Anda di halaman 1dari 16

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

PENGENDALIAN HAYATI
PATOGEN SEBAGAI AGEN PENGENDALI HAYATI

Disusun oleh :

JEFFERSON TAMBAHANI
15502037
JUNNITA SUMAMPOUW
15502011

UNIVERSITAS NEGERI MANADO


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampuh yang telah

membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak jauh dari kesalahan serta

kekurangan. Hal itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan buku yang kami baca. Oleh

karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para

pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.

Akhir kata, kami memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat

kesalahan. Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

pembaca yang budiman.


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pada dasarnya pengendalian hama merupakan setiap usaha atau tindakan manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk mengusir, menghindari dan membunuh spesies
hama agar populasinya tidak mencapai aras yang secara ekonomi merugikan. Pengendalian hama
tidak dimaksudkan untuk meenghilangkan spesies hama sampai tuntas, melainkan hanya
menekan populasinya sampai pada aras tertentu ynag secara ekonomi tidak merugikan. Oleh
karena itu, taktik pengendalian apapun yang diterapkan dalam pengendalian hama haruslah tetap
dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan secara ekologi.

Pengendalian hayati sebagai komponen utama Pengendalian Hama Terpadu pada


dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama
yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar
ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan
ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali
alami utama hama yang bekerja secara terkait kepadatan populasi sehingga tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan
yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya.

Pemahaman Tentang PHT Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi, PHT tidak lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam
penyelesaian masalah lapangan. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi penggunaan
insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai dasar penetapan
pengendalian hama (Sulistiani, 2008).
BAB II
PEMBAHASAN

A. JAMUR
Berbagai spesies mikroba seperti jamur, bakteri, virus, dan nematoda yang bersifat patogen
terhadap serangga juga dapat dimanfaatkan sebagai musuh alami hama tanaman. Patogen adalah
jasad renik yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga, yaitu bisa dari golongan cendawan,
bakteri, nematoda, mikoplasma atau virus. Contoh agensia yang telah banyak digunakan antara
lain cendawan Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae, Bakteri Bacillus thuringiensis,
Bacillus popiliae, virus Helicoverpa (Heliotis) NPV (Nuclear Polyhidrosis Virus), dan lain-lain.

Beberapa istilah atau pengertian yang kiranya diperlukan dalam pemanfaatan musuh alami
mikroba sebagai agens pengendalian hama tanaman adalah penyakit epizootik. Penyakit
epizootik adalah peristiwa kematian sejumlah besar dari populasi hama. Berbeda dengan
penyakit enzootik yang selalu ada kematian pada populasi hama, tetapi dengan jumlah sedikit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya epizootik adalah :

1. Virulensi dan infektivitas agensia pengendali yang sewaktu-waktu dapat berubah atau
tidak mantap. Makin sering agensia pengendali dibiakkan pada inangnya virulensinya
akan makin meningkat.
2. Tingkat kerentanan atau tingkat ketahanan hama sasaran dipengaruhi oleh faktor-faktor
fisik (cuaca, suhu, kelembaban) dan makanannya. Makin virulen agensia pengendali atau
makin rentan populasi hama sasaran, makin cepat dan makin tinggi tingkat epizootik.
3. Sampai seberapa jauh pemencaran infeksi yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor
lingkungan dan biologi hama sasaran serta agensia pengendali.

Jamur sebagai Insektisida Hayati

Ada 2 jenis jamur dalam kaitannya sebagai organisme Patogen, yaitu Jamur Entomopatogenik
(jamur yang memakan hama) dan jamur Antagonis (jamur yang memakan jamur). Sifat
jamur adalah mempunyai kapasitas reproduksi yang tergolong tinggi, mempunyai siklus hidup
yang pendek, dapat membentuk spora yang mampu bertahan lama di alam bahkan dalam kondisi
ekstrim. Hal tersebut menjadi alasan mengapa jamur baik digunakan untuk pengendalian hama
dan penyakit tanaman. Disamping itu juga relatif aman digunakan, sangat pilih-pilih, cukup
mudah diproduksi, cocok dengan berbagai insektisida kimia, dan kemungkinan menimbulkan
resistensi hama sangat kecil.

Jenis jamur Entomopatogenik (jamur yang memakan hama) yaitu,

Beauveria bassiana

kingdom Fungi, filum Ascomycota, kelas Sordariomycetes, orde Hypocreales, famili


Clavicipitaceae, dan genus Beauvaria.

Jamur Beauveria bassiana (Bb) menyerang banyak jenis serangga, di antaranya kumbang,
ngengat, ulat, kepik dan belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga yang hidup di
dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga pada tanaman atau pohon.
Jamur Beauveria bassiana berwarna putih, dan biasanya cukup kelihatan pada badan inangnya.
Jika dilihat dengan kaca pembesar, spora jamur ini ternyata tumbuh berkelompok, sehingga
berupa bola-bola spora.

Daur hidup

Jamur Beauveria bassiana tumbuh pada serangga, kemudian membuat spora (semacam benih).
Spora lepas dari jamur dan dibawa angin atau air ke tempat lain. Jika spora kena serangga, bisa
masuk ke celah antar bagian tubuh, kemudian tumbuh menjadi jamur lagi.

Cara infeksi

Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam
tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan
menginfeksi inang baru.

Beauvaria bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel
dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan
berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit
tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim
atau toksin.Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan
berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati.
Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi
konidia.
Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauvaria bassiana
akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna
putih.
serangga terserang jamur beauveria bassiana

kumbang terserang jamur

Dalam infeksinya, Beauvaria bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-
mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara
segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen
abdomen dengan cauda (ekor).
Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi
oleh massa jamur yang berwarna putih.
Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala dengan toraks
atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada
bagian-bagian tersebut.

Aplikasi
Dilaporkan telah diketahui lebih dari 175 jenis serangga hama yang menjadi inang jamur
Beauvaria bassiana. Berdasarkan hasil kajian jamur ini efektif mengendalikan hama walang
sangit (Leptocorisa oratorius) dan wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) pada tanaman padi
serta hama kutu (Aphis sp.) pada tanaman sayuran. Sebagian contoh lain yang menjadi inang
jamur Beauvaria bassiana adalah jangkrik, ulat sutra, dan semut merah. Karena Beauvaria
bassiana dapat menyerang hampir semua jenis serangga, cendawan ini digolongkan ke dalam
non-selektif pestisida sehingga dianjurkan tidak digunakan pada tanaman yang pembuahannya
dibantu oleh serangga.

Penggunaan jamur ini untuk membasmi hama dapat dilakukan dengan beberapa metode. Jamur
ini bisa dipakai untuk jebakan hama. Adapun cara penggunaanya yaitu dengan memasukkan
beserta alat pemikat berupa aroma yang diminati serangga (feromon) ke dalam botol mineral.
Serangga akan masuk ke dalam botol dan terkena spora. Akhirnya menyebabkan serangga
tersebut terinfeksi. Cara aplikasi lain yaitu dengan metode penyemprotan.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, ternyata bukan parasit bagi manusia dan invertebrata
lain. Tapi, bila terjadi kontak dengan spora yang terbuka bisa menyebabkan alergi kulit bagi
individu yang peka.
Serangga yang telah terinfeksi Beauvaria bassiana selanjutnya akan mengkontaminasi
lingkungan, baik dengan cara mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh inang,
maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi. Jalur
ini dinamakan transmisi horizontal patogen

Sebagai informasi juga bahwa di beberapa negara maju seperti Rusia telah digunakan secara
rutin dan meluas, diantaranya menggunakan Beauveria bassiana untuk mengendalikan Colarado
potato beetle (Laspeyresia pomonella), Penggerek umbi Kentang.
Jamur Antagonis (jamur yang memakan jamur penyakit tanaman)

Jamur Trichoderma

Trichoderma koningii, T. harzianum dan T. viride, Kelas Hyphomycetes


TRICHODERMA FUNGUS

Jamur Trichoderma telah banyak dikembangkan untuk pengendalian penyakit jamur akar.

Trichoderma koningii umumnya dapat diisolasi dari tanah yang diambil di lapangan, sehingga
dapat dikembangkan dan digunakan pada tempat itu juga.

Spora jamur ini sangat cepat berkembang pada suhu 22-230C. Kumpulan spora Trichoderma
mulanya berwarna putih jernih kemudian menjadi kehijauan dan akhirnya berwarna hijau gelap.

trichoderma pada jambu mete


jamur trichoderma muda

Trichoderma tidak mematikan secara langsung spora jamur penyebab penyakit tetapi mengusir
dari tanah sekitarnya. Hal ini terjadi karena pertumbuhan spora Trichoderma lebih cepat
dibandingkan pertumbuhan spora jamur penyebab penyakit. Jamur Trichoderma lebih efektif
digunakan untuk pencegahan penyebaran penyakit pada pohon yang berada disekitar pohon
yang sudah terserang berat atau mati akibat jamur.
B. Bakteri

Bakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan patogen dalam tanah secara alamiah, beberapa
genus yang banyak mendapat perhatian yaitu Agrobacterium, Bacillus, dan Pseudomonas.
Pseudomonas merupakan salah satu genus dari Famili Pseudomonadaceae. Bakteri ini berbentuk
batang lurus atau lengkung, ukuran tiap sel bakteri 0.5-0.1 1m x 1.5-4.0 m, tidak membentuk
spora dan bereaksi negatif terhadap pewarnaan Gram.

Pseudomonas terbagi atas grup, diantaranya adalah sub-grup berpendarfluor (Fluorescent)


yang dapat mengeluarkan pigmen phenazine (Brock & Madigan 1988). Kebolehan menghasilkan
pigmen phenazine juga dijumpai pada kelompok tak berpendarfluor yang disebut sebagai spesies
Pseudomonas multivorans. Sehubungan itu maka ada empat spesies dalam kelompok
Fluorescent yaitu Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescent, P. putida, dan P. multivorans
(Stanier et al 1965). Pseudomonas sp. telah diteliti sebagai agen pengendalian hayati penyakit
tumbuhan (Hebbar et al. 1992; Weller 1983).

Diseluruh dunia perhatian kepada golongan bakteri Pseudomonas sp. ini dimulai dari
penelitian yang dilakukan di University of California, Barkeley pada tahun 70-an. Burr et al
(1978) dan Kloepper et al (1980) mengatakan bahwa strain P.fluorescens dan P. putida yang
diaplikasikan pada umbi kentang telah menggalakkan pertumbuhan umbi kentang. Schroroth dan
Hancock (1982) mengatakan bahwa Pseudomonad pendarfluor meningkatkan hasil panen umbi
kentang 5-33%, gula beet 4-8 ton/ha. dan menambah berat akar tumbuhan radish 60-144%.
Strain ini dan strain-strain yang sama dengannya disebut sebagai rizobakteri perangsang per
tumbuhan tanaman (Plant Growth-Promoting Rhizobacteria, PGPR). Sebutan sebagai rizobakteri
pada bakteri Pseudomonas sp. sehubungan dengan kemampuannya mengkoloni disekitar akar
dengan cepat (Schroroth & Hancock 1982).
Kloepper dan Schroth (1978) mengatakan bahwa kemampuan PGPR sebagai agen
pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan,
atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim
ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen (Kloepper & Schroth. 1978; Thomashow
& Weller 1988; Weller 1988). Wei et al. (1991) mengatakan bahwa perlakuan benih timun
menggunakan strain PGPR menyebabkan ketahanan sistemik terhadap penyakit antraknosa yang
disebabkan Colletotrichum arbiculare. Alstrorn (1991) menyebutkan aplikasi P.fluorescens
strain S97 pada benih kacang telah menimbulkan ketahanan terhadap serangan penyakit hawar
disebabkan P. syringe pv. phaseolicola. Maurhofer et al. (1994) mengatakan P. fluorescens strain
CHAO menyebabkan ketahanan pada tumbuhan tembakau terhadap serangan virus nekrotik
tembakau.

Baru-baru ini telah dibutikan bahwa Pseudomonas sp. dapat menstimulir timbulnya
ketahanan tanaman terhadap infeksi jamur patogen akar, bakteri dan virus (Van Peer et al 1991;
Wei et al. 1994; Zhou et al. 1992; Alstrom 1991).Voisard et al (1989) mendapati bahwa sianida
yang dihasilkan P. fluorescens stroin CHAO merangsang pembentukan akar rambut pada
tumbuhan tembakau dan menekan pertumbuhan Thielaviopsis basicola penyebab penyakit busuk
akar, diduga bahwa sianida mungkin penyebab timbulnya ketahanan sistemik (ISR). Maurhofer
et al (1994) mengatakan bahwa siderofor pyoverdine dari P. fluorescens strain CHAO adalah
sebab timbulnya ketahanan sistemik pada tumbuhan tembakau terhadap infeksi virus nekrosis
tembakau.

Perlakuan bakteri pada benih tumbuhan lobak dan umbi kentang menggunakan P. fluorescens
strain WCS374 menunjukkan pengaruh pertumbuhan yang nyata (Geels & Schippers 1983).
Sedangkan P. putida strain WCS374 telah meningkatkan pertumbuhan akar dan produksi umbi
kentang (Baker et al 1987; Geels & Schippers 1983). Leemon et al. (1995) mengatakan bahwa
siderofor dari P. fluoresces WCS374 dapat berperan sebagai perangsang pertumbuhan tumbuhan
dan menekan pertumbuhan F. oxysporon f sp. raphani penyebab penyakit layu Fusarium pada
tumbuhan lobak. Hambatan terhadap penyakit layu Fusarium pada tumbuhan carnationdiduga
disebabkan persaingan terhadap unsur besi (Duijff 1993).
Wei et al. (1991) mengatakan bahwa ketahanan sistemik akan terjadi pada timun terhadap
infeksi Colletotrichum orbiculare setelah inokulasi benih timun dengan strain PGPR. Alstrom
(1991) mengatakan bahwa perlakuan benih kacang dengan P. fluorescens strain S97
menyebabkan ketahanan sistemik terhadap infeksi Pseudomonas syringae pv. phaseolicola.
Zhou et al. (1992) dan Zhou dan Paulitz (1994) mengntakan bahwa strain Pseudomonas sp.
menyebabkan ketahanan sistemik tumbuhan timun terhadap Pythium aphanidetmatum. Contoh-
contoh PGPR yang mampu berperan sebagai agen penyebab ketahanan sistemik tersebut di atas
adalah karena perlakuan akar, tanah, atau biji dengan rizobakteri.

Mekanisme kerja dari agen pengendalian hayati umumnya digolongkan sebagai persaingan
zat makanan, parasitisme, dan antibiosis (Fravel 1988; Weller 1988). Peranan antibiotik dalam
pengendalian hayati telah dikaji oleh Siminoff dan Gottlieb (1951). Penelitian mereka
menunjukkan bahwa kemampuan Streptomyces griseuspengeluar antibiotik streptomisin dan
strain mutasi yang tidak menghasilkan antibiotik dalam menekan pertumbuhan Bacillus subtilis
temyata tidak berbeda tingkat antagonisnya, penelitian ini telah membuat Siminoff dan Gottlieb
(1951) berkesimpulan bahwa antibiotik bukan satu-satunya penyebab timbulnya antagonis.

Kemajuan dalam rekayasa genetik telah membolehkan penelitian terhadap mutan dijalankan
dengan lebih akurat dan terperinci sehingga banyak hipotesis tentang antibiotik telah dibuktikan,
misalnya Pseudomonas fluorescens adalah agen pengendalian hayati penyakit take-all pada
gandum yang disebabkan Gaeumannomyces graminis var. tritici. Bakteri ini terbukti
menghasilkan antibiotik phenazin yang menekan pertumbuhan G. graminis dalam pengendalian
hayati (Thornashow & Weller 1987; Thomashow et al. 1986; Weller et al. 1985).
C. VIRUS
Salah satu hama penting pada berbagai komoditas pertanian adalah ulat grayak (Spodoptera
litzrra). Selama ini insektisida sintesis merupakan salah satu senjata para petani yang cukup
amptih untuk dapzt mengendalikan kerugian yang ditimbulkan oleh S. lilura. Semakin lama
penggunaan insektisida sintetik ini tentunya akan menimbulkan dampak negatif yang begitu
besar terhadap kelestarian mahluk hidup dan lingkungan. Untuk itu perlu adanya solusi dalam
mencari cara pengendalian S. litura yang efektif tetapi ramah lingkungan. Salah satu cara yang
dapat digunakan adalah.dengan penggunaan Nulear Polyhedrosis Virus (NPV). Potensi virus ini
dipandang cukup efektif dan ramah lingkungan dalam mengendaiikan S. litura, sehingga
kerugian yang ditimbulkan dapat dikurangi. Pertanian organik di Sumatera Barat telah
memanfaatkan NF'V untuk mengendalikan hama pemsak daun S. exigw pada pertanaman
bawang merah, dan mampu menekan serangan ulat daun hingga 80% (Novizan 2002).
Keuntungan pemakaian NF'V adalah cua kejanya yang spesifik, hanya mematikan satu spesies
serangga jaja, dan relatif aman bagi musuh alami hama. Kemampuannya memperbanyak diri di
dalam tubuh serangga memungkinkan tejadinya penyebaran YPV secara ahmi dan berputensi
mengendalikan serangga dalam jangka panjang (Novizan 2302).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Berbagai spesies mikroba seperti jamur, bakteri, virus, dan nematoda yang bersifat patogen
terhadap serangga juga dapat dimanfaatkan sebagai musuh alami hama tanaman. Patogen
adalah jasad renik yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga, yaitu bisa dari golongan
cendawan, bakteri, nematoda, mikoplasma atau virus.
Ada 2 jenis jamur dalam kaitannya sebagai organisme Patogen, yaitu Jamur
Entomopatogenik (jamur yang memakan hama) dan jamur Antagonis (jamur yang
memakan jamur).
Mekanisme kerja dari agen pengendalian hayati umumnya digolongkan sebagai persaingan
zat makanan, parasitisme, dan antibiosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Aries pratomo, Sp, MSc. 2008. Perinsip pengendalian hayati.
2. Supriadi.2003. Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Balai
penelitian tanaman rempah dan obat (bptro): bogor.

3. Sukorini. H. 2006. Pengaruh Mikroba antagonis terhadap penyakit-penyakit utama tanaman Apel
Manalagi. Laporan penelitian. UMM

Anda mungkin juga menyukai