.Karen, Tyler L. Kenneth. Meningitis,Encephalitis, Brain Abses,and
Empyema. In: Kasper, Brounwald, Fauci, Hauser,Longo, Jameson, eds.
Harrisons Principal of Internal Medicine. 16th ed. New York: Mc Graw Hill
Companies; 2005. p.2480-83)
10. Lazoff, M., et al, Encephalitis. Medscape Refference. 2011. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/791896
11. Ferrari, S.et al. Viral Encephalitis : Etiology, Clinical Features, Diagnosis and
Management. The Open Infectious Diseases Journal. 2009:3;1-12

25

Anda mungkin juga menyukai