Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

PENATALAKSANAAN PADA BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL


VERTIGO (BPPV)

NURFARAHIN BINTI MUSTAFA (110216199)


NUR AFIQAH BINTI ABDUL RAHMAN ( 112016188)

PEMBIMBING :
DR RIZA, Sp.THT-KL

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan referat
Kepaniteraan Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT). Referat ini disusun untuk
memenuhi syarat dalam menempuh Kepaniteraan Telinga Hidung dan Tenggorokan
(THT). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Riza, Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing.
2. Orang tua yang telah membantu dalam bentuk dana dan doa.
3. Teman-teman sejawat yang telah memberikan dorongan dan masukan dalam
mencari informasi untuk menyelesaikan referat ini.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, namun
diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami lebih lanjut tentang
Penatalaksanaan Pada Benign Paroxysmal Positional Vertigo ( BPPV). Kami
mengharapkan adanya saran-saran atas penulisan referat ini. Semoga refarat ini dapat
bermanfaat bagi kita di kemudian hari. Terima kasih.

Jakarta, Oktober 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. 2
DAFTAR ISI 3
ABSTRAK .. 4
BAB I. PENDAHULUAN .. 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .
BAB III . KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA..

3
Abstrak
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan suatu kondisi terjadinya
gangguan dari sistem perifer vestibular,ketika pasien merasakan sensasi pusing
berputar dan berpindah yang berhubungan dengan nistagmus ketika posisi kepala
berubah terhadap gaya gravitasi dan disertai gejala mual,muntah dan keringat dingin.
Pada populasi umum prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000
(prevalensi 2,4%). Penyebab pasti belum diketahui,tetapi dapat disebabkan oleh
trauma kepala dan lainnya. Tipe dibagi berdasarkan kanalis semisirkularis yang
terkena. Diagnosa diteggakan berdasarkan pemeriksaan fisik,lab dan tes vestibular.
Tes Dix-Hallpike digunakan untuk meneg akkan diagnosis dari BPPV. Terdapat
beberapa manuver yang digunakan sebagai terapi dari BPPV. Simpulan: Penyakit ini
merupakan self-limiting. Dengan diagnosis yang tepat yaitu dengan konfirmasi tes
vestibular, maka dapat dilakukan pilihan terapi yang sesuai agar penyakit ini dapat
hilang.
Kata kunci: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Dix-Hallpike, nistagmus,
Abstract
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) is a condition of interference of
peripheral vestibular system, when patients feel dizziness and a sensation of rotating
and shifting associated with nystagmus when the head position changes with gravity
and with nausea,vomiting and cold sweats. In the general population the prevalence
of BPPV is between 11 to 64 per 100,000 (prevalence 2.4%)The etiology still not
confirmed but it may happened cause many factor such as head trauma and others.
Divided according to the type of affected semisircular canal. The diagnosis confirmed
by physical examination,laboratory test and vestibular test. Dix-Hallpike test is used
to uphold the diagnosis of BPPV. There are several maneuvers that are used as a
treatment of BPPV. Conclusion: This is a selflimiting disease. With the right
diagnostic, such as vestibular test, then we can give the right therapy to make the
patients better.
Keywords: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) ,Dix-Hallpike, nystagmus

4
BAB I

PENDAHULUAN

Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan igo
yang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari dizziness yang secara definitif
merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh
yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan
berputar.

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu


gangguan neurotologi. Benign Paroxysmal Positional Vertigo merupakan gangguan
vestibular perifer dimana 17%-20 % pasien mengeluh vertigo.1,2 Gangguan vestibular
dikarakteristikan dengan serangan vertigo yang disebabkan oleh perubahan posisi
kepala dan berhubungan dengan karakteristik nistagmus paroksimal.1,2,3 Benign
Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan ketika material berupa kalsium karbonat
dari macula dalam dinding utrikel masuk kedalam salah satu kanul semisirkular yang
akan merespon ke saraf. Diagnosis BPPV dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang meliputi beberapa tes antara lain tes Dix-Hallpike, tes
kalori, dan tes Supine Roll. Diagnosis BPPV juga digolongkan menurut tipe-tipe
kanal. Penatalaksanaan BPPV meliputi non-farmakologis, farmakologis dan operasi.
Penatalaksanaan yang sering digunakan adalah non-farmakologis yang meliputi
beberapa manuver seperti manuver Epley, manuver Semount, manuver Lempert,
forced prolonged position dan Brandt-Daroff exercise. Penatalaksanaan dengan
menuver secara baik dan benar menurut beberapa penelitian dapat mengurangi angka
morbiditas.1,2 Didalam tinjauan pustaka ini akan membahas secara umum mengenai
BPPV dari mendiagnosis hingga penatalaksanaan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI

Anatomi telinga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.

Gambar 1. Anatomi Telinga2

Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf
S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga
bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2.5 - 3 cm. Pada 1/3
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar
keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh
kulit liang telinga. Pada 2/3 bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.4,5

Membran timpani/ gendang telinga membatasi telinga luar dan tengah. Merupakan
suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncak-nya umbo mengarah ke medial.
Membran timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis, lapisan fibrosa, tempat

6
melekatnya tangkai malleus dan lapisan mukosa di bagian dalamnya. Membran
timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga
luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang vertikal rata-rata 9-10 mm
dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm dengan ketebalannya rata-rata 0,1
mm.

Secara anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian :4

Gambar 2 : Membrane timpani

1. Pars tensa : Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan
yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di
anulus timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang dari tulang temporal.

2. Pars flaksida atau membran Shrapnell. letaknya dibagian atas muka dan lebih
tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris
anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang).
Terdapat daerah yang di sebut atik dimana ada aditus ad antrum yaitu lubang
yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid.

Telinga Tengah

Telinga tengah terdiri dari kavum timpani, tulang-tulang pendengaran, prosesus


mastoideus, dan tuba eustachius. 4,5

Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh


membran timpani, disebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh

7
tegmen timpani dan inferior oleh bulbus jugularis dan n. Fasialis. Dinding posterior
dekat ke atap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum
timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Pada bagian posterior ini, dari
medial ke lateral, terdapat eminentia piramidalis yang terletak di bagian superior-
medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia
piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani.

Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring


melalui tuba Eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran
timpani, kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum yang
merupakan bagian kavum timpani yang lebih tinggi dari batas superior membran
timpani, mesotimpanum yang merupakan ruangan di antara batas atas dengan batas
bawah membran timpani, dan hipotimpanum yaitu bagian kavum timpani yang
terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Di dalam kavum timpani
terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke dalam maleus, inkus dan
stapes. Selain itu terdapat juga korda timpani, muskulus tensor timpani dan
ligamentum muskulus stapedius. 4,5

Terdapat tiga jenis tulang-tulang pendengaran yaitu:4

1) Maleus : Caput, colium, proccesus brevis, proccesus longus, manubrium


mallei. Caput mallei terdapat pada epytimpani sedangkan bagian-bagian lain
terdapat pada mesotympani.

2) Incus Corpus : Proccesus brevis, proccesus longus. Sebagian besar incus


berada pada epytimpani, hanya sebagian kecil dari proccesus longus yang
berada mesotympani.

3) Stapes : Capitulum, colum, crus anterior, crus posterior, basis. Caput mallei
mengadakan artikulasi dengan corpus dari incus, sedangkan proccesus longus
dari Incus mengadakan articulatio dengan capitulum dari stapes. Rangkaian ini
disebut ossicular chain. Gangguan pada ossicular chain ini menyebabkan

8
gangguan pendengaran, oleh karena ini penting sistem konduksi pada
pendengaran.

Processus mastoideus mempunyai rongga mastoid berbentuk seperti segitiga


dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding
medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah
duramater pada daerah tersebut dan pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad
antrum. 4,5

Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani,


bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara
kavum timpani dengan nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari 2 bagian yaitu :
bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan
bagian tulang rawan yang terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan bagian
tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini berjalan kearah
posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan panjang tuba (4 cm),
kemudian bersatu dengan bagian tulang atau timpani. 4,5

Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus.
Bagian tulang tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan
berakhir pada dinding lateral nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada bagian
timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih tinggi dibanding dengan ujungnya
nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya mendatar maka infeksi
mudah menjalar dari nasofaring ke telinga tengah. 4,5

Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibuli. 4,5

9
Kanalis semisirklularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule
sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus kokleans) di
antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala limfa
berisi endomedia. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan
endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibule disebut sebagai
membran vestibuli (Reissners Membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membrane basalis. Pada membran ini terdapat organ corti.

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membrane
tektoria, dan pada membrane basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut
dalam, sel rambut luar, dan kanalis corti, yang membentuk organ corti. 4,5

Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Tubuh

Gambar 3. Anatomi Telinga Dalam

Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang yang
paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam,
tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas
labirin tulang dan labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam labirin tulang
dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin membrane dan
labirin tulang terdapat perilimf, sedang endolimf terdapat didalam labirin membrane.

10
Berat jenis endolimf lebih tinggi daripada cairan perilimf. Ujung saraf vestibuler
berada dalam labirin membran yang terapung dalam perilimf, yang berada pada
labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis semisirkularis, yaitu horizontal
(lateral), anterior (superior), posterior (inferior). Selain ke tiga kanalis ini terdapat
pula utrikulus dan sakulus.6,7 Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang
saling berhubungan, yaitu:

1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam pendengaran.

2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan


utrikulus. Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan sakulus
sel sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel sensoriknya berada
di krista ampulanya)

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya


tergantung kepada inputbsensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visial dan
proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di
SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.1,6

Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel.
Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap
percepatan sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linier,
khususnya percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif terhadap
gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan percepatan linier ini
disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari struktur-
struktur yang menutupi sel rambut.

Sel rambut

Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut pada
organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang dijelaskan
oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan menyebabkan
stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel rambut akan tereksitasi. Jika

11
gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga stereosilia menjauh dari kinosilium
maka sel-sel rambut akan terinhibisi.

Kanalis semisirkularis

Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada
rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak lurus
satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga terletak
hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada waktu rotasi,
salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang satunya akan
terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan terdapat percepatan
dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan, maka serabut-serabut
aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara serabut-serabut yang
kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertikal misalnya rotasi kedepan, maka
kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi akan tereksitasi, sementara kanalis posterior
akan terinhibisi.

Organ otolit

Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang hampir
horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal. Berbeda dengan
sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut pada organ otolit tidak
semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium terletak di bagian samping sel
rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu striola. Maka pada saat kepala
miring atau mengalami percepatan linier, sebagian serabut aferen akan tereksitasi
sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan adanya polarisasi yang berbeda dari tiap
makula, maka SSP mendapat informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi,
walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula.

Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron


ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata dan
refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang mempunyai suatu

12
komponen lambat berlawanan arah dengan putaran kepala dan suatu komponen cepat
yang searah dengan putaran kepala. Komponen lambat mengkompensasi gerakan
kepal dan berfungsi menstabilkan suatu bayangan pada retina. Komponen cepat
berfungsi untuk kembali mengarahkan tatapan ke bagian lain dari lapangan pandang.
Perubahan arah gerakan mata selama rangsangan vestibularis merupakan suatu
contoh dari nistagmus normal.

DEFINISI BPPV

Definisi vertigo posisional adalah sensasi berputar yang disebabkan oleh perubahan
posisi kepala. Sedangkan BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi di
telinga dalam dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang
dengan tipikal nistagmus paroksimal.4,5 Benign dan paroksimal biasa digunakan
sebagai karakteristik dari vertigo posisional. Benign pada BPPV secara historikal
merupakan bentuk dari vertigo posisional yang seharusnya tidak menyebabkan
gangguan susunan saraf pusat yang serius dan secara umum memiliki prognosis yang
baik. Sedangkan paroksimal yang dimaksud adalah onset vertigo yang terjadi secara
tiba-tiba dan berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari satu menit. Benign
Paroxysmal Positional Vertigo memiliki beberapa istilah atau sering juga disebut
dengan benign positional vertigo, vertigo paroksimal posisional, vertigo posisional,
benign paroxymal nystagmus, dan dapat disebut juga paroxymal positional
nystagmus

13
EPIDEMIOLOGI

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu


gangguan neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Pada
populasi umum prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi
2,4%).1,3 Dari kunjungan 5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United State
dengan keluhan pusing didapatkan prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV.
Dari segi onset 4 BPPV biasanya diderita pada usia 50-70 tahun. Proporsi antara
wanita lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu 2,2 : 1,5. BPPV merupakan
bentuk dari vertigo posisional.2

ETIOLOGI

BPPV adalah gangguan vestibular yang paling umum; 2,4% dari semua orang
akan mengalaminya pada suatu titik dalam masa hidup mereka. BPPV menyumbang
setidaknya 20% diagnosis yang dibuat oleh dokter yang spesialis dalam bidang
dizziness dan gangguan vestibular dan merupakan penyebab sekitar 50% pusing
pada orang tua.

Penyebab paling umum BPPV pada orang di bawah usia 50 tahun adalah
cedera kepala dan diduga akibat kekuatan gegar otak yang menggantikan otokonia.
Pada orang berusia di atas 50 tahun, BPPV paling sering idiopatik, artinya terjadi
tanpa alasan yang diketahui, namun umumnya terkait dengan degenerasi otolitik
alami terkait usia. BPPV juga terkait dengan migraine dan ototoktik. Virus yang
mempengaruhi telinga (seperti yang menyebabkan neuritis vestibular) dan penyakit
Mnire adalah penyebab yang signifikan namun tidak biasa. Kadang-kadang BPPV
mengikuti pembedahan sebagai akibat trauma pada telinga bagian dalam selama
prosedur dikombinasikan dengan posisi terlentang (berbaring diam). BPPV juga
dapat berkembang setelah lama tidak aktif.4

14
PATOFISIOLOGI

Benign Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan oleh kalsium karbonat


yang berasal dari makula pada utrikulus lepas dan bergerak dalam lumen dari salah
satu kanal semisirkular. Kalsium karbonat sendiri dua kali lipat lebih padat
dibandingkan endolimfe, sehingga bergerak sebagai respon terhadap gravitasi dan
pergerakan akseleratif lain. Ketika kalsium karbonat tersebut bergerak dalam kanal
semisirkular, akan terjadi pergerakan endolimfe yang menstimulasi ampula pada
kanal yang terkena, sehingga menyebabkan vertigo. Patomekanisme BPPV dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :8

a. Teori Kupulolitiasis

Pada tahun 1962, Horald Schuknecht mengemukakan teori ini dimana


ditemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen
otokonia (otolith) yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi dan
menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semiriskularis
posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula.
Sama halnya seperti benda berat diletakkan pada puncak tiang, bobot ekstra itu akan
menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Begitu halnya
digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke
belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). Kanalis semi sirkularis
posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara
utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo).
Perpindahan partikel tersebut membutuhkan waktu, hal ini menyebabkan adanya
masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.

15
b. Teori Kanalitiasis

Pada 1980 Epley mengemukakan teori kanalitiasis, partikel otolith bergerak


bebas didalam kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan
partikel tersebut berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling
bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang, partikel ini berotasi ke atas di
sepanjang lengkung kanalis semi sirkularis. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe
mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), sehingga
terjadilah nistagmus dan pusing. Saat terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan
kembali, terjadi pula pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang
bergerak ke arah berlawanan.

Digambarkan layaknya kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir,
kerikil akan terangkat seberntar kemudian terjatuh kembali karena gaya gravitasi.
Jatuhnya kerikil tersebut seolah-olah yang memicu organ saraf menimbulkan rasa
pusing. Dibanding dengan teori kupulolitiasis, teori ini dapat menerangkan
keterlambatan sementara nistagmus, karena partikel butuh waktu untuk mulai
bergerak. Ketika mengulangi maneuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin
kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal ini menerangkan
konsep kelelahan dari gejala pusing.

KLASIFIKASI

Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu :

a) Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior

Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling sering terjadi,
dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus BPPV. Penyebab
paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang
terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior karena kanal ini adalah bagian
vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala pada posisi berdiri
ataupun berbaring (Purnamasari, 2013).

16
b) Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)

Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama kali


diperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo posisional yang
diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus horizontal yang terjadi
dapat berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi bawah) atau
apogeotropik (arah gerakan fase cepat kearah telinga di posisi atas) selama kepala
dipalingkan ke salah satu sisi dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi
karena adanya otokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen
posterior kanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik
terjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis
horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen
anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik).

Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa tahun terakhir
terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal. Pasien dengan keluhan
dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai dengan kriteria diagnostik
BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanalis horizontal.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik
akibat perubahan dari posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat
tidur dengan posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas maupun ke
belakang, dan membungkuk. Vertigo juga dapat disertai dengan keluhan mual.

Pada banyak kasus BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian
hari. Dalam anamnesa selain menanyakan tentang gejala klinis, juga harus ditanyakan
mengenai faktor-faktor yang merupakan etiologi atau yang dapat mempengaruhi

17
keberhasilan terapi seperti stroke, hipertensi, diabetes, trauma kepala, migraine, dan
riwayat gangguan keseimbangan sebulumnya maupun riwayat gangguan saraf pusat.8

Pemeriksaan Fisik

Benign Paroxysmal Positrional Vertigo kanalis posterior dapat di diagnosa


ketika pasien mengeluhkan adanya riwayat dari vertigo yang disebabkan oleh
perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi dan ketika dilakukan pemeriksaan
fisik ditemukan nistagmus yang muncul saat melakukan Dix-Hallpike Test.
Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah: Dix-Hallpike, dan tes kalori. Supine
Roll Test dilakukan untuk pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV
tetapi hasil tes Dix-Hallpike negatif untuk memeriksa ada tidaknya BPPV kanal
lateral.

a) Dix-Hallpike Test

Gambar 4 : Dix-Hallpike test

Nistagmus yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan tes Dix-Hallpike biasanya


menunjukkan dua karakteristik penting. Pertama, terdapat periode laten antara akhir
dari masa percobaan dan saat terjadi serangan dari nistagmus. Periode laten tersebut

18
terjadi selama 5 sampai 20 detik, tetapi dapat juga terjadi hingga 1 menit dalam kasus
yang jarang terjadi. Kedua, hal yang memperberat vertigo dan nistagmusnya sendiri
meningkat, dan hilang dalam periode waktu tertentu dalam 60 detik dari waktu
serangan nistagmus.

Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksa harus memberitahu pasien tentang


gerakan-gerakan yang akan dilakukan dan mengingatkan pasien bahwa pasien akan
merasakan serangan vertigo secara tiba-tiba, yang mungkin saja disertai dengan rasa
mual, yang akan hilang dalam 60 detik. Karena pasien akan diposisikan dalam posisi
supinasi dengan kepala dibawah badan, pasien harus diberitahu agar saat berada
dalam posisi supinasi, kepala pasien akan menggantung dengan bantuan meja
percobaan hingga 20 derajat. Pemeriksa sebaiknya meyakinkan pasien bahwa
pemeriksa dapat menjaga kepala pasien dan memandu pasien mendapatkan
pemeriksaan yang aman dan terjamin tanpa pemeriksa kehilangan keseimbangan
dirinya sendiri.8 Cara melakukan pemeriksaan Dix- Hallpike:

1. Pertama, jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan vertigo


mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.
2. Pasien didudukkan dekat bagian ujung tempat pemeriksa, sehingga ketika
posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30 40 derajat, pasien diminta
tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
3. Kepala diputar melihat ke kanan 45 derajat (kalau kanalis semi sirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith
untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semi sirkularis
posterior.
4. Tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala pasien, pasien direbahkan secara
cepat sampai kepala tergantung pada ujung meja pemeriksaan.
5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 40 detik. Penilaian respon pada monitor dilakukan
selama kira- kira 1 menit atau sampai respon menghilang.

19
6. Komponen cepat nistagmus seharusnya up-bet (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
7. Setelah pemeriksaan ini dilakukan, dapat langsung dilanjutkan dengan
Canalith Reposithoning Treatment (CRT). Bila tidak ditemukan respon
abnormal, pasien dapat didudukkan kembali secara perlahan. Nistagmus bisa
terlihat dalam arah yang berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar
berputar ke arah berlawanan.
8. Berikutnya pemeriksaan diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45 derajat
dan seterusnya.

b) Tes Kalori

Tes kalori diajukan oleh Dix dan Hallpike. Pada pemeriksaan ini dipakai air
dingin dan air panas. Suhu air dingin adalah 30 C sedangkan suhu air panas adalah 44
C. Volume air yang dimasukkan kedalam telinga salah satunya terlebih dahulu
sebanyak 250 ml air dingin , dalam 40 detik. Kemudian pemeriksa memperhatikan
saat nistagmus muncul dan berapa lama kejadian nistagmus tersebut. Dilakukan hal
yang sama pada telinga yang lain. Setelah menggunakan air dingin, kemudian kita
melakukan hal yang sama pada kedua telinga menggunakan air panas. Pada tiap-tiap
selesai salah satu pemeriksaan, pasien diistirahatkan selama 5 menit untuk
menghilangkan rasa pusingnya.8

c) Tes Supine Roll

Tes ini diperuntukkan jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV
tetapi hasil tes Dix-Hallpike negatif untuk memeriksa ada atau tidaknya BPPV kanal
lateral atau bisa kita sebut juga BPPV kanal horizontal. Pasien yang memiliki riwayat
BPPV tetapi bukan termasuk kriteria BPPV kanal posterior harus dicurigai sebagai
BPPV kanal lateral. Pemeriksa harus menginformasikan pada pasien bahwa pada
pemeriksaan ini, pasien akan mengalami pusing berat selama beberapa saat. Saat
melakukan tes ini, pasien berada dalam posisi supinasi atau berbaring telentang

20
dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat
ke satu sisi dan pemeriksa mengamati mata pasien untuk melihat ada tidaknya
nistagmus. Setelah nistagmus mereda, kepala kembali menghadap ke atas dalam
posisi supinasi. Kemudiaan dimiringkan kembali 90 derajat ke sisi yang berlawanan
dan mata pasien diamati untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus. 8,9

Kriteria Diagnosis BPPV

Diagnosis BPPV dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan pemeriksaan


fisik.1 Pasien biasanya melaporkan episode berputar ditimbulkan oleh gerakan-
gerakan tertentu, seperti berbaring atau bangun tidur, berguling di tempat tidur,
melihat ke atas atau meluruskan badan setelah membungkuk.3 Episode vertigo
berlangsung 10 sampai 30 detik dan tidak disertai dengan gejala tambahan selain
mual pada beberapa pasien.

Beberapa pasien yang rentan terhadap mabuk (motion sickness) mungkin


merasa mual dan pusing selama berjam-jam setelah serangan vertigo, tetapi
kebanyakan pasien merasa baik-baik saja di antara episode vertigo.1,3 Jika pasien
melaporkan episode vertigo spontan, atau vertigo yang berlangsung lebih dari 1 atau
2 menit, atau jika episode vertigo tidak pernah terjadi di tempat tidur atau dengan
perubahan posisi kepala, maka kita harus mempertanyakan diagnosis dari BPPV.1

1. Diagnosis BPPV Tipe Kanal Posterior

Dokter dapat mendiagnosis BPPV tipe kanal posterior ketika nistagmus


posisional paroksismal dapat diprovokasi dengan manuver Dix-Hallpike. Diagnosis
presumtif dapat dibuat dengan riwayat saja, tapi nistagmus posisional paroksismal
menegaskan diagnosisnya.1

Nistagmus yang dihasilkan oleh manuver Dix-Hallpike pada BPPV kanal


posterior secara tipikal menunjukkan 2 karakteristik diagnosis yang penting. Pertama,
ada periode latensi antara selesainya manuver dan onset vertigo rotasi subjektif dan

21
nistagmus objektif. Periode latensi untuk onset nistagmus dengan manuver ini tidak
spesifik pada literatur, tapi berkisar antara 5 sampai 20 detik, walaupun dapat juga
berlangsung selama 1 menit pada kasus yang jarang. Yang kedua, vertigo subjektif
yang diprovokasi dan nistagmus meningkat, dan kemudian mereda dalam periode 60
detik sejak onset nistagmus.3

Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk BPPV Tipe Kanal Posterior

Riwayat Pasien melaporkan episode berulang dari vertigo yang terjadi


karena perubahan posisi kepala

Pemeriksaan Fisik Setiap kriteria berikut terpenuhi:


Vertigo berkaitan dengan nistagmus diprovokasi oleh tes
Dix-Hallpike
Ada periode laten antara selesainya tes Dix-Hallpike dengan
onset vertigo dan nistagmus
Vertigo dan nistagmus yang diprovokasi meningkat dan
kemudian hilang dalam periode waktu 60 detik sejak onset
nistagmus.

Komponen nistagmus yang diprovokasi oleh manuver Dix-Hallpike


menunjukkan karakteristik campuran gerakan torsional dan vertikal (sering disebut
upbeating-torsional). Dalam sekejap, nistagmus biasanya mulai secara lambat,
meningkat dalam hal intensitas, dan kemudian berkurang dalam hal intensitas ketika
ia menghilang. Ini disebut sebagai crescendo-decrescendo nystagmus. Nistagmus
sekali lagi sering terlihat setelah pasien kembali ke posisi kepala tegak dan selama
bangun, tetapi arah nystagmus mungkin terbalik. Karakteristik lain dari nistagmus
pada BPPV kanal posterior adalah nistagmusnya dapat mengalami kelelahan

22
(fatigue), yakni berkurangnya keparahan nistagmus ketika manuver tersebut diulang-
ulang. Tetapi karakteristik ini tidak termasuk kriteria diagnosis.3

2. Diagnosis BPPV Tipe Kanal Lateral

BPPV tipe kanal lateral (horisontal) terkadang dapat ditimbulkan oleh Dix-
Hallpike manuver.2 Namun cara yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis
BPPV horisontal adalah dengan supine roll test atau supine head turn maneuver
(Pagnini-McClure maneuver).2,3 Dua temuan nistagmus yang potensial dapat terjadi
pada manuver ini, menunjukkan dua tipe dari BPPV kanal lateral.3

a. Tipe Geotrofik.

Pada tipe ini, rotasi ke sisi patologis menyebabkan nistagmus horisontal yang
bergerak (beating) ke arah telinga paling bawah. Ketika pasien dimiringkan ke sisi
lain, sisi yang sehat, timbul nistagmus horisontal yang tidak begitu kuat, tetapi
kembali bergerak ke arah telinga paling bawah.3

b. Tipe Ageotrofik.

Pada kasus yang lebih jarang, supine roll test menghasilkan nistagmus yang
bergerak ke arah telinga yang paling atas. Ketika kepala dimiringkan ke sisi yang
berlawanan, nistagmus akan kembali bergerak ke sisi telinga paling atas.3

Pada kedua tipe BPPV kanal lateral, telinga yang terkena diperkirakan adalah
telinga dimana sisi rotasi menghasilkan nistagmus yang paling kuat. 1,3 Di antara
kedua tipe dari BPPV kanal lateral, tipe geotrofik adalah tipe yang paling banyak.3

3. Membedakan dengan Penyebab Sentral

Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang khas biasanya mudah dikenali


seperti di atas dan merespon terhadap pengobatan. Bentuk-bentuk vertigo posisional

23
yang paling sering menyebabkan kebingungan adalah mereka dengan downbeating
nystagmus, atau mereka dengan nistagmus yang tidak benar-benar ditimbulkan oleh
manuver posisi, tetapi tetap terlihat saat pasien berada pada posisi kepala
menggantung. Tabel dibawah menguraikan beberapa fitur yang mungkin membantu
membedakan vertigo sentral dari vertigo perifer. Sebagai aturan umum, jika
nistagmus tidak khas, atau jika gagal merespon terhadap terapi posisi, penyebab
sentral harus dipertimbangkan.1

Tabel 2. Perbedaan antara Vertigo Posisi Perifer dengan Sentral1

Perifer Sentral
Onset mendadak perlahan
Nausea berat berat bervariasi
Gejala pendengaran sering jarang
Gejala neurologik jarang sering
Kompensasi cepat lambat
Perubahan kepala memburuk tidak ada kesan

Pemeriksaan Tambahan

Terdapat tiga jenis pemeriksaan tambahan yaitu: 10

a) Radiografi

Gambaran yang didapatkan tidak terlalu berguna untuk diagnosa rutin dari BPPV
karena BPPV sendiri tidak memiliki karakteristik tertentu dalam gambaran radiologi.
Tetapi radiografi ini memiliki peran dalam proses diagnosis jika gejala yang muncul
tidak khas, hasil yang diharapkan dari percobaan tidak sesuai, atau jika ada gejala
tambahan disamping dari kehadiran gejala-gejala BPPV, yang mungkin merupakan
gabungan dari central nervous system ataupun otological disorder.

24
b) Vestibular Testing Electronystagmography

Test ini memiliki kegunaan yang terbatas dalam mendiagnosa BPPV kanalis,
karena komponen torsional dari nistagmus tidak bisa diketahui dengan menggunakan
teknik biasa. Di sisi lain, dalam mendiagnosa BPPV kanalis horizontal, nistagmus
hadir saat dilakukan tes. Tes vestibular ini mampu memperlihatkan gejala yang tidak
normal, yang berkaitan dengan BPPV, tetapi tidak spesifik contohnya vestibular
hypofunction (35% dari kasus BPPV) yang umumnya ditemukan pada kasus trauma
kapitis ataupun infeksi virus.

PENATALAKSANAAN

Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu penyakit yang


ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Penatalaksanaan
BPPV terdiri dari non-medikamentosa, medikamentosa dan operasi. Namun telah
banyak penelitian yang membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver
reposisi partikel/ Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif
menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi
risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi
mulai dari 70%-100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya debris
otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat
berpindah dari ampula ke kanal 19 bifurcasio. Setelah melakukan manuver,
hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk
menghindari risiko jatuh.3 Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk
mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada enam
manuver yang dapat dilakukan tergantung dari varian BPPV nya.

25
1. NON-MEDIKAMENTOSA

Pada BPPV yang melibatkan kanalis semirkularis posterior, dapat diterapi dengan
Epley Maneuver dan Semont Maneuver. Kedua terapi ini didasarkan pada asumsi
bahwa partikel dapat dipindahkan melalui lengan panjang kanalis semisirkularis. dan
dapat direposisi ke utrikulus menggunakan gaya gravitasi.10

A. Manuver Epley

Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal. Pasien
diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45 derajat, lalu pasien
berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala
ditolehkan 90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada
pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan. Tingkat keberhasilan
dengan menggunakan Epley Maneuver adalah sekitar 80%.11

Gambar 5 : Epley Maneuver9

26
B. Semont Maneuver

Pasien diminta untuk duduk tegak lalu berbaring kesisi yang terkena dengan
telinga kanan dan kepala berpaling sedikit ke kiri. Pasien lalu dengan cepat dipandul
dalam pola menjungkir terbalik melalui posisi tegak kesisi lain,tanpa jeda dengan
kepala berubah sedikit kekiri. Akhirnya pasien duduk dan kepala dikembalikan posisi
netral. Setiap posisi dipertahankan minimal 2 menit. Manuver ini dapat digunakan
sebagai pengganti Epley Maneuver. Namun, pada manuver ini dapat menyebabkan
mual atau muntah selama dilakukan terapi.11

Gambar 6 : Semont Maneuver9

Pada BPPV yang melibatkan kanalis semisirkularis horizontal, terdapat


beberapa teknik terapi untuk menangani kanalis semisrkularis horizontal yaitu
Barbecue Roll, Guffoni Maneuver, Vannucchis forced prolonged position, dan Log
Roll Maneuver. 10,11

C. Lempert Maneuver

Pasien berguling 360 derajat , yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien
menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke
posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke
posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90 derajat dan tubuh kembali
ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan
dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai
respon terhadap gravitasi 10,11

27
Gambar 4 : Lempert Maneuver9
D. Vannucchis forced prolonged position

Pasien diminta untuk tidur kearah telinga yang tidak sakit selama 12 jam.
Sehingga diharapkan debris otoknia yang melekat pada kupula akan terlepas dan
masuk kembali ke utrikulus dengan gaya gravitasi.

E. Guffoni Maneuver

Pasien diminta berbaring pada sisi yang terkena dan tidak bergerak selama 1-2
menit hingga nistagmus mereda. Lalu duduk dengan tegak dengan cepat
menghadap ke depan. Dan dilakukan berulang. Terapi ini dengan mengkonversi
nistagmus dari apogeotropik menjadi nistagmus geotropik.

F. Log Roll Maneuver

Pasien diminta untuk berbaring kemudian berputar 27 derajat kearah yang


terkena, lalu tiap satu menit berputar 90 derajat kearah yang tidak terkena. Dan
dilakukan lagi kearah yang tidak terkena. Terapi dikatakan berhasil bila
dikonfirmasi dengan melakukan tes maneuver berulang, jika masih ada tanda
tanda gejala vertigo dan nistagmus maka terapi dapat diulang kembali.

28
G. Brandt-Daroff exercise

Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat


dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap
simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu
pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi kebiasaan.11

Gambar 5 : Brand- daroff Exercise9

2. MEDIKAMENTOSA
Secara umum, penatalaksanaan medikamentosa mempunyai tujuan utama: (i)
mengeliminasi keluhan vertigo, (ii) memperbaiki proses-proses kompensasi
vestibuler, dan (iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.
Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di
antaranya adalah:

A. Antikolinergik /

Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan


vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin. Kedua
preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo.
Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik.

29
Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan gejala
efek samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala penghambatan reseptor
muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan kebingungan (terutama pada
populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti
gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.12,13

B. Antihistamin /

Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan antivertigo


yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di antaranya adalah
difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin. Mekanisme
antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi diperkirakan
juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin juga
mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki motion sickness. Efek
sedasi merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat histamin-1. Obat
ini biasanya diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam
(misalnya, siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin).12

C. Histaminergik/

Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di
beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan
prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan
sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik, dengan
kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif jarang,
termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.14

30
D. Antidopaminergik

Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual pada


pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik merupakan
neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui dengan pasti,
tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada
sistem vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai 12
jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti domperidon
dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama adalah
hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang berhubungan dengan
gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif, parkinsonisme, distonia akut, dan
sebagainya.12-14

E. Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di tempat


khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler diperkirakan terjadi
melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat sedatif, akan
memengaruhi kompensasi vestibuler. Efek farmakologis utama dari benzodiazepin
adalah sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd,
serta antikonvulsan. Beberapa obat golongan ini yang sering digunakan adalah
lorazepam, diazepam, dan klonazepam. 12

F. Antagonis Kalsium

Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam


sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium intrasel.
Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan vestibuler. Flunarizin dan
sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasikan untuk
penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain
sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata fl unarizin dan sinarizin mempunyai efek
sedatif, antidopaminergik, serta antihistamin-1. Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi

31
per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan kadar mantap
tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat terdeteksi dalam
waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping jangka pendek dari
penggunaan obat ini terutama adalah efek sedasi dan peningkatan berat badan. Efek
jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala parkinsonisme, tetapi
efek samping ini lebih banyak terjadi pada populasi lanjut usia.12

OPERASI

Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat
sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-
manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi untuk
melakukan operasi adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis
penyakit neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa.12 Terdapat dua pilihan
intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu singular neurectomy
(transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior semisirkular. Namun
lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi mempunyai risiko
kehilangan pendengaran yang tinggi.

Penyumbatan kanal menghentikan pergerakan partikel di dalam kanal


semisirkular posterior dengan dampak minimal pada bagian telinga bagian dalam
lainnya. Prosedur ini seharusnya tidak dipertimbangkan sampai diagnosis BPPV
sudah pasti dan semua manuver atau latihan telah dicoba dan ternyata tidak efektif.
Operasi berisiko kecil untuk didengar; beberapa penelitian menunjukkan bahwa
efektif pada 85% sampai 90% individu yang tidak memiliki respons terhadap
pengobatan lainnya, walaupun penelitian lebih lanjut dianjurkan.9

32
Untuk tingkat keberhasilan terapi digolongkan menjadi tiga kriteria,yaitu :13

1. Asimptomatis - Ketika tidak ada lagi keluhan rasa pusing berputar dan gangguan
nistagmus.

2. Terdapat Perbaikan - Keluhan vertigo secara subjektif telah berkurang lebih dari
70% dan pasien telah mampu melakukan aktifitas yang selama ini tidak dapat
dilakukan. Namun,nystagmus masih muncul pada saat manuver provokasi.

3. Tidak Ada Perbaikan - Bila keluhan vertigo tidak kurang dari 70% dan nystagmus
muncul sering.

PENCEGAHAN PASCA PERAWATAN

Setelah berhasil diobati dengan manuver reposisi partikel, residual dari


dizziness sering dialami hingga tiga bulan. Apakah pembatasan aktivitas pasca
perawatan berguna belum dipelajari secara memadai. Namun, banyak dokter
menyarankan agar pasien mereka tidur dalam posisi tinggi dengan dua atau lebih
bantal dan / atau tidak di sisi telinga yang diobati dan bangun secara perlahan dari
tempat tidur setiap hari. Memakai collar-neck sebagai pengingat untuk menghindari
putaran cepat, dan hindari latihan yang melibatkan melihat ke atas atau ke bawah atau
putaran kepala (seperti berenang putaran gaya bebas). Tindakan pencegahan
semacam itu dianggap membantu mengurangi risiko bahwa debris reposisi dapat
kembali ke bagian belakang telinga yang sensitif sebelum dipilah atau diserap
kembali.9 Modifikasi lainnya termasuk menghindari menengadah, seperti di rak
lemari tinggi, atau membungkuk untuk mengambil sesuatu dari lantai. Pasien dengan
BPPV juga diperingatkan untuk berhati-hati saat diposisikan di kursi dokter gigi atau
penata rambut, saat berbaring telentang, atau saat berpartisipasi dalam kegiatan
olahraga.

33
KOMPLIKASI

a. Canal Switch

Selama melakukan manuver untuk mengembalikan posisi kanal vertikal,


partikel-partikel yang berpindah tempat dapat bermigrasi hingga sampai ke kanal
lateral, dalam 6 sampai 7% dari kasus. Pada kasus ini, nistgamus yang bertorsional
menjadi horizontal dan geotropik.

b. Canalith Jam

Selama melakukan reposisi manuver, beberapa penderita akan merasakan


beberapa gejala, seperti vertigo yang menetap, mual, muntah dan nistagmus.

34
BAB III

KESIMPULAN

BPPV merupakan vertigo yang berasal dari kelainan perifer yang paling
sering dijumpai. BPPV ditandai dengan gejala pusing berputar dalam waktu beberapa
detik ketika terjadi perubahan posisi. Terdapat pula nistagmus, namun nistagmus
tidak segera muncul ketika diambil posisi yang memicu. Pada BPPV tidak ditemukan
adanya gangguan pendengaran.

Diagnosis BPPV dapat ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik


neurologis terkait untuk mengevaluasi kondisi pendengaran dan keseimbangan.
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan bila vertigo persisten, tidak membaik setelah
terapi, dan ada kecurigaan adanya gangguan sistem saraf pusat.

BPPV lebih sering dialami oleh wanita dan rentang usia 40 60 tahun.
Prognosis BPPV umumnya baik, meskipun sering terjadi eksaserbasi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Fife D.T. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Semin Neurol Journal.


2009;29:500-508.
2. Bhattacharyya N, Baugh F R, Orvidas L. Clinical Practice Guideline: Benign
Paroxysmal Positional Vertigo. Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
2008;139: S47-S81.
3. Bittar et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Diagnosis and Treatment.
International Tinnitus Journal. 2011;16(2): 135-45.

4. Soepardi EA et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam :


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher.
Edisi ke-7. Jakarta. Balai Penerbit FKUI; 2012; h10-92.

5. Sherwood, Lauralee. Introduction to Human Physiology, 6th Ed. USA: The


Thomson Corporation. 2007; p115-30.

6. Bashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Gangguan Keseimbangan. Dalam :


Arsyad E, Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 94-101
7. Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi H, Santoso
R, Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta : EGC.
1997. h 39-45
8. Purnamasari, Putu Prida. Diagnosis And Management Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (Bppv).E-Jurnal Medika Udayana, [S.l.], p. 1056-1080,
May 2013.
9. Timothy CH. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Vestibular Disorders
Association. 2009. P. 1-10
10. Bargenius J, Qing Z, Maoli D. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Journal
of Otology. 2014;9(1):1-6
11. Kim JS, Zee DS. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. The New England
Journal of Medicine 2014;370:1138-47

36
12. Kupiya TW. Penatalaksanaan Vertigo. In : Vertigo. Jakarta. 2012 : 39 (10) :
738-41
13. Leveque et al. Surgical Therapy in Intractable Benign Paroxysmal Positional
Vertigo. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2007;136:693-698.
14. Edward Y, Roza Y. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2014;3(1):77-82

37

Anda mungkin juga menyukai